You are on page 1of 24

PRESENTASI KASUS BESAR

GERD
(Gastroesofageal Refluks Disease)

Disusun oleh :
Aisyah Nur Aini
G4A013086

Pembimbing :
dr. Mamun, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

GERD
(Gastroesofageal Refluks Disease)

Pada tanggal,

Mei 2014

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Aisyah Nur Aini
G4A013086

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Mamun, Sp.PD

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala di esofagus
maupun ekstra-esofagus, bahkan dapat menyebabkan komplikasi yang berat
seperti Barrets esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus
(Vakil dkk, 2006), (Makmum, 2009). Sudah sejak lama prevalensi GERD di
Asia

dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat.

Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan
menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi
di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili
Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara
juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah
10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi
9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung,
2009) (Goh dan Wong, 2006).
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena
gejala-gejalanya (heartburn, regurgitasi, nyeri dada, nyeri epigastrium, dll) yang
menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di
rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey,
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD
memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari
yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung
kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007).

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

II.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. S
Usia
: 52tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Alamat
: Wangon Rt 4 Rw 4
Tanggal masuk : 12 April 2014
Tanggal periksa : 18 April 2014
No. CM
: 726259
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Dada terasa panas
2. Keluhan Tambahan
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Nyeri perut
Dada panas
Tenggorokan panas
Mual
Lemas
Sesak

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan dada terasa panas. Keluhan
tersebut dirasakan 1 minggu sebelum masuk RSMS. Keluhan dirasa semakin lama
semakin meberat. Pasien mengaku setelah makan, keluhan makin memberat disertai
mual. Keluhan terasa mermbaik jika pasien istirahat. Dada terasa panas dirasa pasien
hilang timbul dan tidak setiap saat. Dada terasa panas dirasa hanya di bagian dada
tengah dan sedikit menjalar ke tenggorokan. Keluhan lain yang dirasakan oleh
pasien adalah nyeri perut, tengorokan panas, mual, lemas, dan sesak nafas. Nyeri
perut dirasa kadang-kadang. Tenggorokan panas dirasa pasien hilang timbul. Mual
dirasa pasien saat pasien hendak makan. Pasien mengaku belum pernah merasakan
keluhan yang sama sebelumnya. Pasien tidak pernah menggunakan obat-obatan dan
belum pernah berobat ke dokter ataupun rumah sakit.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa

: disangkal

b. Riwayat mondok

: disangkal

c. Riwayat hipertensi

: disangkal

d. Riwayat kencing manis

: disangkal

e. Riwayat asma

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal
g. Riwayat merokok

: diakui

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayatkeluhan serupa

: disangkal

b. Riwayat mondok

: disangkal

c. Riwayat hipertensi

: disangkal

d. Riwayat kencing manis

: disangkal

e. Riwayat asma

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal bersama istri dan 2 orang anaknya. Pasien memiliki 4 orang anak.
Keempat anaknya lahir dalam keadaan normal. Hubungan pasien dengan
keluarga dan tetangga baik.
b. Occupational
Pasien bekerja sebagai wiraswasta, yaitu berdagang makanan dengan gerobak
dorong bersama istri nya di pasar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
c. Personal habit
Pasien jarang melakukan olah raga karena sibuk bekerja. Pasien mempunyai
kebiasaan merokok sejak muda dan berhenti merokok saat sakit.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
: sedang
2. Kesadaran
: compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
3. Vital sign tanggal 12 April 2014
a. Tekanan Darah
: 130/90mmHg
b. Nadi
: 72x/menit
c. RR
: 18x/menit
d. Suhu
: 37,3 oC
Vital sign tanggal 13 April 2014
a. Tekanan Darah

: 130/80mmHg

b. Nadi
c. RR
d. Suhu

: 76x/menit
: 20x/menit
: 36,8 oC

Vital sign tanggal 14 April 2014


a.
b.
c.
d.

Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

: 120/80mmHg
: 72x/menit
: 20x/menit
: 36,3 oC

Vital sign tanggal 15 April 2014


a.
b.
c.
d.

Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

: 130/80mmHg
: 72x/menit
: 20x/menit
: 36,8 oC

Vital sign tanggal 16 April 2014


a.
b.
c.
d.

Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

: 130/80mmHg
: 80x/menit
: 20x/menit
: 37,0 oC

Vital sign tanggal 17 April 2014


a.
b.
c.
d.

Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

: 130/80mmHg
: 76x/menit
: 20x/menit
: 36,3 oC

Vital sign tanggal 18 April 2014


a. Tekanan Darah
b. Nadi
c. RR
d. Suhu
4. Status Generalis

: 130/90mmHg
: 72x/menit
: 18x/menit
: 37,3 oC

a. Kepala
1) Bentuk

: mesochepal, simetris

2) Rambut

: warna hitam, tidak mudah dicabut,


Distribusi merata, tidak rontok

b. Mata
1) Palpebra

: edema (-/-) ptosis (-/-)

2) Konjungtiva

: anemis (+/+)

3) Sclera

: ikterik (-/-)

4) Pupil

: reflek cahaya (+/+),isokor

5) Exopthalmus

: (-/-)

6) Lapang pandang

: tidak dilakukan pemeriksaan

7) Lensa

: keruh (-/-)

8) Gerak mata

: normal

9) Tekanan bola mata : nomal


10) Nistagmus

: (-/-)

c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (+)
f. Leher
1) Trakhea

: deviasi trakhea (-/-)

2) Kelenjar lymphoid

: tidak membesar, nyeri (-)

3) Kelenjar thyroid

: tidak membesar

4) JVP

: Tidak meningkat (5+2 mmHg)

5. Status Lokalis
a.Paru
1) Inspeksi

: bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-),


retraksi (-), jejas (-)

2) Palpasi

: vocal fremitus kanan=kiri


ketinggalan gerak (-)

3) Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru

4) Auskultasi

: Suara dasar vesikuler(+/+)


Wheezing(-), ronkhi basah halus(-), ronkhi basah kasar (-)

b. Jantung
1) Inspeksi

: ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra

2) Palpasi

: ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,


tidak kuat angkat

3) Perkusi

: Batas jantung kanan atas

: SIC II LPSD

Batas jantung kiri atas

: SIC II LPSS

Batas jantung kanan bawah

: SIC IV LPSD

Batas jantung kiri bawah

: SIC V LMCS

4) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)


c.Abdomen
1) Inspeksi

: datar

2) Auskultasi

: bising usus (+) normal

3) Perkusi

: pekak,pekak sisi (-), pekak beralih (-)

4) Palpasi

: hepar sulit teraba, dan lien teraba memanjang sampai di bawah

umbilical, nyeri tekan epigastrik (+)


d. Ekstrimitas
Tabel 1. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan

Edema
Sianosis
Ikterik
Akral dingin
Reflek fisiologis
Bicep/tricep

IV.

Ekstremitas

Ekstremitas

superior
Dextra
Sinistra

inferior
Dextra
Sinistr

a
-

+
D=S

+
D=S

+
D=S

Patela
+
Reflek patologis
Sensoris
D=S
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah lengkap

(dilakukan di RSMS Purwokerto) 12 April 2014


Darah lengkap
Hemoglobin

: 14,7 g/dl

(N)

Normal: 14-18 g/dl

Leukosit

: 9000 uL

(N)

Normal: 4800-10800 uL

Hematokrit

: 45%

(N)

Normal: 42-52%

Eritrosit

: 5,6 10^6/uL (N)

Normal: 4,7-6,1 10^6/uL

Trombosit

: 313.000/uL (N)

Normal: 150000-450000/uL

MCV

: 79,8fL

(N)

Normal: 79-99 fL

MCH

: 26,3 pg

(L)

Normal: 27-31 pg

MCHC

: 32,9 %

(L)

Normal: 33-37%

RDW

: 14,0

(N)

Normal: 11,5-14,5%

MPV

: 9,4

(N)

Normal: 7,2-11,1

Basofil

: 0,3%

(N)

Normal: 0-1%

Eosinofil

: 0,0%

(L)

Normal: 2-4%

Batang

: 0.8%

(L)

Normal: 2-5%

Segmen

: 80,3%

(H)

Normal: 40-70%

Limfosit

: 15,2 %

(L)

Normal: 25-40%

Monosit

: 3,4 %

(N)

Normal: 2-8%

GDS

: 101 mg/dL

(N)

Normal: 200 mg/dL

CKMB

: 14

(N)

Normal: 7-25 U/L

Kalium

: 3,9 mmol/L (N)

HitungJenis

Kimia Klinik

Normal: 3,5-5,2 mmol/L

2. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dilakukan di RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo pada
tanggal 17 April 2014. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Esofagus
: Mukosa scleroderma (+)
Cardia
: erosi
Corpus
: erosi
Angulus
: erosi
Duodenum : erosi
Kesimpulan : Plan gastritis

Gambar 1. Foto Endoskopi Tn. S

V.

DIAGNOSIS KLINIS
GERD (Gastroesofageal Refluks Disease)

VI.

PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
-

IVFD RL 20 tpm

Inj. Cefixim

P.O. Lansoprazol 1x1

P.O. Inspepsa syr

P.O. Simvastatin 0-0-1

P.O. Allopurinol 6,5mg 0-0-1

P.O. ISDN 2x1

b. Non Farmakologi
1. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit Gastroefofageal refluks disease,
pengobatan, dan komplikasinya
2. Modifikasi Gaya Hidup
a. Tidak merokok
b. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c. Tidak minum alcohol
d. Diet rendah lemak
e. Hindari mengangkat barang berat
f. Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g. Jangan makan terlalu kenyang
h. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
c. Monitoring
3. Evaluasi Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal pasien.
4. Evaliasi tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
-

Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan
nadi, dan kondisi patologis.

Pulse rate

Respiratory rate

Suhu

VII. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang
sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk
pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang
bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and
classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence- based consensus),
penyakit

refluks

gastroesofageal

(Gastroesophageal

Reflux

Disease/GERD)

didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome)
di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi
yang berat yang dapat timbul adalah Barrets esophagus, striktur, adenokarsinoma di
kardia dan esofagus (Makmun, 2009).
B. Epidemiologi dan Insidensi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang
baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi
GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara
sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat
yang diwakili Turki

menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia

Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah


10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9%
(2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh
dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari
semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia (Makmun, 2009).

Gambar 2.1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.


GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi minimal setiap
minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani medical check-up.
(Jung, 2011).
C. Etiologi
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan
mukosa esophagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009).
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun,2009).
D. Patogenesis
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
1. Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat
2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3.

Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti
refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala
GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,
antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying (Makmun, 2009).
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil
dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap
GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap
sekresi asam lambung (Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia
dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai
salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di
Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya
hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori.
Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi
H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap
refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid
reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral (Makmun,2009).

Gambar 2.2 Patogenesis terjadinya GERD (Makmun, 2009).

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan
endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi
karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia
bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun,2009).
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala
tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non
kardiak (non

cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma,

bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain (Jung, 2009).


Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal
high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES
(Makmun,2009). Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara
bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara
gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009). Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn
merupakan gejala klasik dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di
Asia. Di dunia Barat, kata heartburn mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak
ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia,
termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan
kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada
mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia,
banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan angin yang merujuk pada
dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak
pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau
dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang dilakukan,
berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui
di Indonesia.

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena


gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,
penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. ShortForm-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak
pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti
penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007).
F. Penegakan Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas,
pemantauan

pH

24

jam,

tes

Bernstein,

manometri

esofagus,

sintigrafi

gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam) (Makmun, 2009).
American
mempublikasikan

College

of

Gastroenterology

Updated Guidelines for

(ACG)

di

the Diagnosis

tahun
and

2005

telah

Treatment

of

Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)
1. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien
masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko
untuk Barrets esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan.
(Level of Evidence : IV)
2. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk

mengidentifikasi dugaan

Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level
of Evidence : III)
3. Pemantauan

ambulatoar

(ambulatory

monitoring)

esofagus

membantu

untuk

konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas
maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk
memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani
terapi. (Level of Evidence : III)

4. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe


ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti
refluks. (Level of Evidence : III)
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association
(AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position
Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12
pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji
diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai
berikut : (Hiltz dkk, 2008)
5. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus
dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang
diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal

tidak

dijumpainya

kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis
eosinofilik.)
6. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus
dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari.
Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau
malignansi.
7. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang
tidak berespon

terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran

endoskopinya normal.
8. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless- pH
dilakukan

(terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien

dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa
PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada
manometri.
G. Penatalaksanaan
1. Merubah gaya hidup dan kebiasaan
Penderita penyakit GERD dianjurkan untuk merubah beberapa kebiasaan yang
berhubungan dengan gejala GERD. Yang sering dianjurkan terutama pada anak besar
dan remaja adalah untuk berhenti merokok, minum alkohol, minum kopi dan
menurunkan berat badan pada obesitas, jangan langsung tidur setelah makan dan
mengurangi porsi makanan. Sedangkan pada bayi dianjurkan pemberian thickening milk,

meninggikan posisi kepala sewaktu tidur dan tidak memakaikan pakaian ketat. Tapi
belum banyak bukti yang mendukung keberhasilan dengan hanya merubah kebiasaan
dan gaya hidup saja, karena biasanya gejala GERD selalu diatasi segera dengan
pemakaian obatobatan juga (Jones, 2011).
2. Obat-obatan
a. Antasida
Tujuan pemberian antasida yang dapat menetralisir asam lambung adalah
untuk mengurangi paparan asam di esofagus, mengurangi gejala nyeri uluhati
dan memperingan esofagitis. Pengalaman pemakaian antasida pada bayi dan anak
belum banyak sehingga tidak direkomendasikan. Pemakaian antasida terbatas hanya
untuk jangka pendek (Jones, 2011).
b. Antagonis reseptor H2
Cara kerja golongan obat ini adalah menekan sekresi asam dengan
menghambat reseptor H2 pada sel parietal lambung. Ranitidin merupakan jenis yang
paling sering digunakan. Obat ini efektif untuk mengurangi gejala esofagitis ringan.
Tetapi efeknya terhadap esofagitis berat belum banyak dilaporkan (Jones, 2011).
c. Prokinetik
Obatobat prokinetik meningkatkan motilitas esofagus dan lambung sehingga
membantu mempercepat waktu pengosongan lambung. Peran prokinetik untuk
mengurangi episode refluks belum terbukti. Untuk mengurangi gejala muntah dan
regurgitasi, golongan prokinetik dapat diandalkan. Jenis obat yang sering dipakai
adalah cisaprid, metoklopramid dan betanekol. Dilaporkan dari berbagai penelitian
bahwa cisaprid relatif aman walaupun kadangkadang memberikan efek samping
berupa diare dan kolik yang bersifat sementara. Efek cisaprid terhadap jantung
(memperpanjang interval QT) juga pernah dilaporkan (Jones, 2011).
d. Proton pump Inhibitor
Golongan obat ini mensupresi produksi asam lambung dengan menghambat
molekul di kelenjar lambung yang bertanggung jawab mensekresi asam lambung,
biasa disebut pompa asam lambung (gastric acid pump). Omeprazol terbukti efektif
pada esofagitis berat yang refrakter terhadap antagonis reseptor H2. Namun demikian
pengalaman pemakaian omeprazol pada bayi dan anak masih belum banyak dilaporkan
(Jones, 2011).

H. Komplikasi
Komplikasi GERD antara lain:
1. Esophagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik
2. Esophagus ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esophagus
5. Aspirasi
I. Prognosis
Prognosis dari GERD pada umumnya baik tergantung dari kondisi pasien, berat
ringannya penyakit yang dialami dan ada tidaknya komplikasi. Kebanyakan pasien
dengan GERD mempunyai respon baik dengan obat-obatan, meskipun kambuh setelah
penghentian terapi medis adalah umum dan menunjukkan kebutuhan untuk terapi jangka
panjang

pemeliharaan.

Mengidentifikasi

subkelompok

pasien

yang

dapat

mengembangkan komplikasi yang paling serius dari GERD dan memperlakukan mereka
agresif adalah penting. Bedah pada tahap awal kemungkinan besar diindikasikan pada
pasien ini. Setelah fundoplication Nissen laparoskopi, gejala menyelesaikan pada sekitar
92% pasien.

BAB IV
KESIMPULAN
Gastroesofageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung
mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri
di dada, regurgitasi, dan komplikasi. Manifestasi klinis GERD meliputi gejala tipikal
(esofagus) dan atipikal (ekstraesofagus). Faktor yang berperan untuk terjadinya GERD yaitu
mekanisme antirefluks, kandungan cairan lambung, mekanisme bersihan oleh esofagus, dan
resistensi sel epitel esofagus. Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat ditegakkan
berdasarkan analisa gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
Komplikasi penyakit GERD diantaranya Esofagus barret, esofagitis ulseratif,
perdarahan, striktur esofagus, dan aspirasi. GERD merupakan penyakit kronik yang
memerlukan pengobatan jangka panjang. Pengobatan yang dapat diberikan pada klien GERD

meliputi modifikasi gaya hidup, terapi obat-obatan seperti Antasida, Antagonis reseptor H2,
Prokinetik, dan Proton pump Inhibitor.

DAFTAR PUSTAKA
Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging Disease in Asia.J
Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23.
Hongo

M, Kinoshita Y, Shimozuma K, Kumagai Y, Sawada M, Nii M.


Psychometric validation of the Japanese translation of the quality of life in reflux
and dyspepsia questionnaire in patients with heartburn. J gastroenterol 2007; 42: 80215.

Jung HK. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia : A systematic review. J


Neurogastroenterol Motil 2011; 17: 14-27
Jones R, Junghard O, Dent J, Vakils N, Halling K, Wernersson B, et al. Development of the
GerdQ, a tool for the diagnosis and management of gastroesophageal reflux disease in
primary care. Aliment Pharmacol Ther 2009;30: 1030-38.
Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.481-95.
Mariana Y. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima, Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 2001. 252-5
Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R; Global Consensus Group. The Montreal
definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a global evidencebased consensus. Am J Gastroenterol 2006;101:1900-1920.

You might also like