You are on page 1of 12

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN

DI JAWA TIMUR MENGHADAPI ERA GLOBAL


Nurul Istifadah, SE.,M.Si
Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRACT
World economic development at global era growing head for the increasing of inter
economic relation openness that marked with existence of various of agreement of
inter-states commerces and also between regional area. International and regional
trade condition that more free and opened of course will growing improve
competition, either on domestic market or in world market. That is, Indonesia must
can exploit opportunity and impact minimization from this openness era together with
some other developings.
In reality, economics Indonesia is predominated by manufacturing industrial sector
with growth the most fast among other sectors. A large part of totalize national
added value of manufacturing industries are by East Java province. Manufacturing
industriy sector in East Java disseminates in some locations (kabupaten/kota) become
cluster of manufacturing industry in some kabapaten/kota. So, to conduct planning
and compile strategy of manufacturing industry development strategy in East Java,
must identify spatial concentration (cluster) and sectoral specialization in its.
The purposes of research are analyze of pattern of sectoral specialization and spatial
concentration (cluster) of manufacturing industries and formulate strategy of the
manufacturing industry in East Java. Researsch analysis is conducted by using
Hirschman Herfindahl index.
The result of research indicates that existed high concentration at some subsector of
manufacturing industries not diversified in flatten to some other subsector of
manufacturing industries. Level of share manufacturing industry in this East Java
especially only predominated by food industry, beverage, and tobacco that share-its
more than 50 percents. And, more or less 25 percents by share paper industry, and
printed matter; fertilizer industry, chemistry and goods rubber based; and elementary
metal industry iron and steel. And, less 25 percents in-share by five the rest
industries others. The result by using IHH indicates that structure of manufacturing
industry dominated by four industry subsectors by totalize share can be 75% by value
IHH above 3. Through spatial approach, the result of research also indicates that
existed some cluster of manufacturing industry in East Java, that is: (1) SurabayaSidoarjo-Gresik trilateral gold area that can contribute more than 50% totalize
manufacturing industry in East Java; (2) kota Kediri can contribute 20%, caused by
Gudang Garam factory, and (3) kota Malang contribute 5%. So, priority of
infrastructure development for manufacturing process and distribution of
manufacturing industry shall given high priority in five kabupaten/kota are referred.
That is, can be concluded that strategy of manufacturing industrial development in
East Java must be done with sectoral and regional/spatial approach.

Keyword :

manufacturing industry, specialization, cluster, Hirchman Herfindahl


index.

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN


DI JAWA TIMUR MENGHADAPI ERA GLOBAL

I.
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi dunia pada era global dewasa ini semakin menuju ke arah
meningkatnya keterbukaan hubungan ekonomi antar-bangsa. Hal ini ditandai dengan
adanya berbagai kesepakatan perdagangan antar-negara maupun antar kawasan
regional, seperti GATT, APEC, dan AFTA, Kondisi perdagangan internasional dan
regional yang lebih bebas dan terbuka ini tentu saja akan semakin meningkatkan
persaingan, baik di pasar domestik maupun di pasar dunia. Bersamaan dengan arus
globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia yang bergerak begitu cepat, Indonesia
harus dapat memanfaatkan peluang dan meminimalkan dampak dari era keterbukaan
tersebut bersama-sama dengan beberapa negara sedang berkembang lainnya.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan salah satu kesepakatan perdagangan
bebas regional antar negara-negara di ASEAN, yang membuat kesepakatan tentang
penurunan tarif/bea masuk perdagangan antar negara ASEAN menjadi 0-5% dalam
kurun waktu 15 tahun sejak 1 Januari 1993 untuk enam anggota ASEAN lama
(ASEAN-6) dan tahun 2018 untuk anggota ASEAN yang lain (Prabowo dan
Wardoyo, 2004: 19). Sasaran AFTA adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi
ASEAN sebagai basis produksi atau production base yang dipersiapkan bagi pasar
dunia. Dengan menghilangkan hambatan tarif inter-regional dan nontarif ini,
diharapkan sektor pengolahan negara-negara di kawasan ASEAN akan menjadi lebih
efisien dan kompetitif. Melalui AFTA diharapkan pangsa perdagangan intra ASEAN
maupun dengan negara mitra dagang di luar ASEAN akan meningkat.
Menurut Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang daya saing global,
Indonesia berada pada posisi ke-74 tahun 2005. Hal ini menurun dari posisi ke-69
tahun 2004 (dari 117 negara yang diteliti). Indonesia tergolong sebagai negara
dengan daya saing global yang buruk karena lembaga publiknya tidak transparan dan
tidak efisien, sedangkan Singapura dan Taiwan menurut penelitian Global
Competitiveness Report merupakan dua negara yang memiliki peringkat tinggi dalam
daya saing global karena memiliki pengelolaan lembaga publik dan swasta yang baik
sehingga berhasil mengangkat status sosial ekonomi warga negaranya.
Bila dilihat dari perkembangan ekonomi beberapa tahun terakhir, perekonomian
Indonesia didominasi oleh sektor industri pengolahan dengan perkembangan yang
paling pesat di antara sektor-sektor lainnya. Seperti terlihat pada Tabel 1 di bawah ini,
bahwa pada tahun 2006 peranan industri pengolahan berkisar antara 28% dari PDB
(Produk Domestik bruto) nasional. Besaran ini jauh meninggalkan peran kontribusi
sektor perdagangan, hotel & restoran yang hanya pada kisaran 16% sebagai sektor
yang memberi sumbangan nilai tambah terbesar kedua dalam PDB nasional.
Perkembangan yang pesat di sektor industri pengolahan ini erat kaitannya dengan
proses industrialisasi sebagai grand design pembangunan ekonomi di Indonesia.

Sehingga upaya-upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan sektor industri


pengolahan akan berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian Indonesia secara
keseluruhan. Lebih lanjut, pertumbuhan industri pengolahan yang berkelanjutan akan
dapat tercapai apabila memiliki daya saing yang tinggi, baik di tingkat dometik,
regional, maupun internasional dan mampu menghasilkan output secara efisien.
Efisiensi dalam produksi dapat dicapai jika sumber daya yang tersedia dapat
dialokasikan secara efektif.
Tabel 1
Distribusi PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor

Tahun 2002-2007
No

Sektor

1
2
3
4
5
6
7
8
9

2004

2005

2006

2007*

2008**

Pertanian, Peternk, Kehutn&Perikn


Pertambangan & Galian

14.34

13.13

8.94

11.14

Industri Pengolahan
Listrik & Gas & Air Bersih
Bangunan

28.07
1.03

12.97

13.71

14.40

0.1

10.98

11.17

10.97

4.2

27.41
0.96

27.54
0.91

27.06
0.88

27.87
0.82

-0.1
-4.4

6.59

7.03

7.52

7.73

8.46

5.1

Perdagangan, Restoran&Hotel
Pengangkutan & Komunikasi
Keuangn, Real Estate & Jasa Persh

16.05
6.20

15.56
6.51

15.02
6.93

14.92
6.69

13.97
6.31

-2.7
0.3

8.47

8.31

8.06

7.73

7.43

-2.6

Jasa-Jasa

10.32

9.96

10.07

10.11

9.77

-1.1

100.00

100.00

100.00

100.00

100.00

0.0

89.35

-0.3

Total PDB
Total PDB tanpa migas

90.73
Sumber : www.bps.go.id, diakses tgl 8 des 2009, diolah
Keterangan: * angka sementara
** angka sangat sementara

88.61

88.85

89.45

Pertumb rata-2

Sementara itu, dengan heterogenitas antar daerah yang besar dalam hal kekayaan alam
serta faktor produksi lainnya, menyebabkan dimensi daerah menjadi sangat penting
dalam merumuskan strategi pengembangan industri pengolahan yang berkelanjutan,
terutama berkaitan dengan aspek lokasi tiap jenis industri. Bila dikaitkan dengan
masalah efisiensi, lokasi, dan peningkatan produksi, maka perhatian terhadap dimensi
daerah akan terarah ke masalah keuntungan komparatif (comparative advantage) dan
keuntungan kompetitif (competitive advantage) tiap daerah bagi suatu jenis industri
pengolahan tertentu.
Secara empiris, survei di banyak negara menunjukkan bahwa proses industrialisasi
secara geografis merupakan proses yang selektif (Hayter, 1997; Kuncoro, 2002 : 56).
Di beberapa negara, mayoritas sektor industri pengolahan terkonsentrasi secara
spasial (spatial clustering) pada suatu lokasi. Konsentrasi industri (industrial
clustering) sangat dipengaruhi oleh faktor minimisasi biaya, pendekatan pasar,
maksimalisasi laba, dan proses aglomerasi. Artinya, perkembangan industri yang
cepat secara sektoral, ternyata tidak terjadi secara merata di semua daerah, tidak
terkecuali di wilayah provinsi Jawa Timur.
Di Jawa Timur, berdasar dimensi spasial dan keuntungan komparatifnya, sektor
industri pengolahan menyebar di beberapa lokasi kabupaten/kota. Namun demikian,
2

di beberapa daerah kabupaten/kota juga tumbuh beberapa kantong-kantong (cluster)


industri manufaktur. Sehingga untuk melakukan perencanaan pengembangan industri
manufaktur di Jawa Timur, perlu terlebih dulu mengidentifikasi lokasi pemusatan
(cluster) industri pengolahan, baik dengan pendekatan sektoral maupun spasial.
Lokasi konsentrasi industri pengolahan di Jawa Timur secara spasial diakibatkan oleh
proses aglomerasi. Aglomerasi mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku
ekonomi yang sama, apakah antar perusahaan dalam industri yang sama, antar
perusahaan dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan
rumah tangga.
Montgomery (1988) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dan
aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang
berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan cluster spasial dari
perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Sedangkan, Markusen (1996)
mengemukakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang tidak mudah berubah
akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang
letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa; dan bukan akibat
kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual.
Sektor industri pengolahan sebagai sektor yang mendominasi dan memiliki
pertumbuhan tinggi dalam perekonomian Jawa Timur, memiliki keterkaitan yang erat
dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian. Sektor industri pengolahan
memiliki keterkaitan hulu dan hilir terhadap sektor dan subsektor ekonomi lainnya.
Input di sektor industri pengolahan dapat berasal dari output sektor industri
pengolahan sendiri dan sektor-sektor lainnya, sebaliknya output di sektor industri
pengolahan sebagian digunakan sebagai input di sektor lainnya disamping yang
langsung dikonsumsi oleh masyarakat.
Perkembangan yang pesat di sektor industri pengolahan membawa dampak positif dan
negatif. Dampak positif, antara lain perannya terhadap besarnya nilai tambah dan
penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2003, industri pengolahan di Jawa Timur
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2,103,907 orang atau 12,15% (Susenas.
2003). Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki kemampuan
terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja setelah sektor pertanian dan
perdagangan, hotel & restoran.
Latar belakang di atas menunjukkan betapa pentingnya kemampuan pemerintah
daerah Jawa Timur dalam mengantisipasi dampak perubahan ekonomi, baik lokal
maupun global yang sangat berfluktuatif melalui upaya peningkatan daya saing
industri manufaktur dengan pendekatan sektoral maupun spasial. Dengan demikian,
langkah strategis perlu dilakukan untuk mengembangkan comparative dan
competitive advantage industri manufaktur. Dengan pemahaman yang akurat dan
lengkap terhadap identifikasi lokasi, potensi, kelemahan, dan variabel-variabel lain
yang mempengaruhi industri pengolahan di Jawa Timur, maka dapat diformulasikan
suatu kebijakan yang komprehensif dan berkesinambungan sehingga mampu
memaksimalkan potensi dan meminimalkan faktor ketidakpastian investasi di sektor
industri pengolahan di Jawa Timur.
3

Pokok permasalahan dalam paper penelitian ini difokuskan pada sektor industri
pengolahan di Jawa Timur dengan menganalisis pola konsentrasi sektoral dan spasialnya (cluster), mem-forecast prospeknya, serta merumuskan strategi peningkatan
pengembangan industri pengolahan di Jawa Timur.
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pola spesialisasi sektoral dan
konsentrasi spasial (cluster) industri pengolahan di Jawa Timur. Hal ini dilakukan
sebagai dasar untuk merumuskan strategi percepatan pengembangan industri
pengolahan di Jawa Timur. Penelitian difokuskan pada sembilan subsektor industri
pengolahan di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan pada
periode setelah tahun 2002. Hal ini disebabkan karena tahun 2002 diasumsikan
merupakan awal stabilitas proses pemulihan ekonomi akibat krisis moneter 1998.
Penelitian dilakukan dengan membuat mapping pola spesialisasi sektoral berdasar
indikator nilai tambah serta pola konsentrasi spasial (cluster) industri pengolahan
berdasarkan lokasi, yaitu antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Tehnik analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan indeks
diversifikasi Hirschman Herfindahl (IHH). Rumus IHH tersebut adalah:
n

IHH = ( X i ) 2
i= j

dimana :
n = jumlah seluruh subsektor industri pengolahan dua digit (9 subsektor)
Xi = pangsa (share) sektor ke i ; (i= 1,2,3, 9) dalam persen
Kriteria pengukuran dengan menggunakan indeks spesialisasi IHH tidak secara
eksplisit menunjukkan besarnya ukuran spesialisasi tertentu. Namun demikian,
semakin besar nilai IHH menunjukkan kondisi yang semakin terspesialisasi atau
kurang terdiversifikasi, demikian sebaliknya.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Kondisi dan Gambaran Industri Pengolahan di Jawa Timur
Berdasarkan susunan dalam PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Jawa Timur,
sektor industri pengolahan dikelompokkan ke dalam sembilan subsektor industri
pengolahan (lihat Tabel 2). Industri pengolahan juga dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok besar, yaitu industri dasar, kelompok aneka industri hilir, industri
rumah tangga. Selain itu, industri pengolahan juga dapat dikelompokkan berdasar
kode ISIC atau KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia). Berdasar kode ISIC
dua digit, sektor industri pengolahan dibagi menjadi 23 kelompok.
Dari Tabel 2 dan 3 pada halaman berikut ini, terlihat bahwa sektor industri
pengolahan di Jawa Timur didominasi oleh subsektor makanan, minuman dan
tembakau (mamin dan tembakau). Sub-sektor ini terbukti tahan menghadapi krisis
dan mampu menghasilkan nilai tambah yang meningkat dengan stabil. Sub-sektor ini
mempunyai peran lebih dari 50% terhadap pembentukan nilai tambah industri

pengolahan di Jawa Timur. Bahkan, selama periode tahun 2002-2007 nilai tambah
industri mamin dan tembakau ini meningkat hampir dua kali lipat.
Tabel 2
Sektor Industri Pengolahan Atas dasar Harga Berlaku Menurut Subsektor Usaha
di Jawa Timur, Tahun 2002 - 2007 (Juta Rp)
Sekor/Subsektor
Makanan, Minuman dan Tembakau

Pertumb
rata-2

2002

2003

2004

2005

2006

2007

43,851,935.94

49,227,088.62

54,776,590.95

67,334,775.91

76,604,205.58

84,532,307.89

11.56

Tekstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki

3,498,143.65

3,744,468.53

4,182,693.81

4,760,221.49

5,314,988.83

5,849,812.55

8.95

Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya

3,179,274.71

3,628,408.43

3,912,915.10

4,539,711.58

5,129,757.38

5,603,223.55

9.91

Kertas dan Barang Cetakan

8,366,399.53

9,824,440.94

12,591,588.71

14,402,992.74

16,140,988.21

18,719,995.40

14.37

Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet

6,228,076.98

6,750,321.70

7,802,521.26

9,160,971.61

10,632,346.22

11,994,276.66

11.54

Semen dan Barang Galian bukan logam

2,579,598.81

2,967,281.53

3,351,178.71

3,865,205.21

4,608,708.66

5,013,858.31

11.71

Logam Dasar Besi dan Baja

5,933,681.42

7,078,668.07

8,116,296.87

9,171,238.90

10,495,316.57

11,824,840.79

12.18

Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya

1,430,653.12

1,685,370.32

1,993,979.76

2,501,806.89

2,868,925.90

3,776,914.14

17.56

Barang lainnya

3,223,668.28

3,788,777.21

4,267,254.27

5,227,290.69

5,920,500.72

6,499,848.67

12.40

78,291,432.44

88,694,825.35

100,995,019.44

120,964,215.02

137,715,738.07

153,815,077.96

11.91

Industri Pengolahaan

Sumber: BPS, Susenas Jawa Timur.


Tabel 3
Distribusi Sektor Industri Pengolahan Atas dasar Harga Berlaku
Menurut Subsektor Usaha di Jawa Timur, Tahun 2002 - 2007 (%)
Sekor/Subsektor

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Pertumb rata-2

Makanan, Minuman dan Tembakau

56.01

55.50

54.24

55.67

55.62

54.96

-0.32

Tekstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki

4.47

4.22

4.14

3.94

3.86

3.80

-2.65

Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya

4.06

4.09

3.87

3.75

3.72

3.64

-1.79

10.69

11.08

12.47

11.91

11.72

12.17

2.19

7.95

7.61

7.73

7.57

7.72

7.80

-0.33

Kertas dan Barang Cetakan


Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet
Semen dan Barang Galian bukan logam

3.29

3.35

3.32

3.20

3.35

3.26

-0.18

Logam Dasar Besi dan Baja

7.58

7.98

8.04

7.58

7.62

7.69

0.24

Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya

1.83

1.90

1.97

2.07

2.08

2.46

5.05

Barang lainnya

4.12

4.27

4.23

4.32

4.30

4.23

0.43

100.00

100.00

100.00

100.00

100.00

100.00

Industri Pengolahaan

Sumber: BPS, Susenas Jawa Timur.


Dalam Tabel 3 di atas, sub-sektor industri pengolahan yang memberi kontribusi nilai
tambah terbesar kedua adalah industri kertas dan barang cetakan. Industri ini
memberi kontribusi lebih dari 10% terhadap industri pengolahan. Industri ini
mempunyai pertumbuhan rata-rata sebesar 14,37% sepanjang periode tahu 20022007. Sedangkan, sub-sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet serta
industri logam dasar besi dan baja memiliki peran yang lebih kecil terhadap total
industri pengolahan di Jawa Timur, yaitu 8%. Sedangkan sub-sektor lainnya di luar
yang telah disebutkan di atas mempunyai peran yang sangat kecil, yaitu di bawah 5%.
Secara kronologis kebijakan industri nasional diawali dengan import substitution
policy (kebijakan substitusi impor). Kebijakan substitusi impor ini dilakukan dengan

cara revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri, dan mempersiapkan industri


andalan di masa depan, serta pengembangan kompetensi inti masing-masing daerah.
Tabel 4
Nilai Tambah Industri Pengolahan Menurut Kabupaten/Kota Di Jawa Timur
Tahun 2002-2007 (Juta Rp)

Kabupaten/Kota
Kabupaten:
Pacitan

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Pertumb rata-2

Ponorogo

Trenggalek

Tulungagung

Blitar

128,635.23

135,501.03

150,773.17

181,677.68

205,812.09

228,730.77

10.07

Kediri

1,002,310.55

1,148,539.56

1,442,798.51

1,638,923.58

4,479,566.98

2,210,393.09

14.09

Malang

2,175,445.31

2,442,717.84

2,883,283.61

3,475,173.68

4,141,025.85

4,845,327.60

14.28

Lumajang

820,795.70

902,831.16

991,434.30

1,212,698.03

1,333,157.11

1,463,952.49

10.12

48,922.93

56,594.10

63,127.27

77,044.10

87,589.67

100,202.11

12.69

234,984.92

276,021.86

329,073.56

411,325.89

477,774.33

545,485.76

15.07

152,003.92

165,772.58

187,843.48

218,522.09

254,007.22

285,343.46

11.07

1,147,246.83

1,271,976.19

1,453,101.60

1,721,290.93

1,959,201.47

2,199,791.99

11.46

Jember

705,497.38

784,421.03

898,625.06

1,079,420.75

1,204,134.42

1,363,200.35

11.60

10

Banyuwangi

544,928.77

586,958.87

639,377.73

774,038.88

871,255.90

966,857.83

10.03

11

Bondowoso

150,409.86

178,456.33

205,662.22

259,450.96

304,691.95

361,372.19

15.73

12

Situbondo

333,315.98

348,208.50

377,219.52

465,120.65

534,430.23

585,995.27

9.86

13

Probolinggo

765,034.02

867,559.74

1,003,448.81

1,201,550.32

1,343,352.53

1,503,679.30

11.92

14

Pasuruan

1,707,524.89

1,908,045.81

2,243,436.25

2,785,175.36

3,257,743.91

3,794,697.06

14.24

15

Sidoarjo

12,913,977.32

14,428,117.30

16,938,161.53

19,755,076.41

21,708,834.31

24,137,470.87

10.99

16

Mojokerto

1,904,828.57

2,186,545.48

2,553,559.10

3,028,053.37

3,341,535.67

3,702,650.12

11.71

17

Jombang

649,165.30

763,706.04

854,092.09

1,044,785.81

1,186,845.42

1,325,963.75

12.64

18

Nganjuk

375,352.36

402,223.80

444,061.58

536,390.31

598,788.26

662,058.97

9.92

19

Madiun

83,046.29

97,244.64

112,092.91

144,627.47

167,350.25

173,850.32

13.10

20

Magetan

211,080.12

237,539.28

274,243.05

346,941.52

397,819.90

444,754.51

13.23

21

Ngawi

179,374.21

204,472.89

222,284.83

272,077.06

301,120.69

328,438.68

10.61

22

Bojonegoro

23

Tuban

24

Lamongan

25

Gresik

26
27

328,272.99

377,131.37

430,111.65

504,150.84

547,711.39

613,179.87

10.98

1,063,910.56

1,249,084.69

1,460,493.97

1,766,435.58

2,126,375.77

2,414,222.30

14.63

214,216.35

234,515.30

264,089.85

304,671.82

362,101.79

401,056.99

11.02

6,301,632.11

7,075,590.54

7,875,392.51

9,508,767.01

11,047,602.04

12,728,808.15

12.43

Bangkalan

126,032.51

147,333.14

165,852.05

204,531.22

229,862.26

251,106.71

12.17

Sampang

22,520.18

25,552.38

28,506.36

33,143.74

37,803.71

40,203.47

10.14

28

Pamekasan

22,046.91

25,004.67

27,350.01

33,181.27

36,950.52

40,196.39

10.53

29

Sumenep

137,426.05

154,347.73

162,774.71

187,815.40

203,194.69

215,862.48

7.82

Kota:
Kediri

16,069,184.48

18,923,536.29

21,508,052.50

25,675,777.67

29,382,280.88

31,904,029.83

12.11

Blitar

80,651.75

86,617.62

93,943.76

114,418.05

129,881.49

141,840.79

9.87

Malang

4,192,043.33

4,538,420.69

5,049,997.89

6,202,159.97

6,999,977.47

7,852,047.96

11.03

Probolinggo

332,019.92

334,781.85

387,585.22

433,411.78

503,879.28

560,937.02

9.13

Pasuruan

151,482.16

174,937.18

199,990.64

243,866.25

290,092.86

342,933.50

14.59

Mojokerto

193,813.64

204,325.71

231,670.57

262,644.18

300,058.24

329,078.88

9.22

Madiun

218,708.05

252,018.22

294,300.55

362,852.06

417,335.15

505,740.46

14.99

22,522,778.09

25,400,841.74

28,445,056.15

34,377,552.65

39,385,163.49

44,014,942.35

11.81

95,559.78

97,502.54

106,562.88

130,743.48

151,859.11

168,468.95

9.91

Surabaya

Batu

Jawa Timur

78,306,179.32

88,694,995.69

100,999,431.45

120,975,487.82

140,308,168.30

153,754,872.59

Sumber: BPS, Susenas Jawa Timur.

Kebijakan di bidang industri kemudian dilanjutkan dengan mengupayakan agar


industri mampu mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, agar selain dapat
menghasilkan produk konsumsi dan substitusi impor, juga mampu memberikan
keterkaitan yang besar terhadap industri-industri lainnya (backward and forward
linkage). Dasar kebijakan industri nasional ini tentu saja menjadi blue print bagi
kebijakan pengembangan industri di daerah, tidak terkecuali di Jawa Timur.
Berdasarkan pendekatan nilai tambah di tingkat kabupaten/kota, terlihat bahwa
kontribusi industri pengolahan di Jawa Timur hanya berasal dari beberapa
kabupaten/kota saja. Seperti terlihat pada Tabel 4, bahwa segitiga emas SurabayaSidoarjo-Gresik memberikan kontribusi di atas 50% (52%), kota Kediri 20%, dan
kota Malang 5%. Kota Kediri mampu memberi kontribusi besar terhadap
pembentukan nilai tambah industri pengolahan di Jawa Timur, karena terdapat pabrik
rokok Gudang Garam yang merupakan pabrik rokok berskala nasional bahkan
internasional.
III.2 Pola Spesialisasi Sektoral Industri Manufaktur di Jawa Timur
Hasil penelitian dengan menggunakan Indeks konsentrasi Hirschman Herfindahl
menunjukkan nilai yang cukup tinggi, yaitu di atas nilai 0,3 (lihat Tabel 5). Menurut
pendapat Lipzinsky (2001:111), nilai IHH ini relatif cukup tinggi, walaupun literatur
lain tidak mengatakan batas tinggi dan rendah. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3
di atas, bahwa perekonomian Jawa Timur mengindikasikan adanya konsentrasi yang
cukup tinggi pada beberapa subsektor industri pengolahan saja dan tidak
terdiversifikasi secara merata ke beberapa subsektor industri pengolahan lainnya.
Besarnya share industri pengolahan di Jawa Timur ini terutama hanya didominasi
oleh industri makanan, minuman, dan tembakau yang share-nya lebih dari 50%. Dan,
kurang lebih 25% dikontribusi oleh share industri kertas, dan barang cetakan; industri
pupuk, kimia dan barang dari karet; serta industri logam dasar besi dan baja.
Selebihnya (kurang lebih 25%) di-share oleh lima industri sisanya.
Dari hasil perhitungan IHH tersebut, struktur industri pengolahan terkonsentrasi
pada empat subsektor industri saja dengan total share hampir 75%. Tingkat
konsentrasi industri pengolahan di Jawa Timur menunjukkan kecenderungan tingkat
konsentrasi yang tinggi atau kurang terdiversifikasi ke beberapa subsektor industri
pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa share industri pengolahan tidak merata ke
beberapa subsektor industri pengolahan.
Tabel 5
Indeks Hirschman Herfindahl (IHH) Industri Pengolahan Jawa Timur
Tahun 2002 - 2007
Tahun
IHH
Number Equivalent
2002
0.3440
2.9
2003
0.3392
2.9
2004
0.3286
3.0
2005
0.3418
2.9
2006
0.3412
2.9
7

11.90

2007

0.3351

3.0

Gambar 1
Indeks Hirschman Herfindahl (IHH) Industri Pengolahan Jawa Timur
Antar Sub-sektor, Tahun 2002 - 2007

Dari Tabel 5 tersebut, hasil perhitungan number ekuivalent relatif stabil dengan nilai
3. Nilai ekuivalen menunjukkan jumlah industri yang akan sustain dalam periode
jangka panjang pada tingkat IHH tertentu. Nilai ekuivalen diperoleh dari 1/IHH
(Lipzinsky, 2001:111). Sehingga semakin kecil IHH, semakin besar nilai ekuivalen,
demikian sebaliknya Hasil perhitungan pada Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa
jumlah sub-sektor industri pengolahan di Jawa Timur yang akan sustain pada periode
tahun 2002-2007 adalah 3 sub-sektor industri pengolahan.
III.3 Pola Konsentrasi Spasial (Cluster) Industri Manufaktur di Jawa Timur
Dari hasil perhitungan distribusi peranan kabupaten/kota di Jawa Timur terhadap
pembentukan nilai tambah industri pengolahan, maka hanya lima kabupaten/kota saja
yang memberikan share hampir 75%. Dengan demikian, tingkat konsentrasi industri
pengolahan di Jawa Timur berdasar indikator peranan daerah kabupaten/kota
menunjukkan kecenderungan tingkat konsentrasi yang tinggi atau kurang
terdiversifikasi ke beberapa kabupaten/kota. Dengan kata lain, share industri
pengolahan tidak merata ke beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur.

Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Tabel 6
Indeks Hirschman Herfindahl Sektor Industri Manufaktur
Antar Kabupaten/Kota di Jawa Timur, Tahun 2002-2007
Antar Kab
Antar Kota
Antar Kab/Kota
Number
IHH
Number
IHH
Number
IHH
Equivalent
Equivalent
Equivalent
0.1890
5.3
0.4073
2.5
0.1643
6.1
0.1878
5.3
0.4095
2.4
0.1659
6.0
0.1904
5.3
0.4091
2.4
0.1645
6.1
0.1859
5.4
0.4089
2.4
0.1644
6.1
0.1701
5.9
0.4096
2.4
0.1592
6.3
0.1783
5.6
0.4097
2.4
0.1625
6.2

Dengan menggunakan perhitungan indeks IHH menunjukkan bahwa secara relatif


terdapat perbedaan hasil yang cukup signifikan antara hasil perhitungan di seluruh
kabupaten/kota, antar kabupaten, dan antar kota. Nilai IHH yang sangat tinggi
dihasilkan oleh data antar kota, dengan nilai di atas 0,4. Hal ini mengindikasikan
8

adanya konsentrasi industri pengolahan yang hanya di sebagian kecil kota di Jawa
Timur. Dari data pada Tabel 6 dan Gambar 2, dapat dianalisis bahwa kota-kota yang
merupakan penopang terbesar industri pengolahan di 9 kota di Jawa Timur, adalah:
kota Surabaya, Kediri, dan Malang. Kota Surabaya memberi share 65%, kota Kediri
hanya 32,5% dan kota Malang adalah sisanya, 2,5%.
Gambar 2
Indeks Hirschman Herfindahl Sektor Industri Manufaktur
Di Jawa Timur, Tahun 2002-2007

III.4 Strategi Percepatan Perkembangan Industri Manufaktur di Jawa Timur


Untuk menyusun strategi agar industri pengolahan dapat meningkatkan pertumbuhan,
kemandirian, dan daya saingnya, maka diperlukan pemahaman yang lengkap dan
akurat terhadap potensi daya saing yang dimiliki. Pemerintah harus menyusun
strategi yang berkelanjutan sehingga mampu mencapai optimalisasi pengembangan
industri pengolahan di Jawa Timur. Perencanaan secara komprehensif perlu
dilakukan melalui proses-proses: identifikasi, analisis, dan pengambilan kebijakan
yang didasarkan pada potensi dan permasalahannya, baik melalui potensi nilai
tambah, penyerapan tenaga kerja, serta keuntungan karena kedekatan lokasi karena
proses aglomerasi.
Secara umum terdapat empat sub-sektor industri pengolahan unggulan yang mampu
mempercepat pertumbuhan industri pengolahan di Jawa Timur, yaitu (1) sub-sektor
industri makanan, minuman dan tembakau; (2) subsektor kertas dan barang dari
kertas; (3) sub-sektor pupuk, kimia, dan barang dari karet; dan (4) sub-sektor logam
dasar besi dan baja. Hasil analisis keempat sub-sektor tersebut menunjukkan bahwa
keempat industri tersebut merupakan industri prioritas yang mempunyai daya
akselerasi tinggi berdasar indikator nilai tambah.
Namun demikian, untuk
mengembangkan asas pemerataan sektoral, maka diperlukan pula perhatian pada subsektor industri pengolahan lain yang memberi peran kecil terhadap industri
pengolahan di Jawa Timur. Perlu penelitian yang lebih mendalam untuk
mengidentifikasi potensi dan permasalahan industri-industri yang belum berkembang
tersebut.
Dengan kemampuan anggaran pemerintah daerah yang terbatas, maka prioritas
anggaran perencanaan pengembangan industri pengolahan di Jawa Timur hendaknya
diprioritaskan pada keempat sub-sektor tersebut tanpa mengesampingkan
pengembangan di sub-sektor lainnya. Kebijakan pengembangan industri hendaknya
diarahkan untuk meningkatkan output dan mendorong perbaikan distribusi yang
semakin baik pada keempat sub-sektor industri tersebut.
9

Dengan melalui pendekatan spasial, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat


beberapa kantong industri pengolahan di Jawa Timur, yaitu: (1) segitigaemas
Surabaya-Sidoarjo-Gresik yang mampu memasok lebih dari 50% total industri
pengolahan di Jawa Timur; (2) kota Kediri mampu menyokong 20%, karena adanya
pabrik Gudang Garam, dan (3) kota Malang yang menyumbang peran sebesar 5%.
Dengan fakta tersebut, maka prioritas pembangunan infrastruktur yang menopang
proses produksi dan distribusi industri pengolahan hendaknya diprioritaskan di lima
kab/kota tersebut. Namun demikian, untuk mengurangi dampak ketidak-merataan
lokasi industri pengolahan di Jawa Timur, perlu dipikirkan juga pengembangan
industri pengolahan di luar lima kab/kota tersebut, misalnya: melalui berbagai
kemudahan administrasi, penyediaan lokasi usaha dan pengembangan infrastruktur.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi pengembangan industri
pengolahan di Jawa Timur harus dilakukan dengan pendekatan sektoral dan
regional/spasial. Sehingga, dimensi penyelesainnya menjadi lebih komprehensif dan
lengkap. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan
yang tinggi tanpa mengabaikan pemerataan secara tepat sasaran.
IV.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Disamping perlunya percepatan pembangunan industri dari sisi sektoral, perlu juga
adanya kebijakan industri yang bersifat spasial/regional, misalnya kebijakan untuk
meningkatkan kemandirian dan pemerataan dengan memberi kesempatan kepada
daerah untuk mengatur dan mengelola seluruh potensi sumberdaya-nya agar tercipta
efisiensi dan efektivitas produksi. Dengan demikian perlu mengembangkan industri
pionir di daerah yang berbasis pada potensi sumber daya lokal, diantaranya sumber
daya alam yang menjadi potensi khas masing-masing daerah. Disamping itu,
diperlukan pemahaman yang lengkap dan akurat terhadap potensi daya saing yang
dimiliki untuk meningkatkan pertumbuhan, kemandirian, dan daya saing industri
pengolahan di Jawa Timur.
Pemerintah harus menyusun strategi yang berkelanjutan sehingga mampu mencapai
optimalisasi pengembangan industri pengolahan di Jawa Timur, melalui pendekatan
secara komprehensif, baik melalui potensi nilai tambah, penyerapan tenaga kerja,
serta keuntungan karena kedekatan lokasi karena proses aglomerasi. Dengan
demikian, perlu adanya suatu pendekatan yang holistik dari dimensi spasial dan
sektoral dalam memformulasikan strategi kebijakan industri pengolahan di Indonesia.

V.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Harvey and Taylor, Jim, 2001, Regional Economics And Policy, Third
Edition, Blackwell Publishers, United Kingdom.
Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah, BPFE, Yogyakarta.
Aziz, Iwan Jaya, 1994, Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Aplikasinya Di
Indonesia, LPFE-UI, Jakarta.
Baldwin, Richard E, and Martin Philippe, 2001, Agglomeration And Regional
Growth.
10

Edwin S Mills, 1998, Handbook of Regional and Urban Economic, volume II, Nort
Holland, Amsterdam Arthur
Fujita, M, Krugman, P, and Venables, A.J, 1999, The Spatial Economy, Cities,
Regions, and International Trade, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts,
London, England.
Fujita, M, and Thisse, J.F., 2001, Economics of Agglomeration, Cities, Industrial
Location, And Regional Growth, Cambridge University Press.
Gatfield, Terry and Yang, Cathy, New Industrial Space Theory A Case Study And
Empirical Analysis of Factors Effecting Newly Emerging Key Industries in
Queensland, Australasian Journal of Regional Studies, Vol. 12, No. 1, 2006
Glasson, John, 1977, Pengantar Perencanaan Regional, terjemahan, LPFE-UI,
Jakarta.
Jhingan, 1996, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2002, Analisis Spasial dan Regional, Studi Aglomerasi dan
Kluster Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Leyshon, A, Lew, Roger, and Williams, C, 2003, Alternative Economic Spaces, Sage
Publications
Lipczynski, John and Wilson, John, 2001, Industrial Organization, An Analysis of
Competitive Markets, Prentice Hall.
Morgan, Theodore, 1975, Economic Development : Concept and Strategy, Harper &
Ror Publishers, New York.
Prabowo, Dibyo dan Wardoyo, Sonia, 2004, AFTA Suatu Pengantar, BPFE,
Yogyakarta.
Richardson, W. Harry, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional, terjemahan,
LPFE-UI, Jakarta.
Sukirno, Sadono, 1985, Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah,
LPFE-UI, Jakarta.
Tarigan, Robinson, 2005, Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Bumi Aksara,
Jakarta
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1986, Perencanaan Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta.

11

You might also like