Professional Documents
Culture Documents
Strategi Pengembangan Industri Pengolahan PDF
Strategi Pengembangan Industri Pengolahan PDF
ABSTRACT
World economic development at global era growing head for the increasing of inter
economic relation openness that marked with existence of various of agreement of
inter-states commerces and also between regional area. International and regional
trade condition that more free and opened of course will growing improve
competition, either on domestic market or in world market. That is, Indonesia must
can exploit opportunity and impact minimization from this openness era together with
some other developings.
In reality, economics Indonesia is predominated by manufacturing industrial sector
with growth the most fast among other sectors. A large part of totalize national
added value of manufacturing industries are by East Java province. Manufacturing
industriy sector in East Java disseminates in some locations (kabupaten/kota) become
cluster of manufacturing industry in some kabapaten/kota. So, to conduct planning
and compile strategy of manufacturing industry development strategy in East Java,
must identify spatial concentration (cluster) and sectoral specialization in its.
The purposes of research are analyze of pattern of sectoral specialization and spatial
concentration (cluster) of manufacturing industries and formulate strategy of the
manufacturing industry in East Java. Researsch analysis is conducted by using
Hirschman Herfindahl index.
The result of research indicates that existed high concentration at some subsector of
manufacturing industries not diversified in flatten to some other subsector of
manufacturing industries. Level of share manufacturing industry in this East Java
especially only predominated by food industry, beverage, and tobacco that share-its
more than 50 percents. And, more or less 25 percents by share paper industry, and
printed matter; fertilizer industry, chemistry and goods rubber based; and elementary
metal industry iron and steel. And, less 25 percents in-share by five the rest
industries others. The result by using IHH indicates that structure of manufacturing
industry dominated by four industry subsectors by totalize share can be 75% by value
IHH above 3. Through spatial approach, the result of research also indicates that
existed some cluster of manufacturing industry in East Java, that is: (1) SurabayaSidoarjo-Gresik trilateral gold area that can contribute more than 50% totalize
manufacturing industry in East Java; (2) kota Kediri can contribute 20%, caused by
Gudang Garam factory, and (3) kota Malang contribute 5%. So, priority of
infrastructure development for manufacturing process and distribution of
manufacturing industry shall given high priority in five kabupaten/kota are referred.
That is, can be concluded that strategy of manufacturing industrial development in
East Java must be done with sectoral and regional/spatial approach.
Keyword :
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi dunia pada era global dewasa ini semakin menuju ke arah
meningkatnya keterbukaan hubungan ekonomi antar-bangsa. Hal ini ditandai dengan
adanya berbagai kesepakatan perdagangan antar-negara maupun antar kawasan
regional, seperti GATT, APEC, dan AFTA, Kondisi perdagangan internasional dan
regional yang lebih bebas dan terbuka ini tentu saja akan semakin meningkatkan
persaingan, baik di pasar domestik maupun di pasar dunia. Bersamaan dengan arus
globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia yang bergerak begitu cepat, Indonesia
harus dapat memanfaatkan peluang dan meminimalkan dampak dari era keterbukaan
tersebut bersama-sama dengan beberapa negara sedang berkembang lainnya.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan salah satu kesepakatan perdagangan
bebas regional antar negara-negara di ASEAN, yang membuat kesepakatan tentang
penurunan tarif/bea masuk perdagangan antar negara ASEAN menjadi 0-5% dalam
kurun waktu 15 tahun sejak 1 Januari 1993 untuk enam anggota ASEAN lama
(ASEAN-6) dan tahun 2018 untuk anggota ASEAN yang lain (Prabowo dan
Wardoyo, 2004: 19). Sasaran AFTA adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi
ASEAN sebagai basis produksi atau production base yang dipersiapkan bagi pasar
dunia. Dengan menghilangkan hambatan tarif inter-regional dan nontarif ini,
diharapkan sektor pengolahan negara-negara di kawasan ASEAN akan menjadi lebih
efisien dan kompetitif. Melalui AFTA diharapkan pangsa perdagangan intra ASEAN
maupun dengan negara mitra dagang di luar ASEAN akan meningkat.
Menurut Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang daya saing global,
Indonesia berada pada posisi ke-74 tahun 2005. Hal ini menurun dari posisi ke-69
tahun 2004 (dari 117 negara yang diteliti). Indonesia tergolong sebagai negara
dengan daya saing global yang buruk karena lembaga publiknya tidak transparan dan
tidak efisien, sedangkan Singapura dan Taiwan menurut penelitian Global
Competitiveness Report merupakan dua negara yang memiliki peringkat tinggi dalam
daya saing global karena memiliki pengelolaan lembaga publik dan swasta yang baik
sehingga berhasil mengangkat status sosial ekonomi warga negaranya.
Bila dilihat dari perkembangan ekonomi beberapa tahun terakhir, perekonomian
Indonesia didominasi oleh sektor industri pengolahan dengan perkembangan yang
paling pesat di antara sektor-sektor lainnya. Seperti terlihat pada Tabel 1 di bawah ini,
bahwa pada tahun 2006 peranan industri pengolahan berkisar antara 28% dari PDB
(Produk Domestik bruto) nasional. Besaran ini jauh meninggalkan peran kontribusi
sektor perdagangan, hotel & restoran yang hanya pada kisaran 16% sebagai sektor
yang memberi sumbangan nilai tambah terbesar kedua dalam PDB nasional.
Perkembangan yang pesat di sektor industri pengolahan ini erat kaitannya dengan
proses industrialisasi sebagai grand design pembangunan ekonomi di Indonesia.
Tahun 2002-2007
No
Sektor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2004
2005
2006
2007*
2008**
14.34
13.13
8.94
11.14
Industri Pengolahan
Listrik & Gas & Air Bersih
Bangunan
28.07
1.03
12.97
13.71
14.40
0.1
10.98
11.17
10.97
4.2
27.41
0.96
27.54
0.91
27.06
0.88
27.87
0.82
-0.1
-4.4
6.59
7.03
7.52
7.73
8.46
5.1
Perdagangan, Restoran&Hotel
Pengangkutan & Komunikasi
Keuangn, Real Estate & Jasa Persh
16.05
6.20
15.56
6.51
15.02
6.93
14.92
6.69
13.97
6.31
-2.7
0.3
8.47
8.31
8.06
7.73
7.43
-2.6
Jasa-Jasa
10.32
9.96
10.07
10.11
9.77
-1.1
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
0.0
89.35
-0.3
Total PDB
Total PDB tanpa migas
90.73
Sumber : www.bps.go.id, diakses tgl 8 des 2009, diolah
Keterangan: * angka sementara
** angka sangat sementara
88.61
88.85
89.45
Pertumb rata-2
Sementara itu, dengan heterogenitas antar daerah yang besar dalam hal kekayaan alam
serta faktor produksi lainnya, menyebabkan dimensi daerah menjadi sangat penting
dalam merumuskan strategi pengembangan industri pengolahan yang berkelanjutan,
terutama berkaitan dengan aspek lokasi tiap jenis industri. Bila dikaitkan dengan
masalah efisiensi, lokasi, dan peningkatan produksi, maka perhatian terhadap dimensi
daerah akan terarah ke masalah keuntungan komparatif (comparative advantage) dan
keuntungan kompetitif (competitive advantage) tiap daerah bagi suatu jenis industri
pengolahan tertentu.
Secara empiris, survei di banyak negara menunjukkan bahwa proses industrialisasi
secara geografis merupakan proses yang selektif (Hayter, 1997; Kuncoro, 2002 : 56).
Di beberapa negara, mayoritas sektor industri pengolahan terkonsentrasi secara
spasial (spatial clustering) pada suatu lokasi. Konsentrasi industri (industrial
clustering) sangat dipengaruhi oleh faktor minimisasi biaya, pendekatan pasar,
maksimalisasi laba, dan proses aglomerasi. Artinya, perkembangan industri yang
cepat secara sektoral, ternyata tidak terjadi secara merata di semua daerah, tidak
terkecuali di wilayah provinsi Jawa Timur.
Di Jawa Timur, berdasar dimensi spasial dan keuntungan komparatifnya, sektor
industri pengolahan menyebar di beberapa lokasi kabupaten/kota. Namun demikian,
2
Pokok permasalahan dalam paper penelitian ini difokuskan pada sektor industri
pengolahan di Jawa Timur dengan menganalisis pola konsentrasi sektoral dan spasialnya (cluster), mem-forecast prospeknya, serta merumuskan strategi peningkatan
pengembangan industri pengolahan di Jawa Timur.
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pola spesialisasi sektoral dan
konsentrasi spasial (cluster) industri pengolahan di Jawa Timur. Hal ini dilakukan
sebagai dasar untuk merumuskan strategi percepatan pengembangan industri
pengolahan di Jawa Timur. Penelitian difokuskan pada sembilan subsektor industri
pengolahan di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan pada
periode setelah tahun 2002. Hal ini disebabkan karena tahun 2002 diasumsikan
merupakan awal stabilitas proses pemulihan ekonomi akibat krisis moneter 1998.
Penelitian dilakukan dengan membuat mapping pola spesialisasi sektoral berdasar
indikator nilai tambah serta pola konsentrasi spasial (cluster) industri pengolahan
berdasarkan lokasi, yaitu antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Tehnik analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan indeks
diversifikasi Hirschman Herfindahl (IHH). Rumus IHH tersebut adalah:
n
IHH = ( X i ) 2
i= j
dimana :
n = jumlah seluruh subsektor industri pengolahan dua digit (9 subsektor)
Xi = pangsa (share) sektor ke i ; (i= 1,2,3, 9) dalam persen
Kriteria pengukuran dengan menggunakan indeks spesialisasi IHH tidak secara
eksplisit menunjukkan besarnya ukuran spesialisasi tertentu. Namun demikian,
semakin besar nilai IHH menunjukkan kondisi yang semakin terspesialisasi atau
kurang terdiversifikasi, demikian sebaliknya.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Kondisi dan Gambaran Industri Pengolahan di Jawa Timur
Berdasarkan susunan dalam PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Jawa Timur,
sektor industri pengolahan dikelompokkan ke dalam sembilan subsektor industri
pengolahan (lihat Tabel 2). Industri pengolahan juga dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok besar, yaitu industri dasar, kelompok aneka industri hilir, industri
rumah tangga. Selain itu, industri pengolahan juga dapat dikelompokkan berdasar
kode ISIC atau KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia). Berdasar kode ISIC
dua digit, sektor industri pengolahan dibagi menjadi 23 kelompok.
Dari Tabel 2 dan 3 pada halaman berikut ini, terlihat bahwa sektor industri
pengolahan di Jawa Timur didominasi oleh subsektor makanan, minuman dan
tembakau (mamin dan tembakau). Sub-sektor ini terbukti tahan menghadapi krisis
dan mampu menghasilkan nilai tambah yang meningkat dengan stabil. Sub-sektor ini
mempunyai peran lebih dari 50% terhadap pembentukan nilai tambah industri
pengolahan di Jawa Timur. Bahkan, selama periode tahun 2002-2007 nilai tambah
industri mamin dan tembakau ini meningkat hampir dua kali lipat.
Tabel 2
Sektor Industri Pengolahan Atas dasar Harga Berlaku Menurut Subsektor Usaha
di Jawa Timur, Tahun 2002 - 2007 (Juta Rp)
Sekor/Subsektor
Makanan, Minuman dan Tembakau
Pertumb
rata-2
2002
2003
2004
2005
2006
2007
43,851,935.94
49,227,088.62
54,776,590.95
67,334,775.91
76,604,205.58
84,532,307.89
11.56
3,498,143.65
3,744,468.53
4,182,693.81
4,760,221.49
5,314,988.83
5,849,812.55
8.95
3,179,274.71
3,628,408.43
3,912,915.10
4,539,711.58
5,129,757.38
5,603,223.55
9.91
8,366,399.53
9,824,440.94
12,591,588.71
14,402,992.74
16,140,988.21
18,719,995.40
14.37
6,228,076.98
6,750,321.70
7,802,521.26
9,160,971.61
10,632,346.22
11,994,276.66
11.54
2,579,598.81
2,967,281.53
3,351,178.71
3,865,205.21
4,608,708.66
5,013,858.31
11.71
5,933,681.42
7,078,668.07
8,116,296.87
9,171,238.90
10,495,316.57
11,824,840.79
12.18
1,430,653.12
1,685,370.32
1,993,979.76
2,501,806.89
2,868,925.90
3,776,914.14
17.56
Barang lainnya
3,223,668.28
3,788,777.21
4,267,254.27
5,227,290.69
5,920,500.72
6,499,848.67
12.40
78,291,432.44
88,694,825.35
100,995,019.44
120,964,215.02
137,715,738.07
153,815,077.96
11.91
Industri Pengolahaan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pertumb rata-2
56.01
55.50
54.24
55.67
55.62
54.96
-0.32
4.47
4.22
4.14
3.94
3.86
3.80
-2.65
4.06
4.09
3.87
3.75
3.72
3.64
-1.79
10.69
11.08
12.47
11.91
11.72
12.17
2.19
7.95
7.61
7.73
7.57
7.72
7.80
-0.33
3.29
3.35
3.32
3.20
3.35
3.26
-0.18
7.58
7.98
8.04
7.58
7.62
7.69
0.24
1.83
1.90
1.97
2.07
2.08
2.46
5.05
Barang lainnya
4.12
4.27
4.23
4.32
4.30
4.23
0.43
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Industri Pengolahaan
Kabupaten/Kota
Kabupaten:
Pacitan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pertumb rata-2
Ponorogo
Trenggalek
Tulungagung
Blitar
128,635.23
135,501.03
150,773.17
181,677.68
205,812.09
228,730.77
10.07
Kediri
1,002,310.55
1,148,539.56
1,442,798.51
1,638,923.58
4,479,566.98
2,210,393.09
14.09
Malang
2,175,445.31
2,442,717.84
2,883,283.61
3,475,173.68
4,141,025.85
4,845,327.60
14.28
Lumajang
820,795.70
902,831.16
991,434.30
1,212,698.03
1,333,157.11
1,463,952.49
10.12
48,922.93
56,594.10
63,127.27
77,044.10
87,589.67
100,202.11
12.69
234,984.92
276,021.86
329,073.56
411,325.89
477,774.33
545,485.76
15.07
152,003.92
165,772.58
187,843.48
218,522.09
254,007.22
285,343.46
11.07
1,147,246.83
1,271,976.19
1,453,101.60
1,721,290.93
1,959,201.47
2,199,791.99
11.46
Jember
705,497.38
784,421.03
898,625.06
1,079,420.75
1,204,134.42
1,363,200.35
11.60
10
Banyuwangi
544,928.77
586,958.87
639,377.73
774,038.88
871,255.90
966,857.83
10.03
11
Bondowoso
150,409.86
178,456.33
205,662.22
259,450.96
304,691.95
361,372.19
15.73
12
Situbondo
333,315.98
348,208.50
377,219.52
465,120.65
534,430.23
585,995.27
9.86
13
Probolinggo
765,034.02
867,559.74
1,003,448.81
1,201,550.32
1,343,352.53
1,503,679.30
11.92
14
Pasuruan
1,707,524.89
1,908,045.81
2,243,436.25
2,785,175.36
3,257,743.91
3,794,697.06
14.24
15
Sidoarjo
12,913,977.32
14,428,117.30
16,938,161.53
19,755,076.41
21,708,834.31
24,137,470.87
10.99
16
Mojokerto
1,904,828.57
2,186,545.48
2,553,559.10
3,028,053.37
3,341,535.67
3,702,650.12
11.71
17
Jombang
649,165.30
763,706.04
854,092.09
1,044,785.81
1,186,845.42
1,325,963.75
12.64
18
Nganjuk
375,352.36
402,223.80
444,061.58
536,390.31
598,788.26
662,058.97
9.92
19
Madiun
83,046.29
97,244.64
112,092.91
144,627.47
167,350.25
173,850.32
13.10
20
Magetan
211,080.12
237,539.28
274,243.05
346,941.52
397,819.90
444,754.51
13.23
21
Ngawi
179,374.21
204,472.89
222,284.83
272,077.06
301,120.69
328,438.68
10.61
22
Bojonegoro
23
Tuban
24
Lamongan
25
Gresik
26
27
328,272.99
377,131.37
430,111.65
504,150.84
547,711.39
613,179.87
10.98
1,063,910.56
1,249,084.69
1,460,493.97
1,766,435.58
2,126,375.77
2,414,222.30
14.63
214,216.35
234,515.30
264,089.85
304,671.82
362,101.79
401,056.99
11.02
6,301,632.11
7,075,590.54
7,875,392.51
9,508,767.01
11,047,602.04
12,728,808.15
12.43
Bangkalan
126,032.51
147,333.14
165,852.05
204,531.22
229,862.26
251,106.71
12.17
Sampang
22,520.18
25,552.38
28,506.36
33,143.74
37,803.71
40,203.47
10.14
28
Pamekasan
22,046.91
25,004.67
27,350.01
33,181.27
36,950.52
40,196.39
10.53
29
Sumenep
137,426.05
154,347.73
162,774.71
187,815.40
203,194.69
215,862.48
7.82
Kota:
Kediri
16,069,184.48
18,923,536.29
21,508,052.50
25,675,777.67
29,382,280.88
31,904,029.83
12.11
Blitar
80,651.75
86,617.62
93,943.76
114,418.05
129,881.49
141,840.79
9.87
Malang
4,192,043.33
4,538,420.69
5,049,997.89
6,202,159.97
6,999,977.47
7,852,047.96
11.03
Probolinggo
332,019.92
334,781.85
387,585.22
433,411.78
503,879.28
560,937.02
9.13
Pasuruan
151,482.16
174,937.18
199,990.64
243,866.25
290,092.86
342,933.50
14.59
Mojokerto
193,813.64
204,325.71
231,670.57
262,644.18
300,058.24
329,078.88
9.22
Madiun
218,708.05
252,018.22
294,300.55
362,852.06
417,335.15
505,740.46
14.99
22,522,778.09
25,400,841.74
28,445,056.15
34,377,552.65
39,385,163.49
44,014,942.35
11.81
95,559.78
97,502.54
106,562.88
130,743.48
151,859.11
168,468.95
9.91
Surabaya
Batu
Jawa Timur
78,306,179.32
88,694,995.69
100,999,431.45
120,975,487.82
140,308,168.30
153,754,872.59
11.90
2007
0.3351
3.0
Gambar 1
Indeks Hirschman Herfindahl (IHH) Industri Pengolahan Jawa Timur
Antar Sub-sektor, Tahun 2002 - 2007
Dari Tabel 5 tersebut, hasil perhitungan number ekuivalent relatif stabil dengan nilai
3. Nilai ekuivalen menunjukkan jumlah industri yang akan sustain dalam periode
jangka panjang pada tingkat IHH tertentu. Nilai ekuivalen diperoleh dari 1/IHH
(Lipzinsky, 2001:111). Sehingga semakin kecil IHH, semakin besar nilai ekuivalen,
demikian sebaliknya Hasil perhitungan pada Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa
jumlah sub-sektor industri pengolahan di Jawa Timur yang akan sustain pada periode
tahun 2002-2007 adalah 3 sub-sektor industri pengolahan.
III.3 Pola Konsentrasi Spasial (Cluster) Industri Manufaktur di Jawa Timur
Dari hasil perhitungan distribusi peranan kabupaten/kota di Jawa Timur terhadap
pembentukan nilai tambah industri pengolahan, maka hanya lima kabupaten/kota saja
yang memberikan share hampir 75%. Dengan demikian, tingkat konsentrasi industri
pengolahan di Jawa Timur berdasar indikator peranan daerah kabupaten/kota
menunjukkan kecenderungan tingkat konsentrasi yang tinggi atau kurang
terdiversifikasi ke beberapa kabupaten/kota. Dengan kata lain, share industri
pengolahan tidak merata ke beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur.
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tabel 6
Indeks Hirschman Herfindahl Sektor Industri Manufaktur
Antar Kabupaten/Kota di Jawa Timur, Tahun 2002-2007
Antar Kab
Antar Kota
Antar Kab/Kota
Number
IHH
Number
IHH
Number
IHH
Equivalent
Equivalent
Equivalent
0.1890
5.3
0.4073
2.5
0.1643
6.1
0.1878
5.3
0.4095
2.4
0.1659
6.0
0.1904
5.3
0.4091
2.4
0.1645
6.1
0.1859
5.4
0.4089
2.4
0.1644
6.1
0.1701
5.9
0.4096
2.4
0.1592
6.3
0.1783
5.6
0.4097
2.4
0.1625
6.2
adanya konsentrasi industri pengolahan yang hanya di sebagian kecil kota di Jawa
Timur. Dari data pada Tabel 6 dan Gambar 2, dapat dianalisis bahwa kota-kota yang
merupakan penopang terbesar industri pengolahan di 9 kota di Jawa Timur, adalah:
kota Surabaya, Kediri, dan Malang. Kota Surabaya memberi share 65%, kota Kediri
hanya 32,5% dan kota Malang adalah sisanya, 2,5%.
Gambar 2
Indeks Hirschman Herfindahl Sektor Industri Manufaktur
Di Jawa Timur, Tahun 2002-2007
V.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Harvey and Taylor, Jim, 2001, Regional Economics And Policy, Third
Edition, Blackwell Publishers, United Kingdom.
Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah, BPFE, Yogyakarta.
Aziz, Iwan Jaya, 1994, Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Aplikasinya Di
Indonesia, LPFE-UI, Jakarta.
Baldwin, Richard E, and Martin Philippe, 2001, Agglomeration And Regional
Growth.
10
Edwin S Mills, 1998, Handbook of Regional and Urban Economic, volume II, Nort
Holland, Amsterdam Arthur
Fujita, M, Krugman, P, and Venables, A.J, 1999, The Spatial Economy, Cities,
Regions, and International Trade, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts,
London, England.
Fujita, M, and Thisse, J.F., 2001, Economics of Agglomeration, Cities, Industrial
Location, And Regional Growth, Cambridge University Press.
Gatfield, Terry and Yang, Cathy, New Industrial Space Theory A Case Study And
Empirical Analysis of Factors Effecting Newly Emerging Key Industries in
Queensland, Australasian Journal of Regional Studies, Vol. 12, No. 1, 2006
Glasson, John, 1977, Pengantar Perencanaan Regional, terjemahan, LPFE-UI,
Jakarta.
Jhingan, 1996, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2002, Analisis Spasial dan Regional, Studi Aglomerasi dan
Kluster Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Leyshon, A, Lew, Roger, and Williams, C, 2003, Alternative Economic Spaces, Sage
Publications
Lipczynski, John and Wilson, John, 2001, Industrial Organization, An Analysis of
Competitive Markets, Prentice Hall.
Morgan, Theodore, 1975, Economic Development : Concept and Strategy, Harper &
Ror Publishers, New York.
Prabowo, Dibyo dan Wardoyo, Sonia, 2004, AFTA Suatu Pengantar, BPFE,
Yogyakarta.
Richardson, W. Harry, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional, terjemahan,
LPFE-UI, Jakarta.
Sukirno, Sadono, 1985, Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah,
LPFE-UI, Jakarta.
Tarigan, Robinson, 2005, Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Bumi Aksara,
Jakarta
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1986, Perencanaan Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta.
11