Professional Documents
Culture Documents
Luka Bakar Kasus 2 Gadar 2
Luka Bakar Kasus 2 Gadar 2
Kelompok B:
Siti Nuraina Inayah
Ady Hidayatullah
Muamar
Nuryadi
Ely Ferdiana
Khaedar Ali
Rina Maryatiana
Chintya Intasari
Agnes Acida
Nelly Sulvassamawati
Rivna Andrari Lanisyah
Afif Ubaidillah
Nurtusliawati
Wiwid Ariska Larasati
Neng Ledy Lestary
fitria Dewi
Nosa Defitha Azka
213.C.0022
213.C.0023
213.C.0027
213.C.0028
213.C.0029
213.C.0030
213.C.0031
213.C.0032
213.C.0034
213.C.0036
213.C.0035
213.C.0040
213.C.0041
213.C.0042
213.C.0043
213.C.0046
214.C.1037
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan dengan
judul Asuhan Keperawatan Gawat Darurat II Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Integumen Akibat Luka Bakar. Laporan ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Reproduksi pada Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon.
Selama proses penyusunan laporan ini kami tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak yang berupa bimbingan, saran dan petunjuk baik berupa moril,
spiritual maupun materi yang berharga dalam mengatasi hambatan yang
ditemukan. Oleh karena itu, sebagai rasa syukur dengan kerendahan hati, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Ns. Ahmad Syarifudin, S.Kep yang telah memberikan bimbingan dan
dorongan dalam penyusunan laporan ini sekaligus sebagai tutor Mata Kuliah
Keperawatan Gawat Daruratan II.
2. Ibunda dan ayahanda yang tercinta serta saudara dan keluarga besar kami yang
telah memberikan motivasi/dorongan dan semangat, baik berupa moril
maupun materi lainnya.
3. Sahabat-sahabat kami di STIKes Mahardika, khususnya Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Semoga Allah swt. membalas baik budi dari semua pihak yang telah
berpartisipasi membantu kami dalam menyusun laporan ini. Kami menyadari
bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.
Penyusun berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amiin
Wassalamualaikum wr.wb.
Cirebon, September 2016
Kelompok B
DAFTAR ISI
ii
13
14
25
26
27
37
38
Lampiran 2 Jurnal
Daftar Pustaka
ii
SEVEN JUMP
Mata kuliah
Tingkat/Semester
: 4/VII
SEKENARIO KASUS II
leher, dada, perut dan hampir seluruh lengan kiri. pada eritema tersebut terdapat
beberapa bula, pembengkakan, lepuhan dan luka bakar sirkumferensial, beberapa
bula sudah pecah dan berair. alis juga tampak terbakar. pasien mengeluh nyeri di
bagian yang terbakar dengan skala 6. luka bakar sudah sampai epidermis dan
sebagian dermis. dasar luka berwarna merah dan pucat. pada pemeriksaan fisik
TD 140/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernafasan 35 x/menit,
suhu 38,2oC.
pasien mendapat terapi mebo, infus RL 1 kolf, karakter urin, anti tetanus
dan analgetik. tinggi badan pasien 170 cm, berat badan 65 kg.
untuk menangani masalah pasien diatas sebagai perawat di IGD akan
melakukan primary survey dan untuk menangani masalah airway dan breathing
yang terjadi pada pasien. Anda juga diminta mencari tanda-tanda trauma inhalasi
pada dan menangani luas luka berdasarkan Rule of Nines
Pertanyaan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
A.
TUGAS MAHASISWA
1.
2.
3.
4.
5.
Mengikuti kuliah khusus dalam kelas untuk masalah yang belum jelas
atau tidak ditemukan jawabannya untuk konsultasi masalah yang
belum jelas
6.
B.
Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan
kata / kalimat kunci skenario di atas.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
STEP 1
KATA KUNCI
A.
Sirkumferensial
2.
Eritema
3.
Anti Tetanus
4.
5.
Role of Nine
6.
Infuse RL (kristalloid)
7.
Bula
8.
Suara sesak
9.
Analgetik
10. Inhalasi
B.
Sirkumferensial
Jawab:
Sirkumferensial pada luka bakar yaitu kerusakan luka bakar
yang dapat terjadi pada kulit epidermis sampai dermis dibagian
ekstermitas maupun thoraks yang dapat menyebabkan efek seperti
penebalan pembuluh darah dan mengarah pada gangguan vaskular
distal pada sirkumferensial ekstermitas dan pada sirkumferensial
thoraks dapat mengarah pada inadekuat ekspansi dinding dada dan
insufisiensi pulmonal (Pierce, 2007)
2.
Eritema
Jawab:
Eritema adalah kulit berwarna kemerahan atau warna merah
pada kulit yang disebabkan oleh pembesaran pembuluh darah, dapat
terjadi akibat dosis radiasi tingkat tinggi (akut) (Pierce, 2007)
3.
Anti Tenatus
Jawab:
Serum Anti Tetanus adalah antisera yang dibuat dari plasma
kuda yang dikebalkan terhadap tetanus, serta mengandung fenol
sebagai pengawet, berupa cairan bening kekuningan.
Serum Anti Tetanus untuk pencegahan tetanus pada luka yang
terkontaminasi dengan tanah, debu jalan atau bahan lain yang dapat
menyebabkan infeksi Clostridium tetani, pada seseorang yang tidak
yakin sudah diimunisasi atau yang belum diimunisasi lengkap dengan
vaksin tetanus (Biofarma, 2010).
4.
tradisional
Phellodendri,
dan
Cina
seperti
Rhizoma
Radix
coptidis
scutellaria,
yang
berguna
Cortex
untuk
5.
Rule of nine
Jawab:
Rule of nine adalah metode yang baik dan cepat untuk menilai
luka bakar menengah dan berat pada penderita yang berusia di atas 10
tahun. Tubuh di bagi menjadi area 9%. Metode ini pada dasarnya
tidak akurat pada anak karena adanya perbedaan proporsi tubuh anak
dengan dewasa.
Infuse RL (kristalloid)
Jawab:
Infuse Ringer adalah larutan steril Natrium Klorida, Kalium
Klorida, dan Kalsium Klorida dalam air. Kadar ketiga zat tersebut
sama dengan kadar zat-zat tersebut dalam larutan fisiologis. Larutan
ini digunakan sebagai penambah cairan elektrolit yang diperlukan
tubuh.
Ringer Laktat merupakan cairan yang paling fisiologis yang
dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL
banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok
hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar.
Laktat yang terdapat di dalam RL akan di metabolism oleh hati
menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti
asidosis metabolic. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup
untuk pemeliharaan sehari-hari, apalagi untuk kasus deficit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan di
pakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang
berguna untuk mencegah terjadinya ketosis. Kemasan larutan
kristalloid RL memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl(109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan Laktat (28 mEq/L). osmolaritasnya
sebesar 273 mOsm/L. sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml.
7.
Jawab:
Vesikel dan bula ataupun lepuhan adalah tonjolan berisi cairan
dan berbatas tegas. Cairan di dalamnya dapat berupa limfe, darah, atau
serum. Bula adalah vesikel besar dan secara arbitrer ditentukan
diameternya diatas 0,5 cm. Jika memeriksa vesikel atau bula,
berusahalah untuk menentukan dalamnya cairan. Untuk membentuk
lesi seperti itu, lapisn kulit harus terpisah untuk menampung
cairannya. Jika pemisahan lapisan kulit terjadi pada bagian atas
epidermis, atap lesinya sangat tipis dan mungkin tembus sinar atau
jernih. Lesi yang lebih dalam mempunyai atap yang lebih tebal.
Bidang pemisahan lapisan kulit ini mungkin harus ditentukan secara
histologist. Perbedaan kecil pada bidang pemisahan ini dapat
membedakan pemfigoid, suatu keadaan yang relative jinak, dari
penyakit yang sering fatal dan kelihatannya serupa pemfigus. Vesikel
dengan cekungan sentral kecil, umbilicated vesicles, merupakan cirri
khas penyakit virus seperti herpes, variola, dan varisela. Vesikel bula
mudah pecah (Lukmanto,2005).
8
8.
Suara sesak
Jawab:
Sesak nafas adalah salah satu gejala yang paling sering dan
paling mencemaskan penderita sehingga ia terpaksa pergi ke dokter.
Berbagai macam penjelasan atau definisi mengenai dyspnea ini seperti
sukar bernafas atau nafas tidak enak (kurang lega atau kurang puas)
yang biasanya dilukiskan oleh pasie sebagai sesak nafas (shorthness of
breath). Sesak nafas mungkin merupakan gejala berbagai gangguan
patofisiologi : obstruksi jalan nafas, berkurangnya jaringan paru yang
berfungsi, berkurangnya elastisitas paru, kenaikan kerja pernafasan,
gangguan transfer oksigen (difusi), ventilasi tak seimbang dalam
kaitannya dengan perfusi, campuran darah vena (venous admixture)
atau right to left shunting, cardiac output yang tidak memadai, anemia
dan gangguan kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin. Pasien
dispneu dapat digolongkan dalam 3 katagori utama yaitu pasien
dengan dispneu akut, pasien dengan dispneu progresif menahun dan
pasien dengan serangan dispneu paroksismal yang berulang.
a.
Dispneu Akut
Pada orang dewasa dipsnea akut dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab seperti edema paru, tromboemboli paru akut,
pneumonia dan pneumothoraks spontan Salah satu penyebab
yang paling sering adalah sembab paru (edema paru) akut oleh
karena kegagalan jantung kiri. Ini biasanya terjadi pada pasien
jantung atau hipertensi, yang pada pemeriksaan fisik ditemukan
ronki basah yang difus. Penderita mungkin mengeluarkan dahak
kental, berwarna kemerahan dan berbuih. Dapat pula disertai
batuk, wheezing, nyeri kardiovaskuler dan sembab pada kaki.
b.
c.
9.
Analgetik
Jawab:
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa
nyeri. Obat analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat
golongan opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem
saraf pusat, sedangkan golongan NSAID bekerja di reseptor saraf
perier dan sistem saraf pusat (Setawati, et all.,2007).
Pasien dengan luka bakar akan mengalami nyeri terutama saat
ganti balut, prosedur operasi, atau saat terapi rehabilitasi. Dalam
10
Inhalasi
Jawab::
Inhalasi terjadi karena menghirup gas toksit yang suhunya
sangat tinggi atau asap kebakaran . Karbon monoksida ( CO)
merupakan produk sampingan kebakaran yang paling sering
ditemukan: Hidrogen Klorida dan Hidrogen sianida merupakan
produk sampingan lainnya yang sering terdapat pada kebakaran
(Black & Hawks, 2009).
Luka bakar adalah suatu luka yang disebabkan oleh pengalihan
energi dari suatu sumber panas kepada tubuh. Luka bakar adalah
kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas dari api , air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi
(David, S. 2008).
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel
jalan nafas oleh panas dan zat kimia atau akibat intoksikasi sistemik
dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil pembakaran tidak hanya
terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel
padat yang terurai di udara ( melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik).
Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik
dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang
ukurannya > 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring.
Partukel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang
11
12
STEP 2
PERTANYAAN KASUS
A.
B.
C.
Bagaimana patofisiologi timbulnya eritema dan bula pada luka bakar dan
komplikasinya?
D.
E.
F.
G.
13
STEP 3
JAWABAN KASUS
A.
2.
3.
4.
5.
14
15
B.
: 4,5%
2.
: 6%
3.
: 6%
16
4.
: 9%
Jumlah
: 25,5%
Dengan keadaan luka bakar yang meliputi terdapat bula yang sudah
pecah dan berair, alis tampak terbakar, luka bakar sudah sampai ke lapisan
epidermis serta sebagian dermis dan dasar luka berwarna merah serta pucat
maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa derajat luka bakar klien
pada kasus diatas adalah derajat luka bakar III.
C.
D.
Laboratorium
a. Pulse Oximetry
b. Analisa Gas Darah
c. Elektrolit
17
d. Darah Lengkap
2.
Foto Thorax
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul
sesudahnya termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS
3.
E.
jantung kiri atau infark miokardium , serta sindrom distress pernafasan pada
orang dewasa, gangguan elektrolit dapat menyebabkan distrimia jantung (
Herndon, 2009 ).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi, syok luka bakar dapat secara
irreversiblemerusak ginjal sehingga timbul gagal ginjal dalam satu atau dua
minggu pertama setelah luka bakar, penurunan aliran darah ke saluran cerna
dapat menyebabkan hipoksia selsel penghasil mucus sehingga terjadi ulkus
peptikum, dapat terjadi koagulasi intravascular diseminata karena destruksi
jaringan yang luas, pada luka bakar yang luas akan menyebabkan kecacatan,
trauma psikologis dapat menyebabkan depresi, perpecahan keluarga, dan
keinginan untuk bunuh diri, dan beban biaya pada keluarga pasien luka
bakar yang luas sangatlah besar (Herndon, 2009).
F.
Pengkajian
a.
Triage
18
b.
Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual atau potensial dari kondisi life threatning
(berdampak terhadap kemampuan klien untuk mempertahankan
hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi,
perkusi
Airway
Pada
permulaannya
airway
biasanya
tidak
akan
timbul
suara
tridor/crowing.
Bila
19
a)
b)
c)
d)
Suara sesak
e)
f)
2)
Breathing
Gangguan
breathing
yang
timbul
cepet,dapat
disebabkan karena :
a)
b)
c)
3)
Circulation
a)
20
b)
c)
d)
2 detik menunjukkan
Masukkan
buah
kateter
IV
berdiameter
g)
h)
i)
4)
Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda
lateralisasi (pupil dan motorik). Kepanikan mungkin
menimbulkan bantuan sehingga perdarahan intra-kranial
dapat saja terjadi,sebagai akibat dari trauma penyerta
dengan manifestasi klinis pasien mengalami gelisah dan
21
penurunan
kesadran
sebagai
tanda
dari
terjadinya
hipoksia.
Bila dalam keadaan emergency,petugas boleh juga
menentukakn derajat kesadaran pasien dengan metode :
A
: dari alert(sadar/waspada
5)
Ekspouse
Pada ekspouse, lepaskan semua pakaian termasuk
perhiasan pasien, lalu periksa bagian depan dab belakang
tubuh pasien namun selalu perhatikan penderita janagn
sampai hipotermi dengan menjaga agar pasien tetap
hangat.
G.
otot
disebabkan
oleh
eksotosin
spesifik
dari
kuman
yang
mengundang
tetanus
adalah
luka-luka
seperti Vulnus
yang
memproduksi
eksotoksin
22
antara
lain
neurotoksin
23
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang utama.
2.
3.
laceratum (luka
robek), vulnus
punctum (luka
24
STEP 4
MIND MAPPING
ASKEP:
PENGKAJIAN
DIAGNOSA
INTERVENSI
JURNAL:
PENCEGAHAN:
PRIMER
SEKUNDER
TERSIER
Up-To-Date Use Of
Honey For Burns
Treatment
Luka Bakar
LP:
DEFINISI
ANFIS
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
TRIASE
KEPERAWATAN
25
STEP 5
LEARNING OBJEKTIF
A.
B.
C.
D.
26
STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN
A.
Identitas Jurnal
Judul
Nama jurnal
Penulis
Tahun
B.
: 2014
Latar Belakang
Madu merupakan larutan pekat kental gula yang dihasilkan oleh lebah
(Apis mellifera) yang mengumpulkan dan memproses bunga nektar (bunga
atau madu bunga) atau jus manis pada spesies tanaman tertentu (melon atau
madu hutan). Madu merupakan salah satu produk yang paling kompleks dan
berharga alam hayati digunakan sejak zaman kuno, baik di bidang nutrisi
dan obat-obatan (melalui cara internal dan eksternal). Di antara kegunaan
medis lainnya, madu telah menjabat dalam perawatan luka sejak zaman
kuno:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
27
eksperimen dan uji klinis dilakukan selama abad terakhir. Namun, kesan
bahwa penggunaan madu dalam pengobatan luka tidak akan memiliki
dukungan ilmiah masih tetap kadang-kadang dalam komunitas medis.
Selain itu, promosi saat ini dari berbagai jenis dressing modern untuk
luka (misalnya, dressing nanokristalin perak) menyembunyikan fakta bahwa
ada sedikit bukti yang dipublikasikan untuk mendukung penggunaan produk
ini. Sebuah tinjauan sistematis terbaru dari publikasi pada penggunaan
dressing maju dalam pengobatan ulkus tekanan mengungkapkan bahwa
penggunaan luas mereka tidak didukung oleh penelitian berkualitas baik.
Demikian, sejumlah besar bukti yang membuktikan efisiensi madu dan
mendukung penggunaannya dalam pengobatan luka, dibandingkan dengan
yang ada bukti untuk produk perawatan luka lainnya, memungkinkan kita
untuk mempertimbangkan penggunaan madu sebagai pilihan yang layak
untuk perawatan luka.
Persiapan topikal yang ideal untuk luka harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1.
2.
3.
Tidak ada efek lokal atau sistemik yang merugikan (alergi, keracunan
dll), bahkan jika diterapkan untuk waktu yang lama;
4.
5.
6.
28
Tujuan
Artikel ini bertujuan untuk meninjau dan memberikan sintesis isuisu terkini mengenai tindakan kompleks madu pada luka bakar, dibuktikan
dengan penelitian in vitro, percobaan laboratorium dan uji klinis yang
dipublikasikan dalam literatur khusus. Karya ini menganalisis secara luas
sifat anti-infeksi dan anti-inflamasi madu, serta efek yang menguntungkan
pada regenerasi luka. Efektivitas pemberian topikal madu dibuktikan baik
oleh serangkaian percobaan pada hewan laboratorium dan oleh uji klinis.
Artikel ini juga menarik perhatian baikstaf medis dan pasien untuk
kemungkinan menggunakan produk ini, dan untuk penerimaan dalamp
raktek.
D.
Metode
Sebuah kebanyakan data tersedia dalam literatur mengenai
penggunaan madu untuk pengobatan luka bakar, memberikan analisis
yang komprehensif. Ini dapat diakses dari database, seperti Medline, dari
jurnal, seperti Burns dan Annals of Burns dan Api Bencana, dari mesin
pencari dan dari buku-buku khusus. Tidak ada pembatasan yang
diterapkan mengenai sumber atau tanggal publikasi, dengan studi yang
paling representatif dan dapat diandalkan yang dipilih. Aktivitas kompleks
madu pada lesi luka bakar itu dibuktikan dengan sifat dan efek (antiinfeksi, anti-inflamasi, antiexudative, antioksidan, penyembuhan luka,
debriding luka dan gizi), sebagaimana terungkap dari studi yang
dilakukan. Efektivitas pemberian topikal madu disorot baik oleh
serangkaian percobaan pada hewan laboratorium, dan dengan uji klinis.
Risiko, prosedur aplikasi dan penerimaan madu dalam praktek juga
diselidiki.
29
E.
Isi
1.
Percobaan
ini
dengan
luka
standar
memungkinkan
eksperimental
pada
hewan
telah
menunjukkan
30
mencegah luka dari terinfeksi dan infeksi silang. Jaringan gangren dan
nekrotik yang debridement dengan mudah dan digantikan dengan
cepat dengan jaringan granulasi dan memajukan, epitelisasi progresif.
Studi disorot cepat pembersihan dan enzimatik atau debridement
kimia luka setelah aplikasi madu. dengan adanya eschar membentuk
pada luka bakar madu juga ditemukan menghilangkan bau luka yang
sangat bau. Beberapa studi telah menunjukkan madu yang
menyebabkan pembentukan bersih dan sehat jaringan granulasi, yang
memungkinkan grafting awal pada, tidur yang cukup bersih, dengan
mengambil graft prompt. Ini juga telah reported38 madu yang
mempromosikan luka epitelisasi dan mempercepat penyembuhan,
dengan bekas luka minimal formation.66 madu selanjutnya diamati
untuk meningkatkan gizi luka, sirkulasi darah,
31
b.
c.
32
d.
Madu cair dapat digunakan pada daerah yang luas (baik itu
secara alami cairan atau dibuat sehingga melalui pengadukan
yang kuat atau dengan memanaskan di bawah 40 C). madu
mengkristal dapat dengan mudah dibuat cairan melalui
pemanasan-hati. Overheating madu harus dihindari, karena
oksidase glukosa enzim dalam madu yang menghasilkan
hidrogen peroksida, komponen utama dari aktivitas antibakteri
madu, mudah dilemahkan oleh panas.
Semua percobaan tersebut, penelitian dan inovasi, serta
Hasil
Selain anti-infeksi, anti-inflamasi dan antioksidan tindakan sendiri,
madu menciptakan penghalang fisik dan lingkungan setempat lembab,
karena viskositas tinggi dan gambar cairan dengan osmosis. Ini
mempromosikan penyembuhan luka bakar karena luka sembuh lebih cepat
bila tetap lembab sebagai lawan ketika mereka dibiarkan mengering dan
membentuk keropeng. Lingkungan lembab menjamin pertumbuhan sel-sel
33
yang menghasilkan
hidrogen peroksida,
yang
34
pO2
+).
3)
G.
Simpulan
In vitro dan in vivo telah menyoroti berbagai kegiatan yang disediakan
oleh madu dalam pengobatan luka bakar. Ini termasuk anti-infeksi, anti-
35
pembedahan
(awal
eksisi
dan
grafting),
penggunaannya
membutuhkan eksplorasi lebih lanjut. uji coba terkontrol lebih rinci yang
diperlukan untuk menetapkan indikasi terbaik, metode dan modalitas
administrasi madu untuk setiap jenis dan tahap bakar. Hal ini juga
diperlukan untuk memiliki kriteria pemilihan madu lebih bentuk lain dari
perawatan dalam manajemen luka bakar, yang, tentu saja, juga akan
tergantung pada preferensi dan pengalaman mereka yang terlibat.
36
STEP 7
LAPORAN PENDAHULUAN
(terlampir)
37
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Luka bakar merupakan bentuk trauma terjadi sebagai akibat dari
aktifitas manusia dalam rumah tangga, industri, maupun bencana
alam. Luka bakar adalah kerusakanjaringan tubuh terutama kulit akibat
langsung atau ekspose dengan sumber panas (thermal), kimia, elektrik, dan
radiasi (Andra & Yessie, 2013).
Penyebab luka bakar selain karena api (secara langsung atau pun
tidak langsung), juga karena pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau tidak langsung dari api
(misalnya tersiram air panas) banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga
(Sjamsuhidajat, 2005).
Menurut Word Health Organitation (WHO) luka bakar menyebabkan
195.000 kematian/tahun hingga tahun 2012 diseluruh dunia terutama
dinegara miskin dan berkembang. Luka bakar yang tidak menyebabkan
kematian pun ternyata menimbulkan kecacatan pada penderitanya. Wanita
di ASEAN memiliki tingkat terkena luka bakar lebih tinggi dari wilayah
lainnya, dimana 27% nya berkontribusi menyebabkan kematian diseluruh
dunia, dan hampir 70% nya merupakan penyebab kematian di Asia
Tenggara ( Rahmi, 2012).
Di Indonesia angka kejadian luka bakar cukup tinggi, lebih dari 250
jiwa/tahun meninggal akibat luka bakar di tahun 2004 hingga 2008.
Dikarenakan jumlah anakanak dan lansia cukup tinggi di Indonesia serta
ketidakberdayaan anakanak dan lansia untuk menghindari terjadinya
kebakaran. Maka, usia anakanak dan lansia menyumbang angka kematian
tertinggi akibat luka bakar yang terjadi di Indonesia hingga tahun (Rivait,
2010).
38
cairan
klien
dan pernapasan
klien
dengan
B.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan dan uraian latar belakang masalah di atas, agar dalam
penyusunan laporan ini lebih terarah pembahasannya dan mendapatkan
gambaran secara komprehensif. Maka sangat penting untuk dirumuskan
pokok permasalahannya, yakni:
1.
Kalimat atau kata kunci apa saja yang belum jelas dalam kasus ?
2.
3.
4.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penyusunan laporan ini adalah untuk
mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat II terhadap klien dengan
gangguan system integumen akibat luka bakar berdasarkan teori dan
kasus serta kesenjangan teori.
2.
Tujuan Khusus
a.
39
b.
c.
d.
e.
D.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penyusunan laporan ini
adalah:
1.
Bagi Penulis
Hasil analisis kasus ini diharapkan dapat memberi informasi
tentang konsep asuhan keperawatan terhadap klien dengan gangguan
keperawatan gawat darurat II akibat luka bakar. Penulis dapat
menambah pengetahuan serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan dan
menjadi acuan untuk penulisan selanjutnya.
40
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Definisi
Luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar, yang
hanya disebabkan oleh panas yang tinggi, tetapi oleh senyawa kimia, listrik
dan pemanjanan (exprosure) berlebihan terhadap sinar matahari. (Aziz
Alimul Hidayat, 2008)
Luka bakar adalah luka yang timbul akibat kulit terpajan ke suhu
tinggi, syok listrik, atau bahan kimia. Luka bakar diklasifikasikan
berdasarkan kedalaman dan luas daerah yang terbakar. (Elizabeth J. Corwin.
2009)
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung
maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia (Jong, 2011).
B.
Etiologi
Menurut
American
Burn
Association
(2012),
luka
bakar
41
Ketiga luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari
energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Terdapat tiga macam
terjadinya cidera listrik yaitu luka bakar listrik akibat kontak langsung, luka
bakar akibat percikan atau loncatan bunga api listrik, dan luka bakar
tersambar listrik.
Keempat luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber
radioaktif. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama
juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Menurut Brunicardi (2010), bahwa 65% luka bakar yang sering
terjadi di lingkungan rumah adalah jenis luka bakar termal sedangkan 20%
luka bakar yang sering terjadi adalah jenis luka bakar elektrik.
C.
Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddarth (2002) manifestasi klinis dari luka
bakar yaitu beberapa tingkatan yaitu :
1.
2.
Kesemutan
Hiperestesia
42
Edema
Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujungujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
Syok
Edema
D.
Patofisiologi
1.
Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah
luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka
43
bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu
terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar
yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA :
total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap
injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri
luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari
tubuh
2.
Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif
(catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, danprostaglandin)
dari
jaringan
yang
mengalmi
injuri.
Substansi-substansi
ini
general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang
tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume
darah
44
Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada
aktivitas
lymphocyte,
immunoglobulin,
suatu
supresi
penurunan
aktivitas
dalam
complement
produksi
dan
45
5.
Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan
penurunan kadar oksigen arteri dan lung compliance.
a.
Smoke Inhalation.
46
PATHWAY
Bahan kimia
Suhu
Radikal
listrik
Luka Bakar
dilepaskan substansi
vasoaktif (catecholamine,
histamin, serotonin,
leukotrienes, dan
prostaglandin)
meningkatnya
permeabilitas kapiler
Denyut jantung
hipovolemia
relatif
sistem
Depresi
aktivitas
lymphocyte,
penurunan
produksi
immunoglobulin
Cardiac
output
Hematokrit
plasma merembes
kedalam sekitar
jaringan
Depresi
imun
supresi
aktivitas
complement
dan
perubahan/gangguan
pada fungsi neutropil
dan macrophage
pengeluaran cairan
intravaskuler
resiko infeksi
47
Merusak
jaringan
dermis/epid
ermis
Kerusakan
integritas
kulit
Merangsang
pengeluaran
mediator
nyeri
(BHSP)
Menstimulasi
nyeri
Asap terhirup
CO
HB
mengikat
membentuk
carboxyhemo
globin
(COHb).
Ketidakefek
tifan perfusi
jaringan
Trauma
inhalasi
Edema laring
Obstruksi
jalan napas
Ketidakefek
tifan pola
napas
O2 digantikan
CO
Meningkatnya
cairan intraseluler
dan intertisial
Edema general
Nyeri akut
Kekurangan
volume cairan
Hambatan
mobilitas
fisik
Risiko shock
hipovolemik
48
Gangguan
pertukaran gas
E.
b.
c.
2.
Rule of Nine
49
PRESENTASE
9%
Lengan @ 9%
18%
Badan depan
18%
Badan belakang
18%
Tungkai@18%
36%
Genetalia / perineum
1%
TOTAL
100%
Tabel 1. Rule of Nine
20%
20%
20%
20%
20%
100%
2)
21%
b). Lengan @ 9%
18%
18%
50
18%
24%
1%
100%
3)
17%
b). Lengan @ 9%
18%
18%
18%
28%
1%
100%
4)
13%
b). Lengan @ 9%
18%
18%
18%
32%
f). Genetalia/perineum
1%
100%
b.
metode
ini
total
area
tubuh
yang
terkena
modifikasi
prosentase
bagian
tubuh
51
52
c.
Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm), area
permukaan tangan pasien adalah sekitar 1% dari total luas
permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka
bakar kecil (Gurnida & Lilisari,2011).
3.
53
c.
F.
Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi pada pasien luka bakar seperti ,
setiap luka bakar dapat terinfeksi yang menyebabkan cacat lebih lanjut
atau kematian, lambatnya aliran darah dapat menyebabkan pembentukan
bekuan darah sehingga timbul cerebrovascular accident, infark miokardium,
atau emboli paru. Kerusakan paru akibat inhalasi asap atau pembentukan
embolus. Dapat terjadi kongesti paru akibat gagal jantung kiri atau infark
miokardium , serta sindrom distress pernafasan pada orang dewasa,
gangguan elektrolit dapat menyebabkan distrimia jantung ( Herndon,2009 ).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi, syok luka bakar dapat secara
irreversiblemerusak ginjal sehingga timbul gagal ginjal dalam satu atau dua
minggu pertama setelah luka bakar, penurunan aliran darah ke saluran cerna
dapat menyebabkan hipoksia selsel penghasil mucus sehingga terjadi ulkus
peptikum, dapat terjadi koagulasi intravascular diseminata karena destruksi
jaringan yang luas, pada luka bakar yang luas akan menyebabkan kecacatan,
trauma psikologis dapat menyebabkan depresi, perpecahan keluarga, dan
keinginan untuk bunuh diri, dan beban biaya pada keluarga pasien luka
bakar yang luas sangatlah besar (Herndon, 2009).
54
G.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pulse Oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang
meningkat palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin, sehingga
kadar
karboksihemoglobin
seringkali
diartikan
sebagai
oksihemaglon.
b. Analisa Gas Darah
Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan
asam basa, dan kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran
rumah tangga dan biasanya terjadi peningkatan kadar laktat plasma
c. Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari
resusitasi cairan dalam jumlah besar.
d. Darah Lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi
sesaat setelah trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif
akibat pemulihan volume intravaskular. Anemia berat biasanya
terjadi akibat hipoksia atau ketidakseimbangan hemodinamik.
Peningkatan sel darah putih untuk melihat adanya infeksi.
2. Foto Thorax
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul
sesudahnya termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS
3. Laringoskopi dan Bronkoskpi Fiberoptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun
terapeutik. Pada bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga,
eritema, sputum dengan arang, petekie, daerah pink sampai abu-abu
karena nekrosis, ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial
berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik pada kasus-
55
kasus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup
memadai.
H.
Penatalaksanaan
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah
mengalami luka bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat
bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang
didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan
psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang dianggap penting.
Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu :
1.
56
dapat
dipulangkan
atau
tidak
adalah
dengan
klien
untuk
dapat
menjalankan
atau
57
lain
yang
diperlukan
adalah
tentang
58
pencegahan
komplikasi,
diet,
berbagai
59
kateter
harus
dilakukan
untuk
resiko
terjadinya
aspirasi.
Disfungsi
60
tambahanuntuk
menentukan
adekuat
tidaknya
resusitasi.
Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi
pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen),
creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas
darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus
diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes
laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk
mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin
perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus
menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB
berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik
dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai
riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.
f)
Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian
obat narcotik intravena, seperti morphine. Pemberian
melalui intramuskuler atau subcutan tidak dianjurkan
karena absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik
selama periode ini bila hipovolemia dan perpindahan
cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga
pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak
dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.
g) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan
torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi, oleh
karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih
mudah terjadi selama resusitasi, bila cairan berpindah ke
dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada
LB
yangmengenai
61
sekeliling
ekstremitas,
maka
pengkajian
ekstremitas
bagian
yang
sering
terhadap
distal
sangatlah
penting
perfusi
untuk
dilakukan.
Perawatan luka dibagian emergensi terdiri dari
penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju
hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka
bakar yang mengenai kepala dan wajah diletakan pada
posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar
dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan
jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan
pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan
kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri.
Kemudian dibawa menuju fasilitas kesehatan.
2.
Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah
stabil, permeabilitas kapiler membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini
umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai
berikut : mengatasi infeksi, perawatan luka, penutupan luka, nutrisi,
managemen nyeri, dan terapi fisik.
a.
Perawatan luka
Perawatan
penyembuhan
luka
luka.
diarahkan
Perawatan
untuk
luka
meningkatkan
sehari-hari
meliputi
mungkin
terjadinya
pendarahan
dan
untuk
63
2) Debridemen
Debridemen
luka
meliputi
pengangkatan
eschar.
fibrinolitik.
Produk-produk
ini
secara
selektif
64
pada
LB
dapat
ditreatmen
dengan
65
luka
Sedangkan
menjadi
kelemahan
lebih
dari
sederhana/mudah.
metode
ini
adalah
bermacam-macam
tipe
balutan
yang
pada
cream
yang
digunakan.
Dalam
dipertimbangkan
bila
akan
Terapi fisik
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencegah dan
menangani kontraktur meliputi terapi posisi, ROM exercise, dan
pendidikan pada klien dan keluarga.
66
1) Posisi Terapeutik
Tabel dibawah ini merupakan daftar tehnik-tehnik posisi
koreksi dan terapeutik untuk klien dengan LB yang mengenai
bagian tubuh tertentu selama periode tidak ada aktifitas
(inactivity periode) atau immobilisasi. Tehnik-tehnik posisi
tersebut mempengaruhi bagian tubuh tertentu dengan tepat
untuk mengantisipasi terjadinya kontraktur atau deformitas.
2) Exercise
Latihan ROM aktif dianjurkan segera dalam pemulihan
pada fase akut untuk mengurangi edema dan mempertahankan
kekuatan dan fungsi sendi. Disamping itu melakukan
kegiatan/aktivitas sehari-hari (ADL) sangat efektif dalam
mempertahankan fungsi dan ROM. Ambulasi dapat juga
mempertahankan kekuatan dan ROM pada ekstremitas bawah
dan harus dimulai bila secara fisiologis klien telah stabil. ROM
pasif termasuk bagian dari rencana tindakan pada klien yang
tidak mampu melakukan latihan ROM aktif.
3) Pembidaian (Splinting)
Splint digunakan untuk mempertahankan posisi sendi dan
mencegah atau memperbaiki kontraktur. Terdapat dua tipe
splint yang seringkali digunakan, yaitu statis dan dinamis.
Statis splint merupakan immobilisasi sendi. Dilakukan pada
saat immobilisasi, selama tidur, dan pada klien yang tidak
kooperatifyang tidak dapat mempertahankan posisi dengan
baik. Berlainan halnya dengan dinamic splint. Dinamic splint
dapat melatih persendian yang terkena.
4) Pendidikan
Pendidikan pada klien dan keluarga tentang posisi yang
benar dan perlunya melakukan latihan secara kontinue.
Petunjuk tertulis tentang berbagai posisi yang benar, tentang
67
I.
Pengkajian
a.
Triage
b.
Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual atau potensial dari kondisi life threatning
(berdampak terhadap kemampuan klien untuk mempertahankan
hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi,
perkusi
Airway
Pada
permulaannya
airway
biasanya
tidak
68
akan
timbul
suara
tridor/crowing.
Bila
Breathing
Gangguan
breathing
yang
timbul
cepet,dapat
disebabkan karena :
a) Inhalasi partikel-partikel panas yang menyebabkan
proses peradanagan edema pada saluran jalan nafas
yang paling kecil mengatasi sesak yang terjadi adalah
dengan penanganan yang agresif, lakukan airway
definitif untuk menjaga jalan nafas.
69
belum
menunjukkan
terlihat.
tingkat
Pulse
saturasi
oksimeter
O2
yang
akan
cukup,
b).
c).
d).
2 detik menunjukkan
Masukkan
buah
kateter
IV
berdiameter
70
g).
4)
Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda
lateralisasi (pupil dan motorik). Kepanikan mungkin
menimbulkan bantuan sehingga perdarahan intra-kranial
dapat saja terjadi,sebagai akibat dari trauma penyerta
dengan manifestasi klinis pasien mengalami gelisah dan
penurunan
kesadran
sebagai
tanda
dari
terjadinya
hipoksia.
Bila dalam keadaan emergency, petugas boleh juga
menentukakn derajat kesadaran pasien dengan metode :
A
: dari alert(sadar/waspada
5).
Ekspouse
Pada ekspouse, lepaskan semua pakaian termasuk
perhiasan pasien, lalu periksa bagian depan dab belakang
tubuh pasien namun selalu perhatikan penderita janagn
sampai hipotermi dengan menjaga agar pasien tetap
hangat.
71
c.
Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC
yang ditemukan pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian
sekunder meliputi pengkajian obyektif dan subyektif dari
riwayat keperawatan (riwayat
penyakit
sekarang,
riwayat
Identitas
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, alamt, tnggal MRS, dan informan apabila
dalam melakukan pengkajian klita perlu informasi selain
dari klien. Umur seseorang tidak hanya mempengaruhi
hebatnya luka bakar akan tetapi anak dibawah umur 2
tahun dan dewasa diatsa 80 tahun memiliki penilaian
tinggi terhadap jumlah kematian (Lukman F dan Sorensen
K.C). data pekerjaan perlu karena jenis pekerjaan
memiliki resiko tinggi terhadap luka bakar agama dan
pendidikan menentukan intervensi ynag tepat dalam
pendekatan.
2)
Keluhan Utama
Keluhan
utama
yang
dirasakan
oleh
klien
luka
kerena
iritasi
terhadap
saraf.
Dalam
72
3)
serta
keluhan
klien
selama
menjalan
5)
6)
Pola ADL
Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS
dan apabila terjadi perubahan pola menimbulkan masalah
bagi
klien.
Pada
pemenuhan
kebutuhan
nutrisi
pemeliharaan
kebersihan
badan
mengalami
Riwayat Psikososial
73
Aktifitas / Istirahat
Tanda : Penurunan kekuatan, tahanan ; keterbatasan
rentang gerak pada area yang sakit ; gangguan massa otot,
perubahan tonus.
9)
Sirkulasi
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT) :
hipotensi (syok); penurunan nadi perifer distal pada
ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum
dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok
listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok
listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka
bakar).
10)
Integritas Ego
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan,
kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri, marah.
11)
Eliminasi
Tanda : haluaran urine menurun/tak ada selama fase
darurat; warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi
mioglobin,
mengindikasikan
kerusakan
otot
dalam;
74
Makanan / Cairan
Tanda : oedema jaringan umum; anoreksia; mual / muntah
13)
Neurosensori
Gejala : area batas; kesemutan
Tanda : perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan
refleks tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas;
aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan
retinal; penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik);
ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera
listrik pada aliran saraf).
14)
Nyeri / kenyamanan
Gejala : Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama
secara eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan
udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang
derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka
bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan
ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
15)
Pernafasan
Gejala : terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama
(kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda : serak; batuk mengii; partikel karbon dalam
sputum; ketidakmampuan menelan sekresi oral dan
sianosis; indikasi cedera inhalasi. Pengembangan torak
mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada;
jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan
dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas:
gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal);
sekret jalan nafas dalam (ronkhi).
16)
Keamanan
75
dengan
variase
intensitas
panas
yang
: Alergy
76
Diagnosa Keperawatan
a.
b.
77
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
78
3.
Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
pola
Tujuan (NOC)
Intervensi (NIC)
nafas selama 30 menit, diharapkan pola nafas klien 1. Monitor tanda-tanda vital
trauma
pernafasan
pergerakan
dinding
dada,
lihat
dan interkosta
35,5 37,5oC)
4. Pantau
pola
nafas
(dyspnea,
bradypnea,
79
dengan
dokter
mengenai
penggunaan oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang terpasang
4. Pantau efektifitas terapi oksigen
2.
Gangguan
pertukaran
gas selama
menit,
diharapkan
gangguan
alveolar
luka
pernafasan
Oxygen Therapy
trauma inhalasi
2. Konsultasikan
100%)
dengan
dokter
mengenai
penggunaan oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang terpasang
4. Pantau efektifitas terapi oksigen
3.
Ketidakefektifan
perfusi
80
trauma
dan hasil :
penurunan suplai O2
ke jaringan
2. Kaji nyeri
35,5 37,5oC)
4. Akral hangat
4.
Nyeri
adanya
kerusakan
(skala 0 10)
3. Anjurkan klien untuk menunjukkan ekspresi
perasaan tentang nyeri
4. Ajarkan
2. Nyeri terkontrol
klien
dalam
manajemen
nyeri
81
5.
dengan
trauma
kerusakan
permukaan
karena
yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
lapisan kulit
kering
terjadinya
proses
penyembuhan luka
6.
Resiko
volume
24
jam,
diharapkan
klien
82
kehilangan
melalui
3. Periksa CRT
abnormal luka
Resiko
infeksi Setelah
dilakukan
tindakan
atau RL
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan 1. Monitor tanda-tanda infeksi (calor, dolor, rubor,
pertahanan
tidak
adekuat
kerusakan
perlindungan kulit
; kriteria hasil :
tumor)
2. Ajarkan klien dan keluarga mengenali tanda-tanda
klien
dan
keluarga
menghindari infeksi
83
cara
untuk
Infection Control
1. Jelaskan pentingnya teknik cuci tangan yang baik
untuk semua individu yang datang kontak dengan
klien
2. Jelaskan teknik isolasi yang tepat sesuai indikasi
3. Cukur rambut disekitar area yang terbakar
meliputi 1 inci dari batas yang terbakar
4. Periksa area yang tidak terbakar
5. Bersihkan jaringan nekrotik yang lepas (termasuk
pecahnya lepuh) dengan forcep
8.
dilakukan
tindakan
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam. diharapkan 1. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah
dengan
kekuatan
ketahanan
1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal 2. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
(TD : 120/90 mmHg, Nadi : 60 3. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
100x/menit, RR : 16 24x/menit, Suhu :
o
35,5 37,5 C
84
3. Mengerti
tujuan
dari
mobilitas
4. Memverbalisasikan
perasaan
dalam
Ketidakseimbangan
tubuh
menunjukkan
24
jam,
pemasukan
diharapkan
nutrisi
status
hipermetabolik
2. Nutrisi adekuat
Nutrition Management
3. Energi adekuat
5. Bising usus dalam rentang normal (6 3. Identifikasi alergi makanan pada klien
12x/menit)
85
86
BABA III
PEMBAHASAN KASUS
A.
Pengkajian
1.
Identitas Klien
Nama
: Tn. X
Umur
: 50 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Diagnosa Medis
2. Triage
P1
Airway
Suara yang serak dan kalimat yang pendek-pendek.
2)
Breathing
Sesak nafas, frekuensi nafas 35 x/menit.
3)
Circulation
Nadi 1000 x/menit, Suhu 38,20 C, TD: 140/90
mmHg, eritema pada wajah, leher, dada perut, dan hampir
seluruh lengan kiri, terdapat bula, pembengkakan, lepuhan
dan luka bakar sirkumferensial, beberapa bula sudah pecah
dan berair, alis tampak terbakar, luka bakar sampai
epidermis dan sebagian dermis, dasar luka berwarna
merah dan pucat. Klien mendapatkan terapi infus RL 1
kolf
4)
Disability
Klien sempat tidak sadar selama 5 menit, Klien
tampak sadar
87
5)
Exposure
Terdapat eritema pada wajah, leher, dada perut, dan
hampir seluruh lengan kiri, terdapat bula, pembengkakan,
lepuhan dan luka bakar sirkumferensial, beberapa bula
sudah pecah dan berair, alis tampak terbakar, luka bakar
sampai epidermis dan sebagian dermis, dasar luka
berwarna merah dan pucat. Klien mengalami hipertermia
dengan suhu 38,2oC.
6)
Folley catheter
Klien terpasang kateter urine
7)
8)
Heart Monitor
Tidak terdapat dalam kasus
b.
Pengkajian Sekunder
1)
2)
Keadaan umum
TD
: 140/90 mmHg
: 100 x/menit
: 38,20 C
RR
: 35 x/menit
Status Gizi
TB : 170 cm
BB : 65 kg
3)
Keluhan utama
Klien mengatakan, Sesak nafas
4)
Anamnesa
a) A
88
Terdapat
eritema
pada
c) Leher
e) Mata
f)
Hidung
g) Mulut
h) Paru-paru
i)
Jantung
j)
Abdomen
l)
Ekstremitas
Pada
ekstremitas
atas
89
Terapi mebo
b)
Infus RL 1 kolf
c)
Anti tetanus
d)
Analgetik
90
B.
Data Fokus
Etiologu
Masalah Keperawatan
(Subjektif-Objektif)
1
Ds
Luka Bakar
Do :
-
Respirasi 35X/Menit
Nadi: 100X/Menit
Suhu: 38,20C
Asap Terhirup
Trauma Inhalasi
Edema Laring
terbakar
Do :
Luka Bakar
91
Nyeri Akut
Skala nyeri 6
Menstimulasi nyeri
Nyeri Akut
Ds
Do :
-
Radikal Listrik
Luka bakar sampai epidermis dan
sebagian dermis
Luka Bakar
Klien
mengalami
lepuhan,
dan
pembengkakan,
luka
bakar
kolf
Edema General
Ds :
Do :
-
Luka Bakar
sebagian dermis
-
Klien
mengalami
lepuhan,
dan
pembengkakan,
luka
bakar
Ds
Do :
-
Radikal Listrik
Luka bakar sampai epidermis dan
sebagian dermis
Luka Bakar
lengan kiri
-
Klien
mengalami
lepuhan,
pembengkakan,
dan
luka
bakar
Klien
mendapatkan
anti
tetanus
Macrophage
Resiko Infeksi
94
Resiko Infeksi
95
C.
Diagnosa Keperawatan
1.
2.
3.
4.
5.
96
D.
Diagnosa Keperawatan
Noc
Nic
Rasional
sehingga kebutuhan
O2
terpenuhi.
2. Posisikan
klien
untuk
memaksimalkan ventilasi.
3. Identifikasi
klien
2. Mempermudah
jalan
3. Membantu
patency
airway.
4. Airway adekuat.
mencegah
pola
napas.
7. Auskultasi
97
suara
nafas,
catat
7. Mengetahui
apakah
terdapat
bunyi
napas
tambahan.
8. Monitor respirasi dan status O2.
8. Mengetahui
kebutuhan
oksigenasi.
Oxygen therapy :
Oxygen therapy :
1. Meningkatkan
trakea.
rasa
2. Pertahankan
jalan
nafas
yang
paten.
2. Mempertahankan sirkulasi
oksigenasi.
3. Membantu
memenuhi
kebutuhan oksigenasi.
4. Monitor aliran oksigen.
4. Mengetahui
kebutuhan
oksigenasi
yang
diperlukan.
5. Pertahankan posisi klien.
5. Airway patency.
6. Observasi
6. Mencegah
adanya
tanda-tanda
hipoventilasi.
hipoventilasi
terjadinya
yang
berisiko terjadi.
7. Monitor adanya kecemasan klien
98
terhadap oksigenasi
Setelah
dilakukan
Manajemen nyeri :
1. Mengetahui
intensitas
pencetus nyeri.
a. Klien
mengidentifikasi
mampu 2. Pastikan
perubahan
pasien
menerima
b. Klien
menggambarkan
klien.
3. Kaji efek nyeri yang dialami
mampu
terhadap
cara
kualitas
(tidur,aktifitas,
mengatasi nyeri
3. Untuk
menentukan
hidup
serta
mood
harus
c. Nyeri <
d. Management nyeri adekuat
intensitas
2. Mengurangi
diberikan
pada
klien.
4. Evaluasi
sebelumnya,
pengalaman
nyeri
termasuk
riwayat
mana
tingkat
perkembangan kesehatan
klien.
5. Berikan
99
5. Menambah
pengetahuan
berlangsung
dan
ketidaknyamanan
antisipasi
dari
nyeri.
prosedur
tindakan.
6. Membantu
cahaya
dan
suara
pencetus
yang
mencegah
bising.
7. Kurangi
faktor
meningkatkan
nyeri,
takut,
7. Meningkatkan
management nyeri.
8. Menambah
pengetahuan
nyeri.
nyeri.
9. Menambah
pengetahuan
nyeri.
dialami.
dilakukan
dan
Manajemen cairan :
menyebabkan
100
defisit
volume
cairan
cairan.
hasil :
a. Volume cairan adekuat
c. Mukosa lembab
2. Mengetahui
jumlah
3. Monitor
kecenderungan
dalam
klien
pemenuhan
cairan
akan
kebutuhan
nutrisi
elektrolit
dan
bagi
tubuh klien.
Management hipovolemi :
Management hipovolemi :
sekali.
2. Monitor
101
kulit,
lidah,
2. Mengetahui
status
pemenuhan
kebutuhan
volume cairan.
3. Pertahankan ketepatan cairan.
3. Pemenuhan
kebutuhan
cairan adekuat.
4. Kaji
pengetahuan
klien
dan
4. Mengetahui
pengetahuan
volume cairan.
tingkat
klien
dan
penurunan volume
cairan.
intake
dan
output
cairan
dilakukan
1. Anjurkan
menggunakan
kulit
longgar.
klien
teratasi
dengan
5. Pengetahuan management
klien
pakaian
Pressure management :
untuk
1. Mencegah bertambahnya
yang
kriteria hasil:
bakar.
di
pertahankan
(sensasi,
102
elastisitas,
temperatur,
akibat
hidrasi, pigmentasi)
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
kulit
akibat
tirah
kulit
akan
adanya
kemerahan.
mempertahankan
kulit
terjadinya
cedera berulang
kelembaban
proses
pemahaman
mencegah
3. Membantu
dan
pada
d. Menunjukan
gesekan
dan
perawatan alami
7. Mengetahui
mobilisasi
Perawatan luka :
Perawatan luka :
1. Mengetahui
103
status
keadaan
kulit
yang
2. Mengetahui
adanya
perubahan
warna,
kemerahan,
3. Mengetahui
status
perkembangan
penyembuhan luka bakar
pada klien.
4. Ajarkan klien mengkaji kulit dan
4. Menambah
pengetahuan
infeksi,
komplikasi
dan
penyembuhan luka.
dilakukan
peningkatan diharapkann
klien
mampu
jam.
dasar
mengetahui
Kontrol Infeksi :
untuk
keadaan
normal.
2. Gunakan
104
metode
kriteria hasil:
a. Resiko infeksi tidak terjadi
adanya infeksi.
dari infeksi.
mencegah
komplikasi.
6. Lakukan
pendidikan
kesehatan 6. Untuk
tanda-tanda infeksi.
memberikan
Proteksi Infeksi :
Proteksi Infeksi :
1. Mengetahui
tanda
dan
gejala infeksi.
2. Monitor hitung granulosit, WBC.
2. Mengetahui
granulosit,
dapat
nilai
WBC
yang
mempengaruhi
risiko infeksi.
3. Monitor
infeksi.
kerentanan
terhadap
3. Mengetahui
status
105
4. Batasi pengunjung.
4. Mencegah
infections.
106
cross
E.
keadaan overload yang terjadi sudah dalam keadaan parah, akan tetapi di
dalam kasus tidak terdapat pengkajian keadaan jantung secara spesifik.
Pada kasus, pasien sudah mengetahui mengalami gagal ginjal sejak 3
bulan yang lalu, seharusnya pasien sudah membatasi minum agar tidak
memperparah edemanya serta segera berkonsultasi dengan tim medis untuk
melakukan cuci darah atau hemodialisa.
107
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan pemanjanan (exprosure) berlebihan terhadap sinar matahari.
Luka bakar akibat suhu panas dan suhu dingin. Luka bakar akibat
suhu panas disebabkan oleh terpapar atau kontak dengan api, cairan panas
atau objek-objek panas lainnya sedangkan luka bakar akibat suhu dingin yaitu
ketika terpapar dengan suhu dingin yang ekstrim yang sering kali menyerang
bagian perifer tubuh seperti jari-jari kaki dan tangan, kaki, tangan, dan
telinga.
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan
asam atau basa kuat. Luka bakar kimia dapat terjadi karena kontak dengan
zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga dan
berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian, dan
militer.
Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Terdapat tiga macam terjadinya cidera
listrik yaitu luka bakar listrik akibat kontak langsung, luka bakar akibat
percikan atau loncatan bunga api listrik, dan luka bakar tersambar listrik.
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber
radioaktif. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga
merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka
bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung
jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada
pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan
keluarga atau orang lain yang dianggap penting.
108
B. Saran
1.
Bagi Mahasiswa
Dapat memahami dan menganalisis kasus yang diberikan
dosen sehingga diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan
keperawatan pada mayarakat saat dilapangan atau dilahan praktik
khususnya pada keperawatan gawat darurat 2.
2.
109
SUMMArY. Made by bees from the nectar of flowers, used since ancient times to treat wounds and burns, honey has lately acquired a growing interest from the international scientific community and has been the subject of many specialized studies and
communications. This article highlights the up-to-date knowledge on qualities, properties and mode of appliance of honey in the
treatment of wounds of various etiologies, particularly burns, through an extensive retrospective analysis of data from the literature. This article aims to review and provide a synthesis of current issues regarding the complex action of honey on burn wounds,
evidenced by in vitro studies, laboratory experiments and clinical trials published in the specialized literature. The present work
analyzes extensively the anti-infectious and anti-inflammatory properties of honey, as well as its favorable effect on wound regeneration. Effectiveness of topical administration of honey is evidenced both by a series of experiments on laboratory animals and
by clinical trials. This article also draws the attention of both medical staff and patients to the possibility of using this product,
and to its acceptability in practice.
Keywords: honey, burns, clinical studies, effectiveness, acceptability
Introduction
Honey is a viscous concentrated solution of sugars produced by bees (Apis mellifera) that collect and process the
blossom nectar (flowers or floral honey) or sweet juices
on certain plant species (honeydew or forest honey). Honey is one of the most complex and valuable natural biological products used since ancient times, both in nutrition
and medicine (through internal and external means). Among
other medical uses, honey has served in wound care since
ancient times:1-4
Sumerian civilization (fragments of pottery, 21002000 BC)
Ancient Egyptian civilization (The Edwin Smith
Papyrus, 2600-2200 BC)
Ayurveda and Chinese medicine
Ancient Greek civilization (Dioscorides De Materia Medica, for treating fistulising wounds; Hippocrates)
Ancient Rome civilization (Pliny, for treating infected wounds)
Mentions in the Bible and the Quran.
After having served an important role in the medical
tradition of many peoples for millennia, honey was rediscovered by modern medicine as a topical agent for
treating wounds and burns.4 Therapeutic properties of honey have been scientifically highlighted by numerous in vit-
ro studies, laboratory experiments and clinical trials performed during the last century. However, the impression
that the use of honey in wound treatment would not have
scientific support5 still persists sometimes in the medical
community.
Moreover, the current promotion of different types of
modern dressings for wounds (for instance, nanocrystalline
silver dressings) hides the fact that there is little published
6
evidence to support the use of these products.5, A recent
systematic review of publications on the use of advanced
dressings in the treatment of pressure ulcers revealed that
their widespread use is not supported by good quality studies.5, 7 Thus, the vast amount of evidence that proves the
efficiency of honey and supports its use in wound treatment, compared with the existing evidence for other wound
care products, allows us to consider the use of honey as
a viable option for wounds treatment.5
The ideal topical preparation for wounds should meet
the following criteria:8, 9
Bactericidal and fungicidal action, rapid set up and
wide spectrum, even under the unfavorable situations of heavy exudation or wound infection;
Enhancement and acceleration of the physiologic
process of wound healing (granulation, epithelialization, contraction);
No local or systemic adverse effects (allergy, toxicity etc.), even if applied for prolonged periods;
* Corresponding author: Andrei Zbuchea, Bucharest, Romania. Tel.: 0040721808946; email: a_zbuchea@yahoo.com
22
A plethora of data is available in the literature regarding the use of honey for burn treatment, providing
comprehensive analyses. These are accessible from databases, such as Medline, from journals, such as Burns and
the Annals of Burns and Fire Disasters, from search engines and from specialized books. No restrictions were applied regarding the source or date of publication, with the
most representative and reliable studies being selected. The
complex activity of honey in burns lesions was evidenced
by its properties and effects (anti-infectious, anti-inflammatory, antiexudative, antioxidant, wound healing, wound
debriding and nutritional), as revealed from the studies undertaken. Effectiveness of topical administration of honey
was highlighted both by a series of experiments on laboratory animals, and by clinical trials. Risks, application
procedures and acceptability of honey in practice were also investigated.
results and discussions
The anti-infectious property of honey, a traditional remedy for the treatment of infected wounds, was confirmed
through laboratory research. Honey has proven to have a
broad-spectrum anti-infectious action against at least 80
species of micro-organisms including Gram positive and
10, 11
some
Gram negative bacteria, aerobes and anaerobes,
11
fungal species of Aspergillus and Penicillium and all the
common dermatophytes,12 including types of bacteria multi-resistant to antibiotics, such as Pseudomonas, Acinetobacter, methicillin-resistant (MRSA) and coagulase-negative Staphylococcus aureus, with a minimum inhibitory
concentration (MIC) generally below 10%, usually inferior to that present in wounds where the honey was applied.13-20 The increasing interest in the use of honey in infected wounds is strengthened by the widespread development of bacterial resistance to antibiotics,21, 22 as well as
evidence that honey is fully effective against such antibiotic-resistant bacteria.21 There was no loss of bacterial sensibility to honey over time and no appearance of bacteria
resistant mutants.23 In many cases, honey acted where other antibacterial therapies failed,24 possibly because honey is
effectively including aggregated bacteria in biofilms,25-28 a situation where antibiotics and silver dressings proved ineffective.29
The antibacterial property of honey was first recognized in 1892 by the Dutch scientist van Ketel.8 Many considered this property to be entirely due to the osmotic ef8, 30-35
Honey possesses
fect of high glucidic concentrations.
a level of osmolarity which is able to inhibit microbial
growth.36 But the antibacterial quality of honey is also due
to other factors. Honey contains an agent that was called
inhibine before its identification as hydrogen peroxide.
This is a well-known antimicrobial agent that is produced
by the enzyme glucose oxidase in honey,37 secreted by the
hypopharyngeal glands of bees. Under the action of glucose oxidase, glucose oxidation makes gluconolactone and
hydrogen peroxide.
Hydrogen peroxide produced by honey may also accelerate the healing process observed when honey is ap38, 39
plied to wounds.21,
Hydrogen peroxide has been involved in many cell types in the human body as a stimulus for cell proliferation,14 for the growth of fibroblasts and
epithelial cells to repair damage,40 for the development of
new capillaries in damaged tissue41 as part of the normal
inflammatory response to injury or infection. Low concentrations of hydrogen peroxide have been proposed to
stimulate wound healing, instead of recombinant growth
factors,40 but only if the concentration of hydrogen peroxide could be carefully controlled in order to avoid tissue
damage42 by production of oxygen radicals at high concentrations.43, 44
The production rate of hydrogen peroxide by glucose
oxidase largely depends on the degree of honey dilution,37
and it is minimal in concentrated honey.37, 45 The fact that
the antibacterial properties of honey are amplified when it
is diluted has been clearly observed and reported since
46
1919.11, The maximum accumulated hydrogen peroxide
(1-2 mmol/L)16 is found in diluted honey solutions at concentrations between 30% and 50% (v/v), at least 50% of
the maximum level at concentrations between 15-67%
(v/v). Variation of glucose oxidase activity by diluting honey can be explained by enzyme inactivation due to the low
pH of concentrated honey47 and the availability of free water required to activate the enzyme in honey (water in concentrated honey is almost entirely bound by carbohydrates).48 This variation suggests that honey enhances its
antimicrobial activity when applied to the wound, as it dilutes and neutralizes the exudate at this level. The amount
of hydrogen peroxide found inside the wound depends on
the balance between its production rate (honey glucose oxidase) and the rate of destruction (plasma enzymes such
as catalase and glutathione peroxidase).49, 50
Additional non-peroxide antibacterial factors were
identified in some honeys treated with catalase to remove
the hydrogen peroxide activity,51, 52 for example methylglyoxal53 (in Manuka honey from New Zealand), bee-defensin-154 and melanoidins.55 Honey is produced from various floral sources and its antibacterial potency varies wide23
ly (up to 100 times)56 depending on its origin and processing. Therefore, it was proposed that honey should be
selected for clinical use according to the antibacterial ac45
tivity levels determined by bacteriological tests. Howev57
er, in clinical trials of honey of floral origin and antibacterial potency there was found to be no correlation in
the difference in effectiveness of treating burns. It was noted that applying honey causes a reduction in inflammation
and scar contractures, and that the antioxidant effect of
honey in neutralizing free radicals, together with antibacterial action, low pH, high viscosity and hygroscopic effect, all contribute to the efficiency of honey in burns treatment.57 The anti-infectious activity of honey on the wound
reflects more than just intrinsic antibacterial properties.11
Laboratory studies have shown that, at concentrations of
only 0.1%, honey activates phagocytes and stimulates proliferation of peripheral blood B lymphocytes and T lymphocytes in cell cultures.58 Honey (at a concentration of
1%) also stimulates monocytes in cell culture to release
cytokines: tumor necrosis factor alpha (TNF) and interleukin (IL: IL1 and IL6), which activates immune response
to infection 59, 60 and initiates tissue repair processes.5 It has
also been shown that honey stimulates the production of
antibodies in mice in response to antigens of Escherichia
coli.61 These findings suggest that part of the effectiveness
of honey in eliminating and preventing infection in the
wound may be due to the strengthening of the bodys own
immune system, as well as the antibacterial activity of honey.5 In addition, the glucose content in honey and acidic
pH (usually pH between 3 and 4) can support the
macrophages to destroy the bacteria.62
As well as the antibiotic activity of honey, a number
of studies have shown its anti-inflammatory, anti-edematous and anti-exudative activities. This is evidenced by assessment of local wound evolution,32, 63-70 biochemical tests
of indicators of inflammation (decreased malondialdehyde
and lipid peroxide values)71-73 and histopathology exams
(decrease of inflammatory cells).64 Possible mechanisms of
inflammatory activity are: inhibition of complement,74 inhibition of nitric oxide production by macrophages,75 inactivation and suppression of reactive oxygen species
(ROS) by phagocytes,59, 74, 76-78 decrease of thermal injuryinduced oxidative stress by controlling free radicals that
are formed in the burn wound72 and an anti-inflammatory
factor identified as apalbumina-1, a protein secreted by
bees.78 The anti-inflammatory effect and suppression of
ROS, which overstimulate fibroblasts, lead to a reduction
of fibrosis and hypertrophic scarring.67, 80 In contrast, synthetic anti-inflammatory drugs do not promote wound healing (non-steroidal anti-inflammatory substances are cytotoxic drugs, and corticosteroids inhibit the growth of epithelium).24
In some experimentally induced burns, there was no
obvious infection, but honey continued to cause a decrease
24
in inflammation. This shows that the anti-inflammatory activity of honey is a direct action and not a side effect of
5
eliminating infection by antibacterial activity. The direct
anti-inflammatory activity of honey is also highlighted by
the finding that honey is as effective as prednisolone in a
trial on induced colitis in rats,81 and a statistically significant (p <0.001) reduction of postoperative peritoneal adhesions on the cecum and ileum in another trial on rats.82
Also, a laboratory experiment demonstrated the direct anti-inflammatory activity of honey, by a significant (p<0.001)
reduction of ROS released from monocytes in culture that
had been stimulated with Escherichia coli lipopolysaccharide.5, 59
Studies have also revealed an intrinsic antioxidant activity of honey, by controlling free radicals72 and ROS.83
The ROS act as messengers that amplify the inflammatory response84 and this process can be blocked by antioxidant substances85 present in honey at a high level.83, 86 Also, ROS produced by phagocytes in inflamed tissues activate proteases that are normally inactive.87-89 and their activated forms digest extracellular matrix and cell growth
factors that are essential for tissue repair.24, 90
Besides its own anti-infectious, anti-inflammatory and
antioxidant actions, honey creates a physical barrier and
moist local environment, due to its high viscosity and to
the drawing of fluids by osmosis. This promotes healing
of burn wounds because wounds heal faster when kept
moist as opposed to when they are left to dry out and form
a scab.24, 91, 92 A moist environment ensures the growth of
epithelial cells, the contraction of fibroblasts to approach
the wound edges, as well as non-adherence of dressings
to the wound, leading to easy and painless dressing changes,
without the risk of breaking newly formed epithelium.24
Also, a local environment allows the protein-digesting enzymes in the wound tissues to work and loosen any scab
and dead tissue.24
Honey is further known to have a wound debriding
action, as found in clinical trials.64-70, 93-99 Honey activates
plasminogen and increases plasmin enzyme activity, which
lyses fibrin attaching slough, by suppression of the
macrophage plasminogen activation inhibitor. Plasmin digests fibrin, which attaches debris on wound surface, but
does not digest collagen extracellular matrix, which is necessary for tissue repair.24
Honey also has a nutritional action in the wound, indirectly through osmotic flow of lymph, which brings nutrients needed for healing, but also directly through an intake of easily metabolized carbohydrates, amino acids, vitamins and minerals.24, 38, 64 Studies have shown that wounds
heal faster if they are supplied with a mixture of nutrients.100-102 Honey provides glucose support for epithelial
cells, leukocytes and for the process of glycolysis. The
epithelial cells require a reserve of carbohydrates for energy migration over the wound surface to restore epithe-
26
Wound cavities were either filled with honey-impregnated dressings66 or filled directly with honey
93, 96
and then covered with gauze.
Dressing changes, mostly daily,65, 93, 95-97, 122, 126 varied
from 2-3 times per day70, 94, 118, 119, 131 to once every 23 days,64, 67, 69, 80, 123 depending also on the appearance
and evolution of the wounds (clean wounds with
reduced exudate require less frequent dressing
changes).
Liquid honey can be used on large areas93 (be it
naturally fluid or made so through vigorous stirring or by heating below 40C). Crystallized honey can easily be made fluid through careful heating. Overheating of honey should be avoided, since
the enzyme glucose oxidase in honey that produces
hydrogen peroxide, a major component of honeys
antibacterial activity, is easily inactivated by heat.36
All of the aforementioned experiments, research and
innovations, as well as clinical utilization, highlight the increasing interest and confidence in honey as an effective
remedy for wound care. Honey, the oldest wound dressing material known to medicine,5 was used systematically for wound treatment, as well as for its benefits as a food
and form of medication. In the early 1940s, however, when
antibiotics came onto the scene, honey was no longer used
to the same degree in wound therapy.132 Just as with colloidal silver, honey is now being reconsidered for wound
healing due to the rising problem of bacteria with multiple resistance to antibiotics.24, 25 Unlike with antibiotics, studies have shown no development of bacterial resistance and
no emergence of mutants resistant to honey,25, 133 whose remarkable therapeutic properties are recommended in wound
care, as well as modern pharmaceuticals.24
Studies have also shown high patient acceptability to
honey therapy,134 due to the favorable effects observed in
practice: decreased pain, reduced wound size, and deodorizing effects.132, 35, 136 Any reservations or even opposition to
the use of honey in wound treatment, due to lack of standardization and to its sticky and fluid nature, are now overcome by the manufacture and marketing of honey-based
products. Such products have been licensed and approved
for topical treatment of wounds (available in Australia since
1999, in Europe since 2004 and in North America since
2007).23, 137 There are currently several trademarks (Activon,
HoneySoft, Manuka Health, Medihoney, MelMax, MelDra,
L-Mesitran etc.) and a wide range of sterilized products
containing honey, registered as medical devices and commercially available for the treatment of wounds.24, 138
conclusions
(early excision and grafting), its use requires further exploration. More detailed controlled trials are required to
establish the best indications, methods and modalities of
honey administration for each type and stage of burn. It
is also necessary to have criteria for honey selection over
other forms of treatment in burn management, which, of
course, will also depend on the preferences and experience
of those involved.
rSUM. Fabriqu par les abeilles partir du nectar des fleurs, utilises depuis lAntiquit pour traiter les plaies et les brlures,
le miel a rcemment acquis un intrt croissant de la communaut scientifique internationale et a fait lobjet de nombreuses tudes
spcialises. Cet article met en vidence les connaissances les plus rcentes sur les qualits, les proprits et le mode de lappareil
de miel dans le traitement des plaies dtiologies diverses, en particulier de brlures, travers une analyse rtrospective approfondie des donnes de la littrature. Cet article vise examen les enjeux actuels de laction complexe de miel sur les plaies de brlures, comme en tmoigne les tudes in vitro, des expriences en laboratoire et des essais cliniques publis dans la littrature spcialise. Cet article prsent une analyse approfondie des proprits anti-infectieuses et anti-inflammatoires du miel, ainsi que son
effet favorable sur la rgnration de la plaie. Lefficacit de ladministration topique de miel est mise en vidence la fois par
une srie dexpriences sur des animaux de laboratoire et par des essais cliniques. Cet article attire galement lattention du personnel mdical et des patients sur la possibilit dutiliser ce produit et de son acceptabilit dans la pratique.
Mots-cls: miel, brlures, tudes cliniques, efficacit, acceptabilit
BIBLIoGrAPHY
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
27
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
28
29
30
905, 1973.
124. Subrahmanyam M: Storage of skin grafts in honey. Lancet, 341:
63-4, 1993.
125. Subrahmanyam M: Early tangential excision and skin grafting of
moderate burns is superior to honey dressing: a prospective clinical trial. Burns, 25: 729-31, 1999.
126. Wood B, Rademaker M, Molan PC: Manuka honey, a low cost
leg ulcer dressing. N Z Med J, 110:107, 1997.
127. Betts JA, Molan PC (eds): A pilot trial of honey as a wound
dressing has shown the importance of the way that honey is applied to wounds.11th Conference of the European Wound Management Association, Dublin, Ireland, 2001.
128. Molan PC, Allen KL: The effect of gamma-irradiation on the antibacterial activity of honey. J Pharm Pharmacol, 48: 1206-9, 1996.
129. Postmes T, van den Bogaard AE, Hazen M: The sterilization of
honey with cobalt 60 gamma radiation: A study of honey spiked
with Clostridium botulinum and Bacillus subtilis. Experentia
(Basel), 51: 986-9, 1995.
130. Harris S: Honey for the treatment of superficial wounds: A case
report and review. Primary Intention, 2: 18-23, 1994.
131. Bose B: Honey or sugar in treatment of infected wounds? Lancet,
1: 963, 1982.
132. Molan PC: Re-introducing honey in the management of wounds
and ulcers - theory and practice. Ostomy Wound Manage, 48: 2840, 2002.
133. Blair SE, Cokcetin NN, Harry EJ et al.: The unusual antibacterial activity of medical-grade Leptospermum honey: Antibacterial
spectrum, resistance and transcriptome analysis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis, 28: 1199-208, 2009.
134. Dunford CE, Hanano R: Acceptability to patients of a honey
dressing for non-healing venous leg ulcers. J Wound Care, 13:
193-7, 2004.
135. Lusby PE, Coombes A, Wilkinson J: Honey: A Potent Agent for
Wound Healing? Journal of Wound, Ostomy& Continence Nursing, 29: 295-300, 2002.
136. Maghsoudi H, Salehi F, Khosrowshahi MK et al.: Comparison
between topical honey and mafenide acetate in treatment of burn
wounds. Ann Burns Fire Disasters, 24: 132-7, 2011.
137. Seckam A, Cooper R: Understanding how honey impacts on
wounds: An update on recent research findings.Wounds International, 4: 20-4, 2013.
138. Biglari B, Moghaddam A, Santos K et al.: Multicentre prospective observational study on professional wound care using honey
(Medihoney). Int Wound J, 10: 252-9, 2013.
Funding. None.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi Juanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
American Burn Association. 2012. Burn Incidence and Treatment in the United
States. Fact Sheet http://www.ameriburn.org/resources_factsheet.php,
di akses pada tanggal 28 September 2016
Arif Muttaqin. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta.
Salemba Medika
Black & Hawks, (2009). Keperawatan Medikal Bedah. Singapore: Elsevier
Brunicardi, Charles. Chapter 8: Burns, Schwartzs Principles of Surgery. New
York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division. 2010
Bulechek, M, Gloria, et.all. (2015). Nursing Interventions Classification (NIC).
Elsevier Mosby: St. Louis Missouri.
Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
(Editor: H. Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih). Edisi 8. Vol.1.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
David, S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam :
Surabaya Plastic Surgery.
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi
Berbasis Klinis Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Granger, C.W.J. and Newbold, P. (2009). Spurious Regressions In Econometrics.
Journal of Econometrics 2, 111-120
Grunwald TB, Garner WL. 2008. Acute Burns. Plast Reconstr Surg. Dalam
Melisa Lilisari. 2011.
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka
Bakar. Bagian Ilmu Kesehatann Anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Guyton, C. Arthur dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
ke-11. Cetakan ke-1. Jakarta: EGC
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta : Gosyen Publising.
Herdman, T, Heather and Kamitsuru Shigemi. (2015). Nursing Diagnoses:
Definition & Classification 2015 - 2017. Willey Black Well.
Hidayat, Aziz A. 2008. Keterampilan Dasar Klinik Cetakan II. Jakarta: Salemba
Mardika
Jong, Wim De. Buku Ajar Ilmu Bedah :Luka Bakar. Ed.2. Jakarta: EGC.2011.
Lukmanto, Henny. 2005. Adams Diagnosis Fisik Edisi ke-20. Jakarta: EGC.
Volume
08
Februari
September
2012
Setiawati, A., Suyatna, F.D., dan Gan, Sulistia. (2007). Farmakologi Dan Terapi.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Sjamsuhidajat, R. de Jong, Wim, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Sunatrio S. 2000. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta. Dalam M
Mukhlis Rudi P. 2006.
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. Keperawatan Medikal
Bedah 2 (Keperawatan Dewasa). Nuha Medika: Yogyakarta
Zbuchea, A. 2014. Up-To-Date Use Of Honey For Burns Treatment. Jurnals of
Burns and Fire Disasters, vol 27 (1): 22-30