You are on page 1of 124

LAPORAN SEVEN JUMP

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II PADA KLIEN


DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN AKIBAT LUKA
BAKAR

Dosen Pengampu : Ns. Ahmad Syarifudin, S.Kep

Kelompok B:
Siti Nuraina Inayah
Ady Hidayatullah
Muamar
Nuryadi
Ely Ferdiana
Khaedar Ali
Rina Maryatiana
Chintya Intasari
Agnes Acida
Nelly Sulvassamawati
Rivna Andrari Lanisyah
Afif Ubaidillah
Nurtusliawati
Wiwid Ariska Larasati
Neng Ledy Lestary
fitria Dewi
Nosa Defitha Azka

213.C.0022
213.C.0023
213.C.0027
213.C.0028
213.C.0029
213.C.0030
213.C.0031
213.C.0032
213.C.0034
213.C.0036
213.C.0035
213.C.0040
213.C.0041
213.C.0042
213.C.0043
213.C.0046
214.C.1037

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARDIKA CIREBON
2016/2017

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan dengan
judul Asuhan Keperawatan Gawat Darurat II Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Integumen Akibat Luka Bakar. Laporan ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Reproduksi pada Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon.
Selama proses penyusunan laporan ini kami tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak yang berupa bimbingan, saran dan petunjuk baik berupa moril,
spiritual maupun materi yang berharga dalam mengatasi hambatan yang
ditemukan. Oleh karena itu, sebagai rasa syukur dengan kerendahan hati, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Ns. Ahmad Syarifudin, S.Kep yang telah memberikan bimbingan dan
dorongan dalam penyusunan laporan ini sekaligus sebagai tutor Mata Kuliah
Keperawatan Gawat Daruratan II.
2. Ibunda dan ayahanda yang tercinta serta saudara dan keluarga besar kami yang
telah memberikan motivasi/dorongan dan semangat, baik berupa moril
maupun materi lainnya.
3. Sahabat-sahabat kami di STIKes Mahardika, khususnya Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Semoga Allah swt. membalas baik budi dari semua pihak yang telah
berpartisipasi membantu kami dalam menyusun laporan ini. Kami menyadari
bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.
Penyusun berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amiin
Wassalamualaikum wr.wb.
Cirebon, September 2016
Kelompok B

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................

Daftar Isi .................................................................................................

ii

Laporan Seven Jump ..............................................................................

Step 1 Kata Kunci ..................................................................................

Step 2 Pertanyaan Kasus .......................................................................

13

Step 3 Jawaban Kasus ...........................................................................

14

Step 4 Mind Mapping ............................................................................

25

Step 5 Learning Objektif .......................................................................

26

Step 6 Informasi Tambahan ..................................................................

27

Step 7 Laporan Pendahuluan ................................................................

37

Lampiran 1 Teori dan Analisis Kasus ....................................................

38

Lampiran 2 Jurnal
Daftar Pustaka

ii

SEVEN JUMP

Mata kuliah

: Keperawatan Gawat Darurat II

Tingkat/Semester

: 4/VII

SEKENARIO KASUS II

Seorang laki-laki 50 tahun datang ke IGD karena luka bakar diebabkan


oleh kompor yang meledak 1 jam yang lau ketika sedang bekerja sebagai koki
disebuah restoran. pasien sampai tidak sadar selama 5 menit. pasien tampak sadar
namn tampak sangat sesak dan mengeluh kesakitan dengan suara yang serak dan
kalimat yang pendek-pendek. Hasil pengkajian

terdapat eritema pada wajah,

leher, dada, perut dan hampir seluruh lengan kiri. pada eritema tersebut terdapat
beberapa bula, pembengkakan, lepuhan dan luka bakar sirkumferensial, beberapa
bula sudah pecah dan berair. alis juga tampak terbakar. pasien mengeluh nyeri di
bagian yang terbakar dengan skala 6. luka bakar sudah sampai epidermis dan
sebagian dermis. dasar luka berwarna merah dan pucat. pada pemeriksaan fisik
TD 140/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernafasan 35 x/menit,
suhu 38,2oC.
pasien mendapat terapi mebo, infus RL 1 kolf, karakter urin, anti tetanus
dan analgetik. tinggi badan pasien 170 cm, berat badan 65 kg.
untuk menangani masalah pasien diatas sebagai perawat di IGD akan
melakukan primary survey dan untuk menangani masalah airway dan breathing
yang terjadi pada pasien. Anda juga diminta mencari tanda-tanda trauma inhalasi
pada dan menangani luas luka berdasarkan Rule of Nines
Pertanyaan :
a.

Bagaimana cara menentukan luas luka bakar berdasarkan Rule of


Nines?

b.

Tentukan derajat luka bakar kasus diatas

c.

Bagaimana patofisiologi timbulnya eritema dan bua pada luka bakar


dan kompliasinya?

d.

Apa saja pemeriksaan penunjang pada pasien luka bakar?

e.

Apa saja komplikasin dari luka bakar?

f.

Bagaimana primary survey dan pengelolaannya pada pasien luka


bakar?

A.

TUGAS MAHASISWA
1.

Setelah membaca dengan teliti skenario di atas mahasiswa membahas


kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua dan sekretaris.

2.

Melakukan aktifitas pembelajaran individual di kelas dengan


menggunakan buku ajar, jurnal dan internet untuk mencari informasi
tambahan.

3.

Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa dihadiri fasilitator) untuk


melakukan curah pendapat bebas antar anggota kelompok untuk
menganalisa informasi dalam menyelesaikan masalah.

4.

Berkonsultasi pada narasumber yang telah ditetapkan oleh fasilitator.

5.

Mengikuti kuliah khusus dalam kelas untuk masalah yang belum jelas
atau tidak ditemukan jawabannya untuk konsultasi masalah yang
belum jelas

6.
B.

Melakukan praktikum pemeriksaan fisik antenatal dan sadari.

PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok mahasiswa diharapkan dapat memecahkan
problem yang terdapat dalam scenario dengan mengikuti 7 langkah
penyelesaian masalah di bawah ini:
1.

Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan
kata / kalimat kunci skenario di atas.

2.

Identifikasi problem dasar skenario, dengan membuat beberapa


pertanyaan penting.

3.

Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaanpertanyaan di atas.

4.

Klarifikasikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

5.

Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas


kasus di atas. Lahkah 1 sampai 5 dilakukan dalam diskusi tutorial
pertama dengan fasilitator.

6.

Cari informasi tambahan informasi tentang kasus di atas di luar


kelompok tatap muka; dilakukan dengan belajar mandiri.

7.

Laporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang baru


ditemukan; dilakukan dalam kelompok diskusi dengan fasilitator.

8.

Seminar; untuk kegiatan diskusi panel dan semua pakar duduk


bersama untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.

Penjelasan: Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih


ada informasi yang diperlukan untuk sampai pada kesimpilan akhir, maka
proses 6 bisa diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7. Kedua
langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan setelah informasi
dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.

STEP 1
KATA KUNCI

A.

Kata Kunci dan Istilah yang Tidak Dimengerti


1.

Sirkumferensial

2.

Eritema

3.

Anti Tetanus

4.

Salep MEBO (Moist Exposed Burn Ointment)

5.

Role of Nine

6.

Infuse RL (kristalloid)

7.

Bula

8.

Suara sesak

9.

Analgetik

10. Inhalasi

B.

Penjelasan Dari Kata Kunci Dan Istilah Tidak Dimengerti


1.

Sirkumferensial
Jawab:
Sirkumferensial pada luka bakar yaitu kerusakan luka bakar
yang dapat terjadi pada kulit epidermis sampai dermis dibagian
ekstermitas maupun thoraks yang dapat menyebabkan efek seperti
penebalan pembuluh darah dan mengarah pada gangguan vaskular
distal pada sirkumferensial ekstermitas dan pada sirkumferensial
thoraks dapat mengarah pada inadekuat ekspansi dinding dada dan
insufisiensi pulmonal (Pierce, 2007)

2.

Eritema
Jawab:
Eritema adalah kulit berwarna kemerahan atau warna merah
pada kulit yang disebabkan oleh pembesaran pembuluh darah, dapat
terjadi akibat dosis radiasi tingkat tinggi (akut) (Pierce, 2007)

3.

Anti Tenatus
Jawab:
Serum Anti Tetanus adalah antisera yang dibuat dari plasma
kuda yang dikebalkan terhadap tetanus, serta mengandung fenol
sebagai pengawet, berupa cairan bening kekuningan.
Serum Anti Tetanus untuk pencegahan tetanus pada luka yang
terkontaminasi dengan tanah, debu jalan atau bahan lain yang dapat
menyebabkan infeksi Clostridium tetani, pada seseorang yang tidak
yakin sudah diimunisasi atau yang belum diimunisasi lengkap dengan
vaksin tetanus (Biofarma, 2010).

4.

Salep MEBO (Moist Exposed Burn Ointment)


Jawab:
MEBO adalah salep yang berbahan dasar minyak mengandung
beeswax, minyak sesame, 17 asam amino, 14 asam lemak dan
polisakarida. Kandungan aktif utamanya adalah B-sitosterol 0,25%
yang berfungsi sebagai anti inflamasi. Selain itu MEBO terdiri dari
ramuan

tradisional

Phellodendri,

dan

Cina

seperti

Rhizoma

Radix

coptidis

scutellaria,

yang

berguna

Cortex
untuk

menghilangkan panas, mengurangi rasa nyeri dan merangsang


regenerasi kulit. Dengan Universitas Sumatera Utara MEBO juga
menciptakan lingkungan luka yang lembab, yang optimal untuk
penyembuhan dan re-epitelisasi tanpa membutuhkan penutup luka
tambahan. Aloe vera mengandung 6 agen antiseptik seperti lupeol,
asam salisilat, urea nitrogen, asam sinamoa, fenol dan sulfur. Lupeol
dan asam salisilat sangat efektif menyembuhkan luka. Senyawa
senyawa tersebut ampuh mengendalikan dan membunuh bakteri,
jamur dan virus penyebab infeksi. Pada trauma akan dikeluarkan
mediator thromboxane A2 yang akan memperberat kerusakan
jaringan. Asam salisilat yang dikandung aloe vera juga berfungsi

sebagai penghambat keluarnya mediator thromboxane A2 sehingga


mencegah progresifitas kerusakan jaringan (Musyari, 2014).
Dari pengamatan klinis, banyak penelitian tentang MEBO dan
penggunaan MEBO di rumah sakit, bahkan di beberapa Rumah sakit
swasta menjadi standar pengobatan luka bakar, namun salep MEBO
harganya masih cukup mahal, dan masih sulit didapat terutama di
daerah-daerah kabupaten. Indonesia dengan iklim tropis, banyak
tanaman obat tradisional yang tumbuh subur, salah satunya aloe vera
atau lidah buaya. Sudah dilakukan penelitian aloe vera dibandingkan
SSD 1% dan MEBO dibandingkan SSD 1%, yang kesemuanya Aloe
Vera dan MEBO lebih baik dari pada SSD 1%. Sedangkan penelitian
membandingkan aloe vera dengan MEBO belum ada. Oleh karena
itulah peneliti melakukan penelitian ini (Musyari, 2014).

5.

Rule of nine
Jawab:
Rule of nine adalah metode yang baik dan cepat untuk menilai
luka bakar menengah dan berat pada penderita yang berusia di atas 10
tahun. Tubuh di bagi menjadi area 9%. Metode ini pada dasarnya
tidak akurat pada anak karena adanya perbedaan proporsi tubuh anak
dengan dewasa.

Gambar 1. Rule of Nine

Gambar 2. Rule of Nine

Gambar 3. Rule of Nine


(Sumber: Grunwald 2008)
6.

Infuse RL (kristalloid)
Jawab:
Infuse Ringer adalah larutan steril Natrium Klorida, Kalium
Klorida, dan Kalsium Klorida dalam air. Kadar ketiga zat tersebut
sama dengan kadar zat-zat tersebut dalam larutan fisiologis. Larutan
ini digunakan sebagai penambah cairan elektrolit yang diperlukan
tubuh.
Ringer Laktat merupakan cairan yang paling fisiologis yang
dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL
banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok
hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar.
Laktat yang terdapat di dalam RL akan di metabolism oleh hati
menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti
asidosis metabolic. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup
untuk pemeliharaan sehari-hari, apalagi untuk kasus deficit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan di
pakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang
berguna untuk mencegah terjadinya ketosis. Kemasan larutan

kristalloid RL memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl(109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan Laktat (28 mEq/L). osmolaritasnya
sebesar 273 mOsm/L. sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml.

7.

Gambar 4. Ringe Laktat


Bula

Gambar 5. Ringe Laktat

Jawab:
Vesikel dan bula ataupun lepuhan adalah tonjolan berisi cairan
dan berbatas tegas. Cairan di dalamnya dapat berupa limfe, darah, atau
serum. Bula adalah vesikel besar dan secara arbitrer ditentukan
diameternya diatas 0,5 cm. Jika memeriksa vesikel atau bula,
berusahalah untuk menentukan dalamnya cairan. Untuk membentuk
lesi seperti itu, lapisn kulit harus terpisah untuk menampung
cairannya. Jika pemisahan lapisan kulit terjadi pada bagian atas
epidermis, atap lesinya sangat tipis dan mungkin tembus sinar atau
jernih. Lesi yang lebih dalam mempunyai atap yang lebih tebal.
Bidang pemisahan lapisan kulit ini mungkin harus ditentukan secara
histologist. Perbedaan kecil pada bidang pemisahan ini dapat
membedakan pemfigoid, suatu keadaan yang relative jinak, dari
penyakit yang sering fatal dan kelihatannya serupa pemfigus. Vesikel
dengan cekungan sentral kecil, umbilicated vesicles, merupakan cirri
khas penyakit virus seperti herpes, variola, dan varisela. Vesikel bula
mudah pecah (Lukmanto,2005).
8

8.

Suara sesak
Jawab:
Sesak nafas adalah salah satu gejala yang paling sering dan
paling mencemaskan penderita sehingga ia terpaksa pergi ke dokter.
Berbagai macam penjelasan atau definisi mengenai dyspnea ini seperti
sukar bernafas atau nafas tidak enak (kurang lega atau kurang puas)
yang biasanya dilukiskan oleh pasie sebagai sesak nafas (shorthness of
breath). Sesak nafas mungkin merupakan gejala berbagai gangguan
patofisiologi : obstruksi jalan nafas, berkurangnya jaringan paru yang
berfungsi, berkurangnya elastisitas paru, kenaikan kerja pernafasan,
gangguan transfer oksigen (difusi), ventilasi tak seimbang dalam
kaitannya dengan perfusi, campuran darah vena (venous admixture)
atau right to left shunting, cardiac output yang tidak memadai, anemia
dan gangguan kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin. Pasien
dispneu dapat digolongkan dalam 3 katagori utama yaitu pasien
dengan dispneu akut, pasien dengan dispneu progresif menahun dan
pasien dengan serangan dispneu paroksismal yang berulang.
a.

Dispneu Akut
Pada orang dewasa dipsnea akut dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab seperti edema paru, tromboemboli paru akut,
pneumonia dan pneumothoraks spontan Salah satu penyebab
yang paling sering adalah sembab paru (edema paru) akut oleh
karena kegagalan jantung kiri. Ini biasanya terjadi pada pasien
jantung atau hipertensi, yang pada pemeriksaan fisik ditemukan
ronki basah yang difus. Penderita mungkin mengeluarkan dahak
kental, berwarna kemerahan dan berbuih. Dapat pula disertai
batuk, wheezing, nyeri kardiovaskuler dan sembab pada kaki.

b.

Dispneu Progresif Menahun


Salah satu sebab yang paling sering dari dispneu ini adalah
kegagalan jantung kongestif. Keluhan ini sering dimulai dengan
sesak nafas waktu melakukan pekerjaan, yang lambat laun
menjadi bertambah berat sehingga pasien merasa sesak nafas
walaupun melakukan pekerjaan minimal atau bahkan waktu
istirahat. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
sering terbangun malam hari karena sesak nafas tetapi biasanya
disertai dengan batuk dan pengeluaran dahak. Orthopnea
seringkali didapatkan pada kegagalan jantung kiri yang lanjut,
tetapi gejala ini juga mungkin terjadi pada pasien dengan asma
dan bronkitis.

c.

Dispneu Paroksismal Berulang


Jenis dispneu ini sering dijumpai pada pasien dengan asma
bronkial, dimana pada waktu serangan disertai dengan wheezing
dan batuk. Walaupun asma terjadi pada semua umur, tetapi
seringkali terdapat pada anak dan dewasa muda. Dalam hal ini
perlu ditanyakan tentang alergi dan tes alergen. Keadaan ini
perlu dibedakan dengan asma kardial yang disebabkan oleh
kegagalan jantung kiri atau stenosis mitral (Unsoed. 2006).

9.

Analgetik
Jawab:
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa
nyeri. Obat analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat
golongan opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem
saraf pusat, sedangkan golongan NSAID bekerja di reseptor saraf
perier dan sistem saraf pusat (Setawati, et all.,2007).
Pasien dengan luka bakar akan mengalami nyeri terutama saat
ganti balut, prosedur operasi, atau saat terapi rehabilitasi. Dalam

10

kontrol rasa sakit digunakan terapi farmakologi dan non farmakologi.


Terapi farmakologi yang digunakan biasanya dari golongan opioid
dan NSAID. Preparat anestesi seperti ketamin, N2O (nitrous oxide)
digunakan pada prosedur yang dirasakan sangat sakit seperti saat ganti
balut. Dapat digunakan juga psikotropik sepeti anxiolitik, tranquilizer
dan anti depresan. Penggunaan benzodiazepin dbersama opioid dapat
menyebabkan ketergantungan dan mengurangi efek dari opioid
(David, S., 2008).
10.

Inhalasi
Jawab::
Inhalasi terjadi karena menghirup gas toksit yang suhunya
sangat tinggi atau asap kebakaran . Karbon monoksida ( CO)
merupakan produk sampingan kebakaran yang paling sering
ditemukan: Hidrogen Klorida dan Hidrogen sianida merupakan
produk sampingan lainnya yang sering terdapat pada kebakaran
(Black & Hawks, 2009).
Luka bakar adalah suatu luka yang disebabkan oleh pengalihan
energi dari suatu sumber panas kepada tubuh. Luka bakar adalah
kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas dari api , air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi
(David, S. 2008).
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel
jalan nafas oleh panas dan zat kimia atau akibat intoksikasi sistemik
dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil pembakaran tidak hanya
terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel
padat yang terurai di udara ( melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik).
Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik
dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang
ukurannya > 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring.
Partukel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang

11

trakeobronkial, sedangkan partikel berkuran 1-2 mikrometer dapat


mencapai alveoli (Black & Hawks, 2009).
Gas yang larut air bereaksi secara kimai pada saluran nafas ,
sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah.
Adapau gas yang sangat kurang larut air masuk melewat barier kapiler
dari alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemk.
Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi
dari apparatus mukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu
reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofagg serta aktifitas
netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya akan di bebaskan oksigen
radikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos(
tromboksan A2,C3A, C5A). Kejadian ni mrnyebabkan peningkatan
iskemia pada saluran nafas yang rusak, selanjutnay terjadi edema dari
dinding saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan
meningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan pembuluh darah
paru. Komplains paru akan turun akibat terjadinya edema paru
interstisial sehingga terjadi edema pada saluran nafas bagian bawah
akibat sumbatan pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel
nekrotik, mukus dan se- sel darah (Corwin, E. 2009).

12

STEP 2
PERTANYAAN KASUS

A.

Bagaimana cara menetukan luas luka bakar berdasarkan Rule of Nine?

B.

Tentukan derajat luka kasus diatas?

C.

Bagaimana patofisiologi timbulnya eritema dan bula pada luka bakar dan
komplikasinya?

D.

Apa saja pemeriksaan penunjang pada pasien luka bakar?

E.

Apa saja komplikasi dari luka bakar?

F.

Bagaimana primary survey dan pengelolaan pada pasien luka bakar?

G.

Mengapa pasien luka bakar diberikan anti tetanus?

13

STEP 3
JAWABAN KASUS

A.

Bagaimana cara menentukan luas luka bakar berdasarkan Rule Of


Nine ?
jawab :
Luas luka bakar dinyatakan sebagai presentase terhadap luas
permukaan tubuh. Untuk menghitung secara cepat dipakai Rule of
Nine dari Wallace. Perhitungan cara ini hanya dapat diterapkan pada orang
dewasa, karena anak-anak mempunyai proporsi tubuh yang berbeda.

Gambar 6. Penilaian Rule of Nine


Perhitungan luas luka bakar berdasarkan Rule Of Nine oleh Polaski dan
Tennison dari WALLACE :
1.

Kepala dan leher : 9%

2.

Ekstremitas atas : 2 x 9% (kiri dan kanan)

3.

Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kiri dan kanan)

4.

Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%

5.

Perineum dan genitalia : 1%

14

Kemudian kita menetukan grade luka bakar, berikut klasifikasi grade


luka bakar:

a. Luka Bakar Grade I (Superficial burn)


Terbatas pada kulit lapisan epidermis, secara klinis kulit tampak
merah, kering, dan terasa nyeri (Grunwald 2008).

Gambar 7. Luka Bakar Grade I


b. Luka Bakar Grade IIa (Superficial partial-thickness burn)
Kerusakan jaringan mengenai sebagian jaringan dermis dan folikel
rambut, hanya kelenjar keringat yang tetap utuh, secaa klinis kulit
tampak merah bahkan kunin, basah dengan bula, dan terasa nyeri
(Grunwald 2008).

Gambar 8. Luka Bakar Grade IIa

15

c. Luka Bakar Grade IIb (Deep partial-thickness burn)


Kerusakan jaringan mengenai sebagian jaringan dermis dan folikel
rambut, hanya kelenjar keringat yang tetap utuh, secaa klinis kulit
tampak merah bahkan kunin, basah dengan bula, dan terasa nyeri
(Grunwald 2008).

d. Luka Bakar Grade III (Full Thickness burn)


kerusakan jaringan mengenai seluruh lapisan dermis, secara klinis
kulit tampak putih, coklat hingga hitam, kering dan tidak nyeri karena
ujung-ujung saraf juga mengalami kerusakan (Grunwald 2008).

Gamabar 9. Luka Bakar Grade III

Setelah ditentukan luas dan derajat luka bakarnya, maka mpetugas


medis akan mentukan intervensi dan terapi sleanjutnya.

B.

Tentukan derajat luka bakar kasus diatas?


Jawab :
Dengan merujuk kepada sistem Rule of Nines luas luka bakar pada
kasus diatas bisa dijelaskan sebagai berikut:
1.

Luka bakar di wajah dan leher

: 4,5%

2.

Luka bakar di dada

: 6%

3.

Luka bakar di perut

: 6%

16

4.

Hampir seluruh lengan kiri

: 9%

Jumlah

: 25,5%

Dengan keadaan luka bakar yang meliputi terdapat bula yang sudah
pecah dan berair, alis tampak terbakar, luka bakar sudah sampai ke lapisan
epidermis serta sebagian dermis dan dasar luka berwarna merah serta pucat
maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa derajat luka bakar klien
pada kasus diatas adalah derajat luka bakar III.

C.

Bagaimana patofisiologi timbulnya eritema dan bula pada luka bakar


komplikasinya?
Jawab:
Pada luka bakar derajat sedang, umumnya akan muncul bula pada
tempat-tempat yang terkena paparan panas. Bula ini adalah cairan yang
dilapisi oleh dinding tipis. Timbulnya bula ini umumnya disebabkan oleh
terjadinya kerusakan pada lapisan atas dan tengah kulit. Di lapisan tengah,
terdapat kelenjar-kelenjar keringat yang memproduksi cairan. Karena
lapisan atasnya sudah rusak, maka cairan-cairan produksi kelenjar keringat
ini akan menumpuk di bagian luar kulit hingga membentuk bulla. Biasanya
kadar albumin rendah disebabkan oleh terjadinya kehilangan protein karena
terjadinya kerusakan protein yang signifikan akibat kulit terkena panas.
Tubuh akan mengirimkan protein-protein untuk memperbaiki kulit.
Digunakannya protein di dalam tubuh ini menyebabkan kadar albumin
rendah pada pasien dengan luka bakar.

D.

Apa saja pemeriksaan penunjang pada luka bakar?


Jawab:
Pemeriksaan penunjang pada luka bakar diantaranya:
1.

Laboratorium
a. Pulse Oximetry
b. Analisa Gas Darah
c. Elektrolit

17

d. Darah Lengkap
2.

Foto Thorax
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul
sesudahnya termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS

3.
E.

Laringoskopi dan Bronkoskpi Fiberoptik

Apa saja komplikasi dari luka bajar?


Jawab
Komplikasi yang biasanya terjadi pada pasien luka bakar
seperti , setiap luka bakar dapat terinfeksi yang menyebabkan cacat lebih
lanjut atau kematian, lambatnya aliran darah dapat menyebabkan
pembentukan bekuan darah sehingga timbul cerebrovascular accident,
infark miokardium, atau emboli paru. Kerusakan paru akibat inhalasi asap
atau pembentukan embolus. Dapat

terjadi kongesti paru akibat gagal

jantung kiri atau infark miokardium , serta sindrom distress pernafasan pada
orang dewasa, gangguan elektrolit dapat menyebabkan distrimia jantung (
Herndon, 2009 ).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi, syok luka bakar dapat secara
irreversiblemerusak ginjal sehingga timbul gagal ginjal dalam satu atau dua
minggu pertama setelah luka bakar, penurunan aliran darah ke saluran cerna
dapat menyebabkan hipoksia selsel penghasil mucus sehingga terjadi ulkus
peptikum, dapat terjadi koagulasi intravascular diseminata karena destruksi
jaringan yang luas, pada luka bakar yang luas akan menyebabkan kecacatan,
trauma psikologis dapat menyebabkan depresi, perpecahan keluarga, dan
keinginan untuk bunuh diri, dan beban biaya pada keluarga pasien luka
bakar yang luas sangatlah besar (Herndon, 2009).

F.

Bagaimana primary survey dan pengelolaannya pada pasien luka


bakar?
Jawab:
1.

Pengkajian
a.

Triage

18

b.

Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual atau potensial dari kondisi life threatning
(berdampak terhadap kemampuan klien untuk mempertahankan
hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi,
perkusi

dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan

(Brunner & Suddart, 2007).


Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1)

Airway
Pada

permulaannya

airway

biasanya

tidak

terganggu. Dalam keadaan ekstrim bisa saja airway


terganggu,misalnya karena lama berada dalam ruangan
tertutup yang terbakar sehingga terjadi pengaruh panas
yang lama terhadap jalan nafas. Menghisap gas atau
partikel karbon yang terbakar dalam jumlah banyak juga
akan dapat mengganggu airway (Brunner & Suddart,
2007).
Pada permulaan penymbatan airway tidak total,
sehingga

akan

timbul

suara

tridor/crowing.

Bila

menimbulkan sesak berat (apalagi bila saturasi O2 kurang


dari 95%) maka ini merupakan indikasi mutlak untuk
segera intubasi. Apabila obstruksi parsial ini dibiarkan,
maka akan menjadi total dengan akibat kematian penderita
(Brunner & Suddart, 2007).
Obstruksi jalan nafas akibat anemia ini dapat
menetap, melampaui batas waktu edema pada luka
(umumnya antara 12-36 jam). Edema yang dapat
mempeberat obstruksi nafas lebih sempit disamping leher
yang pendek (Brunner & Suddart, 2007).

19

a)

Luka bakar yang mengenai wajah dan /leher

b)

Alis mata dan bulu mata hangus

c)

Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut


orofaring

d)

Suara sesak

e)

Riwayat gangguan mengayah atau terkurang dalam


api

f)
2)

Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan

Breathing
Gangguan

breathing

yang

timbul

cepet,dapat

disebabkan karena :
a)

Inhalasi partikel-partikel panas yang menyebabkan


proses peradanagan edema pada saluran jalan nafas
yang paling kecil mengatasi sesak yang terjadi
adalah dengan penanganan yang agresif, lakukan
airway definitif untuk menjaga jalan nafas.

b)

Keracunan CO (karbonmonoksida). Asap dan api


mengandung CO. Apabila penderita beradadalam
ruangan tertutup yang terbakar,maka kemungkinan
keracunan CO cukup besar. Diagnostiknya sulit
(apalagi di pra-RS). Kulit yang berwarna merah
terang biasanya belum terlihat. Pulse oksimeter akan
menunjukkan tingkat saturasi O2 yang cukup,
walaupun penderita dalam keadaan sesak.

c)

Pada luka bakar yang mengalir didada hingga bagian


punggung dan derajt 3 dapat menyebabkan pasien
sulit bernafas maka perlu dilakukan tindakan
excarotomy berbentuk lazis (Brunner & Suddart,
2007).

3)

Circulation
a)

Lakukan penekanan pada pusat perdaraahan

20

Pucat menunjukkan kehilangan 30% volume


darah

Perubahan mental terjadi pada kehilangan


50% volume darah

b)

Periksa pulsasi sentral : apakah kuat atau lemah

c)

Periksa tekanan darah

d)

Periksa capillary refil (sentral dan perifer )- normal


bila 2 detik bila

2 detik menunjukkan

hipovolemia atau kebutuhan untuk eskarrotomi pada


tungkai yang bersangkutan,periksa tungkai yang lian
e)

Masukkan

buah

kateter

IV

berdiameter

besar,sebaiknya daerah yang tidak terbakar (normal)


f)

Ambil darah untuk pemeriksaan darah lengkap


/ureum kreatinin/ fungsi hati/koagulasi -Hcg/croos
match/carboxyhaemoglobin

g)

Bila pasien syok lakukan resusitasi cairan bolus


dengan metode hartmann untuk memperbaiki pulasi
radialis

h)

Pertanda klinis-awal syok biasanya ditimbulkan


penyebab lian.carilah dan atasi

i)

Kulit yang terbuka akan menyebabkan penguapan


air yang berlebih dari tubuh,dengan akibat terjadinya
dehidrasi

4)

Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda
lateralisasi (pupil dan motorik). Kepanikan mungkin
menimbulkan bantuan sehingga perdarahan intra-kranial
dapat saja terjadi,sebagai akibat dari trauma penyerta
dengan manifestasi klinis pasien mengalami gelisah dan

21

penurunan

kesadran

sebagai

tanda

dari

terjadinya

hipoksia.
Bila dalam keadaan emergency,petugas boleh juga
menentukakn derajat kesadaran pasien dengan metode :
A

: dari alert(sadar/waspada

: dari verbalvocal (respon terhadap rangsanagn


suara)

5)

: dari pain (respon terhadap rangsang nyeri)

: dari unresponsive (tidak memberi respon)

Ekspouse
Pada ekspouse, lepaskan semua pakaian termasuk
perhiasan pasien, lalu periksa bagian depan dab belakang
tubuh pasien namun selalu perhatikan penderita janagn
sampai hipotermi dengan menjaga agar pasien tetap
hangat.

G.

Mengapa pasien luka bakar diberikan anti tetanus?


Jawab:
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri
dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan
kejang

otot

disebabkan

oleh

eksotosin

spesifik

dari

kuman

anaerob Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka,


baik luka besar maupun kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis
luka

yang

mengundang

tetanus

adalah

luka-luka

seperti Vulnus

laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka


bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat
(Herry, 2008).
Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium
tetani yaitu sejenis kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada
dalam bentuk spora dan dalam suasana anaerob berubah menjadi bentuk
vegetatif

yang

memproduksi

eksotoksin

22

antara

lain

neurotoksin

tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah yang menimbulkan gejala


gejala penyakit tetanus (Herry, 2008).
Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti
pada tanah, rumput rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia. Kuman
ini untuk pertumbuhannya membutuhkan suasana anaerob yang akan
terjadi apabila luka dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya, atau
luka dengan pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah
seperti Staphyloccus aureus (Herry, 2008).
Istilah tetanus prone wound yaitu luka yang cenderung
menyebabkan penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang
terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda asing, terutama pecahan
kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan yang
luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superfisial yang nyata
berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka
itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical desinfektansia atau
pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan dengan
pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali
pusat tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik,
ulserasi kulit dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe gangrena,
operasi bedah pada saluran cema mulai dari mulut sampai anus, otitis
media puralenta. Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi
pada umumnya 8 12 hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa
minggu bahkan beberapa bulan. Bertambah pendek masa inkubasi
bertambah berat penyakit yang ditimbulkannya (Herry, 2008).
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang
telah diserangnya. Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar
50 %, angka itu akan bertambah besar pada rumah sakit yang belum
lengkap peralatan perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah pada
rumah sakit dengan perawatan intensif yang sudah lengkap (Herry, 2008).

23

Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang utama.

Usaha yang ditempuh mengatasi

penyakit ini adalah :


1.

Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang

2.

Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yangluka


secara benar dan tepat.

3.

Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara


multidisipliner
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar

maupun luka kecil, luka nyata maupun tersembunyi. Tetanus merupakan


penyakit akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang
menghasilkan eksotoksin bersifat anaerob. Clostridium tetani merupakan
hasil gram positif, dan bersifat anaerob (Herry, 2008).
Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka luka
seperti vulnus

laceratum (luka

robek), vulnus

punctum (luka

tusuk), combustio (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka


terkontaminasi, luka tali pusat (Herry, 2008).
Masa inkubasi penyakit ini adalah 1 54 hari, rata rata 8 hari.
Semakin lambat debrimen dan penanganan antitoksin, semakin pendek
masa inkubasinya dan semakin buruk pula prognosisnya. Kuman masuk
ke dalam luka melalui tanah, debu atau kotoran (Herry, 2008).
Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti
masa inkubasi yang pendek, stadium penyakit yang parahm penderita yang
lanjut usia, neonatus, kenaikan suhu yang tinggi, pengobatan yang lambat,
adanya komplikasi seperti status konvulsivus, gagal jantung, fraktur
vertebra, pneumonia (Herry, 2008).
Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan
kesadaran. Dan awitan penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama
sehingga terjadi kejang) adalah 24 72 jam (Herry, 2008).

24

STEP 4
MIND MAPPING

ASKEP:
PENGKAJIAN
DIAGNOSA
INTERVENSI

JURNAL:

PENCEGAHAN:
PRIMER
SEKUNDER
TERSIER

Up-To-Date Use Of
Honey For Burns
Treatment

Luka Bakar

LP:
DEFINISI
ANFIS
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI

TRIASE
KEPERAWATAN

25

STEP 5
LEARNING OBJEKTIF
A.

Mahasiswa mampu memahami Keperawatan gawat darurat system 2

B.

Mahasiswa mampu memahami triase keperawatan gawat darurat

C.

Mahasiswa mampu memahami mengaplikasikan tindakan gawat darurat


dengan tepat, cepat dan benar pada klien dengan luka bakar

D.

Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada klien luka bakar

26

STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN

A.

Identitas Jurnal
Judul

: Up-To-Date Use Of Honey For Burns Treatment

Nama jurnal

: Jurnnals of Burns and Fire Disasters

Penulis

: Zbuchea A. (The Carol Davila Medical University,


Bucharest, Romania)

Tahun

B.

: 2014

Latar Belakang
Madu merupakan larutan pekat kental gula yang dihasilkan oleh lebah
(Apis mellifera) yang mengumpulkan dan memproses bunga nektar (bunga
atau madu bunga) atau jus manis pada spesies tanaman tertentu (melon atau
madu hutan). Madu merupakan salah satu produk yang paling kompleks dan
berharga alam hayati digunakan sejak zaman kuno, baik di bidang nutrisi
dan obat-obatan (melalui cara internal dan eksternal). Di antara kegunaan
medis lainnya, madu telah menjabat dalam perawatan luka sejak zaman
kuno:
1.

peradaban Sumeria (fragmen gerabah, 2100-2000 SM)

2.

Peradaban Mesir Kuno (The Edwin Smith Papyrus, 2600-2200 SM)

3.

Ayurveda dan pengobatan Cina

4.

Peradaban kuno Yunani (Dioscorides ' "De Materia Medica", untuk


mengobati fistulising luka; Hippocrates)

5.

Kuno Roma peradaban (Pliny, untuk mengobati luka yang terinfeksi)

6.

Menyebutkan dalam Alkitab dan Quran.


Setelah menjadi peran penting dalam tradisi medis banyak orang

selama ribuan tahun, madu "ditemukan kembali" oleh kedokteran modern


sebagai agen topikal untuk mengobati luka dan luka bakar. Sifat Terapi
madu telah disorot ilmiah oleh berbagai penelitian in vitro, laboratorium

27

eksperimen dan uji klinis dilakukan selama abad terakhir. Namun, kesan
bahwa penggunaan madu dalam pengobatan luka tidak akan memiliki
dukungan ilmiah masih tetap kadang-kadang dalam komunitas medis.
Selain itu, promosi saat ini dari berbagai jenis dressing modern untuk
luka (misalnya, dressing nanokristalin perak) menyembunyikan fakta bahwa
ada sedikit bukti yang dipublikasikan untuk mendukung penggunaan produk
ini. Sebuah tinjauan sistematis terbaru dari publikasi pada penggunaan
dressing maju dalam pengobatan ulkus tekanan mengungkapkan bahwa
penggunaan luas mereka tidak didukung oleh penelitian berkualitas baik.
Demikian, sejumlah besar bukti yang membuktikan efisiensi madu dan
mendukung penggunaannya dalam pengobatan luka, dibandingkan dengan
yang ada bukti untuk produk perawatan luka lainnya, memungkinkan kita
untuk mempertimbangkan penggunaan madu sebagai pilihan yang layak
untuk perawatan luka.
Persiapan topikal yang ideal untuk luka harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1.

Bakterisida dan fungisida tindakan, cepat set up dan spektrum yang


luas, bahkan di bawah situasi yang tidak menguntungkan dari eksudasi
berat atau infeksi luka;

2.

Peningkatan dan percepatan proses fisiologis penyembuhan luka


(granulasi, epitelisasi, kontraksi);

3.

Tidak ada efek lokal atau sistemik yang merugikan (alergi, keracunan
dll), bahkan jika diterapkan untuk waktu yang lama;

4.

Biaya moderat, bahkan jika diterapkan dua kali sehari;

5.

Kenyamanan pasien, kemudahan aplikasi, pengurangan nyeri; dan

6.

Pasien dan kepatuhan kesehatan.

28

Menurut studi yang dilakukan, penggunaan topikal madu untuk


luka dan perawatan luka bakar memenuhi sebagian besar syarat yang
disebutkan di atas.
C.

Tujuan
Artikel ini bertujuan untuk meninjau dan memberikan sintesis isuisu terkini mengenai tindakan kompleks madu pada luka bakar, dibuktikan
dengan penelitian in vitro, percobaan laboratorium dan uji klinis yang
dipublikasikan dalam literatur khusus. Karya ini menganalisis secara luas
sifat anti-infeksi dan anti-inflamasi madu, serta efek yang menguntungkan
pada regenerasi luka. Efektivitas pemberian topikal madu dibuktikan baik
oleh serangkaian percobaan pada hewan laboratorium dan oleh uji klinis.
Artikel ini juga menarik perhatian baikstaf medis dan pasien untuk
kemungkinan menggunakan produk ini, dan untuk penerimaan dalamp
raktek.

D.

Metode
Sebuah kebanyakan data tersedia dalam literatur mengenai
penggunaan madu untuk pengobatan luka bakar, memberikan analisis
yang komprehensif. Ini dapat diakses dari database, seperti Medline, dari
jurnal, seperti Burns dan Annals of Burns dan Api Bencana, dari mesin
pencari dan dari buku-buku khusus. Tidak ada pembatasan yang
diterapkan mengenai sumber atau tanggal publikasi, dengan studi yang
paling representatif dan dapat diandalkan yang dipilih. Aktivitas kompleks
madu pada lesi luka bakar itu dibuktikan dengan sifat dan efek (antiinfeksi, anti-inflamasi, antiexudative, antioksidan, penyembuhan luka,
debriding luka dan gizi), sebagaimana terungkap dari studi yang
dilakukan. Efektivitas pemberian topikal madu disorot baik oleh
serangkaian percobaan pada hewan laboratorium, dan dengan uji klinis.
Risiko, prosedur aplikasi dan penerimaan madu dalam praktek juga
diselidiki.

29

E.

Isi
1.

Bukti dari percobaan pada hewan laboratorium


Eksperimen pada hewan telah memungkinkan analisis dari
tindakan madu pada luka standar yang dihasilkan oleh kulit luka bakar
(menengah atau penuh ketebalan) atau dengan kulit eksisi (model
eksisi).

Percobaan

ini

dengan

luka

standar

memungkinkan

perbandingan yang lebih baik dari hasil dan pemeriksaan histopatologi


luka, serta pengukuran biasa penurunan ukuran luka (kontraksi
mereka) dan waktu penyembuhan. Juga, hewan percobaan dengan
madu memungkinkan objektivitas hasil dengan menghilangkan
plasebo efek yang akan terjadi dalam uji klinis.
Penelitian

eksperimental

pada

hewan

telah

menunjukkan

efektivitas pemberian topikal madu dalam penyembuhan luka


dibandingkan dengan kontrol, gula atau sulfadiazin perak. Selain itu,
mereka menyarankan pentingnya hanya menggunakan bunga madu,
benar diproses dan efek sinergis dari pemberian oral bersamaan madu
dalam mempromosikan epitelisasi luka.

2. Bukti dari studi klinis


Banyak uji klinis terkontrol telah dilakukan, beberapa yang
acak, yang dibandingkan madu dengan produk yang berbeda (perak
sulfadiazin, Betadine, garam kompres, parafin dressing, hidrogel dll)
untuk pengobatan luka dari berbagai etiologi, termasuk luka bakar dari
berbagai kedalaman. sebuah artikel yang diterbitkan pada Desember
2011 tercatat 33 percobaan acak terkontrol (RCT), dengan jumlah
total 3.556 peserta. Sebuah meta-analisis dari Cochrane ulasan
sistematis intervensi lokal dan sistemik untuk luka, yang diterbitkan
pada tahun 2012, menemukan bukti kuat untuk penggunaan madu
topikal untuk mengurangi penyembuhan kali pada luka bakar.
Berbagai uji coba melaporkan bahwa madu efektif dalam
membersihkan luka terinfeksi. Madu bertindak sebagai penghalang,

30

mencegah luka dari terinfeksi dan infeksi silang. Jaringan gangren dan
nekrotik yang debridement dengan mudah dan digantikan dengan
cepat dengan jaringan granulasi dan memajukan, epitelisasi progresif.
Studi disorot cepat pembersihan dan enzimatik atau debridement
kimia luka setelah aplikasi madu. dengan adanya eschar membentuk
pada luka bakar madu juga ditemukan menghilangkan bau luka yang
sangat bau. Beberapa studi telah menunjukkan madu yang
menyebabkan pembentukan bersih dan sehat jaringan granulasi, yang
memungkinkan grafting awal pada, tidur yang cukup bersih, dengan
mengambil graft prompt. Ini juga telah reported38 madu yang
mempromosikan luka epitelisasi dan mempercepat penyembuhan,
dengan bekas luka minimal formation.66 madu selanjutnya diamati
untuk meningkatkan gizi luka, sirkulasi darah,

dan aliran getah

bening, dan untuk mengurangi peradangan, edema dan eksudat.


Mengenai risiko pemberian topikal madu, obat digunakan
dengan keyakinan sejak zaman kuno, tidak ada efek samping pada
hewan percobaan, termasuk pemeriksaan histopatologi. Selain itu,
studi klinis telah menunjukkan tidak ada alergi atau lainnya reaksi
yang merugikan, kecuali sensasi sementara menyengat pada beberapa
pasien, karena keasaman madu, ketika luka yang meradang. Ujung
saraf nociceptive yang mendeteksi keasaman yang peka dengan
peradangan, yang menjelaskan pengamatan klinis bahwa madu
mengurangi sensitivitas dalam beberapa hari, jika jumlah yang cukup
madu diadakan pada luka untuk memungkinkan pengampunan
peradangan melalui aktivitas anti-inflamasi madu. Nyeri Umumnya,
aplikasi topikal madu pada luka lega, tidak irritatingdan tidak
menyebabkan rasa sakit selama perubahan berpakaian.
Ada juga risiko hipotetis botulisme luka dengan menerapkan
madu, karena kadang-kadang mengandung spora Clostridium. Namun,
tidak ada infeksi lokal telah dilaporkan dalam berbagai uji coba yang
diterbitkan yang menggunakan madu yang tidak steril dan belum

31

diolah. Jika spora akan berkecambah , sel-sel vegetatif Clostridia,


menjadi anaerobik, tidak bisa bertahan di hadapan hidrogen peroksida
yang dihasilkan dalam madu diencerkan. Dalam kasus apapun,
kekhawatiran tentang risiko hipotetis botulisme luka, dianggap tidak
dapat diterima oleh beberapa, dapat diatasi dengan menggunakan
madu yang telah disterilkan dengan iradiasi gamma, yang membunuh
spora Clostridium dalam madu, tanpa mempengaruhi aktivitas
antibakteri. Seperti dijelaskan dalam kebanyakan uji klinis, poin
berikut memberikan generalisasi prosedur untuk menerapkan madu:
a.

Pertama luka dibersihkan dengan garam (mungkin juga hidrogen


peroksida, solusi Dakin, Betadine atau chlorhexidine). Kadangkadang perlu untuk membuat toilet bedah awal, dengan
membuka abses, bernanah drainase koleksi dan pengangkatan
jaringan nekrotik.

b.

Madu kemudian menyebar pada luka sebelum ditutup dengan


kasa pembalut steril kering. Jumlah madu yang digunakan
bervariasi dari lapisan tipis (diterapkan 2-3 kali per hari), ke
lapisan tebal atau, lebih sering, menuangkan madu di atas luka.
Lainnya digunakan perban basah dalam madu, madu tersebar di
kasa atau "madu bantalan". dressing alginat diresapi dengan
madu adalah alternatif yang baik untuk dressing kapas /
selulosa, seperti alginat mengkonversi menjadi gel lembut madu
mengandung. rongga luka yang baik diisi dengan madu-diresapi
dressing atau diisi secara langsung dengan madu dan kemudian
ditutup dengan kasa.

c.

Dressing perubahan, sebagian besar setiap hari, bervariasi dari


2-3 kali per hari untuk sekali setiap 2-3 hari, tergantung juga
pada penampilan dan evolusi luka (luka bersih dengan
mengurangi eksudat memerlukan perubahan ganti kurang
sering).

32

d.

Madu cair dapat digunakan pada daerah yang luas (baik itu
secara alami cairan atau dibuat sehingga melalui pengadukan
yang kuat atau dengan memanaskan di bawah 40 C). madu
mengkristal dapat dengan mudah dibuat cairan melalui
pemanasan-hati. Overheating madu harus dihindari, karena
oksidase glukosa enzim dalam madu yang menghasilkan
hidrogen peroksida, komponen utama dari aktivitas antibakteri
madu, mudah dilemahkan oleh panas.
Semua percobaan tersebut, penelitian dan inovasi, serta

pemanfaatan klinis, menyoroti meningkatnya minat dan kepercayaan


madu sebagai obat yang efektif untuk perawatan luka. Madu, "bahan
wound dressing tertua diketahui obat," digunakan secara sistematis
untuk pengobatan luka, serta karena manfaatnya sebagai makanan dan
bentuk obat. Pada awal 1940-an, namun, ketika antibiotik datang ke
tempat kejadian, madu tidak lagi digunakan untuk tingkat yang sama
dalam terapi luka. Sama seperti dengan koloid perak, madu sekarang
sedang dipertimbangkan kembali untuk penyembuhan luka karena
masalah meningkatnya bakteri dengan beberapa resistensi terhadap
antibiotik. Berbeda dengan antibiotik, penelitian telah menunjukkan
tidak ada perkembangan resistensi bakteri dan tidak ada munculnya
mutan resisten terhadap madu, yang sifat terapeutik yang luar biasa
yang direkomendasikan dalam perawatan luka, serta obat-obatan
modern.
F.

Hasil
Selain anti-infeksi, anti-inflamasi dan antioksidan tindakan sendiri,
madu menciptakan penghalang fisik dan lingkungan setempat lembab,
karena viskositas tinggi dan gambar cairan dengan osmosis. Ini
mempromosikan penyembuhan luka bakar karena luka sembuh lebih cepat
bila tetap lembab sebagai lawan ketika mereka dibiarkan mengering dan
membentuk keropeng. Lingkungan lembab menjamin pertumbuhan sel-sel
33

epitel, kontraksi fibroblas untuk mendekati luka tepi, serta non-kepatuhan


dressing pada luka, yang menyebabkan mudah dan tidak menyakitkan
perubahan rias, tanpa risiko melanggar epitel yang baru dibentuk. Juga,
lingkungan lokal memungkinkan enzim protein-mencerna dalam jaringan
luka untuk bekerja dan melonggarkan setiap keropeng dan jaringan mati.
Madu lebih dikenal memiliki luka debriding tindakan, seperti yang
ditemukan dalam uji klinis. Madu mengaktifkan plasminogen dan
meningkatkan aktivitas enzim plasmin, yang lyses fibrin melampirkan rawa,
dengan penekanan makrofag plasminogen aktivasi inhibitor. Plasmin
mencerna fibrin, yang menempel puing-puing di permukaan luka, tetapi
tidak mencerna matriks ekstraselular kolagen, yang diperlukan untuk
perbaikan jaringan.
Madu juga memiliki tindakan nutrisi pada luka, secara tidak langsung
melalui aliran osmotik getah bening, yang membawa nutrisi yang
dibutuhkan untuk penyembuhan, tetapi juga secara langsung melalui asupan
karbohidrat mudah dimetabolisme, asam amino, vitamin dan mineral.
Penelitian telah menunjukkan yang luka lebih cepat sembuh jika mereka
diberikan dengan campuran nutrisi. Madu memberikan dukungan glukosa
untuk sel-sel epitel, leukosit dan untuk proses glikolisis. Sel-sel epitel
membutuhkan cadangan karbohidrat untuk migrasi energi di atas permukaan
luka untuk mengembalikan selubung epitel. Leukosit membuat pernapasan
(oksidatif) meledak

yang menghasilkan

hidrogen peroksida,

yang

merupakan komponen dominan dari makrofag aktivitas antibakteri.


Akhirnya, glikolisis adalah mekanisme utama produksi energi oleh
makrofag, yang memungkinkan mereka untuk berfungsi dalam jaringan
yang rusak dan eksudat mana oksigen sering terbatas.
Selain itu, osmolaritas tinggi madu menyebabkan drainase cairan
interstitial, sehingga memberikan dukungan nutrisi untuk regenerasi
jaringan yang dapat dinyatakan hanya terjadi di sekitar titik angiogenesis
(dilihat sebagai granulasi). Mendorong aliran osmotik juga akan
memberikan kontribusi untuk mengangkat dan menghilangkan limbah dan

34

puing-puing dari luka, yang bahkan dapat menghilangkan kebutuhan untuk


debridement. Hal ini juga berkontribusi terhadap kurangnya kepatuhan dari
saus untuk luka. Sebuah lapisan cairan madu dalam kontak dengan
permukaan luka dan mungkin sedikit mengangkat untuk memungkinkan
penghapusan residu dengan membilasnya. Dengan demikian, perubahan rias
yang menyakitkan tanpa resiko kerusakan atau robeknya jaringan yang baru
terbentuk.
Keasaman madu (biasanya pH kurang dari 4) dapat berkontribusi pada
aksi antibakteri dari makrofag, karena pH asam di dalam vakuola terlibat
dalam menghancurkan bakteri yang tertelan. Juga, pengasaman lokal
mempromosikan penyembuhan luka dengan mencegah penampilan dari
bentuk non-terionisasi histotoksik amonia, yang dihasilkan dari aksi urease
(dari mikroorganisme penghasil urease) dari urea dalam cairan ekstrasel.
Dalam media asam, amonia (NH
beracun, ion amonium (NH
asupan oksigen dan

pO2

+).

3)

diubah menjadi terionisasi, tidak

Selain itu, pengasaman luka meningkatkan

di permukaan luka dengan meningkatkan disosiasi

oksihemoglobin-hemoglobin, karena pergeseran sesuai dalam kurva


disosiasi oksihemoglobin-hemoglobin (efek Bohr) dan dengan demikian
meningkatkan tingkat penyembuhan. Kadar karbohidrat tinggi yang
diberikan oleh madu dapat digunakan oleh bakteri dalam preferensi untuk
amino acids108 dalam serum dan sel-sel mati, sehingga menciptakan asam
laktat bukan amonia, berbagai amina dan senyawa sulfur, yang merupakan
penyebab malodour pada luka bakar.
Madu juga meningkatkan tingkat penyembuhan dengan merangsang
leukosit untuk melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan yang
mengaktifkan perbaikan jaringan dan dengan merangsang keratinosit
transkripsi gen untuk TNF-a, IL-1 dan TGF-.

G.

Simpulan
In vitro dan in vivo telah menyoroti berbagai kegiatan yang disediakan
oleh madu dalam pengobatan luka bakar. Ini termasuk anti-infeksi, anti-

35

inflamasi, antiexudative, antioksidan, penyembuhan luka, debriding luka


dan sifat gizi. Dalam kedokteran berbasis bukti, penelitian dan studi klinis
telah menunjukkan efisiensi madu di ketebalan yang dangkal dan parsial
membakar terapi, jika dibandingkan dengan produk rias lainnya,
membuatnya menjadi pilihan yang layak sebagai agen topikal yang berharga
dalam praktek klinis. Namun, seperti madu juga muncul untuk menunda
penyembuhan parsial dan penuh ketebalan luka bakar bila dibandingkan
dengan

pembedahan

(awal

eksisi

dan

grafting),

penggunaannya

membutuhkan eksplorasi lebih lanjut. uji coba terkontrol lebih rinci yang
diperlukan untuk menetapkan indikasi terbaik, metode dan modalitas
administrasi madu untuk setiap jenis dan tahap bakar. Hal ini juga
diperlukan untuk memiliki kriteria pemilihan madu lebih bentuk lain dari
perawatan dalam manajemen luka bakar, yang, tentu saja, juga akan
tergantung pada preferensi dan pengalaman mereka yang terlibat.

36

STEP 7
LAPORAN PENDAHULUAN

(terlampir)

37

Lampiran 1 Teori dan Anilis Kasus

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Luka bakar merupakan bentuk trauma terjadi sebagai akibat dari
aktifitas manusia dalam rumah tangga, industri, maupun bencana
alam. Luka bakar adalah kerusakanjaringan tubuh terutama kulit akibat
langsung atau ekspose dengan sumber panas (thermal), kimia, elektrik, dan
radiasi (Andra & Yessie, 2013).
Penyebab luka bakar selain karena api (secara langsung atau pun
tidak langsung), juga karena pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau tidak langsung dari api
(misalnya tersiram air panas) banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga
(Sjamsuhidajat, 2005).
Menurut Word Health Organitation (WHO) luka bakar menyebabkan
195.000 kematian/tahun hingga tahun 2012 diseluruh dunia terutama
dinegara miskin dan berkembang. Luka bakar yang tidak menyebabkan
kematian pun ternyata menimbulkan kecacatan pada penderitanya. Wanita
di ASEAN memiliki tingkat terkena luka bakar lebih tinggi dari wilayah
lainnya, dimana 27% nya berkontribusi menyebabkan kematian diseluruh
dunia, dan hampir 70% nya merupakan penyebab kematian di Asia
Tenggara ( Rahmi, 2012).
Di Indonesia angka kejadian luka bakar cukup tinggi, lebih dari 250
jiwa/tahun meninggal akibat luka bakar di tahun 2004 hingga 2008.
Dikarenakan jumlah anakanak dan lansia cukup tinggi di Indonesia serta
ketidakberdayaan anakanak dan lansia untuk menghindari terjadinya
kebakaran. Maka, usia anakanak dan lansia menyumbang angka kematian
tertinggi akibat luka bakar yang terjadi di Indonesia hingga tahun (Rivait,
2010).

38

Perawat dapat berperan aktif dalam pencegahan kebakaran dan luka


bakar dengan usaha promotif dengan memberitahukan akibat yang
ditimbulkan dari luka bakar. Sebagai preventif diharapkan klien mampu
melakukan pencegahan dini dari dampak luka bakar itu sendiri karna 75%
luka bakar terjadi akibat kelalaian individu itu sendiri. Peran perawat
sebagai kuratif memberikan perawatan dan pengobatan pada klien luka
bakar dengan memberikan cairan NaCL, RL, Glukosa untuk memenuhi
kebutuhan

cairan

klien

dan pernapasan

klien

dengan

memperhatikan ABC (airway, breating, dan circulation) dan mendorong


supaya batuk sehingga secret saluran napas bisa dikeluarkan dengan suction
(Burner & Suddart,2002).

B.

Rumusan Masalah
Dari pemaparan dan uraian latar belakang masalah di atas, agar dalam
penyusunan laporan ini lebih terarah pembahasannya dan mendapatkan
gambaran secara komprehensif. Maka sangat penting untuk dirumuskan
pokok permasalahannya, yakni:
1.

Kalimat atau kata kunci apa saja yang belum jelas dalam kasus ?

2.

Pertanyaan apa saja yang mungkin muncul dalam kasus ?

3.

Informasi tambahan apa saja yang mungkin muncul dalam kasus ?

4.

Bagaimana hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi baru yang


ditemukan pada kasus ?

C.

Tujuan Penulisan
1.

Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penyusunan laporan ini adalah untuk
mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat II terhadap klien dengan
gangguan system integumen akibat luka bakar berdasarkan teori dan
kasus serta kesenjangan teori.

2.

Tujuan Khusus
a.

Menentukan kalimat atau kata kunci yang belum jelas.

39

b.

Mengidentifikasi masalah dan membuat pertanyaan penting.

c.

Menganalisa masalah dengan menjawab pertanyaan penting.

d.

Mencari informasi tambahan guna menunjang analisa kasus.

e.

Melaporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang


baru ditemukan kepada fasilitator.

D.

Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penyusunan laporan ini
adalah:
1.

Bagi Penulis
Hasil analisis kasus ini diharapkan dapat memberi informasi
tentang konsep asuhan keperawatan terhadap klien dengan gangguan
keperawatan gawat darurat II akibat luka bakar. Penulis dapat
menambah pengetahuan serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan dan
menjadi acuan untuk penulisan selanjutnya.

2. Bagi STIKes Mahardika


Keperawatan sebagai profesi yang didukung oleh pengetahuan
yang kokoh, perlu terus melakukan berbagai tulisan-tulisan terkait
praktik keperawatan yang akan memperkaya ilmu pengetahuan
keperawatan. Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya literatur
dalam bidang keperawatan.

40

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Definisi
Luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar, yang
hanya disebabkan oleh panas yang tinggi, tetapi oleh senyawa kimia, listrik
dan pemanjanan (exprosure) berlebihan terhadap sinar matahari. (Aziz
Alimul Hidayat, 2008)
Luka bakar adalah luka yang timbul akibat kulit terpajan ke suhu
tinggi, syok listrik, atau bahan kimia. Luka bakar diklasifikasikan
berdasarkan kedalaman dan luas daerah yang terbakar. (Elizabeth J. Corwin.
2009)
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung
maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia (Jong, 2011).

B.

Etiologi
Menurut

American

Burn

Association

(2012),

luka

bakar

dikategorikan menurut mekanisme injurinya meliputi:


Pertama luka bakar akibat suhu panas dan suhu dingin. Luka bakar
akibat suhu panas disebabkan oleh terpapar atau kontak dengan api, cairan
panas atau objek-objek panas lainnya sedangkan luka bakar akibat suhu
dingin yaitu ketika terpapar dengan suhu dingin yang ekstrim yang sering
kali menyerang bagian perifer tubuh seperti jari-jari kaki dan tangan, kaki,
tangan, dan telinga.
Kedua luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit
dengan asam atau basa kuat. Luka bakar kimia dapat terjadi karena kontak
dengan zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah
tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri,
pertanian, dan militer.

41

Ketiga luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari
energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Terdapat tiga macam
terjadinya cidera listrik yaitu luka bakar listrik akibat kontak langsung, luka
bakar akibat percikan atau loncatan bunga api listrik, dan luka bakar
tersambar listrik.
Keempat luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber
radioaktif. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama
juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Menurut Brunicardi (2010), bahwa 65% luka bakar yang sering
terjadi di lingkungan rumah adalah jenis luka bakar termal sedangkan 20%
luka bakar yang sering terjadi adalah jenis luka bakar elektrik.

C.

Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddarth (2002) manifestasi klinis dari luka
bakar yaitu beberapa tingkatan yaitu :
1.

2.

Luka bakar derajat I :


-

Kerusakan terbakar pada lapisan epidermis (superficial).

Rasa nyeri mereda jika didinginkan

Kesemutan

Hiperestesia (super sensitivitas)

Memerah dan menjadi putih jika ditekan.

Minimal atau tanpa edema

Contohnya adalah luka bakar akibat sengatan matahari

Luka bakar derajat II :


-

Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis

Hiperestesia

Sensitif terhadap udara dingin

Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

Melepuh, dasar luka berbintik-bintik merah.

42

Edema

a. Derajat II dangkal (superficial).


- Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
- Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
- Penyembuhan spontan dalam waktu 10-14 hari, tanpa skin graft
b. Derajat II dalam (deep).
- Kerusakan hampir seluruh bagian dermis.
- Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
- Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang
tersisa. Biasanya penyembuhan lebih dari satu bulan. Bahkan
perlu dengan operasi penambalan kulit (skin graft)
3.

Luka bakar derajat III


-

Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih


dalam.

Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujungujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.

Syok

Hematuria dan kemungkinan hemolisis (detruksi sel darah merah).

Kering : luka bakar berwarna putih atau gosong

Edema

D.

Patofisiologi
1.

Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah
luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka

43

bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu
terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar
yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA :
total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap
injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri
luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari
tubuh
2.

Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif
(catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, danprostaglandin)
dari

jaringan

yang

mengalmi

injuri.

Substansi-substansi

ini

menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma


merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara
langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas
kapiler. Injuri yang langsung mengenai memberan sel menyebabkan
sodium masuk dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan
akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan
meningkatnya
keadaan

cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam

lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan

intravaskuler. Luka bakar yang luas

menyebabkan edema tubuh

general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang
tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume
darah

intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon

terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif,


yang mengawali turunnya kardiac

output. Kadar hematokrit

meningkat yang menunjuka hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan


intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi
melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan
pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu
tubuh normal perhari adalah 350 ml.

44

Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi


organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan
intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi
penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.Kurang lebih 18-36 jam
setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak
mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri.
Kardiac outuput

kembali normal dan kemudian meningkat untuk

memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah


luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar
volume sirkulasi intravena kembali menja di normal. Pada awalnya
terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah
normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah
merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian
mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu
berikutnya.
3.

Sistem Renal dan Gastrointestinal


Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke
ginjal dan menurunnya

GFR (glomerular filtration rate), yang

menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang


pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestia
pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.
4.

Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada
aktivitas

lymphocyte,

immunoglobulin,

suatu

supresi

penurunan
aktivitas

dalam
complement

produksi
dan

perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat


terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahanperubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang
mengancam kelangsungan hidup klien.

45

5.

Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan
penurunan kadar oksigen arteri dan lung compliance.
a.

Smoke Inhalation.

Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner


yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan api.
Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30 % untuk
injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang dapat diduga dari injuri inhalasi
meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan
pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut
hidung yang gosong, agitasi atau kecemasan, takhipnoe,
kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea,
suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk.
Bronchoscopy dan Scaning paru dapat mengkonfirmasikan
diagnosis. atofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri
inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang
dihirup.
b.

Keracunan Carbon Monoxide.


CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu
substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat
hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan
terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO
secara reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga
membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan
dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada
kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb
dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah.
(Rahayuningsih Tutik, 2012)

46

PATHWAY
Bahan kimia
Suhu
Radikal
listrik

Luka Bakar

dilepaskan substansi
vasoaktif (catecholamine,
histamin, serotonin,
leukotrienes, dan
prostaglandin)

meningkatnya
permeabilitas kapiler

Denyut jantung

hipovolemia
relatif

sodium masuk dan


potasium keluar dari
sel

sistem

Depresi
aktivitas
lymphocyte,
penurunan
produksi
immunoglobulin

Cardiac
output
Hematokrit

plasma merembes
kedalam sekitar
jaringan

Depresi
imun

supresi
aktivitas
complement
dan
perubahan/gangguan
pada fungsi neutropil
dan macrophage

pengeluaran cairan
intravaskuler
resiko infeksi

47

Merusak
jaringan
dermis/epid
ermis

Kerusakan
integritas
kulit

Merangsang
pengeluaran
mediator
nyeri
(BHSP)
Menstimulasi
nyeri

Asap terhirup
CO
HB

mengikat

membentuk
carboxyhemo
globin
(COHb).

Ketidakefek
tifan perfusi
jaringan

Trauma
inhalasi
Edema laring

Obstruksi
jalan napas

Ketidakefek
tifan pola
napas
O2 digantikan
CO

Meningkatnya
cairan intraseluler
dan intertisial

Edema general

Nyeri akut

Kekurangan
volume cairan

Hambatan
mobilitas
fisik

Risiko shock
hipovolemik

48

Gangguan
pertukaran gas

E.

Penilaian Luka Bakar


1.

Derajat Kedalaman Luka Bakar


American College of Surgeon Health Policy Research
Institute (2011) membagi luka bakar menjadi tiga tingkatan, yakni :
a.

First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial,


berwarna merah, terasa nyeri.

b.

Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh,


bengkak, dan sangat nyeri.

c.

Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan, hangus,


tembus hingga saraf, ada sensasi seperti tusukan jarum di area
yang terbakar.

2.

Penentuan Luas Luka Bakar


Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan beberapa
metode, diantaranya Rule of Nine, Lund and Browder, dan Hand
Palm. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari
permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
a.

Rule of Nine

Gambar 10. Penilaian Luka Bakar berdasarkan Rule of Nine


(Sumber : www.medical-dictionary.thefreedictionary.com)

49

Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya


yang terkenal dengan rule of nine. Metode ini dikenal sejak
tahun 1940 sebagai pengkajian cepat untuk menentukan
perkiraan luas luka bakar. Dalam metode ini, tubuh dibagi
menjadi beberapa bagian anatomi dan setiap bagian mewakili
9% kecuali daerah genital.
Wallace membagi tubuh menjadi 9% atau kelipatanya
yang terkenal dengan Rule of nine atau rule of Wallace
NO ORGAN

PRESENTASE

Kepala dan leher

9%

Lengan @ 9%

18%

Badan depan

18%

Badan belakang

18%

Tungkai@18%

36%

Genetalia / perineum

1%

TOTAL

100%
Tabel 1. Rule of Nine

Ada beberapa pembagian luas luka bakar menurut usia penderita


yaitu:
1)

Bayi (rumus 10)


a). Kepala dan leher

20%

b). Lengan @ 10%

20%

c). Badan depan

20%

d). Badan belakang

20%

e). Tungkai & genetelia

20%
100%

2)

Anak usia 1-3 tahun


a). Kepala dan leher

21%

b). Lengan @ 9%

18%

c). Badan depan

18%

50

d). Badan belakang

18%

e). Tungkai @ 12%

24%

f). Genetalia / perineum

1%
100%

3)

Anak usia 4-7 tahun


a). Kepala dan leher

17%

b). Lengan @ 9%

18%

c). Badan depan

18%

d). Badan belakang

18%

e). Tungkai @ 14%

28%

f). Genetalia / perineum

1%
100%

4)

Anak usia 8-11 tahun


a). Kepala dan leher

13%

b). Lengan @ 9%

18%

c). Badan depan

18%

d). Badan belakang

18%

e). Tungkai @ 16%

32%

f). Genetalia/perineum

1%
100%

5) Dewasa (12 tahun keatas)


Mengikuti rumus Rule of nine

b.

Lund and Browder


Pada

metode

ini

total

area

tubuh

yang

terkena

dikalkulasikan berdasarkan lokasi dan usia. Metode lund and


browder merupakan

modifikasi

prosentase

bagian

tubuh

menurut usia yang memberikan perhitungan lebih akurat tentang


luas luka bakar. (Hardisman,2014). Pada anak di bawah usia 1
tahun kepala sebesar 19% dan setiap pertambahan usia satu

51

tahun , prosentase kepala tutun 1% hingga tercapai nilai


dewasa.

Gambar 11. Lund and Browder

Gambar 12. Penilaian Luka Bakar dengan Metode Lund and


Browder
(Sumber : google.com)

52

c.

Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm), area
permukaan tangan pasien adalah sekitar 1% dari total luas
permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka
bakar kecil (Gurnida & Lilisari,2011).

Menurut James (1990) dalam Dewi (2013), berdasarkan


derajat dan luasnya kulit yang terkena luka bakar dikategorikan
menjadi 3 yakni ringan, sedang dan berat.
1) Luka bakar ringan jika ada luka bakar derajat I sebesar
<15% atau derajat II sebesar <2%.
2) Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat I sebesar 1015% atau derajat II sebesar 5-10%.
3) Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat II sebesar
>20% atau derajat III sebesar >10% atau mengenai wajah,
tangan-kaki, alat kelamin, persendian, sekitar ketiak atau
akibat listrik tegangan tinggi (>1000V) atau dengan
komplikasi patah tulang maupun kerusakan jaringan
lunak/gangguan jalan napas.

3.

Berat ringannya luka bakar


American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi
tiga kategori, yaitu:
a.

Luka bakar mayor


1) Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa
dan lebih dari 20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
3) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki,
dan perineum.
4) Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa
memperhitungkan derajat dan luasnya luka.

53

5) Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.


b.

Luka bakar moderat


1) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan
10-20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
3) Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga,
kaki, dan perineum.

c.

Luka bakar minor


1) Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa
dan kurang dari 10 % pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.
3) Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.

F.

Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi pada pasien luka bakar seperti ,
setiap luka bakar dapat terinfeksi yang menyebabkan cacat lebih lanjut
atau kematian, lambatnya aliran darah dapat menyebabkan pembentukan
bekuan darah sehingga timbul cerebrovascular accident, infark miokardium,
atau emboli paru. Kerusakan paru akibat inhalasi asap atau pembentukan
embolus. Dapat terjadi kongesti paru akibat gagal jantung kiri atau infark
miokardium , serta sindrom distress pernafasan pada orang dewasa,
gangguan elektrolit dapat menyebabkan distrimia jantung ( Herndon,2009 ).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi, syok luka bakar dapat secara
irreversiblemerusak ginjal sehingga timbul gagal ginjal dalam satu atau dua
minggu pertama setelah luka bakar, penurunan aliran darah ke saluran cerna
dapat menyebabkan hipoksia selsel penghasil mucus sehingga terjadi ulkus
peptikum, dapat terjadi koagulasi intravascular diseminata karena destruksi
jaringan yang luas, pada luka bakar yang luas akan menyebabkan kecacatan,
trauma psikologis dapat menyebabkan depresi, perpecahan keluarga, dan
keinginan untuk bunuh diri, dan beban biaya pada keluarga pasien luka
bakar yang luas sangatlah besar (Herndon, 2009).

54

G.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pulse Oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang
meningkat palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin, sehingga
kadar

karboksihemoglobin

seringkali

diartikan

sebagai

oksihemaglon.
b. Analisa Gas Darah
Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan
asam basa, dan kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran
rumah tangga dan biasanya terjadi peningkatan kadar laktat plasma
c. Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari
resusitasi cairan dalam jumlah besar.
d. Darah Lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi
sesaat setelah trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif
akibat pemulihan volume intravaskular. Anemia berat biasanya
terjadi akibat hipoksia atau ketidakseimbangan hemodinamik.
Peningkatan sel darah putih untuk melihat adanya infeksi.
2. Foto Thorax
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul
sesudahnya termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS
3. Laringoskopi dan Bronkoskpi Fiberoptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun
terapeutik. Pada bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga,
eritema, sputum dengan arang, petekie, daerah pink sampai abu-abu
karena nekrosis, ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial
berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik pada kasus-

55

kasus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup
memadai.
H.

Penatalaksanaan
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah
mengalami luka bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat
bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang
didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan
psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang dianggap penting.
Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu :
1.

Fase Emergent (Resusitasi)


Fase emergensi dimulai pada saat terjadinya injury dan diakhiri
dengan membaiknya permeabilitas kapiler, yang biasanya terjadi pada
48-72 jam setelah injury. Tujuan utama pemulihan selama fase ini
adalah untuk mencegah shock hipovolemik dan memelihara fungsi dari
organ vital. Yang termasuk ke dalam fase emergensi adalah (a)
perawatan sebelum di rumah sakit, (b) penanganan di bagian
emergensi dan (c) periode resusitasi
Hal tersebut akan dibahas berikut ini :
a.

Perawatan sebelum di rumah sakit (pre-hospital care)


Perawatan sebelum klien dibawa ke rumah sakit dimulai
pada tempat kejadian luka bakar dan berakhir ketika sampai di
institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai dengan
memindahkan/menghindarkan klien dari sumber penyebab LB dan
atau menghilangkan sumber panas.
Petunjuk perawatan klien luka bakar sebelum di rumah sakit
1) Jauhkan penderita dari sumber LB
a) Padamkan pakaian yang terbakar
b) Hilangkan zat kimia penyebab LB
c) Siram dengan air sebanyak-banyaknya bila karena zat
kimia

56

d) Matikan listrik atau

buang sumber listrik dengan

menggunakan objek yang kering dan tidak menghantarkan


arus (nonconductive)
2) Kaji ABC (airway, breathing, circulation):
a) Perhatikan jalan nafas (airway)
b) Pastikan pernafasan (breathing) adekuat
c) Kaji sirkulasi
d) Kaji trauma yang lain
e) Pertahankan panas tubuh
f) Perhatikan kebutuhan untuk pemberian cairan intravena
g) Transportasi (segera kirim klien ka rumah sakit)
b. Penanganan dibagian emergensi
Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari
tindakan yang telah diberikan pada waktu kejadian. Jika pengkajian
dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat, maka pre
hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka
(debridemen dan pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada
masalah-masalah lain yang mengancam kehidupan klien, maka
masalah inilah yang harus diutamakan
1) Penanganan Luka Bakar Ringan
Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan
dengan pasien rawat jalan. Dalam membuat keputusan apakah
klien

dapat

dipulangkan

atau

tidak

adalah

dengan

memperhatikan antara lain


a) kemampuan

klien

untuk

dapat

menjalankan

atau

mengikuti intruksi-instruksi dan kemampuan dalam


melakukan perawatan secara mandiri (self care),
b) lingkungan rumah. Apabila klien mampu mengikuti
instruksi dan perawatan diri serta lingkungan di rumah
mendukung terjadinya pemulihan maka klien dapat
dipulangkan.

57

Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar


minor meliputi : menagemen nyeri, profilaksis tetanus,
perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.
a) Managemen nyeri
Managemen nyeri seringkali dilakukan dengan
pemberian dosis ringan morphine atau meperidine
dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oraldiberikan
untuk digunakan oleh pasien rawat jalan.
b) Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah
sama pada penderita LB baik yang ringan maupun tipe
injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi
tetanus tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat
diberikan boster tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak
diimunisasi dengan tetanus human immune globulin dan
karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama
dari serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus
toxoid.
c) Perawatan luka awal
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari
membersihkan luka (cleansing) yaitu debridemen jaringan
yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia,
tar, dll); dan pemberian/penggunaan krim atau salep
antimikroba topikal dan balutan secara steril. Selain itu
juga perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan
tentang perawatan luka di rumah dan manifestasi klinis
dari infeksi agar klien dapat segera mencari pertolongan.
Pendidikan

lain

yang

diperlukan

adalah

tentang

pentingnya melakukan latihan ROM (range of motion)


secara aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar tetap

58

normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan


kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi
atau penanganan follow up juga harus dibicarakan dengan
klien pada waktu itu.
d) Pendidikan / penyuluhan kesehatan
Pendidikan tentang perawatan luka, pengobatan,
komplikasi,

pencegahan

komplikasi,

diet,

berbagai

fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di


kunjungi jika memmerlukan bantuan dan informasi lain
yang relevan perlu dilakukan agar klien dapat menolong
dirinya sendiri.
2) Penanganan Luka Bakar Berat.
Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan
pada bagian emergensi akan meliputi reevaluasi ABC (jalan
nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang
mungkin terjadi; resusitasi cairan (penggantian cairan yang
hilang); pemasangan kateter urine; pemasangan nasogastric
tube (NGT); pemeriksaan vital signs dan laboratorium;
management nyeri; propilaksis tetanus; pengumpulan data; dan
perawatan luka.
Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan
tersebut, yakni sebagai berikut.
a) Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan
trauma lain yang mungkin terjadi.
Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi
pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih memastikan ada
tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan
secara dini. Selain itu melakukan pengkajian ada tidaknya
trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah
tulang, adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan
agar dapat dengan segera diketahui dan ditangani.

59

b) Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang)


Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15
%, maka resusitasi cairan intravena umumnya diperlukan.
Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit
yang tidak terbakar pada bagian proximal dari ekstremitas
yang terbakar. Sedangkan untuk klien yang mengalami
luka bakar yang cukup luas atau pada klien dimana tempat
tempat untuk pemberian intravena perifer terbatas, maka
dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena central
(seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau
femoral) oleh dokter mungkin diperlukan.
Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan
dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan.
Resusitasi cairan dapat menggunakan berbagai formula
yang telah dikembangkan.
c) Pemasangan kateter urine
Pemasangan

kateter

harus

dilakukan

untuk

mengukur produksi urine setiap jam. Output urine


merupakan indikator yang reliable untuk menentukan
keadekuatan dari resusitasi cairan.
d) Pemasangan nasogastric tube (NGT)
Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau
lebih perlu dilakukan untuk mencegah emesis dan
mengurangi

resiko

terjadinya

aspirasi.

Disfungsi

ganstrointestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya


pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu
semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada
waktu itu.
e) Pemeriksaan vital signs dan laboratorium

60

Vital signs merupakan informasi yang penting sebagai


data

tambahanuntuk

menentukan

adekuat

tidaknya

resusitasi.
Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi
pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen),
creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas
darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus
diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes
laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk
mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin
perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus
menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB
berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik
dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai
riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.
f)

Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian
obat narcotik intravena, seperti morphine. Pemberian
melalui intramuskuler atau subcutan tidak dianjurkan
karena absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik
selama periode ini bila hipovolemia dan perpindahan
cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga
pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak
dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.

g) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan
torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi, oleh
karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih
mudah terjadi selama resusitasi, bila cairan berpindah ke
dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada
LB

yangmengenai

61

sekeliling

ekstremitas,

maka

meninggikan bagian ekstremitas diatas jantung akan


membantu menurunkan edema dependen; walaupun
demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh
karena

pengkajian

ekstremitas

bagian

yang

sering

terhadap

distal

sangatlah

penting

perfusi
untuk

dilakukan.
Perawatan luka dibagian emergensi terdiri dari
penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju
hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka
bakar yang mengenai kepala dan wajah diletakan pada
posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar
dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan
jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan
pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan
kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri.
Kemudian dibawa menuju fasilitas kesehatan.
2.

Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah
stabil, permeabilitas kapiler membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini
umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai
berikut : mengatasi infeksi, perawatan luka, penutupan luka, nutrisi,
managemen nyeri, dan terapi fisik.
a.

Mengatasi infeksi ; Sumber-sumber infeksi pada klien dengan luka


bakar meliputi autocontaminasi dari:
1) Oropharynx
2) Fecal flora
3) Kulit yg tidak terbakar dan
4) Kontaminasi silang dari staf
5) Kontaminasi silang dari pengunjung
6) Kontaminasi silang dari udara
62

Kegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi


harus dilakukan pada semua pusat-pusat perawatan LB. Kegiatan
ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan, tutp kepala,
masker, penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan
yang baik harus ditekankan untuk menurunkan insiden kontaminasi
silang diantara klien. Staf dan pengunjung umumnya dicegah
kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada kulit,
gastrointestinal atau infeksi saluran nafas.
b.

Perawatan luka
Perawatan
penyembuhan

luka

luka.

diarahkan

Perawatan

untuk

luka

meningkatkan

sehari-hari

meliputi

membersihkan luka, debridemen, dan pembalutan luka.


1) Hidroterapi
Membersihkan luka dapat dilakukan dengan cara
hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri dari merendam(immersion)
dan dengan shower (spray). Tindakan ini dilakukan selama 30
menit atau kurang untuk klien dengan LB acut. Jika terlalu
lama dapat meningkatkan pengeluaran sodium (karena air
adalah hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri dan
stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan secara perlahan
dan atau hati-hati dengan menggunakan berbagai macam
larutan seperti sodium hipochloride, providon iodine dan
chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar
seminimal

mungkin

terjadinya

pendarahan

dan

untuk

mempertahankan temperatur selama prosedur ini dilakukan.


Klien yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi
umumnya adalah mereka yang secara hemodinamik tidak
stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak
dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas
tempat tidur klien dan ditambahkan dengan penggunaan zat
antimikroba.

63

2) Debridemen
Debridemen

luka

meliputi

pengangkatan

eschar.

Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan penyembuhan


luka melalui pencegahan proliferasi bakteri di bagian bawah
eschar. Debridemen luka pada LB meliputi debridemen secara
mekanik, debridemen enzymatic, dan dengan tindakan
pembedahan.
a) Debridemen mekanik
Debridemen mekanik yaitu dilakukan secara hatihati dengan menggunakan gunting dan forcep untuk
memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan
merupakan cara lain yang juga efektif dari tindakan
debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan cara menggunakan balutan basah ke kering (wetto-dry) dan pembalutan kering kepada balutan kering
(wet-to-wet). Debridemen mekanik pada LB dapat
menimbulkan rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu
terlebih dahulu dilakukan tindakan untukmengatasi nyeri
yang lebih efektif.
b) Debridemen enzymatic
Debridemen enzymatik merupakan debridemen
dengan menggunakan preparat enzym topical proteolitik
dan

fibrinolitik.

Produk-produk

ini

secara

selektif

mencerna jaringan yang necrotik, dan mempermudah


pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan
lingkungan yang basah agar menjadi lebih efektif dan
digunakan secara langsung terhadap luka. Nyeri dan
perdarahan merupakan masalah utama dengan penanganan
ini dan harus dikaji secara terus-menerus selama treatment
dilakukan.
c) Debridemen pembedahan

64

Debridemen pembedahan luka meliputi eksisi


jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik yang dapat
digunakan : Tangential Excision dan Fascial Excision.
Pada tangential exccision adalah dengan mencukur
atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis sampai
terlihat jaringan yang masih hidup. sedangkan fascial
excision adalah mengangkat jaringan luka dan lemak
sampai fascia. Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB
yang sangat dalam.
3) Balutan
a) Penggunaan penutup luka khusus
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada
awalnya dilakukan dengan menggunakan zat / obat
antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 - 2 kali setelah
pembersihan, debridemen dan inspeksi luka. Perawat perlu
melakukan kajian terhadap adanya eschar, granulasi
jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya tanda
tanda infeksi. Umumnya obat obat antimikroba yang
sering digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada
satu obat yang digunakan secara umum, oleh karena itu
dibeberapa pusat pelayanan luka bakar ada yang memilih
krim silfer sulfadiazine sebagai pengobatan topikal awal
untuk luka bakar.
b) Metode terbuka dan tertutup
Luka

pada

LB

dapat

ditreatmen

dengan

menggunakan metode/tehnik belutan baik terbuka maupun


tertutup. Untuk metode terbuka digunakan / dioleskan
cream antimikroba secara merata dan dibiarkan terbuka
terhadap udara tanpa dibalut. Cream tersebut dapat diulang
penggunaannya sesuai kebutuhan, yaitu setiap 12 jam
sesuai dengan aktivitas obat tersebut. kelebihan dari

65

metode ini adalah bahwa luka dapat lebih mudah


diobservasi, memudahkan mobilitas dan ROM sendi, dan
perawatan

luka

Sedangkan

menjadi

kelemahan

lebih

dari

sederhana/mudah.

metode

ini

adalah

meningkatnya kemungkinan terjadinya hipotermia, dan


efeknya psikologis pada klien karena seringnya dilihat.
Pada perawatan luka dengan metode tertutup,
memerlukan

bermacam-macam

tipe

balutan

yang

digunakan. Balutan disiapkan untuk digunakan sebagai


penutup

pada

cream

yang

digunakan.

Dalam

menggunakan balutan hendaknya hati-hati dimulai dari


bagian distal kearah proximal untuk menjamin agar
sirkulasi tidak terganggu. Keuntungan dari metode ini
adalah mengurangi evavorasi cairan dan kehilangan panas
dari permukaan luka , balutan juga membantu dalam
debridemen. Sedangkan kerugiannya adalah membatasi
mobilitas menurunkan kemungkinan efektifitas exercise
ROM. Pemeriksaan luka juga menjadi terbatas, karena
hanya dapat dilakukan jika sedang mengganti balutan saja.
c) Penutupan luka
Penutupan Luka Sementara sering digunakan
sebagai pembalut luka. Setiap produk penutup luka
tersebut mempunyai indikasi khusus. Karakteristik luka
(kedalamannya, banyaknya eksudat, lokasi luka pada
tubuh dan fase penyembuhan/pemulihan) serta tujuan
tindakan/pengobatanperlu

dipertimbangkan

bila

akan

memilih penutup luka yang lebih tepat.


c.

Terapi fisik
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencegah dan
menangani kontraktur meliputi terapi posisi, ROM exercise, dan
pendidikan pada klien dan keluarga.

66

1) Posisi Terapeutik
Tabel dibawah ini merupakan daftar tehnik-tehnik posisi
koreksi dan terapeutik untuk klien dengan LB yang mengenai
bagian tubuh tertentu selama periode tidak ada aktifitas
(inactivity periode) atau immobilisasi. Tehnik-tehnik posisi
tersebut mempengaruhi bagian tubuh tertentu dengan tepat
untuk mengantisipasi terjadinya kontraktur atau deformitas.
2) Exercise
Latihan ROM aktif dianjurkan segera dalam pemulihan
pada fase akut untuk mengurangi edema dan mempertahankan
kekuatan dan fungsi sendi. Disamping itu melakukan
kegiatan/aktivitas sehari-hari (ADL) sangat efektif dalam
mempertahankan fungsi dan ROM. Ambulasi dapat juga
mempertahankan kekuatan dan ROM pada ekstremitas bawah
dan harus dimulai bila secara fisiologis klien telah stabil. ROM
pasif termasuk bagian dari rencana tindakan pada klien yang
tidak mampu melakukan latihan ROM aktif.
3) Pembidaian (Splinting)
Splint digunakan untuk mempertahankan posisi sendi dan
mencegah atau memperbaiki kontraktur. Terdapat dua tipe
splint yang seringkali digunakan, yaitu statis dan dinamis.
Statis splint merupakan immobilisasi sendi. Dilakukan pada
saat immobilisasi, selama tidur, dan pada klien yang tidak
kooperatifyang tidak dapat mempertahankan posisi dengan
baik. Berlainan halnya dengan dinamic splint. Dinamic splint
dapat melatih persendian yang terkena.
4) Pendidikan
Pendidikan pada klien dan keluarga tentang posisi yang
benar dan perlunya melakukan latihan secara kontinue.
Petunjuk tertulis tentang berbagai posisi yang benar, tentang

67

splinting/pembidaian dan latihan rutin dapat mempermudah


proses belajar klien dan dapat menjadi lebih kooperatif.
3. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase
terakhir dari perawatan luka bakar. Penekanan dari program rehabilitasi
penderita luka bakar adalah untuk peningkatan kemandirian melalui
pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal. Tindakan-tindakan untuk
meningkatkan penyembuhan luka, pencegahan atau meminimalkan
deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan kekuatan dan fungsi dan
memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari
proses rehabilitasi.

I.

Konsep Asuhan Keperawatan


1.

Pengkajian
a.

Triage

b.

Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual atau potensial dari kondisi life threatning
(berdampak terhadap kemampuan klien untuk mempertahankan
hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi,
perkusi

dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan

(Brunner & Suddart, 2007).


Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1)

Airway
Pada

permulaannya

airway

biasanya

tidak

terganggu. Dalam keadaan ekstrim bisa saja airway


terganggu,misalnya karena lama berada dalam ruangan
tertutup yang terbakar sehingga terjadi pengaruh panas

68

yang lama terhadap jalan nafas. Menghisap gas atau


partikel karbon yang terbakar dalam jumlah banyak juga
akan dapat mengganggu airway (Brunner & Suddart,
2007).
Pada permulaan penymbatan airway tidak total,
sehingga

akan

timbul

suara

tridor/crowing.

Bila

menimbulkan sesak berat (apalagi bila saturasi O2 kurang


dari 95%) maka ini merupakan indikasi mutlak untuk
segera intubasi. Apabila obstruksi parsial ini dibiarkan,
maka akan menjadi total dengan akibat kematian penderita
(Brunner & Suddart, 2007).
Obstruksi jalan nafas akibat anemia ini dapat
menetap, melampaui batas waktu edema pada luka
(umumnya antara 12-36 jam). Edema yang dapat
mempeberat obstruksi nafas lebih sempit disamping leher
yang pendek (Brunner & Suddart, 2007).
a) Luka bakar yang mengenai wajah dan /leher
b) Alis mata dan bulu mata hangus
c) Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut
orofaring
d) Suara sesak
e) Riwayat gangguan mengayah atau terkurang dalam api
f) Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
2).

Breathing
Gangguan

breathing

yang

timbul

cepet,dapat

disebabkan karena :
a) Inhalasi partikel-partikel panas yang menyebabkan
proses peradanagan edema pada saluran jalan nafas
yang paling kecil mengatasi sesak yang terjadi adalah
dengan penanganan yang agresif, lakukan airway
definitif untuk menjaga jalan nafas.

69

b) Keracunan CO (karbonmonoksida). Asap dan api


mengandung CO. Apabila penderita beradadalam
ruangan tertutup yang terbakar,maka kemungkinan
keracunan CO cukup besar. Diagnostiknya sulit
(apalagi di pra-RS). Kulit yang berwarna merah terang
biasanya

belum

menunjukkan

terlihat.

tingkat

Pulse

saturasi

oksimeter
O2

yang

akan
cukup,

walaupun penderita dalam keadaan sesak.


c) Pada luka bakar yang mengalir didada hingga bagian
punggung dan derajt 3 dapat menyebabkan pasien sulit
bernafas maka perlu dilakukan tindakan excarotomy
berbentuk lazis (Brunner & Suddart, 2007).
3). Circulation
a).

Lakukan penekanan pada pusat perdaraahan

Pucat menunjukkan kehilangan 30% volume


darah

Perubahan mental terjadi pada kehilangan 50%


volume darah

b).

Periksa pulsasi sentral : apakah kuat atau lemah

c).

Periksa tekanan darah

d).

Periksa capillary refil (sentral dan perifer )- normal


bila 2 detik bila

2 detik menunjukkan

hipovolemia atau kebutuhan untuk eskarrotomi pada


tungkai yang bersangkutan,periksa tungkai yang lian
e).

Masukkan

buah

kateter

IV

berdiameter

besar,sebaiknya daerah yang tidak terbakar (normal)


f).

Ambil darah untuk pemeriksaan darah lengkap


/ureum kreatinin/ fungsi hati/koagulasi -Hcg/croos
match/carboxyhaemoglobin

70

g).

Bila pasien syok lakukan resusitasi cairan bolus


dengan metode hartmann untuk memperbaiki pulasi
radialis

h). Pertanda klinis-awal syok biasanya ditimbulkan


penyebab lian.carilah dan atasi
i).

Kulit yang terbuka akan menyebabkan penguapan


air yang berlebih dari tubuh,dengan akibat terjadinya
dehidrasi

4)

Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda
lateralisasi (pupil dan motorik). Kepanikan mungkin
menimbulkan bantuan sehingga perdarahan intra-kranial
dapat saja terjadi,sebagai akibat dari trauma penyerta
dengan manifestasi klinis pasien mengalami gelisah dan
penurunan

kesadran

sebagai

tanda

dari

terjadinya

hipoksia.
Bila dalam keadaan emergency, petugas boleh juga
menentukakn derajat kesadaran pasien dengan metode :
A

: dari alert(sadar/waspada

: dari verbalvocal (respon terhadap rangsanagn


suara)

5).

: dari pain (respon terhadap rangsang nyeri)

: dari unresponsive (tidak memberi respon)

Ekspouse
Pada ekspouse, lepaskan semua pakaian termasuk
perhiasan pasien, lalu periksa bagian depan dab belakang
tubuh pasien namun selalu perhatikan penderita janagn
sampai hipotermi dengan menjaga agar pasien tetap
hangat.

71

c.

Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC
yang ditemukan pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian
sekunder meliputi pengkajian obyektif dan subyektif dari
riwayat keperawatan (riwayat

penyakit

sekarang,

riwayat

penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga)


dan pengkajian dari kepala sampai kaki (Brunner & Suddart
2007).
1)

Identitas
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, alamt, tnggal MRS, dan informan apabila
dalam melakukan pengkajian klita perlu informasi selain
dari klien. Umur seseorang tidak hanya mempengaruhi
hebatnya luka bakar akan tetapi anak dibawah umur 2
tahun dan dewasa diatsa 80 tahun memiliki penilaian
tinggi terhadap jumlah kematian (Lukman F dan Sorensen
K.C). data pekerjaan perlu karena jenis pekerjaan
memiliki resiko tinggi terhadap luka bakar agama dan
pendidikan menentukan intervensi ynag tepat dalam
pendekatan.

2)

Keluhan Utama
Keluhan

utama

yang

dirasakan

oleh

klien

luka

bakar (Combustio) adalah nyeri, sesak nafas. Nyeri dapat


disebabakna

kerena

iritasi

terhadap

saraf.

Dalam

melakukan pengkajian nyeri harus diperhatikan paliatif,


severe, time, quality (P, Q, R, S, T). Sesak nafas yang
timbul beberapa jam / hari setelah klien mengalami luka
bakardan disebabkan karena pelebaran pembuluh darah
sehingga timbul penyumbatan saluran nafas bagian atas,
bila edema paru berakibat sampai pada penurunan
ekspansi paru.

72

3)

Riwayat Penyakit Sekarang


Gambaran keadaan klien mulai tarjadinya luka bakar,
penyabeb lamanya kontak, pertolongan pertama yang
dilakuakn

serta

keluhan

klien

selama

menjalan

perawatanketika dilakukan pengkajian. Apabila dirawat


meliputi beberapa fase : fase emergency (48 jam pertama
terjadi perubahan pola bak), fase akut (48 jam pertama
beberapa hari / bulan ), fase rehabilitatif (menjelang klien
pulang).
4)

Riwayat Penyakit Masa Lalu


Merupakan riwayat penyakit yang mungkin pernah
diderita oleh klien sebelum mengalami luka bakar. Resiko
kematian akan meningkat jika klien mempunyai riwaya
penyakit kardiovaskuler, paru, DM, neurologis, atau
penyalagunaan obat dan alkohol.

5)

Riwayat Penyakit Keluarga


Merupakan gambaran keadaan kesehatan keluarga dan
penyakit yang berhubungan dengan kesehatan klien,
meliputi : jumlah anggota keluarga, kebiasaan keluarga
mencari pertolongan, tanggapan keluarga mengenai
masalah kesehatan, serta kemungkinan penyakit turunan.

6)

Pola ADL
Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS
dan apabila terjadi perubahan pola menimbulkan masalah
bagi

klien.

Pada

pemenuhan

kebutuhan

nutrisi

kemungkinan didapatkan anoreksia, mual, dan muntah.


Pada

pemeliharaan

kebersihan

badan

mengalami

penurunan karena klien tidak dapat melakukan sendiri.


Pola pemenuhan istirahat tidur juga mengalami gangguan.
Hal ini disebabkan karena adanya rasa nyeri.
7)

Riwayat Psikososial

73

Pada klien dengan luka bakar sering muncul masalah


konsep diri body image yang disebabkan karena fungsi
kulit sebagai kosmetik mengalami gangguan perubahan.
Selain itu juga luka bakar juga membutuhkan perawatan
yang laam sehingga mengganggu klien dalam melakukan
aktifitas. Hal ini menumbuhkan stress, rasa cemas, dan
takut.
8)

Aktifitas / Istirahat
Tanda : Penurunan kekuatan, tahanan ; keterbatasan
rentang gerak pada area yang sakit ; gangguan massa otot,
perubahan tonus.

9)

Sirkulasi
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT) :
hipotensi (syok); penurunan nadi perifer distal pada
ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum
dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok
listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok
listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka
bakar).

10)

Integritas Ego
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan,
kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri, marah.

11)

Eliminasi
Tanda : haluaran urine menurun/tak ada selama fase
darurat; warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi
mioglobin,

mengindikasikan

kerusakan

otot

dalam;

diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan


ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada;

74

khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20%


sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.
12)

Makanan / Cairan
Tanda : oedema jaringan umum; anoreksia; mual / muntah

13)

Neurosensori
Gejala : area batas; kesemutan
Tanda : perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan
refleks tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas;
aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan
retinal; penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik);
ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera
listrik pada aliran saraf).

14)

Nyeri / kenyamanan
Gejala : Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama
secara eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan
udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang
derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka
bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan
ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.

15)

Pernafasan
Gejala : terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama
(kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda : serak; batuk mengii; partikel karbon dalam
sputum; ketidakmampuan menelan sekresi oral dan
sianosis; indikasi cedera inhalasi. Pengembangan torak
mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada;
jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan
dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas:
gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal);
sekret jalan nafas dalam (ronkhi).

16)

Keamanan

75

Tanda : Kulit umum : destruksi jaringan dalam mungkin


tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses
trobus mikrovaskuler pada beberapa luka. Area kulit tak
terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian
kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung
sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera api : terdapat area cedera campuran dalam
sehubunagn

dengan

variase

intensitas

panas

yang

dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa


hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada faring
posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
Cedera kimia : tampak luka bervariasi sesuai agen
penyebab. Kulit mungkin coklat kekuningan dengan
tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus; nekrosis;
atau jarinagn parut tebal. Cedera secara mum ebih dalam
dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan
dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik : cedera kutaneus eksternal biasanya lebih
sedikit di bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi
dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka
bakar dari gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup
dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian
terbakar. Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan
sepeda motor, kontraksi otot tetanik sehubungan dengan
syok listrik).
Penting untuk menanyakan dengan teliti hal sekitar
kejadian. Tidak jarang terjadi bahwa disamping luka bakar akan
ditentukan pula perlukaan lain yang disebabkan usaha melariakn
diri dari api dalam keadaan panik. Riwayat penyakit :
A

: Alergy

: Medicine (Obat-obatan yang baru dikonsumsi)

76

: Past Iines(penyakit sebelum terjadi trauma)

: Last meal (makanan terakhir)

: Event (peristiwa yang terjadi saat trauma )


a) Durasi paparan
b) Jenis pakaian yang dikenakan
c) Suhu dan kondisi air,jika penyebab luka bakar adalah
air panas
d) Kecukupan tindakan pertolongan pertama
Pada saat penderita ditemukan, biasanya api sudah mati.

Apabila penderrita masih dalam keadaan terbakar, maka dapat


ditempuh dengan cara :
a) Menyiram dengan air dalam jumlah banyak apabila api
disebabkan karena bensin atau minyak, karena apabila
dalam jumlah sedikit hanya akan memperbesar api.
b) Menggulingkan penderita pada tanah yang datar, kalau bisa
dalam selimut basah (penolong jangan samapai turut
berbakar ).
c) Luka bakar akan mengalami pendalaman walaupun api
sudah mati. Untuk mengurangi proses pendalaman ini luka
di dapat disiram dengan air bersih untuk pendinginannya .
perlu diketahui bahwa proses pendalam ini hanya akan
berlangsung selama 5 menit, usaha ini akan sia-sia dan
hanya akan menimbulkan hipotermi (Brunner & Suddart,
2007).
2.

Diagnosa Keperawatan
a.

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan nyeri, dyspnea


dan obstruksi jalan nafas karena trauma inhalasi

b.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan


membran alveolar terhadap luka bakar sirkumferensial dan
trauma inhalasi

77

c.

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan trauma


dan penurunan suplai O2 ke jaringan

d.

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis adanya


kerusakan kulit atau jaringan

e.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma :


kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit

f.

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


kehilangan cairan melalui rute abnormal luka

g.

Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak


adekuat ; kerusakan perlindungan kulit

h.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan


kekuatan dan ketahanan

i.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan status hipermetabolik

78

3.

Nursing Care Plan

Tabel 2. Nursing Care Plan Berdasarkan Teori


No.
1.

Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan
pola

Tujuan (NOC)

Intervensi (NIC)

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Respiratory Status

nafas selama 30 menit, diharapkan pola nafas klien 1. Monitor tanda-tanda vital

berhubungan dengan efektif. Dengan kriteria hasil :

2. Monitor kecepatan, kedalaman, dan upaya

nyeri, dyspnea dan Respiratory Status : Ventilation


obstruksi jalan nafas
karena
inhalasi

trauma

pernafasan

1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal 3. Catat

pergerakan

dinding

dada,

lihat

(TD : 120/90 mmHg, Nadi : 60

kesimetrisan, penggunaan otot supraklavikular

100x/menit, RR : 16 24x/menit, Suhu :

dan interkosta

35,5 37,5oC)

4. Pantau

2. Irama nafas normal (reguler)

pola

nafas

(dyspnea,

bradypnea,

takypnea, atau henti nafas)

3. Tidak ada retraksi dada

5. Lakukan usaha resusitasi jika dibutuhkan

4. Tidak ada penggunaan otot nafas tambahan


Oxygen Therapy
1. Siapkan alat oksigenasi
2. Konsultasikan

79

dengan

dokter

mengenai

penggunaan oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang terpasang
4. Pantau efektifitas terapi oksigen

2.

Gangguan

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Respiratory Monitoring

pertukaran

gas selama

menit,

diharapkan

gangguan

1. Auskultasi bunyi nafas

berhubungan dengan pertukaran gas dapat teratasi. Dengan kriteria

2. Monitor saturasi oksigen

perubahan membran hasil :

3. Monitor frekuensi irama, kedalaman dan usaha

alveolar

terhadap Respiratory Status : Gas Exchange

luka

pernafasan

bakar 1. PaO2 dalam rentang normal

sirkumferensial dan 2. PaCO2 dalam rentang normal

Oxygen Therapy

trauma inhalasi

3. pH darah dalam rentang normal

1. Siapkan alat oksigenasi

4. saturasi O2 dalam rentang normal (95

2. Konsultasikan

100%)

dengan

dokter

mengenai

penggunaan oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang terpasang
4. Pantau efektifitas terapi oksigen

3.

Ketidakefektifan
perfusi

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Circulation Care

jaringan selama 1 x 2 jam, diharapkan ketidakefektifan

1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi

berhubungan dengan perfusi jaringan dapat teratasi. Dengan kriteria

sirkulasi perifer (cek nadi perifer, edema, kapiler

80

trauma

dan hasil :

penurunan suplai O2
ke jaringan

refil, temperatur ekstremitas)

1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal

2. Kaji nyeri

(TD : 120/90 mmHg, Nadi : 60

3. Inspeksi kulit dan palpasi anggota badan

100x/menit, RR : 16 24x/menit, Suhu :

4. Atur posisi klien, ekstremitas bawah lebih

35,5 37,5oC)

rendah untuk memperbaiki sirkulasi

2. Membran mukosa lembab

5. Monitor status cairan intake dan output

3. Konjungtiva tidak anemis

6. Evaluasi nadi, edama

4. Akral hangat

7. Berikan terapi antikoagulan

5. Tidak ada edema

4.

Nyeri

akut Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pain Management

berhubungan dengan selama 1 x 24 jam, diharapkan nyeri akut klien

1. Monitor tanda-tanda vital

agen cedera biologis dapat teratasi. Dengan kriteria hasil :

2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik dan intensitas

adanya

kerusakan

kulit atau jaringan

1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal


(TD : 120/90 mmHg, Nadi : 60
100x/menit, RR : 16 24x/menit, Suhu :
35,5 37,5oC)

(skala 0 10)
3. Anjurkan klien untuk menunjukkan ekspresi
perasaan tentang nyeri
4. Ajarkan

2. Nyeri terkontrol

klien

dalam

manajemen

nyeri

(relaksasi, distraksi, nafas dalam)

3. Skala nyeri berkurang

5. Tutup luka sesegera mungkin, kecuali perawatan

81

4. Menunjukkan ekspresi wajah atau tubuh


rileks

luka bakar metode pemejanan pada udara


terbuka
6. Kolaborasi pemberian obat analgetik

5.

Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pressure Management


kulit

berhubungan selama 5 x 24 jam, diharapkan kerusakan

dengan

trauma

kerusakan
permukaan
karena

: integritas kulit klien dapat teratasi. Dengan


kriteria hasil :

yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur

kulit 1. Tidak ada luka/lesi pada kulit

3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan

destruksi 2. Perfusi jaringan baik

lapisan kulit

1. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian

kering

3. Menunjukkan pemahaman dalam proses


perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang

4. Mobilisasi klien (ubah posisi klien) setiap 2 jam


sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan

4. Mampu melindungi kulit, mempertahankan


kelembaban kulit dan perawatan alami.
5. Menunjukkan

terjadinya

proses

penyembuhan luka
6.

Resiko
volume

kekurangan Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Fluid Monitoring


cairan selama

24

jam,

diharapkan

klien

berhubungan dengan menunjukkan adanya keseimbangan cairan.

82

1. Monitor tanda-tanda vital


2. Monitor intake dan output cairan

kehilangan

cairan Dengan kriteria hasil :

melalui

3. Periksa CRT

rute 1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal

abnormal luka

4. Monitor serum dan elektrolit urin

(TD : 120/90 mmHg, Nadi : 60


100x/menit, RR : 16 24x/menit, Suhu : Fluid Management
35,5 37,5oC)

1. Monitor status hemodinamik termasuk CAP,

2. Tidak ada perdarahan berulang

MAP, PAP, dan PCUP

3. Turgor kulit baik

2. Monitor hasil laboratorium

4. Pengisian kapiler cepat

3. Pertahankan intake dan output cairan

5. Membrane mukosa lembab

4. Berikan cairan infus melalui IV seperti NaCl

6. Hb dalam rentang normal (>11 gr/dL)


7.

Resiko

infeksi Setelah

dilakukan

tindakan

atau RL

asuhan Infection Protection

berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan 1. Monitor tanda-tanda infeksi (calor, dolor, rubor,
pertahanan
tidak

primer klien tidak mengalami resiko infeksi. Dengan

adekuat

kerusakan
perlindungan kulit

; kriteria hasil :

tumor)
2. Ajarkan klien dan keluarga mengenali tanda-tanda

1. Tidak timbul tanda-tanda dan gejala


infeksi (calor, dolor, rubor, tumor)
2. Melakukan kebersihan diri

infeksi (calor, dolor, rubor, tumor)


3. Ajarkan

klien

dan

keluarga

menghindari infeksi

3. Mempertahankan lingkungan yang bersih

83

4. Kolaborasi pemberian obat antibiotik

cara

untuk

Infection Control
1. Jelaskan pentingnya teknik cuci tangan yang baik
untuk semua individu yang datang kontak dengan
klien
2. Jelaskan teknik isolasi yang tepat sesuai indikasi
3. Cukur rambut disekitar area yang terbakar
meliputi 1 inci dari batas yang terbakar
4. Periksa area yang tidak terbakar
5. Bersihkan jaringan nekrotik yang lepas (termasuk
pecahnya lepuh) dengan forcep
8.

Hambatan mobilitas Setelah


fisik

dilakukan

tindakan

asuhan Exercise Therapy : Ambulation

berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam. diharapkan 1. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah

dengan
kekuatan
ketahanan

penurunan kebutuhan mandiri klien terpenuhi. Dengan


dan kriteria hasil :

melakukan latihan dan lihat respon klien saat


latihan

1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal 2. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
(TD : 120/90 mmHg, Nadi : 60 3. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
100x/menit, RR : 16 24x/menit, Suhu :
o

35,5 37,5 C

secara mandiri sesuai kemampuan


4. Dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan

2. Klien meningkat dalam aktivitas fisik

84

bantu penuhi kebutuhan ADLs klien

3. Mengerti

tujuan

dari

peningkatan 5. Beri alat bantu jika klien memerlukan

mobilitas

6. Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan

4. Memverbalisasikan

perasaan

dalam

berikan bantuan jika diperlukan

meningkatkan kekuatan dan kemampuan 7. Kolaborasi pemberian neurotropik


berpindah
5. Memperagakan penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi
9.

Ketidakseimbangan

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Nutrition Monitoring

nutrisi kurang dari selama


kebutuhan

tubuh

menunjukkan

24

jam,

pemasukan

diharapkan
nutrisi

berhubungan dengan Dengan kriteria hasil :

klien 1. Monitor berat badan

adekuat. 2. Monitor turgor dan elastisitas kulit


3. Monitor mual dan muntah

status

1. Berat badan naik

hipermetabolik

2. Nutrisi adekuat

Nutrition Management

3. Energi adekuat

1. Auskultasi bising usus

4. Tidak mengalami mual dan muntah

2. Pertahankan jumlah kalori berat

5. Bising usus dalam rentang normal (6 3. Identifikasi alergi makanan pada klien
12x/menit)

4. Anjurkan klien untuk memenuhi kebutuhan gizi


dalam tubuhnya (diskusikan dengan klien
tentang makanan yang disukai)

85

5. Atur pola makan yang diperlukan klien (seperti


tinggi protein dan kalori)
6. Berikan pendidikan kesehatan tentang konsumsi
olahan ginseng untuk mengurangi mual dan
muntah

86

BABA III
PEMBAHASAN KASUS

A.

Pengkajian
1.

Identitas Klien
Nama

: Tn. X

Umur

: 50 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Diagnosa Medis

: Luka bakar derajat 2 dengan luas 27%

2. Triage
P1

3. Pengkajian Gawat Darurat


a. Pengkajian Primer
1)

Airway
Suara yang serak dan kalimat yang pendek-pendek.

2)

Breathing
Sesak nafas, frekuensi nafas 35 x/menit.

3)

Circulation
Nadi 1000 x/menit, Suhu 38,20 C, TD: 140/90
mmHg, eritema pada wajah, leher, dada perut, dan hampir
seluruh lengan kiri, terdapat bula, pembengkakan, lepuhan
dan luka bakar sirkumferensial, beberapa bula sudah pecah
dan berair, alis tampak terbakar, luka bakar sampai
epidermis dan sebagian dermis, dasar luka berwarna
merah dan pucat. Klien mendapatkan terapi infus RL 1
kolf

4)

Disability
Klien sempat tidak sadar selama 5 menit, Klien
tampak sadar

87

5)

Exposure
Terdapat eritema pada wajah, leher, dada perut, dan
hampir seluruh lengan kiri, terdapat bula, pembengkakan,
lepuhan dan luka bakar sirkumferensial, beberapa bula
sudah pecah dan berair, alis tampak terbakar, luka bakar
sampai epidermis dan sebagian dermis, dasar luka
berwarna merah dan pucat. Klien mengalami hipertermia
dengan suhu 38,2oC.

6)

Folley catheter
Klien terpasang kateter urine

7)

Gastric Tube (NGT)


Tidak terdapat dalam kasus

8)

Heart Monitor
Tidak terdapat dalam kasus

b.

Pengkajian Sekunder
1)

2)

Keadaan umum
TD

: 140/90 mmHg

: 100 x/menit

: 38,20 C

RR

: 35 x/menit

Status Gizi
TB : 170 cm
BB : 65 kg

3)

Keluhan utama
Klien mengatakan, Sesak nafas

4)

Anamnesa
a) A

: Tidak terdapat dalam kasus.

b) M: Klien mendapat terapi mebo, infus RL 1 kolf, anti


tetanus, dan analgetik
c) P : Tidak terdapat dalam kasus.

88

d) L : Tidak terdapat dalam kasus.


e) E : Klien datang ke IGD karena luka bakar disebabkan
oleh kompor yang meledak 1 jam yang lalu ketika
sedang bekerja sebagai koki disebuah restoran. Klien
sempat tidak sadar selama 5 menit. Klien tampak
sadar namun tampak sangat sesak dan mengeluh
kesakitan dengan suara yang serak dan kalimat yang
pendek-pendek.
5) Log Roll
a) Kulit

Terdapat

eritema

pada

wajah, leher, perut, dan hampir seluruh lengan kiri,


terdapat beberapa bula, pembengkakan, lepuhan, dan
luka bakar surkumferensial, beberapa sudah pecah
dan berair, Luka bakar sudah sampai epidermis dan
sebagian dermis, dasar luka berwarna merah dan
pucat.
b) Kepala

: Tidak terdapat dalam kasus.

c) Leher

: Terdapat eritema, tampak

bula sudah pecah berair.


d) Rambut

: Tidak terdapat dalam kasus

e) Mata

: Tidak terdapat dalam kasus

f)

: Tidak terdapat dalam kasus

Hidung

g) Mulut

: Tidak terdapat dalam kasus

h) Paru-paru

: Tidak terdapat dalam kasus

i)

Jantung

: Tidak terdapat dalam kasus

j)

Abdomen

: Terdapat eritema, tampak

bula sudah pecah berair.


k) Genital (Laki-laki)

: Tidak terdapat dalam kasus

l)

Ekstremitas

Pada

ekstremitas

atas

terdapat eritema hampir seluruh tangan kiri, tampak

89

bula sudah pecah berair. Dasar luka berwarna merah


dan pucat.
6)

Terapi yang diberikan


a)

Terapi mebo

b)

Infus RL 1 kolf

c)

Anti tetanus

d)

Analgetik

90

B.

Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan

Tabel 3. Analisa berdasarkan Kasus


N0

Data Fokus

Etiologu

Masalah Keperawatan

Bahan kimia Suhu Radikal listrik

Ketidak Efektipan Pola Nafas

(Subjektif-Objektif)
1

Ds

: Klien mengeluh kesakitan dengan

suara yang serak dan kalimat yang pendekpendek.

Luka Bakar

Do :
-

Klien tampak sangat sesak

Respirasi 35X/Menit

TD: 140/90 mmHg

Nadi: 100X/Menit

Suhu: 38,20C

Asap Terhirup

Trauma Inhalasi

Edema Laring

Obstruksi Jalan Napas

Ketidakefektifan Pola Napas


2

Ds : Klien mengeluh nyeri dibagian yang

Bahan Kimia Suhu Radikal Listrik

terbakar
Do :

Luka Bakar
91

Nyeri Akut

Skala nyeri 6

Merusak Jaringan Dermis / Epidermis

Klien mendapatkan terapi analgetik


Kerusakan Integritas Kulit

Merangsang pengeluaran mediator nyeri (BHSP)

Menstimulasi nyeri

Nyeri Akut

Ds

Bahan Kimia Suhu

Do :
-

Radikal Listrik
Luka bakar sampai epidermis dan
sebagian dermis

Luka Bakar

Terdapat eritema pada wajah, leher,


dada, perut dan hampir seluruh
lengan kiri

Klien

histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin)

mengalami

lepuhan,

dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine,

dan

pembengkakan,
luka

bakar

Meningkatnya Permeabilitas Kapiler

sirkumferensial, beberapa bula sudah


pecah dan berair.
-

Plasma Merembes Kedalam Sekitar Jaringan

Klien mendapatkan terapi infus RL 1


92

Kelebihan Volume Cairan

kolf

Sodium Masuk Dan Potasium Keluar Dari Sel

Meningkatnya Cairan Intraseluler Dan Intertisial

Edema General

Kelebihan Volume Cairan


4

Ds :

Bahan Kimia Suhu Radikal Listrik

Do :
-

Luka bakar sampai epidermis dan

Luka Bakar

sebagian dermis
-

Terdapat eritema pada wajah, leher,

Merusak Jaringan Dermis / Epidermis

dada, perut dan hampir seluruh


lengan kiri
-

Klien

Kerusakan Integritas Kulit

mengalami

lepuhan,

dan

pembengkakan,
luka

bakar

sirkumferensial, beberapa bula sudah


pecah dan berair.
-

Dasar luka berwarna merah dan


pucat

Alis juga tampak terbakar

Klien mendapatkan terapi mebo


93

Kerusakan Integritas Kulit

Ds

Bahan Kimia Suhu

Do :
-

Radikal Listrik
Luka bakar sampai epidermis dan
sebagian dermis

Luka Bakar

Terdapat eritema pada wajah, leher,


dada, perut dan hampir seluruh

Depresi Sistem Imun

lengan kiri
-

Klien

mengalami

lepuhan,

pembengkakan,

dan

luka

bakar

Depresi Aktivitas Lymphocyte, Penurunan Produksi


Immunoglobulin

sirkumferensial, beberapa bula sudah


pecah dan berair.
-

Klien

mendapatkan

Supresi Aktivitas Complement Dan


terapi

anti

Perubahan/Gangguan Pada Fungsi Neutropil Dan

tetanus

Macrophage

Resiko Infeksi

94

Resiko Infeksi

95

C.

Diagnosa Keperawatan
1.

Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan edema dan efek


inhalasi asap.

2.

Nyeri berhubungan dengan luka bakar.

3.

Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas


kapiler dan kehilangan cairan.

4.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar.

5.

Risiko infeksi berhubungan dengan luka bakar dengan faktor risiko


hipertermi, peningkatan nilai leukosit dalam darah.

96

D.

Nursing Care Plan

Tabel 4. Nurrsing care plan Berdasarkan Kasus


No
1

Diagnosa Keperawatan

Noc

Nic

Rasional

pola resiko infeksi b.d luka bakar Airway management :


Airway management :
dengan faktor risiko hipertermi,
napas b.d edema dan efek
1. Buka jalan nafas, gunakan teknik 1. Membantu
jalan
peningkatan nilai leukosit dalam
darah
inhalasi asap
chin lift atau jaw thrust bila perlu.
masuknya udara ke paru
Ketidakefektifan

sehingga kebutuhan

O2

terpenuhi.
2. Posisikan

klien

untuk

memaksimalkan ventilasi.
3. Identifikasi

klien

2. Mempermudah

jalan

napas dan pola napas.


perlunya

pemasangan alat jalan nafas.

3. Membantu

patency

airway.

4. Pasang mayo bila perlu.

4. Airway adekuat.

5. Lakukan fisioterapi bila perlu.

5. Membantu efektifitas pola


napas.

6. Keluarkan secret dengan batuk atau


suction.

6. Membersihkan jalan napas


dan
ketidakefektifan

mencegah
pola

napas.
7. Auskultasi

97

suara

nafas,

catat

7. Mengetahui

apakah

adanya suara tambahan.

terdapat

bunyi

napas

tambahan.
8. Monitor respirasi dan status O2.

8. Mengetahui

kebutuhan

oksigenasi.

Oxygen therapy :

Oxygen therapy :

1. Bersikan mulut, hidung dan secret

1. Meningkatkan

trakea.

rasa

nyaman pada airway dan


pernapasan.

2. Pertahankan

jalan

nafas

yang

paten.

2. Mempertahankan sirkulasi
oksigenasi.

3. Atur peralatan oksigen.

3. Membantu

memenuhi

kebutuhan oksigenasi.
4. Monitor aliran oksigen.

4. Mengetahui

kebutuhan

oksigenasi

yang

diperlukan.
5. Pertahankan posisi klien.

5. Airway patency.

6. Observasi

6. Mencegah

adanya

tanda-tanda

hipoventilasi.

hipoventilasi

terjadinya
yang

berisiko terjadi.
7. Monitor adanya kecemasan klien

98

7. Mengetahui kondisi dan

terhadap oksigenasi

keadaan koping pada diri


klien.

Nyeri akut b.d luka bakar

Setelah

dilakukan

tindakan Manajemen nyeri :

Manajemen nyeri :

keperawatan selama 1 x 15 1. Kaji lokasi, karakteristik, durasi,

1. Mengetahui

intensitas

menit nyeri mulai berkurang

frekuensi, kualitas, atau faktor

nyeri yang dirasakan dan

dengan kriteria hasil:

pencetus nyeri.

dialami oleh klien.

a. Klien
mengidentifikasi

mampu 2. Pastikan
perubahan

pasien

menerima

analgetik yang sesuai.

b. Klien
menggambarkan

klien.
3. Kaji efek nyeri yang dialami

mampu

terhadap

cara

kualitas

(tidur,aktifitas,

mengatasi nyeri

3. Untuk

menentukan

hidup

tindakan keperawatan dan

serta

therapy apa saja yang

mood

hubungan dengan orang lain).

harus

c. Nyeri <
d. Management nyeri adekuat

intensitas

nyeri yang dirasakan oleh

tingkat intensitas dan durasi


nyeri

2. Mengurangi

diberikan

pada

klien.
4. Evaluasi
sebelumnya,

pengalaman

nyeri

termasuk

riwayat

mana

tingkat

individu dan keluarga yang pernah

perkembangan kesehatan

mengalami nyeri kronik.

klien.

5. Berikan

informasi tentang nyeri

seperti penyebab dan durasi nyeri

99

4. Mengetahui sampai sejauh

5. Menambah

pengetahuan

klien tentang management

berlangsung

dan

ketidaknyamanan

antisipasi

dari

nyeri.

prosedur

tindakan.

6. Membantu

6. Kontrol faktor lingkungan seperti


temperatur,

cahaya

dan

suara

pencetus

yang

mencegah

terjadinya atau timbulnya


nyeri.

bising.
7. Kurangi

faktor

meningkatkan

nyeri,

takut,

7. Meningkatkan
management nyeri.

kelelahan dan kurang pengetahuan.


8. Ajarkan teknik non farmakologi

8. Menambah

pengetahuan

nafas dalam untuk mengurangi

klien dalam management

nyeri.

nyeri.

9. Berikan informasi kepada pasien

9. Menambah

pengetahuan

dan keluarga untuk meningkatkan

klien akan management

pengetahuan tentang nyeri yang

nyeri.

dialami.

Defisit volume cairan b.d Setelah

dilakukan

tindakan Manajemen cairan :

peningkatan permeabilitas keperawatan selama 1 x 8 jam,


kapiler

dan

Manajemen cairan :

1. Monitor adanya faktor-faktor yang

kehilangan klien tidak mengalami defisit

menyebabkan

100

defisit

volume

1. Mengetahui kondisi klien


yang dapat menyebabkan

cairan

volume cairan dengan kriteria

cairan.

defisit volume cairan.

hasil :
a. Volume cairan adekuat

2. Monitor total intake dan output

b. Turgor kulit elastis

cairan setiap 8 jam atau setiap jam.

c. Mukosa lembab

2. Mengetahui

jumlah

volume cairan tubuh klien


dengan menghitung IWL
(Indeks Water Loss).

3. Monitor

kecenderungan

dalam

output cairan selam 3 hari termasuk

3. Mengetahui status kondisi


volume cairan klien.

semua rute intake dan output dan


catatan warna dan berat jenis urine.
4. Monitor setiap hari BB yang tiba-

4. Mengetahui status kondisi

tiba terutama menurunkan urine

klien

output atau kehilangan cairan aktif.

pemenuhan
cairan

akan

kebutuhan
nutrisi

elektrolit

dan
bagi

tubuh klien.

Management hipovolemi :

Management hipovolemi :

1. Monitor tanda-tanda vital 1 jam

1. Mengetahui status tanda-

sekali.
2. Monitor

101

tanda vital klien.


turgor

kulit,

lidah,

2. Mengetahui

status

membran mukosa, kesadaran klien.

pemenuhan

kebutuhan

volume cairan.
3. Pertahankan ketepatan cairan.

3. Pemenuhan

kebutuhan

cairan adekuat.
4. Kaji

pengetahuan

klien

dan

4. Mengetahui

keluarga tentang proses penyakit

pengetahuan

dan komplikasi dari penurunan

keluarga tentang proses

volume cairan.

penyakit dan komplikasi


dari

tingkat
klien

dan

penurunan volume

cairan.

5. Ajarkan pada keluarga tentang


pengukuran

intake

dan

output

cairan

Kerusakan integritas kulit Setelah


b.d luka bakar

dilakukan

1. Anjurkan

diharapkan kerusakan integritas

menggunakan

kulit

longgar.

klien

teratasi

dengan

hipovolemi keluarga klien


bertambah.

tindakan Pressure management :

keperawatan selama 1 x 8 jam

5. Pengetahuan management

klien
pakaian

Pressure management :
untuk

1. Mencegah bertambahnya

yang

kerusakan integritas kulit


dan mengistirahatkan area

kriteria hasil:

kulit yang mengalami luka

a. Integritas kulit yang baik bisa

bakar.

di

pertahankan

(sensasi,

2. Hindari kerutan pada tempat tidur.

102

2. Mencegah terjadinya nyeri

elastisitas,

temperatur,

akibat

hidrasi, pigmentasi)
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap

kulit

bersih dan kering.

4. Mobilisasi klien (ubah posisi klien)

dalam proses perbaikan kulit

setiap 2 jam sekali.

akibat

tirah

baring atau bedrest.


5. Monitor

e. Mampu melindungi kulit dan

kulit

akan

adanya

kemerahan.

mempertahankan
kulit

4. Mencegah terjadinya luka


decubitus

terjadinya

cedera berulang

kelembaban

proses

pada luka bakar.

pemahaman

mencegah

3. Membantu

perawatan yang optimal

c. Perfusi jaringan baik

dan

pada

kerutan tempat tidur.

b. Tidak ada luka / lesi pada

d. Menunjukan

gesekan

5. Mengetahui apakah klien


mengalami infeksi dalam
perawatan luka bakar.

dan

6. Oleskan lotion atau baby oil pada

perawatan alami

daerah yang tertekan.

6. Mencegah terjadinya ruam


atau lesi akibat tekanan
pada kulit yang berisiko
mengalami luka decubitus.

7. Monitor aktivitas dan mobilisasi


klien.

7. Mengetahui

mobilisasi

yang dapat dilakukan dan


nilai kekuatan otot klien.

Perawatan luka :

Perawatan luka :

1. Kaji tempat/lokasi kerusakan kulit

1. Mengetahui

103

status

dan tentukan penyebab.

keadaan

kulit

yang

mengalami luka bakar.


2. Inspeksi lokasi kerusakan kulit

2. Mengetahui

adanya

paling sedikit sekali sehari untuk

kerusakan pada kulit yang

perubahan

mengalami luka bakar.

warna,

kemerahan,

pembekakan, hangat, nyeri atau


tanda-tanda infeksi lain.
3. Monitor perawatan kulit klien.

3. Mengetahui

status

perkembangan
penyembuhan luka bakar
pada klien.
4. Ajarkan klien mengkaji kulit dan

4. Menambah

pengetahuan

luka serta monitor dan tanda gejala

klien tentang management

infeksi,

perawatan luka bakar.

komplikasi

dan

penyembuhan luka.

Resiko infeksi b.d luka Setelah

dilakukan

tindakan Kontrol Infeksi :

bakar dengan faktor risiko keperawatan selama 1 x 8 jam


hipertermi,

peningkatan diharapkann

nilai leukosit dalam darah

klien

1. Monitor tanda-tanda vital setiap 4 1. Data

mampu

jam.

dasar

mengetahui

menunjukan penurunan infeksi


dan tanda-tanda infeksi dengan

Kontrol Infeksi :
untuk
keadaan

normal.
2. Gunakan

104

metode

pengontrolan 2. Untuk melindungi klien

kriteria hasil:
a. Resiko infeksi tidak terjadi

adanya infeksi.

dari infeksi.

3. Monitor pemberian antibiotik dan 3. Untuk

b. Tanda-tanda infeksi tidak ada

kaji efek sampingnya.

mencegah

komplikasi.

4. Informasikan tentang pengobatan.


5. Lakukan teknik sterilisasi.

4. Untuk mencegah infeksi


silang.
5. Untuk mencegah infeksi.

6. Lakukan

pendidikan

kesehatan 6. Untuk

tanda-tanda infeksi.

memberikan

pengetahuan dasar cara


memproteksi diri.

Proteksi Infeksi :

Proteksi Infeksi :

1. Monitor tanda dan gejala infeksi.

1. Mengetahui

tanda

dan

gejala infeksi.
2. Monitor hitung granulosit, WBC.

2. Mengetahui
granulosit,
dapat

nilai
WBC

yang

mempengaruhi

risiko infeksi.
3. Monitor
infeksi.

kerentanan

terhadap

3. Mengetahui

status

kesehatan klien terhadap


terjadinya risiko infeksi.

105

4. Batasi pengunjung.

4. Mencegah
infections.

106

cross

E.

Analisa Kesenjangan Teori dan Kasus


Setelah memahami konsep teori teori tentang askep CKD, terdapat
beberapa kesenjangan teori dengan scenario pada kasus. Diantaranya yaitu,
pada scenario yang dituliskan bahwa pasien sulit untuk eliminasi BAK
dikarenakan kemaluan bengkak. Dalam teori, penyebab retensi urin pada
kasus CKD ialah karena keadaan pasien dengan gagal ginjal tersebut yang
mengalami kerusakan pada nefronnya sehingga laju filtrasi glomerulus
menurun dan ginjal tidak mampu mengencerkan urin secara maksimal, hal
inilah yang menyebabkan produksi urin terus menurun dan kepekatan urin
meningkat serta terjadilah disuria bahkan anuria.
Selain itu data objektif yang di dapat bahwa pasien mengalami ascites,
edema anasarca, JVP 5+2 cm, TD 180/90

hal itu menunjukan bahwa

keadaan overload yang terjadi sudah dalam keadaan parah, akan tetapi di
dalam kasus tidak terdapat pengkajian keadaan jantung secara spesifik.
Pada kasus, pasien sudah mengetahui mengalami gagal ginjal sejak 3
bulan yang lalu, seharusnya pasien sudah membatasi minum agar tidak
memperparah edemanya serta segera berkonsultasi dengan tim medis untuk
melakukan cuci darah atau hemodialisa.

107

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan pemanjanan (exprosure) berlebihan terhadap sinar matahari.
Luka bakar akibat suhu panas dan suhu dingin. Luka bakar akibat
suhu panas disebabkan oleh terpapar atau kontak dengan api, cairan panas
atau objek-objek panas lainnya sedangkan luka bakar akibat suhu dingin yaitu
ketika terpapar dengan suhu dingin yang ekstrim yang sering kali menyerang
bagian perifer tubuh seperti jari-jari kaki dan tangan, kaki, tangan, dan
telinga.
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan
asam atau basa kuat. Luka bakar kimia dapat terjadi karena kontak dengan
zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga dan
berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian, dan
militer.
Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Terdapat tiga macam terjadinya cidera
listrik yaitu luka bakar listrik akibat kontak langsung, luka bakar akibat
percikan atau loncatan bunga api listrik, dan luka bakar tersambar listrik.
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber
radioaktif. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga
merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka
bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung
jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada
pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan
keluarga atau orang lain yang dianggap penting.

108

B. Saran
1.

Bagi Mahasiswa
Dapat memahami dan menganalisis kasus yang diberikan
dosen sehingga diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan
keperawatan pada mayarakat saat dilapangan atau dilahan praktik
khususnya pada keperawatan gawat darurat 2.

2.

Bagi Institusi Pendidikan


Dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengetahuan dalam
menganalisis kasus yang saat ini banyak masalah dalam kalangan
masyarakat mengenai kesehatannya.

109

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

UP-TO-DATE USE OF HONEY FOR BURNS TREATMENT


Zbuchea A.*
The Carol Davila Medical University, Bucharest, Romania

SUMMArY. Made by bees from the nectar of flowers, used since ancient times to treat wounds and burns, honey has lately acquired a growing interest from the international scientific community and has been the subject of many specialized studies and
communications. This article highlights the up-to-date knowledge on qualities, properties and mode of appliance of honey in the
treatment of wounds of various etiologies, particularly burns, through an extensive retrospective analysis of data from the literature. This article aims to review and provide a synthesis of current issues regarding the complex action of honey on burn wounds,
evidenced by in vitro studies, laboratory experiments and clinical trials published in the specialized literature. The present work
analyzes extensively the anti-infectious and anti-inflammatory properties of honey, as well as its favorable effect on wound regeneration. Effectiveness of topical administration of honey is evidenced both by a series of experiments on laboratory animals and
by clinical trials. This article also draws the attention of both medical staff and patients to the possibility of using this product,
and to its acceptability in practice.
Keywords: honey, burns, clinical studies, effectiveness, acceptability

Introduction

Honey is a viscous concentrated solution of sugars produced by bees (Apis mellifera) that collect and process the
blossom nectar (flowers or floral honey) or sweet juices
on certain plant species (honeydew or forest honey). Honey is one of the most complex and valuable natural biological products used since ancient times, both in nutrition
and medicine (through internal and external means). Among
other medical uses, honey has served in wound care since
ancient times:1-4
Sumerian civilization (fragments of pottery, 21002000 BC)
Ancient Egyptian civilization (The Edwin Smith
Papyrus, 2600-2200 BC)
Ayurveda and Chinese medicine
Ancient Greek civilization (Dioscorides De Materia Medica, for treating fistulising wounds; Hippocrates)
Ancient Rome civilization (Pliny, for treating infected wounds)
Mentions in the Bible and the Quran.
After having served an important role in the medical
tradition of many peoples for millennia, honey was rediscovered by modern medicine as a topical agent for
treating wounds and burns.4 Therapeutic properties of honey have been scientifically highlighted by numerous in vit-

ro studies, laboratory experiments and clinical trials performed during the last century. However, the impression
that the use of honey in wound treatment would not have
scientific support5 still persists sometimes in the medical
community.
Moreover, the current promotion of different types of
modern dressings for wounds (for instance, nanocrystalline
silver dressings) hides the fact that there is little published
6
evidence to support the use of these products.5, A recent
systematic review of publications on the use of advanced
dressings in the treatment of pressure ulcers revealed that
their widespread use is not supported by good quality studies.5, 7 Thus, the vast amount of evidence that proves the
efficiency of honey and supports its use in wound treatment, compared with the existing evidence for other wound
care products, allows us to consider the use of honey as
a viable option for wounds treatment.5
The ideal topical preparation for wounds should meet
the following criteria:8, 9
Bactericidal and fungicidal action, rapid set up and
wide spectrum, even under the unfavorable situations of heavy exudation or wound infection;
Enhancement and acceleration of the physiologic
process of wound healing (granulation, epithelialization, contraction);
No local or systemic adverse effects (allergy, toxicity etc.), even if applied for prolonged periods;

* Corresponding author: Andrei Zbuchea, Bucharest, Romania. Tel.: 0040721808946; email: a_zbuchea@yahoo.com

22

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

Moderate cost, even if applied twice a day;


Patient comfort, ease of application, pain reduction; and
Patient and healthcare compliance.
According to performed studies, the topical use of honey for wounds and burn care meets most of the above mentioned features.
Material and methods

A plethora of data is available in the literature regarding the use of honey for burn treatment, providing
comprehensive analyses. These are accessible from databases, such as Medline, from journals, such as Burns and
the Annals of Burns and Fire Disasters, from search engines and from specialized books. No restrictions were applied regarding the source or date of publication, with the
most representative and reliable studies being selected. The
complex activity of honey in burns lesions was evidenced
by its properties and effects (anti-infectious, anti-inflammatory, antiexudative, antioxidant, wound healing, wound
debriding and nutritional), as revealed from the studies undertaken. Effectiveness of topical administration of honey
was highlighted both by a series of experiments on laboratory animals, and by clinical trials. Risks, application
procedures and acceptability of honey in practice were also investigated.
results and discussions

The anti-infectious property of honey, a traditional remedy for the treatment of infected wounds, was confirmed
through laboratory research. Honey has proven to have a
broad-spectrum anti-infectious action against at least 80
species of micro-organisms including Gram positive and
10, 11
some
Gram negative bacteria, aerobes and anaerobes,
11
fungal species of Aspergillus and Penicillium and all the
common dermatophytes,12 including types of bacteria multi-resistant to antibiotics, such as Pseudomonas, Acinetobacter, methicillin-resistant (MRSA) and coagulase-negative Staphylococcus aureus, with a minimum inhibitory
concentration (MIC) generally below 10%, usually inferior to that present in wounds where the honey was applied.13-20 The increasing interest in the use of honey in infected wounds is strengthened by the widespread development of bacterial resistance to antibiotics,21, 22 as well as
evidence that honey is fully effective against such antibiotic-resistant bacteria.21 There was no loss of bacterial sensibility to honey over time and no appearance of bacteria
resistant mutants.23 In many cases, honey acted where other antibacterial therapies failed,24 possibly because honey is
effectively including aggregated bacteria in biofilms,25-28 a situation where antibiotics and silver dressings proved ineffective.29

The antibacterial property of honey was first recognized in 1892 by the Dutch scientist van Ketel.8 Many considered this property to be entirely due to the osmotic ef8, 30-35
Honey possesses
fect of high glucidic concentrations.
a level of osmolarity which is able to inhibit microbial
growth.36 But the antibacterial quality of honey is also due
to other factors. Honey contains an agent that was called
inhibine before its identification as hydrogen peroxide.
This is a well-known antimicrobial agent that is produced
by the enzyme glucose oxidase in honey,37 secreted by the
hypopharyngeal glands of bees. Under the action of glucose oxidase, glucose oxidation makes gluconolactone and
hydrogen peroxide.
Hydrogen peroxide produced by honey may also accelerate the healing process observed when honey is ap38, 39
plied to wounds.21,
Hydrogen peroxide has been involved in many cell types in the human body as a stimulus for cell proliferation,14 for the growth of fibroblasts and
epithelial cells to repair damage,40 for the development of
new capillaries in damaged tissue41 as part of the normal
inflammatory response to injury or infection. Low concentrations of hydrogen peroxide have been proposed to
stimulate wound healing, instead of recombinant growth
factors,40 but only if the concentration of hydrogen peroxide could be carefully controlled in order to avoid tissue
damage42 by production of oxygen radicals at high concentrations.43, 44
The production rate of hydrogen peroxide by glucose
oxidase largely depends on the degree of honey dilution,37
and it is minimal in concentrated honey.37, 45 The fact that
the antibacterial properties of honey are amplified when it
is diluted has been clearly observed and reported since
46
1919.11, The maximum accumulated hydrogen peroxide
(1-2 mmol/L)16 is found in diluted honey solutions at concentrations between 30% and 50% (v/v), at least 50% of
the maximum level at concentrations between 15-67%
(v/v). Variation of glucose oxidase activity by diluting honey can be explained by enzyme inactivation due to the low
pH of concentrated honey47 and the availability of free water required to activate the enzyme in honey (water in concentrated honey is almost entirely bound by carbohydrates).48 This variation suggests that honey enhances its
antimicrobial activity when applied to the wound, as it dilutes and neutralizes the exudate at this level. The amount
of hydrogen peroxide found inside the wound depends on
the balance between its production rate (honey glucose oxidase) and the rate of destruction (plasma enzymes such
as catalase and glutathione peroxidase).49, 50
Additional non-peroxide antibacterial factors were
identified in some honeys treated with catalase to remove
the hydrogen peroxide activity,51, 52 for example methylglyoxal53 (in Manuka honey from New Zealand), bee-defensin-154 and melanoidins.55 Honey is produced from various floral sources and its antibacterial potency varies wide23

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

ly (up to 100 times)56 depending on its origin and processing. Therefore, it was proposed that honey should be
selected for clinical use according to the antibacterial ac45
tivity levels determined by bacteriological tests. Howev57
er, in clinical trials of honey of floral origin and antibacterial potency there was found to be no correlation in
the difference in effectiveness of treating burns. It was noted that applying honey causes a reduction in inflammation
and scar contractures, and that the antioxidant effect of
honey in neutralizing free radicals, together with antibacterial action, low pH, high viscosity and hygroscopic effect, all contribute to the efficiency of honey in burns treatment.57 The anti-infectious activity of honey on the wound
reflects more than just intrinsic antibacterial properties.11
Laboratory studies have shown that, at concentrations of
only 0.1%, honey activates phagocytes and stimulates proliferation of peripheral blood B lymphocytes and T lymphocytes in cell cultures.58 Honey (at a concentration of
1%) also stimulates monocytes in cell culture to release
cytokines: tumor necrosis factor alpha (TNF) and interleukin (IL: IL1 and IL6), which activates immune response
to infection 59, 60 and initiates tissue repair processes.5 It has
also been shown that honey stimulates the production of
antibodies in mice in response to antigens of Escherichia
coli.61 These findings suggest that part of the effectiveness
of honey in eliminating and preventing infection in the
wound may be due to the strengthening of the bodys own
immune system, as well as the antibacterial activity of honey.5 In addition, the glucose content in honey and acidic
pH (usually pH between 3 and 4) can support the
macrophages to destroy the bacteria.62
As well as the antibiotic activity of honey, a number
of studies have shown its anti-inflammatory, anti-edematous and anti-exudative activities. This is evidenced by assessment of local wound evolution,32, 63-70 biochemical tests
of indicators of inflammation (decreased malondialdehyde
and lipid peroxide values)71-73 and histopathology exams
(decrease of inflammatory cells).64 Possible mechanisms of
inflammatory activity are: inhibition of complement,74 inhibition of nitric oxide production by macrophages,75 inactivation and suppression of reactive oxygen species
(ROS) by phagocytes,59, 74, 76-78 decrease of thermal injuryinduced oxidative stress by controlling free radicals that
are formed in the burn wound72 and an anti-inflammatory
factor identified as apalbumina-1, a protein secreted by
bees.78 The anti-inflammatory effect and suppression of
ROS, which overstimulate fibroblasts, lead to a reduction
of fibrosis and hypertrophic scarring.67, 80 In contrast, synthetic anti-inflammatory drugs do not promote wound healing (non-steroidal anti-inflammatory substances are cytotoxic drugs, and corticosteroids inhibit the growth of epithelium).24
In some experimentally induced burns, there was no
obvious infection, but honey continued to cause a decrease

24

in inflammation. This shows that the anti-inflammatory activity of honey is a direct action and not a side effect of
5
eliminating infection by antibacterial activity. The direct
anti-inflammatory activity of honey is also highlighted by
the finding that honey is as effective as prednisolone in a
trial on induced colitis in rats,81 and a statistically significant (p <0.001) reduction of postoperative peritoneal adhesions on the cecum and ileum in another trial on rats.82
Also, a laboratory experiment demonstrated the direct anti-inflammatory activity of honey, by a significant (p<0.001)
reduction of ROS released from monocytes in culture that
had been stimulated with Escherichia coli lipopolysaccharide.5, 59
Studies have also revealed an intrinsic antioxidant activity of honey, by controlling free radicals72 and ROS.83
The ROS act as messengers that amplify the inflammatory response84 and this process can be blocked by antioxidant substances85 present in honey at a high level.83, 86 Also, ROS produced by phagocytes in inflamed tissues activate proteases that are normally inactive.87-89 and their activated forms digest extracellular matrix and cell growth
factors that are essential for tissue repair.24, 90
Besides its own anti-infectious, anti-inflammatory and
antioxidant actions, honey creates a physical barrier and
moist local environment, due to its high viscosity and to
the drawing of fluids by osmosis. This promotes healing
of burn wounds because wounds heal faster when kept
moist as opposed to when they are left to dry out and form
a scab.24, 91, 92 A moist environment ensures the growth of
epithelial cells, the contraction of fibroblasts to approach
the wound edges, as well as non-adherence of dressings
to the wound, leading to easy and painless dressing changes,
without the risk of breaking newly formed epithelium.24
Also, a local environment allows the protein-digesting enzymes in the wound tissues to work and loosen any scab
and dead tissue.24
Honey is further known to have a wound debriding
action, as found in clinical trials.64-70, 93-99 Honey activates
plasminogen and increases plasmin enzyme activity, which
lyses fibrin attaching slough, by suppression of the
macrophage plasminogen activation inhibitor. Plasmin digests fibrin, which attaches debris on wound surface, but
does not digest collagen extracellular matrix, which is necessary for tissue repair.24
Honey also has a nutritional action in the wound, indirectly through osmotic flow of lymph, which brings nutrients needed for healing, but also directly through an intake of easily metabolized carbohydrates, amino acids, vitamins and minerals.24, 38, 64 Studies have shown that wounds
heal faster if they are supplied with a mixture of nutrients.100-102 Honey provides glucose support for epithelial
cells, leukocytes and for the process of glycolysis. The
epithelial cells require a reserve of carbohydrates for energy migration over the wound surface to restore epithe-

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

lial sheath.103 Leukocytes create the respiratory (oxidative)


burst that produces hydrogen peroxide, which is the dominant component of macrophages antibacterial activity. Finally, glycolysis is the major mechanism of energy production by macrophages, allowing them to function in dam62
aged tissues and exudates where oxygen is often limited.
In addition, the high osmolarity of honey causes interstitial fluid drainage, thus providing nutritional support
for tissue regeneration which can otherwise only occur
around points of angiogenesis (seen as granulation).38 Inducing the osmotic flow will also contribute to lifting and
removing waste and debris from the wound, which may
even eliminate the need for surgical debridement.38 It also
contributes to the lack of adherence of the dressing to the
wound. A fluid layer of honey is in contact with the surface of the wound and it may be slightly raised to allow
removal of any residue by rinsing. Thus, dressing changes
are painless with no risk of damage or tearing of newly
38
formed tissue.
The acidity of honey (usually pH less than 4)1 may
contribute to the antibacterial action of macrophages, since
an acidic pH inside the vacuole is involved in destroying
the ingested bacteria.104 Also, local acidification promotes
healing of the wound by preventing the appearance of the
non-ionized histotoxic form of ammonia, resulting from
the action of urease (from urease-producing microorganisms) on urea in the extracellular fluid.105 In an acidic medium, ammonia (NH3) is converted to ionized, nontoxic, ammonium ion (NH4+).106 In addition, the acidification of the
wound increases oxygen intake and pO2 on wound surface
by increasing oxyhemoglobin-hemoglobin dissociation, due
to an appropriate shift in the oxyhemoglobin-hemoglobin
dissociation curve (Bohr effect)106 and thus improves the
rate of healing.107 High carbohydrate levels conferred by
honey can be used by bacteria in preference to amino
acids108 in the serum and dead cells, thus creating lactic
acid instead of ammonia, various amines and sulfur compounds, that are the cause of malodour in burns.38
Honey also increases the rate of healing24, 109, 110 by stimulating leukocytes to release cytokines and growth factors
that activate tissue repair58 and by stimulating the keratinocytes transcription of genes for TNF-, IL-1 and
TGF-.111

Evidence from experiments on laboratory animals


Experimentation on animals has enabled analysis of
the action of honey in standard wounds produced by dermal burns (intermediate or full thickness) or by skin excision (excision models). These experiments with standard
wounds allowed better comparison of results and
histopathological examinations of wounds, as well as the
usual measurements of decreasing wound size (their contraction) and the healing time.5 Also, animal experiments
with honey allow objectivity of results by eliminating the

placebo effect, which would occur in clinical trials.


Experimental research on animals has shown the effectiveness of topical administration of honey in wound healing compared to the control, to sugar or to silver sulphadi5, 38, 91, 104, 112-116
In addition, they suggested the importance
azine.
of using only floral honeys, properly processed91, 114 and the
synergistic effect of concomitant oral administration of
honey in promoting wound epithelialization.115, 116

Evidence from clinical studies


Many controlled clinical trials have been performed,
some being randomized, which compared honey with different products (silver sulphadiazine, Betadine, saline compresses, paraffin dressings, hydrogel etc.) for treatment of
wounds of various etiologies, including burns of various
24
depths.5, An article published in December 201124 recorded 33 randomized controlled trials (RCTs), with a total
number of 3,556 participants. A meta-analysis of Cochrane
systematic reviews of local and systemic interventions for
wounds, published in 2012, found robust evidence for the
117
use of topical honey to reduce healing times in burns.
Various trials reported that honey is effective in clean37, 38, 65, 93, 94, 118, 119
ing infected wounds.31,
Honey acted as a barrier, preventing wounds from becoming infected65, 67, 95, 104, 120
and cross infection.96 Gangrenous and necrotic tissues were
debrided easily and were replaced quickly with granulation
tissue and advancing, progressive epithelialization.65, 66, 121
93, 96, 97, 122, 123
Studies highlighted fast cleansing68,
and enzymatic or chemical debridement of wounds after application of honey,66, 67, 69, 70,, 95, 98 with the absence of eschar forming on burns.64 Honey was also found to deodorize very
smelly wounds.65-67, 70, 95,118, 120 Several studies have shown that
honey caused the formation of clean and healthy granulation tissue,27, 38, 64-66, 68, 94, 96, 119, 121, 123 which allowed early grafting on a clean, adequate bed,97 with prompt graft taking.96,
122
It has also been reported38 that honey promotes wounds
epithelialization64-66, 70, 80, 91 and accelerates healing,68, 104, 123, 124
with minimal scar formation.66 Honey was further observed
to improve wound nutrition,65 blood circulation,68 and lymph
flow,93 and to reduce inflammation,64 edema65, 66, 68, 69 and exudate.65, 66, 70
Honey has been reported to be calming and soothing
when applied to wounds32, 38, 67 and to reduce pain from
burns.67 Other studies showed that honey either did not
cause any local pain on dressing93, 120 or caused only a momentary stinging sensation.93 It was also shown not to cause
irritation,69, 93, 94 or allergic reactions,65, 80, 96, 118 and to have no
harmful effects on tissues.65, 69, 93, 96, 118 Honey dressings were
observed to be easily applied and removed,96, 122, 123 without
adhesions62, 93, 120 or bleeding,67 with any residual honey being easily removed by simply rinsing.31 However, a prospective clinical trial showed that deep dermal burns heal more
slowly with honey than with early surgery (tangential excision and grafting).125 Other uses for honey included skin
25

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

grafts storage 50, 124 or even a novel method of fixation of


split skin grafts with sterilized honey.4 Overall, honey application has proven economic benefits by having lower
96, 126
and
direct costs compared to conventional treatments,
119
by reducing the use of antibiotics, as well as the healing and hospitalization time.94, 96, 118, 119
Regarding the risks of topical administration of honey, a remedy used with confidence since ancient times,
there was no adverse effect in animal experiments, including histopathological examinations.50, 91, 104, 113-116 Moreover, clinical studies have shown no allergies or other adverse reactions,65, 80, 96, 118 except for a transient stinging sensation in some patients,93, 97, 126 due to the acidity of honey,127 when wounds are inflamed. The nociceptive nerve
endings that detect acidity are sensitized by inflammation,
which explains the clinical observation that honey reduces
sensitivity within several days, if a sufficient amount of
honey is held on the wound to allow remission of inflammation through the anti-inflammatory activity of hon24
ey. Generally, topical application of honey on wounds relieved pain,95 was not irritating69, 93, 94 and did not cause pain
during dressing changes.120
There is also a hypothetical risk of wound botulism
by applying honey, because it sometimes contains spores
of Clostridium.33, 38 However, no local infections have been
reported in the numerous published trials which used unsterilized and unprocessed honey.38 If the spores would germinate, any Clostridia vegetative cells, being anaerobic,
could not survive in the presence of hydrogen peroxide
generated in diluted honey. In any case, concerns about a
hypothetical risk of wound botulism, considered unacceptable by some,33 can be overcome by using honey that
has been sterilized by gamma irradiation, which kills
Clostridium spores in honey,129, 130 without affecting its antibacterial activity.128
As described in most clinical trials, the following
points provide the generalities of the procedure for applying honey:38
First the wound is cleansed with saline64,65,67,69,80,95,97,130
(possibly also hydrogen peroxide, Dakin solution,
Betadine or chlorhexidine).68 Sometimes it is necessary to make an initial surgical toilet, by opening abscesses, purulent drainage collection68, 96, 119
and necrotic tissue removal68, 70, 96, 122
Honey is then spread on the wound before being
covered with a dry sterile gauze dressing. The
amount of honey used varied from a thin layer (applied 2-3 times per day),118 to a thick layer or, more
often, pouring the honey over the wound.64, 69, 93-95, 97
Others used bandages soaked in honey,67, 80, 93 honey spread on gauze26, 106 or honey pads.70 Alginate
dressings impregnated with honey are a good alternative to cotton/cellulose dressings, as the alginate converts into a honey-containing soft gel.11

26

Wound cavities were either filled with honey-impregnated dressings66 or filled directly with honey
93, 96
and then covered with gauze.
Dressing changes, mostly daily,65, 93, 95-97, 122, 126 varied
from 2-3 times per day70, 94, 118, 119, 131 to once every 23 days,64, 67, 69, 80, 123 depending also on the appearance
and evolution of the wounds (clean wounds with
reduced exudate require less frequent dressing
changes).
Liquid honey can be used on large areas93 (be it
naturally fluid or made so through vigorous stirring or by heating below 40C). Crystallized honey can easily be made fluid through careful heating. Overheating of honey should be avoided, since
the enzyme glucose oxidase in honey that produces
hydrogen peroxide, a major component of honeys
antibacterial activity, is easily inactivated by heat.36
All of the aforementioned experiments, research and
innovations, as well as clinical utilization, highlight the increasing interest and confidence in honey as an effective
remedy for wound care. Honey, the oldest wound dressing material known to medicine,5 was used systematically for wound treatment, as well as for its benefits as a food
and form of medication. In the early 1940s, however, when
antibiotics came onto the scene, honey was no longer used
to the same degree in wound therapy.132 Just as with colloidal silver, honey is now being reconsidered for wound
healing due to the rising problem of bacteria with multiple resistance to antibiotics.24, 25 Unlike with antibiotics, studies have shown no development of bacterial resistance and
no emergence of mutants resistant to honey,25, 133 whose remarkable therapeutic properties are recommended in wound
care, as well as modern pharmaceuticals.24
Studies have also shown high patient acceptability to
honey therapy,134 due to the favorable effects observed in
practice: decreased pain, reduced wound size, and deodorizing effects.132, 35, 136 Any reservations or even opposition to
the use of honey in wound treatment, due to lack of standardization and to its sticky and fluid nature, are now overcome by the manufacture and marketing of honey-based
products. Such products have been licensed and approved
for topical treatment of wounds (available in Australia since
1999, in Europe since 2004 and in North America since
2007).23, 137 There are currently several trademarks (Activon,
HoneySoft, Manuka Health, Medihoney, MelMax, MelDra,
L-Mesitran etc.) and a wide range of sterilized products
containing honey, registered as medical devices and commercially available for the treatment of wounds.24, 138
conclusions

In vitro and in vivo studies have highlighted a broad


range of activities provided by honey in burn treatment.
These include anti-infectious, anti-inflammatory, antiex-

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

udative, antioxidant, wound healing, wound debriding and


nutritional properties. In evidence-based medicine, research
and clinical studies have shown the efficiency of honey in
superficial and partial thickness burns therapy, when compared to other dressing products, making it a viable option as a valuable topical agent in clinical practice. However, as honey also appears to delay healing of partial and
full thickness burns when compared to surgical treatment

(early excision and grafting), its use requires further exploration. More detailed controlled trials are required to
establish the best indications, methods and modalities of
honey administration for each type and stage of burn. It
is also necessary to have criteria for honey selection over
other forms of treatment in burn management, which, of
course, will also depend on the preferences and experience
of those involved.

rSUM. Fabriqu par les abeilles partir du nectar des fleurs, utilises depuis lAntiquit pour traiter les plaies et les brlures,
le miel a rcemment acquis un intrt croissant de la communaut scientifique internationale et a fait lobjet de nombreuses tudes
spcialises. Cet article met en vidence les connaissances les plus rcentes sur les qualits, les proprits et le mode de lappareil
de miel dans le traitement des plaies dtiologies diverses, en particulier de brlures, travers une analyse rtrospective approfondie des donnes de la littrature. Cet article vise examen les enjeux actuels de laction complexe de miel sur les plaies de brlures, comme en tmoigne les tudes in vitro, des expriences en laboratoire et des essais cliniques publis dans la littrature spcialise. Cet article prsent une analyse approfondie des proprits anti-infectieuses et anti-inflammatoires du miel, ainsi que son
effet favorable sur la rgnration de la plaie. Lefficacit de ladministration topique de miel est mise en vidence la fois par
une srie dexpriences sur des animaux de laboratoire et par des essais cliniques. Cet article attire galement lattention du personnel mdical et des patients sur la possibilit dutiliser ce produit et de son acceptabilit dans la pratique.
Mots-cls: miel, brlures, tudes cliniques, efficacit, acceptabilit

BIBLIoGrAPHY

1. Colta T: Quality of bee products. In: Beekeepers Association of


Romania, Institute for Beekeeping Research and Development
(eds): Beekeeping student handbook, 248-56, LVS Crepuscul,
Ploiesti, Romania, 2012.
2. Mateescu C: Bee products in nutrition and health. In: Beekeepers
Association of Romania, Institute for Beekeeping Research and
Development (eds): Beekeeping student handbook, 279-82,
LVS Crepuscul, Ploiesti, Romania, 2012.
3. Jull AB, Walker N, Deshpande S: Honey as a topical treatment
for wounds. Cochrane Database, February 28, 2013.
4. Emsen IM: A different and safe method of split thickness skin
graft fixation: Medical honey application. Burns, 33: 782-7, 2007.
5. Molan PC: The evidence supporting the use of honey as a wound
dressing. International Journal of Lower Extremity Wounds, 5: 4054, 2006.
6. Vermeulen H, Ubbink DT, Goossens A: Systematic review of
dressings and topical agents for surgical wounds healing by secondary intention. Br J Surg, 92: 665-72, 2005.
7. Bouza C, Saz Z, Muoz A: Efficacy of advanced dressings in
the treatment of pressure ulcers: A systematic review. J Wound
Care, 14: 193-9, 2005.
8. Sami AN, Mehmood N, Qureshi MA et al.: Honey compared with
silver sulfadiazine as burn wound dressing. Ann. Pak. Inst. Med.
Sci., 7: 22-5, 2011.
9. Kramer A, Daeschlein G, Kammerlander G et al.: Consensus recommendation for the choice of antiseptic agent in wound care
(KonsensusempfehlungzurAuswahl von Wirkstoffenfr die Wundantiseptik). Hyg Med, 5: 147-57, 2004.
10. Lu J, Carter DA, Turnbull L et al.: The Effect of New Zealand
Kanuka, Manuka and Clover Honeys on Bacterial Growth Dy-

11.
12.
13.
14.
15.

16.

17.

18.

19.

20.
21.

namics and Cellular Morphology Varies According to the Species.


PLoS ONE, 8: 55898, 2013.
Molan PC: Honey as a topical antibacterial agent for treatment of
infected wounds. World Wide Wounds (internet). ISSN 1369-2607.
2001. Available at: http://www.worldwidewounds.com/2001/november/Molan/honey-as-topical-agent.html
Brady NF, Molan PC, Harfoot CG: The sensitivity of dermatophytes to the antimicrobial activity of manuka honey and other
honey. Pharm Sci, 2: 1-3, 1997.
Cooper RA, Molan PC, Harding KG: The effectiveness of the antibacterial activity of honey against strains of Staphylococcus aureus isolated from infected wounds. J R Soc Med, 92: 2835, 1999.
George NM, Cutting KF: Antibacterial honey (Medihoney ): Invitro activity against clinical isolates of MRSA, VRE, and other
multiresistant gram-negative organisms including Pseudomonas
aeruginosa. Wounds, 19: 231-6, 2007.
Cooper R: Honey in wound care: antibacterial properties. GMS
KrankenhhygInterdiszip, 2: 51, 2007.
Cooper RA, Molan PC: The use of honey as an antiseptic in managing Pseudomonas infection. J Wound Care, 8: 1614, 1999.
Subrahmanyam M: Honey dressing for burns an appraisal. Ann
Burns Fire Disasters, 9: 33-35, 1996.
Subrahmanyam M, Hemmady A, Pawar SG: Antibacterial activity of honey on bacteria isolated from wounds. Ann Burns Fire
Disasters, 14: 100, 2001.
Molan PC: The antibacterial activity of honey. 1. The nature of
the antibacterial activity. Bee World, 73: 5-28, 1992.
Molan PC: Honey: Antimicrobial actions and role in disease management. In: Ahmad I, Aqil F (eds): New Strategies Combating
Bacterial Infection, 22953, Wiley VCH, Weinheim, Germany,
2009.
Bang L, Buntting C, Molan P: The effect of dilution on the rate

27

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

22.

23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

31.

32.

33.

34.
35.
36.
37.
38.

39.

40.
41.
42.

28

of hydrogen peroxide production in honey and its implications for


wound healing. J Altern Complement Med, 9: 26773, 2003.
Greenwood D: Sixty years on: Antimicrobial drug resistance comes
of age. Lancet, 346: 1, 1995.
Cooper RA, Jenkins L, Henriques AFM et al.: Absence of bacterial resistance to medical-grade manuka honey. Eur J Microbiol
Infect Dis, 29: 123741, 2010.
Molan PC: The evidence and the rationale for the use of honey
as a wound dressing. Wound Practice and Research, 19: 204-20,
2011.
Merckoll P, Jonassen T, Vad ME et al: Bacteria, biofilm and
honey: A study of the effects of honey on planktonic and biofilmembedded chronic wound bacteria. Scand J Infect Dis, 41: 3417,
2009.
Okhiria OA, Henriques A, Burton NF et al.: Honey modulates
biofilms of Pseudomonas aeruginosa in a time and dose dependent manner. J Api Product Api Med Sci, 1: 610, 2009.
Alandejani T, Marsan J, Ferris W et al.: Effectiveness of honey
on Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa biofilms.
Otolaryngol Head Neck Surg, 141:1148, 2009.
Maddocks SE, Lopez MS, Rowlands RS et al.: Manuka honey inhibits the development of Streptococcus pyogenes biofilms and
causes reduced expression of two fibronectin binding proteins. Microbiology, 158: 78190, 2012.
Hill KE, Malic S, McKee R: An in vitro model of chronic wound
biofilms to test wound dressings and assess antimicrobial susceptibilities. J Antimicrob Chemother, 65: 1195206, 2010.
Condon RE: Curious interaction of bugs and bees. Surgery, 113:
234-5, 1993.
Green AE: Wound healing properties of honey. Br J Surg, 75:
1278, 1988.
Keast-Butler J: Honey for necrotic malignant breast ulcers. Lancet,
2: 809, 1980.
Mossel DA: Honey for necrotic breast ulcers. Lancet, 2: 1091,
1980.
Somerfield SD: Honey and healing. J R Soc Med, 84: 179, 1991.
Tovey FI: Honey and healing. J R Soc Med, 84: 447, 1991.
Chirife J, Herszage L, Joseph A et al.: In vitro study of bacterial
growth inhibition in concentrated sugar solutions: microbiological
basis for the use of sugar in treating infected wounds. Antimicrob
Agents Chemother, 23: 766-73, 1983.
White JW, Subers MH, Schepartz AI: The identification of inhibine, the antibacterial factor in honey, as hydrogen peroxide and
its origin in a honey glucose-oxidase system. BiochimBiophysActa, 73: 57-70, 1963.
Molan PC: A brief review of honey as a clinical dressing. Primary Intention, 6: 148-58, 1998.
Molan PC: Potential of honey in the treatment of wounds and
burns. Am J ClinDermatol, 1: 13 9, 2001.
Burdon RH.: Superoxide and hydrogen peroxide in relation to
mammalian cell proliferation. Free Rad Biol Med, 18: 775 94,
1995.
Tur E, Bolton L, Constantine BE: Topical hydrogen peroxide treatment of ischemic ulcers in the guinea pig: Blood recruitment in
multiple skin sites. J Am Acad Dermatol, 33: 21721, 1995.
Chung LY, Schmidt RJ, Andrews AM et al.: A study of hydrogen peroxide generation by, and antioxidant activity of, Granuflex (DuoDERM) Hydrocolloid Granules and some other hydrogel/hydrocolloid wound management materials.Br J Dermatol,

129: 145 53, 1993.


43. Cochrane CG: Cellular injury by oxidants. Am J Med, 91: 2330,
1991.
44. Simon RH, Scoggin CH, Patterson D: Hydrogen peroxide causes
the fatal injury to human fibroblasts exposed to oxygen radicals.
J Biol Chem, 256: 71816, 1981.
45. Radwan, SS, El-Essawy A, Sarhan M: Experimental evidence for
the occurrence in honey of specific substances active against microorganisms. ZentralblattfrMikrobiologie, 139: 249 55, 1984.
46. Sackett WG: Honey as a carrier of intestinal diseases. Bull Colorado State Univ Agric Exp Stn, 252: 1-18, 1919.
47. Schepartz AI, Subers MH: The glucose-oxidase of honey. I. Purification and some general properties of the enzyme. Biochimica
et Biophysica Acta, 85: 228-37, 1964.
48. Alston MJ, Freedman RB: The water-dependence of the catalytic
activity of bilirubin oxidase suspensions in low-water systems.
Biotechnology and Bioengineering, 77: 651-7, 2002.
49. Cooper RA, Molan PC: Honey in wound care. J Wound Care, 8:
340, 1999.
50. Postmes T, van den Bogaard AE, Hazen M: Honey for wounds,
ulcers, and skin graft preservation. Lancet, 341: 7567, 1993.
51. Allen KL, Molan PC, Reid GM: A survey of the antibacterial activity of some New Zealand honeys. J Pharm Pharmacol, 43: 81722, 1991.
52. Adcock D: The effect of catalase on the inhibine and peroxide
values of various honeys. J Apic Res, 1: 38-40, 1962.
53. Mavric E, Wittmann S, Barth G et al.: Identification and quantification of methylglyoxal as the dominant antibacterial constituent
of Manuka (Leptospermum scoparium) honeys from New Zealand.
Mol. Nutr. Food Res, 52: 4839, 2008.
54. KwakmanPHS, teVelde AA, de Boer L et al.: How honey kills
bacteria. The FASEB Journal, 24: 2576-82, 2010.
55. Rufian-Henares JA, Morales FJ: Functional properties of
melanoidins: In vitro antioxidant, antimicrobial and antihypertensive activities. Food Research International, 40: 9951002, 2007.
56. dAgostino Barbaro A, La Rosa C, Zanelli C: Atttivit antibatterica di mieli Siciliani. Quad Nutr, 21: 30-44, 1961.
57. Subrahmanyam M, Hemmady A, Pawar SG: The sensitivity to
honey of multidrug-resistant Pseudomonas Aeruginosa from infected burns. Ann Burns Fire Disasters, 16: 84-6, 2003.
58. Abuharfeil N, Al-Oran R, Abo-Shehada M: The effect of bee honey on the proliferative activity of human B- and T-lymphocytes
and the activity of phagocytes. Food Agric Immunol, 11: 169-77,
1999.
59. Tonks A, Cooper RA, Price AJ et al.: Stimulation of TNF-alpha
release in monocytes by honey. Cytokine, 14: 240-2, 2001.
60. Tonks AJ, Cooper RA, Jones KP et al.: Honey stimulates inflammatory cytokine production from monocytes. Cytokine, 21:
242 -7, 2003.
61. Al-Waili NS, Haq A: Effect of honey on antibody production
against thymus-dependent and thymus-independent antigens in primary and secondary immuneresponses. J Med Food, 7: 491-4,
2004.
62. Ryan GB, Majno G: Inflammation, Upjohn, Michigan, 1977.
63. Molan PC, Betts J: Using honey dressings: The practical considerations. Nurs Times, 96: 36-7, 2000.
64. Subrahmanyam M: A prospective randomised clinical and
histopathological study of superficial burn wound healing with
honey and silver sulfadiazine. Burns, 24: 157-61, 1998.

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

65. Efem SEE: Clinical observations on the wound healing properties


of honey. Br J Surg, 75: 679-81, 1988.
66. Efem SEE: Recent advances in the management of Fourniers gangrene: Preliminary observations. Surgery, 113: 200-4, 1993.
67. Subrahmanyam M: Honey impregnated gauze versus polyurethane
film (OpSiteR) in the treatment of burns a prospective randomised
study. Br J Plast Surg, 46: 322-3, 1993.
68. Dumronglert E: A follow-up study of chronic wound healing dressing with pure natural honey. J Nat Res Counc Thail, 15: 39-66,
1983.
69. Subrahmanyam M: Honey dressing versus boiled potato peel in
the treatment of burns: A prospective randomised study. Burns,
22: 491-3, 1996.
70. Hejase MJ, Simonin JE, Bihrle R et al.: Genital Fourniers gangrene: Experience with 38 patients. Urology, 47: 734-9, 1996.
71. Subrahmanyam M, Sahapure AG, Nagane NS et al.: Effects of
topical application of honey on burn wound healing. Ann Burns
Fire Disasters, 14: 143-5, 2001.
72. Subrahmanyam M, SahapureAG , Nagane NS et al.: Free radical
control the main mechanism of the action of honey in burns.
Ann Burns Fire Disasters, 16: 135-7, 2003.
73. Nagane NS, Ganu JV, Bhagwat VR et al.: Efficacy of topical honey therapy against silver sulphadiazine treatment in burns: A biochemical study. Indian J Clin Biochem, 19: 1736, 2004.
74. van den Berg AJ, van den Worm E, van Ufford HC et al.: An in
vitro examination of the antioxidant and anti-inflammatory properties of buckwheat honey. J Wound Care, 17: 1728, 2008.
75. Kassim M, Achoui M, Mustafa MR et al.: Ellagic acid, phenolic
acids, and flavonoids in Malaysian honey extracts demonstrate in
vitro anti-inflammatory activity. Nutr Res, 30: 6509, 2010.
76. Henriques A, Jackson S, Cooper R et al.: N. Free radical production and quenching in honeys with wound healing potential. J
Antimicrob Chemother, 58: 7737, 2006.
77. Mesaik MA, Azim MK, Mohiuddin S: Honey modulates oxidative burst of professional phagocytes. Phytother Res, 22: 14048,
2008.
78. Ahmad A, Khan RA, Mesaik MA et al.: Anti inflammatory effect
of natural honey on bovine thrombin-induced oxidative burst in
phagocytes. Phytother Res, 23: 8018, 2009.
79. Molan, P: Honey anti-inflammatory factor identified. New Zealand
Beekeeper, 6, Sept. 2012.
80. Subrahmanyam M: Honey impregnated gauze versus amniotic
membrane in the treatment of burns. Burns, 20: 331-3, 1994.
81. Bilsel Y, Bugra D, Yamaner S: Could honey have a place in colitis therapy? Effects of honey, prednisolone and disulfiram on inflammation, nitric oxide, and free radical formation. Dig Surg, 19:
306-12, 2002.
82. Aysan E, Ayar E, Aren A: The role of intra-peritoneal honey administration in preventing post-operative peritoneal adhesions. Eur
J Obstet Gynecol Reprod Biol, 104: 152-5, 2002.
83. Inoue K, Murayama S, Seshimo F et al.: Identification of phenolic compound in manuka honey as specific superoxide anion radical scavenger using electron spin resonance (ESR) and liquid chromatography with colorimetric array detection. J Sci Food Agric,
85: 8728, 2005.
84. Iles KE, Forman HJ: Macrophage signaling and respiratory burst.
Immunol Res, 26: 95105, 2002.
85. Ma Q, Kinneer K, Ye JP et al.: Inhibition of nuclear factor kappa B by phenolic antioxidants: Interplay between antioxidant sig-

naling and inflammatory cytokine expression. Mol Pharmacol, 64:


2119, 2003.
86. Tan ST, Holland PT, Wilkins AL et al.: Extractives from New
Zealand honeys. 1. White clover, manuka and kanuka unifloral
honeys. J Agric Food Chem, 36: 45360, 1988.
87. Ossanna PJ, Test ST, Matheson NR et al.: Oxidative regulation of
neutrophil elastase-alpha-1-proteinase inhibitor interactions. J Clin
Invest, 77: 193951, 1986.
88. Peppin GJ, Weiss SJ: Activation of the endogenous metalloproteinase, gelatinase, by triggered human neutrophils. Proc Nat Acad
Sci USA, 83: 43226, 1986.
89. Weiss SJ, Peppin G, Ortiz X et al.: Oxidative autoactivation of
latent collagenase by human neutrophils. Science, 227: 7479,
1985.
90. Toriseva M, Kahari VM: Proteinases in cutaneous wound healing.
Cell Mol Life Sci, 66: 20324, 2009.
91. Kandil A, El-Banby M, Abdel-Wahed K et al.: Healing effect of
true floral and false nonfloral honey on medical wounds. J Drug
Res (Cairo), 17: 71-5, 1987.
92. Winter GD: Formation of the scab and the rate of epithelialization of superficial wounds in the skin of the young domestic pig.
Nature, 193: 293-4, 1962.
93. Bulman MW: Honey as a surgical dressing. Middlesex Hosp J,
55: 188-9, 1955.
94. Cavanagh D, Beazley J, Ostapowicz F: Radical operation for carcinoma of the vulva. A new approach to wound healing. J Obstet Gynaecol Br Commonw, 77: 1037-40, 1970.
95. Subrahmanyam M: Topical application of honey in treatment of
burns. Br J Surg, 78: 497-8, 1991.
96. Farouk A, Hassan T, Kashif H et al.: Studies on Sudanese bee
honey: Laboratory and clinical evaluation. Int J Crude Drug Res,
26: 161-8, 1988.
97. Ndayisaba G, Bazira L, Habonimana E et al.: Clinical and bacteriological results in wounds treated with honey. J Orthop Surg, 7:
202-4, 1993.
98. Molan PC: Debridement of wounds with honey. Journal of Wound
Technology, 5: 12-7, 2009.
99. Gethin G, Cowman S: Manuka honey vs hydrogel a prospective, open label, multicentre, randomised controlled trial to compare desloughing efficacy and healing outcomes in venous ulcers.
J Clin Nurs, 18: 46674, 2009.
100. Kaufman T, Levin M, Hurwitz DJ: The effect of topical hyperalimentation on wound healing rate and granulation tissue formation of experimental deep second degree burns in guinea-pigs.
Burns, 10: 252-6, 1984.
101. Niinikoski J, Kivisaari J, Viljanto J: Local hyperalimentation of
experimental granulation tissue. Acta Chir Scand, 143: 201-6,
1977.
102. Silvetti AN: An effective method of treating long-enduring wounds
and ulcers by topical applications of solutions of nutrients. J Dermatol Surg Oncol, 7: 501-8, 1981.
103. Silver IA: The physiology of wound healing. In: Hunt TK (ed):
Wound Healing and Wound Infection: Theory and Surgical Practice, 11-28, Appleton-Century-Crofts, New York, 1980.
104. Gupta SK, Singh H, Varshney AC et al.: Therapeutic efficacy of
honey in infected wounds in buffaloes. Indian J Anim Sci, 62:
521-23, 1992.
105. Kaufman T, Eichenlaub EH, Angel MF et al.: Topical acidification promotes healing of experimental deep partial thickness skin

29

Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVII - n. 1 - March 2014

burns: a randomised double-blind preliminary study. Burns, 12:


84-90, 1985.
106. Leveen HH, Falk G, Borek B et al.: Chemical acidification of
wounds. An adjuvant to healing and the unfavourable action of
alkalinity and ammonia. Ann Surg, 178: 745-53, 1973.
107. Gethin GT, Cowman S, Conroy RM: The impact of Manuka honey dressings on surface pH of chronic wounds. Int Wound J, 5:
18594, 2008.
108. Nychas GJ, Dillon VM, Board RG: Glucose, the key substrate in
the microbiological changes in meat and certain meat products.
Biotechnol Appl Biochem, 10: 203-31, 1988.
109. Boekema BKHL, Pool L, Ulrich MMW: The effect of a honey
based gel and silver sulphadiazine on bacterial infections of in
vitro burn wounds. Burns, 2012.
Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.burns.2012.09.008
110. Subrahmanyam M: Topical application of honey for burn wound
treatment an overview. Ann Burns Fire Disasters, 20: 137-9,
2007.
111. Majtan J, Kumar P, Majtan T et al.: Effect of honey and its major royal jelly protein 1 on cytokine and MMP-9 mRNA transcripts in human keratinocytes. Exp Dermatol, 19: 739, 2009.
112. Postmes TJ, Bosch MMC, Dutrieux R et al.: Speeding up the
healing of burns with honey. An experimental study with histological assessment of wound biopsies. In: Mizrahi A, Lensky Y
(eds): Bee Products: Properties, Applications and Apitherapy,
27-37, Plenum Press, New York, 1997.
113. Bergman A, Yanai J, Weiss J: Acceleration of wound healing by
topical application of honey. An animal model. Am J Surg,
145:374-6, 1983.
114. El-Banby M, Kandil A, Abou-Sehly G et al.: Healing effect of
floral honey and honey from sugar-fed bees on surgical wounds
(animal model). Fourth International Conference on Apiculture in
Tropical Climates. Cairo: International Bee Research Association,
46-9, London, 1989.
115. Suguna L, Chandrakasan G, Thomas Joseph K: Influence of honey on collagen metabolism during wound healing in rats. J Clin
Biochem Nutr, 13: 7-12, 1992.
116. Suguna L, Chandrakasan G, Ramamoorthy U et al.: Influence of
honey on biochemical and biophysical parameters of wounds in
rats. J Clin Biochem Nutr, 14: 91-9, 1993.
117. Brlmann FE, Ubbink DT, Nelson EA et al.: Evidence-based decisions for local and systemic wound care. Br J Surg, 99: 117283,
2012.
118. Phuapradit W, Saropala N: Topical application of honey in treatment of abdominal wound disruption. Aust N Z J Obstet Gynaecol, 32: 381-4, 1992.
119. Armon PJ: The use of honey in the treatment of infected wounds.
Trop Doct, 10: 91, 1980.
120. McInerney RJF: Honey - A remedy rediscovered. J R Soc Med,
83:127, 1990.
121. Hutton DJ: Treatment of pressure sores. Nurs Times, 62: 15334, 1966.
122. Wadi M, Al-Amin H, Farouq A et al.: Sudanese bee honey in
the treatment of suppurating wounds. Arab Medico, 3:16-8, 1987.
123. Blomfield R: Honey for decubitus ulcers. J Am Med Assoc, 224:

30

905, 1973.
124. Subrahmanyam M: Storage of skin grafts in honey. Lancet, 341:
63-4, 1993.
125. Subrahmanyam M: Early tangential excision and skin grafting of
moderate burns is superior to honey dressing: a prospective clinical trial. Burns, 25: 729-31, 1999.
126. Wood B, Rademaker M, Molan PC: Manuka honey, a low cost
leg ulcer dressing. N Z Med J, 110:107, 1997.
127. Betts JA, Molan PC (eds): A pilot trial of honey as a wound
dressing has shown the importance of the way that honey is applied to wounds.11th Conference of the European Wound Management Association, Dublin, Ireland, 2001.
128. Molan PC, Allen KL: The effect of gamma-irradiation on the antibacterial activity of honey. J Pharm Pharmacol, 48: 1206-9, 1996.
129. Postmes T, van den Bogaard AE, Hazen M: The sterilization of
honey with cobalt 60 gamma radiation: A study of honey spiked
with Clostridium botulinum and Bacillus subtilis. Experentia
(Basel), 51: 986-9, 1995.
130. Harris S: Honey for the treatment of superficial wounds: A case
report and review. Primary Intention, 2: 18-23, 1994.
131. Bose B: Honey or sugar in treatment of infected wounds? Lancet,
1: 963, 1982.
132. Molan PC: Re-introducing honey in the management of wounds
and ulcers - theory and practice. Ostomy Wound Manage, 48: 2840, 2002.
133. Blair SE, Cokcetin NN, Harry EJ et al.: The unusual antibacterial activity of medical-grade Leptospermum honey: Antibacterial
spectrum, resistance and transcriptome analysis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis, 28: 1199-208, 2009.
134. Dunford CE, Hanano R: Acceptability to patients of a honey
dressing for non-healing venous leg ulcers. J Wound Care, 13:
193-7, 2004.
135. Lusby PE, Coombes A, Wilkinson J: Honey: A Potent Agent for
Wound Healing? Journal of Wound, Ostomy& Continence Nursing, 29: 295-300, 2002.
136. Maghsoudi H, Salehi F, Khosrowshahi MK et al.: Comparison
between topical honey and mafenide acetate in treatment of burn
wounds. Ann Burns Fire Disasters, 24: 132-7, 2011.
137. Seckam A, Cooper R: Understanding how honey impacts on
wounds: An update on recent research findings.Wounds International, 4: 20-4, 2013.
138. Biglari B, Moghaddam A, Santos K et al.: Multicentre prospective observational study on professional wound care using honey
(Medihoney). Int Wound J, 10: 252-9, 2013.

Conflict of interest. The author of this paper has no


conflict of interest.

Funding. None.

This paper was accepted on 29 October 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Adhi Juanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
American Burn Association. 2012. Burn Incidence and Treatment in the United
States. Fact Sheet http://www.ameriburn.org/resources_factsheet.php,
di akses pada tanggal 28 September 2016
Arif Muttaqin. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta.
Salemba Medika
Black & Hawks, (2009). Keperawatan Medikal Bedah. Singapore: Elsevier
Brunicardi, Charles. Chapter 8: Burns, Schwartzs Principles of Surgery. New
York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division. 2010
Bulechek, M, Gloria, et.all. (2015). Nursing Interventions Classification (NIC).
Elsevier Mosby: St. Louis Missouri.
Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
(Editor: H. Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih). Edisi 8. Vol.1.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
David, S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam :
Surabaya Plastic Surgery.
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi
Berbasis Klinis Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Granger, C.W.J. and Newbold, P. (2009). Spurious Regressions In Econometrics.
Journal of Econometrics 2, 111-120

Grunwald TB, Garner WL. 2008. Acute Burns. Plast Reconstr Surg. Dalam
Melisa Lilisari. 2011.
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka
Bakar. Bagian Ilmu Kesehatann Anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Guyton, C. Arthur dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
ke-11. Cetakan ke-1. Jakarta: EGC
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta : Gosyen Publising.
Herdman, T, Heather and Kamitsuru Shigemi. (2015). Nursing Diagnoses:
Definition & Classification 2015 - 2017. Willey Black Well.
Hidayat, Aziz A. 2008. Keterampilan Dasar Klinik Cetakan II. Jakarta: Salemba
Mardika
Jong, Wim De. Buku Ajar Ilmu Bedah :Luka Bakar. Ed.2. Jakarta: EGC.2011.
Lukmanto, Henny. 2005. Adams Diagnosis Fisik Edisi ke-20. Jakarta: EGC.

Moenadjat, Yefta (2010 ). Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta: FK UI


Moorhed, Sue et.all. (2015). Nursing Outcomes Classification (NOC). Elsevier
Mosby. St. Louis Missouri.
Musyari, Sayed. 2014. Perbandingan Terjadinya Epitelialisasi Pada Luka Bakar
Derajat Dua Dengan Pemakaian Aloe Vera Dan Moist Exposed Burn
Oinment Pada Hewan Coba. TESIS: FK USU.
Pierce A.G and Neil RB. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed.3. Jakarta : Erlangga.
Rahayuningsih Tutik. (2012). Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio).
Profesi.

Volume

08

Februari

September

2012

download.portalgaruda.co.id di akses pada tanggal 28 September 2016

Setiawati, A., Suyatna, F.D., dan Gan, Sulistia. (2007). Farmakologi Dan Terapi.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Sjamsuhidajat, R. de Jong, Wim, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Sunatrio S. 2000. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta. Dalam M
Mukhlis Rudi P. 2006.
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. Keperawatan Medikal
Bedah 2 (Keperawatan Dewasa). Nuha Medika: Yogyakarta
Zbuchea, A. 2014. Up-To-Date Use Of Honey For Burns Treatment. Jurnals of
Burns and Fire Disasters, vol 27 (1): 22-30

You might also like