You are on page 1of 8

Analisis Utang Kasus PT Telkomsel Putusan No. 704K/Pdt.

Sus/2012

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai


kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar
utangnya. Undang-Undang yang mengatur tentang Kepailitan sekarang ini Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan seputar kepailitan dan kewajiaban pembayaran utang. Undangundang ini juga mengakomodir asas-asas dalam hukum kepailitan yaitu, asas
kesinambungan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, asas integrasi.
Dalam hal memohonkan pailit suatu perusahaan, maka haruslah terpenuhi
syarat-syarat dari permohonan pailit, syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan
sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan ridak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan
satu atau lebih kreditornya.
Dalam kasus ini PT. Telkomsel dianggap bertindak sebagai debitor oleh
Pengadilan Naiaga, yang merupakan hal yang salah dan tidak tepat. Jika dilihat lagi
pengertian kreditor dan debitor sesuai dengan UU dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 maka debitur adalah orang yang mempunyai
utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan (Pasal 1 Angka 2). Sedangkan Kreditur adalah orang yang
mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di
muka pengadilan (Pasal 1 Angka 2).
Didalam perjanjian kerja sama tersebut Pihak Telkomsel telah melaksanakan
pretasinya. Pihak Telkomsel tidak menyediakan Voucher isi ulang dan kartu perdana
yang telah diminta oleh PT.Prima Jaya Informatika, akan tetapi ternyata PT.Prima

Jaya Informatika justru Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/


V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar
delapan ratus juta Rupiah). Didalam pelaksanaan perjanjian ini terlihat jelas
Telkomsel adalah berkedudukan sebagai kreditor dan PT.Prima Jaya Informatika
berkedudukan sebagai Debitor karena mempunyai kewajiban untuk membayar atas
apa yang telah diberikan oleh Telkomsel, dan selain terkait barang yang belum
dibayar PT.Prima Jaya Informatika juga tidak memiliki pilihan lain selain wajib
mentaati Peraturan didalam perjanjian kerjasama tersebut.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang
kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Kata utang sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No.
4/1998 secara sempit, sehingga hanya mencakup utang yang lahir karena pinjaman
uang. Pemahaman yang demikian jelas bukan maksud pembentuk undang-undang.
Oleh sebab itu, untuk memperbaiki salah pemahaman tersebut hal itu ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang
mengambil contoh Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUHPerdata, menegaskan
bahwa : Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian
atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor
Adapun contoh utang yang lahir karena undang-undang adalah perbuatan
melawan

hukum

(Pasal

1365

KUHPerdata),

negotiorum

gestio

atau zaakwaarneming (Pasal 1354-1357 KUHPerdata) dan Pembayaran yang tidak


diwajibkan (Pasal 1359-1364 KUHPerdata). Sementara itu yang dimaksud dengan
utang yang lahir karena perjanjian, ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata mengatur
bahwa hal itu terdiri dari

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu,


2. Perikatan untuk berbuat sesuatu, atau;
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh perikatan dimaksud :
a) perikatan dari seorang penjual untuk menyerahkan kepada pembeli
barang yang dijualnya;
b) perikatan dari seorang peminjam untuk membayar kembali utang
pokok dan membayar bunga yang diperjanjikan kepada kreditornya;
c) perikatan dari seorang penanggung untuk membayar kepada kreditor
utang yang ia jamin pembayarannya;
d) perikatan dari seorang pemilik pekarangan yang telah memberikan
hak numpang lewat (servituut = hak pengabdian pekarangan) untuk
tidak menutup jalan masuk dan jalan keluar dari pekarangan tersebut.
Semua perikatan tersebut adalah utang dari debitor (yang terdiri dari
penjual, peminjam,dan pemilik pekarangan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal l
ayat (l) Undang-undang Nomor 4/1998 atau Pasal 2 ayat (l) Undang-undang Nomor
37/2004. Oleh karenanya ia dapat menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan
Permohonan Pernyataa Pailit.
Utang tidak meliputi suatu kewajiban yang timbul akibat dari tindakan
wanprestasi, yang dikutip antara lain sebagai berikut:
pada hakekatnya hubungan hukum yang ada antara para Termohon kasasi
(dahulu termohon asal/PT. Modernland Realty Ltd.) adalah hubungan hukum
perikatan jual beli mengenai satuan rumah susun Golf Modern yang dibangun oleh
Pemohon Kasasi dengan pembayaran secara angsuran oleh para Termohon Kasasi
sehingga karenanya merupakan perikatan antara produsen dan konsumen.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 beserta
penjelasannya telah dicantumkan dengan jelas adanya hubungan hukum utang dan
bahwa pengertian utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya.
Bahwa dengan demikian pengertian utang dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.
4/1998 harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud
diterbitkannya undang-undang tersebut dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu

daripadanya, yang pada dasarnya menekankan pada pinjam meminjam swasta.


Sehingga karenanya tidak meliputi wanprestasi lain yang tidak berawal dari
konstruksi pinjam meminjam.
Dalam kasus perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya
Informatika, yang dimaksud utang oleh PT.Prima Jaya Informatika dalam
permohonan pailitnya adalah Purchase Order (PO) atau Perintah Pembelian atau surat
Pemesanan Barang yang diterbitkan oleh Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit
yang sama sekali bukan merupakan bukti adanya utang ataupun kewajiban Termohon
Pailit kepada Pemohon Pailit. Bahkan dalam Perjanjian Kerjasama tidak pernah
disebutkan bahwa Purchase Order (PO) adalah bukti pembayaran ataupun bukti
tagihan kepada Pemohon Pailit. Sehingga dalam hal Syarat Pokok Permohonan
kepailitan tentang adanya UTANG menjadi tidak terpenuhi. Di dalam proses
beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan esensial
(menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan
akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena
kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk
membayar utang utangnya terhadap para kreditornya.
Dan lagi-lagi Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat keliru didalam
menafsirkan Purchase Order sebagai Utang yang menerbitkan kewajiban untuk
membayar.
Tindakan Telkomsel dengan tidak memberikan barang atas Purchase Order
(PO) sebagaimana yang dipesan kembali oleh PT.Prima Jaya Informatika (yang
dianggap sebagai utang) adalah dikarenakan PT.Prima Jaya Informatika telah
melakukan Wanprestasi yaitu Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO
NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00
(empat milyar delapan ratus juta Rupiah) Padahal Pesanan PT.Prima Jaya Informatika
tersebut telah disetujui (approved) oleh Telkomsel. Dengan fakta hukum yang terjadi
pada perjanjian kerja sama ini PT.Prima Jaya Informatika terlebih dulu melakukan
wanprestasi kepada Telkomsel, yang artinya Majelis hakim tidak dapat serta merta
menjatuhkan pernyataan pailit kepada Termohon pailit yaitu Telkomsel.
Yang berarti disini Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah keliru
dengan tidak mempertimbangkan dan mengabaikan asas hukum "exceptio non

adimpleti contractus". Artinya pihak lawan dalam keadaan lalai, maka dengan
demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain. Asas Exceptio Non
Adimpleti Contractus adalah Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena
pihak lain juga wanprestasi.
Oleh karena itu secara Yuridis jika memang PT.Prima Jaya Informatika ingin
agar PT Telkomsel memenuhi pesanannya apa yang diminta, maka seharusnya
PT.Prima Jaya Informatika membayar terlebih dahulu apa yang menjadi kewajibannya
kepada PT Telkomsel.
Asas-asas Undang-undang Kepailitan
1. Undang-undang Kepailitan Harus Dapat Mendorong Kegairahan Investasi
Asing, Mendorong Pasar Modal, dan Memudahkan Perusahaan Indonesia
Memperoleh Kredit Luar Negeri (Biaya dari luar negeri penting dari waktu ke waktu
untuk membiayai pembangunan nasional jadi Indonesia harus mempunyai hukum
Kepailitan yang diterima secara global (globally accepted principles)
2. Undang-undang Kepailitan Harus Memberikan Perlindungan yang
Seimbang bagi Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan memperhatikan
kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk
mewujudkan penyelesaian masalah utangpiutang secara cepat, adil, terbuka, dan
efektif.
Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan dengan dasar
Negara RI yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui kepentingan seseorang,
tetapi juga kepentingan orang banyak atau masyarakat. Pancasila bukan saja harus
memperhatikan hak asasi, tetapi harus memperhatikan juga kewajiban asasi
seseorang. Berdasarkan sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" harus
dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, lebih-lebih lagi terhadap
orang banyak, Dalam peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat,
yaitu selain kepentingan para kreditornya juga kepentingan para stakeholders yang
lain dari Debitor yang dinyatakan pailit, lebih-lebih apabila Debitor itu adalah suatu
perusahaan.
PT.Telekomunikasi Selular Adalah Perusahaan Telekomunikasi Yang Sangat
Sehat Dan Dikelola Dengan Sangat Balk Yang Terus Menghasilkan Keuntungan,

Proporsi kepemilikan saham Telkom = 65% Saham Singtel = 35% Saham, Dimana
Berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2011 Yang Telah Diaudit Dan Membukukan
Keuntungan Sebesar Rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas triliun delapan ratus dua
puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh belas
Rupiah) Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh Majelis hakim Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat sangat bertentangan dengan asas Undang-undang kepailitan itu
sendiri, dengan menciptakan keadaan ketidakpastian Penegak hukum didalam
menerapkan Undang-undang kepailitan yang itu sangat mengancam iklim investasi
bagi asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dan pada akhirnya Pihak asing
akan beranggapan bahwa Hukum kepailitan di Negara Indonesia ini tidak dapat
diterima secara Global.
Asas-asas Undang-undang kepailitan pada umumnya, secara tegas menyatakan
Putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap Debitor yang masih
Solven.sikap ini merupakan sikap Faillissement verordening (Fv) sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sebelum kemudian diubah oleh Perpu No.1 Tahun
1998, dengan bunyi sebagai berikut :
Setiap pihak yang berutang (debitur) yang tidak mampu yang berada dalam
keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas
permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak
berpiutangnya (kreditornya), dinnyatakan dalam keadaan pailit. Untuk dapat
menetukan debitur dalam keadaan solven atau insolven hanya dilakukan berdasarkan
financial audit. Putusan Pernyataan pailit atas Telkomsel ini juga tidak Memberikan
Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan
memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu
untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka,
dan efektif. Penerapan pertimbangan hukum yang diambil Majelis hakim Pengadilan
niaga hanya melihat dari sisi Pemohon Pailit secara luarnya saja, tanpa melihat
kapasitas Termohon Pailit sebagai perusahaan Terbesar Telekomunikasi yang masih
sangat Solven dalam melaksanakan kewajiban terhadap mitra kerjanya yang lain.
Melihat fakta hukum berdasarkan audit laporan keuangan Telkomsel yang pada tahun
2011 memiliki keuntungan dua belas trilyun lebih, Majelis hakim Pengadilan Niaga
telah Khilaf dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit terhadap.Telkomsel

tersebut. Majelis Hakim kurang teliti dan berhati-hati didalam menganalisa dan
menjatuhkan putusan pernyataan pailit dalam perkara tersebut.
Tujuan Undang-Undang Kepailitan yang pada awalnya untuk melikuidasi
harta kekayaan debitor untuk keuntungan para kreditornya, pada perkembangannya
mengalami berubahan. Undang-Undang Kepailitan menjadi instrumen penting untuk
mereorganisasi usaha debitor ketika mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berlaku
terhadap kepailitan perusahaan (corporate insolvency). Serangkaian perkembangan
Undang-Undang Kepailitan di Amerika Serikat, Inggris, Australia maupun Jerman
menunjukkan perubahan yang sama, yaitu mengarahkan kepada sutau proses untuk
memaksimalkan nilai on-going business dan mempertahankan keuntungan sosial dari
eksistensi bisnis, serta meningkatkan tagihan-tagihan yang dimiliki oleh para kreditor.
Pada perkembangan selanjutnya, tujuan hukum kepailitan juga untuk melindungi
kepentingan stakeholders. Perlindungan terhadap stakeholders mempunyai suatu
tujuan imperatif, yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan
kepentingan stakeholders dijamin, diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan
bisnis. Sebabnya, berbagai pihak tersebut dipengaruhi dan dapat mempengaruhi
keputusan dan tindakan bisnis.
Oleh karena itu seharusnya Pengadilan Niaga upaya terakhir para pelaku
bisnis di Indonesia lebih-lebih lagi para penanam modal asing yang menempatkan
modalnya di Indonesia harus mendapatkan kepastian hukum yang dapat diterima
secara global oleh semua pihak-pihak para pelaku bisnis.

You might also like