You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Mioma Uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat oleh karena itu dapat disebut juga dengan leiomioma, fibriomioma
atau fibroid.1
Menurut WHO salah satu masalah kesehatan yang sering di jumpai pada
wanita usia subur adalah timbulnya mioma uteri (20-25%). Biasanya penyakit ini
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaaan rutin atau saat sedang
melakukan medical check up tahunan. Pada tahun 2010 kejadian mioma uteri
terbanyak masih pada kelompok umur >35 tahun.
Penyebab dari mioma pada uterus masih belum diketahui. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa masing-masing mioma muncul dari 1 sel neoplasma
soliter (satu sel ganas) yang berada diantara otot polos miometrium (otot polos di
dalam rahim). Selain itu didapatkan juga adanya faktor keturunan sebagai
penyebab mioma uteri. Dari hasil penelitian Miller dan Lipschultz yang
megutarakan bahwa mioma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot imatur yang
terdapat pada Cell Nest yang selanjutnya dapat dirangsang, terus menerus oleh
estrogen. 1,2,3
Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka
mioma uteri dibagi 3 jenis antara lain, mioma submukosa, mioma intramural dan
mioma subserosa. Mioma submukosa berada di bawah endometrium dan
menonjol ke dalam rongga uterus, j enis ini sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan. Mioma Intramural terdapat di dinding uterus di antara serabut
miometrium. Mioma Subserosa apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus
sehingga menonjol pada permukaan uterus diliputi oleh serosa. Pengaruh Mioma
pada Kehamilan dan Persalinan salah satunya, dapat mengakibatkan infertilitas

atau mengurangi kemungkinan perempuan menjadi hamil, terutama pada mioma


uteri submukosum.
Infertilitas menurut WHO adalah sebuah permasalahan sistem reproduksi
yang digambarkan dengan kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12
bulan atau lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali seminggu secara
teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi.7
Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus
infertilitas pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan di
Indonesia, berdasarkan survei kesehatan rumah tangga tahun 1996, diperkirakan
ada 3,5 juta pasangan (7 juta orang) yang infertil.7
Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh infeksi vagina seperti vaginitis
dan trikomonas vaginalis akan menyebabkan infeksi lanjut pada portio, serviks,
endometrium bahkan sampai ke tuba yang dapat menyebabkan gangguan
pergerakan dan penyumbatan pada tuba sebagai organ reproduksi vital untuk
terjadinya konsepsi.7,8
Untuk mendiagnosis seorang wanita infertilitas dibutuhkan berbagai macam
pemeriksaan, seperti pemeriksaan ovulasi, pemeriksaan Chlamydia trachomatis,
penilaian uterus, dan lain-lain.9

BAB II
PEMBAHASAN

I. MIOMA UTERI
A. Definisi
Mioma Uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat yang menumpangnya sehingga dapat disebut juga dengan
leiomioma, fibriomioma atau fibroid.1
B. Epidemiologi
Menurut WHO salah satu masalah kesehatan yang sering di jumpai pada
wanita usia subur adalah timbulnya mioma uteri (20-25%). Biasanya penyakit ini
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaaan rutin atau saat sedang
melakukan medical check up tahunan. Pada tahun 2010 kejadian mioma uteri
terbanyak masih pada kelompok umur >35 tahun yaitu sebanyak 43 orang
(63,2%) dan 45 orang (66,2%) terjadi pada multipara. Periode Januari 2011Mei
2011 angka kejadian mioma uteri yaitu 39 orang (35,8%) dari 109 kasus
ginekologi yang dirawat. Angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan penderita
ca cerviks yang hanya 21 orang (19,3%), penderita kista ovarium 13 orang
(11,9%), penderita menometroragi 12 orang (11%) serta penyakit ginekologi
lainnya sebanyak 24 orang. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, insidensi
mioma uteri pada tahun 2011 ini pun terjadi pada kelompok umur >35 tahun
sebanyak 28 orang (71,8%) dan terjadi pada wanita multipara yaitu sebanyak 26
orang (66,7%). Mioma uteri belum pernah ditemukan sebelum terjadinya
menarche.2
C. Etiologi
Walaupun mioma uteri terjadi banyak tanpa penyebab, namun dari hasil
penelitian Miller dan Lipschultz yang megutarakan bahwa terjadi mioma uteri

tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada Cell Nest yang
selanjutnya dapat dirangsang, terus menerus oleh estrogen. 1,2,3
Teori Mayer dan Snoo, rangsangan cell nest oleh estrogen, faktor:
a. Tak pernah dijumpai sebelum menstruasi
b. Atropi setelah menopause
c. Cepat membesar saat hamil
d. Sebagian besar masa reproduktif
Penyebab dari mioma pada uterus masih belum diketahui. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa masing-masing mioma muncul dari 1 sel neoplasma
soliter (satu sel ganas) yang berada diantara otot polos miometrium (otot polos di
dalam rahim). Selain itu didapatkan juga adanya faktor keturunan sebagai
penyebab mioma uteri. Pertumbuhan dari leiomioma berkaitan dengan adanya
hormon estrogen. Tumor ini menunjukkan pertumbuhan maksimal selama masa
reproduksi, ketika pengeluaran estrogen maksimal. Mioma uteri memiliki
kecenderungan untuk membesar ketika hamil dan mengecil ketika menopause
berkaitan dengan produksi dari hormon estrogen. Apabila pertumbuhan mioma
semakin membesar setelah menopause maka pertumbuhan mioma ke arah
keganasan harus dipikirkan. Pertumbuhan mioma tidak membesar dengan
pemakaian pil kontrasepsi kombinasi karena preparat progestin pada pil
kombinasi memiliki efek anti estrogen pada pertumbuhannya. Perubahan yang
harus diawasi pada leiomioma adalah perubahan ke arah keganasan yang berkisar
sebesar 0,04%.2
D. Faktor Resiko
1) Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu
mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun.
Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan Pada usia
sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi,

serta akan turun pada usia menopause Pada wanita menopause mioma uteri
ditemukan sebesar 10%.3
2) Riwayat Keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan
wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. 3
3) Obesitas

Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatase di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh,
dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi
dan pertumbuhan mioma uteri.3
4) Paritas

Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk


terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil
atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada
wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali. 3
5) Kehamilan

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat
mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan
bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat
mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko
mioma karena pada kehamilan hormon progesteron lebih dominan. 3
E. Patogenesis

Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari selsel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara
parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50% dari
mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada
kromosom 7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32). 3
Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum diketahui secara
pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma
merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari
sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot polos miometrium. Selsel

mioma

mempunyai

abnormalitas

kromosom.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi genetik,


adalah beberapa hormon seperti estrogen, progesteron, dan human growth
hormon. Dengan adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi
di uterus , sehingga menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis
endometrium, sehingga terjadilah pertumbuhan mioma. 3
Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan
penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas
kromosom non random. Abnormalitas ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup
sitogenik yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12 dan 14, trisomi
12, penyusunan kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang
kromosom 10 dan delesi kromosom 3 dan 7. Penting untuk diketahui mayoritas
mioma uteri memiliki kromosom yang normal. 3
Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma:
a) Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan
tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri
akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri
banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan
sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah
reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen

dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut


tertekan selama kehamilan.
b) Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus
menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari
estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan dua cara yaitu:
Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor
estrogen pada mioma.

c) Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat pada periode ini
memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari mioma selama kehamilan
mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan dan
estrogen. 3

F. Patologi Anatomi
Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka
mioma uteri dibagi 3 jenis antara lain:
a) Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis
ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum
memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma submukosa umumnya dapat
diketahui dengan tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal
sebagai currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi
tangkai tumor. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma

submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma


submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim
ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang
mudah mengalami infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus penderita
akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas. 1,3
b) Mioma Intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai
yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma,
maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi
yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga
dapat menimbulkan keluhan miksi. 1,3
c) Mioma Subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara
kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. 1,3
G. Pengaruh Mioma pada Kehamilan dan Persalinan
Terdapatnya mioma uteri mungkin mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :

Mengurangi kemungkinan perempuan menjadi hamil, terutama pada


mioma uteri submukosum.

Kemungkinan abortus bertambah.

Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar dan
letak subrosum.

Menghalangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang letaknya di


serviks.

Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya di dalam
dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma.

Mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada mioma yang submukosum


dan intramural. 1

H. Pengaruh Kehamilan dan Persalinan pada Mioma Uteri


Sebaliknya, kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi mioma uteri
menjadi :

Tumor tumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi dan edema,
terutama dalam bulan-bulan pertama, mungkin karena pengaruh hormonal.
Setelah kehamilan 4bulan tidak bertambah besar lagi.

Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah bentuk, dan
mudah terjadi gangguan sikulasi di dalamnya, sehingga terjadi perdarahan
dan nekrosis, terutama di tengah-tengah tumor. Tumor tampak merah
(degenerasi merah) atau tampak seperti daging (degenerasi karnosa).
Perubahan ini menyebabkan rasa nyeri di perut yang disertai gejala-gejala
rangsangan peritoneum dan gejala-gejala peradangan, walaupun dalam hal ini
peradangan bersifat suci hama(steril). Lebih sering lagi komplikasi ini terjadi
dalam masa nifas karena sirkulasi dalam tumor mengurangi akibat perubahanperubahan sirkulasi yang dialami oleh perempuan setelah bayi lahir.

Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran tangkai


akibat desakan uterus yang makin lama makin membesar. Torsi menyebabkan
gangguan sirkulasi dan nekrosis yang menimbulkan gambaran klinik nyeri
perut mendadak(acute abdomen). 1,3

I. Diagnosis
a) Anamnesis
Riwayat perdarahan pervaginam terutama pada wanita usia 40-an. 4
b) Pemeriksaan Fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus.


Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh
satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus. 4,5
c) Pemeriksaan penunjang
1) Temuan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang
mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan
polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga
akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan
balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal. 4
2) Imaging

Pemeriksaan dengan USG ( Ultrasonografi ) transabdominal dan transvaginal


bermanfaat

dalam menetapkan

adanya

mioma

uteri.

Ultrasonografi

transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa
yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal.
Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang
mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesran uterus. 4

Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika


mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat. 4

MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) sangat akurat dalam menggambarkan


jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma
tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari
miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat
dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma. 4

J. Penatalaksanaan
10

Pada umumnya tidak dilakukan operasi untuk mengakat mioma dalam


kehamilan. Demikian pula tidak dilakukan abortus provokatus.Aapabila terjadi
degenerasi merah pada mioma dengan gejala-gejala seperti disebut di atas,
biasanya sikap konsevatif dengan istirahat baring dan pengawasan yang ketat
memberi hasil yang cukup memuaskan. Antibiotika tidak banyak gunanya karena
proses peradangan bersifat steril. Akan tetapi, apabila dianggap perlu, dapat
dilakukan laparatomi percobaan dan tindakan selanjutnya disesuaikan dengan apa
yang ditemukan sewaktu perut dibuka. Apanila mioma menghalang-halangi
lahirnya janin, harus dilakukan seksio sesarea. Dalam masa nifas mioma diberikan
kecuali apabila timbul gejala-gejala akut yang membahayakan. Pengangkatannya
dilakukan secepat-cepatnya setelah 3 bulan, akan tetapi pada saat itu mioma
kadang-kadang

sudah

demikian

mengecil

sehingga

tidak

memerlukan

pembedahan. (catatan : operasi untuk mengangkat mioma dalam kehamilan dapat


menyebabkan banyak perdarahan).1,6

11

II. INFERTILITAS

A. Definisi
Pengertian klinis mengenai infertilitas yang digunakan WHO adalah sebuah
permasalahan sistem reproduksi yang digambarkan dengan kegagalan untuk
memperoleh kehamilan setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual
minimal 2-3 kali seminggu secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi.7
B. Klasifikasi7
Infertilitas terbagi atas 2 bagian, yaitu :
a) Infertilitas primer
Yaitu pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah memiliki anak
setelah 1 tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali per minggu tanpa
menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
b) Infertilitas sekunder
Yaitu pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak sebelumnya,
tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi setelah 1 tahun
berhubungan seksual tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi
dalam bentuk apapun.

12

C. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus
infertilitas pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan. Di
Amerika sekitar 5 juta orang mengalami permasalahan infertilitas, sedangkan di
Eropa angka kejadiannya mencapai 14%2. Pada tahun 2002, dua juta wanita usia
reproduktif di Amerika merupakan wanita infertil3. Sedangkan di Indonesia,
berdasarkan survei kesehatan rumah tangga tahun 1996, diperkirakan ada 3,5 juta
pasangan (7 juta orang) yang infertil. Mereka disebut infertil karena belum hamil
setelah setahun menikah. Kini, para ahli memastikan angka infertilitas telah
meningkat mencapai 15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia. 7
D. Etiologi
Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh infeksi vagina seperti vaginitis
dan trikomonas vaginalis akan menyebabkan infeksi lanjut pada portio, serviks,
endometrium bahkan sampai ke tuba yang dapat menyebabkan gangguan
pergerakan dan penyumbatan pada tuba sebagai organ reproduksi vital untuk
terjadinya konsepsi. Terjadinya disfungsi seksual yang mencegah penetrasi penis,
atau lingkungan vagina yang terlalu asam juga dapat menyebabkan seorang
wanita kesulitan mengalami kehamilan.8,9
Perubahan fisiologis mengalami gangguan yang secara normal terjadi selama
periode praovulasi dan ovulasi yang membuat lingkungan serviks kondusif bagi
daya hidup sperma misalnya peningkatan alkalinitas dan peningkatan sekresi.
Kelainan Serviks yang dapat menyebabkan infertilitas adalah:
1) Perkembangan serviks yang abnormal sehingga mengakibatkan migrasi
sperma terhambat.
2) Tumor serviks seperti polip atau mioma yang dapat menutupi saluran
sperma atau menimbulkan discharge yang mengganggu spermatozoa.
3) Infeksi serviks yang menghasilkan asam atau sekresi purulen yang bersifat
toksin terhadap spermatozoa. 8,9

13

Nidasi ovum yang telah dibuahi terjadi di endometrium. Kejadian ini tidak
dapat berlangsung apabila ada patologi di uterus, seperti polip endometrium,
adenomiosis, mioma uterus atau leiomioma, bekas kuretase dan abortus septik.
Kelainan tersebut dapat mengganggu implantasi, pertumbuhan, nutrisi serta
oksigenisasi janin. 8,9
Sumbatan di tuba fallopii merupakan salah satu penyebab infertilitas.
Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi, pembedahan tuba atau adhesi yang
disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi. Peningkatan insiden penyakit
radang panggul (pelvic inflammatory disease PID). PID ini menyebabkan
jaringan parut yang memblok kedua tuba fallopi. 8,9
Masalah ovarium yang dapat mempengaruhi infertilitas yaitu kista atau tumor
ovarium, penyakit ovarium polikistik, endometriosis, atau riwayat pembedahan
yang mengganggu siklus ovarium.

Gangguan Ovulasi yang dibagi ke dalam 4

kelas (WHO): 8,9

Kelas 1 :
Kegagalan pada hipotalamus hipopise. Karakteristik dari kelas ini adalah
gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol.
Kelainan ini terjadi sekitar 10 % dari seluruh kelainan ovulasi.

Kelas 2:
Gangguan fungsi ovarium. Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada
gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85 %
dari seluruh kasus kelainan ovulasi.

Kelas 3:
Kegagalan ovarium. Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin
yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5 % dari
seluruh gangguan ovulasi.

Kelas 4:
Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat disfungsi
ovarium, memiliki kadar prolaktin yang tinggi.

14

Penyebab Infertilitas sekunder antara lain:


1) Faktor usia
Faktor usia sangat berpengaruh pada kesuburan seorang wanita. Selama
wanita tersebut masih dalam masa reproduksi yang berarti mengalami haid yang
teratur, kemungkinan mengalami kehamilan sangat besar. Akan tetapi seiring
dengan bertambahnya usia maka kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel
telur akan mengalami penurunan. 8,9
2) Masalah reproduksi
Masalah pada sistem reproduksi menyebabkan masalah yang mengarah pada
infertilitas sekunder, seperti pada perempuan yang melahirkan dengan operasi
caesaryang dapat menyebabkan jaringan parut yang mengarah pada penyumbatan
tuba. 8,9
3) Faktor gaya hidup
Wanita dengan berat badan yang berlebihan sering mengalami gangguan
ovulasi, karena kelebihan berat badan dapat mempengaruhi estrogen dalam tubuh
dan mengurangi kemampuan untuk hamil. 8,9
E. Diagnosis
Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan
menyumbang sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan infertilitas
yang dapat dilakukan diantaranya: 8,9
Pemeriksaan ovulasi :

Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada seorang


perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang
teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi

Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami infertilitas
selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi dengan
cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya (hari ke 21-28)

15

Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan yang


memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan pada
akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai siklus haid
berikutnya terjadi

Pengukuran

temperatur

basal

tubuh

tidak

direkomendasikan

untuk

mengkonfirmasi terjadinya ovulasi

Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk melakukan
pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin (FSH dan
LH).

Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah


ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis

Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak direkomendasikan

Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika
pasien memiliki gejala.

Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari


pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti
bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan.

Tabel 1. Pemeriksaan untuk melihat ovulasi dan cadangan ovarium 9


Ovulasi

Cadangan Ovarium

- Riwayat menstruasi

- Kadar AMH

- Progesteron serum

- Hitung folikel antral

- Ultrasonografi transvaginal

- FSH dan estradiol hari ke-3

- Temperatur basal
- LH urin
- Biopsi Endometrium

16

Untuk pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dapat digunakan


adalah AMH dan folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB yang
dapat digunakan: 8,9
1) Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml
2) Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)
3) Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)
Pemeriksaan Chlamydia trachomatis

Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia


trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif

Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya


sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan

Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan


periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum dilakukan

Penilaian kelainan uterus

Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,


karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk
meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan.
Tabel 2. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam penilaian uterus9

HSG
Sensitivitas dan

USG-TV
Dapat mendeteksi

SIS
PPV dan NPV

Histeroskopi
Metode

PPV rendah

patologi

tinggi, untuk

definitif

untuk

endometrium dan

mendeteksi

invasif

mendeteksi

myometrium

patologi intra

patologi

kavum uteri

intrakavum uteri

17

Penilaian lendir serviks pasca senggama 8,9

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas dibawah 3


tahun.

Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah fertilitas


tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya kehamilan.

Penilaian kelainan tuba 1

Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID),


kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan
histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan
ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi.

Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat


dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif.

Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan


untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat penyakit
radang panggul.

Tabel 3. Beberapa teknik pemeriksaan tuba yang dapat dilakukan9


Teknik
HSG

Keuntungan
Visualisasi seluruh

Kelemahan
Paparan radiasi

panjang tuba dapat

Reaksi terhadap zat

menggambarkan patologi kontras


seperti hidrosalping dan

Peralatan dan staf khusus

SIN efek terapeutik

Kurang dapat
menggambarkan adhesi

Saline infusion

Visualisasi ovarium,

pelvis
Pelatihan khusus

18

sonography

uterus dan tuba

Efek terapeutik belum

Laparaskopi

Visualisasi langsung

terbukti
Invasif

kromotubasi

seluruh organ reproduksi

Biaya tinggi

interna
Memungkinkan
dilakukan terapi
sekaligus
F. Penatalaksanaan
1. Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu: 9

WHO kelas I
Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan berat badan

menjadi normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan.


Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini adalah
kombinasi rekombinan FSH (rFSH)- rekombinan LH (rLH), hMG atau hCG.
Penggunaan kombinasi preparat gonadotropin (rFSH dan rLH) dilaporkan lebih
efektif dalam meningkatkan ovulasi dibandingkan penggunaan rFSH saja. 9

WHO Kelas II
Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat dilakukan dengan

cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen sitrat),
tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan gonadotropin. Pengobatan lain yang
dapat digunakan adalah dengan menggunakan insulin sensitizer seperti
metformin. 9
Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk
mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6
bulan. Efek samping klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom hiperstilmulasi,
rasa tidak nyaman di perut, serta kehamilan ganda. Pada pasien SOPK dengan
IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat dapat dikombinasi dengan metformin
karena diketahui dapat meningkatkan laju ovulasi dan kehamilan.9

19

Tindakan drilling ovarium per-laparaskopi dengan tujuan menurunkan kadar


LH dan androgen adalah suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi perempuan
SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat. 9

WHO Kelas III


Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi

ovarium (WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup kuat
terhadap pilihan tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu
dilakukan pada pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas III sampai
kemungkinan tindakan adopsi anak. 9

WHO Kelas IV
Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat

pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga gangguan


ovulasi dapat teratasi.9
2. Tatalaksana gangguan tuba
Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas tuba derajat
ringan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan. 9

3. Tatalaksana endometriosis
Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa
nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat
meningkatkan fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan
progestin dan agonis GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien
endometriosis derajat ringan sampai sedang. 9

20

Penelitian acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat ringan


sampai sedang melaporkan laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama dengan laju
kehamilan bila diberikan agonis GnRH selama 6 bulan. 9
4. Tatalaksana infertilitas idiopatik
Manajemen ekspektatif
Kemungkinan hamil spontan yang relatif tinggi pada pasangan infertilitas
idiopatik mendukung strategi penanganan secara ekspektatif.15 Pasangan dapat
diberi pengertian tentang masa subur, dan disarankan untuk melakukan hubungan
seksual tanpa kontrasepsi. Studi RCT di Skotlandia melaporkan 17% perempuan
berumur rata-rata 32 tahun yang memiliki lama infertilitas 30 bulan, mendapatkan
kehamilan spontan serta kelahiran hidup 6 bulan pasca manajemen ekspektatif.
Analisis ekonomi-kesehatan berdasarkan data yang sama menunjukkan bahwa
selain tidak ekonomis, terapi empirik klomifen sitrat dan inseminasi intra uterin
(IIU) tanpa stimulasi tidak memberikan hasil yang lebih baik. 9

Klomifen Sitrat
Klomifen sitrat dapat mengatasi kasus infertilitas idiopatik dengan cara

memperbaiki disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan folikel


multipel. Pasien dianjurkan untuk memulai terapi inisial 50 mg sehari mulai pada
hari ke-2-6 siklus haid. Pemantauan folikel dengan USG transvaginal dilakukan
pada hari ke 12 untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan ganda.
Pasangan disarankan untuk melakukan hubungan seksual terjadwal dari hari ke-12
siklus haid. Pada kejadian di mana dicurigai adanya respon ovarium yang
berlebihan, siklus dibatalkan dan pasangan diminta tidak melakukan hubungan
seksual sampai siklus haid berikutnya. 9
Penggunaan klomifen telah dikenal oleh semua pasangan infertilitas karena
murah, non-invasif, dan tidak membutuhkan pemantauan klinis yang banyak.
Kejadian kehamilan ganda dan risiko terjadinya kanker ovarium dijadikan dasar
dalam pertimbangan risiko dan manfaat. 9

21

Inseminasi Intrauterin
Inseminasi intrauterin dengan atau tanpa stimulasi merupakan pilihan pada

tatalaksana infertilitas idiopatik. Peningkatan jumlah spermatozoa yang motil


dalam uterus dan menempatkan sperma dalam jarak yang dekat terhadap 1 atau
lebih oosit berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan.
Inseminasi dapat dilakukan dengan atau tanpa prosedur stimulasi ovarium.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Penyakit Neoplasma dalam Ilmu Kebidanan Sarwono


Parwirohardjo. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2010. Hal
891-894
2. Yonika A. Asuhan keperawatan pada ny. R dengan gangguan sistem
reproduksi: mioma uteri di bangsal dahlia RSUD Pandan Arang Boyolali.
22

Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta ;


2012. Hal 1-2
3. Kurniasari T. Karakteristik mioma uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
periode Januari 2009 - Januari 2010. Surakarta : Fakultas kedokteran
Universitas
Sebelas Maret; 2010. Hal 8-10.
4. Manuaba I.B.G. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan Keluarga Berencana. Jakarta : EGC ; 2007.
5. Ambarwati, E.R. Wulandari.D. Asuhan Kebidanan (Nifas). Yogyakarta :
Mitra Cendikia ; 2009.
6. Hadibroto B.R. Mioma Uteri.

Sumatera Utara : Majalah Kedokteran

Nusantara ; 2005. Hal 256-258.


7. Oktarina.A. Abadi.A.Bachsin.R. Faktor-faktor yang Memengaruhi Infertilitas
pada Wanita di Klinik Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. Palembang :
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya ; 2014. Hal 295-300.
8. Saraswati.A. Infertility. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung ; 2015. Hal 6-8.
9. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) .
Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI). Ikatan Ahli Urologi
Indonesia (IAUI) . Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).
Konsensus Penanganan Infertilitas. Jakarta : HIFERI, PERFITRI, IAUI dan
POGI ; 2013.

23

You might also like