Pelayanan Kesehatan Primer:
Suatu Penilaian Sosial dari Sudut Antropologi Kesehatan’
Nico S.Kalangie
(Universitas Indonesia)
Abstract
The failure of many social development programs, such as health improvement programs.
is @ common reality tn developing countries. The auhor argues that the main source of the
problem lies on government organizations az the agent for development. Through an examina-
lion of a aumber of models on the Introduction of health care, the auihor shows tat the
tthnocentricism of health professionals with regard 10 the communication of innovations
temains @ problem, What 4 needed 1s a conmunicaiton strategy that ts eulvwraliy avware, seat
will allow for the adopiion of new ideas and practices through @ learning process that is in
ccord with the principles of the culture of participan's. That any adoption wilt be adapted
and integrated with culnural elements of the participants should be taken as a matter of
course.
Through illustrations of the introduction aad establishment of health care services in
Indonesia, the author notes that such a model of communication may prove difficult, However,
lie provides a discussion on the necessary steps to be taken to reach the objectives of the health
care system,
Pendabuluan
“Tulisan ini mermbicarakan masslah-mmasalah
atau Kelemaan-kelemahan yang diam oleh
program keschatan primer bagi lapisen
tmasyaraket pedesaan, sebagai sisi Iaia dari
enyatean-Keryataan Leberhasilan pelaksana-
an program ini di Indonesia. Sasaran perkatan
mengenai masalah ini adalah penilaian pitak
Xelompok yang sebenarnya diharapkan menjadi
kelompok partisipan dari Program Kesehatan
Primer (selanjutnya disingkat PKP). Hal ini
mengisyaratkan bahwa yang éiutamakan
" Nastak ar tuisan jai meropakon masa pido
eaguluhon penulis achagei Gare Besar Antopotosi
ada UniversiasIndenesis yang dilksaaakan Gh Al
Giwiuns Fakults Kedoktoran Usivesiag Indonesia,
Salomba, anggal 12 Mare 1997,
ANTROPOLOGIINDONESIA 59, 1999
adalah pengalaman pelayanan dari kelompok
pactisipan yang justra menjadi sasaran
ornunikas inovasi sosial dari program tersebut,
Kafian dalam tulisan ini skan menggunakan dua
model yang diangkat dari data hasil penelitizn
pada sejumlah Puskesmas dan Posyandu
(Kalangie 1980, 1989, 1990, 1991, 1994a, 1994
Kalangie dk, 1991), yaitu komunikasi ber-
wavasan kebudayaan, dan penilaian oleh
partisipon, Masalah-masalah pelayanan
Kesehatan primer ini beserta organisasinya
tidak akan habis-abisnye menjadi sasaran
penclitian ilmiah dalam konteks perubshat
perubahan sesial-budaya, polit
serta hubungsn-hubungan te
101Permasalahan dan latar belakang
Permasalahan utema yang diidentifikasi
dalam rangka kampanye kesehatan inter-
assional ialah: mengapa progeam-program
penanggulangan penyakit, secara kurati? den
pencegahan, yang ditujukan pada pendu-
duk—yang dianggap paling membutuhkan di
negara-negara berkembang sejak Perang Dunia
TL—banyak menemui kegagalan, atau kurang
berhasil? Jawabanaya terletak pada deberapa
sumber masalah. Pertama, pematiaman,
penerimasn, dan adopsi teknologi biomedis
Barat yong disampeikan tidak terjadi dalam
masa singkat seperti dinarspkan cleh pembawa-
pembawanya dari Barat. Kalau terjadi. hal itu
memakan wakiu sesuai deagan proses
pengambilan kepulusan oleh penduduk; sexta
‘eknik komunikasi yang dipakai olch pormbavwa:
apakah beewawasan kebudayaan penduduk
yang bersangkutan atau tidak. Tidak jarang,
‘novasi ini ditolak oleh penduduk setempat,
ataa mengakibatkan tecjadinye konflik
Keporeaysan, Dengan domikian, sumber
masalah terletak pada premisbudaya
etnosentris kalangan pembawa sebagai
profesional biomedis Bart; dan kendala-
Kendala sosial-budaya penduduk seiempat
yong menjadi sasaran korsurikasi inovas.
Permasalahan tertebut telah didokumen-
tasikan dalam kepustekaan Kesehatan
internasional sebagai adversary model, atau
model pertentangan kepercayaan (Foster
1977528). Dengan perkatoaa lain, ersoulannya
adalsh menceri metode ager kelompok
partisipan dapat mengadopsi gagasan dan
praktek keschatan baru, Pemecabmannya terletzk
pada pemelaman interaksi antara pengetzhuan
ddan kepercayaan kesehatin dengan perilaku
‘eschatan, atau makna dari perlaku itu sendiri
dalam prases melaksanakan tindakan kesehsten
yang dapat terlinat Kecil, tetapi dapat pula
Kompleks (lihat Paul 1955:1). Apa yang ingin
digambarkan adalah suata ethnography of
102
ealth habiis (Coreil 1990:9) dengan folus
tama pada peritaku keschatan yang dianggay
hembatan terhadap perubeban Kesehatan yang
dikehendaki program, serta metode yang tepot
tntuk mengatasinys. Pada dasaenya, model ini
dipakai untuk menerangkan resistensi sosial
budaya pada masyzrakat non-Barat dalam
menerima perawatan biomedis Barat Foster
1977:528) yang olch pembawa program
diupayakan sebagai pengganti kerelurubaa
sistem medis tradisionsl. Dalim kenystaannye,
hel itu tidak pernah texjadi atau becbasil
Polgar (1963) telah mengingatkan peda
pembayee progrem: wotuk menghindari apa yang.
discbuinys sebagai the fallacy of the empty
vessel (asumsi bakwa keselurohan sistem medie
tradisional dapat dikeluarkan dari wadahny
yaitu kebudayaun swatu komunitas).
Seyogianya, program mengakui keutamaan
kenyatean-kenyaiaan sosial-budaya umum—
Khususny kesehatan—sebagai landasan,
onteks perencancan, dan pelaksanaan pro.
gram keschatan baru bagi kelompok panisipan
‘yong bersangkutan,
Perkembangan selanjuinys mesunjukkan
terjadinya pergeseran dari model tersebut di
tas ke model penggunaan faktor budaya,
seperti pengetanuan. yang ampuh dalam
menyokong penanggulangan masalah kese-
hotan. Upaya ini mencoba mengintegeasikas
gagasan dan praldek baru dengan unswr-unsur
‘yang telah ada, tetapi ampuh dan berraina bag
enduduk yang diiayani, alin dikenal sebagai
the Insight model (Coreil 1990:12-13), at
model yeng saya scbut *keampuban budaya’.
Model ini mergisyaratkan bahwa peneliti
rmempelajari hagaimans Lelompok sasaran pro
gram berpikir terbadap hal-nal yang tert
dengan keselietan; bagaimana caranya merece
memilihtindakan-tindaken yang mempengaruhi
kesehatan mercka: dan bagaimane pula mereke
menilai akibat-akibat dalam upaya memals
malkan kesesuaian antara inovasi-inovs
ANTROPOLOGIINDONESIA 59,1999Kesehatan dengan ape yang dikeral den biesa
dlilakuken (Coreil 1990:13). Medel ini sejalan
dengan peringatan yang disampaiksn oleh
Polar (1963). yang dapat pula menjelaskan
besbagai faktor resistens
‘Apa yang merupakan langkah baru dengan
pandangun pemakaman gagasan bucaya
delab penekanas. pada upaya mendapatkan
sirategi-strategi komunikasi dolam meningkat-
kan pemahaman makna dan pemantazannya,
mengidentifikasi pendekatan-pendekatan dara
bagi tereiptanya perubahan perilaku kesehatan,
dan meningkatkan kredibilitas program bara
dengan cara menunjukkan_penghargaan
terhadap kebudayaan Kesehatan pribum
‘Scbagai contoh dapat dikermukakan studi kasus
di negeri kita seperti yang digambarkan oleh
Griffiths (1900) tentang pemahaman mengensi
‘motivasi para Ibu untuk menyusui bayi mereka
send, Pada malanya program ini mempromosi-
an pemberian air usu ibu dengan menckankan
pada kepentingan kualitas gizinya Tetspi, cara
inj menysjikan hasil yang terbatas. Perubaban
sirategi komunikasi dengan cara mengenjurkan
pemberian makanan melalui zi susuibu scbagei
jalan untuk dapat menjamin ‘kepuasan’
‘meksimal bagi bayi terbutti efektif dalam
rmemperparjang masa pemberian air susu iba
(Gritions 1990)
Kenyatean selanjutnya_menunjukkan
bahwa Kebeshasilan penuh belum pula dapat
dicapai oleh progears-program kesehata
{ntemasional, sekslipun penekanan perencana-
annya sudan disarati dengan kesiimpulan hesil
penclitian lapangan mengensi kerdala-kendala
budaya, sosial, daa psikis berhubungan
engan perubahan perilaku kesehatan yang
perlu dilakukan oleh Kelompok-kelompok
sasaran. Kalangan ilmawan antropole,
menemukan bahwa sumbernya terletak peda
ihak organisasi inovasi melalui kalangan
irokrat dan profesionalnya sendiri. Sekalipun
tidak selalu etnoseniris, Kelangan birokrat dan
ANTROPOLOGIINDONESIA 59, 1999
profesional ini lebih berpegang pads premis
premis budaya mereka (birokratisme dan
profesionalisme) dalam menentukan kebyakan,
mengambil Keputusan, dan berkomunikasi,
ketimbang premis-premis budaya kelompok
parisipan yang dihadapi
Abbir-akhir ini, periatian terhadap ma-
salah-masalah birokrasi atau erganisasi makin
besar dan meluas, mencakup pembangunan
sosial pada umurnya, seperti yang menjadi per
haan van Ufford, Kruijt, dan Downing, serta
penulis-penulis lain dalam buku mereks (van
Ufford dkk. 1988). Hal itu sesuai dengan
pardangan Foster (1969) yang sudah lama
dikemukakonnya debwa kendala-kendsla
kebeshacilan inovasi bagi kelompck pastisipan,
hoerasal pule dari pelaku-pelaku birokrast dan
profesi dari organisasi pelaksana program
inovasiitusendiri. Apalagl, seperti lazim terihat
i negara-negara berkembang, aspek polit
memegang peranan be:ar dalam berbagai
pertimbangan kebijakan menyertai birokrasi
termasuk perencanaan dan pelaksanaan pro-
gram pelayanan dan perawatan keschataa
(Nichter 1986).
Sejak dacawarsa yang lal, sejstan dengan
tergesernya model pertentangan kepercayaan,
kajian mengenai organisasi_pelayanan
Kesehatan dan konteks politik-ckonominya
telah morebut kedudukan yang penting
bersama dengax kajian terhadap kelompok
patisipan sasaran program. Pandangan kris
telah muncul sebagai cancangan terhadap
strategi-stiategi PKP yang tidak mem-
perhitungkan hsmbacan-hambatan mendasar
yang berpangkal pada kesenjangen kekuassan
dan kekayaan, pengabsian partisipasi
Komunitas lost dalam proses-proses
pengambilan kepulusan dan kogiatan-kegiatan
lcin, sorte perbedaan akses pelayanan
kesehatan yang tidak menguntungkan bagi
yang paling membutuhkan (liar
Hegyenhougen 1984, New dan Donahue 1986,
103Singer, Bact, dan Lazarus 1990), Pada segi-segi
Jain dapat cilihat perhatian yang makin besar
techadap Kebudayaan birokrasi pada tingkal
lokasi pelaksanaan, seperti yang dikeji oleh
‘Nichtor (1986), tingkat nasional seperti yang
dikaji oleh Marchione (1984) dan Iustice (1986);
serta tingkat iniernasional seperti yang
Gikemukakan oleh Foster (1987). Pada tingkat:
tiagkat ini, Kebudayaan birokrasi merupekan
sumber masalah atau hambataa bagi pen.
ccapaian maksimal dari tajuan program PKP
Schubungan dengan permasalahan yang
ditemukan pada program-program kesehatan
internasional tersebut, kita dapat pule
mempertanyakan apakah permasalahan demi.
kan terdapat pula di Indonesia, Sikap etno-
sentrisme profesional dalam komunikasi
Inovasi maupun perawatan kuratif dan preventit
pada institusi keschatan PKP (Puskesmas,
Posyandu, Balai Pengobatan, dan lain-lain)
rmasih merupakan gejala umum, Selanjutnya,
pethatian pada peleku-pelaku PXP terhadap
gejala-gejela sosial-budaya kelompok
partisipan—berupa kendala-kendala per:
tubahan perileku—lebih diarabkan pada sikap
‘mempermasalahkan kelompok ini Karena tidak
‘mau menerima secara cepat gegasan dan prak-
(ek baru; tidak mau mengubah kenyataan,
seperti kepercayaan yang dianggop takbyal,
fatalisme; dan berbagai perilaku yang dianggnp
merugikan Kesehatan. Akhirnya, masalah-
‘masalan birokrasitrsebut belum dinggap oleh
pelaku-pelaku PKP senditi sebagai salah sete
penyebab belum berhasilnya kalangan
partisipan mengubah perilaku kesehatan mereka
secara memuaskan sesiai dengan harapan
organisasi PKP. Memang benar pandangan
yang menyatakan balywa ‘kendala program PKP
bbukan hanya terdapar di kalangan kelompok
partisipan, melainkan juga di kalangan pelaku.
pelaku organisasi inovasi’ itu belum diakui
secara terbuka ofbh pelaku-pelaku PKP sendii
Seolah-olah, satu-setunya sumber kendala
104
adalah pihak kelorapok partisipan
‘Wojud nyata dari masalah bizokrasitecthat
sebagai masalah kunci dalam proses
komunikasi inovasi kesehatan, apakah itu
beriangsung dalam jalur PKP atau jalar program,
kesehatan masyacakat desa, Mengapa
demikian? Apa yang disebut sebagat premise
premnis budaya birokrat dalam organisasi tent
saja mempeagaruhi dan membentuk pola pikir
dan perilaku mereks. Tidak jarang, pola-pola
pikir dan perlaku ini mempengaruhi pula cara
mereka berkomunikasi dengan kelompok
pardsipan, Kalau hasil Korunikasi mereka tidak
membuahken pemahaman akan gagesan dan
praktal, sera tidak membangkitkan pethatian,
simpatl, dan Keinginan pihak kelompok yang
dimaksué untuk menerima dan_meng-
adopsinya, maka Komunihast dapat dinyatakan
gagal. Stategi Komunikasi yang ditekankan di
adalah *komunikasi berwawasan
kebudayaan’. Dalam strategi ini, diharapkan
bahwe Komunikasi dapat menghasifkan
penerimaan, serta adogsi gagasan dan prakiek
baru melalui proses belajar sesuai dengan
prinsip-prinsip kebudayean dalam art dinars;
dan bahwa proses pengambilan Keputusan
dilakukan senciri oleh pihak Kelompok yang
dimaksud. Harus pula ditetima sebagai
Kenyataan yang wajar behwa edopsi akan
rmengalami adaptasi sertaintegeasi baru dengan
unsur-unsar kebudayaan pitak partisipan
Pusat Keschatan Masyarakat
(PUSKESMAS)
Masalah yang dialami oleh Puskesmas-
uskosmas tidak sama. Tideklah salab Kalas
dinyatakan babwa semua puskesmas di Inde.
nesia memerlakan upaya penanggulangan
hnasalah, ser peningka‘an dan peagembengan
kinesja, DiPropinsi-propinsi Pulau Fava, jumlaa
pengunjung celatif banyak, dapat meneapei
‘tara 100-100 pasien per hari kerja. umlah ii
sangat jauh ci alas rata-rata jumlah pasien ¢i
_ANTROPOLOGI INDONESIA 59,1999luar Pulav Jawa. Di luar Pulau Jawa, ada
Puskesmas-puskesmas di kota dan desa yang
memiliki pelayonan medis tergolong b:
dengan jurah ratz-rata pasien relat tinggi,
deberapa puluh pasien per hari kerja.
Sebaliknya, puskesmas di daerah-dacrah
ierpencil, seperti di Maluku dan Irian Jaya,
hanya mencepai jumlah pasien kurang dari 10
orang per hai
Setalipun ukuran dan Jenis permasalahan
berbeds-beda, semua Puskesmas memerlakan
pembsrahan orgenisasi dan manajemen yang
sungguh-sungguh, bukan dalam pengertian
rutin yang biasa dilaksanakan sehari-hari.
Selain itu, diperlukan pula penaraman atau
eningkatan motivasi Kerja untuk mengatai
{ondisi suarm-suam kuku di kalangan dokter dan
paramedik tertente, tidak hanya di dacrah-
frah terpencil,tetapi juge di éaerah-daerah
bertingkat sosial-ckonomi lebih tinggi.
‘Penanaman atau peningkatan motivast Kerja in
sedikit banyak akan mempengaruhi keber-
Jasilan kinerja perawetan medis, maupun
spaya-upaya pencegshan penyakit sehubung-
an dengan komunikastinovasi kesehatan sera
pengeiaten parisipasi sesial yang diharapkan
dalam rangka PK.
Scluruh masslah di atas perl
‘anggulangi secara realistis berdasarkan
{siegori-kategori kondisi Puskesmas. Namun
demikion, Keberbasilan penanggulangannya
iidak hanya éitentukan oleh dans dan
personal, tetapi juga oleh wawasan pendekat
sn dan metodologi perencansan Depariemen
Kesehatan dalam merancang program tersebut
(mengenai masaian sostal Puskesmas that
Kalangic 1980, 1981; Kalangied, 1991)
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
Permasalahan lain menyangkut organisasi
pelayanan pencegahan penyakit dan keluarga
fecencana bagi kalangan isteri berusia subur
an Balita yang dikenal sebagai Posyardu,
ANTROPOLOGI INDONESIA 59, 1999
Posyandu dinarapken dilahitkan dan
dikembangkan atas kesadaran dan upaya
sendiri, atau partisipasi sosial dari setiap
omunitas di desa dan kota. Posyandu sdalah
milk penduduk. Sesuai dengen rencana,
kegiatan-kepiatan Posyandu dilaksanakan oleh
anggota-anggota Pendidikan Kescjahtcraan
Keluarga (PKK) tingkat desa dan kelurahan di
bbawah kepernimpinan isteri kepala desa dan
'steri turah sebagai Ketua tim penggerak PKK
setempat. Posyandu juga berada dalam wadah
LKMD dalam koordinas: kepata desa dan lurch
Menarut ketentuan Depastemen Dalam Negeri,
wadah ini memadukan pimpinan formal
(pemerintatan) dengan tokoh-tokoh informal
‘yang menyusun rencana Kerja pembangunan
desa, serta mengatur pelaksanaannya
berdasarkan keputusan bersamma yang ditetap-
kan secara demokratis. Dengan demikian,
Posyandu merupakan program yang dirancang
‘dan dilaksanakan dalam organisasi LKMD.
Masih umum dijumpai desa-dess yang
‘belum memiliki organisasi Kesehatan ini dan,
‘kalau memitiki tidak berjalan, ata berjalan pada
boeberapa bulan pertama kemudian lamp, atau
ibidupkan Kembali pada saat ada Kunjungen
atasan dari Kabupaten atau propinsi. Ada pula
yang dikatakan berjalan, namun yang terlinat
hanya kegiatan yang terbatas pada penim-
bangan bayi dan pengisian KMS, seria
pemberian makanan tambahan. Kegiatan-
kegiatan lain sangat tidak teratur ilaksanakan.
Bahkan, ada Kegiatan yang tidak termasuk
dalam program Posyandu—yaitu perawatan
kuratif yang dilaksanakan secara teratur oleh
sejummlah Posyandu—yang justru dilaksana-
kan, schingga ramai dikunjungi oleh pasien
yang tidak hanya terdiri dari para iby yang
membawa anak Balita. Pelaksana perawatan
adalah para medik dari Puskesmas setempat.
Biaya perawatan lebih banyak disesuaikan
dengan kemampuan pasien, sean harga umm
obatobatan. Ada pula yang karena sering
105dikanjungt oleh dokter Puskesmas menyebab-
kan Posyandu ybs. didatangi ole® lebih banyak
penguajung yang menceri pengobatan.
Dengan kata lain, daya tasik Posyandu ini
terlctak pada porawatan kuratif.
Pemadvan dengan peravatan kuratif agak
‘umum dijumpai pada Posyandu yang terpencil
dan dikelole oleh organisast Kesehatan swasta
terutama organisisi-organisast agama. Sebagai
contoh adalah Posyandu yang diselenggara-
kan oleh Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah.
Pemaduan ini sengaja diprogramkan mengingat
komunitas-komunitas sasaran pelayanan di
duerab int umumnya texpencil, hanya dapat
dicapal dengan menunggang kuda alan berjalan
ahi, Keadaan lingkungan fistk dan kondisi
esehatan komunitss akibat keierpencilan ini
rmerppakan fakior penentu dalam memutuskan
ebijakan pemanduan yang cimaksud, selain
telah adanya Klinik yang didirikan sebelum
adanya Posyandu. Penaduan ini akhirnya
menjadi harapan, bahkan terdapat kecen-
derungan menjadikannya sebagai pendekatan
tidak resmi di kalangan pimpinan Posyandu,
bila disepakaii oleh: paramedik Puskesmas
setempat, sejalan dengan persepsi meng.
vupayakan peningkaton Posyandu.
‘Kekurangen tenagadlan motivasi paramedik
suatu Puskesmas turut pula menentukan
perkembangan Posyandu dalam wilayal
ccakupan herjanya. Selan is, organisasi LKMD
bolum borjalan menurut ketenuan-ketentuan
Departemen Dalam Negeri. Terdapat pula
faksionalisme antara pimpinan formal dan
toko® informal (terutuma iokol-tokob sama)
pada tingkat desa dan Kelurahaa. Hubungan
tugas antara kepala dese dan lurah besertaisieri
mereka sebagai ketua tim penggerak PKK
dengan para kader Kesehatan Posyandu yang
iorganisast melalui PKK, umumnya berjalaa
secara otoriter dan tidak demokratis, serta
mengutamakan —kepentingan _pribadi
Kenyataan-kenyataan ini memperbesar
permasalahan dalam menggiatkan dan
mengembangkan Posyanda,
‘omunikasi pun Derlangsung secara lebih
terbatas di antara kader-kader keschatan
dengan ketua tim penggerak PXK dan klikaya
‘yang duduk sohagei pimpinan, dan antara para
iu dengan para kacer bersema paremedik
Puskesmas. Masalah ini menyamal bubungen
sosial hirarkhis antarn Kelas atas (kotua den
klikaya atau keseluruhan pimpinan PKK
bersama kepala desa dan lurak), dengan Kelas
bawah (para iba) sebagai sesaran program
Posyandu bersama kader-kader Kesehatan
yang tidak tergolong lik tim tersebut.
Keayataan-kenyataaa sosiel Kelas atas dan
kkelas bawah, serta atasan dim bawahan ini
‘makin menajam pada tingkat hubangan aniara
pimpinan PKK kecamatan dengan pimpinan
daw anggota PKK desa dan keluraban, Apalagi,
paga tingkat hubungan antaza pimpinan PKK
Kabupaten dan Kotamadya dengan pimpingn
dan anggota PKK kecamatan, dan seterasnya
pada tingkat-tingkat propinsi dan asional.
Pola hubungan sosial yang Dirarkhis itu tem
mempengaruhi Keberhusilin juan komusikesi
inovasi Posyandy, apalagi dalam penggistan
pastisipssi sosial dan pengembangannya (Uikat
tentang masalah Posyandu dalam Kalangie
1989, 1990, 1994),
Komunikasi berwawasan kebudaysan,
Model komunikasi PKP berwawasin
kebudayaan seperti ‘erpaparkan dalam Gambar
| menuajukkan bahwa komunikasi merupakan
koasep kunci yang menentukan tingkat
keberhasilan program. Karena itu, operasionl
sasiaya memerlukan penjelasan tersenditi,
Komunikasi mengandung pengertian ke-
budayaan yaag mendalam sesuai dengan
kkeayataaa yang ditemukan dalam penelitian
lapangan yang saya Iskukan. Dalam proses-
proses komunikasi, masing-masing pitak
Inempenibatken perilaku tertentu yang sceara
ANTROPOLOGIINDONESIA $9, 1999dominan ditentukan, dipengaruhi, stau
dibentuk oleh kebudayaan melalui proses
enkulurasi dan sosiatisasi, Sebaliknya, secara
prosesual, kebudayaan ini mengalami
perubshan-perubahan sesuai pandangan
emimpin dan aktor-aktor lain dalam setiap
kelompok sosial,
Garbar
Komaki Rerwawasan Kebudiaan dari PRP
Lain-lain interaksi Komunikasi mencakup
perawatan dan pelayanan preventif di
uskesmas dan Posyandu, seria program-pro.
{gram prevent Iain. Pada Intarlatar ini dapat
disaksikan Kontak Kebudayzan di antara Kedua
pihak yang didominasi oleh pihak pecuyas
kesehaian (dokter, perawat, dan potuges Isin)
Di depan para petugas ini, pihak kelompok
partisan bissanya memperlihatkan perilaku
tat sepemutinya, “dengar-dengaran’, dan
memberikan kesan adanya kesadaran batwa
apa yang disamptikan adalah bene dan hasus
diaksnakan, sekslipan dalam kenystaan, tidak
selalo dipenuhi. Hal ini terjadi Karena Kepasifan
pihak partisipan yang disertal ole Ketiéak
pahamannya teatang makna pesan-pesan
fmedis yang didengaraya. Kebutuban pasien
adalah “supaya dapat copat serbuh’ melalui
obat-obat yang diperolehaya, Pibak tenaga
medis biasanya hanya mengajukun beberapa
pertanyaan yang dianggap paling pening
ANTROPOLOGIINDONESIA 59, 1999
secara medis; selain melakukan pemeriksaan
fisik dan tes yang diperlukan. Memberikan
informasi sebanyak-banyaknya atau sebaik-
baiknya dianegap percuma, Karena hampir pest
tidak dapat éipaharni maknanys, atw tidal akan
dilaksanakan oleh pasien: apalsgt bila hal ini
menyangkut gagasan dan prakiek pencegahan
penyakit, Hal itu didasarkan pade anggapan
bbahvwa Kelompok pactisipan masih berads pada
tingkat musu pendidikan yang tendah, atau
rmasih berada pada kondisi niraksara,
Kesadaran para petugas medis akan
Kesulitan berkomunikasi ini tidak sclalu
dijadikan motivasi untak meneari meiode yang.
tepat untuk mengatasinya. Melihat kenyatean
ini, komunikasi yang sebenamnya pada latar-
latar tersebut delum berlangsung sesuai
dengan yang diharapkan. Faktor inilab, antara
lain, yang menycbabkan kelompok partisipan
belurm menunjukkan perubahan kognitif dan
perilaku yang berarti dalam hal mencepah dirt
‘meresa dari penyakit-penyakit yang pemah,
au berulangruleng, mercka idep,
‘Kenyatuan ini sojalan dengan masalch lain
yang bersumber dari asumsi birokratis yang
‘dipegang oleh petugas-potuges medis bahwa
pekerisan seyogianya dijalankan secara rutin,
anpe usaha ekstra dan inovasi dalam proses
omunikasi polayanan, Hal itu sejalan dengan
organisssi yang kepemimpinannya berpola
hirarkhi. Tanggung jawab organisasi sevara
keselurunan ada di tangan kepala, Selama
bawahan melaksanakan pekerjaan secara rusia
alum derojt kualias‘biasa-biasa”saja, mereka
tidak akan mengalami kesulitan dalam bal
kenaikan gaji atau pangkat, Dengan masih
beriahannya feodalisme, Kemudaban ini
Uiperkokob dengan petilaku teat atasan dan
perintai yang seringkali berlobihan, dan dapat
‘memperlihatkan perilaku seorang ‘penjilat’
Keberhasilan dalam pekerjaan dan kerajinan
‘membuat atasan senang hati. Namua, bal itu
Cidak secara eksplist dinilai sebagai kewajiban,
107an tidck pula dimbangi dengan imbalan for-
smal yang berani Keadzan sepert ini juga dapat
menjelaskan mengapa Komunikss) inovasi
heseliatn tidak berlangsung sesuai dengan
‘yang dibarapkan.
Gejala birokratisme yang dimaksud tidak
terpisabkan dari gejala profesionalisme yang
terlinat melalui perilaku para paramedik di
Aingkat bawah dari organisasi PRP. Peilaku ini
rmerupakan refleksi pula dari pola kirarkhi
birorkasi atasannya pada tingkat-tingkat
kabupaten, propinsi, dan pusat. Wajud dari
masalah profesionalisme dalam Kebidupan
schari-hari pada PKP adalah sikap yang sangat
rmengunggulkan teknologi peravatan biomedis
ketimbang perawatan medis tradisional dan
rumah tangga atau umum. Dalam praktek
pelayanan keschatan, sikap ini terwajud
sebagai pelarangan atau peneguran atas
praktek-praktck pengobatan tradisional, dan
Jepercayzan pribumi yang dipelhatkan pasien
Kepercayaan itu diangeap takhyul dan harus
‘itinggalkan oleh penduduk. Praktek dan
epercayaan inilah yang dianggap sebagai
penyebab utama dari kesulitan pensng:
gulzngan masalah Kesehatan penduduk, di
samping anggapan bahwa kesadaran dan
pengetahuan mereka tentang kebersitan
eschaian lingkungan hidup, dan kescim-
bangan giti masih sangat terbatas. Dalam
eayataanaya, sikap ini iéak efekiif dalam
pelaksanzan komunikast novasi, Karena tidak
Jarang pak parisipan merasa rndah dir atau