Professional Documents
Culture Documents
Superovulasi
Superovulasi
MAIDASWAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Bogor,
Mei 2007
Maidaswar
Nrp 651030021
ABSTRACT
MAIDASWAR. Efficiency of Superovulation in Cattle Throught Synchronization
of Follicular Wave and Ovulation. Under supervised by ARIEF BOEDIONO,
M. AGUS SETIADI.
Reproductive biotechnology in cattle especially embryo transfer technology
has been widely developed. In vivo embryo production from the donor improve
the genetic of cattle. Superovulation methods in cattle were designed to obtain the
huge number of embryos several. Experiments were carried out to observe the
effect of gonadotrophin injection period and GnRH treatments on superovulated
response rate and embryo recovery. Studies were devided into two experiments:
a). Injection of gonadotrophin (1000 IU FSH and 1000 IU LH) for 3, 4 and 5 days
(decreasing doses); b). Follicular wave synchronization (WaveSynch) was done by
injection of GnRH (86 g gonadorelin) at 2 days before FSH-LH injection; and
combination of follicular wave synchronization followed by ovulation
synchronization (Wave-OvSynch) by injection of GnRH at 2 days before FSH-LH
(WaveSynch) followed by GnRH at 48 hours after PGF2 injection (OvSynch).
The number of corpus luteum (CL) were examined by rectal palpation on
collecting embryo day. Results of the experiments indicated that FSH-LH
injection for 4 days FSH-LH treatment tended to be better than 3 and 5 days, with
the response rate were (60 % vs 40 % vs 60 %) respectively, average of CL per
donor were ( 5.90 vs 2.70 vs 4.20) respectively and the number of embryo-oocytes
recovery were (5.20 vs 2.50 vs 2.80) respectively. Superovulation response of
WaveSynch treatment tended to be greater than control: response rate were
(90 % vs 60 %) respectively, the average of CL were (17.22 vs 9.83) respectively,
the average of embryo-oocytes recovery were (18.22 vs 8.67) respectively and the
average of transferable embryo were (5.56 vs 4.67) respectively but statistically is
not significant different (P>0.05). Number of transferable embryo of the WaveOvSynch treatment tended to be greater than the WaveSynch treatment, however
the number of CL, embryo oosit were higher in the WaveSynch treatment. The
WaveSynch could be better to improve the response of superovulated cattle,
however of unfertilized oocytes was also increase. The Wave-OvSynch could
increase the response of superovulated cattle and decrease the number of
unfertilized oocytes. According to breed, the application of the Wave-OvSynch
treatment on beef cattle tended to be higher than dairy cattle in the superovulation
response. In conclusion, the Wave-OvSynch could improve the in vivo embryo
production and as choice for efficiency of the superovulation treatments.
Keys word : superovulation, follicular waves, ovulation, corpus luteum, embryo.
RINGKASAN
MAIDASWAR. Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui
Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan
M. AGUS SETIADI.
Bioteknologi reproduksi pada sapi khususnya embrio transfer sudah sangat
berkembang. Produksi embrio secara in vivo melalui superovulasi hewan donor
merupakan salah satu cara yang tepat dalam mempercepat pembentukan bibit
unggul. Ternak sapi memiliki potensi ratusan ribu oosit yang secara alami hanya
dapat menghasilkan anak sekitar 6-8 ekor sepanjang hidupnya. Potensi oosit yang
sangat banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan bioteknologi reproduksi antara
lain melalui superovulasi. Sampai saat ini, pelaksanaan superovulasi masih
dihadapkan kendala antara lain: respon donor yang bervariasi dan hasil perolehan
embrio belum maksimal, khususnya permasalahan tingkat kerusakan embrio
(degeneratif) dan jumlah oosit yang tidak terbuahi (unfertilized) masih tinggi.
Bertolak dari hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengkaji tingkat respon ovarium dan perolehan embrio sapi pada berbagai
metode superovulasi, agar didapatkan metode superovulasi yang tepat dan efisien.
Kajian superovulasi ini terdiri atas 2 penelitian yaitu a). Pengaruh
pemberian gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH dalam dosis menurun)
selama 3, 4 dan 5 hari yang dimulai pada hari ke-9 setelah estrus (Penelitian I),
b). Pengaruh sinkronisasi gelombang folikel (SGF) melalui pemberian GnRH
(86 g gonadorelin) 2 hari sebelum superovulasi dan kombinasi SGF dengan
sinkronisasi ovulasi (SGFO) melalui pemberian GnRH1 (86 g gonadorelin) pada
2 hari sebelum superovulasi dan GnRH2 (86 g gonadorelin) pada 48 jam setelah
pemberian PGF2 (Penelitian II). Hewan uji yang digunakan adalah sapi donor
perah (FH) non laktasi dan potong (Simmental dan Limousin).
Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah donor yang memberikan
respon dan tidak respon berdasarkan jumlah CL pada ovarium, yang dievaluasi
secara palpasi rektal dengan bantuan USG. Tingkat perolehan embrio diamati
berdasarkan jumlah perolehan embrio dan oosit serta jumlah embrio yang layak
dan tidak layak transfer, yang dikoleksi secara teknik non bedah menggunakan
kateter Foley. Klasifikasi embrio layak transfer meliputi embrio grade A, B, dan
C. Sedangkan yang termasuk embrio tidak layak transfer adalah embrio yang
mengalami kerusakan (degeneratif) dan oosit yang tidak terbuahi (unfertilized).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisa sidik ragam (Anova),
selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai tengah antar perlakuan dilakukan
uji Duncan. Untuk data nonparametrik seperti nilai respon dan tidak respon dari
donor digunakan uji Kruskal Wallis.
Hasil penelitian pemberian FSH-LH selama 4 hari (8 kali penyuntikan)
cenderung memberikan hasil lebih baik dibandingkan 3 dan 5 hari dengan
prosentase donor yang respon (60 % vs 40 % vs 60 %) dan rata-rata CL ( 5.90 vs
2.70 vs 4.20), embrio-oosit (5.20 vs 2.50 vs 2.80), walaupun secara statistik tidak
berbeda nyata (P>0.05). Hasil pada perlakuan 4 hari ini dapat disebabkan karena:
a) Pembagian dosis dalam proporsi yang optimal sesuai dengan waktu paruh FSH
dan LH, b). Durasi 4 hari merupakan waktu optimal yang memungkinkan bertemu
MAIDASWAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
Tanggal Lulus:
2007
Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr. Drh. Sjamsul Bahri, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia, rahmat
dan maghfirahNya sehingga tesis ini bisa selesai dengan baik. Shalawat dan
salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas suri
tauladannya. Penelitian yang dilaksanakan di Balai Embrio Ternak CipelangBogor ini berjudul Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Komisi Pembimbing: drh. Arief Boediono, Ph.D. sebagai ketua komisi dan
Dr. drh. M. Agus Setiadi sebagai anggota, yang telah banyak membimbing dan
mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.
2. Dr. drh. Tuty L.Yusuf, M.S., Dr. dra. R. Iis Arifiantini, MSi. yang senantiasa
memberikan dukungan dan semangat, juga Dr. drh. Iman Supriatna dan
drh. R. Kurnia Achyadi, MS. atas konsultasi dan curahan ilmunya.
3. Dr. Drh. Sjamsul Bahri, M.S. Direktur Perbibitan Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian selaku pimpinan penulis yang berkenan
menjadi penguji luar IPB demi kesempurnaan tesis dan pemanfaatannya.
4. Rekan-rekan
mahasiswa
yang
tergabung
dalam
Forum
Mahasiswa
7. Istri tercinta Fuji Mariati SP. dan anak-anak yang sangat menyejukkan hati
Fathiyya Nisatudz Dzikra, Fadlan Rizqon Tsany, Aziz Muhammad Zhafran,
Ahmad Zaid Al Fatih, yang menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi
penulis.
8. Ayahanda Syafiruddin dan Ibunda Sitti Aisyah yang konsisten menanamkan
embrio pencarian keesaan Allah SWT agar tetap istiqomah dijalanNya, atas
dukungan dan doanya yang tak pernah henti, semoga Allah SWT memberikan
balasan setimpal. Demikian juga ucapan terima kasih kepada Bapakanda
Muhamad Soleh dan Ibunda Markumi serta seluruh saudara-saudara
atas
Maidaswar
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasaman Sumatera Barat pada tanggal 19 Mei 1967
dari Ayah Syafiruddin dan Ibu Sitti Aisyah. Penulis merupakan putra ketujuh dari
sembilan bersaudara.
Pada tahun 1986 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk
Sikaping. Dengan izin Allah SWT pada tahun yang sama diterima pada Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan dan menyelesaikan Sarjana
Kedokteran Hewan pada tahun 1990, serta meraih gelar Dokter Hewan pada tahun
1991.
Setelah menggeluti dunia kajian lingkungan (AMDAL) dengan memperoleh
sertifikasi AMDAL A dan B, serta profesi dokter hewan pada perusahaan obatobatan, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil tahun 1994 pada
Departemen Pertanian, tepatnya di Balai Embrio Ternak Cipelang-Bogor,
institusi tempat penulis bekerja sampai sekarang.
Menikah pada tahun 1996 dengan Fuji Mariati, SP. dan dikaruniai empat
orang anak masing-masing Fathiyya Nisatudz Dzikra, Fadlan Rizqon Tsany, Aziz
Muhammad Zhafran dan Ahmad Zaid Al Fatih.
Pada bulan Maret sampai dengan September 1998, penulis berkesempatan
mengikuti kursus Feed Production and Utilization for Ruminant Animal di
Jepang atas biaya dari Japan International Corporation Agency (JICA). Pada saat
yang sama penulis memanfaatkan banyak kesempatan dan aktif mempelajari
teknologi embrio transfer di National Livestock Breeding Centre (NLBC)
Fukushima Jepang.
Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
sebagai pegawai tugas belajar yang mendapat beasiswa dari Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Departemen Pertanian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..
xv
xvi
PENDAHULUAN..
Latar Belakang ..
Kerangka Pemikiran...
Hipotesis ...
Tujuan Penelitian ..
11
12
13
14
17
17
Materi Penelitian....
17
17
19
xiv
22
25
26
28
30
30
34
34
39
42
46
Simpulan ........................
46
Saran ..
46
47
DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
19
20
20
22
24
27
30
35
Respon superovulasi sapi potong dan sapi perah non laktasi pada
kombinasi FSH-LH dengan Sinkronisasi Gelombang Folikel dan
Ovulasi (SGFO)
43
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
10
16
18
21
23
26
27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
sehingga sapi unggul dapat menghasilkan anak jauh lebih banyak semasa
hidupnya. Superovulasi adalah upaya stimulasi perkembangan folikel dan induksi
ovulasi ganda dengan penggunaan hormonal seperti gonadotropin.
Dalam pelaksanaannya sampai saat ini, proses produksi embrio melalui
superovulasi pada sapi donor, masih menghadapi beberapa kendala antara lain:
bervariasinya respon donor terhadap perlakuan superovulasi dan
perolehan
Pengenalan
korpus luteum, pola ovulasi ganda dan deteksi birahi. Proses pertumbuhan folikel
meliputi tahap rekrutmen folikel primordial, seleksi folikel dan terbentuk folikel
dominan (Johnson & Everit 1995). Dengan pemahanan hal diatas maka dapat
dilakukan aplikasi hormonal (GnRH dan atau gonadotropin) secara tepat untuk
tujuan superovulasi dan sinkronisasi ovulasi agar respon ovarium dan perolehan
embrio meningkat.
Pertumbuhan folikel pada sapi dapat terdiri dari 2 atau 3 gelombang
(follicular waves). Superovulasi akan efektif jika dilakukan pada awal
perkembangan folikel (saat muncul gelombang folikel) yang mempunyai
sensitifitas terhadap hormon gonadotropin (Lucy et al. 1992; Rocha 2005;
Sato et al. 2005). Pada saat tersebut, sejumlah folikel dapat tumbuh sampai
mencapai folikel dominan setelah distimulasi dengan hormon gonadotropin, dan
akan lebih efektif jika terlebih dahulu disertai dengan penghilangan (eliminasi)
folikel dominan.
sebuah folikel yang akan menjadi folikel dominan. Folikel dominan tersebut
menghasilkan inhibin yang mempunyai efek menekan pertumbuhan folikel-folikel
lain serta menghalangi kemunculan gelombang folikel. Dalam kegiatan
superovulasi, dimana dikehendaki lebih banyak folikel yang berkembang, maka
folikel dominan tersebut harus dieliminasi baik secara mekanis maupun hormonal,
untuk selanjutnya diikuti kemunculan gelombang folikel, yang merupakan saat
terbaik dimulai superovulasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal
(Rocha 2005).
Dalam kegiatan superovulasi, penggunaan hormon gonadotropin eksogen
berfungsi
untuk
meningkatkan
stimulasi
pertumbuhan
folikel.
Aplikasi
gonadotropin yang tepat baik lama waktu, dosis, jenisnya akan mempengaruhi
respon donor dan perolehan embrio. Waktu optimal aplikasi gonadotropin akan
memberikan hasil yang maksimal, efisiensi waktu, tenaga, biaya dan penggunaan
donor. Induksi gonadotropin menyebabkan sejumlah folikel akan berkembang
menjadi dominan dalam waktu yang hampir bersamaan. Semua folikel dominan
tersebut semestinya mengalami ovulasi dalam rentang waktu yang hampir
bersamaan.
Namun
pada
banyak
donor
ditemukan
kegagalan
ovulasi
rendahnya
kadar
progesteron,
maka
mekanisme
penghambatan
Hipotesis
Hipotesa terhadap hasil penelitian, adalah sebagai berikut :
1. Perbedaan lama aplikasi gonadotropin akan memberikan pengaruh terhadap
tingkat respon ovarium dan perolehan embrio.
2. Sinkronisasi gelombang folikel akan mempengaruhi respon ovarium dan
perolehan embrio pada perlakuan superovulasi.
3. Sinkronisasi
ovulasi
menyertai
sinkronisasi
gelombang
folikel
pada
TINJAUAN PUSTAKA
Lebih lanjut
perah dan potong, Fernandez et al. (2002) pada sapi perah induk dan dara.
Aplikasi kedua GnRH bertujuan untuk sinkronisasi ovulasi, diberikan 48 jam
setelah pemberian PGF2 atau 12 jam sebelum IB (Sato et al. 2005) atau saat
pelaksanaan IB (Ptaszynka 2002), yang akan meningkatkan
pelepasan LH
sebagai induktor ovulasi. Aplikasi GnRH untuk tujuan sinkronisasi ovulasi telah
banyak dilakukan antara lain oleh Barros et al. (2000) pada sapi potong,
Caravalho et al. (2002) pada kerbau, Dominiguez et al. (2000) pada sapi potong,
Irikura et al. (2002) pada kerbau. Penggunaan GnRH untuk sinkronisasi
gelombang folikel (diawali ovulasi folikel dominan) dan sinkronisasi ovulasi
sangat penting artinya dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak
(Rajamahendran 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa superovulasi pada saat ada
folikel dominan memberikan respon yang sangat bervariasi, bahkan tidak
menimbulkan respon.
Berbagai macam GnRH sintetik sering digunakan dalam penelitian.
Martinez et al. (2003) membuktikan bahwa penggunaan gonadorelin diacetate
tetrahydrate, gonadorelin hydrochloride dapat meningkatkan pelepasan LH untuk
menginduksi ovulasi folikel dominan dan segera terjadi gelombang folikel baru.
Peter (2005) menyatakan bahwa GnRH dapat digunakan untuk mencegah
kematian embrio, pengaturan program sinkronisasi perkembangan folikel, induksi
ovulasi pada anestrus setelah partus, dan penanggulangan sistik ovari. Lebih lanjut
dinyatakan GnRH efektif dalam meningkatkan angka kebuntingan, jika diberikan
pada saat inseminasi atau antara hari ke 11 dan 14 setelah inseminasi.
sampai 33.700 kDa pada ternak kambing dan kuda (Kaltenbach & Dunn 1980
dalam Yusuf 1990) dan 29.000 kDa pada babi.
Secara kimiawi FSH mempunyai dua sub unit, rantai dan rantai , yang
tidak identik dan tidak terdapat ikatan kovalen diantara keduanya. Rantai terdiri
dari 96 asam amino dan dua rantai karbohidrat, sedangkan rantai terdiri dari 119
asam amino dan satu rantai karbohidrat ( Kaltenbach & Dunn 1980 dalam Yusuf
1990).
progesteron akibat lisis korpus luteum oleh aplikasi hormon PGF2. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa mekanisme alami stimulasi aktivitas PGF2 endogen diawali
oleh sekresi oxytocin oleh korpus luteum dengan reseptor yang sudah terbentuk
pada dinding uterus.
pembuluh darah sampai mencapai reseptornya di sel luteal besar dari korpus
luteum. Mekanisme kerja dari PGF2 ada dua cara yaitu: melalui mekanisme
apoptosis dari sel luteal dan mekanisme aktivasi protein kinase (PKC) yang
menghambat konversi kolesterol menjadi progesteron.
Estrogen merupakan hormon steroid yang terdapat dalam cairan folikel.
Kegagalan ovulasi menimbulkan tingginya kadar estrogen dalam darah,
keberadaannya pada saat pertumbuhan embrio akan berefek menurunkan kualitas
embrio (Saito 1997).
Gelombang Perkembangan Folikel
Perkembangan folikel di dalam ovarium merupakan proses yang
berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi
sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai gelombang folikel (Bo et al.
1995: Senger 1999).
Menurut Ooe et
al. (1997) pada tipe dua gelombang, gelombang terjadi umumnya pada satu hari
setelah estrus ( D1) dan hari ke-10 (D10), sedangkan pada tipe 3 gelombang ,
gelombang terjadi pada hari ke-1(D1), hari ke-8 (D8) dan hari ke-15 (D15).
Sedangkan menurut Ginther et al. (1989) gelombang folikel terdeteksi pada hari
estrus (Do) dan hari ke-10 (D10) pada tipe dua gelombang dan pada hari estrus
(Do), hari ke-9 (D9), serta ke-16 (D16) pada tipe tiga gelombang. Lucy et al.
(1992) menyatakan bahwa dari semua awal gelombang folikel tersebut,
gelombang folikel kedua merupakan gelombang yang lebih sensitif terhadap
hormon gonadotropin (Gambar 1). Gelombang folikel ini sangat penting artinya
Progesteron
ovulation
ovulation
D
A
D
S
S
S
S
S
R
R A
R
R
Proestrus Estrus
18 20
Diestrus
10
10
S
S
S
S
R
R
S
R
A
A
S
A
R
RA
R R
Diestrus
10
B
0
A
A
R
R
R
R
R
Proestrus
15 16
Estrus
20
22
yang berdiameter lebih dari 8 mm (Sato et al. 2005). Keberadaan folikel dominan
menurunkan respon superovulasi karena inhibin dan estradiol yang dihasilkan
menghambat perkembangan folikel lain (subordinat) melalui mekanisme umpan
balik negatif terhadap FSH di hipofise anterior (Rajamahendran 2002). Juga
keberadaan sebuah folikel dominan tersebut menghalangi munculnya gelombang
folikel berikutnya (Adam et al. 1994).
Sinkronisasi Gelombang Folikel
Sinkronisasi gelombang folikel merupakan upaya penyerentakan terjadinya
awal gelombang gelombang folikel, yang dapat terjadi setelah penghilangan
folikel dominan baik secara hormonal maupun secara mekanis/aspirasi. Pada
prinsipnya merupakan penghilangan efek penekanan dari folikel dominan
sehingga dapat memunculkan gelombang folikel baru (Bo et al. 1995). Pemberian
GnRH atau aspirasi folikel 2 hari sebelum superovulasi terbukti dapat
meningkatkan respon ovulasi (Kohram et al. 1998).
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa penyuntikan 25 g GnRH pada hari ke-6 siklus estrus, (2.5
hari sebelum superovulasi) menghasilkan embrio layak transfer yang lebih tinggi
dibanding perlakuan 50 dan 100 g GnRH. Ablasi (penghilangan) folikel dominan
sebelum superovulasi terbukti dapat meningkatkan perolehan total embrio dan
embrio yang layak transfer pada sapi perah produksi susu tinggi (Amiridis et al.
2006). Bo et al. (1995) melakukan aspirasi semua folikel yang berdiameter lebih
atau sama dengan 5 mm, sebagai sebuah metode ablasi folikel untuk menginduksi
sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi. Hasilnya adalah sebuah
gelombang folikel baru muncul pada 1.5 hari kemudian, dan setelah pemberian
PGF2 terdeteksi ovulasi yang serentak.
Untuk tujuan
GnRH pada hari 14 atau 16 atau 18 siklus estrus, dari 27 ekor sapi perah dara ,
gelombang folikel terjadi atau tanpa keberadaan folikel dominan. Demikian juga
Setiadi et al. (2005) menyatakan bahwa aplikasi hormon gonadotropin pada saat
muncul gelombang folikel dapat meningkatkan respon superovulasi. Beragam
variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada sapi berkaitan
erat dengan beragamnya status perkembangan folikel
(Bo et al. 1995; Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon ovarium lebih
rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel
dominan karena adanya inhibin, sebaliknya respon lebih tinggi jika dilakukan saat
keberadaan sejumlah besar folikel-folikel kecil (Romero et al. 1991; Sato et al.
2005). Respon untuk ovulasi terhadap pemberian gonadotropin pada satu hari
sebelum atau pada hari munculnya gelombang folikel, lebih tinggi dari perlakuan
pada satu atau dua hari setelah munculnya gelombang folikel (Bo et al. 1995).
Colenbrander (2004) menyatakan bahwa secara umum periode superovulasi
pada sapi terdiri dari 2 periode perkembangan oosit sampai embrio. Pertama,
periode folikel yang berlangsung 5-6 hari, dimulai sejak pemberian gonadotropin
pada fase luteal sampai dengan ovulasi. Kedua, periode intraoviduk dan intra
uterin, berlangsung 6-7 hari, mulai saat fertilisasi, perkembangan embrio sampai
embrio siap dikoleksi.
Sebelum pelaksanaan superovulasi pada ternak donor, salah satu
pertimbangan
yang
utama
adalah
pengenalan
serentak agar dari sekian banyak oosit yang diovulasikan, kesemuanya dapat
terfertilisasi dalam waktu yang relatif bersamaan, sehingga dapat diperoleh
embrio dalam tahap perkembangan yang sama. Melalui sinkronisasi ovulasi,
perolehan embrio berkualitas baik/layak transfer kemungkinan meningkat, dan
embrio yang tidak layak transfer (degenerasi) serta oosit tidak terbuahi menurun
(Saito, 1995). Sinkronisasi ovulasi telah demikian berkembang, dengan berbagai
macam protokol dan metode yang dilakukan. Dejarnette dan Marshall (2003)
menyatakan bahwa sinkronisasi ovulasi pada sapi perah laktasi menggunakan
GnRH pada 48 jam setelah pemberian PGF2 atau 12 jam sebelum pelaksanaan
inseminasi terbukti meningkatkan konsepsi.
tanpa
Namun status
fungsional CL sulit dikenali secara palpasi rektal sebab ukuran CL tidak selalu
berkaitan dengan kemampuannya memproduksi progesteron.
Secara palpasi,
F
JO
CL
Materi Penelitian
Materi penelitian terdiri dari lima puluh (50) ekor sapi donor yaitu perah
non laktasi FH (Frissien Holstein) dan potong (Simmental dan Limousin) yang
berumur antara 3 sampai 7 tahun, telah pernah beranak, rata-rata telah 3 kali
dilakukan superovulasi dengan respon baik untuk produksi embrio, nilai BCS
3.04.0, kesehatan yang baik dan diberikan pakan yang sesuai standar donor,
dipelihara dalam kandang pada manajemen dan lingkungan yang sama.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap. Penelitian I bertujuan untuk
membandingkan pengaruh lama pemberian (3, 4 dan 5 hari) gonadotropin
terhadap respon ovarium dan jumlah perolehan embrio. Penelitian II untuk
melihat pengaruh sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan
sinkronisasi ovulasi (SGFO) terhadap respon ovarium dan jumlah perolehan
embrio. Pada penelitian II, lama waktu superovulasi yang dipakai adalah waktu
terbaik yang diperoleh dari penelitian I. Berikut ini diuraikan secara lengkap
masing-masing langkah penelitian yang meliputi alur proses superovulasi
(Gambar 3) disertai jenis perlakuan, rincian dosis gonadotropin, GnRH dan
prostaglandin yang digunakan (1 sampai 5), serta diagram
penelitian kegiatan (Gambar 4 dan 5).
masing-masing
PENYIAPAN DONOR
ESTRUS
PENGECEKAN
REPRODUKSI
SINKRONISASI
GELOMBANG FOLIKEL
INJEKSI
GONADOTRPOIN
PGF2
SINKRONISASI
OVULASI
INSEMINASI
PANEN EMBRIO
(FLUSHING)
Evaluasi
CL
= SOV konvensional
= SGF
= SGFO
EVALUASI
EMBRIO
Hari ke-
Perlakuan Superovulasi
12
estrus
pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
pagi 3.5 ml i.m. (175 iu FSH + 175 LH)
sore 3.5 ml i.m. (175 iu FSH + 175 LH)
pagi 2.5 ml i.m. (125 iu FSH + 125 LH)
sore 2.5 ml im(125 iu FSH + 125 LH) +25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2)
pagi, penyuntikan 25 mg dinoprost tromethamin (PGF2)
13
14
15
9
10
11
20/21
panen embrio
Tabel 2
Hari ke0
Perlakuan Superovulasi
13
14
estrus
pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)
pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)
pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)
sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2)
pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2)
sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)
IB (fakultatif, tergantung kepada estrus)
IB pagi dan sore
15
9
10
11
12
20/21
Tabel 3
panen embrio
Hari ke0
Perlakuan Superovulasi
13
estrus
pagi 3ml im (150 iu FSH + 150 LH)
sore 3ml im (150 iu FSH + 150 LH)
pagi 2.5ml im (125 iu FSH + 125 LH)
sore 2.5ml im (125 iu FSH + 125 LH)
pagi 2ml im (100 iu FSH + 100 LH)
sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2)
pagi 1.5 ml im (75 iu FSH + 75 LH) + 25 mg dinoprost
tromethamin (PGF2)
sore 1.5 ml im (75 iu FSH + 75 LH)
pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)
sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)
14
15
IB pagi
21
panen embrio
9
10
11
12
PENELITIAN I
PGF2 (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali
a. 3 Hari Gonadotropin
IB 3 x
9 10 11
12
13
14 15 16
17
18
Estrus
a. 4 Hari Gonadotropin
Panen
embrio,
evaluasi CL
IB 3x
9 10 11 12
13
14 15 16
17
18
19
20 21
Panen
embrio,
evaluasi CL
Estrus
PGF2 (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali
a. 5 Hari Gonadotropin
20 21
19
IB 3x
9 10 11 12 13 14 15
Estrus
16
17
18
19
20 21
Panen
embrio,
evaluasi CL
21
Penelitian II :
Perlakuan Superovulasi
estrus
13
14
15
9
10
11
12
20/21
pagi
sore
pagi
sore
pagi
sore
panen embrio
PENELITIAN II
IB 3x
9 10 11 12
13
14 15 16
17
18
19
20 21
Panen
Embrio,
evaluasi CL
Estrus
Estrus
Estrus
IB 3x
9 10 11 12 13 14 15
16
17
18
19
20 21
Panen
Embrio,
evaluasiCL
Gambar 5 Diagram penelitian sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO)
23
Lebih rinci adalah sebagai berikut: sepuluh (10) ekor sapi (perah-
potong) pada hari ke 7 setelah estrus diberi GnRH (86 g gonadorelin, Intervet
Inc.Millsboro, Holland). Pada hari ke 9 dilakukan superovulasi dengan
gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH, Laboratorios Callier, S.A., Spain)
dua kali sehari selama 4 hari dengan dosis menurun.
Pemberian PGF2,
inseminasi buatan, pemanenan embrio dilakukan sama seperti pada SGF. Tujuan
dari perlakuan ini adalah superovulasi yang dikombinasikan dengan sinkronisasi
gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi. Secara rinci waktu dan dosis aplikasi
gonadotropin FSH-LH adalah sebagai berikut :
Tabel 5 Protokol Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi serta Aplikasi
Gonadotropin (1000 IU FSH-1000 IU LH)
Hari ke0
7
Perlakuan Superovulasi
estrus
Penyuntikan GnRH (86 g gonadorelin)
14
15
9
10
11
12
13
20/21
pagi
sore
pagi
sore
pagi
sore
panen embrio
Cairan
masuk
Kateter
Foley
Cairan
keluar
Gambar 6 Teknik panen embrio metode non bedah menggunakan kateter Foley
Grade
Excellent
Good
Fair
Poor
Dg
Unfertilized
UF
Penjelasan
Morfologi embrio simetris sempurna, batas tepi jelas
dan mulus, blastomer kompak
Kerusakan blastomer kurang dari 10%
Tahapan perkembagan embrio sesuai dengan
umurnya
Morfologi embrio baik, blastomer kurang kompak
Kerusakan blastomer 10 - 20%
Terkadang bentuknya tidak simetris
Kerusakan blastomer 20 - 30%
Batas tepi yang tidak jelas, blastomer kurang kompak
Terbentuk vesicel-vesicel
Tingkat respon =
x 100 %
sapi donor yang disuperovulasi (ekor)
Recovery rate yaitu perbandingan jumlah embrio dan ovum yang terkoleksi
terhadap jumlah corpus luteum, dengan rumus :
Recovery rate
Jumlah embrio dan ovum yang terkoleksi yaitu jumlah embrio kualitas A, B,
C, Dg (degenerasi) dan Uf ( oosit tidak terbuahi ).
Jumlah corpus luteum yaitu jumlah corpus luteum yang terdapat pada ovarium
kiri dan kanan, berdasarkan penghitungan secara palpasi rektal dan USG.
Proporsi embrio layak transfer yaitu perbandingan jumlah embrio layak transfer
(A,B,C) terhadap jumlah embrio dan oosit yang terkoleksi (A,B,C,Dg,Uf), dengan
rumus :
Proporsi embrio
layak transfer
=
Proporsi embrio tidak layak transfer yaitu perbandingan jumlah embrio tidak
layak transfer (Dg, Uf) terhadap jumlah embrio dan oosit yang terkoleksi
(A,B,C,Dg,UF), dengan rumus :
Proporsi embrio
embrio tidak layak transfer (Dg, Uf)
tidak layak transfer = x 100 %
embrio dan oosit (A,B,C,Dg,Uf)
Untuk melihat pengaruh dari setiap perlakuan maka data yang diperoleh
dianalisis dengan sidik ragam/Analisa Varian (ANOVA) pola statistika rancangan
acak lengkap/RAL. Model matematika menurut Steel and Torrie sebagai berikut :
Yij = + Ai + ij
Yij
Ai
ij
Jika hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang berbeda maka dilakukan uji
lanjut dengan uji Duncans Multiple Range Test. Khusus untuk tingkat respon
juga digunakan uji Kruskal Wallis karena data yang bersifat non parametrik.
superovulasi
ini
dilakukan
dalam
dua
penelitian
yaitu
Donor
Corpus luteum
Respon (%)
Rataan
Rataan
3 hari
FSH-LH
10
4 (40)
27
2.704.35 a
25
2.504.22 a
4 hari
FSH-LH
10
6 (60)
59
5.906.45 a
52
5.206.29 a
5 hari
FSH-LH
10
6 (60)
42
4.203.94 a
28
2.803.08 a
Catatan : Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (P>0.05)
Penyebab lain adalah terdapat sebuah folikel dominan yang menghasilkan inhibin
dengan efek menekan perkembangan folikel subordinat sehingga perlakuan
tersebut kurang memberikan efek terhadap perkembangan folikel pada ovarium
(Adam et al. 1994; Sato et al. 2005).
Jumlah embrio yang ditemukan lebih sedikit dari jumlah CL yang ada, dapat
disebabkan oleh kehilangan embrio karena: a). jatuhnya embrio ke dalam rongga
perut bila cairan pembilas yang dimasukkan terlalu banyak, b). tertinggalnya
embrio di dalam uterus karena pembilasan yang kurang sempurna c). pada uterus
yang besar dan menggantung dapat menyebabkan penutupan oleh balon kateter
kurang sempurna sehingga cairan pembilas dapat merembes ke sisi lain (Yusuf
1990). Pada perlakuan selama 5 hari, terdapat beberapa donor yang menghasilkan
lendir bersama cairan pembilas, hal ini juga menyulitkan penemuan kembali
embrio. Produksi lendir dipengaruhi oleh hormon estrogen yang dihasilkan oleh
sebagian folikel yang belum terovulasi (Saito 1997).
Beragam variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada
sapi berkaitan erat dengan beragamnya status perkembangan folikel pada saat
perlakuan (Bo et al. 1995; Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon
ovarium lebih rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah
folikel dominan karena inhibin yang dihasilkan folikel dominan menekan
pertumbuhan folikel-folikel subordinat. Sebaliknya respon lebih tinggi jika
dilakukan saat keberadaan sejumlah besar folikel kecil/sub ordinat (pool follicles)
(Romero et al.1991) yang terjadi pada awal munculnya gelombang folikel.
Pemberian FSH-LH selama 4 hari menunjukkan hasil yang cenderung lebih
baik dari dua perlakuan lain, dengan rata-rata 5.90 CL per donor dan 5.20 embrio
per donor, meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Hasil yang diperoleh pada perlakuan selama 4 hari dapat disebabkan karena
pembagian dosis dalam proporsi yang optimal sesuai dengan waktu paruh FSH
dan LH (Anonimous 2002). Faktor lain adalah perlakuan selama 4 hari merupakan
waktu optimal yang memungkinkan bertemu awal gelombang folikel dengan
pengaruh gonadotropin untuk perkembangan folikel subordinat sampai folikel de
Graaf pada semua tipe gelombang folikel (Romero et al. 1991). Pada perlakuan
selama 5 hari, terjadi efek stimulasi yang lama terhadap ovarium, sehingga pada
penelitian ini ditemukan beberapa donor memiliki folikel de Graaf yang belum
terovulasi, disamping keberadaan CL pada saat panen embrio (hari ke-7)
(Gambar 2). Saito (1997) menyatakan bahwa estrogen merupakan hormon steroid
yang terdapat dalam cairan folikel, yang keberadaannya pada saat pertumbuhan
embrio akan berefek menurunkan kualitas embrio. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
kegagalan ovulasi menimbulkan tingginya kadar estrogen dalam darah. Faktor
lain yang juga dapat memberi pengaruh adalah proporsi FSH dan LH. Pemberian
LH harus sesuai dengan fungsi ovarium dan dalam perbandingan yang optimal
dengan FSH, kelebihan LH akan mengurangi respon ovarium. Pemberian LH
eksogen dapat menghambat fertilisasi karena stimulasi prematur terhadap
pematangan ovum sehingga sel telur yang dihasilkan infertil (Donaldson & Ward
1996), hal ini juga dapat terjadi pada perlakuan selama 5 hari.
Model superovulasi yang dilakukan pada penelitian I ini merupakan
superovulasi konvensional, dimana pendekatan superovulasi masih bersifat umum
yang hanya berpatokan pada keberadaan CL dalam fase luteal dan perkiraan
muncul
gelombang
folikel
sesuai
tipe
gelombang
folikel,
tanpa
berdasarkan
Demikian juga Sato et al. (2005) menyatakan bahwa superovulasi dapat dilakukan
antara hari ke-8 sampai hari ke-12 siklus birahi. Kelemahan dari superovulasi
konvensional adalah pemberian gonadotropin kurang efektif bila masih terdapat
folikel dominan dan waktu aplikasi yang tidak bertepatan dengan munculnya
gelombang folikel atau aplikasi terlambat karena telah memasuki tahap seleksi
folikel dominan berikutnya, sehingga hasil superovulasi tidak optimal (Rocha
2005).
Menurut Saito (1997) ada dua parameter utama yang dapat digunakan untuk
menganalisa dan menginterprestasikan hasil superovulasi yaitu tingkat respon
ovarium dan tingkat perolehan embrio. Respon ovarium dapat dilihat dari jumlah
donor yang ovariumnya terpengaruh oleh perlakuan dengan mengevaluasi
perkembangan ovarium berdasarkan jumlah korpus luteum yang terbentuk. Yusuf
(1990) menyatakan bahwa banyaknya CL yang berkembang di dalam ovarium
sesudah pemberian hormon gonadotropin memberi gambaran tentang keberhasilan
superovulasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa semakin banyak CL yang terbentuk,
maka semakin tinggi keberhasilan superovulasi.
Pemberian gonadotropin FSH-LH dengan dosis yang sama tetapi dengan
lama waktu aplikasi yang berbeda dapat menghasilkan respon donor yang berbeda
juga. Perbedaan respon berkaitan erat dengan status ovarium saat dimulainya
superovulasi, khususnya kehadiran folikel dominan yang menghasilkan inhibin
dan ketepatan saat munculnya awal gelombang folikel (Rocha, 2005).
Pada
Tabel 8 Respon superovulasi pada perlakuan kombinasi FSH-LH dengan sinkronisasi gelombang folikel (SGF) serta sinkronisasi
gelombang folikel-ovulasi (SGFO)
Perolehan embrio
Donor
Corpus luteum
Perlakuan
Embrio-oosit
Recovery
Rate
(%)
Rataan/
respon
Rataan Dg/
respon
Rataan Uf/
respon
Respon
(%)
Rataan/
respon
Rataan/
respon
Tanpa SGF
(kontrol)
10
6 (60) a
59
9.835.34 a
52
8.675.92 a
88.14
28
4.674.32 a
53.85
24
46.15
2.331.51 a
1.671.37 a
SGF
10
9 (90) a
155
17.228.63 a
164
18.2213.26a
105.81
50
5.568.76 a
30.49
114
69.51
2.673.12 a
10.008.19 b
SGFO
10
9 (90) a
118
13.116.35 a
93
10.338.62 a
78.81
54
6.006.08 a
58.06
39
41.94
1.782.68 a
2.562.70 a
Catatan: - Tanpa SGF yaitu perlakuan FSH-LH selama 4 hari; SGF = sinkronisasi gelombang folikel; SGFO = sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi
- Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (a-b, P>0.05).
35
pada 7 jam kemudian, hal ini selanjutnya menginisiasi pematangan akhir oosit dan
perkembangan folikel dominan menjadi folikel de Graaf serta terjadi ovulasi pada
32 jam setelah pemberian GnRH.
Lonjakan LH sebelum ovulasi merupakan kunci utama yang memegang
peranan penting dalam serangkaian proses biokimia untuk terjadinya ovulasi
(Senger 1999).
serangkaian perubahan yaitu a). peningkatan aliran darah ke ovarium dan folikel
dominan sehingga menimbulkan edema yang meningkatkan tekanan intra folikel;
b). peningkatan kadar PGF2 yang mengakibatkan dua hal yaitu peningkatan
kontraksi otot polos ovarium sehingga tekanan intrafolikel bertambah; dan
pelepasan enzim lisosim untuk melemahkan dinding folikel; c). dimulai produksi
progesteron oleh teka interna folikel dominan yang memicu terbentuknya enzim
kolagenase untuk mengurai kolagen sebagai unsur utama jaringan dinding folikel.
Sinergisme kerja dari semua rangkaian perubahan tersebut menyebabkan ruptura
(robek) dinding folikel dan terjadi ovulasi.
Beberapa hari setelah ovulasi folikel dominan akibat aplikasi GnRH,
muncul gelombang folikel baru (Pursley et al. 1995; Bo et al. 1995; Sato et al.
2005). Mekanisme munculnya folikel-folikel primordial pada gelombang folikel
sangat sedikit diketahui (Rocha 2005) namun tidak tergantung pada pengaruh
FSH dan LH (Webb et al. 2003) malahan perkembangan folikel primordial
tergantung pada beberapa faktor pertumbuhan (growth factors) yang dihasilkan
secara lokal dan sistemik, seperti IGF-I (insulin-like growth factors), EGF
(epidermal growth factor). Setelah folikel primordial muncul pada gelombang
folikel dan sebelum tahap seleksi folikel dominan terjadi, semua folikel telah
mempunyai reseptor FSH sehingga FSH yang diaplikasikan mulai bekerja
menstimulasi perkembangan folikel.
Metode penyerentakan munculnya gelombang folikel dengan cara
pemberian GnRH pada hari ke-7, seperti yang terlihat pada perlakuan SGF
mampu menstimulasi perkembangan banyak folikel yang ditunjukkan dengan
jumlah rata-rata CL (17.22) dan embrio-oosit (18.22) serta embrio layak transfer
(5.56) yang cenderung lebih tinggi dibanding kontrol, walaupun secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Tabel 8). Hasil SGF ini juga lebih
tinggi dari hasil yang diperoleh Amiridis et al. (2006) menggunakan metode
ablasi (penghilangan) folikel dominan dengan aspirasi, diperoleh 6.57 embriooosit dan 4.43 embrio yang layak transfer pada sapi perah produksi susu tinggi.
Rata-rata jumlah corpus luteum yang diperoleh pada perlakuan SGF, lebih tinggi
dari hasil yang diperoleh Bo et al. (1995) pada sinkronisasi gelombang folikel
dengan metode aspirasi folikel, yaitu rata-rata 17.2 CL. Jumlah perolehan embrio
cukup tinggi pada SGF ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian GnRH
sebelum superovulasi telah berhasil menginduksi munculnya gelombang folikel
baru setelah penghilangan folikel dominan.
menurun (Rocha 2005). Hal ini disebabkan oleh: a). karena tidak serentak
terjadinya ovulasi, yang berakibat sebagian oosit tidak terbuahi oleh spermatozoa
(Bo et al. 1995); b). fertilisasi yang tidak serentak menghasilkan embrio dengan
beragam fase perkembangan, dimana hal ini berpotensi menyebabkan degenerasi
embrio (kematian embrio dini); c). lingkungan (nutrisi, hormonal) uterus tidak
mampu menopang perkembangan banyak embrio (Saito 1997).
Tingkat perolehan embrio (recovery rate) pada perlakuan SGF juga lebih
tinggi dari kontrol (105.81 vs 88.14). Adanya nilai prosentase tingkat perolehan
embrio melebihi seratus persen secara teknis bisa terjadi, namun secara fisiologis
jumlah embrio sama atau lebih rendah dari dengan jumlah CL. Fenomena ini
secara teknis dapat disebabkan oleh kesulitan penghitungan CL secara tepat pada
kejadian respon yang sangat tinggi, atau kemungkinan terjadi penggabungan dua
CL menjadi satu dengan batasan yang kurang jelas karena situs ovulasi yang
berdekatan (Jemmeson 2006).
Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dengan pemberian GnRH pada hari
ke-7 pada penelitian ini didasarkan pada penyempurnaan teori dasar superovulasi
konvensional dan prosedur yang dilakukan Bo et al. (1995) bahwa superovulasi
dapat dilakukan antara hari ke-8 sampai 12 siklus estrus atau 2.5 hari setelah
pemberian GnRH (Sato et al. 2005); mulai hari ke-9 atau 10 (Dielleman & Bevers
1993). Juga atas dasar pertimbangan bahwa pada hari keenam siklus estrus, pada
tipe 2 dan 3 gelombang folikel, hampir selalu mempunyai sebuah
dominan yang berdiameter lebih dari 8 mm (Sato et al. 2005).
folikel
Dengan demikian
Perbedaan prosedur
diantara kedua perlakuan ini adalah pada rekayasa proses ovulasi, dimana pada
SGF tidak diikuti dengan perlakuan sinkronisasi ovulasi sehingga didapatkan
tingkat perolehan oosit yang tidak terfertilisasi (Uf) cukup tinggi. Sementara pada
perlakuan SGFO disertai dengan sinkronisasi ovulasi sehingga jumlah embrio
tidak layak transfer (embrio yang mengalami degenerasi dan oosit yang
terfertilisasi) sedikit, sebaliknya jumlah embrio layak transfer meningkat.
Sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) menghasilkan rata-rata
CL (13.11) dan embrio-oosit terkoleksi (10.33) serta tingkat perolehan embrio
(78.81 %). Perolehan embrio layak transfer SGFO cenderung lebih tinggi dari
SGF, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(Tabel 8). Rata-rata CL dan perolehan embrio-oosit SGFO lebih rendah dari SGF
dapat disebabkan karena adanya variasi individu donor karena setiap donor tidak
menghasilkan oosit dengan jumlah yang sama, disebabkan variasi jumlah folikel
pada saat perlakuan. Demikian juga keterbatasan jumlah donor (ulangan) yang
digunakan mempengaruhi data yang diperoleh.
perlakuan tersebut telah menunjukkan hasil yang lebih baik dalam perolehan
embrio jika dibandingkan dengan kontrol (perlakuan 4 hari pemberian FSH-LH).
Perlakuan SGFO cenderung menghasilkan perolehan embrio layak transfer
yang lebih tinggi dari perlakuan SGF (6.00 vs 5.56), walaupun total embrio dan
oositnya lebih rendah (10.33 vs 18.22). Demikian juga dengan prosentase embrio
layak transfer yang diperoleh pada perlakuan SGFO lebih tinggi dibanding SGF
(58.06 % vs 30.49 %). Dalam proporsi embrio layak transfer dengan tidak layak
transfer, hasil yang diperoleh pada SGFO bertolak belakang dengan hasil pada
SGF, dimana pada SGFO prosentase embrio layak transfer lebih tinggi dari yang
tidak layak transfer (58.06 vs 41.94), hal inilah yang menjadi tujuan dari
penerapan metode SGFO pada superovulasi. Prosentase embrio layak transfer
yang diperoleh pada perlakuan SGFO ini lebih baik dari hasil sinkronisasi
gelombang folikel dan ovulasi yang dilakukan Bo et al. (1995) menggunakan
implan Progesteron plus Estradiol-17, yang memperoleh prosentase embrio
layak transfer yaitu 50%. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya ovulasi yang
serentak, setelah pemberian GnRH, sehingga pembuahan sejumlah besar oosit
oleh spermatozoa terjadi, yang menghasilkan embrio dalam fase perkembangan
yang relatif sama, sebagaimana yang dinyatakan Whittier dan Geary (2007)
bahwa pemberian GnRH menginduksi lonjakan LH dan ovulasi terjadi 30 jam
kemudian secara serentak pada donor sehingga diperoleh embrio layak transfer
meningkat. Demikian juga Bo et al. (2006) menyatakan bahwa pemberian GnRH
setelah gonadotropin pada superovulasi dapat menghasilkan ovulasi serentak,
kepastian IB yang tepat tanpa menurunkan jumlah perolehan embrio yang
berkualitas. Hafez dan Hafez (2000) menyatakan bahwa variasi tahap
perkembangan embrio dalam satu lingkungan yang sama dapat mempengaruhi
daya hidup embrio. Lebih lanjut dinyatakan embrio yang mati (degenerated) atau
oosit yang tidak terbuahi (unfertilized) dapat menyebabkan penurunan kualitas
embrio lain.
kegagalan
yang
ditandai
dengan
munculnya
gelombang
folikel
baru
efektif yaitu tepat pada saat munculnya gelombang folikel baru, sehingga dapat
menghasilkan respon serta perolehan embrio yang lebih tinggi.
Teknik
Sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) pada sapi potong dan
perah non laktasi.
Perlakuan SGFO pada bangsa sapi terlihat bahwa sapi potong menunjukkan
hasil cenderung lebih baik dari sapi perah non laktasi (Tabel 9). Semua sapi
potong (100 %) memberikan respon terhadap perlakuan, sedangkan sapi perah
non laktasi hanya 4 ekor yang memberikan respon dari 5 ekor yang diperlakukan
(80 %). Tingkat respon pada sapi perah ini lebih rendah dari hasil yang diperoleh
Yusuf (1990) pada sapi perah dengan menggunakan FSH atau PMSG kombinasi
dengan HCG (82.5 %). Perbedaan respon antara sapi potong dan perah dapat
disebabkan faktor herediter yang secara fisologis mempengaruhi penampilan
reproduksi karena dipengaruhi banyak gen (Mapletof & Pierson 1993).
Disamping itu juga dapat disebabkan perbedaan jenis gonadotropin digunakan,
yang mana pada penelitian ini digunakan gonadotropin dengan kadar FSH dan LH
sama besar masing-masing 1000 IU dan hal ini secara teori kurang ideal. Padahal
pemberian LH harus sesuai dengan fungsi ovarium dan dalam perbandingan yang
Tabel 9 Respon superovulasi sapi perah dan potong pada kombinasi FSH-LH dengan sinkronisasi gelombang folikel dan
ovulasi (SGFO)
Perolehan embrio
Donor
Corpus luteum
Embrio layak transfer
(A,B,C)
Embrio-oosit
Perlakuan
Recovery
Rate (%)
Respon
(%)
Rataan/respon
Rataan/respon
Perah
4 (80) a
45
11.256.65 a
32
8.007.39 a
Potong
5 (100) a
73
14.606.43 a
61
12.209.88 a
Rataan/respon
Rataan /
respon
71.11
17
4.255.68 a
53.12
15
3.752.88 a
46.88
83.56
37
7.406.66 a
60.66
24
4.803.06 a
39.34
Catatan: Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (a-b, P>0.05)
43
Secara ekonomis dengan menambahkan sedikit input produksi pada SGFO, dapat
meningkatkan perolehan embrio lebih banyak.
Simpulan
1. Pemberian gonadotropin selama 4 hari yang dimulai pada hari ke-9 cenderung
lebih efektif dari pemberian selama 3 dan 5 hari.
2. Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dengan pemberian GnRH sebelum
superovulasi terbukti dapat meningkatkan respon ovarium dan perolehan
embrio.
3. Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) yang diikuti sinkronisasi ovulasi
(SGFO) dengan pemberian GnRH sebelum dan setelah superovulasi terbukti
disamping dapat meningkatkan respon ovarium dan perolehan embrio juga
dapat meningkatkan prosentase embrio layak transfer.
4. Perlakuan SGFO pada sapi potong menunjukkan hasil yang cenderung lebih
baik daripada sapi perah non laktasi.
Saran
1. Penyuntikan gonadotropin sebaiknya dilakukan pada saat munculnya
gelombang folikel, karena itu siklus ovarium donor penting diketahui dengan
tepat menggunakan USG.
2. Perlu penelitian tentang profil hormon estrogen, progesteron, FSH dan LH
sejalan dengan proses superovulasi.
3. Perlu penelitian yang serupa pada donor yang masih muda dan baru pertama
kali dilakukan superovulasi, mengunakan jenis gonadotropin dengan
kandungan FSH-LH optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adam GP, Evans ACO, Rawling NC. 1994. Follicular Wave and Circulating
Gonadotropins in 8-month-old Prepubertal Heifer. J Reprod Fertil
1994:100: 27-33.
Amiridis GS, Tsiligianni T, Vainas E. 2006. Folicle Ablation Improves the
Ovarian Response and The Number of Collected Embryos in
Superovulated Cows during the Early Stages Lactation. Reprod Dom
Anim 5: 402-407.
[Anonim]. 2002. Aplication of Swine Pituitary Gonadotropin for Superovulation
in Bovines. Laboratorios Calier, SA. Spain.
Barros CM, Morreira MBP, Fiquiredo RA. 2000. Synchronization of Ovulationin
Beef Cows (Bos indicus) using GnRH, PGF2 and Estradiol Benzoat.
Theriogenology 53 (5):1121-1134.
Bergfelt DR, Bo GA, Mapletoft RJ, Adams GP. 1997. Superovulatory Response
Following Ablation Induced Follicular Wave Emergence at Random
Stages of the Estrus Cycle in Cattle. Anim Reprod Sci 49: 1 12.
Bo GA, Adams GP, Pierson RA, Mapletoft RJ. 1995. Exogenous Control of
Follicular Wave Emergence in Cattle. Theriogenology 4: 31-40.
Bo GA, Baruselli PS, Chesta PM, Martin CM. 2006. The timing of Ovulation and
Insemination Schedules in Superstimulated Cattle. Theriogenology 65 (1):
89-101.
Caravalho NAT, Baruselli PS, Zircareli L Madureira EH. 2002. Control of
Ovulation with GnRH agonist after Superstimulation of Follicular Growth
in Bufallo Fertilazation and Embryo Recovery. Theriogenology
58(9):1641-1650.
Colenbrander B. 2004. Assisted Reproduction in the Female Animal ProductionConservation. Utrecht University.
Dejarnette JM, Marshall CE. 2003. Effect of pre Synchronization using
Combinations PGF2 and GnRH on Pregnancy rates of Ovsvsynch and
Cosynch treated Lactating Holstein Cows. Anim Reprod Sci 77(2003):
51-60.
Dielleman SJ, Bevers MM. 1993. Folliculogenesis and Oocyte Maturation in
Superovulated Cattle. Mol Reprod Dev 36: 271-273.
Dominiguez GA, Lares S, Formia N. 2002. Resynchronization of Ovulation and
Timed Insemination in Beef Catlle. Theriogenology 57(1):374-380.
Martinez MF, Adams GP, Kastelic JP. 2000. Induction of Follicular Wave
Emergence for Estrus Synchronization and Artificial Insemination in
Heifers. Theriogenology 54(5):757-770.
Martinez MF, Adams GP, Kastelic JP, Carruthers T. 2003. The effect of 3
Gonadorelin Products on Luteinizing Hormone Release, Ovulation, and
Follicular Wave Emergence in Cattle. Canad Vet 44(2):125-131.
Moghaddam AA, Naslaji AN, Bolourchi M. 2002. Synchronizationof Follicular
Waves Emergence Using either GnRH or Steroid in Cattle.
Theriogenology 57(1):615-621.
Ooe M., Rajamahendran R, Boediono A, Suzuki T. 1997. Ultrasound Guided
Follicle Aspiration and IVF in Dairy Cows Treated with FSH after
Removal of Estrous cycle. Vet Med Sci 59 5):371-376 .
Peter AR. 2005. Veterinary Clinical Application of GnRH- Questions of
Efficacy. Anim Reprod Sci 88(1):155-167.
Ptaszynka M. 2002. Compendium of Animal Reproduction. 7 th Ed. Intervet
International Co. France.
Pursley JR, Mee MO, Wiltbank MC. 1995. Synchronization of Ovulation in
Dairy Cows using PGF2 and GnRH. Theriogenology 44:915-923.
Putro PP. 1996. Superovulation Techniques for Embryo Transfer in the Cow.
Makalah pada Workshop on Bovine Transfer Embryo, UGM, Yogyakarta.
Rajamahendran R. 2002. Advanced Technology in Molecular Biology and
Biotechnology of Farm animals. Faculty of Agriculture The University of
British Columbia, Vancouver, Canada.
Rocha EHR. 2005. Analysis of Record of Embryo Production in Red Brahman
Cows. Thesis. Texas A&M University.
Romero A, Albert J, Brink Z, Seidel GE. 1991. Number of Small Follicles in
Ovaries Affect Superovulation Response in Cattle. Theriogenology
35:265.
Saito S. 1997. Manual on Embryo Transfer of Cattle. National Livestock
Embryo Centre (BET Cipelang)-DGLS and Japan International
Cooperation Agency (JICA).
Saito S. 1997. Personal Communication
Sato et al. 2005. The Effect of Pretreatment with Different Doses of GnRH to
Synchronize Follicular Wave on Superstimulation of Follicular Growth in
Dairy Cattle. J Reprod and Dev 51(5):573-578.
Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Concept Inc.
Washington, USA.
Setiadi MA, Supriatna I, Boediono A. 2005. Follicle Development after
Gonadotrophin Treatment in Garut sheep for Laparoscopic Ovum pick up.
J Agric Rur Dev in the tropics and subtropics 83: 153-158.
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa
Bandung Indonesia.
Twaqiramungu H, Guilbault LA, Proulx JG. 1995. Influences of Corpus Luteum
and Induced Ovulation on Ovarian Follicular Dynamics in post partum
Ciclic Cows Treated Buserelin and Cloprostenal. J Anim Sci 72:17961805
Twaqiramungu H, Guilbault LA, Dufour JJ. 2002. Synchronization of Ovarian
Follicular Waves with a Gonadotropin-Releasing Hormone Agonist to
Increase the Precision of Estrus in Cattle : a review. J Anim Sci 73:31413151.
Ulker H, Gant BT, de Avila DM, Reeves JJ. 2001. LHRH Antagonist Decreases
LH and Progesterone Secretion but does not alter Length of Estroes Cycle
in Heifers. J Anim Sci 79: 2902-2907.
Webb R, Garnsworthy PC, Gong JG, Amstrong DG. 2003. Control of Follicular
Growth: Local Interactions and Nutritional Influences. J Anim Sci 81: 4
(abstract).
Whittier JC, Geary TW. 2007. Frequently Asked Questions About Synchronizing
Estrus and Ovulation in Beef Cattle with GnRH.
http://www.iowabeefcenter.org/Publications/FAQWhittier.pdf
[26 Pebruari 2007].
Yusuf