You are on page 1of 13

Prosiding Seminar Nasional

Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik


Semarang, 24 November 2016

EVALUASI KERAGAAN AGRONOMI LIMA BELAS VARIETAS PADI


DI LAHAN KERING SUB OPTIMAL KABUPATEN PACITAN

Sudarmadi Purnomo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km 4, PO Box 188, Malang 65015
e-mail : segenggam68@gmail.com
ABSTRACT
In the regime of wetland function over speeding, especially in Java, the
development of an increasingly important upland rice. Dry land for the development of
upland rice is still very low, while potential if the terms of the greater extent than the
wetland. Research in order to obtain varieties of dry land that has good performance of
agronomy, has been done in Pacitan in October 2015 and March 2016. The study was a
randomized block design with 15 upland rice varieties grown in planting six locations and
three replications. Parameters measured include age maturity, number of productive tiller,
the dry weight of crop straw, dried grain yield crops (GKP), number of grains per panicle,
weight of 1000 grains and attack blast disease (Pyricularia oryzae Cav.). The results
showed that the agronomic performance of different between the varieties, but did not
differ between the sites except planting and harvesting blast attack. The highest grain
yield harvested dry shown by Inpago 8 IPB (6.95 t/ha), did not differ significantly with
Merah Wangi (6.88 t/ha), Inpago 9 (6.21 t/ha), Inpago 10 (6.19 t/ha) but clearly different
to other varieties. Inpago 8 IPB also displays the highest hay harvest weight (19.6 t/ha)
were clearly different to other varieties. Harvesting "ultra" early maturing (75-85 days
after planting the seed) is shown by the variety Gajah Mungkur, while the super-early
maturing crop age (> 85-95 HST) shown by Segreng GK, Segreng TG, Sempol, Merah
Wangi, Taiwan, Srijaya and Super Manggis. The other varieties include early maturity,
medium and age within. The location of planting affects the time of harvest, where the
higher the location of planting, harvesting deepened. High yields supported by a number
of productive tillers and number of grains pithy more than others. Field observations
indicate Srijaya, Taiwan, and the Merah Wangi very sensitive to blast disease, but instead
Gajah Mungkur, Galunggung and Situ Gintung relatively more resistant, while the
resistance of other varieties included in the class is quite sensitive. From the description,
the appropriate planting time, varieties Gajah Mungkur can be an alternative to increasing
the harvest index in the region of sub-optimal dry land. Meanwhile Inpago 8 IPB could
double, despite high grain yield, followed by harvest hay high, making this variety as a
straw contributor good fodder.
Keywords: rice, dry land, sub-optimal, early maturing, harvesting hay, grain harvest

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

ABSTRAK
Pada rezim alih fungsi lahan sawah yang melaju cepat, khususnya di Jawa
menjadikan pengembangan padi lahan kering makin penting. Pemanfaatan lahan kering
untuk pengembangan padi lahan kering masih sangat rendah, sedangkan potensinya jika
ditinjau dari segi luasan lebih besar daripada lahan sawah. Penelitian dengan tujuan
untuk memperoleh varietas lahan kering yang mempunyai keragaan agronomi yang baik,
telah dilakukan di Kabupaten Pacitan pada Oktober 2015-Maret 2016. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok dengan 15 varietas padi lahan kering yang
ditanam di enam lokasi tanam dan tiga ulangan. Peubah yang diukur terdiri dari umur
panen, jumlah anakan produktif, bobot kering panen jerami, hasil gabah kering panen
(GKP), jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah dan serangan penyakit blas
(Pyricularia oryzae Cav.) di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaan
agronomi berbeda-beda antar varietas, tetapi tidak berbeda antar lokasi tanam kecuali
umur panen dan serangan blas. Hasil gabah kering panen tertinggi ditampilkan oleh
Inpago 8 IPB (6,95 t/ha), tidak nyata berbeda dengan Merah Wangi (6,88 t/ha), Inpago 9
(6,21 t/ha), Inpago 10 (6,19 t/ha) tetapi nyata berbeda dengan varietas lainnya. Inpago 8
IPB juga menampilkan bobot panen jerami tertinggi (17,6 t/ha) yang nyata berbeda
dengan varietas yang lainnya. Umur panen ultra genjah (75-85 HST biji) ditampilkan
oleh varietas Gajah Mungkur, sedangkan umur panen super genjah (>85-95 HST)
ditampilkan oleh Segreng GK, Segreng TG, Sempol, Merah Wangi, Taiwan, Srijaya dan
Super Manggis. Umur varietas lainnya termasuk genjah, sedang dan umur dalam. Lokasi
tanam mempengaruhi umur panen, dimana makin tinggi lokasi tanam, umur panen makin
dalam. Hasil panen yang tinggi ditopang oleh jumlah anakan produktif dan jumlah gabah
bernas yang lebih banyak daripada yang lain. Pengamatan lapang menunjukkan Srijaya,
Taiwan, dan Merah Wangi sangat peka terhadap penyakit blas, tetapi sebaliknya Gajah
Mungkur, Galunggung dan Situ Gintung relatif lebih tahan, sedangkan ketahanan varietas
lainnya termasuk dalam kelas cukup peka. Dari uraian tersebut, dengan waktu tanam
yang tepat, varietas Gajah Mungkur dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan indek
panen di wilayah lahan kering sub optimal. Sementara itu Inpago 8 IPB dapat berfungsi
ganda, disamping hasil panen gabah yang tinggi, diikuti oleh panen jerami yang tinggi,
menjadikan varietas ini sebagai penyumbang jerami pakan ternak yang baik.
Kata kunci: padi, lahan kering, sub-optimal, genjah, panen jerami, panen gabah

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

PENDAHULUAN
Makanan pokok masyarakat Indonesia berupa beras menggantungkan produksinya
pada area lahan sawah yang luasnya semakin menyempit. Sementara itu lahan kering,
yang karena luasannya, mempunyai potensi sebagai alternatif untuk substitusi dalam
meningkatkan produksi pangan, khususnya beras. Saat ini ekstensifikasi lahan untuk
tanaman pangan mengalami kendala karena terbatasnya lahan produktif. Oleh
karenanya, perluasan ke lahan sub-optimal menjadi pilihan, salah satunya adalah
lahan kering. Potensi luasan lahan kering sangat luas yaitu sekitar 148 juta ha atau
78% dari luas daratan Indonesia (Sumarno dan Hidayat, 2007), 75,47 juta ha
diantaranya sesuai untuk pengembangan pertanian. Kebergantungan swasembada beras
kepada lahan sawah irigasi berada pada situasi kritis mengingat luas lahan yang sesuai bagi
persawahan ba' terbatas, dan biaya pembangunan sistem irigasi baru dan pencetakan sawah
baru sangat mahal. Menghadapi situasi seperti diuraikan di atas, tidak ada jalan lain kecuali
meningkatkan produktivitas dan produksi padi gogo untuk mencapai swasembada beras melalui
pendayagunaan lahan kering yang berkelanjutan (Kasyrino et al., 2009).
Luas panen padi gogo nasional mencapai 1,2 juta ha (sekitar 10% dari luas panen
padi nasional), tetapi sumbangannya terhadap hasil padi nasional hanya sekitar 5%
dengan tingkat produktivitas 2,56 t/ha atau sekitar 50% dari produktivitas sawah irigasi
(BPS 2005). Potensi lahan kering yang layak untuk pertanaman padi gogo ada sekitar 5,1
juta ha belum termasuk pengembangan padi gogo sebagai tanaman tumpangsari hutan
tanaman industri (HTI) dan tanaman perkebunan muda yang diduga lebih dari 2,0 juta ha
(Toha dan Darajat, 2008). Berdasarkan data tersebut, pengembangan lahan kering
mempunyai peluang besar untuk mendukung penyediaan beras nasional, baik melalui
peningkatan hasil per satuan luas maupun melalui penambahan luas areal tanam (Fagi et
al. 1996).
Jawa Timur memiliki luas baku lahan kering sekitar 1,35 juta ha, dan sekitar
333.500 ha diantaranya merupakan lahan kering kelas satu (Dinas Pertanian Propinsi
Jawa Timur, 2013). Dari total luasan tersebut, kabupaten Pacitan memiliki 103,315 ha
lahan kering yang ditopang oleh kondisi lahan sub-optimal, dengan jenis tanam miskin
hara, antara lain renzhina, kolovial atau podsolik (Purnomo et al., 2015). Dalam upaya
optimalisasi penggunaan lahan kering, dicapai melalui peningkatan produktivitas yang
masih rendah, yaitu 3,7 ton/ha, padahal kapasitas produksi yang sebenarnya dapat
mencapai hingga 7,9 ton/ha.
Kendala utama usahatani padi gogo di lahan kering, di samping kesuburan tanah
rendah adalah penyakit blas yang disebabkan oleh infeksi cendawan (Pyricularia oryzae
Cav.) terutama blas patah leher sering menggagalkan panen. Cendawan ini cepat
memben-tuk ras baru yang lebih virulen, sehingga mampu mematahkan ketahanan
varietas padi unggul baru tersebut terhadap penyakit blas (Kustianto et al. 1993).
Perubahan ras baru yang lebih virulen dapat menyebabkan varietas-varietas unggul tahan
blas yang baru dilepas, setelah ditanam secara luas selama dua-tiga musim tanam
menjadi rentan blas. Curah hujan yang tidak menentu menyebabkan tanaman sering
kekeringan. Saat ini masih banyak petani yang menanam padi varietas lokal dengan
keragaman genetik tinggi tetapi daya hasilnya rendah. Pada daerah endemik penyakit
blas, biasanya petani hampir tidak pemah gagal panen oleh penyakit blas karena dapat
diatasi dengan peningkatan keragaman genetik, yaitu menanam varietas campuran tahan
blas pada suatu sistem usahatani padi gogo di ekosistem lahan kering (Toha, 2008).
Upaya pemberdayaan lahan kering dapat melalui budidaya padi gogo, tetapi
upaya ini menghadapi kendala antara lain: 1) produktivitas padi gogo yang hingga saat
masih rendah; 2) mutu gabah dan beras kurang menarik; 3) seringkali tekstur nasi pera,
mengakibatkan padi gogo tidak disukai oleh petani dan konsumen sehingga nilai ekonomi
rendah; 4) kurang tahan terhadap komplek penyakit, terutama blas; 4) varietas yang

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

tersedia saat ini masih bersifat ampibi dan belum super genjah; 5) daya adaptasi varietas
di lahan kering tidak luas.
Untuk itu dilakukan evaluasi varietas Pemuliaan padi gogo ditujukan untuk
mendapatkan genotipe unggul yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama serta
penyakit tanaman.

METODOLOGI
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan perlakuan 15
varietas padi lahan kering dan tiga ulangan di lima lokasi tanam. Diskripsi antar lokasi
tanam dibedakan ketinggian tempat tanam (Tabel 1). Komponen diskripsi lainnya dapat
diperoleh dari analisis data iklim Stasiun Klimatologi Kecamatan Pringkuku, Pacitan.
Berdasarkan pencatatan selama 24 tahun terakhir curah hujan dari stasium
klimatologi di kecamatan Pringkuku, menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan
di wilayah ini berkisar antara 2.023 mm/tahun sampai 2.746 mm/tahun, dengan rata-rata
hari hujan tahunan berkisar antara 98 hari/tahun hingga 134 hari/tahun. Curah hujan
tertinggi jatuh pada bulan basah(>200 mm) berlangsung antara Oktober sampai Maret.
Sedangkan bulan kering (<100 mm) umumnya berlangsung pada bulan Mei sampai
September. Suhu rata-rata 270C sedangkan kecepatan angin antara 30-50 km/jam.
Temperatur udara rata-rata bulanan adalah 27,70C, dengan temperatur maksimum 300C.
Kelembapan udara rata-rata daerah ini tergolong tinggi. Kelembapan udara rata-rata
bulanan di stasiun Pringkuku adalah 97,7%. Kecepatan angin rata-rata bulanan 52
km/hari. Penyinaran matahari tergolong sedang dan rendah. Rata-rata penyinaran
matahari bulanan di stasiun iklim Pringkuku 47,4%. Rata-rata radiasi matahari di stasiun
iklim Pringkuku 439,1 cal/cm2/hari.
Tabel 1. Diskripsi lokasi tanam
No. Sumber
Lokasi tanam
tempat (m dpl)
: PurnomoTinggi
et al. (2015)
1
Bulu
445-465
2
Modal
422-428
3
Ngaluran
385-395
4
Pagutan
310-325
5
Pringkuku
215-231

Jenis tanah
Rendzina
Rendzina
Koluvial
Koluvial
Koluvial

Bahan tanaman berasal dari berbagai sumber (Tabel 2). Penelitian dilaksanakan
pada minggu ketiga Oktober 2015 sampai dengan minggu ketiga Maret 2016.
Masing-masing perlakuan ditanam pada petakan berukuran 4 x 5 m, dengan jarak
tanam 20 cm x 15 cm. Jumlah benih 3-5 butir/lubang. Pupuk yang digunakan adalah 2
ton/ha pupuk organik, 280 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP36 atau 200 kg/ha SP18 dan 100
kg/ha KCl. Kebutuhan N tanaman dimonitor dengan Bagan Warna Daun (BWD).

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

Tabel 2. Daftar varietas dan asal benih sebagai bahan percobaan


No
Nama Varietas
Asal diperoleh benih
1. Inpago 7
BB Padi
2. Inpago 8
BB Padi
3. Inpago 8 IPB
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
4. Inpago 9
BB Padi
5. Inpago 10
BB Padi
6. Situ Gintung
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
7. Situ Patenggang
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
8. Situ Bagendit
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
9. Gajah Mungkur
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
10. Slegreng TG
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
11. Slegreng GK
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
12. Srijaya
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
13. Towuti
BB Padi
14. Merah Wangi
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
15. Galungggung
SDG Lokal BPTP Jawa Timur
BB Padi = Balai Besar Penelitian Padi
SDG = Sumber Daya Genetik
Prosedur :
Pengolahan tanah dilakukan pada musim kemarau menjelang datangnya musim
hujan. Pada tanah datar sampai kemiringan kurang dari 5%, pengolahan tanah dicangkul
1-2 kali dan satu kali garu/diratakan. Pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15%,
pengolahan tanah sederhana atau tanpa olah tanah (TOT). Dibuat alur sedalam 3-4 cm,
jarak antara alur 20-25 cm. Atau tanpa dibuat alur untuk tanam system tugal. Lima hari
sebelum tanam, pada daerah yang banyak rumput disemprot dengan herbisida pra
tumbuh.
Tanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) bila terdapat 1-3 hari hujan
berturut-turut dengan curah hujan 21 mm/minggu. Kebutuhan benih 40-50 kg/ha.
Sebelum tanam, benih direndam dalam air selama 24 jam, kemudian ditiriskan. Benih
disebar secara diicir pada alur tanam, kemudian alur ditutup kembali dengan tanah atau
pupuk kandang. Atau benih ditanam pada lubang sedalam 3-5 cm yang dibuat dengan
tugal kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah atau pupuk kandang.
Pupuk kandang 2 ton/ha diberikan saat pengolahan tanah atau untuk penutup
tanam. Dosis 50 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha diberikan saat tanam. Dosis 200 kg
urea/ha yang diberikan 2 kali (1/3 bagian pada umur 30-40 hari dan 2/3 bagian pada
umur 50-60 hari) atau 3 kali (1/3 bagian pada umur 15 hari, 1/3 bagian pada umur 30-40
hari, dan 1/3 bagian pada umur 50-60 hari. Penyiangan pertama dilakukan pada umur
14-21 hari, dan penyiangan kedua pada umur 35-40 hari. Penyiangan secara manual
menggunakan cangkul atau kored, bila memungkinkan dibantu dengan penyemproyan
herbisida (propanil). Hama dan penyakit antara lain blas, bercak daun, lalat bibit, lundi,
wereng coklat, dan walang sangit. Pengendalian dengan pemupukan berimbang,
menanan varietas tahan/toleran, dan mengguna-kan pestisida sesuai anjuran.
Apabila 90% gabah telah menguning atau umur 30-35 hari setelah berbunga, padi
dapat dipanen. Setelah batang padi disabit segera dirontokkan menggunakan alat
perontok, minimal pedal tresher yang sederhana.

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

Peubah yang diukur :


(1) Umur panen (hari setelah tanam), (2) Jumlah anakan produktif per rumpun,
(3) bobot gabah kering panen (t/ha), (4) bobot kering panen jerami (t/ha), dan (5) taraf
serangan penyakit blas (%), dan (6) komponen hasil.
Teknik analisis data penelitian :
Uji ragam peubah tunggal, uji beda dengan jarak berganda Duncan, korelasi antar
sifat, heritabilitas (broad sense).

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Analisis Keragaan Agronomi
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lokasi tanam tidak
mempengaruhi pertumbuhan, hasil dan komponen hasil varietas-varietas padi gogo. Di
samping itu juga tidak dijumpai interaksi antara varietas dengan lokasi tanam. Hal ini
menunjukkan bahwa tipologi lingkungan yang hampir sama (curah hujan, suhu dan
kelembaban) kecuali ketinggian lokasi dan tipe tanah tidak menimbulkan pengaruh
perbedaan hasil dan komponen hasil antar varietas padi gogo. Lokasi tanam dengan ratarata curah hujan tahunan berkisar antara 2,023 mm/tahun sampai 2,746 mm/tahun,
dengan rata-rata hari hujan tahunan berkisar antara 98 hari/tahun hingga 134 hari/tahun,
suhu rata-rata 270C, dan kecepatan angin antara 30-50 km/jam, serta temperatur udara
rata-rata bulanan adalah 27,70C tidak mempengaruhi perbedaan keragaan agronomi
antar varietas padi gogo. Artinya perbedaan tinggi tempat dari ketinggian 445-465 m dpl
di Bulu yang tipe tanahnya Renzina dengan lokasi tanam yang ketinggiannya 215-231m
dpl di Pringkuku dan tipe tanah Koluvial dan interaksinya dengan varietas nyata tidak
berpengaruh terhadap hasil gabah kering panen.
Hasil gabah kering panen (GKP) tertinggi ditampilkan oleh Inpago-8IPB (6,95
t/ha), disusul oleh Inpago 9 (6,21 t/ha), Inpago 10 (6,19 t/ha), Situ Gintung (6,07 t/hya)
dan Merah Wangi (6,88 t/ha) yang nyata berbeda dengan varietas yang lain (Tabel 3).
Jika dibandingkan dengan varietas lokal yang biasa digunakan oleh petani, yaitu Segreng
GK maka telah memperbaiki hasil panen, berturut-turut 35,95% untuk Inpago-8IPB;
20,58% untuk Inpago 9; 20,19% untuk Inpago 10; 26,02% untuk Segreng-TG; 33,39%
untuk Merah Wangi.
Hasil gabah kering panen yang ditampilkan oleh Inpago-8IPB diikuti dengan bobot
panen jerami yang tinggi (17,6 t/ha), dan nyata berbeda dengan varietas yang lain.
Kebutuhan jerami dalam setahun per ekor sapi menurut Maryono et al. (2005) berkisar
3,5-5,5 t/ekor/tahun. Artinya, jerami Inpago-8IPB dapat mencukupi kebutuhan pakan
berupa jerami 3-4 ekor sapi dalam setahun. Tetapi ciri spesifik varietas ini tipe malainya
tertutup oleh pelepah daun bendera, jika pengelolaan kebutuhan haranya kurang baik
(Purnomo et al., 2015). Varietas padi dengan tipe malai tertutup akan rawan dengan
organisme pengganggu tanaman, di samping dijumpai oleh jumlah gabah yang hampa
pada bagian pangkal malai (Pikukuh dan Handoko, 2016).
Berdasarkan hasil pengamatan umur panen yang dihitung sejak tanam biji, maka
Gajah Mungkur mempunyai umur panen paling cepat dan nyata berbeda dengan varietas
yang lain. Sifat yang genjah dari varietas ini menurut kelasifikasi Balai Besar Penelitian
Padi (2010) termasuk super-super genjah atau ultra genjah. Tampaknya sifat genjah
yang dimiliki oleh Gajah Mungkur peka terhadap perubahan lingkungan, yaitu panen maju

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

sekitar 10 hari jika dibandingkan dengan telaah dari sifat yang sama yang dituangkan
pada daftar diskripsi yang dimiliki oleh varietas yang bersangkutan (Suprihatno et al.,
2011). Berdasarkan uraian tersebut maka Gajah Mungkur yang di tanam di lahan kering
sub-optimal dengan agroklimatologi seperti yang dijelaskan di atas merupakan varietas
yang mempunyai potensi dua kali tanam (IP200) dalam satu kali musim tanam padi gogo.
Budaya masyarakat setempat adalah tanam Segreng GK yang berasnya berwarna
merah. Untuk antisipasi preferensi kesukaan masyarakat dalam tanam padi gogo beras
merah, maka pada penelitian ini menggunakan Inpago 7, Segreng TG, Merah Wangi dan
Galunggung. Ditinjau dari produktivitas hasil gabah kering panen dari kelompok padi
beras merah, maka keragaan Merah Wangi lebih baik daripada varietas yang lain diikuti
oleh warna beras merah-dalam. Tentu ini juga ditopang oroma wangi citarasa nasi pada
varietas Merah Wangi (Purnomo et al., 2016). Tetapi varietas ini tampaknya rentan
terhadap penyakit blas yang disebaban oleh Pyricularia oryzae Cav.
Tabel 3. Keragaan hasil gabah kering panen, bobot jerami, umur panen, persentase
serangan blas dan warna beras 15 varietas padi gogo di Pacitan, 2015
No

Nama Varietas

Inpago 7

2
3
4
5
6
7
8
9
10

Inpago 8
Inpago-8IPB
Inpago 9
Inpago 10
Situ Gintung
Situ Patenggang
Situ Bagendit
Gajah Mungkur
Slegreng-TG

11
12
13
14
15

Slegreng-GK
Srijaya
Towuti
Merah Wangi
Galungggung

Hasil
(t/ha)

Bobot jerami
(t/ha)

Umur
panen
(HST)

4,48cd

15,2bc

125d

5,93bc
6,95a
6,21a
6,19ab
6,07abc
4,93cb
5,80bc
5,23bc
6,49a

14,9cd
17,6a
14,1bcd
14,6bcd
15,2bc
14,3bcd
14,2bcd
15,7bc
12,4cde

105bc
105bc
99ab
99ab
105b
112cd
114cd
85a
95ab

5,15bc
4,78cb
4,85cb
6,88a
5,94b

13,1cde
12,3de
13,4cd
14,8bcd
11,7de

96ab
97ab
109bc
107bc
115cd

Warna beras

Merah agak
dalam
Putih-Bening
Putih-Bening
Putih-Bening
Putih-Bening
Putih-Bening
Putih-Bening
Putih-Bening
Putih-Bening
Merah agak
dalam
Merah luar
Putih-Bening
Putih-Bening
Merah-dalam
Merah-luar

Serangan
penyakit
blas (%
rusak)
37,5
0,0
2,5
0,0
0,0
22,5
12,8
27,5
0,0
5,5
5,5
43,5
38,4
62,5
2,5

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan DMRT pada taraf 0,05
Varietas lainnya, yaitu Inpago 8, Situ Bagendit, Gajah Mungkur, Segreng GK dan
Galunggung menunjukkan hasil gabah kering panen yang moderat, antara 5,0 t/ha -
6,0 t/ha. Di antara lima varietas ini, Segreng-GK menarik untuk dicermati sejalan dengan
keragaan produktivitas nya terpaut 26,02% lebih rendah daripada Segreng-TG.
Berdasarkan asal usul benih sebagai bahan tanam dalam percobaan ini, benih SegrengGK berasal dari varietas yang sudah dilepas sebagai varietas unggul nasional, diperoleh
dari salah satu petani di Gunung Kidul. Benih Segreng-GK tidak mengalami proses seleksi,
yang berbeda dengan penyiapan benih Segreng-TG yang dilakukan seleksi positif di
lapang ketika persiapan tanam. Artinya perlu seringkali melakukan pemurnian benih padi
gogo agar penampilan agronominya baik.
Pada Tabel 4 disajikan hasil analisis tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif.
Situ Gintung, Gajah mungkur dan Galunggung menunjukkan tinggi tanaman yang lebih
tinggi dan nyata berbeda dari varietas yang lannya. Gajah Mungkur yang umurnya ultra
genjah jika di tanam di lahan kering sub-optimal Pacitan rawan rebah batang. Kerawanan
rebah ini di topang oleh jumlah anakan yang sedikit (14,9 anakan/rumpun). Peluang

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

Gajah Mungkur yang tinggi sebagai varietas yang dapat digunakan IP200 padi gogo maka
untuk menghindari kerawanan rebah batang perlu adanya pengkajian kebutuhan nutrisi
tanaman yang mampu menguatkan batang. Beberapa peneliti fisiologi menyarankan
perlunya tambahan zeolit agar batang padi lebih tahan rebah.
Jika dibandingkan dengan Slegreng-GK, jumlah anakan Towuti mencapai dua kali
lipatnya (Tabel 4), tetapi gabah kering panen Towuti nyata tidak berbeda dengan
Segreng-GK (Tabel 3). Hal ini dijumpai gabah hampa pada Towuti. Karena jumlah anakan
mempunyai korelasi genetik dengan hasil gabah (Satoto dan Suprihatno, 2008), maka
potensi untuk meningkatkan hasil gabah pada kedua varietas tersebut cukup tinggi
apabila dikaitkan dengan daftar diskripsi varietas padi gogo untuk Towuti yang disajikan
oleh Suprihatno et al. (2011).

Tabel 4. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif 15 varietas padi gogo di
Pacitan, 2015
No

Nama Varietas

Tinggi tanaman
Jumlah anakan produktif
(cm)
(rumpun)
1.
Inpago 7
112,33ab
17,9 e
2.
Inpago 8
95,77cd
25,9 bcd
3.
Inpago 8 IPB
71,87ef
28,0 bc
4.
Inpago 9
71,17ef
28,6 ab
5.
Inpago 10
75,80f
27,8 bc
6.
Situ Gintung
114,73a
17,1 e
7.
Situ Patenggang
102,66bc
20,6 de
8.
Situ Bagendit
88,23h
16,56 e
9.
Gajah Mungkur
114,57a
14,9 e
10.
Slegreng TG
75,97e
16,1 e
11.
Slegreng GK
56,43g
16,6 e
12.
Srijaya
76,87e
21,6cde
13.
Towuti
57,17g
34,3 a
14.
Merah Wangi
61,02fg
20,3 de
15.
Galungggung
115,34 a
15,2 e
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan DMRT pada taraf 0,05

Hasil analisis keragaan komponen hasil disajikan pada Tabel 5. Panjang malai atau
bulir yang panjang tidak selalu diikuti oleh lebar malai. Gajah Mungkur, Galunggung dan
Situ Gintung mempunyai panjang bulir nyata lebih panjang daripada varietas yang lain.
Hal ini menunjukkan bentuk bulir yang ramping. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
tanaman padi yang batangnya tinggi mempunyai bulir yang ramping (rasio panjang
dengan lebar bulir 50%).
Jumlah gabah per malai tertinggi oleh Inpago-8IPB (345 butir gabah/malai)
dengan jumlah hampa cukup tinggi (52 butir gabah hampa/malai). Gabah hampa yang
terjadi pada varietas ini oleh karena tipe malai Inpago-8IPB tertutup oleh seludang daun
bendera. Gabah hampa paling tinggi hampir mencapai 50% ditampilkan oleh Towuti. Hal
ini karena Towuti sangat peka terhadap blas. Dengan kerusakan tanaman oleh blas
sebesar 34,8% menyebabkan gabah hampa hampir 50%. Pada varietas yang peka blas
maka perlu dipertimbangkan dalam pengembangan yang endemis blas seperti di lahan
kering sub-optimal di Pacitan. Berbeda dengan Merah Wangi menunjukkan toleransi yang
tinggi terhadap blas meskipun tingkat kerusakannya mencapai 62,5%. Merah Wangi dan
Inpago-8IPB termasuk varietas dengan yang berasnya berbobot dan nyata lebih tinggi
daripada varietas yang lain (Tabel 5).

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

Tabel 5. Keragaan komponen hasil 15 varietas padi gogo


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Nama Varietas

Panjang malai
(cm)

Inpago 7
28,2ab
Inpago 8
25,5cd
Inpago-8IPB
25,6cd
Inpago 9
25,9bc
Inpago 10
26,4bc
Situ Gintung
30,4a
Situ Patenggang
24,7cd
Situ Bagendit
23,1d
Gajah Mungkur
30,9a
Slegreng-TG
24,6cd
Slegreng-GK
23,3d
Srijaya
24,6cd
Towuti
23,7d
Merah Wangi
26,5bc
Galungggung
31,5a
Angka-angka yang diikuti huruf

Lebar malai
(cm)

Jumlah
gabah/malai

Jumlah
Jumlah gabah
Bobot gabah
gabah
hampa/malai
(1000 butir/gr)
isi/malai
22,3bc
276
254
22
129
21,5bc
315
278
37
130
32.5a
345
293
52
130
25,8b
320
257
63
129
25,5b
322
263
39
123
19,8c
231
216
15
134
22,7bc
249
211
37
129
21,3bc
245
215
30
122
19,0c
224
198
26
132
23,5bc
235
209
26
110
22,2bc
223
203
20
110
21,6bc
232
196
26
105
22,4bc
298
164
134
108
25,8b
284
237
37
123
19,2c
250
215
35
112
yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf 0,05

Bobot beras
(1000 butir/gr)
87
85
94
86
88
81
89
84
86
78
78
73
73
93
84

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

2. Pemilihan varietas
Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui korelasi antar peubah respon yang
diamati, yaitu bobot gabah kering panen (Y1), bobot jerami (Y2), umur panen (Y3),
jumlah anakan produktif per rumpun dan persentase serangan blas (Y4) serangan
organisme penyerang tanaman,. Analisis korelasi menggunakan Pearson dengan koefisien
korelasi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai korelasi antar lima sifat agronomis
Peubah
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5

Y1
1
-0.546
-0.047
-0.576
-0.115

Y2

Y3

Y4

-0.546
1
-0.113
-0.729
0.115

-0.047
-0.113
1
0.06
-0.163

-0.576
-0.729
0.06
1
0.192

Y5
-0.115
0.115
-0.163
0.192
1

Tabel 4 merupakan nilai koefisien korelasi Pearson, dari nilai tersebut dapat
diketahui, bahwa sifat-sifat agronomis yang diamati saling berkorelasi. Untuk
mempertimbangkan adanya korelasi antar peubah-peubah tersebut, dilakukan analisis
ragam peubah ganda. Hal ini digunakan untuk mengetahui perbedaan pengaruh
beberapa peubah bebas terhadap sekelompok peubah tak bebas. Kelebihan ini tidak
dimiliki oleh analisis ragam satu peubah.
Untuk menentukan varietas terbaik dari 15 varietas yang diamati, yaitu varietas
dengan bobot gabah kering panen tinggi, bobot jerami berat, umur genjah, jumlah
anakan produktif terbanyak dan toleran blas, maka dilihat dari varietas yang mempunyai
karakteristik terbaik terbanyak berdasarkan sifat-sifat agronomis yang dimiliki. Berdasarkan uji BNJ di atas, diperoleh bahwa Inpago-8IPB merupakan varietas padi gogo terbaik
pada kasus di lahan kering sub-optimal Pacitan. Metode seleksi ini merupakan proses
yang efektif untuk memperoleh sifat-sifat yang sangat penting dan tingkat
keberhasilannya tinggi.
Berdasarkan nilai duga heritabilitas untuk beberapa karakter kuantitatif, yaitu
bobot gabah kering panen, bobot jerami, umur panen, jumlah anakan produktif dan
toleran blas dari varietas-varietas yang dievaluasi pada lahan kering sub-optimal Pacitan,
menunjukkan bahwa semua karakter yang diamati memiliki nilai duga heritabilitas yang
tinggi, berkisar antara 77.39 98.94% (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa
kemungkinan pewarisan karakter-karakter yang diamati pada penelitian ini cukup besar.
Selanjutnya, kegiatan seleksi untuk perbaikan sifat-sifat tersebut relatif mudah
dilakukan.n Preston dan Willis (1974) mengklasifikasikan nilai heritabilitas, dikatakan
rendah jika kurang dari 0,25, sedang jika nilainya 0,25 0,50, dan besar jika bernilai
lebih dari 0,50.

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

Tabel 7. Nilai duga heritabilitas (arti luas) bobot gabah kering panen, bobot jerami,
jumlah anakan produktif, taraf serangan blas, dan umur panen
Karakter

Nilai duga heritabilitas (%)

Bobot ubinan (kg/ubin)


Bobot brangkasan (ton/ha)
Jumlah anakan produktif (%)

77.39
93.34
15.29

Serangan OPT (%)


Umur panen

99.78
98.94

Nilai duga heritabilitas tertinggi ada pada karakter bobot jerami, toleransi terhadap
serangan blas (99.78%) dan umur panen (98.94%). Hal ini mengindikasikan bahwa pada
genotipe padi gogo, seleksi untuk perbaikan ketiga karakter tersebut akan efektif jika
dibandingkan dengan karakter lainnya. Menurut Hakim (2008) seleksi untuk memperoleh
genotipe padi berumur genjah relatif lebih mudah karena memiliki nilai duga heritabilitas
yang tinggi. Nilai duga heritabilitas yang tinggi sangat berperan dalam meningkatkan
efektifitas seleksi. Pada karakter yang memiliki heritabilitas tinggi maka seleksi akan
berlangsung lebih efektif karena pengaruh lingkungan kecil, sehingga faktor genetik lebih
dominan dalam penampilan agronomi tanaman.

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

KESIMPULAN
Varietas yang mempunyai sifat-sifat agronomis terbaik dan terbanyak pada kasus
lahan kering sub-optimal Pacitan adalah Inpago-8IPB. Varietas ini memiliki karakteristik
produktivitas gabah kering panen tinggi, bobot jerami yang tinggi, toleran terhadap blas
dan umur panen genjah.
Varietas Gajah Mungkur memiliki potensi sebagai varietas padi gogo yang paling
memberikan peluang tertinggi untuk meningkatkan indek tanam dua kali dalam semusim
tanam padi gogo di lahan kering sub-optimal Pacitan, selaras dengan keragaan umur
panennya yang ultra genjah, disamping toleran terhadap blas.
Padi gogo varietas Merah Wangi adalah varietas yang paling dapat digunakan untuk
memperbaiki preferensi budaya tanam bagi petani lahan kering sub optimal Pacitan
sehubungan dengan keragaan berasnya berwarna merah-dalam, dengan aroma wangi
dan produktivitasnya 26,0% lebih tinggi daripada varietas lokal Segreng.
Jumlah anakan produktif yang banyak dan nyata berbeda dengan varietas lainnya
belum tentu menjamin produktivitas gabah kering panen dari varietas bersangkutan tinggi
apabila tidak diikuti oleh jumlah gabah hampa yang sedikit. Untuk itu hindarkan memilih
varietas padi gogo Towuti di tanam di lahan kering sub-optimal Pacitan.
Panjang bulir yang panjang tidak selalu diikuti oleh lebar malai yang lebih lebar
sebagaimana ditampilkan oleh Gajah Mungkur, Galunggung dan Situ Gintung, tetapi
umumnya gabah dan berasnya lebih berbobot.
Nilai duga heritabilitas untuk beberapa karakter kuantitatif, yaitu bobot gabah
kering panen, bobot jerami, umur panen, jumlah anakan produktif dan toleransi varietasvarietas yang dievaluasi pada lahan kering sub-optimal Pacitan terhadap blas,
menunjukkan nilai duga yang tinggi, berkisar antara 77.39 98.94%, yang berarti peluang
yang tinggi dalam perbaikan genetik tanaman.

Prosiding Seminar Nasional


Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik
Semarang, 24 November 2016

DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2005. Statistik Indonesia 2005. Badan Pusat statistik. Jakarta
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2007. Varietas unggul padi yang dilepas sejak 1960
2007.
Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur. 2016. RTRW Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2031
http://sitr.jatimprov.go.id/beranda/rtrw.
Fagi, A.M., H. M. Toha dan J.S. Baharsyah. 1996. Potensi Padi Gogo dalam swasembada
Beras.
Hakim, L. 2008. Heritabilitas dan Harapan Kemajuan Genetik Beberapa Karakter
Kuantitatif pada Galur F2. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 27 (1) :
42-46.
Kustianto, B., M. Amir, dan Suwarno. 1993. Studi genetika sifat tahan blas pada beberapa
varietas padi gogo.
Penelitian Pertanian 13(1):21-24
Pikukuh, B., dan Handoko. 2016. Karakterisasi morfologi padi gogo lokal beras merah
Jawa Timur. Makalah Primer disampaikan pada Raker dan Seminar Nasional SDG
Lokal. BB Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertaian, Bogor. 21 hal.
Preston, Willis. 1974. Exact Confidence Intervals for Heritability On a Progeny Mean Basis.
Jurnal Crop Sci 25:192-194.
Purnomo, S., T. Zubaidi, G. Pratomo, R. Asnita, Bonimin dan Wigati. 2015. Pembangunan
Taman Teknologi Pertanian Pacitan. Laporan Akhir Kegiatan. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa timur. 89 hal.
Purnomo, S., Handoko, T. Zubaedi, dan Bonimin. 2016. Karakterisasi dan diskripsi
varietas-varietas padi lokal lahan kering Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa timur. 102 hal. (in press.)
Satoto dan B. Suprihatno. 2008. Pengembangan padi hibrida di Indonesia. Iptek Tanaman
Pangan Vol. 3(1): 27-40.
Sumarno dan J.R. Hidayat. 2007. Perluasan areal padi gogo sebagai pilihan untuk
mendukung ketahanan pangan nasional. Iptek Tanaman Pangan Vol 2 No. 1 : 2640.
Suprihatno, B., A.A. Darajad, Suntoro, Suwarno, E. Lubis, Baehaki, Sudir, S.D. Indrasari,
I.P. Wardana dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. 118 hlm.
Toha, H.M. 2008. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BH. Hlm 295-323.
Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BH. BBPPTP. Badan
Litbang Pertanian.

You might also like