Professional Documents
Culture Documents
Ja0247 07 PDF
Ja0247 07 PDF
OKTOBER 2006
ISSN : 0126 - 0537
Subekti Rahayu dkk. : Dapatkah Sistem Agroforestry Kopi ......................................................................................
World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. Cifor, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor
ABSTRACT
ABSTRAK
Penggerek ranting kopi (Xylosandrus
compactus) merupakan hama utama yang
menyerang tanaman kopi dan menyebabkan
penurunan hasil kopi secara nyata. Proses
pembuatan lubang yang dilakukan oleh X.
compactus menyebabkan ujung ranting layu,
menguning dan mati. Penelitian ini bertujuan (a)
mengukur intensitas dan luas serangan X.
compactus, (b) mengetahui musuh alami
potensial yang ada di kebun kopi dan (c)
mengetahui hama-hama lain yang menyerang
tanaman kopi. Penelitian dilakukan pada dua
sistem agroforestri berbasis kopi yaitu
agroforestri naungan sederhana (kopi naungan
sederhana) dimana hanya pohon legum yang
dipakai sebagai penaung pohon kopi dan sistem
agroforestri multistrata (kopi multistrata) dengan
pohon penaung selain pohon legume ada pula
pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan, dan
pohon rempah. Penelitian dilakukan pada bulan
Juli sampai dengan Agustus 2005. Data
dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan
uji t. Intensitas serangan penggerek ranting kopi
pada sistem multistrata lebih rendah yaitu 18%
bila dibandingkan dengan kopi naungan yaitu
25%. Namun, perbedaan jumlah pohon yang
terserang tidak berbeda nyata pada kedua sistem
kebun kopi yaitu 75% pada kopi naungan dan
65% pada kopi multistrata. Pada kedua sistem
kebun kopi lubang gerek lebih banyak
ditemukan pada ranting-ranting yang ada di
bagian atas dari pada di tengah dan di bawah.
Kata kunci: Penggerek ranting kopi, Xylosandrus
compactus,
sistem
agroforestri
multistrata berbasis kopi
PENDAHULUAN
Pada umumnya, alih guna lahan dari
hutan menjadi kebun kopi maupun sistem
pertanian lainnya akan menyebabkan perubahan
kondisi lingkungan di sekitarnya terutama fungsi
hidrologi, kesuburan tanah, cadangan karbon
dan keragaman hayati. Pengelolaan lahan
dengan menanam berbagai jenis pohon sebagai
penaung tanaman kopi (agroforestri berbasis
kopi) telah banyak dilaporkan dapat membantu
mempertahankan fungsi lingkungan. Selain itu,
kondisi pada agroforestri berbasis kopi dengan
pohon penaung yang lebih beragam hingga
menyerupai hutan, mempunyai stabilitas
ekosistem yang lebih tinggi sehingga potensi
terjadinya ledakan hama berkurang (Schroth et
al., 2000).
Akhir-akhir ini telah banyak dilakukan
penelitian jasa lingkungan sistem kopi multistrata
terutama berkenaan dengan konservasi tanah dan
air (Van Noordwijk et al., 2004; Widianto et al.,
2004; Dariah, et al., 2004), sebaran perakaran
dalam kaitannya kehilangan hara (Buana et al.,
2004), ketebalan seresah dalam kaitannya dengan
porositas tanah (Hairiah et al., 2004a), dan sifatsifat fisik tanah lainnya (Suprayogo et al., 2004).
Selain itu, penelitian yang mengarah pada
diversitas biota-tanah yang bermanfaat dalam
siklus hidrologi juga telah dilakukan, dengan fokus
kepada ecosystem engineer seperti cacing penggali
tanah, rayap, dan semut (Dewi et al., 2006; Aini et
al., 2006; Susilo et al., 2006). Demikian pula,
biodiversitas burung (OConnors et al., 2005) dan
cadangan karbon pada sistem agroforestri juga
telah dilaporkan (Van Noordwijk et al., 2002).
Hasil dari berbagai penelitian tersebut dijadikan
sebagai acuan dalam pengelolaan agroforestri
berbasis kopi di daerah Sumberjaya, agar tercipta
suatu
pengelolaan
kebun
kopi
secara
berkelanjutan. Guna memperoleh produksi
pertanian yang berkelanjutan, beberapa faktor
eksternal yang harus diperhatikan adalah
mempertahankan ketersediaan cahaya, air dan hara
yang cukup, dan mencegah serangan hama dan
penyakit.
Petani kopi di Sumberjaya (Lampung
Barat) sering dihadapkan pada masalah serangan
Nb
n
x 100%
Nb
n
x 100%
N
Dimana:
N = Jumlah pohon kopi yang terserang
penggerek pada tiap-tiap petak
N = Jumlah pohon kopi dalam tiap-tiap
petak
Identifikasi serangga
Untuk mengetahui jenis-jenis serangga
lain yang ditemukan pada tiap-tiap petak dilakukan
identifikasi sampai tingkat famili di laboratorium
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor, laboratorium World
Agroforestry Centre (ICRAF) dan Museum
Entomology, LIPI, Cibinong.
Analisis data
Untuk mengetahui perbedaan intensitas
serangan dan luas serangan X. compactus pada
sistem kopi naungan sederhana dan kopi
multistrata, dilakukan pengujian dengan uji t.
Sedangkan perbedaan banyaknya lubang gerek
pada berbagai posisi pada tiap-tiap sistem
pengelolaan kebun, diuji dengan nilai beda nyata
terkecil (BNT) dari analisa keragaman dengan
menggunakan perangkat lunak Genstat 8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gejala serangan
Serangan X. compactus dicirikan oleh
adanya lubang gerek berdiameter sekitar 1-2 mm
pada permukaan ranting tanaman kopi. Lubang
gerek ini menuju ke bagian dalam ranting hingga
mencapai panjang 20-50 mm. Lubang gerek dibuat
oleh X. compactus betina dewasa sebagai tempat
tinggalnya. Setelah menggerek, serangga betina
meletakkan telur dalam lubang tersebut hingga
menetas dan sampai tumbuh dewasa. Larva yang
berada di dalam lubang gerek tidak memakan
jaringan tanaman tetapi memakan jamur ambrosia
(Fusarium solani) yang tumbuh dan berkembang
dalam lubang gerek. Spora jamur tersebut dibawa
oleh X. compactus betina dewasa sewaktu
menggerek lubang. Aktivitas larva ketika makan
jamur tersebut menyebabkan rusaknya jaringan
tanaman pada lubang, sehingga mengakibatkan
semakin lebar dan panjangnya lubang gerek
(Drizd, 2003).
Hama X. compactus menyelesaikan siklus
hidupnya
yang
mengalami
metamorfosis
sempurna, dari telur, larva, pupa dan serangga
dewasa di dalam lubang gerek. Serangga betina
dewasa yang telah kawin akan keluar dari lubang
gerek untuk mencari inang baru. Akibat adanya
lubang gerek di dalam ranting menyebabkan
terganggunya transportasi nutrisi sehingga ujung
ranting layu, daun menguning, ranting hitam dan
dapat menyebabkan kematian ranting. Apabila
serangan berat terjadi pada sebagian besar ranting,
maka dapat mengakibatkan kematian tanaman.
Menurut Lavabre (1959), serangan X. compactus
pada tanaman muda menyebabkan daun-daunnya
gugur sehingga pertumbuhan dan pembuahannya
Tabel 1. Intensitas serangan hama, vegetasi dan iklim mikro pada petak pengamatan yang dipilih
untuk pengukuran
(Table 1. Plant damage intensity, characteristic of vegetation and micro climates conditions in
the selected plots for measurements)
Parameter
Kopi
multistrata
Serangan
o Intensitas serangan (%)
o Jumlah ranting terserang
o Jumlah lubang per ranting
o Luas serangan (%)
Kondisi vegetasi
o Basal area tanaman kopi (%)
o Basal area penaung (%)
o Kerapatan populasi tanaman kopi
(pohon ha-1)
o Kerapatan populasi pohon
penaung (pohon ha-1)
o Indek keragaman jenis pohon
penaung
Kondisi iklim mikro
o Suhu (oC)
o Kelembaban relative (%)
Kopi naungan
sederhana
t hitung
(p<0.05)
18
9
1.7
75.5
25
12
1.9
65.1
1.97*
1.11
1.75
0.74
62.20
37.99
54.10
45.89
0.92
0.92
2134
2353
1.27
400
550
1.30
1.1
0.3
8.67*
25.94
89.94
26.63
92.78
0.93
1.09
Tingginya
kerapatan
pohon
penaung
kemungkinan
menjadi
penghalang
perpindahan X. compactus dari satu pohon ke
pohon lainnya.
o
A
2.1
50
y = -0.223x + 1.9441
2
R = 0.2867
2
y = 5.7332x + 18.802
2
R = 0.0235
40
60
30
20
10
1.9
1.8
1.7
1.6
0
0.00
1.5
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0.2
0.4
0.8
D
2
60
y = -1.9151x + 26.913
50
0.6
R = 0.1149
40
30
20
10
1.9
1.8
1.7
y = 0.1992x + 1.7093
2
R = 0.1894
1.6
1.5
0
0
10
0.2
0.4
0.6
0.8
Gambar 1. Hubungan antara relatif basal area pohon penaung dengan (A) intensitas serangan X.
compactus, (B) luas serangan X. compactus, (C) jumlah jenis pohon penaung dengan
intensitas serangan X. compactus, (D) relatif basal area kopi dengan luas serangan
(Figure 1. Relationship between relative basal area of shade trees and (A) damage intensity of X.
compactus and (B) damage distribution; (C) Relationship between number of shade trees
species and damage intensity of X. compactus, (D) Relationship between relative basal area
coffee and damage distribution
keragaman
spesies
pohon
penaung
memungkinkan
penggerek
ranting
mempunyai peluang menyerang pohon
penaungnya. Drizd (2003), menyebutkan
bahwa X. compactus dapat menyerang
lebih dari 100 spesies tanaman antara lain:
alpukat, jeruk, jambu biji, mangga, mahoni,
kakao, kayu manis dan pohon penaung
(d) Predator
Berdasarkan pengamatan di Sumberjaya,
ditemukan
predator
jenis
Hymenoptera
(Eulophidae, Bombidae, Formicidae), Coleoptera
(Staphylinidae) dan Araneidae pada tanaman
selain kopi yaitu gamal, durian, jengkol,
dadap, kayu manis, rambutan dan cengkeh. Hal
ini mengindikasikan bahwa keberadaan pohon
penaung berfungsi juga sebagai tempat hidup
bagi
berbagai
jenis
predator
hama.
Berdasarkan indikasi tersebut, diduga jenisjenis predator pada sistem kopi multistrata lebih
beragam bila dibandingkan dengan sistem kopi
naungan sederhana. Hanya saja, penelitian
mengenai jenis-jenis predator yang memangsa X.
compactus pada masing-masing sistem kebun
kopi belum banyak dilakukan, sehingga belum
dapat diberikan informasi secara pasti.
Berdasarkan hasil dari pengamatan ini,
ditemukan beberapa jenis semut (Formicidae)
yang masuk ke dalam lubang gerek X.
compactus dan memakan larva yang ada di
dalamnya. Selain itu juga ditemukan parasit
dari
famili
Eulophidae
(Tetrastichus
xylebororum) di dalam lubang gerek. Namun
tidak dilakukan pengamatan secara kuantitatif
mengenai jenis spesies dan aktivitas predasi
pada kedua sistem yang diuji.
3. Posisi lubang gerek
Hasil pengamatan di Sumberjaya,
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah lubang
gerek per ranting pada sistem kopi multistrata
lebih sedikit (rata-rata 1.7 lubang) bila
Multistrata
0
Atas
Tengah
Bawah
Guna
memperbaiki
startegi
pencegahan
serangan hama penggerek ranting kopi X.
compactus, maka penelitian ke arah pemahaman
faktor-faktor pembatas perkembangan hama
sangat diperlukan. Pengukuran pada penelitian
ini masih dilakukan pada musim kemarau saja
dengan kelembaban udara yang relatif rendah,
sehingga hasil yang diperoleh masih belum bisa
menggambarkan kisaran kondisi lingkungan
dalam satu musim tanam. Untuk itu pengukuran
di musim penghujan masih perlu dilakukan