Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang relatif jarang di
mana antibodi terbentuk terhadap acetylcholine nicotinic postsynaptic receptors
pada neuromuscluar junction dari otot skeletal. Gejala okular terkadang
menunjukkan gejala ringan dari Myasthenia Gravis dibandingkan gejala-gejala
lain yang lebih luas.1 Prevalensinya semakin meningkat menjadi sekitar 20 per
100.000 populasi Amerika Serikut. Penyakit autoimun ini memiliki karakteristik
sebagai kelemahan otot secara fluktuatif, memburuk saat beraktivitas, dan
membaik saat istirahat. Meskipun etiologinya masih belum diketahui, peran
antibodi yang bersirkulasi dan menyerang nicotinic acetylcholine receptor
merupakan patogenesis yang dapat diterima. Deteksi dini penyakit ini sangat
penting untuk dilakukan mengingat Myasthenia Gravis itu sendiri merupakan
penyakit yang dapat ditatalaksana.2
Pada sekitar 10% pasien myasthenia gravis, gejala hanya dibatasi pada
gejala otot muskular ekstrinsik, yang dapat disebut sebagai suatu kondisi okular
myasthenia gravis (oMG). Pada usia di bawah 40 tahun, rasio wanita : laki-laki
adalah 3 : 1; kemudian, di antara usia 40-50 tahun dan saat pubertas, rasionya
menjadi sama. Namun pada usia 50 tahun ke atas, penyakit ini lebih sering terjadi
pada laki-laki.4Di Asia, hingga 50% pasien memiliki onset di bawah 15 tahun,
secara umum dengan manifestasi okular murni.5
Kelemahan otot yang terjadi pada myasthenia gravis disebabkan oleh
reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction yang diserang oleh autoimun,
sehingga dapat menyebabkan defisiensi yang memicu terjadinya gangguan
komunikasi antara sel saraf dan sel otot serta menyebabkan kelemahan otot.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun
di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok
AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, antiAChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan
lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien
penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada
mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan
penting dalam etiologi penyakit ini.6
1
BAB II
2
STATUS PENDERITA
I.
IDENTIFIKASI
Nama
: Ny. TAM
Tanggal Lahir
: 2 November 1986
Umur
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Pekerjaan
Agama
: Islam
Tanggal MRS
: 10 Juni 2016
III.
PEMERIKSAAN
Status Internus
Kesadaran
: GCS = 15 (E4M6V5)
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
Suhu Badan
: 36,0 C
Pernapasan
: 26 kali/menit
BB
: 50 kg
TB
: 155 cm
IMT
Kepala
: normosefali
Leher
Thorax
Cor
:I
Abdomen
Ekstremitas
Kulit
:
:
gallop (-)
I : Gerakan dada simetris
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)
I : Datar, simetris
P : Lemas
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Akral pucat (-/-), edema pretibial (-)
Turgor > 2
Status Psikiatrikus
Sikap
: kooperatif
Perhatian : ada
Ekspresi Muka
: berkurang
Kontak Psikik
: ada
Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk
: Normochepali
Deformitas
: tidak ada
Ukuran
: normal
Fraktur
: tidak ada
Simetris
: simetris
Nyeri fraktur
: tidak ada
Hematom
: tidak ada
Tumor
: tidak ada
Pulsasi
: tidak ada
Sikap
: lurus
Deformitas
: tidak ada
Torticolis
: tidak ada
Tumor
: tidak ada
LEHER
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius
Penciuman
Kanan
Tidak ada kelainan
Kiri
Tidak ada kelainan
Anosmia
tidak ada
tidak ada
Hiposmia
tidak ada
tidak ada
Parosmia
tidak ada
tidak ada
N. Optikus
Visus
Kanan
6/6
Kiri
6/6
Campus visi
V.O.D
V.O.S
Anopsia
tidak ada
tidak ada
Hemianopsia
tidak ada
tidak ada
FundusOculi
tidak ada
tidak ada
Papil edema
Papil atrofi
Perdarahan retina
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
N. Occulomotorius,
Kanan
Kiri
Diplopia
Tidak ada
Tidak ada
Celah mata
tidak ada
tidak ada
ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Baik ke segala
Baik ke segala
arah
arah
Bulat
Bulat
3 mm
3 mm
Pupil
Isokor
Isokor
Ptosis
Sikap bola mata
Strabismus
(-)
Exophtalmus
(-)
Enophtalmus
(-)
Deviation conjugae
Bentuk
Diameter
Isokor/anisokor
Midriasis/miosis
Refleks cahaya
Langsung
Konsensuil
Akomodasi
- Argyl Robertson
N. Fasialis
Motorik
-
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Menunjukkan gigi
Lipatan nasolabialis
Bentuk muka
Sensorik
-
Kanan
Kiri
Simetris
Simetris
N. Cochlearis
Suara bisikan
Kanan
Kiri
Tidak ada kelainan
Detik arloji
Tes Weber
Tes Rinne
N. Olfaktorius
Penciuman
Kanan
Tidak ada kelainan
Kiri
Tidak ada kelainan
Anosmia
tidak ada
tidak ada
Hiposmia
tidak ada
tidak ada
Parosmia
tidak ada
tidak ada
N. Vestibularis
Nistagmus
Kanan
tidak ada
Kiri
tidak ada
Vertigo
tidak ada
tidak ada
Kanan
Kiri
Tidak ada kelainan
Uvula
Gangguan menelan
ada
Suara serak/sengau
sengau
Denyut jantung
Refleks
-
Muntah
Batuk
Okulokardiak
Sinus karotikus
Sensorik
-
N. Accessorius
Kanan
Kiri
Mengangkat bahu
Memutar kepala
N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah
Kanan
Kiri
Simetris
Fasikulasi
Atrofi papil
Disatria
MOTORIK
LENGAN
Gerakan
Kanan
Kurang
Kiri
Kurang
Kekuatan
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
TUNGKAI
Kanan
Kiri
Gerakan
Kurang
Kurang
Kekuatan
normal
normal
normal
normal
Tonus
Refleks fisiologis
-
Biceps
Triceps
Radius
Ulnaris
Refleks patologis
-
Hoffman Tromner
Leri
Meyer
Trofi
Tonus
Klonus
-
Paha
Kaki
Refleks fisiologis
-
KPR
APR
Refleks patologis
normal
normal
Babinsky
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rossolimo
- Tengah
- Bawah
Refleks cremaster
tidak dilakukan
Trofik
SENSORIK
FUNGSIVEGETATIF
9
Miksi
Defekasi
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis
: tidak ada
Lordosis
: tidak ada
Gibbus
: tidak ada
Deformitas
: tidak ada
Tumor
: tidak ada
Meningocele
: tidak ada
Hematoma
: tidak ada
Nyeri ketok
: tidak ada
: (-)
Kerniq
: (-)
Lasseque
: (-)
Brudzinsky
-
Neck
: (-)
Cheek
: (-)
Symphisis
: (-)
Leg I
Leg II
: (-)
: (-)
Ataxia
Romberg
Hemiplegic
Dysmetri
Scissor
- jari-jari
Propulsion
- jari hidung
Histeric
- tumit-tumit
Limping
Steppage
10
GERAKAN ABNORMAL
Tremor
: (-)
Rigiditas
: (-)
Bradikinesia
: (-)
Chorea
: (-)
Athetosis
: (-)
Ballismus
: (-)
Dystoni
: (-)
Myocloni
: (-)
REFLEKS PRIMITIF
Glabella
: (-)
Palmomental
: (-)
FUNGSI LUHUR
Afasiamotorik
: (-)
Afasiasensorik
: (-)
Apraksia
: (-)
Agrafia
: (-)
Alexia
: (-)
Afasia nominal
: (-)
LABORATORIUM
DARAH
Hb
: 13,8 g/dL
Total Kolesterol
: tidak diperiksa
Eritrosit
: 4,55 x 10 /mm
Kolesterol HDL
: tidak diperiksa
Leukosit
: 10,4 x 103/mm3
Kolesterol LDL
: tidak diperiksa
Diff Count
: 0/5/80/11/4
Trombosit
: 279 x 103/L
Hematokrit
: 38%
Ureum
: 10mg/dL
Kreatinin
: 0,36 mg/dL
Ca
: 8,7 mg/dL
Mg
: 2,15 mEq/L
11
Na
: 145 mEq/L
: 3,5 mEq/L
Cl
: 118 mmol/L
BSS
: tidak diperiksa
SGOT
: tidak diperiksa
SGPT
: tidak diperiksa
URINE
Warna
: tidak diperiksa
Sedimen :
Reaksi
: tidak diperiksa
- Eritrosit
: tidak diperiksa
Protein
: tidak diperiksa
- Leukosit
: tidak diperiksa
Reduksi
: tidak diperiksa
- Thorak
: tidak diperiksa
Urobilin
: tIdak diperiksa
- Sel Epitel
: tidak diperiksa
Bilirubin
: tidak diperiksa
- Bakteri
: tidak diperiksa
Konsistensi
: tidak diperiksa
Eritrosit
: tidak diperiksa
Lendir
: tidak diperiksa
Leukosit
: tidak diperiksa
Darah
: tidak diperiksa
Telur cacing
: tidak diperiksa
Amuba coli/
: tidak diperiksa
Histolitika
: tidak diperiksa
FESES
LIQUOR CEREBROSPINALIS
Warna
: tidak diperiksa
Protein
: tidak diperiksa
Kejernihan
: tidak diperiksa
Glukosa
: tidak diperiksa
Tekanan
: tidak diperiksa
NaCl
: tidak diperiksa
Sel
: tidak diperiksa
Queckensted
: tidak diperiksa
Nonne
: tidak diperiksa
Celloidal
: tidak diperiksa
Pandy
: tidak diperiksa
Culture
: tidak diperiksa
PEMERIKSAAN KHUSUS
Rontgen thoraks PA : tidak diperiksa
CT Scan Kepala
IV.
: tidak diperiksa
DIAGNOSIS
12
Diagnosis Klinik
Diagnosis Topik
: Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologi
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Myasthenic crisis
VI.
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan edrophonium cloride (Tensilon)
2. Antibodi terhadap acetycholin receptor (AchR)
3. Repetitive Nerve Stimulation
4. Simple filter EMG
PENATALAKSANAAN
Non farmakologis
- Observasi ketat tanda-tanda vital
- O2 Nasal Canul 3 liter per menit
- Diet BB 1800 kkal
- Konsul obgyn
-
Farmakologis
IVFD assering gtt XX/menit
Mestinon 5x1 tab po
Methylprednisolon 3x250 mg IV
Ambroxol syr 3x1 cth
VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam
: dubia ad bonam
Quo ad Functionam
: dubia ad bonam
13
Follow up
Sabtu, 11/6/16 pukul 10.20 WIB
S: sesak nafas, bicara sengau, sulit menelan
O: Status generalis
Sens E4M6V5 TD: 120/80 mmHg HR: 88x/m RR:28x/m T:36.5 C
Status neurologis
N III
N III, IV, VI
N VII
N IX, X
simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (+), disfagia
N XII
(+)
deviasi lidah (-), disartria (-)
Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis
L ka
K
4
N
L ki
K
4
N
N
-
N
-
T ka
K
4
N
N
-
T ki
K
4
N
N
-
Fungsi luhur
dinilai
A : DK : ptosis ODS
general muscle weakness
disfonia
disfagia
DT:neuromuscularjunction
DE: myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
P:
Non farmakologis
-O2 nasal kanul 3L/m
Farmakologis
-IVFD assering gtt xx/m
-Mestinon 5x60 mg PO
-Rencana ENMG
-Methylprednisolon 3x125 mg IV
-Ambroxol syr 3x1C
14
N IX, X
simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (+), disfagia
N XII
(+)
deviasi lidah (-), disartria (-)
Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis
L ka
K
4
N
L ki
K
4
N
N
-
N
-
T ka
K
4
N
N
-
T ki
K
4
N
N
-
Fungsi luhur
dinilai
A : DK : ptosis ODS
general muscle weakness
disfonia
disfagia
DT:neuromuscular junction
DE: myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
Urtikaria ec susp. alergi obat methylprednisolon
P:
Non farmakologis
-O2 nasal kanul 3L/m
Farmakologis
-IVFD assering gtt xx/m
-Mestinon 5x60 mg PO
-Rencana ENMG
-Konsul kulit
15
N IX, X
simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (-), disfagia
N XII
berkurang
deviasi lidah (-), disartria (-)
Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis
L ka
C
5
N
L ki
C
5
N
N
-
N
-
T ka
C
5
N
N
-
T ki
C
5
N
N
-
Fungsi luhur
dinilai
A : DK : disfagia
DT :neuromuscular junction
DE : myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
P:
Non farmakologis
-Bed rest
Farmakologis
-IVFD assering gtt xx/m
-Mestinon 5x60 mg PO
-Rencana ENMG
16
N IX, X
simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (-), disfagia
N XII
berkurang
deviasi lidah (-), disartria (-)
Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis
L ka
C
5
N
L ki
C
5
N
N
-
N
-
T ka
C
5
N
N
-
T ki
C
5
N
N
-
Fungsi luhur
dinilai
A : DK : disfagia perbaikan
DT:neuromuscularjunction
DE: myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
P:
Non farmakologis
-Bed rest
Farmakologis
-Mestinon 5x60 mg PO
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang disebabkan oleh
Epidemiologi
Prevalensi miastenia gravis diperkirakan mencapai 43 sampai 84 juta
orang dan angka kejadian tahunan adalah sekitar 1 per 300.000 orang. Penyakit ini
dapat terjadi pada usia berapa pun, tetapi onset pada dekade pertama relatif jarang
(hanya 10 persen kasus terjadi pada anak-anak dibawah 10 tahun). Usia puncak
terjadi antara usia 20 dan 30 tahun pada wanita, dan antara 50 dan 60 tahun pada
laki-laki. Di bawah usia 40 tahun, wanita terkena 2-3 kali lebih sering dibanding
pria, sedangkan di kemudian hari, insiden pada laki-laki lebih tinggi (3: 2). Pada
pasien dengan timoma, mayoritas penderita miastenia gravis adalah usia tua (50
sampai 60 tahun) dengan predominansi pada laki-laki. 1
Jenis kelamin dan usia tampaknya mempengaruhi terjadinya miastenia
gravis. Di bawah usia 40 tahun, rasio kejadian miastenia gravis pada perempuan:
laki-laki adalah sekitar 3: 1, namun, antara 40 dan 50 tahun serta selama masa
pubertas, rasio kejadian miastenia gravis pada perempuan:laki-laki adalah sama.
Pada usia lebih dari 50 tahun, miastenia gravis lebih sering terjadi pada laki-laki.
Miastenia gravis pada anak-anak di Eropa dan Amerika Utara merupakan kasus
yang jarang, dan hanya terjadi pada 10%- 15% dari seluruh kasus miastenia
gravis, sedangkan di negara-negara Asia, hingga 50% pasien memiliki onset di
bawah usia 15 tahun, terutama dengan manifestasi okular.
2.3
Klasifikasi
18
19
subkelas
Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan
pada saat menutup mata, dan kekuatan otototot lain normal.
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin
II
IIb
yang ringan
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot
pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial
lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot
III
IIIb
ringan.
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot
pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dalam derajat ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
IV
20
IVb
ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti di bawah ini:
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik10.
2.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan
dengan penyakit-penyakit lain seperti: tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid
dan lupus eritematosus sistemik. Dulu dikatakan bahwa IgG autoimun antibodi
merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai
kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia
gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction
akibat penyakit autoimun. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot
yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor
21
acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabutserabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor
antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses
imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif
menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.
Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik,
karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar
membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate
menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih
besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehinggapotensial aksi
postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi otot
skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya
menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.
Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler
dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga
pada tahap lanjut miastenia gravis4.
Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit
otot lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan
tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu
dapat timbul pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik
yang sering terkena juga adalah otot wajah dan otot penelan. Pembuktian etiologi
auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa glandula timus mempunyai
hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula
timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur
timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat
germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus
eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia
hemolitik eksperimental pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiri
dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada
mayoritas penderita miastenia gravis. Kombinasi dengan arthritis rheumatid,
22
2.1 Patofisiologi
Ujung saraf menginervasi neuromuscular junction (NMJ) dari otot lurik
yang berasal dari percabangan akhir serabut saraf -motor neuron cornu anterior
medulla spinalis dan batang otak. NMJ sendiri merupakan celah sinaptik yang
berjarak 20 nm antar sinaps dan mengandung asetilkolinesterase (AChE)
bersamaan dengan protein/proteoglikan. Membran post-sinaps neuromuscular
junction memiliki lekukan dan reseptor asetilkolin (AChR) berada pada puncak
lekukan tersebut.
Saat potensial aksi saraf menyebar ke seluruh terminal, depolarisasi
mengakibatkan terbukan gerbang ion kalsium pada membran presinaps, memicu
terjadinya pelepasan asetilkolin (ACh) ke celah sinaptik. ACh menyebar ke celah
sinaptik dan mencapai reseptor membran post-sinaps serta ACh memicu EndPlate Potential (EPP) dan terhidrolisasi oleh asetilkolinesterase pada celah
sinaptik8.
MuSK (muscle specific tyrosine kinase), transmembran protein postsinaps, merupakan suatu bagian dari reseptor agrin. Agrin merupakan protein yang
ada
pada
lamina
basalis
sinaps.
Interaksi
agrin/MuSK
memicu
dan
mempertahankan kadar AChR (yang bergantung pada rapsyn) dan protein postsinaps lainnya. Rapsyn merupakan membran protein perifer pada membran postsinaps, penting dalam mempertahankan kadar AChR. Hal ini terbukti pada sebuah
penelitian yang menyatakan bahwa tikus eksperimental yang kekurangan agrin
atau MuSK gagal mempertahankan kondisi optimal pada NMJ dan tidak dapat
bertahan saat lahir karena kelemahan otot dalam3,11.
Berkurangnya jumlah molekul asetilkolinesterase reseptor (AChR) pada
neuromuscular junction menurunkan End-Plate Potential (EPP), yang jumlahnya
adekuat saat istirahat. Namun saat pelepasan asetilkolin berkurang setelah
aktivitas, EPP dapat turun dari nilai ambangnya yang dibutuhkan untuk memicu
potensial aksi12. Hal ini lah yang dapat disebut dengan kelemahan otot, dan saat
nilai ambang EPP menurun secara konsisten, hal ini dapat menyebabkan
kelemahan otot persisten.
2.5.1 Mekanisme Efektor dari Antibodi Anti-AChR
23
dapat
membantu
meringkan
gejala
pasien
24
25
matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah
bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan
ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan
ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau
(paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari
menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga
pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas
dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan
menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena
diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai
pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher,
sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota
gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan,
tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi19.
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut
digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis
dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,
sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul
kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehinggatimbulnya kesukaran
untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak
dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun20.
Gejala klinis miastenia gravis antara lain :
26
kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.
Gambar 1. Photograph of a patient with MG showing partial right ptosis. The left lid shows
compensatory pseudolid retraction because of equal innervation of the levator palpabrae
superioris (Herrings law).
2.3
Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai
derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta
simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih
ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
27
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jarijari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot
pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan
suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otototot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi9.
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan
dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah
28
Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
miastenia
okular.
2.
3.
4.
29
lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Untuk penegakan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang jelas, penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus menerus, lama
kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah beristirahat maka suara penderita kembali normal tidak parau lagi dan
mata tidak akan tampak ptosis7.
Pemeriksaan Laboratorium
dapat
digunakan
untuk
pemeriksaan
anti-asetilkolin
reseptor
antibody,
yang
30
titer
tersebut
tidak
dapat
digunakan
untuk
anti-AChR
Ab
negatif
(miastenia
gravis
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola crossstriational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.8.2
Imaging
31
anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan
usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untukmencari penyebab defisit pada
saraf otak
Diagnosis Banding
Menurut Ngurah (1991) dan Howard (2008). Beberapa diagnosis banding untuk
menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain :
32
2.9.1
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
2.9.2
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot
otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada
paru.EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan
terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
2.6 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan
1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya
ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini
mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu
33
34
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau
6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat
terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan
35
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan
36
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
37
38
2.11
Komplikasi
Ada 2 penyulit yang penting yaitu :
1. Krisis Kolinergik
Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat
antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat
dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat
deteriorasi yang bersifat temporer2.
Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat
antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuro-muscular
junction yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot.
Dapat diketahui dengan anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita
sedang menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan
pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat antikolinesterase,
setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada otot dan
penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk.
Ditemukan miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan
bila diraba dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan
yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika
pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan tekanan positif3.
2. Krisis Miastenia
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama
terjadi
pada
keadaan
pascabedah,
partus,
infeksi
atau
dengan
39
40
otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan
pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi3.
BAB IV
ANALISIS KASUS
Keluhan utama penderita saat datang adalah sesak nafas. Sejak 2 hari yang
lalu, penderita mengalami batuk pilek, namun tidak ada demam. Penderita juga
41
mengeluh sesak nafas dan suara sengau. 1 hari yang lalu, penderita mengeluh
sulit menelan makanan padat, namun masih bisa makan makanan dengan
konsistensi cair. 15 jam yang lalu, kelopak kedua mata pasien sulit untuk
dibuka, dan penderita mengalami kelemahan pada seluruh tubuh. Penderita juga
mengeluh sesak nafas yang semakin bertambah berat.
Riwayat didiagnosis miastenia gravis sejak Januari 2015 dan rutin konsumsi
mestinon 2x1 tab. Sejak Januari 2016 sampai sekarang, dosis mestinon
ditingkatkan menjadi 4x1 tab. Penderita sedang hamil 16 minggu ( HPHT: Januari
2016), kontrol teratur dengan dokter spesialis kebidanan.
Dari pemeriksaan klinis neurologis didapatkan GCS 15, gambaran pupil bulat
isokor, refleks cahaya ada, diameter pupil kanan dan kiri 3mm/3mm, terdapat
ptosis ODS, plica nasolabialis simetris, sudut mulut tidak tertinggal, arcus faring
simetris, uvula di tengah, disfonia ada, ganggan menelan ada, refleks muntah
ada, deviasi lidah tidak ada, disartria tidak ada. Pada pemeriksaan fungsi motorik
didapatkan gerakan kedua lengan dan tungkai kurang, kekuatan kedua
lengan dan tungkai dapat melawan gravitasi dengan tahanan sedang, tonus
normal, refleks fisiologis normal, dan tidak ada refleks patologis.
Berdasarkan gejala yang dialami penderita didapatkan yaitu kelemahan
umum kedua lengan dan tungkai, kesulitan menelan, suara sengau, ptosis
bilateral, dan sesak nafas. Menurut klasifikasi dari Myastenia Gravis
Foundation of America (MGFA), pasien diklasifikasikan sebagai miastenia gravis
kelas III subkelas IIIb yang ditandai dengan adanya keterlibatan otot orofaringeal,
otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan, serta terdapat kelemahan
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Pasien ini didapati sesak nafas yang menunjukkan adanya kelemahan otot-otot
pernafasan.
Ptosis yang timbul pada pasien ini disebabkan oleh lumpuhnya nervus
okulomotorius. Selain itu juga ditemukan adanya suara sengau yang
mengindikasikan adanya paralisis palatum molle. Timbulnya kelemahan pada
faring, lidah, palatum molle dan laring serta timbulnya kesukaran untuk menelan
dan berbicara merupakan manifestasi klinis dari pasien MG.
Pasien ini sudah didiagnosis miastenia gravis sejak Januari 2015 dengan rutin
konsumsi mestinon 4 x 60 mg. Pada pasien ini terdapat beberapa keadaan yang
42
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Shah,
Aashit
K.
2016.
Myasthenia
Gravis.http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#a1.
Diakses 3 April 2016.
2. Trouth, Annapurni Jayam. 2012. Myasthenia Gravis: a Journal.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3501798/pdf/AD2012874680.pdf. Howard University Hospital. doi:10.1155/2012/874680
3. B. M. Conti-Fine, M. Milani, and H. J. Kaminski, Myasthenia gravis: past,
present, and future, Journal of Clinical Investiga- tion, vol. 116, no. 11, pp.
28432854, 2006.
4. D. Grob, N. Brunner, T. Namba, and M. Pagala, Lifetime course of
myasthenia gravis, Muscle and Nerve, vol. 37, no. 2, pp. 141149, 2008.
5. X. Zhang, M. Yang, J. Xu et al., Clinical and serological study of myasthenia
gravis in Hu Bei Province, China, Journal of Neurology, Neurosurgery and
Psychiatry, vol. 78, no. 4, pp. 386 390, 2007.
6. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ (2006). Myasthenia gravis: past,
present, and future. J. Clin. Invest. 116 (11): 284354.
7. Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga
University Press. Page: 301-305.
8. Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/
myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Accessed : March 22,
2008.
9. Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708,
etc Juli, 2008
10. Keesey JC. Clinical evaluation and management of myasthenia gravis.
Muscle Nerve. 2004 Apr. 29(4):484-505
11. D. J. Glass, D. C. Bowen, T. N. Stitt et al., Agrin acts via a MuSK receptor
complex, Cell, vol. 85, no. 4, pp. 513523, 1996.
12. M. Morgutti, B. M. Conti-Tronconi, A. Sghirlanzoni, and F. Clementi,
Cellular immune response to acetylcholine recep- tor in myasthenia gravis:
II. Thymectomy and corticosteroids, Neurology, vol. 29, no. 5, pp. 734738,
1979.
13. H. L. Weiner, Induction and mechanism of action of trans- forming growth
factor--secreting Th3 regulatory cells, Immunological Reviews, vol. 182,
44
45