You are on page 1of 45

BAB I

PENDAHULUAN
Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang relatif jarang di
mana antibodi terbentuk terhadap acetylcholine nicotinic postsynaptic receptors
pada neuromuscluar junction dari otot skeletal. Gejala okular terkadang
menunjukkan gejala ringan dari Myasthenia Gravis dibandingkan gejala-gejala
lain yang lebih luas.1 Prevalensinya semakin meningkat menjadi sekitar 20 per
100.000 populasi Amerika Serikut. Penyakit autoimun ini memiliki karakteristik
sebagai kelemahan otot secara fluktuatif, memburuk saat beraktivitas, dan
membaik saat istirahat. Meskipun etiologinya masih belum diketahui, peran
antibodi yang bersirkulasi dan menyerang nicotinic acetylcholine receptor
merupakan patogenesis yang dapat diterima. Deteksi dini penyakit ini sangat
penting untuk dilakukan mengingat Myasthenia Gravis itu sendiri merupakan
penyakit yang dapat ditatalaksana.2
Pada sekitar 10% pasien myasthenia gravis, gejala hanya dibatasi pada
gejala otot muskular ekstrinsik, yang dapat disebut sebagai suatu kondisi okular
myasthenia gravis (oMG). Pada usia di bawah 40 tahun, rasio wanita : laki-laki
adalah 3 : 1; kemudian, di antara usia 40-50 tahun dan saat pubertas, rasionya
menjadi sama. Namun pada usia 50 tahun ke atas, penyakit ini lebih sering terjadi
pada laki-laki.4Di Asia, hingga 50% pasien memiliki onset di bawah 15 tahun,
secara umum dengan manifestasi okular murni.5
Kelemahan otot yang terjadi pada myasthenia gravis disebabkan oleh
reseptor asetilkolin pada neuromuskular junction yang diserang oleh autoimun,
sehingga dapat menyebabkan defisiensi yang memicu terjadinya gangguan
komunikasi antara sel saraf dan sel otot serta menyebabkan kelemahan otot.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun
di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok
AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, antiAChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan
lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien
penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada
mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan
penting dalam etiologi penyakit ini.6
1

BAB II
2

STATUS PENDERITA
I.

IDENTIFIKASI
Nama

: Ny. TAM

Tanggal Lahir

: 2 November 1986

Umur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl. Batanghari 5 No.222/223 RT 02 RW 01 Lebong Gajah,


Sematang Borang, Palembang

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

Tanggal MRS

: 10 Juni 2016

No. RM/Register : 0000907199/RI16016151


II. ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian neurologi RSMH karena mengalami sesak
nafas.
2 hari yang lalu, penderita mengalami batuk pilek, namun tidak ada
demam. Penderita juga mengeluh sesak nafas dan suara sengau. 1 hari yang
lalu, penderita mengeluh sulit menelan makanan padat, namun masih bisa
makan makanan dengan konsistensi cair. 15 jam yang lalu, kelopak kedua
mata pasien sulit untuk dibuka, dan penderita mengalami kelemahan pada
seluruh tubuh. Penderita juga mengeluh sesak nafas yang semakin bertambah
berat. Gangguan sensibilitas tidak ada, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat didiagnosis miastenia gravis sejak Januari 2015 dan rutin
konsumsi mestinon 2x1 tab. Sejak Januari 2016 sampai sekarang, dosis
mestinon ditingkatkan menjadi 4x1 tab. Riwayat demam tidak ada. Riwayat
batuk pilek ada sejak 2 hari yang lalu. Penderita sedang hamil 16 minggu
(HPHT: Januari 2016), kontrol teratur dengan dokter spesialis kebidanan.

III.

PEMERIKSAAN
Status Internus

Kesadaran

: GCS = 15 (E4M6V5)

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 96 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Suhu Badan

: 36,0 C

Pernapasan

: 26 kali/menit

BB

: 50 kg

TB

: 155 cm

IMT

: 20.81 kg/m2 (Normoweight)

Kepala

: normosefali

Leher

: kaku kuduk (-)

Thorax
Cor

:I

: Ictus kordis tidak terlihat

P : Ictus kordis tidak teraba


P : Tak ada kelainan
A : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-),
Pulmo

Abdomen

Ekstremitas
Kulit

:
:

gallop (-)
I : Gerakan dada simetris
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)
I : Datar, simetris
P : Lemas
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Akral pucat (-/-), edema pretibial (-)
Turgor > 2

Status Psikiatrikus
Sikap

: kooperatif

Perhatian : ada

Ekspresi Muka

: berkurang

Kontak Psikik

: ada

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk

: Normochepali

Deformitas

: tidak ada

Ukuran

: normal

Fraktur

: tidak ada

Simetris

: simetris

Nyeri fraktur

: tidak ada

Hematom

: tidak ada

Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

Tumor

: tidak ada

Pulsasi

: tidak ada

Sikap

: lurus

Deformitas

: tidak ada

Torticolis

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

LEHER

Kaku kuduk: tidak ada

Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius
Penciuman

Kanan
Tidak ada kelainan

Kiri
Tidak ada kelainan

Anosmia

tidak ada

tidak ada

Hiposmia

tidak ada

tidak ada

Parosmia

tidak ada

tidak ada

N. Optikus
Visus

Kanan
6/6

Kiri
6/6

Campus visi

V.O.D

V.O.S

Anopsia

tidak ada

tidak ada

Hemianopsia

tidak ada

tidak ada

FundusOculi

tidak ada

tidak ada

Papil edema
Papil atrofi
Perdarahan retina

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

N. Occulomotorius,

Kanan

Kiri

Trochlearis, & Abducens

Diplopia

Tidak ada

Tidak ada

Celah mata

tidak ada

tidak ada

ada

ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

tidak ada

Baik ke segala

Baik ke segala

arah

arah

Bulat

Bulat

3 mm

3 mm

Pupil

Isokor

Isokor

Ptosis
Sikap bola mata
Strabismus

(-)
Exophtalmus

(-)
Enophtalmus

(-)
Deviation conjugae

Gerakan bola mata

Bentuk
Diameter
Isokor/anisokor
Midriasis/miosis
Refleks cahaya
Langsung
Konsensuil
Akomodasi
- Argyl Robertson

N. Fasialis
Motorik
-

Mengerutkan dahi
Menutup mata
Menunjukkan gigi
Lipatan nasolabialis
Bentuk muka

Sensorik
-

2/3 depan lidah


Otonom
Salivasi
Lakrimasi
Chvosteks sign

Kanan

Kiri

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Simetris

Simetris

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

N. Cochlearis
Suara bisikan

Kanan

Kiri
Tidak ada kelainan

Detik arloji

Tidak ada kelainan

Tes Weber

Tidak ada kelainan

Tes Rinne

Tidak ada kelainan

N. Olfaktorius
Penciuman

Kanan
Tidak ada kelainan

Kiri
Tidak ada kelainan

Anosmia

tidak ada

tidak ada

Hiposmia

tidak ada

tidak ada

Parosmia

tidak ada

tidak ada

N. Vestibularis
Nistagmus

Kanan
tidak ada

Kiri
tidak ada

Vertigo

tidak ada

tidak ada

N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Arcus pharingeus

Kanan
Kiri
Tidak ada kelainan

Uvula

Tidak ada kelainan

Gangguan menelan

ada

Suara serak/sengau

sengau

Denyut jantung

Tidak ada kelainan

Refleks
-

Muntah
Batuk
Okulokardiak
Sinus karotikus

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Sensorik
-

Tidak ada kelainan

1/3 belakang lidah


Tidak ada kelainan

N. Accessorius

Kanan

Kiri

Mengangkat bahu

Tidak ada kelainan

Memutar kepala

Tidak ada kelainan

N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah

Kanan

Kiri
Simetris

Fasikulasi

Atrofi papil

Disatria
MOTORIK
LENGAN
Gerakan

Kanan
Kurang

Kiri
Kurang

Kekuatan

normal

normal

normal

normal

normal

normal

normal

normal

normal

normal

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

TUNGKAI

Kanan

Kiri

Gerakan

Kurang

Kurang

Kekuatan

normal

normal

normal

normal

Tonus
Refleks fisiologis
-

Biceps
Triceps
Radius
Ulnaris

Refleks patologis
-

Hoffman Tromner
Leri
Meyer

Trofi

Tonus
Klonus
-

Paha
Kaki

Refleks fisiologis
-

KPR
APR

Refleks patologis

normal

normal

Babinsky

Chaddock

Oppenheim

Gordon

Schaeffer

Rossolimo

Refleks kulit perut


- Atas

tidak ada kelainan

- Tengah

tidak ada kelainan

- Bawah

tidak ada kelainan

Refleks cremaster

tidak dilakukan

Trofik

tidak ada kelainan

SENSORIK

tidak ada kelainan

FUNGSIVEGETATIF
9

Miksi

tidak ada kelainan

Defekasi

tidak ada kelainan

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis

: tidak ada

Lordosis

: tidak ada

Gibbus

: tidak ada

Deformitas

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Meningocele

: tidak ada

Hematoma

: tidak ada

Nyeri ketok

: tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk

: (-)

Kerniq

: (-)

Lasseque

: (-)

Brudzinsky
-

Neck

: (-)

Cheek

: (-)

Symphisis

: (-)

Leg I

Leg II

: (-)
: (-)

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait

Keseimbangan dan Koordinasi

Ataxia

: belum dapat dinilai

Romberg

: belum dapat dinilai

Hemiplegic

: belum dapat dinilai

Dysmetri

: belum dapat dinilai

Scissor

: belum dapat dinilai

- jari-jari

: tidak ada kelainan

Propulsion

: belum dapat dinilai

- jari hidung

: tidak ada kelainan

Histeric

: belum dapat dinilai

- tumit-tumit

: tidak ada kelainan

Limping

: belum dapat dinilai

Rebound phenomen : tidak ada kelainan

Steppage

: belum dapat dinilai

Dysdiadochokinesis : tidak ada kelainan

Astasia-Abasi : belum dapat dinilai


Limb Ataxia

Trunk Ataxia: tidak ada kelainan

: belum dapat dinilai

10

GERAKAN ABNORMAL
Tremor

: (-)

Rigiditas

: (-)

Bradikinesia

: (-)

Chorea

: (-)

Athetosis

: (-)

Ballismus

: (-)

Dystoni

: (-)

Myocloni

: (-)

REFLEKS PRIMITIF
Glabella

: (-)

Palmomental

: (-)

FUNGSI LUHUR
Afasiamotorik

: (-)

Afasiasensorik

: (-)

Apraksia

: (-)

Agrafia

: (-)

Alexia

: (-)

Afasia nominal

: (-)

LABORATORIUM
DARAH
Hb

: 13,8 g/dL

Total Kolesterol

: tidak diperiksa

Eritrosit

: 4,55 x 10 /mm

Kolesterol HDL

: tidak diperiksa

Leukosit

: 10,4 x 103/mm3

Kolesterol LDL

: tidak diperiksa

Diff Count

: 0/5/80/11/4

Trombosit

: 279 x 103/L

Hematokrit

: 38%

Ureum

: 10mg/dL

Kreatinin

: 0,36 mg/dL

Ca

: 8,7 mg/dL

Mg

: 2,15 mEq/L

11

Na

: 145 mEq/L

: 3,5 mEq/L

Cl

: 118 mmol/L

BSS

: tidak diperiksa

SGOT

: tidak diperiksa

SGPT

: tidak diperiksa

URINE
Warna

: tidak diperiksa

Sedimen :

Reaksi

: tidak diperiksa

- Eritrosit

: tidak diperiksa

Protein

: tidak diperiksa

- Leukosit

: tidak diperiksa

Reduksi

: tidak diperiksa

- Thorak

: tidak diperiksa

Urobilin

: tIdak diperiksa

- Sel Epitel

: tidak diperiksa

Bilirubin

: tidak diperiksa

- Bakteri

: tidak diperiksa

Konsistensi

: tidak diperiksa

Eritrosit

: tidak diperiksa

Lendir

: tidak diperiksa

Leukosit

: tidak diperiksa

Darah

: tidak diperiksa

Telur cacing

: tidak diperiksa

Amuba coli/

: tidak diperiksa

Histolitika

: tidak diperiksa

FESES

LIQUOR CEREBROSPINALIS
Warna

: tidak diperiksa

Protein

: tidak diperiksa

Kejernihan

: tidak diperiksa

Glukosa

: tidak diperiksa

Tekanan

: tidak diperiksa

NaCl

: tidak diperiksa

Sel

: tidak diperiksa

Queckensted

: tidak diperiksa

Nonne

: tidak diperiksa

Celloidal

: tidak diperiksa

Pandy

: tidak diperiksa

Culture

: tidak diperiksa

PEMERIKSAAN KHUSUS
Rontgen thoraks PA : tidak diperiksa
CT Scan Kepala
IV.

: tidak diperiksa

DIAGNOSIS

12

Diagnosis Klinik

:Generalized muscle weakness, ptosis ODS,


disfagia, disfonia.

Diagnosis Topik

: Neuromuscular junction

Diagnosis Etiologi

: Myastenia gravis eksaserbasi akut

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Myasthenic crisis
VI.

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan edrophonium cloride (Tensilon)
2. Antibodi terhadap acetycholin receptor (AchR)
3. Repetitive Nerve Stimulation
4. Simple filter EMG
PENATALAKSANAAN
Non farmakologis
- Observasi ketat tanda-tanda vital
- O2 Nasal Canul 3 liter per menit
- Diet BB 1800 kkal
- Konsul obgyn
-

Farmakologis
IVFD assering gtt XX/menit
Mestinon 5x1 tab po
Methylprednisolon 3x250 mg IV
Ambroxol syr 3x1 cth

VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam

: dubia ad bonam

Quo ad Functionam

: dubia ad bonam

13

Follow up
Sabtu, 11/6/16 pukul 10.20 WIB
S: sesak nafas, bicara sengau, sulit menelan
O: Status generalis
Sens E4M6V5 TD: 120/80 mmHg HR: 88x/m RR:28x/m T:36.5 C
Status neurologis
N III
N III, IV, VI
N VII

pupil bulat, isokor, RC +/+, 3mm/3mm,ptosis ODS


baik ke segala arah, nistagmus (-)
plika nas olabialis simetris, sudut mulut simetris, kerut dahi

N IX, X

simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (+), disfagia

N XII

(+)
deviasi lidah (-), disartria (-)

Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis

L ka
K
4
N

L ki
K
4
N

N
-

N
-

T ka
K
4
N
N
-

T ki
K
4
N
N
-

Fungsi sensorik : tidak ada kelainan

GRM : tidak ada

Fungsi luhur

Gerakan abnormal : tidak ada

: tidak ada kelainan

Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan

Gait & kes. : belum dapat

dinilai
A : DK : ptosis ODS
general muscle weakness
disfonia
disfagia
DT:neuromuscularjunction
DE: myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
P:
Non farmakologis
-O2 nasal kanul 3L/m

Farmakologis
-IVFD assering gtt xx/m

-Diet BB 1500 kkal

-Mestinon 5x60 mg PO

-Rencana ENMG

-Methylprednisolon 3x125 mg IV
-Ambroxol syr 3x1C

14

Sabtu, 11/6/16 pukul 22.45 WIB


S: muncul kaligata di telapak tangan kiri, dirasakan setelah injeksi methylprednisolon
O: Status generalis
Sens E4M6V5 TD: 110/70 mmHg HR: 90x/m RR:24x/m T:36.5 C
Status neurologis
N III
N III, IV, VI
N VII

pupil bulat, isokor, RC +/+, 3mm/3mm,ptosis ODS


baik ke segala arah, nistagmus (-)
plika nas olabialis simetris, sudut mulut simetris, kerut dahi

N IX, X

simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (+), disfagia

N XII

(+)
deviasi lidah (-), disartria (-)

Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis

L ka
K
4
N

L ki
K
4
N

N
-

N
-

T ka
K
4
N
N
-

T ki
K
4
N
N
-

Fungsi sensorik : tidak ada kelainan

GRM : tidak ada

Fungsi luhur

Gerakan abnormal : tidak ada

: tidak ada kelainan

Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan

Gait & kes. : belum dapat

dinilai
A : DK : ptosis ODS
general muscle weakness
disfonia
disfagia
DT:neuromuscular junction
DE: myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
Urtikaria ec susp. alergi obat methylprednisolon
P:
Non farmakologis
-O2 nasal kanul 3L/m

Farmakologis
-IVFD assering gtt xx/m

-Diet BB 1500 kkal

-Mestinon 5x60 mg PO

-Rencana ENMG

-Methylprednisolon 3x125 mg IV stop

-Konsul kulit

-Ambroxol syr 3x1C

15

Senin, 13/6/16 pukul 07.00 WIB


S:, bicara sengau berkurang, sulit menelan berkurang, dahak (+) sulit dikeluarkan, sakit
kepala
O: Status generalis
Sens E4M6V5 TD: 110/80 mmHg HR: 70x/m RR:28x/m T:36.5 C
Status neurologis
N III
N III, IV, VI
N VII

pupil bulat, isokor, RC +/+, 3mm/3mm,ptosis ODS (-/-)


baik ke segala arah, nistagmus (-)
plika nasolabialis simetris, sudut mulut simetris, kerut dahi

N IX, X

simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (-), disfagia

N XII

berkurang
deviasi lidah (-), disartria (-)

Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis

L ka
C
5
N

L ki
C
5
N

N
-

N
-

T ka
C
5
N
N
-

T ki
C
5
N
N
-

Fungsi sensorik : tidak ada kelainan

GRM : tidak ada

Fungsi luhur

Gerakan abnormal : tidak ada

: tidak ada kelainan

Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan

Gait & kes. : belum dapat

dinilai
A : DK : disfagia
DT :neuromuscular junction
DE : myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
P:
Non farmakologis
-Bed rest

Farmakologis
-IVFD assering gtt xx/m

-O2 nasal kanul 3L/m

-Mestinon 5x60 mg PO

-Diet BB 1500 kkal

-Ambroxol syr 3x1C

-Rencana ENMG

-Amoxicilin tab 3x500 mg PO


-PCT 3x500 mg PO

16

Selasa, 14/6/16 pukul 06.30 WIB


S: batuk berdahak (+)
O: Status generalis
Sens E4M6V5 TD: 100/70 mmHg HR: 88x/m RR:24x/m T:36.7 C
Status neurologis
N III
N III, IV, VI
N VII

pupil bulat, isokor, RC +/+, 3mm/3mm,ptosis ODS (-/-)


baik ke segala arah, nistagmus (-)
plika nas olabialis simetris, sudut mulut simetris, kerut dahi

N IX, X

simetris
uvula di tengah, arcus faring simetris, disfonia (-), disfagia

N XII

berkurang
deviasi lidah (-), disartria (-)

Fungsi motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Ref fisiologis
Ref patologis

L ka
C
5
N

L ki
C
5
N

N
-

N
-

T ka
C
5
N
N
-

T ki
C
5
N
N
-

Fungsi sensorik : tidak ada kelainan

GRM : tidak ada

Fungsi luhur

Gerakan abnormal : tidak ada

: tidak ada kelainan

Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan

Gait & kes. : belum dapat

dinilai
A : DK : disfagia perbaikan
DT:neuromuscularjunction
DE: myasthenia gravis
Diagnosa tambahan: G3P2A0 hamil 16 minggu JTH intrauterine
ISPA
P:
Non farmakologis
-Bed rest

Farmakologis
-Mestinon 5x60 mg PO

-O2 nasal kanul 3L/m

-Ambroxol syr 3x1C

-Diet BB 1500 kkal

-PCT tab 3x500 mg PO


-Azitromisin 1x500 mg PO selama 3 hari

17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang disebabkan oleh

autoantibodi yang menyerang reseptor asetilkolin nikotinik pada membran


postsinaptik neuromuscularjunction. Penyakit ini ditandai dengan suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka, dimana kelemahan
meningkat selama beraktivitas dan berkurang bila penderita beristirahat. 1
2.2

Epidemiologi
Prevalensi miastenia gravis diperkirakan mencapai 43 sampai 84 juta

orang dan angka kejadian tahunan adalah sekitar 1 per 300.000 orang. Penyakit ini
dapat terjadi pada usia berapa pun, tetapi onset pada dekade pertama relatif jarang
(hanya 10 persen kasus terjadi pada anak-anak dibawah 10 tahun). Usia puncak
terjadi antara usia 20 dan 30 tahun pada wanita, dan antara 50 dan 60 tahun pada
laki-laki. Di bawah usia 40 tahun, wanita terkena 2-3 kali lebih sering dibanding
pria, sedangkan di kemudian hari, insiden pada laki-laki lebih tinggi (3: 2). Pada
pasien dengan timoma, mayoritas penderita miastenia gravis adalah usia tua (50
sampai 60 tahun) dengan predominansi pada laki-laki. 1
Jenis kelamin dan usia tampaknya mempengaruhi terjadinya miastenia
gravis. Di bawah usia 40 tahun, rasio kejadian miastenia gravis pada perempuan:
laki-laki adalah sekitar 3: 1, namun, antara 40 dan 50 tahun serta selama masa
pubertas, rasio kejadian miastenia gravis pada perempuan:laki-laki adalah sama.
Pada usia lebih dari 50 tahun, miastenia gravis lebih sering terjadi pada laki-laki.
Miastenia gravis pada anak-anak di Eropa dan Amerika Utara merupakan kasus
yang jarang, dan hanya terjadi pada 10%- 15% dari seluruh kasus miastenia
gravis, sedangkan di negara-negara Asia, hingga 50% pasien memiliki onset di
bawah usia 15 tahun, terutama dengan manifestasi okular.

2.3

Klasifikasi

18

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis


dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang
menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.
Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian
menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot
respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi
dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam
keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang
menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan
keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III
yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama
menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otototot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan
antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada
waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia
pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita
akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi. Menurut Myasthenia

19

Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan


sebagai berikut :
Kelas
I

subkelas

Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan
pada saat menutup mata, dan kekuatan otototot lain normal.
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin

II

parah, serta adanya kelemahan ringan pada


IIa

otot-otot lain selain otot okular.


Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal

IIb

yang ringan
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot
pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial
lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot

III

okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot


IIIa

okular mengalami kelemahan tingkat sedang.


Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya secara predominan.
Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang

IIIb

ringan.
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot
pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dalam derajat ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

IV

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular


IVa

mengalami kelemahan dalam berbagai derajat


Secara predominan mempengaruhi otot-otot
anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam
derajat ringan.

20

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot

IVb

pernapasan atau keduanya secara predominan.


Selain itu juga terdapat kelemahan pada otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan
intubasi.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa

ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti di bawah ini:
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik10.
2.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan
dengan penyakit-penyakit lain seperti: tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid
dan lupus eritematosus sistemik. Dulu dikatakan bahwa IgG autoimun antibodi
merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai
kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia
gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction
akibat penyakit autoimun. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot
yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor

21

acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabutserabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor
antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses
imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif
menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.
Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik,
karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar
membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate
menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih
besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehinggapotensial aksi
postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi otot
skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya
menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.
Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler
dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga
pada tahap lanjut miastenia gravis4.
Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit
otot lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan
tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu
dapat timbul pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik
yang sering terkena juga adalah otot wajah dan otot penelan. Pembuktian etiologi
auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa glandula timus mempunyai
hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula
timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur
timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat
germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus
eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia
hemolitik eksperimental pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiri
dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada
mayoritas penderita miastenia gravis. Kombinasi dengan arthritis rheumatid,

22

lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai


pada beberapa penderita miastenia gravis4.

2.1 Patofisiologi
Ujung saraf menginervasi neuromuscular junction (NMJ) dari otot lurik
yang berasal dari percabangan akhir serabut saraf -motor neuron cornu anterior
medulla spinalis dan batang otak. NMJ sendiri merupakan celah sinaptik yang
berjarak 20 nm antar sinaps dan mengandung asetilkolinesterase (AChE)
bersamaan dengan protein/proteoglikan. Membran post-sinaps neuromuscular
junction memiliki lekukan dan reseptor asetilkolin (AChR) berada pada puncak
lekukan tersebut.
Saat potensial aksi saraf menyebar ke seluruh terminal, depolarisasi
mengakibatkan terbukan gerbang ion kalsium pada membran presinaps, memicu
terjadinya pelepasan asetilkolin (ACh) ke celah sinaptik. ACh menyebar ke celah
sinaptik dan mencapai reseptor membran post-sinaps serta ACh memicu EndPlate Potential (EPP) dan terhidrolisasi oleh asetilkolinesterase pada celah
sinaptik8.
MuSK (muscle specific tyrosine kinase), transmembran protein postsinaps, merupakan suatu bagian dari reseptor agrin. Agrin merupakan protein yang
ada

pada

lamina

basalis

sinaps.

Interaksi

agrin/MuSK

memicu

dan

mempertahankan kadar AChR (yang bergantung pada rapsyn) dan protein postsinaps lainnya. Rapsyn merupakan membran protein perifer pada membran postsinaps, penting dalam mempertahankan kadar AChR. Hal ini terbukti pada sebuah
penelitian yang menyatakan bahwa tikus eksperimental yang kekurangan agrin
atau MuSK gagal mempertahankan kondisi optimal pada NMJ dan tidak dapat
bertahan saat lahir karena kelemahan otot dalam3,11.
Berkurangnya jumlah molekul asetilkolinesterase reseptor (AChR) pada
neuromuscular junction menurunkan End-Plate Potential (EPP), yang jumlahnya
adekuat saat istirahat. Namun saat pelepasan asetilkolin berkurang setelah
aktivitas, EPP dapat turun dari nilai ambangnya yang dibutuhkan untuk memicu
potensial aksi12. Hal ini lah yang dapat disebut dengan kelemahan otot, dan saat
nilai ambang EPP menurun secara konsisten, hal ini dapat menyebabkan
kelemahan otot persisten.
2.5.1 Mekanisme Efektor dari Antibodi Anti-AChR

23

(i) ikatan komplemen dan aktivasi pada NMJ


(ii) modulasi antigenik (endositosis AChR oleh antibodi molekul crosslinked)
(iii) Fungsional AChR blok: mencegah ACh normal berikatan pada AChR.
2.5.2 Peran Sel T CD4+ pada Myasthenia Gravis
IgG yang memiliki afinitas tinggi sintesisnya membutuhkan aktivasi
dari sel T CD4+ untuk dapat berinteraksi dan berstimulasi dengan sel B.
Oleh karena itu, timektomi, yang dapat menyebabkan hilangnya sel T
CD4+ spesifik-AChR,

dapat

membantu

meringkan

gejala

pasien

myasthenia gravis13. Hal ini sejalan dengan pengobatan dengan antibodi


anti-CD4+ juga menunjukkan dampak terapeutik. Pasien AIDS dengan
penurunan sel T CD4+ juga menunjukkan perbaikan gejala myasthenia.
2.5.3 Peran Sel T Subtipe CD4+ dan Sitokin pada Myasthenia Gravis dan
Experimental Autoimmune MG (EAMG)
Sel T CD4+ diklasifikasikan menjadi dua subtipe utama: sel Th1 dan
Th2. Sel Th1 menyekresikan sitokin proinflamasi, seperti IL-2, IFN-,
dan TNF-, yang penting untuk respons imun sel yang termediasi. Sel Th2
menyekresikan sitokin antiinflamasi, seperti IL-4, IL-6, dan IL-10, yang
berguna untuk menginduksi respons imun humoral. IL-4 kemudian
menstimulasi diferensiasi sel Th3 yang menyekresikan TGF-, dan
kemudian terlibat dalam mekanisme imunosupresif14.
Pasien MG memiliki sel Th1 anti-AChR yang melimpah dalam darah
yang dapat mengenali banyak epitope AChR dan dapat menginduksi sel B
untuk memproduksi antibodi anti-AChR yang memiliki afinitas tinggi. Sel
Th1 sangat diperlukan dalam perkembangan. Terapi dengan mengurangi
sitokin Th1 (TNF- and IFN-) telah dapat dibuktikan meringkan gejala
EAMG pada model binatang eksperimental15,16.
2.5.4 Autoantigen lain pada Myasthenia Gravis
Seronegatif pasien Myasthenia Gravis (MG) (yang kekurangan
antibodi Anti-AChR) memiliki antibodi anti-MuSK (hingga 40% pada
subgrup ini). Etnis atau lokasi lainnya (seperti orang Cina dan Norwegia)
memiliki frekuensi yang lebih rendah yang memiliki antibodi G antiMuSK pada seronegatif pasien MG. Pasien MG dengan antibodi antiMuSK tidak memiliki antibodi anti-AChR, kecuali dilaporkan pada pasien
Jepang17.

24

Jaras sinyal agrin/MuSK mempertahankan struktur dan fungsi


integritas post-sinaps pada aparatus neuromuscular junction dalam sel otot
dewasa. Antibodi anti-MuSK mempengaruhi kadar AChR yang bergantung
pada agrin yang ada pada NMJ, mengacu pada pengurangan jumlah
asetilkolinesterase reseptor. Kerusakan yang dimediasi oleh komplemen
juga dapat menyebabkan berkurangnya jumlah AChR pada NMJ saat
ditargetkan oleh antibodi anti-MuSK. Sel protein antiotot lainnya (seperti
antititin dan antibodi antiryanodine reseptor) juga dapat dikatakan
memiliki peran patogenesis pada pasien MG.
2.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal
yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33%
hanya terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya.
Kira-kira 15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala
kelainan okular. Yang lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan
mengunyah dan menelan. Anamnesis yang klasik dari penderita dengan miastenia
okular adalah adanya gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu
maghrib dan menghilang pada waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada
otot-otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara
basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila percakapan
berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni temporer. Adanya
kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita seringkali
menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu mengunyah. Keluhan lainnya
adalah disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan18.
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius
sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator
palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okuler adakalanya masih
bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat
diperjelas dengan test Wartenberg, dengan test tersebut pasien disuruh
menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari
matanya. Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari

25

matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah
bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan
ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan
ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau
(paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari
menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga
pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas
dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan
menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena
diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai
pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher,
sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota
gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan,
tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi19.
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut
digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis
dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,
sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul
kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehinggatimbulnya kesukaran
untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak
dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun20.
Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan


salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis
otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular
masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular

26

kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.

Gambar 1. Photograph of a patient with MG showing partial right ptosis. The left lid shows
compensatory pseudolid retraction because of equal innervation of the levator palpabrae
superioris (Herrings law).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga


mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya9.

2.3

Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai
derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta
simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih
ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan

27

suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jarijari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot
pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan
suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otototot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi9.
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan
dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah

28

aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan farmakologik


yaitu tes endrofonium atau dengan tes neostigmin.
Tes klinik, didasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena
1.

Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
miastenia

okular.
2.

Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot


bahu yang terkena.

3.

Pada kasus-kasus bulbar, penderita disuruh menghitung 1 sampai 100


maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.

4.

Sukar menelan bila terdapat gejala disfagia.


Tes Farmakologik
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Dengan pemberian injeksi 2 mg edrofonium, bila tidak ada efek samping
dilanjutkan dengan 8 mg yang diberikan intravena. Gejala miastenis gravis
akan membaik dalam waktu 30 detik sampai 1 menit dan efek akan hilang
dalam beberapa menit. Edrofonoium adalah asetilkolinesterase inhibitor.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Dengan pemberian 1,25 mg neostigmin secara intramuskularis, dapat
dikombinasi dengan atropin 0,6 mg untuk mencegah efek samping. Gejalanya
akan membaik dalam waktu 30 detik dan akan berakhir dalam 2 atau 3 jam
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-

29

lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Untuk penegakan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang jelas, penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus menerus, lama
kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah beristirahat maka suara penderita kembali normal tidak parau lagi dan
mata tidak akan tampak ptosis7.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1

Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini

dapat

digunakan

untuk

mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang


postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang
positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibody
pada

pemeriksaan

anti-asetilkolin

reseptor

antibody,

yang

dilakukan oleh Tidall, disampaikan pada tabel berikut :


Tabel 1.Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien
Miastenia Gravis

30

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi


pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah,
walaupun

titer

tersebut

tidak

dapat

digunakan

untuk

memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.


Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita
miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada
sekitar84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang
dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari
40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan
hasil

anti-AChR

Ab

negatif

(miastenia

gravis

seronegarif),menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis

menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola crossstriational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.8.2

Imaging

31

Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam


posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian

anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan

usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untukmencari penyebab defisit pada
saraf otak

2.8.2 Pendekatan Elektrodiagnostik


Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan elektrodiagnostik dapat
memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
2. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu
jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau
lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu
fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang
dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
2.5

Diagnosis Banding

Menurut Ngurah (1991) dan Howard (2008). Beberapa diagnosis banding untuk
menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain :

32

2.9.1

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III

pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :

Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)


Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
Paralisis pasca difteri
Pseudoptosis pada trachoma

2.9.2

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinanadanya

suatu sklerosis multipleks.


2.9.3

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton MyasthenicSyndrome).

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot
otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada
paru.EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan
terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

2.6 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan
1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya
ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini
mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu

33

mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu


mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. Efek muskarinik
seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan pemberian
atropin. Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk
dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping
selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama bila
timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan prednison
diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100
mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.
Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan
perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan
selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai
berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya
diberikan 3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk
menghindari timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau
ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu
diberikan 0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5
mgr. Prostigmin secara i.m).
3.

Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).

4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).


5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)
Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase
inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat
mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan central
nervous system effect. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat
menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan
pernafasan yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis
otot-otot dada dan depresi pusat pernafasan (sentral).

34

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,


tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek
yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan5.

1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

Plasma Exchange (PE)


Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.

Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau
6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat
terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan

35

yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan

Intravenous Immunoglobulin (IVIG)


Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-

activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.


Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak
dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.

36

Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat

37

dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping


berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama
diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang
dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya
jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan
membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun.
Persiapan untuk timektomi yaitu :
3. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang
optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
4. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka
harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan
respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.
5. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan
dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Thymectomy (Surgical Care)
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa
miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia
gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan
yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi,
sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang

38

seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam


waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.

2.11

Komplikasi
Ada 2 penyulit yang penting yaitu :

1. Krisis Kolinergik
Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat
antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat
dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat
deteriorasi yang bersifat temporer2.
Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat
antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuro-muscular
junction yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot.
Dapat diketahui dengan anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita
sedang menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan
pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat antikolinesterase,
setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada otot dan
penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk.
Ditemukan miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan
bila diraba dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan
yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika
pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan tekanan positif3.
2. Krisis Miastenia
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama
terjadi

pada

keadaan

pascabedah,

partus,

infeksi

atau

dengan

mempergunakan obat-obat yang memperberat keadaan miastenia. Bila

39

ragu-ragu dapat digunakan endofronium. Terdapat perbaikan yang bersifat


sempurna. Penderita miastenia gravis yang menderita krisis miastenik bila
kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai pula mengenai otototot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita terlalu
lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat
pula timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin,
luminal, diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis
miastenik dapat diberikan prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m3 .
Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan
sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil.
Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular
setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm. Pada
krisis miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg intramuskular. Ptosis yang
merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra jelas
lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okular adakalanya masih bisa bergerak
normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan
test Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya
pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik,
kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2
menit setelah menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan
timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau bilateral.
Setelah beberapa minggu sampai bulan ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia
(paralisis okuler) dan suara sengau (paralisis palatum mole). Kelumpuhankelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore. Tetapi lama kelamaan
kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan
sepanjang hari orang sakit tidak bebas dari kesulitan penglihatan (karena diplopia
dan ptosis) dan kesulitan menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter
untuk pengobatan karena diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non
bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena
adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian

40

otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan
pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi3.

BAB IV
ANALISIS KASUS
Keluhan utama penderita saat datang adalah sesak nafas. Sejak 2 hari yang
lalu, penderita mengalami batuk pilek, namun tidak ada demam. Penderita juga

41

mengeluh sesak nafas dan suara sengau. 1 hari yang lalu, penderita mengeluh
sulit menelan makanan padat, namun masih bisa makan makanan dengan
konsistensi cair. 15 jam yang lalu, kelopak kedua mata pasien sulit untuk
dibuka, dan penderita mengalami kelemahan pada seluruh tubuh. Penderita juga
mengeluh sesak nafas yang semakin bertambah berat.
Riwayat didiagnosis miastenia gravis sejak Januari 2015 dan rutin konsumsi
mestinon 2x1 tab. Sejak Januari 2016 sampai sekarang, dosis mestinon
ditingkatkan menjadi 4x1 tab. Penderita sedang hamil 16 minggu ( HPHT: Januari
2016), kontrol teratur dengan dokter spesialis kebidanan.
Dari pemeriksaan klinis neurologis didapatkan GCS 15, gambaran pupil bulat
isokor, refleks cahaya ada, diameter pupil kanan dan kiri 3mm/3mm, terdapat
ptosis ODS, plica nasolabialis simetris, sudut mulut tidak tertinggal, arcus faring
simetris, uvula di tengah, disfonia ada, ganggan menelan ada, refleks muntah
ada, deviasi lidah tidak ada, disartria tidak ada. Pada pemeriksaan fungsi motorik
didapatkan gerakan kedua lengan dan tungkai kurang, kekuatan kedua
lengan dan tungkai dapat melawan gravitasi dengan tahanan sedang, tonus
normal, refleks fisiologis normal, dan tidak ada refleks patologis.
Berdasarkan gejala yang dialami penderita didapatkan yaitu kelemahan
umum kedua lengan dan tungkai, kesulitan menelan, suara sengau, ptosis
bilateral, dan sesak nafas. Menurut klasifikasi dari Myastenia Gravis
Foundation of America (MGFA), pasien diklasifikasikan sebagai miastenia gravis
kelas III subkelas IIIb yang ditandai dengan adanya keterlibatan otot orofaringeal,
otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan, serta terdapat kelemahan
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Pasien ini didapati sesak nafas yang menunjukkan adanya kelemahan otot-otot
pernafasan.
Ptosis yang timbul pada pasien ini disebabkan oleh lumpuhnya nervus
okulomotorius. Selain itu juga ditemukan adanya suara sengau yang
mengindikasikan adanya paralisis palatum molle. Timbulnya kelemahan pada
faring, lidah, palatum molle dan laring serta timbulnya kesukaran untuk menelan
dan berbicara merupakan manifestasi klinis dari pasien MG.
Pasien ini sudah didiagnosis miastenia gravis sejak Januari 2015 dengan rutin
konsumsi mestinon 4 x 60 mg. Pada pasien ini terdapat beberapa keadaan yang

42

menimbulkan eksaserbasi yaitu kehamilan dan infeksi, terutama infeksi saluran


pernafasan yang ditandai dengan adanya keluhan batuk pilek. Secara fisiologik
sistem imun pada ibu hamil menurun, yang merupakan kemungkinan akibat dari
toleransi sistem imun ibu terhadap bayi, sehingga seorang ibu hamil sangat rentan
terhadap terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Selain itu, terdapat
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kemotaksis leukosit PMN
berkurang pada awal trimester kedua dan terus berlanjut sampai akhir kehamilan.
Ada kemungkinan bahwa berkurangnya fungsi leukosit pada ibu hamil
berkontribusi terhadap peningkatan kejadian penyakit autoimun. Hal ini juga
menyebabkan peningkatan kerentanan ibu hamil terhadap infeksi, yang dapat
mempermudah terjadinya eksaserbasi pada kasus maistenia gravis.
Pada pasien ini, pengobatan farmakologis yang telah diberikan adalah
mestinon (piridostigmin bromide) 5 x 60 mg tab per oral yang bekerja dengan
menghambat pengurangan (breakdown) jumlah asetilkolin yang terjadi secara
alami oleh asetilkolinesterase. Piridostigmin memiliki durasi yang lebih panjang
dan efek samping gastrointestinal yang lebih minimal dibandingkan prostigmin
(neostigmin). Pemberian ambroxol syr 3x1c dan PCT 3x500 mg PO diberikan
pada pasien ini sebagai terapi simtomatis.

43

DAFTAR PUSTAKA
1. Shah,
Aashit
K.
2016.
Myasthenia
Gravis.http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#a1.
Diakses 3 April 2016.
2. Trouth, Annapurni Jayam. 2012. Myasthenia Gravis: a Journal.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3501798/pdf/AD2012874680.pdf. Howard University Hospital. doi:10.1155/2012/874680
3. B. M. Conti-Fine, M. Milani, and H. J. Kaminski, Myasthenia gravis: past,
present, and future, Journal of Clinical Investiga- tion, vol. 116, no. 11, pp.
28432854, 2006.
4. D. Grob, N. Brunner, T. Namba, and M. Pagala, Lifetime course of
myasthenia gravis, Muscle and Nerve, vol. 37, no. 2, pp. 141149, 2008.
5. X. Zhang, M. Yang, J. Xu et al., Clinical and serological study of myasthenia
gravis in Hu Bei Province, China, Journal of Neurology, Neurosurgery and
Psychiatry, vol. 78, no. 4, pp. 386 390, 2007.
6. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ (2006). Myasthenia gravis: past,
present, and future. J. Clin. Invest. 116 (11): 284354.
7. Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga
University Press. Page: 301-305.
8. Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/
myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Accessed : March 22,
2008.
9. Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708,
etc Juli, 2008
10. Keesey JC. Clinical evaluation and management of myasthenia gravis.
Muscle Nerve. 2004 Apr. 29(4):484-505
11. D. J. Glass, D. C. Bowen, T. N. Stitt et al., Agrin acts via a MuSK receptor
complex, Cell, vol. 85, no. 4, pp. 513523, 1996.
12. M. Morgutti, B. M. Conti-Tronconi, A. Sghirlanzoni, and F. Clementi,
Cellular immune response to acetylcholine recep- tor in myasthenia gravis:
II. Thymectomy and corticosteroids, Neurology, vol. 29, no. 5, pp. 734738,
1979.
13. H. L. Weiner, Induction and mechanism of action of trans- forming growth
factor--secreting Th3 regulatory cells, Immunological Reviews, vol. 182,
44

pp. 207214, 2001.


14. P. Christadoss and E. Goluszko, Treatment of experimental autoimmune
myasthenia gravis with recombinant human tumor necrosis factor receptor Fc
protein, Journal of Neu- roimmunology, vol. 122, no. 1-2, pp. 186190,
2002.
15. T. Feferman, P. K. Maiti, S. Berrih-Aknin et al., Overexpres- sion of IFNinduced protein 10 and its receptor CXCR3 in myasthenia gravis, Journal of
Immunology, vol. 174, no. 9, pp. 53245331, 2005.
16. F. D. Shi, H. B. Wang, H. Li et al., Natural killer cells deter- mine the
outcome of B cell-mediated autoimmunity, Nature Immunology, vol. 1, no.
3, pp. 245251, 2000.
17. A. Vincent and M. I. Leite, Neuromuscular junction autoim- mune disease:
muscle specific kinase antibodies and treat- ments for myasthenia gravis,
Current Opinion in Neurology, vol. 18, no. 5, pp. 519525, 2005.
18. Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hal. 327-332.
19. Sidharta Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta.
Penerbit Dian Rakyat. Hal. 129Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Saraf. Airlangga University Press. 1991. Hal: 301-305.

45

You might also like