You are on page 1of 20

I.

PENDAHULUAN
Karsinogenesis merupakan proses perubahan menjadi kanker, proses ini melalui
tahapan yang disebut sebagai multistep carsinogenesis. Proses karsinogenesis secara
bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut
dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker atau malignant cell.1
Kanker serviks uteri masih merupakan kanker pada wanita nomor 2 tersering
diseluruh dunia, dimana didapatkan angka 15% dari semua kanker pada wanita. Ini
merupakan kanker yang paling banyak pada wanita di negara berkembang, vaitu 2030% dari semua kanker wanita. Di negara maju frekuensinya berkisar hanya 4-6%.
Perbedaan yang besar ini mencerminkan pengaruh dari skrining masal secara luas
yang menggunakan metode sitologi serviks.2
Umur penderita antara 30-60 tahun dan terbanyak pada umur 45-50 tahun.
Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif sekitar 10 tahun, hanya 9%
dari perempuan berumur kurang dari 35 tahun yang menunjukkan keganasan serviks
uteri yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari karsinoma in situ
terdapat pada wanita dibawah umur 35 tahun.3
Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan salah satu
model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari proses
karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga tumbuh
menjadi invasif.
Diagnosis kanker serviks uteri tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah kanker
serviks. Ini dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi
prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini lesi prakanker serviks, disertai
dengan kemampuan untuk menatalaksanainya yang tepat, akan dapat menurunkan
angka kejadian kanker serviks.
Dalam upaya menurunkan angka kejadian kanker serviks, perlu disadari akan
pentingnya pencegahan dan deteksi dini. Pemeriksaan Tes Pap merupakan salah satu
sarana untuk deteksi dini kanker serviks.4

2
II.

PERUBAHAN NEOPLASMA EPITEL SERVIKS


Proses terjadinya kanker serviks uteri sangat erat hubungannya dengan proses metaplasia
Masuknya bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara genetik atau mutagen
pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi ganas.
Perubahan biasanya terjadi pada daerah SSK atau daerah transformasi. Mutagen tersebut
berasal dari agen-agen yang ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa
Human Papilloma Virus (HPV) memegang peranan penting.5-7
Sel-sel yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia. Dimulai
dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, karsinoma in situ dan kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in situ dikenal
juga sebagai tingkat prakanker.5-7
Derajat kelainan epitel didasarkan pada kelainan polaritas dan atipia yang ditemukan
pada sel-sel epitel. Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks
(NIS) untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in situ. NIS terdiri dari :5-8
1. NIS 1 disebut displasia ringan, bila polaritas sel sudah tidak baik sampai kira-kira 1/3
tebal epitel dan atipia sel masih ringan.
2. NIS 2 atau displasia sedang, bila perubahan mencakup - tebal dan atipia derajat
sedang.
3. NIS 3 atau displasia berat dan karsinoma insitu, bila perubahan tersebut atau
seluruh tebal dan polaritas tidak teratur, atipia sel berat serta ditemukan mitosis sel.
Untuk berlanjut menjadi karsinoma in situ umumnya diperlukan waktu 5 tahun dari
displasia ringan, 3 tahun dari displasia sedang dan 1 tahun dari displasia berat. Namun
tidak semua displasia akan menjadi karsinoma. Displasia dapat mengalami regresi,
menetap bertahun-tahun atau memburuk tergantung pada daya tahan penderita.6-8
Pada penelitian Dexeus, dkk. mendapatkan bahwa 15% displasia ringan akan
berkembang menjadi displasia sedang, 30% displasia sedang akan berkembang
menjadi displasia berat dan 40% mengalami regresi menjadi displasia ringan. Empat
puluh lima persen displasia berat akan berkembang menjadi karsinoma insitu.6-8

3
III.

FAKTOR ETIOLOGI
Seiring dengan berkembangnya penelitian biomolekuler HPV, tampak makin jelas
bahwa HPV anogenital memegang peranan penting dalam patogenesis kanker serviks.
Pada 90-95% kanker serviks telah dibuktikan HPV risiko tinggi. Pada suatu penelitian
oleh Lungu, dkk. vang menggunakan polymerase chain reaction (PCR), didapati
bahwa 88% LIS derajat tinggi ditemukan partikel HPV tipe 16,18, dan 31, sedangkan
hanya pada 7% yang ditemukan berbagai tipe HPV. Willet, dkk. dan Franquement,
dkk. dengan teknik hibridasi in situ menemukan lebih dari 70% HPV tipe 16 dalam
LIS derajat tinggi.8,9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tipe 6 dan 11 ditemukan pada 35%
kondiloma akuminata dan CIN I, 10% pada CIN II dan III dan hanya 1% pada
karsinoma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10% kondiloma akuminata
dan CIN I, 51% pada CIN II dan III dan 63% pada karsinoma invasif. Kemudian
disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan kanker
serviks, yaitu:8,10
1. HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang ditemukan pada karsinoma
invasif.
2. HPV risiko sedang, yaitu HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, 58.
3. HPV risiko tinggi yaitu HPV tipe 16, 18, 31.
Dengan demikian infeksi HPV ini merupakan faktor inisiasi untuk terjadinya
proliferasi dan perubahan morfologi. Keadaan ini disebut fase laten dan memerlukan
faktor promotor seperti nikotin, virus lain, atau mutasi acak agar dapat
bermanifestasi.8-10

IV.

RAGAM TERMINOLOGI PELAPORAN SITOLOGI


Terminologi yang semula banyak digunakan dalam pelaporan mengacu pada klasifikasi
Papanicolaou (Papaniculaou & Traut 1943) yang dinyatakan dalam kelas I - kelas V
yaitu:11
Kelas I

: Tidak ditemukan sel atipik atau sel abnormal

Kelas II

: Sitologi atipik tetapi tidak ditemukan keganasan

4
Kelas III

: Sitologi sugestif tetapi tidak konklusif keganasan

Kelas IV

: Sitologi sangat sugestif keganasan

Kelas V

: Sitologi konklusif keganasan

Klasifikasi ini banyak ditinggalkan karena:4


1. Tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina
2. Tidak memiliki padanan dengan terminologi histopatologi
3. Tidak mencantumkan diagnosis non kanker
4. Interpretasinya tidak seragam
5. Tidak menunjukkan pernyataan diagnosis
Pada tahun 1953, Reagen mengajukan terminologi displasia-karsinoma insitu dan
karsinoma invasif. Terminologi ini terdiri atas negatif, displasia ringan, displasia keras,
karsinoma insitu dan karsinoma invasif. Penerimaan ahli patologi terhadap terminologi
ini cukup baik sehingga dipakai secara luas. Kelemahan terminologi ini yakni adanya
ketidaksinambungan pengertian akibat adanya perbedaan antara displasia keras dan
karsinoma in situ. Untuk memperbaiki kekurangan tersebut pada tahun 1967, Richart
mengajukan terminologi neoplasia intra-epitelial serviks (NIS) dengan kategori normal,
atypia, NIS 1 sesuai dengan displasia ringan, NIS 2 sesuai dengan displasia sedang dan
NIS 3 sesuai dengan displasia berat dan karsinoma insitu. Keluhan yang muncul terhadap
klasifikasi ini adalah pada NIS 1 yang menyatakan potensi keganasan tetapi meliputi
kelompok besar displasia ringan yang sebagian besar hanya akibat peradangan.4,11
Pada tahun 1988 dan 1991 pertemuan para ahli sitopatologi melahirkan sistem
Bethesda sebagai sistem pelaporan sitopatologi baru yang bertujuan:4
1. Menghilangkan kelas-kelas Papaniculaou
2. Menciptakan terminologi seragam memakai istilah diagnostik
3. Memasukkan pernyataan adekuasi
4. Membuat sitologi sebagai konsultasi medik antar ahli sitologi dan klinikus.
Selain ini sistem Bethesda juga mengandung unsur:4
1. Komunikasi yang efektif antara ahli sitopatologi dan dokter yang merujuk
2. Mempermudah korelasi sitologi-histopatologi
3. Mempermudah penelitian epidemiologi, biologi dan patologi
4. Data yang dapat dipercaya untuk analisis statistik nasional dan internasional.

5
Kelebihan cara pelaporan The Bethesda System (TBS) adalah penyederhanaan
terminologi dengan memakai terminologi diagnostik yang jelas untuk kategori umum: 4
1. Dalam batas normal
2. Perubahan seluler jinak
3. Abnormalitas sel epitel
Tabel 1. Perbandingan sistem klasifikasi sitologi

Dikutip dari Hatch KD dan Berek JS12


Adapun perbedaan Klasifikasi Bethesda tahun 1991 dengan tahun 2001 tentang
ASCUS adalah sebagai berikut:13
1. Bethesda tahun 1991 :
a. ASCUS-FR

: Favoring a reactive process

b. ASCUS-FN

: Favoring a dysplastic/neoplasticprocess

c. ASCUS-NOS

: Not other specified

2. Bethesda tahun 2001 :


a. ASC-US

: undetermined significance

b. ASC-H

: suggestive or HIS

6
V.

GAMBARAN SITOLOGI ASCUS


Keadaan prakanker serviks mengalami banyak perubahan dalam terminologinya.
Pertemuan Bethesda menyuguhkan istilah ASCUS dan Lesi Intraepitel Skuamosa (LIS)
untuk pengertian neoplasia serviks. ASCUS (Atypical squamous cells of undetermined
significance) yaitu istilah yang meliputi kelainan seluler melebihi kelainan yang
disebabkan perubahan reaktif/inflamasi akan tetapi tidak termasuk dalam batasan lesi
intra epitel. ASCUS dibedakan menjadi dua yaitu ASC-US dan ASC-H. Kriteria ASCUS
termasuk pembesaran inti (2,5 - 3 kali dari inti sel intermediate = 35 m2), ratio inti:
sitoplasma sedikit meningkat, variasi bentuk dan besar, dinding inti rata dan reguler,
kromatin halus sedikit hiperkromatik dan irreguleritas dalam distribusi kromatin, inti
ganda dan anak inti ditemukan, termasuk di sini metaplasia atipik, atipia atrofi dan
pembesaran sel yang tidak disebabkan oleh peradangan.4 Abnormalitas inti berhubungan
dengan kepadatan sitoplasma orangeophilic (atypical parakeratosis). Penampakan
ASC-US pada smears dan sitologi liquid based serupa, dalam smears, sel mungkin
nampak lebih besar dan datar.14 ASCUS menunjukkan peningkatan rasio N/C
dibandingkan dengan sel squamous normal dan penurunan rasio N/C dibandingkan sel
displasia atau karsinoma.15,16

Gambar 1. Sel squamous superfisial dan intermediate15

Gambar 2. ASCUS15

Gambar 3. ASC-US. Sel-sel dengan multinukleasi, pembesaran inti dan air


drying artifact, kemungkinan menunjukkan LSIL14

Gambar 4. ASC-US. Sel-sel plaque dengan sitoplasma orangeophilic


padat dan sedikit irreguler, nuklei hiperkromatik.14

Gambar 5.

yang

ASC-US (liquid based preparation). Skrining rutin pada seorang


wanita usia 32 tahun. Sel multinukleated tunggal dengan halo pada
sitoplasma dengan latar belakang inflamasi.14

Gambar 6. ASC-US (liquid based preparation). Seorang wanita usia 21 tahun. Sel-sel
dengan lapisan kohesif tipis dengan pembesaran inti fokal, sitoplasma
orangeophilic dan binukleasi. Setelah dilakukan follow up didapatkan
menjadi CIN 1.14

Gambar 7. ASCUS. Wanita premenopause. Sel-sel dengan sitoplasma sentral jernih.14

10

Gambar 8. Sel parabasal (pap smear postmenopause)16


a. Sel parabasal pada atropik semar menggambarkan
sitoplasma hiperesosinofilik dan intipiknotik
b. Dark blue blobsterlihat pada atropik smear

Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium sitologi untuk


membedakan ASCUS cenderung ke arah peradangan (ASCUS favoring inflammation)
dan ASCUS cenderung ke arah neoplasia (ASCUS favoring neoplasia). Hal ini penting
karena penatalaksanaannya sedikit berbeda, bila cenderung ke arah peradangan mungkin
dapat dilakukan follow up saja tetapi bila cenderung ke arah neoplasia disarankan untuk
langsung dilakukan kolposkopi.4
Diagnosis sitologi ASCUS sangat subjektif, sangat banyak penelitian dan artikel
yang menghubungkan variabel secara histologi laboratorium untuk mendiagnosis
mulai dari normal atau radang serviks sampai LGSIL, HGSIL atau karsinoma.
Tidak mengherankan bahwa diagnosis ASCUS membuat klinisi merasa frustasi

11
untuk memutuskan pasien harus difollow up dengan pap smear setiap 3 bulan atau
dilakukan kolposkopi dan biopsi.17
Walaupun secara sitologi pembesaran inti merupakan gambaran ASCUS, tapi
bisa juga oleh akibat lain. Banyak wanita perimenopause (usia 40 tahun sampai
menopause) menunjukkan pembesaran inti yang kemungkinan karena perubahan
fisiologis. Kebanyakan pembesaran inti dan peningkatan rasio N/C yang terjadi
pada postmenopause dengan atropi, menyerupai SIL. Usia pasien dan riwayat
sebaiknya dipertimbangkan dan spesimen sebelumnya sebaiknya direview dgn
mikroskopik jika dianggap relevan untuk menginterpretasikan suatu spesimen yang baru.
Pembesaran inti dan adanya halo perinukleus pada sel squamous mungkin juga
akibat infeksi yang menyertai seperti akibat kandida atau trikomonas. Pembesaran
inti juga ditemukan pada sel squamous yang menggunakan pemeriksaan pap secara
air-dried dan mirip dengan SIL. Sehingga memerlukan pengulangan pap smear
untuk menyingkirkan underlying SIL. ASCUS pada keadaan tertentu, menuntut
ahli sitologi harus benar-benar membuat keputusan yang tepat tentang perubahan
sel ini, demgan mempertimbangkan dari pembesaran inti. Rasio N/C dan
latarbelakang smear.17
Kualifikasi ASCUS merupakan refleksi dari gambaran sel dan latarbelakang
dari Pap smear yang menunjukkan latar belakang peradangan juga mungkin
menunjukkan sel squamous dengan pembesaran inti dan kadang terjadi
kromosenter yang kecil. Gambaran ini juga mungkin didiagnosis dengan ASCUS,
favor reactive. Pap smear lain menunjukkan sel squamous terdapat inti yang
membesar, perinuklear yang jelas, dan adanya kondensasi inti perifer. Sel
parakeratotik Atipik, juga diduga sebagai LSIL. Satu atau dua dari gambaran ini
dari hasil sebuah pap smear mungkin ada dan didiagnosis sebagai ASCUS, favor
LSIL. Pap smear ASCUS yang diduga sebagai underlying HSIL, termasuk
gambaran atypical squamous metaplasia dan atypical immature squamous
metaplasia.17

12
Kriteria untuk Atypical Squamous Cells, Cannot Exclude HSIL (ASC-H) adalah
biasanya sel nampak tunggal atau dalam fragmen yang kecil kurang dari 10 sel, kadangkadang dalam smear yang konvensional, sel mungkin berupa aliran dalam mukus.
Ukuran sel yang metaplastik dengan nuklei kira-kira 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar dari
normal. Rasio dari sitoplasmik nuklear (N/C) mungkin diperkirakan HSIL. Dalam
pertimbangan interpretasi yang mungkin untuk ASC-H atau HSIL, abnormalitas inti
seperti hiperkromosom, ireguler kromatin, dan bentuk inti yang abnormal lebih
menyokong interpretasi HSIL. Pada preparat liquid based preparations ASC-H mungkin
tampak lebih kecil, dengan ukuran nuklei yang hanya 2 atau 3 kali dari nuklei netrofil.
Range dalam penampakan ukuran dan inti dari sel squamous metaplastik normal pada
slide merupakan standar dalam penilaian apakah sel tersebut terbukti benar merupakan
interpretasi dari ASC-H.14

Gambar 9.

ASC-H. Sel-sel dengan sitoplasma metaplasia, menunjukkan variasi dalam


ukuran, bentuk, dan ratio inti-sitoplasma. 14

13

Gambar 10. ASC-H (liquid based preparation). Berkumpul menjadi satu di tengahtengah, sel-sel tumpang tindih mengandung nuklei. 14

Gambar 11.

ASC-H. Wanita premenopause. Ratio inti-sitoplasma tinggi, kontour inti


yang lembut, dan kromatin yang halus.14

14

Gambar 12.

VI.

ASC-H. Smear dari wanita postmenopause mengandung sel-sel ovoid


dengan nuklei yang irreguler.14

EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN ASCUS


Penanganan hasil tes Pap ASCUS masih kontroversial. Perlu diketahui bahwa dari suatu
penelitian meta analisis diketahui bahwa sekitar 70% ASCUS dapat regresi ke normal
dan 7-8% menjadi progresif ke LIS derajat berat sedangkan yang menjadi kanker invasif
hanya 0,25%. Di beberapa negara maju dianjurkan untuk dilakukan deteksi dengan
pemeriksaan DNA HPV (Hybrid Capture II).4
Strategi penanganan diagnosis ASCUS malah lebih subjektif dan kontroversif.
Pada pasien dengan suspek displasia sel skuamous, langkah berikutnya setelah pap
smear adalah kolposkopi dan biopsi. Keputusan untuk menetapkan seorang wanita
dilakukan kolposkopi didasarkan pada dua pertimbangan yaitu abnormalitas pap
smear dan ada atau tidak adanva faktor resiko neoplasia serviks pada riwayat wanita
tersebut. Semua wanita dengan pap smear menujukkan displasia yang jelas
(diklasifikasikan oleh ahli patologi sebagai low grade atau high gradesquamous
intraepithelial lession) dilakukan kolposkopi. Pada penelitian lain dikatakan
kolposkopi dilakukan jika hasil satu kali pap smear yg menunjukkan ASCUS dan
adanya faktor resiko (banyak pasangan seksual, riwayat penyakit menular seksual,

15
resiko tinggi infeksi HPV atau imunodefisiensi) dan wanita yang dilakukan pap
smear dua kali menunjukkan ASCUS dan tanpa faktor resiko.15
Kolposkopi bagaimanapun juga merupakan suatu hal yang merugikan bagi
pasien dan lingkungan sosialnya secara umum. Karena biaya kolposkopi mahal.
Apalagi diikuti dengan biopsi. Tiap tahun di Amerika Serikat rata-rata 50 sampai 60
juta dilakukan pap smear, jika 10% wanita tersebut menunjukkan gambaran ASCUS
dan dilakukan kolposkopi, akan memperbesar anggaran biaya kesehatan.15

Bagan 1. Pengulangan Smear pada penatalaksanaan pasien dengan Papanicolaou (Pap


smear menunjukkan atypical squamous cells of undetermined significance
(ASCUS).4

Bagan 2. Test Hybrid capture human papillomavirus (HPV) DNA pada penatalaksanaan
pasien dengan a Papanicolaou smear menunjukkan atypical squamous cells of
undetermined significance (ASCUS).4

16

Bagan 3.Bagan penanganan ASCUS yang dianjurkan di bagian Obstetri dan Ginekologi
FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo4

Bagan 4. Bagan penatalaksanaan hasil Tes pap ASCUS4


Pap smear dengan atropi epitel merupakan suatu masalah dalam bidang
sitodiagnostik. Karena penurunan kadar estrogen pada wanita postmenopause, atropi

17
epitel squamous serviks menunjukkan maturasi yang berkurang yang menyerupai
neoplasia intra epitel ser-viks derajat tinggi (CIN 2 dan 3).16 Perbedaan diagnostik
atipikal atropik pap smears pada wanita postmenopause banyak dianjurkan untuk
dilakukan pap smear ulangan setelah dilakukan pemberian estrogen, atipik pada
epitel atropi sebelumnya menyerupai epitel displasia akan matur dan berubah
menjadi epitel squamous normal.16
Penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk ASC-H adalah kolposkopi..
Penatalaksanaan pada wanita dengan ASC-H diikuti dengan kolposkopi tidak berhasil
jika diagnosis histologik adalah CIN 2 atau lesi yang lebih berat. Hasil dari ASCUS/LSIL
Triage Study (ALTS) menemukan bahwa interpretasi dari ASC-H berhubungan dengan
risiko onkogenik deteksi HPV DNA dan risiko yang lebih tinggi yang mendasari CIN 2
atau lebih buruk lagi (30%-40%) dibandingkan dengan ASC-US (10%-15% risiko dari
CIN 2 atau lebih buruk lagi). Risiko-risiko ini berhubungan dengan preparat serupa baik
smear konvensional ataupun liquid based.14
Laboratorium-laboratorium yang secara rutin menggunakan onkogenik pemeriksaan
HPV untuk penatalaksanaan wanita dengan ASC-US dianjurkan untuk membandingkan
hasil pemeriksaan virologik, sitomorfologi dan follow up. Persentasi infeksi HPV antara
wanita dengan ASC-US

secara kuat berkorelasi dengan usia. Laboratorium juga

didorong untuk monitor follow up dari ASC-US dan ASC-H secara terpisah jika mungkin
untuk menegakkan pengertian kita mengenai kategori-kategori ini berdasarkan penemuan
penelitian untuk praktek klinis.14

18

Bagan 5. Algoritma penanganan wanita postmenopause dengan hasil sitologi ASCUS


Dikutip dari Seils SA17

VII.

RINGKASAN
1. ASCUS (Atypical squamous cells of undetermined significance) adalah istilah yang
meliputi kelainan seluler melebihi kelainan disebabkan perubahan reaktif/inflamasi
tetapi tidak termasuk dalam batasan lesi intra epitel, dibedakan menjadi dua yaitu
ASC-US dan ASC-H.
2. Kriteria ASCUS termasuk pembesaran inti (2,5 - 3 kali dari inti sel intermediate = 35
m2), ratio inti: sitoplasma sedikit meningkat, variasi bentuk dan besar, dinding inti
rata dan reguler, kromatin halus sedikit hiperkromatik dan irreguleritas dalam
distribusi kromatin, inti ganda dan anak inti ditemukan, termasuk di sini metaplasia
atipik, atipia atrofi dan pembesaran sel yang tidak disebabkan oleh peradangan.
Abnormalitas inti berhubungan dengan kepadatan sitoplasma orangeophilic

19
(atypical parakeratosis). Penampakan ASC-US pada smears dan sitologi liquid
based serupa, dalam smears, sel mungkin nampak lebih besar dan datar.
3. Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium sitologi untuk
membedakan ASCUS karena penatalaksanaannya berbeda.
4. Kriteria untuk Atypical Squamous Cells, Cannot Exclude HSIL (ASC-H) adalah
biasanya sel nampak tunggal atau dalam fragmen yang kecil kurang dari 10 sel,
kadang-kadang dalam smear yang konvensional, sel mungkin berupa aliran dalam
mukus. Ukuran sel yang metaplastik dengan nuklei kira-kira 1,5 sampai 2,5 kali lebih
besar dari normal. Rasio dari sitoplasmik nuklear (N/C) mungkin diperkirakan HSIL.
5. Guidelines konsensus baru tentang penatalaksanaan yang dibuat sesuai dengan
klasifikasi sistem Bethesda 2001 merekomendasikan follow up untuk wanita dengan
ASC-US. Untuk onkogenik (risiko tinggi) pemeriksaan DNA merupakan
penatalaksanaan yang lebih disukai untuk ASC-US jika hal tersebut dapat dilakukan
bersamaan dengan sitologi; pemeriksaan sitologi ulangan dan kolposkopi secara
cepat juga merupakan penatalaksanaan yang dapat diterima.
6. Penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk ASC-H adalah kolposkopi.
Penatalaksanaan pada wanita dengan ASC-H diikuti dengan kolposkopi tidak
berhasil jika diagnosis histologik adalah CIN 2 atau lesi yang lebih berat seharusnya
didasarkan secar indiviualisasi dalam mereview seluruh temuan klinis dan patologik.

VIII. RUJUKAN
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.

8.

Andriyono. Kanker serviks. Sinopsis Kanker Ginekologi. Jakarta, 2003:14-28


Campion M. Preinvasive disease. In: Berek Js, Hacker NF. Practical gynecologic oncology. 3rd.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 271-315
Mardjikoen P. Tumor ganas alat genital. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T.
Editor. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
1999;380-9
Kusuma F, Moegni EM. Penatalaksanaan Tes Pap Abnormal. Cermin Dunia Kedokteran 2001; 133:1922
Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133:9-14
Harahap RE. Neoplasia intraepithelial serviks (NIS). Jakarta: UI Press, 1984:1-77
Hardida HL. Sensitifitas dan spesifisitas inspeksi visual dengan asam asetat untuk mendeteksi dini
keganasan leher rahim pada wanita dengan eritroplakia. Tesis pada Bagian Obstetri dan Ginekologi FK
UNSRI/RSMH. Palembang, 2001
Wright TC, Kurman RJ, Ferenzy A. Precancerous lesions of the cervix. In: Kurman RJ. Ed. Blausteins
pathology of the female genital tract. 4th ed. New York: Springer-Verlag, 1994;229-277

20
9.

Sulastri H. Patologi neoplasma intraepithelial skumosa (NIS). Kursus kolposkopi pra-PIT POGI XII.
Palembang, 2001
10. Kaufman RH, Adam E, Vonka V. Human papillomavirus infection and cervical carcinoma. Clin
Obstet Gynecol 2000;43:363-80
11. Soepardiman HM. Terminologi sitologi. Dalam; Sjamsuddin S, Indarti J. Editor. Kolposkopi dan
neoplasia intraepitel serviks. Edisi kedua. Jakarta:PPSKI, 2001:22-28
12. Hatch KD, Berek JS. Intraepitelial disease of the cervix, vagina and vulva. In: Berek JS, Adashi EY,
Hillard PA. Novaks Gynecology. 13th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002;471-505
13. Major AL. The Bethesda system and guidelines for the managementof cervical intraepithelial
neoplasia
14. Sherman ME, Karim FWA, Berek JS et al. Atypical squamous cells. In: Solomon D, Nayar R. ed. The
Bethesda system for reporting cervical cytology. 2nd. 2002;67-85
15. ASCUS-LSIL. Triage Study (ALTS) Group. Result of randomized trial on the management of
cytology interpretations of atypical squamous cells of undetermined significance. Am J Obstet
Gynecol 2003;188:1383-92
16. Bonfiglio TA, Erozan YS. Gynecologic cytopathology. Lippincott-Raven, Philadelphia,1997;19-30
17. Seils LA, Wilbur DC. Atypical squamous cells of undtermined significance: stratification of the risk of
association with, progression to, squamous intraepithelial lesions based on morphologic
subcategorization. Acta Cytol,1997;41:1065-72

You might also like