You are on page 1of 13
Majalah Farmasi Indonesia 6 (3), 95 - 107 {1995} PENETAPAN KADAR POLIMORFI B KLORAMFENIKOL PALMITAT SECARA SPEKTROFOTOMETR! INFRAMERAH THE QUANTITATIVE ANALYSIS OF CHLORAMPHENICOL PALMITATE POLYMORPH B USING INFRARED SPECTROPHOTOMETRY Tedjo Yuwono Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta ABSTRAK Metode pellet kallum bromida telah digunakan untuk anatisis kuantitatit polimorfi metastabil kloramfenikol palmitat secara spektroskopi inframerah. Memperpendek waktu pencampuran dengan vibrating mill, dibawah tekanan 5 ton kompresi pada waktu pembuatan pellet, perubahan bentuk kristal kloramfenikol palmitat dapat dihindari. Melalui seleksi ratio serapan dari dua puncak spetrum dengan sedikit penerapan matematik ternyata dapat diperoleh persamaan kurva baku yang linear. Kata kunci: Kloramfenikol patmitat, polimorti, analisis spektroskopi inframerah kuantitatif. ABSTRACT A potassium bromide pellet method in the infrared spectroscopy has been studied to analyze the metastable polymorph of chloramphinicol palmitate quatitativety. By minimizing of the milling time by vibrating mill under the 5 tons of the pellet compression, the transition process of chloramphenicol palmitate crystal form could be avoided. Through the selection of the two peak absorbance ratio of the infrared spectrum with a little mathematic manipulation, the linear standard curve has been obtained. Key words: Chloramphenicot palmitate, polymorphism, infrared spectroscopy quantitative analysis. PENDAHULUAN Kloramfenikol patmitat memiliki beberapa bentuk kristal yaitu polimorfi A, B dan C yang masing-masing memiliki suhu lebur dan kelarutan yang berbeda. Polimorfi A memiliki suhu lebur 91°C, sedangkan polimorfi B memiliki suhu lebur 86°C. Polimorfi A merupakan bentuk kristal stabil dan memiliki kelarutan yang sangat kecil, sedangkan polimorfi yang lain memiliki kelarutan yang jauh lebih besar. Adanya perbedaan kelarutan ini menyebabkan adanya perbedaan ketersediaan hayati pada pemakaian oral. Pada pemberian per oral suspensi kloramfenikol palmitat ‘Majalah Farmasi indonesia 6 (3),1995 Penetapen Kadar polimorti B dapat menghasilkan ketersediaan hayati kira-kira 10 kali lebih besar daripada polimorfi A (Aguiar et a/., 1967). Farmakope Indonesia Ed Ill, tidak memberikan persyaratan mengenai bentuk kristat bahan obat ini. Suhu !ebur bahan obat ini dalam monografinya hanya dipersyaratkan antara 88° C sampai 92° C {Ancnim, 1973}, sedangkan USP XX memberikan persyaratan yang ketat, yaitu kadar Polimorfi A kloramfenikol palmitat tidak boleh lebih dari 10% (Anonim, 1980). Sehubungan dengan itu perlu dicari suatu metode analisis kamposisi bentuk kristal kloramfenikol palmitat yang praktis. Analisis polimorfi secara kuantitatit dapat dilakukan dengan menggunakan data difraksi sinar-X atav spektra inframerah (Rosenstein dan Lamy, 1969). Penelitian yang pernah dilakukan untuk mencari metode analisis bentuk kristal ini adalah terhadap sulfametoksidiazin (Moustafa et a/., 1972}, terhadap suksinilsulfatia- zol (Moustafa, et a/., 1974) masing-masing secara spektroskopi inframerah, dan terhadap kloramfenikol palmitat secara difraksi sinar-X (Aguiar et a/., 1967) dan secara spektroskopi inframerah (Borka dan Backe-Hansen, 1968). Tetapi masing- masing kurva baku yang dihasiikan merupakan garis lengkung, sehingga selain kurang praktis juga kurang teliti. Seperti pada analisis kuantitatif secara spektrofotometris pada umumnya, pada spektra inframerah berlaku pula hubungan kuantitatif hukum Beer-Lambert, dengan persamaan (Ewing, 1975): A = log P/P = abe a) dengan, A = serapan, P, = intensitas cahaya datang, P intensitas cahaya ditransmisikan, a = serapan molar, 6 = tebal cuplikan dan c = kadar zat dalam molar. Untuk penentuan besarnya P, dan P pada spektra inframerah dapat ditentukan seperti contoh pada gambar 1a (Ewing, 1975), Namun dalam praktek sering muncul keraguan dalam menentukan garis basalnya, seperti yang terlihat pada gambar 1b. Hal ini disebabkan oleh banyaknya puncak spektra yang saling tumpang tindih antar puncak dari beberapa gugus fungsi dalam suatu molekul. Oleb sebab itu dalam menentukan garis basal ini perlu dicari dan dicoba untuk memilih garis basal yang paling cocok. Metode analisis untuk menentukan komposisi polimorfi sulfametoksazol, dapat digunakan kurva baku hubungan antara kadar safah satu polimorfi dalam campurannya dengan ratio serapan dari dua puncak spektra inframerah dalam campurannya (Moutofa, et ai, 19721. Untuk penentuan kadar polimorfi | digunakan ratio serapan pada angka gelombang 1580 cm” dan 1595 cm, sedangkan untuk Penentuan potimorf {i digunakan ratio serapan pada angka gelombeng 950 cm" dan 1595 cm. Dengan cara yang sama juga telah dilakukan penentuan komposisi polimorfi suksinilsulfatiazol (Moustafa, ef. af, 1974). Tetapi kurva yang dihasilkan keduanya merupakan hubungan rontinear, Mefalui penerapan persamaan matematik dalam penelitian ini dinarapkan akan dapat diperoleh garis yang Jinear. ~ Majalah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 Tedjo Yuwono ‘Angka gelombang Angka gelombang (a) to) Gambar 1, Spektra serapan inframerah hipotetis. Penentuan komposisi bentuk kristal untuk kloramfenikol palmitat sangat penting, karena jika kandungan polimorfi A dalam sediaan besar yang absorpsinya tidak faik, dapat berakibat kadar obat yang ada dalam darah akan menjadi rendah, sehingga dapat menimbulkan bahaya resistensi terhadap bakteri. Selain itu sediaan suspensinya merupakan obat esensial yang di Indonesia banyak digunakan. Majatah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 7 Penetapan Kadar METODOLOG! Bahan: Bahan pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloramfenikol palmitat nonpolymorphous A 26 » derajat farmasi (Erba Biochimica) pemberian dari PT Carlo Erba. Alat: Alat pokok yang digunakan pada penelitian ini adalah Spektrofotometer {R-43§ (Shimadzu) dan vibrating milf (Shimadzu) Jalan penelitian: Pembuatan polimorfi A dan polimorfi B kloramfenikol palmitat dilakukan dengan metode baku {Tamura dan Kuwano, 1961}. Untuk polimorfi A dibuat dengan cara rekristatisasi dari larutannya dalam kloroform p.a. (E Merck), kemudian menguapkan pelarutnya pada suhu kamar, sedangkan polimorfi 8 diperoleh dari rekristalisasi Cepat dengan penurunan subu dari larutan jenuhnya dalam etanol p.a. (E Merck). Anatisis bentuk kristat hasil rektistalisasi klorarnfenikol palmitat difakukan dengan menentukan suhu lebur dan profil termogramnya dengam DTA (Shimadzu). Pembuatan “spektra inframerah kloramfenikol palmitat dilakukan dengan metode effet kalium bromida. Cari hasit percobaan pendahuluan, tamyata pencampuran bahan yang diteliti dengan vibrating mill selama 30 dedik dan dibuat pellet dengan tekanan § ton selama 5 menit tidak meriyebabkan perubahan bentuk kristalnya, Pembuatan kurva baku dilakukan dengan membuat spektra inframerah campuran polimorfi A dan polimorfi B dengan kadar polimorfi BO %, 20 %, 40 %, 60 %, BO % 90 %, dan 100 %. Kurva baku dibuat dengan membuat hubungan antara kadar polimosfi B dengan satio serapan antara dua puncak spektre yang spesifik, yang menunjukkan perbedaan antara kedua polimorfi kloramfenikol palmitat. Karena Banyak dijumpai puncak-puncak yang spesifik dari masing-masing bentuk kristal, maka akan didapatkan beberapa kurva baku. Melalui penerapan hubungan matematik dapat dicari kurva yang memiliki hubungan linear. Persamaan yang diperoleh kemudian digunakan untuk penentuan perolehan kembali (recovery) kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat. HASIL DAN PEMBAHASAN Kristal yang diperoleh dari rekristalisasi kloramfenikol palmitat dari larutannya dalam klorotorm, dengan cara penguapan pelarutnya, setelah dibuat termogramnya dengan DTA diperoleh puncak tunggal pada suhu lebur 91°C. Ini menunjukkan bahwa kristaf yang diperoleh adalah pofimorfi A dan tidak tercampur polimorfi yang lain. Sedangkan kristalisasi cepat bahan obat tersebut dengan pelarut etanol dihasilkan termogram dengan puncak tunggal pada suhu lebur 86° C, Ini merupakan indikasi terbentuknya polimorfi B yang tidak tercampur polimorfi yang Jain. Kedua termogram ini dapat dilihat pada gambar 2. _. Sika termogram polimorti A dibandingkan dengan polimorfi B, terlihat nyata adanya perbedaan luas puncak dengan jumlah sampel yang kurang-lebih sama yaitu ‘Majalah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 98 | | | \ Tedjo Yuwono Waktu () Gambar 2. Termogram DTA hasil rekristalisasi kloramfenikoi palmitat. (A) dengan pelarut kKloroform lalu pelarutnya diuapkan pada suhu kamar, (B) dengan pelarut etanol hingga jenuh, lalu larutannya didinginkan dengan cepat 3,0 mg. Hal ini menunjukkan bahwa entalpi peleburan polimorft A lebih besar daripada polimorfi:B. Selain itu titik lebur polimorfi A lebih tinggi daripada polimorfi B, yaitu berturut-turut 91°C dan 86°C. Kedua data ini merupakan indikasi bahwa kekuatan ikatan antar molekul kloramfenikol palmitat dalam kisi-kisi kristal polimorfi A lebih besar dibanding polimorfi B. Akibatnya kelarutan polimorfi A jauh lebih kecil daripada polimorfi B. Hubungan ini sesuai dengan teori kelarutan Scott dan Hildebrand (Martin et a/., 1983). Hasil pembuatan spektra inframerah dari kedua polimorfi kloramfenikol palmitat dapat dilihat pada gambar 3. Majalah Farmasi Indonesia 6 (3},1995 Penetapan Kader tno. to {a al . | L 180.0 win Iooore leeon Koos Too.h aon. Gambar 3. Spektra inframerah kloramfenikol palmitat polimorfi A dan polimorfi B dari hasil rekristalisasi. Majalah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 100 Tedjo Yuwono Pada gambar 3 banyak dijumpai pola puncak spekira yang berbeda antara kedua polimorfi, baik intensitas maupun letak puncak spektranya. Perbedaan ini terjadi karena adanya modifikasi struktur internal atau perbedaan hubungan antar molekul dalam kristal. Adanya modifikasi ikatan antar molekul ini sebagai akibat dari molekul yang dapat mengadakan rotasi baik gugus maupun molekulnya pada saat dalam lerutan atau dalam fase cair, sehingga ada perbedaan konformasi dalam molekul serta dimungkinkan terjadinya resonansi dalam molekul dan kondisi ini terbawa setelah dikristalkan (Haleblian, 1975). Modifikasi antar molekul inilah yang menyebabkan adanya perbedaan energi fibrasi gugus-gugus dalam molekul, sehingga terjadi perbedaan profil spektra inframerahnya. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada daerah fibrasi regang N-H gugus amid, yang memiliki serapan kuat pada 3251 cm untuk polimorfi A, sedangkan untuk polimorfi B serapan lebih lemah tesjadi pada 3298 cm’" . Selain itu serapan sedang dari gugus HC-OH dengan bentuk sangat runcing terjadi pada 3439 cm’ pada polimorfi A, pada polimorfi B menjadi sangat kuat terjadi pada 3453 cm’. Puncak lain yang menunjukkan adanya perbedaan spektra antara_kedua polimorfi tersebut adalah vibrasi regang C=O, vibrasi scissoring C-H dari CH, serta p-substitusi aromatik antara 850 dan 800 cm’ juga vibrasi ientur C-H aromatik pada angka gelombang 720 cm’ sampai 677 cm''.. Perbedaan-perbedaan ini yang kemudian digunakan sebagai dasar penentuan secara kuantitatif komposisi bentuk kristal yang ada. Untuk pembuatan kurva baku penetapan kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat yang tercampur dengan polimorfl A, dilakukan melalui pembuatan spektra campuran dari kedua polimorfi tersebut pada berbagai kadar. Di sini perbedaan jumiah sampel pengaruhnya relatif kecil karena yang digunakan sebagai parameter adalah ratio serapan antara dua puncak pada satu spektra. Sebagai penyebut digunakan serapan puncak yang tidak berbeda dari kedua polimorfi, baik letak maupun intensitasnya. Kurva baku dibuat dengan membuat hubungen antara kadar suatu polimorfi dengan ratio serapan dari dua puncak. Hubungan ini jika digunakan ratio serapan antara dua puncak pada angka gelombang 1729 cm’ dan 1698 cm'' diperoleh data seperti terlinat pada table |. Dari data tabel | dapat dibuat persamaan garis hubungan antara kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat (C) dengan ratio serapan (A,/A2), dan diperoteh persamaan: C = -5,04 Ay/Ay + 80,33 (2) dengan koefisien korelasi + = -0,8254. Hubungan semilogaritmik dari data. yang sama diperoleh persamaan: Log € = -0,150 A,/Az+ 2,154 (3) dengan koefisien korelasi r = -0,9962. Dengan merubah hubungan linear menjadi semilogaritmik temyata dapat meningkatkan koefisien korelasinya dari -0,8254 menjadi -0,9962. ‘Mejalah Farmasi Indonesia 6 (3],1995 101 Penetapan Kadar Tabel..1.. Ratio serapan pada angka gelombang 1729 cm’ dan 1698 cm™ campuran polimorfi A dan polimorfi B kloramfenikol palmitat pada berbagai kadar. Kadar po- Serapan, A = log P,/P limorfi B AVA, {c) 1729 cm" (A) 1698 cm” (A;) 0% 0,896 0,049 18,28 20% 0,875 » 0,152 5,76 40% 0,923 0,263 3.61 60% 0,677 0,268 2,53 80% 0,369 0,213, 1,73 90% 0,358 0,312 1,15* 100% 0,414 0,335 1,24 Pada kadar 30% tabel 1, terlihat adanya penyimpangan. Andaikata data ini dapat dibuang, akan didapatkan persamaan semilogaritmik. Log € = -0,184 Ay/Az + 2,17 4) dengan koefisien korelasi r = -0,9975. Penggunaan ratio serapan antara dua puncak pada angka gelombang 839 cm’' dan 808 cm’ untuk berbagai kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat yang tercampur dengan polimorfi A, diperoleh data separti terlihat pada tabel Il. Tabel Il. Ratio serapan pada angka gelombang 839 cm’ dan 808 cm’ campuran polimorfi A dan polimorfi 8 kloramfenikol palmitat pada berbagai kadar Kadar po- Serapan, A log P,/P limorfi B TTT AA? {C) 839 cm" (Ay) 808 cm" (Az) 0% 0,197 0,303 0,514 20% 0,174 0,435 0,400 40% 0,146 0,501 0,291 60 % 0,064 0,403 0,159 80% 0,012 0,242 0,050 90% 0,008 0,237 0,034 100% 0,005 0,433 0,011 Dari data tabel II jika dibuat persamaan garis hubungan antara kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat (C) dengan A,/A2, diperoleh persamaan ° C = -187,94 A,/A, + 94,89 (5) Mejalah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 Tedjo Yuwono dengan koefisien Korelasi -0,9933. hubungan semilogaritmik dari data label II akan diperoleh persamaan: log C = -1,656 A\/A, + 2,017 (6) dengan koefisien korelasi -0,9872. Jika ratio serapan antara dua puncak yang digunakan pada angka gelombang 748 cm dan 808 cm", diperoleh data seperti terlinat pada tabel Ill. Tabel Ill, Ratio serapan pada angka gelombang 748 em” dan 868 cm’ campuran pofimorfiA dan polimorfi B kloramfenikol palmitat pada berbagai kadar Kadar po- Serapan, A log P/P limorfi B -————— AlAz {c) 748 cm’ (A;) 808 cm iA} a 0% 0,252 0,388 0,649 20% 0,191 0.417 0,458 40% 0,163 0,397 0,333 60% 0,071 0,397 0,179 80% 0,021 0,236 0,089 90 % 0,015 0,232 0,065 100 % 0,000 0,436 0,000 Dari data tabel II!, dapat diperoleh persamaan-persaman garis: C = -156,1 Ay/Az + 95,25 (7) dengan koefisien korelasi 0,9902. Hubungan semitogaritmik dari label tersebut dapat diperoteh persamaan: Log C = -1,492 Ay/A2 + 2,036 (8) dengan koefisien korelasi -0,9882. Pada persamaan (8) terlihat adanya penyimpangan yang sangat besar pada kadar polimorfi B 20%. Penyimpangan ini terlihat pada gambar 4. Jika penyimpangan ini dapat dianggap kesalahan teknik pencampuran yang berakibat teriadi perubahan bentuk kristal, sehingga data ini dapat dibuang, maka akan dapat diperoleh persamaan: Log C = -1,239 A,/A,+ 2,013 {3} dengan koefisien korelasi -0,9960. Dari persamaan kurva baku yang diperoleh, yaitu persamaan (2) hingga persamaan (9), yang memiliki koefisien korelasi tinggi adalah persamaan (3), (4), (5} dan (9), berturut-turut dengan harga r = -0,9962, -0,9975, -0,9933 dan -0,9960. Dua persamaan yang terakhir diambil spektra di daerah sidik jati. Diperkirakan pada daerah ini akan diperoteh hasil perhitungan yang lebih teliti. Hal ini terlithat adanya polimorfi A dengan kadar 10 % terlihat jelas dengan munculnya spektra pada angka gelombang 748 cm’. Tetapi jika dilihat koefisien ‘Mojalah Farmasi Indonesia 6 {3),1995 103 Penetapan Kadar Log © (4) Log % kadar potimorfi B 1,6 1,5 ° 0,2 0,4 0,6 Ratio serapan pada 748 cm' dan 808 cm' @) (b) Gambar 4. Puncak-puncak spektra inframerah polimorfi A kloramfenikol palmitat pada angka gelombang 748 cm'' dan 808 cm" {al, serta kurva baku hubungan antara kadar dan ratio serapan pada kedua panjang gelombang tersebut sesuai persamaan (9) ‘Majalah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 Tedjo Yuwono korelasinya, harganya lebih kecil dari dua persamaan yang pertama. Peneliti yang terdahulu mendapatkan kurva garis lengkung. Perbedaan tersebut diperkirakan karena peneliti yang terdahulu menggunakan metode mujo! mul! (Borka dan Backe- Hansen, 1969). Dari struktur kloramfinikol palmitat dapat diperkirakan kelarutannya dalam nujo! besar hingga banyak kehilangan sifat kristalinitasnya yang tidak terdeteksi pada analisis kristal. Hasit percobaannya dengan metode pellet kalium bromide tidak berhasil karena terjadi perubahan hampir total dari polimorfi B menjadi polimorfi A. Kegagalan ini mungkin disebabkan oleh kurang diperhatikannya waktu pencampuran dan waktu kompresi pembentukan pellet. Hasil perhitungan perolehan kembali kadar polimorfi B dalam campuran dengan menggunakan keempat persamaan tersebut dapat dilihat pada label IV. Tabel 1V. Data hasil perhitungan perolehan kembali kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat dengan menggunakan persamaan (3), (4), (5) dan (9). Nomor —_ Koefisien korelasi Kadar polimorfi B Persamaan tr) Seharusnya Hasil hitungan Perolehan kembali a 0,9962 0% 0,26% - 20% 19,5% 97,5% 40% 42,0% 105,0% 60% 59,5% 99,2% 80% 77,7% 97.1% 90% 95,8% 106,4% 100% 92,8% 92,8% (4) 0,9975 0% 0,3% - 20% 19,2% 96,0% 60% 60,3% 100,5% 80% 80,1% 100,1% 100% 95.3% 95,3% (5) 0,9933 0% 1.7% : 20% 19,7% 98,5% 40% —-40,2% 100,5% 60% — 65,0% 108,3% 80% — 85,5% 106,9% 90% — 88,5% 98,3% 100% 92,8% 92,8% (9) 0,9960 0% «= -16,2% : 40% — 39,9% 99,8% 60% 61,9% 103,2% 80% — 79,9% 99,9% 90% 85,6% 95,1% 100% — 103,0% 103,0% Mojalah Farmasi Indonesia 6 (3),1995 Penetapan Kadar Dari tabel IV hasil perolehan kembali, persamaan yang paling sesuai untuk penentuan bentuk Kristal kloramfeniko! palmitat berkaitan dengan persyaratan bahan baku USP XX adalah persamaan (9). Selain itu memang terlihat adanya kecenderungan terjadinya perubanhan bentuk kristal, terutama pada kadar yang tinggi, baik untuk polimorfi A maupun polimorfi B kloramfenikol palmitat. KESIMPULAN 1. Metode pellet kalium bromida ternyata dapat digunakan untuk analisis kuantitatif kloramfenikol palmitat secara spektroskopi inframerah. 2. Hubungan antara logaritma kadar polimorfi B dengan ratio serapan pada angka gelombang 748 cm" (A,) dan 808 cm” (Az), menghasilkan persamaan Log C = -1,238 A,/A, + 2,013 dengan koefisien korelasi -0,9960, dapat digunakan untuk penetapan kadar polimorfi B kloramfenikol palmitat pada kadar tinggi. DAFTAR PUSTAKA Aguiar, A. J., John, KRC., Jr., Kinkel, A. W., and Samyn, J. J., 1967, Effect of Polymorphism on the Absorption of Chloramphenical from Chloramphenicol Palmitate, J. Pharm. Sci., 56, 847 - 853. Anonim, 1979, Famakope J/ndonesia Ed fit, Departemen Kesehatan Republik indonesia, Jakarta Anonim, 1980, The USP XX, 20th. Ed., United States Pharmacopeial Convention, inc., Washington D.C., 131. Borka, L., and Backe-Hansen, K., 1968, IR Spectroscopy of Chloramphenicol Palmitate, Acta Pharm. Suecica, §, 271 - 278. Ewing, G. W., 1975, instrumental Methods of Chemical Analysis, 4th. Ed., McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd., Tokyo, 123 - 124. Haleblian, J. K., 1975, Characterisation of Habits and Crystailine Modification of Solids and their Pharmaceutical Application , J. Pharm. Sci., 64, 1269 - 1288. Martin, A., Swarbrick, J., and: Cammarata, A, 1983, Physical Pharmacy: Physical Chemical Principles in the Pharmaceutical Sciences, 3rd. Ed-, Lea & Febiger. Philadelphia, 281 - 289. Moustafa, M. A., Khalil, S. A., Ebian, A. R., and Motewi, M. M., 1972, Kinetics and interconversion of Sutphamethoxydiazine Crystal Forms, J. Pharm. Sci., 24, 921 - 926. Moustafa, M. A., Khalil, S. A. , Ebian, A. R. , and Motawi, M. M., 1974, Succinylsulfathiazole Crystal Forms J : Preparation, Characterization, and Interconvertion of Different Crystal Forms, J. Pharm. Sci., 63, 1103 - 1109, Majalah Farmasi Indonesia 6 (3), 1995 Tedjo Yuwono Rosenstein, S., and Lamy, P. P. 1969, Some Aspects of Polymorphism, Am. J. Hosp. Pharm., 26, 598 - 601. Tamura, C., and Kuwano, H., 1961, Polymorphism of Long-chain Esters of Chloramphenicol: On Transition, Structure and Determination of Polymorphism, by X- rays, J. Pharm. Soc. Japan, 81, 755 - 767. Majaleh Farmasi indonesia 6 (3),1995

You might also like