You are on page 1of 10

Headlines News :

MENGEMBANGKAN ASPEK MORAL DAN NILAI AGAMA ANAK USIA


DINI

Written By Ahmad Multazam on Tuesday, April 23, 2013 |


1:52 PM

I. PENDAHULUAN
Pendidikan harus mempunyai landasan yang jelas dan terarah. Landasan tersebut sebagai
acuan atau pedornan dalam proses penyelenggaraan pendidikan, baik dalam institusi pendidikan
formal, non formal maupun informal. Yang dimaksud landasan yang jelas dan terarah adalah
bahwa pendidikan harus berprinsip pada pengokohan moral-agama anak didik di samping aspekaspek lainnya. Hal ini sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengantarkan anak didik agar
dapat berpikir, bersikap, dan berperilaku secara terpuji (akhlak al-karimah). Upaya tersebut bisa
dilakukan oleh para pendidik ( guru dan orang tua) pada program PAUD. Pertumbuhan dan
perkembangan merupakan proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia, dimulai sejak
dalam kandungan samai akhir hayat. Pertumbuhan lebih menitikberatkan pada perubahan fisik
yang bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan yang bersifat kualitatif berarti serangkaian
perubahan progesif sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.Manusia tidak
pernah statis, semenjak pembuahan hingga ajal selalu terjadi perubahan, baik fisik maupun
kemampuan psikologis.[1] Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan
sukses gagalnya peserta didik belajar di sekolah. Peserta didik yang mempunyai taraf kecerdasan
rendah atau di bawah normal sukar diharapkan berprestasi tinggi. Tetapi tidak ada jaminan
bahwa dengan taraf kecerdasan tinggi seseorang secara otomatis akan sukses belajar di sekolah.
[2]

Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)

Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar kelak


sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik.
Howard Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata
memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk
masa depan seseorang.
Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika
logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.1[3]
Pendidikan nilai-nilai moral dan keagamaan pada program PAUD merupakan pondasi
yang kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan jika hal itu telah tertanam serta terpatri
dengan baik dalam setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi
pendidikan anak bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa Indonesia sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan keagamaan. Nilai-nilai luhur ini pun dikehendaki
menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan sila-sila lainnya dalam
pancasila (Hidayat, 2007 : 7.9).
II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Seiring dengan perkembangan sosial, anak-anak usia prasekolah juga mengalami
perkembangan moral. Adapun yang dimaksud dengan perkembangan moral adalah
1

perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap berinteraksi
dengan orang lain ( dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang buruk, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang
buruk, yang tidak boleh dikerjakan.2[4]
Selain kecerdasan yang ada, kecerdasan yang mendasari seluruh kecerdasan yaitu cerdas
spiritual. Karena anak yang shaleh (cerdas spiritual), maka dia pasti cerdas. Sementara anak yang
cerdas belum tentu shaleh. Dalam hal keshalehan ini yang perlu dilakukan orang tua adalah
bagaimana agar anak memiliki akhlakul karimah ( akhlak mulia), dapat dipercaya, memegang
teguh prinsip kebenaran dan cerdas.
Keyakinan akan adanya sang pencipta atau Tuhan sebagai causa prima sangat
membantunya dalam membentuk pribadi yang baik.
Agama sebagian besar tidak berarti bagi anak-anak meskipun mereka menunjukkan minat
dalam ibadah agama, tetapi karena banyaknya masalah yang kepada anak-anak dijelaskan dalam
rangka agama seperti kelahiran, kematian dan lain-lain, maka keingintahuan mereka tentang
masalah-masalah agama menjadi besar sehingga mereka mengajukan banyak pertanyaan. Anakanak menerima jawaban terhadap pertanyaan mereka tanpa ragu-ragu, sebagaimana sering
dilakukan oleh anak yang lebih besar dan dewasa.
Keyakinan pada sang pencipta adalah hal penting yang harus diberikan kepada anak. Hal
penting yang perlu dipertanyakan sebagai orang tua adalah; mampukah orang tua melahirkan
generasi baru, anak-anak kita, yang kreatif, cerdas dan mengakselerasikan intelegensinya;
memiliki intregitas spiritual dan moral sekaligus.3[5]
B. Konsep-konsep Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Semua manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis. Walaupun
dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten.

2
3

Potensi bawaan ini yang memerlukan pengembangan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih
pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan
bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1. Prinsip Biologi
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan
tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan
kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif. Keadaan
tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2. Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang
baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.
Ia sama sakali tidak berdaya untuk mengurus diriya sendiri.
3. Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak
lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pertimbangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi
mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan
serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.4[6]
Ada beberapa teori timbulnya jiwa keagamaan anak, yaitu:
Rasa Ketergantungan (sense of depende)
Manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experimence), keinginan untuk
mendapatkan tanggapan ( response) dan keinginan untuk dikenal ( recognition). Berdasarkan
kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam
ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu
kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
Instink keagamaan
Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink, diantaranya instink keagamaan.
Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang
4

menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengan demikian pendidikan
agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun. Artinya, jauh sebelum usia
tersebut, nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Nilai keagamaan
itu sendiri bisa berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau hubungan
antar-sesama manusia.5[7]
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anakanak. Maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective (tidak mendalam)
Mereka mempunyai anggapan atau menerima terhadap ajaran agama dengan tanpa kritik.
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan
mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan
berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Semakin bertumbuh semakin
meningkat pula egoisnya.
3. Anthromorphis
Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep
yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan
manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu
berada dalam tempat yang gelap. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala
perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagaimana layaknya orang mengintai. Pada
anak usia 6 tahun, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut: Tuhan mempunyai
wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar, Tuhan tidak makan tetapi hanya minum
embun. Konsep ketuhanan yang demikian mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masingmasing.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka
menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari Amalia yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
Perkembangan agama pada anak Sangay besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu
5

di usia dewasanya. Banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek
keagamaan yang dilaksanakan pada masa kayak-kanak mereka. Latihan-latihan bersifat verbalis
dan upacara keagamaan yang bersifat rutinitas ( praktek) merupakan hal yang berarti dan
merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa
dan shalat, misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat realitas di lingkungan, baik berupa
pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Dalam segala hal anak merupakan modal yang
positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir ada pada anak. Rasa
kagum yang ada pada anak sangat berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa. Rasa kagum
pada anak-anak ini belum bersifat kritis dan kreatif, sehingga mereka hanya kagum terhadap
keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak
akan dorongan untuk mengenal suatu pengalaman yang baru ( new experince). Rasa kagum
mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub pada anak-anak.
Dengan demikian kompetensi dan hasil belajar yang perlu dicapai pada aspek pengembangan
moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, menganal dan percaya akan
ciptaan Tuhan dan mencintai sesama manusia.6[8]
C. Strategi dan Teknik Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi
latihan dan pembiasaan, Strategi aktivitas dan bermain, dan Strategi pembelajaran ( Wantah,
2005: 109).
1. Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku
tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah
perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak

yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu
menghormati kakaknya atau orang tuanya.
2. Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan
dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam
Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi
melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan
mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian
anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang
berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang
berlaku.
3. Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan
watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti
kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti
yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada
anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan
moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan
lainnya. Pada anak usia 0 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas
motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 4 tahun
pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki
dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan
pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku
baik dan buruk.
Secara umum ada berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral
anak usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2.
tidak menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah (redirecting), 5.
memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging).7[9]
7

Beberapa cara yang dilakukan orang tua untuk mengasah kecerdasan spiritual anak
adalah sebagai berikut:
Memberi contoh
Anak usia dini mempunyai sifat suka meniru . karena orang tua merupakan lingkungan
pertama yang ditemui anak, maka ia cenderung meniru apa yang diperbuat oleh orang tuanya. Di
sinilah peran orang tua untuk memberikan contoh yang baik bagi anak, misalnya mengajak anak
untuk ikut berdoa. Tatkala sudah waktunya shalat, ajaklah anak untuk segera mengambil air
wudhu dan segera menunaikan sholat. Ajari shalat berjamaah dan membaca surat-surat pendek
al-Quran dan Hadis-hadis pendek.
Melibatkan anak menolong orang lain.
Anak usia dini diajak untuk beranjangsana ke tempat orang yang membutuhkan
pertolongan. Anak disuruh menyerahkan sendiri bantuan kepada yang membutuhkan, dengan
demikian anak akan memiliki jiwa sosial.
Bercerita serial keagamaan
Bagi orang tua yang mempunyai hobi bercerita, luangkan waktu sejenak untuk
meninabobokan anak dengan cerita kepahlawanan atau serial keagamaan. Selain memberikan
rasa senang pada anak, juga menanamkan nilai-nilai kepahlawanan atau keagamaan pada anak
dan konsisten dalam mengajarkannya. Dalam mengajarkan nilai-nilai spiritual pada anak
diperlukan kesabaran, tidak semua yang kita lakukan berhasil pada saat itu juga, adakalanya
memerlukan waktu yang lama dan berulang.8[10]
D. Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa
fase ( tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Children, ia mengatakan
bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:9[11]
1. The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Pada tingkatan ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada anak dalam tingkatan ini konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan ini anak
8
9

menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan


pada masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama
pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng yang kurang masuk
akal.
2. The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk SD hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada
masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada
kenyataan ( realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran
agama dari orang dewasa lainnya. pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
3. The Individual stage (tingkat individu)
Anak pada tingkat ini memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan
usia mereka. Ada beberapa alasan mengenalkan nilai-nilai agama kepada anak usia dini, yaitu
anak mulai punya minat, semua perilaku anak membentuk suatu pola perilaku, mengasah potensi
positif diri, sebagai individu, makhluk social dan hamba Allah. Agar minat anak tumbuh subur,
harus dilatih dengan cara yang menyenangkan agar anak tidak merasa terpaksa dalam melakukan
kegiatan.10[12]

[1] Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 12


[2] http://nuritaputranti.wordpress.com/2007/11/27/kecerdasan-majemuk-multiple-

11
12

intelligences/ senin,28mei2012,10.46wib
13

[3]

http://belajarpsikologi.com/multiple-intelligences-atau-kecerdasan-ganda /sabtu, 12mei2012,

22.48wib
[4]

Desmita, Psikologi Perkembangan, ( Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,


2009), hlm. 149
14

10
11
12
13

[5] Partini, Pengantar

15

Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media,

2010), hlm. 113-114


16
[6] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 63-64
17
[7] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 47-48
18
[8] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, hlm. 53-55
19
[9]
http://pg-paud.blogspot.com/2011/02/pengembangan-moral-dan-nilainilai_06.html,sabtu,2 juni2012,08.44wib
20
[10] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, hlm. 50-51
21
[11] Jalaluddin, Psikologi Agama, hlm. 66
22
[12] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, hlm. 48-50

14
15
16
17
18
19
20
21
22

You might also like