You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif ke-2 paling sering
dijumpai setelah penyakit Alzheimer yang dapat menyebabkan disabilitas yang
signifikan dan penurunan kualitas hidup. Prevalensi terjadinya penyakit ini meningkat
sebesar 4-5% pada orang berusia di atas 85 tahun. Karakteristik neuropatologik dari
penyakit ini adalah degenerasi neuron dopaminergik di substansia nigra dan adanya
inklusi intrasitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) pada residu neuron dopaminergik.
Tanda fisik kardinal dari penyakit ini yaitu tremor saat istirahat, kekakuan,
bradikinesia, dan onset yang asimetris. Levodopa merupakan pilihan terapi utama
pada penyakit Parkinson, meskipun penggunaannya terbatas oleh karena komplikasi
motorik dan drug-induced dyskinesia. Seorang dokter harus memiliki pemahaman
yang baik mengenai penyakit Parkinson karena prevalensi bertambah seiring
meningkatnya usia penduduk. Pengobatan harus dilakukan secara individual untuk
mengurangi gejala serta mengurangi komplikasi motorik dan non-motorik. Selama
progresivitas penyakit berlangsung, pengobatan dapat menjadi semakin rumit dan
pengelolaan bersama dengan subspesialis mungkin diperlukan. Tujuan paling penting
adalah untuk membantu pasien mempertahankan otonominya secara maksimal dan
mempertahankan kualitas hidup.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Penyakit

parkinson

adalah

kondisi

progresif

neurodegeneratif

yang

diakibatkan karena adanya kematian dari sel yang mengandung dopamin pada
substansia nigra.2
2.2 Etiologi
Etiologi penyakit parkinson belum diketahui (idiopatik), akan tetapi terdapat
beberapa faktor risiko (multifaktorial) yang telah diidentifikasikan, yaitu :
a. Usia : meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30 tahun.
b. Rasial : Orang kulit putih lebih sering daripada orang Asia dan Afrika .
c. Genetik : diduga ada peranan faktor genetik
Telah dibuktikan mutasi yang khas tiga gen terpisah (alpha-Synuclein, Parkin,
UCHL1 ) dan empat lokus tambahan (Park3, Park4, Park6, Park7) yang berhubungan
dengan keturunan parkinson. Sebagian besar kasus parkinson idiopatik diperkirakan
akibat faktorfaktor genetik dan lingkungan.2
2.3 Epidemiologi
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif dengan tingkat
prevalensi diperkirakan sebesar 329 per 100.000 orang di United States. Tingkat
kejadian tahunan telah diperkirakan berkisar dari 16 hingga 19 per 100.000
penduduk. Penyakit Parkinson terutama mempengaruhi orang di atas usia 50 tahun,
dan prevalensi serta insidensi meningkat dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu,
semakin bertambah tua populasi umum maka semakin terjadi peningkatan dramatis
populasi orang yang terdiagnosis dengan parkinson. Sebuah studi menyatakan bahwa
pada tahun 2030, jumlah populasi berusia di atas 50 tahun (dan jumlah populasi
penderita penyakit parkinson) akan berlipat ganda, sehingga diperkirakan 9 juta orang
dengan mengidap Parkinson di dunia.3
2.4 Klasifikasi
Skala The Hoehn dan Yahr digunakan untuk menggambarkan progresivitas
penyakit Parkinson. Skala ini awalnya digambarkan pada tahun 1967 dimulai dari
tahap 1 sampai 5. Sejak itu dilakukan modifikasi dengan penambahan tahap 1,5 dan
2,5 untuk menjelaskan intermediate course penyakit Parkinson.4
Tabel 1. Skala Hoehn dan Yahr

Dikutip (4)

Gambar 1. Skala Unified Parkinsons Disease Rating Scale


2.5 Patofisiologi
Meskipun etiologi penyakit parkinson idiopatik tidak diketahui, penyakit
neurodegeneratif ini ditandai oleh degenerasi dari neuron yang memproduksi
dopamin. Penyebab utama dari degenerasi neuron ini tidak diketahui dan mungkin
melibatkan beberapa kaskade molekuler dan peristiwa seluler, termasuk stres
oksidatif,

inflamasi,

akumulasi

altered

proteins,

excitotoxicity,

mekanisme

proapoptotik, dan disfungsi mitokondria. Dalam penelitian terkini, dinyatakan bahwa


reaksi glial dan proses inflamasi juga berpartisipasi dalam kaskade peristiwa yang
mengarah terjadinya degenerasi saraf.6

Gambar 2. Substansi Kimia Terkait Proses Inflamasi Pada Penyakit Parkinson


Dikutip (6)
Peran Mediator Inflamasi Terhadap Patogenesis Penyakit Parkinson
Telah dibuktikan bahwa kadar beberapa sitokin (termasuk IL-1 dan TNF-)
pada jalur nigrostriatal yang telah berdegenerasi dari analisa post-mortem
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada substansia nigra. Sinyal TNF-
melalui satu dari dua reseptor. Tnfrsf1a (TNFR1) diekspresikan pada beberapa tipe
sel termasuk neuron dopamine nigrostriatal. Tnfrsf1b (TNFR2) diekspresikan secara
utama dari sel pada sistem imun seperti microglia, tetapi dilaporkan juga bahwa
ekspresi juga berasal dari jantung dan sel endothelial maupun dopaminergik, kortikal
Dikutip (5)

dan neuron hipokampus. TNF dapat mengaktivasi sejumlah sel microglia pada otak
tengah yang berpotensi menyebabkan adanya respon inflamasi yang mengakibatkan
autoamplifikasi ROS, NO dan superoxide radicals membentuk peroxynitrit yang
sangat teroksidasi. TNF terkait aktivasi microglia pada substansia nigra membuat
lingkungan stress oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase yang mempercepat
kerusakan neuron dopamin. Single-nucleotide polymorphisms, promotor dari gen
TNF ditemukan secara sporadic pada pasien dengan Parkinson.6

Gambar 3. Mekanisme Stres Oksidatif dan Inflamasi Pada Parkinson


Dikutip (6)
Peran Stres Oksidatif Terhadap Patofisiologi Penyakit Parkinson
Stres oksidatif dihasilkan ketika terdapat akumulasi reactive oxygen species
dan reactive nitrogen species karena berkurangnya kapasitas antioksidan endogen
dan atau produksi berlebihan ROS di dalam sel. Semua organisme aerob sangat
mudah mengalami stress oksidatif karena produksi ROS (terutama superoxide dan
hydrogen peroxide) oleh mitokondria selama respirasi.Otak mempunyai sifat yang
sangat sensitive terhadap stress oksidatif, karena otak mengkonsumsi oksigen sekitar

10

20% dari total konsumsi oksigen tubuh.6

Gambar 4. Peranan Astrosit dalam Kematian Sel Neuron Pada Parkinson


Dikutip (6)
2.6 Manifestasi Klinis
1. Gejala motorik

Tremor (patognomonik, menonjol saat istirahat, asimetris, gerakan

volunter berkurang).
Rigiditas
Bradikinesia (asimetris, kekuatan normal, gerakan tangkas melambat)
Postur tubuh dan gaya berjalan (menyeret kaki, langkah pendek,
gerakan tangan menurun, postur tubuh membungkuk)

2. Gejala non-motorik

11

Gangguan tidur (insomnia, parasomnia, rapid eye movement, sleep


behaviour disorder, gerakan ekstremitas secara periodik saat tidur,

sleep apnea dan vivid dreaming).


Halusinasi
Restless Legs Syndrome
Konstipasi
Inkontinensia urin
Drooling
Disfungsi seksual

3. Gejala psikiatrik

Depresi
Demensia
Psikosis 2

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis penyakit parkinson sebagian besar bergantung terhadap manifestasi
klinis serta tanda dan gejala spesifik. Kumpulan gejala dan tanda yakni seperti
bradikinesia, kekakuan, resting tremor dan instabilitas postural, tidak adanya fitur
atipikal, perjalanan penyakit yang progresif lambat, dan respon terhadap terapi obat.3

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Klinis Berdasarkan United Kingdom Parkinsons


Disease Society Brain Bank

12

Dikutip (3)
Smell Testing
Berdasarkan

AAN

Guideline

pemeriksaan

olfaktori

bertujuan

untuk

membedakan antara penyakit parkinson dan progressive supranuclear palsy, seperti


halnya Parkinson dengan degenerasi kortikobasal, namun tidak pada parkinson
dengan multiple system atrophy. Pemeriksaan olfaktori mempunyai sensitivitas
sebesar 77% dan spesifisitas sebesar 85%.3

13

Pemeriksaan Pencitraan
Teknik pencitraan pada otak baru-baru ini umumnya dikategorikan menjadi
dua kategori yaitu struktural (MRI dan CT-Scan) dan fungsional (PET dan SPECT).
Pencitraan fungsional sistem dopaminergik presinaptik sensitif terhadap adanya
defisiensi dopamin pada tahap awal parkinsonism degeneratif (termasuk penyakit
idiopatik parkinson), karena setidaknya 50% dari aktivitas dopamin hilang sebelum
gejala pertama muncul. Dalam hal ini teknik tersebut dapat mengkonfirmasi atau
menyangkal diagnosis klinis pada tahap awal penyakit tersebut.7
Pencitraan Struktural
Pasien dengan parkinson atau tremor mungkin menunjukkan kelainan struktur
pada CT atau MRI. Seringkali temuan tersebut insidental, misalnya, kalsifikasi
ganglia basal ditemukan pada 0,6% dari 7.000 pasien dan tidak terdapat hubungan
dengan parkinsonisme. Pencitraan struktural otak dengan CT atau MRI scan tidak
membedakan penyakit Parkinson idiopatik

dengan bentuk-bentuk lain dari

parkinsonism.7
Pencitraan Fungsional
1. SPECT
Membedakan penyakit parkinson idiopatik dari penyakit non-degeneratif
dengan parkinsonisme / tremor dengan menggunakan pencitraan fungsional seperti
123I-FP-CIT SPECT (N--fluropropyl-2-caroboxymethoxy-3- (4-iodophenyl)
tropane).7
2. PET
Radioisotop

utama

yang

digunakan

adalah

18F

Fluorodopa,

yang

menggambarkan sistem dopamin presinaptik. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan


bahwa PET scan memiliki kemampuan yang lebih unggul dalam mendiagnosa
penyakit Parkinson dan membedakannya dari penyakit non-Parkinson, dibandingkan
dengan SPECT. PET scan tidak dianjurkan sebagai bagian dari alat diagnostik
sindrom parkinsonian kecuali dalam kerangka penelitian.7
Diagnosis Banding

14

Penyakit Parkinson adalah suatu kondisi neurodegeneratif progresif kronis


seumur hidup. Diagnosis yang akurat mendasari penatalaksanaannya, akan tetapi hal
ini tidak selalu mudah dilakukan. Terdapat beberapa penyakit degeneratif dan nondegeneratif yang menyerupai manifestasi klinis tersebut.7
Tabel 3. Diagnosis Banding Penyakit Parkinson

Dikutip (7)
2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit parkinson dapat dikelompokan, sebagai berikut :
I. Farmakologik
1. Bekerja pada sistem dopaminergik
a. Levodopa
Levodopa merupakan obat paling berpotensi dalam mengontrol gejala
penyakit Parkinson terutama terkait dengan bradykinesia. Penggunaan terapi
levodopa seringkali terkait dengan komplikasi motorik seperti fluktuasi dan
diskinesia, sehingga terdapat perdebatan saat kapan gejala klinis penyakit Parkinson
untuk dilakukan pemberian terapi awal dengan levodopa. Penambahan carbidopa,
inhibitor dekarboksilasi dopa perifer, meningkatkan efek terapeutik levodopa. Pada
pasien yang sensitive dengan efek samping perifer seperti mual dan muntah
penambahan

carbidopa

carbidopa/levodopa.

(Lodosyn)

mungkin

ditambahkan

menjadi

preparat

Levodopa diberikan bersama dopa-decarboxylase inhibitor

dalam bentuk carbidopa dengan perbandingan carbidopa : levodopa = 1 : 10


(Sinemet) atau benzerazide : levodopa = 1 : 4 (Madopar). Efek terapi preparat
levodopa baru muncul sesudah 2 minggu pengobatan oleh karena itu perubahan dosis
seyogyanya setelah 2 minggu.8
Sebagian besar pasien yang menjalani terapi levodopa mengalami fluktuasi
motorik, diskinesia dan komplikasi lainnya setelah 5 tahun terapi. Oleh karena

15

fluktuasi motorik dan diskinesia sangat tergantung terhadap dosis dan durasi
pemberian terapi levodopa, sebagian besar parkinsonologist menganjurkan strategi
terapi dengan menunda onset terapi levodopa yang bertujuan untuk menunda
komplikasi motorik terapi levodopa.8
Terdapat beberapa jenis levodopa yang menginduksi diskinesia seperti peadose dyskinesias, biphasic dyskinesias dan wearing-off dyskinesias. Selain
dosis kumulatif dan durasi pemberian levodopa, terdapat beberapa faktor risiko
lainnya yang harus dipikirkan sebelum memulai terapi levodopa. Pada pasien
penyakit Parkinson berusia muda mudah untuk terjadi levodopa-induced dyskinesias.
Beberapa genetik penyakit Parkinson seperti PARK2 dan PARK8 juga dilaporkan
berisiko tinggi terkait komplikasi motorik akibat pemberian levodopa. Terdapat tiga
strategi untuk mengurangi risiko levodopa-induced dyskinesias:
1. Mengurangi dosis levodopa,
2. Penggunaan obat yang dapat mengatasi diskinesia,
3. Pembedahan
Beberapa obat, termasuk amantadine, telah dilaporkan dapat memperbaiki
levodopa-induced dyskinesias tanpa mengurangi dosis levodopa. Penambahan
COMT-inhibitor, MAO-I inhibitor atau inhibitor agonis dopamine digunakan sebagai
terapi komplikasi motorik akibat levodopa. Obat-obat dengan efek antidiskinetik
lainnya adalah clozapine, fluoxetine, propanolol, cannabinoid receptor agonist
nabilone, dan fipamezole. Beberapa obat antiepilepsi juga sedang dilakukan
investigasi karena efek potensialnya mengatasi levodopa-induced dyskinesias, seperti
Levetiracetam (Keppra) secara signifikan dapat mengurangi levodopa-induced
dyskinesias terkait MPTP.8

16

Gambar 5. Pilihan Terapi Farmakologi Penyakit Parkinson


Dikutip (8)
Efek wearing off merupakan bentuk fluktuasi motorik yang paling sering
terjadi yang muncul akibat pendeknya waktu paruh levodopa di striatum sebagai
akibat gangguan kapasitas penyimpanan dan buffer konsentrasi levodopa di striatal
karena hilangnya terminal dopaminergik striatal. Strategi yang dibuat untuk
memeperpanjang dan memperlancar konsentrasi terapeutik levodopa terkait fluktuasi
motorik biasanya membaik dengan meningkatkan frekuensi pemberian levodopa.
Preparat yang bersifat slow release seperti Sinemet CR, memberikan efek
smoothing out. Sinemet CR juga membantu mengurangi kekakuan di malam hari
sehingga pasien dapat tidur dengan lebih nyenyak. Kerugian dari Sinemet CR
dibanding preparat standard yaitu lambatnya atau sedikitnya respon dosis pagi hari
(tidak adanya morning kick) dan eksaserbasi serta pemanjangan dosis puncak
diskinesia.8
Tabel 4. Obat Antidiskinesia

17

Dikutip (8)
b. MAO dan COMT Inhibitor
Strategi lain untuk memperpanjang respon dopamine adalah dengan inhibitor
COMT seperti entacapone (Comtan). Entacapone, karena waktu paruhnya yang
singkat, dibutuhkan pemberian (200 mg hingga 8 kali dalam sehari). Tolcapone
(Tasmar), inhibitor COMT lainnya, jarang digunakan karena efeknya menyebabkan
gagal hati fulminan akut.8
Secara teori inhibitor COMT memberikan keuntungan dibandingkan dengan
Sinemet CR, karena tidak menunda absorpsi levodopa dan, walaupun penggunaannya
dapat meningkatkan

konsentrasi plasma

levodopa, inhibitor COMT tidak

meningkatkan waktu konsentrasi puncak atau konsentrasi maksimal levodopa.8


Dalam studi klinis, rasagiline, inhibitor selektif irreversible MAO B,
memberikan manfaat sederhana sebagai terapi tambahan pada pasien Parkinson yang
mengalami efek samping fluktuasi motorik levodopa.8
c. Agonis Dopamin
Karena efek levodopa yang neurotoksik dan menimbulkan komplikasi terkait
durasi terapi, para ahli merekomendasikan penundaan terapi levodopa hingga gejala
Parkinson secara jelas mengganggu pasien. Untuk menunda atau mencegah
komplikasi terkait levodopa, parkinsonologist merekomendasikan penggunaan agonis
dopamine sebagai terapi inisial.8

18

Farmakologi agonis dopamin adalah dengan mengaktifkan reseptor dopamine


melalui sintesis presinaps dopamine. Golongan ini bekerja langsung pada reseptor
dopamin, mengambil alih tugas dopamin dan memiliki durasi kerja lebih lama
dibandingkan dopamin. Hingga saat ini ada 2 kelompok dopamin agonis , yaitu
derivat ergot dan non ergot . Secara singkat reseptor yang bisa dipengaruhi oleh
preparat dopamin agonis adalah sebagai berikut:
Keuntungan terapi dengan agonis dopamin dibandingkan levodopa antara lain :
1. Durasi kerja obat lebih lama
2. Respon fluktuatif dan diskinesia lebih kecil
3. Dapat dipilih agonis dopamin yang lebih specifik terhadap reseptor dopamin
tertentu disesuaikan kondisi penderita penyakit parkinson.
Kerugian terapi agonis dopamin adalah onset terapeutiknya rata rata lebih
lama dibandingkan dopaminergik.8
Tabel 5. Farmakologi Agonis Dopamin

2. Bekerja pada sistem kolinergik


Obat golongan antikolinergik memberi manfaat untuk

Dikutip (8)

penyakit parkinson, oleh karena dapat mengoreksi kegiatan berlebihan dari sistem
kolinergik terhadap sistem dopaminergik yang mendasari penyakit parkinson. Ada
dua preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit parkinson, yaitu
thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin). Preparat lainnya yang juga
termasuk golongan ini adalah biperidon (akineton) , orphenadrine (disipal) dan
procyclidine (kamadrin). Golongan anti kolinergik terutama untuk menghilangkan
gejala tremor dan efek samping yang dapat terjadi adalah kemunduran memori, mulut
kering dan urinary symptoms. 8
3. Bekerja pada Glutamatergik

19

Diantara obat obat glutamatergik yang bermanfaat untuk penyakit parkinson


adalah dari golongan antagonisnya, yaitu amantadine, memantine dan remacemide.
Antagonis glutamatergik diduga menekan kegiatan berlebihan jalur dari inti
subtalamikus sampai globus palidus internus sehingga jalur indirek seimbang
kegiatannya dengan jalur direk , dengan demikian out put ganglia basalis ke arah
talamus dan korteks normal kembali. Disamping itu, diduga antagonis glutamatergik
dapat meningkatkan pelepasan dopamin, menghambat reuptake dan menstimulasi
reseptor dopamin. Obat ini lebih efektif untuk akinesia dan rigiditas daripada
antikolinergik.8
Tabel 6. Terapi Medikamentosa Penyakit Parkinson

Tabel 7. Terapi Gejala Non-Motor Pada Parkinson


Dikutip (8)
4. Bekerja sebagai pelindung neuron
Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap

Dikutip (8)

ancaman degenerasi akibat nekrosis atau apoptosis. Termasuk dalam kelompok ini
adalah :
a. Neurotropik faktor, yaitu dapat bertindak sebagai pelindung neuron terhadap
kerusakan dan meningkatkan pertumbuhan dan fungsi neuron . Termasuk dalam
kelompok ini adalah BDNF (brain derived neurotrophic factor), NT 4/5

20

(Neurotrophin 4/5) , GDNT (glia cell line-derived neurotrophic factorm artemin) ,


dan sebagainya.
b. Anti-exitoxin, yang melindungi neuron dari kerusakan akibat paparan bahan
neurotoksis (MPTP, Glutamate) . Termasuk disini antagonis reseptor NMDA, MK
801, CPP, remacemide dan obat antikonvulsan riluzole.
c. Anti oksidan, yang melindungi neuron terhadap proses oxidative stress akibat
serangan radikal bebas. Deprenyl (selegiline), 7-nitroindazole, nitroarginine
methyl-ester, methylthiocitrulline, m 101033E dan m 104067F, termasuk
didalamnya. Bahan ini bekerja menghambat kerja enzim yang memproduksi
radikal bebas.Dalam penelitian ditunjukkan vitamin E ( a-tocopherol ) tidak
menunjukkan efek anti oksidan.
d. Bioenergetic suplements, yang bekerja memperbaiki proses metabolisme energi di
mitokondria . Coenzym Q10 ( Co Q10 ) , nikotinamide termasuk dalam golongan
ini dan menunjukkan efektifitasnya sebagai neuroprotektant pada hewan model
dari penyakit parkinson.
e. Immunosuppressant, yang menghambat respon imun sehingga salah satu jalur
menuju oxidative stress dihilangkan. Termasuk dalam golongan ini adalah
immunophillins, CsA (cyclosporine A) dan FK 506 (tacrolimu). Akan tetapi
berbagai penelitian masih menunjukkan kesimpulan yang kontroversial.8
II. Non Farmakologik
1. Pembedahan
Terapi pembedahan pada penyakit Parkinson dipertimbangkan pada pasien
tingkat lanjut dimana pemberian terapi medikamentosa secara optimal gagal
mengatasi gejala motorik seperti fluktuasi motorik dan atau dyskinesia. Saat ini
sedang dikembangkan thalamotomy untuk mengatasi tremor dan pallidotomy
untuk mengatasi levodopa induced dyskinesias. Walaupun pallidotomy dan
thalamotomy dilakukan pada pasien-pasien tertentu, deep brain stimulation (DBS)
merupakan pilihan terapi bedah pada pasien Parkinson tingkat lanjut.9
2. Deep-Brain Stimulation
Dibandingkan dengan pembedahan ablasi, DBS dapat disesuaikan.dari waktu
ke waktu untuk mengatasi progresivitas penyakit, memiliki efek yang reversible

21

dan dapat dikerjakan secara bilateral untuk memperbaiki gejala. Target yang biasa
dicapai pada pasien Parkinson adalah thalamus (Vim nucleus), subthalamic
nucleus (STN), dan globus palidus internus (GPi). Perbaikan secara keseluruhan
dari activity daily living dan skor motorik UPDRS pada pasien off medication/on
stimulation membaik sebesar 50% dibandingkan sebelum pembedahan. Beberapa
faktor yang berkontribusi terhadap hasil akhir DBS adalah indikasi dan seleksi
pasien, ketepatan dalam target bedah, stimulasi program dan tatalaksana
medikamentosa. Komplikasi yang paling sering terjadi dalam jangka panjang
(terutama pada subthalamic nucleus) yaitu apraksia kelopak mata, disartria atau
hipofonia, gangguan cara berjalan, instabilitas postural, penambahan berat badan
dan penurunan kefasihan bicara.9
Gambar 6. Algoritma Tatalaksana Penyakit Parkinson

2.8 Prognosis
Tingkat progresivitas penyakit parkinson bervariasi antara individu. Penyakit
parkinson sendiri bersifat tidak fatal. Penyebab kematian

Dikutip (8)

pada sebagian pasien dengan Parkinson yakni karena adanya


faktor komorbid (seperti Pneumonia). Secara keseluruhan dalam sebagian besar studi,
penyakit Parkinson menurunkan harapan hidup dengan hazard ratio kematian
berkisar antara 1.5-2.16 Sebanyak 25-40% pasien dengan Parkinson akan

22

berkembang menjadi demensia, dimana sangat berkontribusi dalam menurunkan


harapan hidup.10

DAFTAR PUSTAKA
1. Rao S S, Hofmann L A dan Shakil A. 2006. Parkinsons Disease : Diagnosis and
Treatment. The American Family Physician : Texas
2. The National Collaborating Centre for Chronic Conditions. 2006. Parkinsons
Disease. Royal College of Physicians : London
3. Pahwa R dan Lyons K. 2010. Early Diagnosis of Parkinsons Disease :
Recommendations From Diagnostic Clinical Guidelines. American Journal of
Managed Care p.94-99
4. R. Bhidayasiri dan D. Tarsy. 2012. Movement Disorders: A Video Atlas,
Current Clinical Neurology, Chapter 2: Parkinsons Disease : Hoehn and Yahr
Scale. Springer Science : New York
5. The We Move Clinicians Guide.2006. Unified PR Rating Scale.
6. Niranjan R. 2014. The Role of Inflammatory and Oxidative Stress Mechanisms
in the Pathogenesis of Parkinsons Disease: Focus on Astrocytes. New York :

23

Springer
7. A National Clinical Guideline. 2010. Diagnosis and Pharmacological
Management of Parkinsons Disease. Scottish Intercollegiate Guidelines
Network : London
8. Jankovic J dan Aguilar L G. 2008. Current Approaches To The Treatment of
Parkinsons Disease. Texas : Neurophysichiatric Disease and Treatment.
9. Parkinson Society Canada. 2012. Canadian Guidelines on Parkinsons Disease.
The Canadian Journal OF Neurological Sciences Vol.39 Number 4.
10. Blochberger A. 2011. Parkinsons Disease Clinical Features and Diagnosis. UK:
PJ Online p.361

24

You might also like