You are on page 1of 7

Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai


berikut.
1.
2.
3.
4.

Seleksi
Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Uji klinik

1. Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat

herbal

yang

akan diteliti

dan dikembangkan. Jenis

obat

tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah :


1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam
angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
2. Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional
yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro
dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana
pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional
yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba
yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO
menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan
untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk
melihat keamanannya.
a. Uji Toksisitas

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji
toksisitas

khusus

yang

meliputi

uji

teratogenisitas,

mutagenisitas,

dan

karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal


dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik,
spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk
semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal
cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan
selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan
selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk
mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama
pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian
obat pada manusia (Tabel 1).
Tabel 1. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan
Lama pemberian pada manusia

Lama pemberian pada hewan coba

Dosis tunggal atau <1 minggu

2 minggu 1 bulan

Dosis berulang 1 4 minggu

4 minggu 3 bulan

Dosis berulang 1- 6 bulan

3- 9 bulan

Dosis berulang > 6 bulan

9 12 bulan

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara
selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek
khusus seperti kanker, cacat bawaan.
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
4. Obat digunakan secara kronik
b. Uji Farmakodinamik

Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek


farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan
cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
3. Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan
menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat
mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan
dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh
dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman
obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk
decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi
efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis
pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang
terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu
tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya
melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol
30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan
alkaloid tersari dengan baik.

4. Uji klinik Obat tradisional

Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau

memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik


untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit.
Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
1. Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam
pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
2. Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan
keamanan dan manfaatnya.
Tahap-tahap pelaksanaan
1. Merencanakan tahap-tahap pelaksanaan uji klinik Fitofarmaka termasuk
formulasi, uji farmakologik eksperimental dan uji kimia.
2. Melaksanakan uji klinik fitofarmaka.
3. Melakukan evaluasi hasil uji klinik fitofarmaka.
4. Menyebar luaskan informasi tentang hasil uji klinik litofarmaka kepada
masyarakat (peneliti diperbolehkan mempublikasikan pengujian yang
dilakukan dengan memperhatikan kode etik publikasi ilmiah).
5. Memantau penggunaan dan kemungkinan timbulnya efek

samping

fitofarmaka.
Persyaratan uji klinik fitofarmaka
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam uji klinik Fitofarmaka
1. Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada manusia
apabila sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan pada hewan coba
yang sesuai dan dinyatakan memenuhi syarat, yang membenarkan
dilakukannya pengujian klinik pada manusia.
2. Alasan untuk melaksanakan uji klinis terhadap suatu fitofarmaka dapat
didasarkan pada :
a. Adanya data pengujian farmakologik pada hewan coba yang
menunjukan bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai aktivitas
farmakologik yang sesuai dengan indikasi yang menjadi tujuan uji
klinik fitofarmaka tersebut.

b. Adanya pengalaman empirik dan / atau histori bahwa fitofarmaka


tersebut mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan
dan pengobatan penyakit atau gejala penyakit.
3. Uji Klinik Fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian multidisiplin.
4. Uji klinik Fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dan metodologi
suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat klinik suatu obat
baru. Protokol uji klinik suatu calon fitofarmaka harus selaras dengan
Pedoman Fitofarmaka yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Rl. Protokol
uji klinik dengan rancangan dan metodologi yang sesuai dikembangkan dulu
oleh tim peneliti. Protokol uji klinik harus dinilai dahulu oleh suatu Panitia
llmiah yang independent untuk mendapatkan persetujuan.
5. Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsip-prinsip etika sejak
perencanaan sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap pengujian
harus mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari Panitia Etika
Penelitian Biomedik pada manusia. 6. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat
dilakukan oleh tim peneliti yang mempunyai keahlian, pengalaman,
kewenangan dan tanggung jawab dalam pengujian klinik dan evaluasi khasiat
klinik obat.
6. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh unit-unit pelayanan dan
penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik
dipandang dari segi kelengkapan sarana, keahlian personalia, maupun
tersedianya pasien yang mencukupi. Pengulian klinik dalam unit-unit
pelayanan kesehatan di luar Sentra Uji Fitofarmaka, misalnya di Puskesmas
atau Rumah Sakit, harus mendapatkan supervisi dan monitoring dari Sentra
Uji

Fitofarmaka

sejak

perencanaan,

pelaksanaan

sampai

dengan

penyelesaiannya.
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat
moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda
(randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku

emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat
tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik.
Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka
prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang
jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian
dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat
menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase
yaitu:
Fase I

: dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan

tolerabilitas obat tradisional


Fase II awal

: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding

Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding


Fase III

: uji klinik definitif

Fase IV

: pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau

yang lambat timbulnya


Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yangmerugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat
langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum
digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna
mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya
berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo
atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus
sehingga sulit untuk dibuat tersamar. Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional
yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung
meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan
terhadap obat tradisional antara lain karena:
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik

2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat
dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak
faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah
laku di pasaran

You might also like