You are on page 1of 6

INDIATI: PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK POLONG KACANG HIJAU

Efektivitas Pengendalian Biologi dan Kimiawi


Hama Penggerek Polong Kacang Hijau
S.W. Indiati
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan umbi-umbian
Jl. Raya Kendalpayak, km 7 Malang, Jawa Timur

ABSTRACT. The Efectiveness of Biological and Chemical


Control on Mungbean Pod Borer, Maruca testulalis. Pod borer,
M. testulalis is one of the major pests in mungbean. Heavy pest
infestation could result in a complete yield failure. A field trial was
carried out in Megonten Village, Demak Regency during the dry
season of 2007, to study the effectiveness of insecticide sihalotrin
(Matador 25 EC), biological pesticide made of neem seed extract,
and commercial-Bt on pod borer. The experiment was arranged in
randomized block design with five replications, and six treatments
( sihalotrin, neem seed extract, commercial-Bt, sihalotrin + neem
seed extract, without control during padding stage, without control
during the plant growth). Mungbean lokal variety was planted on
plot 20 m x 20 m, plant spacing was 40 cm x 15 cm; two plants per
hill. The result indicated that pod borer attack occurred very high
and caused 1.3 t/ha yields loss at the generative phase. The use of
cyhalothren 2 cc/l weekly started at flowering phase was the
most effective control measure, capable of suppress pod borer
attack and generated yield up to 1.6 t/ha. Demak, as centre of
mungbean production in Java, had been heavily populated by pod
borer, that judicious pest management using insecticide is required
to obtain high yield of mungbean.
Keywords: Mungbean, pod borer control, Meruca testulalis
ABSTRAK. Hama penggerek polong, Maruca testulalis merupakan
salah satu hama penting tanaman kacang hijau. Serangannya sangat
tinggi, dan mengakibatkan tanaman puso panen. Penelitian lapangan
dilakukan di lahan sawah Desa Megonten, Kecamatan Kebonagung,
Kabupaten Demak pada musim tanam 2007, bertujuan untuk mengkaji
efektifitas penggunaan insektisida sihalotrin (Matador 25 EC), biji
mimba formulasi cair, dan insektisida komersial-Bt terhadap serangan
hama penggerek polong dan kehilangan hasil kacang hijau. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok lima ulangan, dan enam
perlakuan ( sihalotrin, biji mimba formulasi cair, insektisida
komersial-Bt, sihalotrin + mimba, tanpa pengendalian untuk hama
polong, tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman). Kacang
hijau varietas Lokal Super ditanam pada petak seluas 20 m x 20 m,
jarak tanam 40 cm x 15 cm dua tanaman/lubang setelah dijarangi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase generatif, intensitas
serangan penggerek polong sangat tinggi, sehingga menyebabkan
kehilangan hasil biji kering 1,3 t/ha. Penggunaan sihalotrin 2 ml/l
seminggu sekali yang dimulai pada awal fase pembungaan paling
efektif dalam mengendalikan penggerek polong dengan hasil biji
mencapai 1,566 t/ha.
Kata kunci: Teknik pengendalian, Maruca testulalis, kacang hijau

acang hijau (Phaseolus radiatus) merupakan


tanaman penyela pada musim kemarau di
lahan sawah dalam pola rotasi padi-padi-kacang
hijau. Umumnya kacang hijau ditanam tujuh hari setelah
tanaman padi kedua dipanen. Hal ini dimaksudkan
untuk memanfaatkan sisa air tanah yang masih tersedia,
karena selain berumur pendek (56-75 hari), kacang hijau
50

juga toleran kekeringan. Petani kebanyakan menanam


kacang hijau varietas lokal dengan kulit polong berwarna
coklat tua, biji besar, warna biji kusam, dan umur genjah.
Penanaman kacang hijau dilakukan dalam rentang
waktu 1-7 hari setelah padi dipanen, tanam kurang
serempak, sehingga berpeluang terjadinya serangan
hama dan penyakit. Tanaman yang ditanam paling akhir
paling berpeluang untuk terserang hama dan penyakit.
Hama yang sering merusak kacang hijau pada
musim kemarau adalah penggerek polong, menyerang
sejak fase berbunga hingga stadia pengisian biji.
Selain kacang hijau, penggerek polong juga dapat
menyerang tanaman kacang-kacangan lain, seperti
kacang tunggak, kacang gude, dan kacang panjang, baik
di daerah tropis maupun subtropis. (Jackai 1995; Abate
and Ampofo 1996; Shanower et al. 1999). Pada awal
fase berbunga, serangga dewasa mulai meletakkan
telurnya di kuncup bunga dan bunga, namun telur juga
dapat ditemukan pada daun, pucuk tanaman, dan
polong. Telur berbentuk oval, berwarna putih, dan
menetas dalam tiga hari (Singh et al. 1990). Larva muda
yang baru menetas langsung menyerang atau memakan
kuncup bunga, bunga, dan polong. Singh et al. (1990)
menyatakan bahwa kehilangan hasil kacang tunggak
akibat serangan penggerek polong berkisar antara 2080%. Di Banjarnegara, Jawa Tengah, kehilangan hasil
kacang hijau akibat serangan penggerek polong berkisar
antara 13-59% (Indiati 2007).
Populasi dan tingkat serangan penggerek polong
dapat dikendalikan dengan menggunakan lampu
perangkap dan perangkap seks feromon yang telah
dikembangkan oleh Bottenberg et al. (1997) dan
Downham et al. (2002). Metode ini dapat digunakan
untuk memperkirakan waktu terjadinya serangan
penggerek polong dan menurunkan kepadatan
populasi awal di areal pertanaman. Menurut Liao dan
Lin (2000), deltametrin, carbaril, dan thiodicarb yang
diaplikasikan seminggu sekali sejak tanaman berbunga
efektif menekan serangan M. virata pada kacang
tunggak. Emosairue dan Ubana (1998) dalam CAB
International (2004) melaporkan bahwa penggunaan
insektisida lambda-sihalotrin efektif mengendalikan
penggerek polong Maruca sp. Di samping insektisida
sintetik, Taylor (1968) dalam CAB International (2004)

JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 1 2010

juga melaporkan bahwa Bacillus thuringiensis terbukti


dapat digunakan untuk menekan serangan M. vitrata di
Nigeria. Menurut Tanzubil (2000) ekstrak biji mimba yang
diaplikasikan dengan konsentrasi 5% dan 10% efektif
mengendalikan hama thrips (Megalurothrips sjostedti),
penggerek polong (Maruca testulalis atau M. vitrata),
dan penghisap polong (Clavigralla spp., Aspavia
armigera, dan Riptortus dentipes).
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji keefektifan
penggunaan lambda-sihalotrin (Matador 25 EC), ekstrak
biji mimba, dan Bt komersial dalam mengendalikan
hama penggerek polong dan pengaruhnya terhadap
kehilangan hasil kacang hijau.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di lahan sawah, di Desa
Megonten, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten
Demak. Penanaman kacang hijau dilakukan pada 27 Juli
2007. Penelitian disusun dalam rancangan acak
kelompok dengan enam perlakuan (Tabel 1). Kacang
hijau varietas lokal Super ditanam pada petak percobaan
berukuran 20 m x 20 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua
tanaman/lubang setelah dijarangkan. Pupuk dengan
takaran 45 kg urea + 45-90 kg SP36 + 50 kg KCl/ha
diberikan pada saat tanam secara larikan. Penjarangan
tanaman dilakukan dua kali selama pertumbuhan. Untuk
mencegah penularan jamur tular tanah, benih diberi
perlakuan benih (seed treatment) dengan Kaptan 50WP
20 g/kg benih.
Pengamatan dilakukan terhadap:
1. Populasi hama penggerek polong pada tanaman
contoh seluas 1 m x 1 m pada saat tanaman
berumur 45. 48, dan 51 HST (hari setelah tanam).
2. Intensitas serangan penggerek polong pada lima
tanaman contoh pada saat panen.
3. Intensitas serangan penggerek polong pada petak
1 m x 1 m pada saat tanaman berumur 45 HST.
4. Hasil biji kering dari lima tanaman contoh dan
ubinan 2 m x 5 m pada saat panen.
5. Tinggi tanaman saat panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif cukup
baik. Serangan hama perusak daun (Spodoptera litura)
pada fase vegetatif rendah dan dapat dikendalikan
dengan baik. Pada saat tanaman menjelang berbunga
muncul ulat penggerek polong. Petani menandai

Tabel 1. Perlakuan pada penelitian pengendalian penggerek polong


kacang hijau. Demak, MT 2007.
Perlakuan

Uraian

T1

Tanpa pengendalian sejak 28 HST sampai panen


(hama polong tidak dikendalikan).

T2

Pengendalian dengan lamda sihalotrin (Matador 25


EC) 2 ml/l, seminggu sekali, dimulai pada awal fase
pembungaan (35 HST) sampai menjelang panen.

T3

Pengendalian dengan Azadiractin (mimba formulasi


cair 500 EC-4 ml/l), seminggu sekali, dimulai pada
awal fase pembungaan (35 HST) sampai menjelang
panen.

T4

Pengendalian dengan Bt komersial (Thuricide HP) 5 g/l,


seminggu sekali, dimulai pada awal fase pembungaan
(35 HST) sampai menjelang panen + deltametrin
(Decis 25 EC) 1 ml/l bila dijumpai hama penghisap
polong

T5

Pengendalian dengan lamda sihalotrin (Matador 25


EC) 2ml/l pada 35 HST dan 42 HST, aplikasi
selanjutnya pada 49 HST sampai menjelang panen
dengan Azadiractin (mimba formulasi cair 500 EC-4
ml/l), interval aplikasi 1 minggu.

T6

Tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman

- Perlakuan T1-T5, aplikasi fipronil 2ml/l pada umur 7-21 HST


dengan interval satu minggu.
- Untuk mengantisipasi serangan penyakit layu dilakukan
perlakuan benih dengan kaptan (Ingrofol 50WP), 20 g/kg benih

munculnya serangan hama penggerek polong dengan


adanya bunga kacang hijau yang saling lengket (kempel)
dan berwarna kehitaman. Pada kondisi demikian, posisi
ulat telah masuk dan menggerek ke dalam bunga
sehingga sulit dikendalikan. Akibatnya hasil rendah dan
bahkan gagal panen dari bunga yang pertama.
Di Desa Megonten, Kecamatan Kebonagung,
Kabupaten Demak, serangan hama penggerek polong
sangat tinggi dan merata. Intensitas serangan 66-97 %
(Gambar 1) dengan populasi ulat berkisar antara 39-75
ekor/m2 pada pengamatan umur 45 hari. Populasi
tertinggi terdapat pada perlakuan T1 (pengendalian 721 HST, hama polong tidak dikendalikan). Kepadatan
populasi ulat penggerek polong pada perlakuan T2
(lamda sihalotrin 2 ml/l), T4 (Bt 5 g/l), dan T5 (lamda
sihalotrin 2 ml/l + mimba formulasi cair 500 EC4 ml/l)
berbeda nyata dengan T1 (hama polong tidak
dikendalikan) dan T6 (tanpa pengendalian selama
pertumbuhan tanaman), sedang populasi ulat pada
perlakuan T3 (mimba formulasi cair 500 EC-4 ml/l) tidak
berbeda nyata dengan semua perlakuan (Tabel 2).
Pada 48 dan 51 HST, peningkatan populasi ulat hanya
2-12 ekor/perlakuan. Rendahnya populasi ulat pada
perlakuan T2 (lamda sihalotrin 2 ml/l), T4 (Bt 5 g/l), dan
T5 (lamda sihalotrin 2 ml/l+mimba formulasi cair 500

51

INDIATI: PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK POLONG KACANG HIJAU

EC4 ml/l) pada umur 45 HST disebabkan karena bahan


aktif bioinsektisida atau insektisida yang diaplikasikan
pada umur 42 hari masih efektif mengendalikan
sebagian ulat yang baru menetas. Pada perlakuan T2
(lamda sihalotrin 2 ml/l) dan T5 (lamda sihalotrin 2 ml/
l+mimba formulasi cair 500 EC4 ml/l) digunakan bahan
aktif lamda sihalotrin, sedang pada perlakuan T4
digunakan Bacillus thuringiensis (Bt).
Ditinjau dari interval waktu aplikasi, Bt dan lamda
sihalotrin dalam kurun waktu tiga hari ternyata masih
efektif menekan populasi ulat, dan setelah itu menurun.
Residu lamda sihalotrin masih efektif hingga 7 hari
setelah aplikasi. Hal ini dapat dilihat dari data
pengamatan populasi ulat pada umur 48 HST. Populasi
ulat pada perlakuan T2 (lamda sihalotrin 2 ml/l) dan T5
(lamda sihalotrin 2 ml/l+mimba formulasi cair 500 EC
4 ml/l) lebih rendah dan berbeda nyata dengan
perlakuan yang lain (Tabel 2).
Biji mimba formulasi cair yang digunakan pada
perlakuan T3 kurang efektif. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena: Pertama, senyawa aktif tanaman
mimba yang mengandung azadirachtin sebagai senyawa

aktif utama, meliantriol, salanin, nimbidin, dan nimbin


tidak membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh
terhadap daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi,
proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan
komunikasi seksual, menurunkan daya tetas telur, dan
menghambat pembentukan kitin. Formulasi biji mimba
juga berperan sebagai pemandul (Schmutterer and
Singh 1995), sehingga proses kerusakan tanaman masih
terus berlangsung. Kedua, rendahnya daya larut serbuk
biji mimba (SBM) disebabkan karena ukuran serbuk
kurang halus atau waktu perendaman terlalu singkat.
Ketiga, biji mimba formulasi cair memiliki aroma yang
kurang kuat dibandingkan dengan SBM dalam pelarut
air, sehingga sifat repellent-nya kurang kuat. Indiati (2007)
melaporkan bahwa untuk pengendalian lalat kacang
pada kedelai, penggunaan SBM yang diekstrak dengan
etanol sebagai pelarut memberikan efek penekanan
terhadap jumlah tanaman mati relatif lebih rendah
dibanding SBM yang diekstrak dengan pelarut air atau
SBM yang diekstrak dengan pelarut air, kemudian
dipanaskan sampai mendidih.
Pengamatan pada lima tanaman contoh
menunjukkan intensitas serangan hama polong berkisar
antara 28-83%. Serangan tertinggi terdapat pada

Intensitas serangan (%)

120
100

ab
95,4

ab
94,68
c
73,32

80

a
97,06

b
89,72
c
66,66

Rata-rata populasi ulat per m2 (ekor)


60

Perlakuan
45 HST

48 HST

51 HST

T1
T2
T3
T4
T5
T6

75,2
42,6
52,6
41,4
39,4
68,0

12,6
8,4
16,4
16,6
5,6
12,2

9,8 a
2,0 b
7,8 ab
9,2 a
2,4 b
9,8 a

BNT 5%
KK (%)

23,3
33,2

40
20
0
T1

T2

T3

T4

T5

T6

Perlakuan

T1 = Tanpa pengendalian mulai 28 HST sampai panen (hama


polong tidak dikendalikan).
T2 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2ml/l seminggu sekali
dimulai 35 HST sampai menjelang panen.
T3 = Mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l seminggu sekali 35
HST sampai menjelang panen.
T4 = Bt komersial (Thuricide HP) 5 g/l seminggu sekali dimulai
35 HST sampai menjelang panen + deltametrin (Decis 25
EC) 1 ml/l bila dijumpai hama penghisap polong
T5 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2 ml/l pada 35 HST dan
42 HST, pada 49 HST sampai menjelang panen dengan
mimba formulasi cair 500 EC 4 ml/l, interval aplikasi 1
minggu.
T6 = Tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman
Gambar 1. Intensitas serangan penggerek polong, M. testulalis
pada beberapa perlakuan pengendalian. Demak, MK
2007.

52

Tabel 2. Populasi dan intensitas serangan ulat penggerek polong


kacang hijau pada beberapa perlakuan pengendalian.
Demak, MK 2007.

a
b
ab
b
b
a

5,5
35,0

ab
bc
a
a
c
ab

6,18
68,6

T1 = Tanpa pengendalian mulai 28 HST sampai panen (hama


polong tidak dikendalikan).
T2 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2ml/l seminggu sekali
dimulai 35 HST sampai menjelang panen.
T3 = Mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l seminggu sekali 35
HST sampai menjelang panen.
T4 = Bt komersial (Thuricide HP) 5 g/l seminggu sekali dimulai
35 HST sampai menjelang panen + deltametrin (Decis 25
EC) 1 ml/l bila dijumpai hama penghisap polong
T5 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2ml/l pada 35 HST dan
42 HST, pada 49 HST sampai menjelang panen dengan
mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l, interval aplikasi 1
minggu.
T6 = Tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 DMRT.

JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 1 2010

perlakuan kontrol (T1 dan T6) dan terendah pada


perlakuan T5 (lamda sihalotrin + mimba). Hasil analisis
menunjukkan bahwa serangan penggerek polong pada
perlakuan T5 (lamda sihalotrin + mimba) tidak berbeda
dengan perlakuan T2 (lamda sihalotrin) (Tabel 3). Hal ini
berarti pada populasi dan serangan yang tinggi, ulat
harus dikendalikan dengan insektisida kimia seperti
lamda sihalotrin dan waktu penyemprotan harus tepat,
yaitu pada awal fase pembungaan untuk menurunkan
populasi dan serangan. Setelah populasi menurun,
penyemprotan dengan Bt dan SBM dapat dilakukan
untuk menghambat serangan ulat penggerek polong.
Pada populasi dan serangan yang tinggi, aplikasi Bt dan
SBM kurang efektif. Perpaduan antara insektisida kimia
dengan insektisida nabati seperti pada perlakuan T5
(lamda sihalotrin + mimba) dapat dianjurkan. Dengan
perpaduan ini, di samping frekuensi penyemprotan
insektisida kimia menjadi berkurang, pencemaran
lingkungan juga dapat dikurangi, dan bobot biji relatif
tinggi (Tabel 3), dan tidak berbeda dengan perlakuan T2
(lamda sihalotrin). Rahayu (1990) melaporkan bahwa
insektisida Matador 25 EC lebih toksik dibandingkan
dengan ekstrak etanol daun mimba (Azadirachta
indica).

Tabel 3. Tinggi tanaman, intensitas serangan penggerek polong,


dan bobot biji kering pada beberapa perlakuan
pengendalian. Demak, MK 2007.

Perlakuan

T1
T2
T3
T4
T5
T6
BNT 5%
KK (%)

Tinggi
tanaman
(cm)

Jumlah
polong/
5 tan

56,08
56,96
58,04
55,76
51,36
51,64

15,4
50,6
19,6
18,2
52,4
21,6

b
a
b
b
a
b

tn
7,37

9,32
23,67

Intensitas
serangan
polong (%)
83,64
29,04
79,96
69,68
28,76
83,78

a
c
ab
b
c
a

12,19
14,79

Bobot
biji
(g/5 tan)
33,82
58,04
36,20
38,30
51,84
32,84

b
a
b
b
a
b

9,59
17,38

T1 = Tanpa pengendalian mulai 28 HST sampai panen (hama


polong tidak dikendalikan).
T2 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2 ml/l seminggu sekali
dimulai 35 HST sampai menjelang panen.
T3 = Mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l seminggu sekali 35
HST sampai menjelang panen.
T4 = Bt komersial (Thuricide HP) 5 g/l seminggu sekali dimulai
35 HST sampai menjelang panen + deltametrin (Decis 25
EC) 1 ml/l bila dijumpai hama penghisap polong
T5 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2 ml/l pada 35 HST dan
42 HST, pada 49 HST sampai menjelang panen dengan
mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l, interval aplikasi 1
minggu.
T6 = Tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 DMRT.

Serangan penggerek polong pada bunga lebih parah


dibandingkan dengan polong. Bunga yang terserang
penggerek akan gagal membentuk polong dan akhirnya
mengurangi jumlah polong dan hasil. Jumlah polong
pada lima tanaman contoh sangat berbeda antarperlakuan pengendalian. Jumlah polong pada perlakuan
T2 (lamda sihalotrin) dan T5 (lamda sihalotrin + mimba)
adalah yang terbanyak, berkisar antara 50-52 polong/
lima tanaman, sedangkan pada empat perlakuan lain
hanya 15-21 polong/lima tanaman.
Analisis menunjukkan bahwa jumlah polong pada
perlakuan T2 (lamda sihalotrin) dan T5 (lamda sihalotrin
+ mimba) berbeda nyata dengan perlakuan lain,
termasuk kontrol (Tabel 3). Hasil biji sangat dipengaruhi
oleh jumlah polong yang dihasilkan. Bobot biji kering
pada perlakuan T2 (lamda sihalotrin) dan T5 (lamda
sihalotrin + mimba) masing-masing 58 g dan 51 g/lima
tanaman; sedang pada empat perlakuan lain hanya 3238 g/lima tanaman. Bobot biji pada perlakuan T2 (lamda
sihalotrin) dan T5 (lamda sihalotrin + mimba) berbeda
nyata dengan perlakuan yang lain, termasuk kontrol.
Kerusakan polong yang rendah serta jumlah polong
dan hasil biji yang tinggi pada perlakuan T2 (lamda
sihalotrin) dan T5 (lamda sihalotrin + mimba)
disebabkan karena bahan aktif dan waktu aplikasi yang
tepat sasaran. Lamda sihalotrin adalah bahan aktif
insektisida yang mempunyai cara kerja racun kontak
dan lambung. Bila tidak dapat kontak langsung dengan
larva atau telur penggerek, insektisida tersebut
diharapkan masih menempel pada bunga atau kulit
polong. Oleh karena itu, apabila termakan oleh larva,
insektisida ini berpeluang meracuni melalui makanan
yang telah masuk ke lambung larva. Di samping itu,
insektisida secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil
penelitian membuktikan bahwa aplikasi insektisida pada
tanaman kedelai yang steril dari serangan hama memiliki
pertumbuhan vegetatif dan generatif yang cenderung
lebih baik dibanding tanaman yang tidak mendapat
aplikasi insektisida (Indiati 2006). Berdasarkan susunan
kimianya, lamda sihalotrin termasuk ke dalam golongan
piretroid, yang memiliki keunggulan dalam mematikan
serangga secara cepat, namun toksisitasnya rendah
terhadap manusia sehingga lebih aman dalam
pemakaiannya (Untung 1991).
Tingginya kerusakan polong, rendahnya jumlah
polong dan hasil disebabkan karena Bt dan azadirachtin,
meliantriol, salanin, nimbidin dan nimbin tidak
membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh
terhadap daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi,
proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan
komunikasi seksual, menurunkan daya tetas telur, dan
menghambat pembentukan kitin. Selain itu, hama juga

53

INDIATI: PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK POLONG KACANG HIJAU

berperan sebagai pemandul (Schmutterer and Singh


1995). Mortalitas larva minimal terjadi empat hari setelah
aplikasi, sehingga proses kerusakan tanaman masih
terus berlangsung.
Hasil kacang hijau dalam dua kali panen sangat
tergantung pada perlakuan pengendalian yang
diberikan, berkisar antara 222-1566 g/10 m2 atau setara
0,22-1,57 t/ha (Tabel 4). Hasil terendah terdapat pada
perlakuan T6 (tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman). Hal ini disebabkan karena
serangan hama penggerek polong yang sangat tinggi.
Intensitas serangan penggerek polong pada perlakuan
T6 (tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman)
maupun T1 (tidak dilakukan pengendalian hama
polong) mencapai 83% (Tabel 3). Hasil tertinggi dicapai
oleh perlakuan T2 (lamda sihalotrin), yang kemudian
disusul perlakuan T5 (lamda sihalotrin + mimba). Hasil
tertinggi tersebut dicapai hanya dengan empat kali
aplikasi lamda sihalotrin, masing-masing 2 ml/l air,
dengan volume semprot 400 l air /ha. Aplikasi dimulai
pada awal fase berbunga dengan interval satu minggu.

Tabel 4. Bobot biji kering dan hasil kacang hijau yang dapat
diselamatkan pada beberapa perlakuan pengendalian
hama penggerek polong. Demak, MK 2007.
Bobot biji kering

Hasil dapat diselamatkan

Perlakuan
g/10 m2

(t/ha)

t/ha*

(%)**

T1
T2
T3
T4
T5
T6

261,6 d
1566,0 a
322,0 d
522,2 c
1246,0 b
222,2 d

0,26
1,57
0,32
0,52
1,25
0,22

0
1,304
0,06
0,26
0,984
-

0
497,7
22,9
99,2
375,6
-

BNT 5%
KK (%)

147,7
16,2

T1 = Tanpa pengendalian mulai 28 HST sampai panen (hama


polong tidak dikendalikan).
T2 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2 ml/l seminggu sekali
dimulai 35 HST sampai menjelang panen.
T3 = Mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l seminggu sekali 35
HST sampai menjelang panen.
T4 = Bt komersial (Thuricide HP) 5 g/l seminggu sekali dimulai
35 HST sampai menjelang panen + deltametrin (Decis 25
EC) 1 ml/l bila dijumpai hama penghisap polong
T5 = Lamda sihalotrin (Matador 25 EC) 2 ml/l pada 35 HST dan
42 HST, pada 49 HST sampai menjelang panen dengan
mimba formulasi cair 500 EC - 4 ml/l, interval aplikasi 1
minggu.
T6 = Tanpa pengendalian selama pertumbuhan tanaman
*) dihitung berdasarkan rumus: Tn-T1; di mana n antara 2 sampai 5
**)dihitung berdasarkan rumus:

(Tn T 1)
x100 % ; di mana n antara 2
T1

sampai 5
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 DMRT.

54

Pada MT 2007, hasil ubinan kacang hijau petani di


sekitar percobaan berkisar antara 0,8-1,2 t/ha, dengan
rata-rata 0,8 t/ha. Hasil panen tersebut kebanyakan
diperoleh dari bunga yang kedua. Untuk mendapatkan
hasil 0,8-1,2 t/ha, petani melakukan penyemprotan
insektisida sampai 20 kali selama pertumbuhan
tanaman. Mereka umumnya melakukan penyemprotan
sejak tanaman berumur 2 minggu dengan interval tiga
hari. Bahan aktif insektisida yang digunakan bisa satu
atau beberapa jenis yang dicampur menjadi satu.
Tingginya frekuensi penyemprotan oleh petani
dikarenakan mereka kurang mengetahui jenis dan
bioekologi hama, kapan hama harus dikendalikan, dan
teknik aplikasi insektisida yang kurang tepat.
Bila hasil pada petak perlakuan pengendalian (T2
sampai T5) dan tanpa pengendalian (T1) dibandingkan
maka terjadi senjang hasil 0,06-1,304 t/ha (Tabel 4), yang
merupakan nilai estimasi kehilangan hasil kacang hijau
akibat serangan ulat penggerek polong, atau merupakan
nilai estimasi hasil kacang hijau yang dapat diselamatkan
dengan tindakan pengendalian menggunakan
beberapa jenis bahan aktif. Dari kisaran nilai kehilangan
hasil tersebut dapat dikatakan bahwa penggerek polong
merupakan hama dominan di daerah Demak, sehingga
tindakan pengendalian yang tepat waktu, tepat dosis,
dan tepat sasaran sangat diperlukan. Di samping itu, jenis
insektisida yang digunakan juga harus bersifat selektif,
sesuai dengan hama sasaran yang harus dikendalikan.
Teknik pengendalian yang kurang tepat akan
menghasilkan tingkat penekanan hama yang rendah dan
biaya pengendalian yang tinggi.
Hama kacang hijau yang menyerang pada fase
vegetatif relatif rendah, dengan tingkat kehilangan hasil
hanya 0,04 t/ha (T1-T6), sehingga pada fase tersebut
tindakan pengendalian belum diperlukan.

KESIMPULAN
1. Pada fase generatif, penggerek polong merupakan
hama penting pada tanaman kacang hijau, dengan
tingkat kehilangan hasil mencapai 1,304 t/ha.
2. Pengendalian dengan lamda sihalotrin 2 ml/l (T2)
dengan interval seminggu sekali sejak awal fase
pembungaan (total aplikasi 4 kali); dan aplikasi
lamda sihalotrin 2 ml/l dengan interval dua kali sejak
awal fase pembungaan, yang kemudian dilanjutkan
dengan aplikasi Azadiractin dua kali (T5)
memberikan hasil tertinggi, berkisar antara 50-52
polong/lima tanaman dan bobot biji kering masingmasing 1,57 t/ha (T2) dan 1,25 t/ha (T5).

JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 1 2010

3. Pada serang yang berat, insektisida dari ekstrak


mimba dan formulasi Bt tidak efektif untuk pengendalian hama penggerek polong kacang hijau.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Dr. Suharsono, MS.
dan Dr. T. Adisarwanto yang telah mengoreksi makalah
ini, serta Sdr. Suyitno yang telah membantu pelaksanaan
penelitian di lapang.

DAFTAR PUSTAKA
Abate, T. and J.K.O. Ampofo. 1996. Insect pests of beans in Africa:
their ecology and management. Annu. Rev. Entomol. 41: 45
73.
Bottenberg, H., M. Tam, D. Arodokoun, L.E.N. Jackai, B.B.Singh,
and O. Youm. 1997. Population dynamics and migration of
cowpea pests in northern Nigeria: implications for integrated
pest management. In B.B. Singh, D.R. Mohan Raj, K.E.
Dashiell, and L.E.N. Jackai (Eds.). Advances in cowpea
research. International Institute of Tropical Agriculture and
Japan International Research Center for Agricultural
Sciences. Tsukuba. p. 271-284.
CAB International. 2004. Crop protection compendium. Wallingford.
UK, CAB International.
Downham, M.C.A., M. Tam, D.R. Hall, B. Datinon, D. Dahounto,
and J. Adetonah. 2002. Development of sex pheromone traps

for monitoring the legume podborer, Maruca vitrata (F.)


(Lepidoptera: Pyralidae). In C. A. Fatokun, S. A. Tarawali,
B.B. Singh, P.M. Kormawa, and M. Tam (Eds.). Challenges
and opportunities for enhancing sustainable cowpea
production. International Institute of Tropical Agriculture.
Ibadan. p. 124-135.
Indiati, S.W. 2006. Pengaruh aplikasi beberapa insektisida kimia
dan bahan nabati terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai.
Laporan teknis Balitkabi. Malang.
Indiati, S.W. 2007. Pengendalian hama penggerek polong pada
pertanaman kacang hijau. Agrin 11(2):138-142.
Jackai, L.E.N. 1995. Integrated pest management of borers of
cowpea and beans. Insect Sci. Applic. 16: 237-250.
Liao C.T. and Lin C.S. 2000. Occurrence of the legume pod borer,
Marucatestulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae) on cowpea
(Vigna nguiculata Walp) and its insecticides application trial.
Plant Prot. Bull. 42:213-222.
Rahayu, B.. 1990. Pengaruh insektisida piretroid sintetis Matador
25 EC dan ekstrak etanol daun Azadirachta indica A. Juss
terhadap perkembangbiakan Aeolosoma hembrichi,
Ehr.(Annelida). Abstrak Tesis S2, Biologi. ITB. Bandung.
Shanower, T.G., J. Romei,s and E.M. Minja. 1999. Insect pests of
pigeonpea and their management. Annu. Rev. Entomol. 44:
7796.
Singh, S.R., L.E.N. Jackai, J.H.R. dos Santos, and C.B. Adalla. 1990.
Insect pests of cowpea. In S.R. Singh (Ed.). Insect pests of
tropical food legumes. John Wiley & Sons, Chichester. p. 4389.
Tanzubil, P.B. 2000. Field evaluation of neem (Azadirachta indica)
extracts for control of insect pests of cowpea in Northern
Ghana Journal of Tropical Forest Products 6(2):165-172.
Untung. 1991. Dasar-dasar pengelolaan hama terpadu. Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 140 p.

55

You might also like