You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fieldtrip Geomorfologi ini, didasarkan studi terhadap bentang alam. Di
mana geomorfologi yang merupakan cabang dari ilmu geologi, yang mempelajari
tentang bentuk muka bumi, yang meliputi pandangan luas sebagai cakupan satu
kenampakan sebagai bentang alam (landscape), sampai pada satuan terkecil
sebagai bentuk lahan (landform).
Berdasarkan persamaan dan perbedaan kenampakan bentang alam dan
bentuk bentang lahan, maka kita berupaya untuk mengelompokannya. Dari hasil
pengamatan

terhadap

jenis-jenis

bentuk

lahan

tersebut,

kita

dapat

mengelompokkannya menjadi sistem Pegunungan, Perbukitan, Vulkanik, Karst,


Alluvial, Dataran sampai Marine terbentuk oleh pengaruh batuan penyusunnya
yang ada di bawah lapisan permukaan bumi.
Pengamatan dan identifikasi bentuk lahan seperti dilakukan langsung di
lapangan dengan melakukan field trip atau dapat juga dilakukan dengan
interprestasi foto udara atau dengan Analisis Citra Satelit (ACS). Pengindraan
jauh sebagai alat bantu untuk memantau atau mengamati objek muka biumi tanpa
ada sentuhan secara langsung, anatara lain berupa foto udara atau citra satelit.
Bentang alam (landscape) akan mudah diidentifikasi dengan pandangan
jarak jauh atau kalau menggunakan foto udara atau citra satelit menggunakan
skala gambar kecil. Sebaliknya untuk bentuk lahan (landform) akan mudah
diamati dari jarak dekat atau dengan foto udara atau citra satelit dengan skala
lebih besar. Dengan pengamatan dan analisis bentuk lahan dari foto udara akan
diperoleh informasi biofisik lainnya baik yang bersifat sebagai parameter tetap

(landform, rock, soil, slope), maupun parameter berubah (erosion, terrace, land
use). Dengan melakukan fieldtrip akan semakin dikenal betul macam bentuk lahan
dilapangan, sehingga mudah untuk mengingatnya kembali jika pernah melihat
secara langsung dan sebagai bekal memori pada saat melakukan Interpretasi Foto
Udara (IFU).
Bentuk lahan walupun mudah diamati dengan foto udara tapi perlu
dilakukan pendekatan dengan melakukan mendatangi langsung ke lapangan dalam
bentuk kunjungan lapangan (field trip). Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih
memastikan unsur pembentuk landform tersiri dari komposisi atau susunan batuan
apa saja. Disamping itu dengan survai lapangna akan diperoleh beberapa kunci
Interpretasi Fotro Udara (IFU) dari hasil kunjungan lapangan pada berbagai
bentuk lahan yang berbeda. Sehingga dengan kunci IFU akan diperoleh analaisis
bentuk lahan yang lebih lengkap yang merupakan satu komponen penyusun
bentang lahan.
Bentuk muka bumi yang kompleks telah menjadi suatu pokok bahasan
tersendiri khususnya dalam usaha pemanfaatannya. Dalam hal ini setiap bentukan
lahan mempunyai kapasitas berbeda dalam mendukung suatu usaha pemanfaatan
yang tentunya mengarah untuk tepat guna. Sehingga dengan tujuan sama yaitu
bermaksud menyederhanakan bentuk lahan permukaan bumi yang kompleks ini,
maka pemahaman mengenai ilmu geomorfologi yang mempelajari bentukanbentukan lahan menjadi sangat penting.
Penyederhanaan muka bumi yang kompleks ini membentuk suatu unit-unit
yang mempunyai kesamaan dalam sifat dan perwatakannya. Kesatuan sifat ini
meliputi

kesamaan

struktur

geologis

atau

geomorfologis

sebagai

asal

pembentukannya, proses geomorfologis sebagai pemberi informasi bagaimana


lahan terbentuk, dan kesan topografis yang akan memberikan informasi tentang
konfigurasi permukaan lahan. Dengan adanya informasi tersebut perencanaan
penggunaan lahan secara tepat akan dapat lebih terwujud.

1.2

Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam praktikum lapangan metode geologi lapangan ini

yaitu
1. Bagaimana cara menggunakan peralatan geologi pada saat dialapangan
dengan metode yang baik dan benar ?
2. Bagaimana cara mengambil data dilapangan dengan penuh ketelitian?
3. Bagaimana cara mengetahui litostratigrafi daerah penelitian?
1.3 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud diadakannya Field Trip mata kuliah metode geologi
lapangan ini yaitu untuk melakukan pengamatan dan pengambilan data singkapan,
data litologi, data geomorfologi serta data struktur dengan menggunakan metode
yang baik dan benar pada daerah tersebut.
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada field trip lapangan metode geologi
lapangan kali ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui jenis litologi yang berada pada daerah penelitian.
2. Mengetahui keadaan geomorfologi, stratigrafi dan struktur daerah
penelitian.
3. Untuk mengetahui litostratigrafi daerah penelitian.
1.4 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam Field Trip mata kuliah
Geomorfologi ini, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.1. Alat Beserta Fungsi/Kegunaan
No
Alat
.
Sebagai alat
1

Kompas

Kegunaan
untuk

melakukan

orientasi

Geologi medan/pengeplotan titik pengamatan, mengukur

(Brunton)

GPS

Palu

Papan Clipboard

kelerengan morfologi dan untuk mengukur data


struktur baik struktur primer maupun sekunder.
Sebagai alat untuk menentukan lokasi koordinat
field trip.
Sebagai alat untuk menyampling batuan.
Sebagai alat untuk membantu dalam pengukuran
strike dan dip pada suatu singkapan batuan.

5
6

Kamera
Alat Tulis Menulis

Sebagai alat untuk dokumentasi data lapangan.


Sebagai alat tulis menulis di lapangan.
Sebagai alat untuk mengamati sampel batuan yang

Lup

diambil

Busur Derajat

Mistar 30 cm

penyusun batuan tersebut.


Sebagai alat bantu dalam orientasi medan.
Sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan

10
11
12

Pensil Warna
Roll Meter
Peta Dasar

serta

untuk

mengamati

komposisi

titik di lapangan, dan sebagai alat menggaris.


Sebagai alat untuk memberikan keterangan warna.
Sebagai alat untuk mengukur dimensi singkapan.
Untuk mencatatatkan lokasi koordinat tiap stasiun.

Tabel 1.2. Bahan Beserta Fungsi/Kegunaan


No
Bahan
Kegunaan
.
Sebagai bahan untuk menguji kandungan karbonat
1
Larutan HCl 0.1 M
dalam batuan.
Sebagai buku untuk mencatat data-data yang ada
2
Buku Lapangan
pada saat melakukan pengamatan dilapangan.
1.5 Waktu, Letak, dan Kesampaian Daerah
Praktikum lapangan kali ini dilakukan pada hari jumat - minggu, tanggal 2 4 November 2015. Field Trip Geomorfologi ini dilakukan pada hari sabtu dengan
wkatu setengah hari dimulai dari jam 7:00 WITA sampai pada jam 16:30 WITA.
Bertempat di daerah Pamandati, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan,
yang secara geografis berada diantara 041501 - 042550 LS dan 1222841
- 1224334 BT Berjarak lebih kurang 50 km dari ibu kota Provinsi Selawesi
Tenggara, Kendari. Daerah tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat
maupun roda dua, dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit dari kampus
Universitas Halu Oleo.

Gambar 1.5.1 Peta lokasi daerah Pamandati, Kec. Lainea, Kab. Konawe Selatan

Gambar 1.5.2 Peta Geologi daerah Pamandati, Kec. Lainea, Kab. Konawe Selatan

1.5.1

Peneliti Terdahulu

Adapun nama-nama peneliti terdahulu yang telah meneliti daerah tersebut,


adalah sebagai berikut:
1. Endharto, M. dan Surono, 1991. Preliminari Study of The Meluhu Complex
Related to Terrane Formation in Sulawesi.
2. Hamilton, W., 1979. Tectonics of The Indonesian Region.
3. Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D., Haryono, E., Simandjuntak, T.O. 1993.
Keterangan Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara,
Skala 1:250000.
4. Sukamto, R., 1975. Structural of Sulawesi in The Light of Plate Tectonic.
5. Surono dan Bachri S., 2001. Stratigraphy, Sedimentation, and
Paleogeographic Significance of The Triassic Meluhu Formation, Southeast
Arm of Sulawesi, Eastern Indonesia.
6. Surono, 2013,. Geologi Lengan Tenggara Sulawesi.

BAB II
GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
2.1

Geomorfologi Daerah Penelitian


6

Berdasarkan relief, ketinggian, batuan penyusun dan stadia Wilayah,


Kabupaten Konawe Selatan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) satuan morfologi, yaitu :
Satuan Morfologi Pegunungan
Satuan Morfologi Perbukitan
Satuan Morfologi Kras
Satuan Morfologi Pedataran
2.1.1 Satuan Morfologi Pegunungan
Satuan morfologi pegunungan melampar dibagian timur sekitar
pegunungan Laonti dan Wolasi dan menempati 20 % dari luas keseluruhan
daerah penyelidikan, dengan ketinggian 300 m diatas permukaan laut. Secara
umum satuan morfologi ini disusun oleh batuan termalihkan hanya sebagian
kecil disusun oleh batuan lainnya. Satuan ini tertutupi oleh vegetasi yang
sedang hingga lebat dan setempat sebagian lahan perkebunan masyarakat.
2.1.2

Satuan Morfologi Perbukitan


Satuan morfologi perbukitan tersebar dibeberapa lokasi yaitu daerah

Palangga, Kolono, Konda, Landono, dan setempat di Tinanggea dan


menempati sekitar 40 % dari keseluruhan luas daerah Konawe Selatan, dengan
ketinggian diatas 75 m dari permukaan air laut.
Satuan ini secara umum tersusun oleh batuan dari Malasa Sulawesi
yang tersebar di bagian utara, tengah sampai di selatan daerah ini dan sebagian
lainnya disusun oleh batuan malih, batu gamping dan ultrabasa.
Satuan ini tertutup oleh lahan perkebunan seperti kakao, cengkeh,
mente, vanili dan tanaman lainnya dan sebagian masih merupakan hutan yang
bervegatasi sedang - lebat.

2.1.3

Satuan Morfologi Kras


Satuan morfologi kras tersebar di bagian timur yaitu sekitar daerah

Moramo Pegunungan Kumi-kumi dan menerus di teluk Wawosunggu dan


setempat di Wolasi.

Satuan ini berada pada ketinggian 75 m 500 m diatas permukaan air


laut. Pada satuan ini banyak dijumpai gua-gua kapur dan sungai bawah tanah
serta umumnya tertutupi oleh tanaman keras, satuan ini menempati sekitar 15
% dari keseluruhan luas daerah Konawe Selatan.
2.1.4

Satuan Morfologi Pedataran


Satuan morfologi pedataran tersebar cukup luas dan malampar disekitar

daerah Tinanggea, pesisir pantai, Kolono, Roda, Landono, Palangga, Lainea,


Konda dan Ranomeeto. Satuan ini menempati sekitar 25 % dari keseluruhan
luas wilayah Kabupaten Konawe Selatan dengan ketinggian dibawah 75 m dari
permukaan air laut.
Satuan morfologi pedataran dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan
persawahan, pertambangan, perkebunanan dan pemukiman.

Gambar 2.1 Satuan Morfologi Kabupaten Konawe Selatan

2.2 Stratigrafi Daerah Penelitian


Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai di lapangan serta kesebandingan yang
dilakukan terhadap Peta Geologi Lembar Kolaka (T.O Simanjuntak dkk, 1994,

P3G) dan Peta Lembar Geologi Lasusua Kendari (Rusmana dkk, 1993), batuan
penyusun daerah Konawe Selatan dapat dikelompokkan kedalam 9 (sembilan)
satuan yang terdiri dari batua tua ke batuan lebih muda adalah sebagai berikut :
2.2.1

Satuan Kalkarenit
Satuan ini tersebar di bagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu

disekitar daerah Lapuko dan Tinanggea. Satuan ini terdiri dari kalkarenit,
batugamping, koral, batupasir dan napal.
Berdasarkan

kesamaan

fisik

yang

dijumpai,

satuan

ini

dapat

disebandingkan dengan Formasi Emoiko berumur Pliosen. Satuan ini


mempunyai ketebalan berkisar 200 m dengan lingkungan pengendapan laut
dangkal hingga transisi.
2.2.2

Satuan Batulempung
Satuan tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar

sebelah Selatan Lapuko, yang terdiri dari lempung, napal pasiran dan batupasir.
Satuan ini memiliki hubungan yang saling menjemari dengan satuan kalkarenit.
Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai di lapangan, satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Boipinang, berumur Pliosen. Satuan ini
memiliki ketebalan berkisar 150 m dengan lingkungan pengendapan transisi
hingga laut dangkal.
2.2.3

Satuan Batugamping Koral


Satuan ini tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu

disekitar daerah Torobulu. Satuan ini terdiri dari batugamping koral, dan
batugamping pasiran memiliki ketebalan berkisar 100 m. Berdasarkan
kesamaan fisik yang dijumpai di lapangan maka satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Buara. Berumur Pliosen hingga Holosen
dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Satuan ini memiliki hubungan
yang menjemari dengan satuan batupasir dan menindih secara tidak selaras
satuan batuan yang berada dibawahnya.
2.2.4

Satuan Batugamping Malih


Satuan batugamping malih, tersebar di bagian tenggara dan selatan

Kabupaten Konawe Selatan yaitu di sekitar daerah Moramo, dan Kolono.

Satuan ini didominasi oleh batugamping yang termalihkan, lemah, selain itu
satuan ini juga disusun oleh lempung yang tersilikatkan dan kalsilutit.
Satuan batugamping malih secara umum telah mengami deformasi kuat,
sehingga batuan dari satuan ini umumnya telah tersesarkan dan terkekarkan.
Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai di lapangan, satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Laonti yang berumur Trias Akhir. Satuan yang
memiliki ketebalan 500 m ini memiliki hubungan yang saling menjemari
dengan Formasi Meluhu sebanding dari satuan batupasir malih.
2.2.5

Satuan Batupasir
Satuan ini tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu

disekitar daerah Palangga, Tinanggea dan Motaha. Satuan ini terdiri dari
batupasir, konglomerat dan lempung.
Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai di lapangan, satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Alangga, yang berumur Pliosen. Satuan ini
memiliki ketebalan berkisar 250 m dengan lingkungan pengendapan darat
hingga transisi dan menindih secara tak selaras semua batu-batuan yang berada
dibawahnya.
2.2.6

Satuan Batupasir Malih


Satuan batuan ini tersebar dibeberapa lokasi di daerah Konawe Selatan

yaitu daerah Boroboro, Wolasi, Kolono dan sekitar Angata. Satuan batupasir
malih ini terdiri dari batupasir termalihkan dengan berbagai variasi, ukuran
butir yaitu serpih hitam, serpih merah, filit, batu sabak dan setempat kwarsit.
Satuan ini telah mengalami tektonik yang sangat kuat dan berulangulang. Hal ini diperlihatkan dengan keadaan sekarang yaitu umumnya terlipat,
terkekarkan, tersesarkan, selain itu hampir seluruh singkapan yang dijumpai
mengalami perombakan yang kuat. Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai,
satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi meluhu berumur Trias - Trias
Akhir, satuan ini memiliki ketebalan tidak kurang dari 1000 m. Beberapa ahli
mengetahui satuan ini disebut sebagai batuan tak perinci (Sukamto, 1995)
Metharmorfic rock (Kartadipoetoa, 1993).
2.2.7

Satuan Ultrabasa

10

Satuan ultrabasa tersebar dibagian selatan daerah Konawe Selatan yaitu


disekitar daerah Torobulu, Moramo dan Daerah Trans Tinanggea bagian
Selatan. Satuan ini terdiri dari peridotit, dunit, gabro, basal dan serpentinit.
Secara umum satuan ultrabasa ini telah mengalami pelapukan yang kuat,
sehingga soil di sekitar daerah yang tersusun oleh batuan ini sangat tebal.
Batuan ultrabasa ini diperkirakan merupakan batuan tertua dan alas di mandala
Sulawesi Timur dan diduga berumur Kapur Awal. Satuan ini bersentuhan
secara tektonik dengan batuan Mesozoikum dan Paleogen dan secara tak
selaras tertindih oleh batuan sedimen tipe Molasa Neogen dan Kuarter (T.O
Simajuntak dkk, 1993).
2.2.8 Satuan Konglomerat
Satuan ini tersebar pada bagian selatan yaitu di sekitar Tinanggea bagian
selatan, satuan ini terdiri dari konglomerat, batupasir, lempung dan serpih.
Satuan Konglomerat menindih secara tidak selaras satuan batuan yang
ada di bawahnya. Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai, satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Langkowala, plandua, berumur Miosan Akhir
hingga Pliosen, dengan memiliki ketebalan berkisar 450 m.
2.2.9 Satuan Aluvial
Satuan ini tersebar disekitar aliran sungai besar, pantai dan rawa di
daerah Konawe Selatan. Endapan Aluvial yang ada merupakan endapan sungai,
pantai dan rawa, berupa kerikil, kerakal, pasir, lempung dan Lumpur. Endapan
alluvial merupakan satuan batuan penyusun yang paling muda dan menindih
secara tidak selaras seluruh batuan yang berada dibawahnya berumur Resen
dengan ketebalan tidak lebih dari 20 meter.
2.3

Struktur Geologi Daerah Penelitian


Daerah ini tidak dapat dipisahkan dengan proses tektonik yang telah dan

mungkin masih berlangsung di daerah ini, dimana diperlihatkan oleh kondisi


batuan terutama oleh batuan yang berumur Pra tersier yang umumnya telah
mengalami perlipatan dan perombakan yang cukup kuat dan berulang-ulang.
Struktur Geologi yang dijumpai di daerah Konawe Selatan, meliputi lipatan,
kekar dan sesar Lipatan dapat dijumpai dibeberapa tempat dimana batupasir malih

11

tersingkap, namun sangat sulit untuk menentukan arah sumbu lipatannya karena
telah terombakkan.
Kekar dijumpai hampir seluruh satuan batuan penyusun daerah ini, kecuali
alluvium dan batuan kelompok batuan Molasa yang tidak terkonsolidasi dengan
baik. Sesar utama yang terjadi di daerah ini dapat dijumpai di daerah Kolono,
yang mana sesar Kolono ini hampir memotong seluruh batuan kecuali Aluvial.

12

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daerah Boro-Boro umumnya disusun oleh beberapa jenis litologi,
diantaranya batupasir, batulempung, slate, dan napal serta terdapa tendapanendapan fluvial di sepanjang aliran sungainya, yang mengindikasikan dearah ini
merupakan daerah dengan aktifitas geologi yang aktif. Daerah ini juga dapat
dikatakan sebagai salah satu daerah di Sulawesi tenggara yang aktifitas struktur
geologinya masih aktif dan dapat dilihat dengan jelas.
Secara regional Daerah Lainea terletak pada
lingkungan metamorf mandala Buton-Cukang
Besi. Batuan tertua yang terbentuk di daerah ini
adalah satuan metamorf yang berumur Trias.
Litologi daerah Panas Bumi Lainea tersu-sun oleh batuan metamorf yang
berumur
pra-Tersier dan batuan sedimen Tersier dan
dikelompokkan menjadi 7 satuan batuan, yaitu
satuan batuan metamorf, satuan meta-ba-tugamping, satuan metabatupasir, satuan
batupasir non-karbonatan, satuan batupasir
gampingan, satuan konglomerat, dan endapan
alluvium.
Selain itu terdapat juga batuan ubahan hasil
ubahan hidrotermal yang didominasi oleh
ubahan bersifat argilik yang dicirikan oleh
mineral lempung atau argilik.
Struktur utama yang berkembang di daerah
penyelidikan dan mengontrol sistem panas
bumi Lainea adalah sesar normal Boro-boro
yeng berarah baratlaut-tenggara, sesar men-datar Kaindi, Landai,
Amowolo, Lainea dan

13

sesar Rumbalaka
Pergerakan lempeng Australia ke arah utara
menyebabkan terjadinya tumbukan dengan
lempeng Asia bagian timur / Sulawesi bagian
barat dan lempeng Pasifik dan menghasilkan
pergerakan tektonik yang berarah relatif barat-lauttenggara yang dikenali
sebagai Sesar
Boroboro dan selaras dengan satuan metamorf.
Periode tektonik selanjutnya terjadi pada
zaman Tersier yang menghasilkan sesar- sesar
yang berarah baratdayatimurlaut dan diduga
mengkontruksi sistem panas bumi di daerah
ini dengan mengontrol munculnya manifestasi
panas bumi yang ada di permukaan. Secara
umum, struktur utama yang berkembang di
daerah ini dan mengontrol sistem panas bumi
Lainea adalah Sesar Boroboro (normal) yang
berarah baratlaut-tenggara, Sesar Kaendi,
Landai, Amowolo, Lainea dan Sesar Rumbalaka
(mendatar).
3.1 Geomorfologi Daerah penelitian
Daerah penelitian yang terletak di daerah boro boro kab.Konawe selatan
merupakan daerah dengan aktifitas geologi yang sangat aktif. Pada daerah ini
banyak ditemukan bukti terjadinya aktifitas geologi yang dapat dilihat secara
langsung didaerah penelitian salah satunya dengan melihat geomorfologi
padadaerah penelitian.Daerah penelitian di desaboro-boromemilikigeomorfologi
yang beragam. Daerah ini didominasi oleh morfologi perbukitan bergelombang
dedudasional serta terdapat pula morfologi pedataran.
Daerah penelitian di dominasi oleh daeraah perbukitan bergelombang
dedudasional yang dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang ditemui di daerah

14

penelitian.Daerah penelitian yang terletak di daerah boro-boro terletak di antara


perbikitan yang memaparluas sepanjang daerah penelitian.Perbukitan yang
terdapat pada daerah penilitan memilikisudutkemiringanlereng yang beragam
yakni rata-rata berkisar antara 8 - 16 dan 16-35, dengan hal ini juga dapat
dibuktikan dengan data perhitunganmorfometri yang dilakukan. Dari data
kemiringan lereng yang dibuktikan dengan perhitungan morfometri serta
pengamatan langsung yang di peroleh dilapangan dapat dikatakan bahwa daerah
penelitian dapat digolongkan dalam satuan daerah dengan morfologi perbukitan
bergelombang menurut van zuidam (1983).

Foto 3.1 Bentuk morfologi bergelombang daerah penelitian dengan arah foto N 1900 E dengan
Slop 320

15

Bentang alam daerah ini di pengaruhi oleh 3 pengaruh utama yang dapat
mempengaruhi keadaan dan bentuk fisik bentang alam daerah penelitian yakni
denudasioanal, structural, dan fluvial.
3.1.1 Bentang Alam Perbukitan Rendah Denudasional
Daerah penelitian memiliki morfologi yang beragam.Didaerah penelitian,
banyak terdapat endapan-endapan fluvial hasil dari proses erosi yang terjadi di
daerah penelitian. Sepanjang aliran sungai pada daerah penelitian juga banyak
terdapat galih galih erosi (foto 3.2) yang merupakan bukti proses aktifitas
pengikisan oleha liran air hujan ataupun air sungai pada deaerah ini sangat tinggi,
hal ini mengindikasikan bahwa morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh
aktifitas pelapukan serta aktifitas erosi. Selain banyak ditemukannya material
material fluvial dan banyaknya galih erosi pada daerah peneitian, ditemikan pula
banyaknya material material jatuhan yang berupa bongkahan-bongkahan bebatuan
(foto 3.3) serta lapisan soil yang cukup tebal. Dengan banyaknya galih erosi,
endapan endapan fluvial serta terdapat lapisan soil yang tebal dari hasil pelapukan
batuan yang tertransportasi menandakan daerah penelitian juga memiliki
morfologi yang dibentuk oleh aktifitas pelapukan serta erosi yang berarti bahwa
daerah ini memiliki satuan morfologi dedudasianoal menurut klasifikasi ITC
(1986).
Dibawah ini bukti bahwa adanya galih erosi dan rock fall (runtuhan batuan)

16

Foto 3.2 Keterdapatan Gallih erosi dan channel bar pada stasiun 1 dengan arah foto N 3200 E

Foto 3.3 Keterdapatan Rock Fall (Runtuhan Batuan) pada stasiun 4 dengan arah foto N 2700 E

3.1.2 Bentang Alam Perbukitan Rendah Struktural

17

Sebagian wilayah penelitian di bentuk oleh aktifitas struktural yang tinggi,


dimana tipe morfologi daerah ini merupakan bentang alam perbukitan rendah
structural yang membentang dari barat ke timur daerah penelitian dengan luas
penyebaran 70 % dari daerah penelitian. Pada daerah penelitian terdapat
kenempakan struktur seperti adanya patahan (foto 3.4) dan lipatan rebah (foto 3.5
dan foto 3.6).
Dibawah ini bukti bahwa adanya patahan dan lipatan Rebah yaitu dibawah ini
sebagai berikut :

Foto 3.4 Keterdapatan patahan dan channel bar pada stasiun 1 dan 2 dengan arah foto N 1900 E

18

DAFTAR PUSTAKA

Foto 3.5 Keterdapatan lipatan rebah pada stasiun 4 dengan arah foto N 3020 E

19

Foto 3.6 Keterdapatan lipatan rebah pada stasiun 5 dengan arah foto N 3220 E

3.1.3 Bentang Alam Pedataran Fluvial


Aliran sungai daerah penelitian dicirikan oleh terdapatnya pengendapan material
sedimen sungai berupa channel bar dan point bar disebagian besar wilayah
khususnya disepanjang jalur sungai yang dilewati pada daerah ini. Kenampakan

20

channel bar dan point bar pada daerah penelitian terdapat material yang sedimen
klastik yang berukuran bongkah-kerikil dimana terletak disamping sungai
(channel bar) dan ditengah sungai (point bar)
Dibawah ini bukti bahwa adanya channel bar dan point bar yaitu dibawah ini
sebagai berikut :

Foto 3.7 Keterdapatan channel bar berukuran berangkal bongkah pada stasiun 1 dengan arah
foto N 2940 E

21

Foto 3.8 Keterdapatan channel bar berukuran Kerakal-berangkal pada stasiun 2 dengan arah
foto N 3260 E

22

Foto 3.9 Keterdapatan channel bar dan point bar berukuran Kerikil-kerakal pada stasiun 4
dengan arah foto N 3020 E

23

Foto 3.10 Keterdapatan channel bar berukuran Kerikil-kerakal pada stasiun 5 dengan arah foto
N 2300 E

3.2 Sratigrafi Daerah Penelitian

24

Secara umum litologi penyusun daerah penelitian merupakan batuan


sedimen, batuan metamorf.Dimana kontak antar batuan penyusun daerah tersebut
dapat dilihat dari kedudukan batuan yang ada di peta topografi sehingga penarikan
batas dari satuan litologi berada pada bidang batas yang diperkirakan.
Menurut sandi stratigrafi 1996 bahwa pembagian satuan batuan daerah
penelitian yaitu didasarkan pada lithostratigrafi tidak resmi, maka pembagian
satuan daerah penelitian dan dituliskan dari muda ke tua adalah sebagai berikut :
1. Satuan batupasir (sisipan pada daerah pengamatan)
2. Satuan batulempung
3. Satuan napal
Untuk menjelsakan litostratigrafi daerah penelitian, dapat dijelaskan dari
umur batuan yang paling tua hingga paling muda dan dapat diuraikan tentang
dasar penamaan satuan, penyebaran batuan, berdasarkan ciri litologinya,
lingkungan pembentukan umur satuan batuan dan hubungan satuan stratigrafi
dengan satuan batuan sekitarnya. Berikut ini penjelasan rinci tentang hal tersebut
yaitu sebagai berikut :
3.2.1 Satuan Napal

25

Foto 3.11 Singkapan napal pada stasiun 2 dengan arah foto N 780 E

26

Foto 3.12 Zoom Litologi Napal pada stasiun 2 dengan arah foto N 780 E

Penjelasan rinci yang diuraiakan dengan ciri-ciri litologinya, lingkungan


pembentukan umur satuan batuan dan hubungan satuan stratigrafi dengan satuan
batuan sekitarnya yaitu seperti penjelasan dibawah ini :
Satuan napal untuk dasar penamaannya didasarkan pada lithostratigrafi
tidak resmi yang didasarkan atas ciri litologi, keseragaman litologi, ukuran butir,
kandungan mineral dan penyebaran litologi secara lateral dan dapat terpetakan
dalam skala 1:25000. Dasar penamaan dari satuan ini secara megaskopis yaitu
penamaan yang ditentukan berdasarkan ciri fisik dari litologi ini.
Kenampakan napal pada saat dilapangan yaitu dalam keadaan segar
berwarna abu-abu, tekstur klastik, ukuran butir lempung (<1/256mm), porositas
baik, kemas tertutup, permeabilitas buruk, komposisi mineral silica, struktur
berlapis. Sehingga dari kesamaan ciri fisik, posisi stratigrafi, dan letak geografis
yang relative dekat dengan lokasi tipe. Maka Satuan napal mempunyai
kesebandingan dengan anggota Tue-tue formasi Meluhu yang berumur trias
tengah hingga akhir 225-195 juta tahun (Rusmana dkk., 1993b; Simandjuntak
dkk., 1993a, b, c; Surono, 1994). Lingkungan pengendapan napal biasanya
terbentuk pada lingkungan laut dangkal.
3.2.2 Satuan Batulempung

27

Foto 3.13 Singkapan batulempung pada stasiun 3 dengan arah foto N 2750 E

28

Foto 3.14 Zoom Litologi Batulempung pada stasiun 3 dengan arah foto N 2750 E

Penjelasan rinci yang diuraiakan dengan ciri-ciri litologinya, lingkungan


pembentukan umur satuan batuan dan hubungan satuan stratigrafi dengan satuan
batuan sekitarnya yaitu seperti penjelasan dibawah ini :
Satuan

batulempung

untuk

dasar

penamaannya

didasarkan

pada

lithostratigrafi tidak resmi yang didasarkan atas ciri litologi, keseragaman litologi,
ukuran butir, kandungan mineral dan penyebaran litologi secara lateral dan dapat
terpetakan dalam skala 1:25000. Dasar penamaan dari satuan ini secara
megaskopis yaitu penamaan yang ditentukan berdasarkan ciri fisik berdasarkan
litologi yang diamati dilapangan.

29

Kenampakan lapangan dari batulempung yaitu dalam keadaan segar


berwarna hitam, tekstur klastik, ukuran butir lempung (< 1/256 mm), porositas
baik, kemas tertutup, komposisi kimia lempung, struktur berlapis
Berdasarkan kesamaan ciri fisik, posisi stratigrafi, dan letak geografis
yang relative dekat dengan lokasi tipe, maka satuan batulempung mempunyai nilai
kesebandingan dengan anggota watutaluboto formasi Meluhu yang berumur trias
tengah hingga akhir 225-195 juta tahun (Rusmana dkk., 1993b; Simandjuntak
dkk., 1993a, b, c; Surono, 1994).
Lingkungan pengendapan batulempung biasanya terbentuk pada lingkungan
pembentukan delta (Galloway, 1975; boyd dkk., 1992)

3.2.3 Satuan Batupasir

30

Foto 3.15 Singkapan batulempung dan batupasir pada stasiun 5 dengan arah foto N 3220 E

31

Foto 3.16 Zoom Litologi Batupasir pada stasiun 5 dengan arah foto N 3220 E

32

Foto 3.17 Zoom Litologi Batulempung pada stasiun 5 dengan arah foto N 3220 E

3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian


Struktur Geologi yang dijumpai di daerah Boro-boro meliputi lipatan, kekar
dan sesar. Lipatan dapat dijumpai dibeberapa tempat dimana batupasir malih
tersingkap, namun sangat sulit untuk menentukan arah sumbu lipatannya karena
telah terombakkan. Kekar dijumpai hampir seluruh satuan batuan penyusun
daerah ini, kecuali alluvium dan batuan kelompok batuan Molasa yang tidak
terkonsolidasi dengan baik. Sesar utama yang terjadi di daerah ini dapat dijumpai
di daerah Kolono, yang mana sesar Kolono ini hampir memotong seluruh batuan
kecuali Aluvial. Pada daerah penelitian yaitu daerah Boro-boro Kekar dijumpai
hampir seluruh satuan batuan penyusun daerah ini yaitu salah satunya kekar gerus
(foto 3.17), kecuali alluvium dan batuan kelompok batuan Molasa yang tidak
terkonsolidasi dengan baik. Sesar utama yang terjadi di daerah ini dapat dijumpai
di daerah Kolono, yang mana sesar Kolono ini hampir memotong seluruh batuan
kecuali Aluvial dan ditemukan lipatan rebah dengan kenampakan yang sangat
jelas pada stasiun 5 (foto 3.20) karena kesamaan arah sesar yang bekerja pada
Sulawesi tenggara dan arah datangnya gaya, daerah penelitian masih dipengaruhi
oleh aktifitas sesar major yaitu sesar lasolo yang memiliki arah dari barat laut ke
tenggara, dan dipengaruhi juga oleh aktifitas sesar minor yaitu sesar boro-boro
dengan arah yang sama.

33

Foto 3.18 kenampakan Kekar Gerus pada Singkapan pada stasiun 4 dengan arah foto N 3020 E

34

Foto 3.19 Zoom kekar gerus pada Litologi Batulempung stasiun 4 dengan arah foto N 3020 E

35

Foto 3.20 Kenampakan Lipatan Rebah pada Singkapan stasiun 5 dengan arah foto N 3220 E

36

37

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik pada praktikum lapangan metode
geologi lapangan ini yaitu sebagai berikut :
1. Perlaatan geologi setiap mahasiswa harus dapat menggunakannya dengan
cara mempelajari kinerja/fungsi alat tersebut, kemudian dilakukan
bimbingan secara intensif kepada asisten, teman maupun dosen yang bisa
memberikan pengetahuan tentang metode yang baik.
2. Untuk mengambil data yang baik dan benar dilapangan maka harus
dilakukan ketelitian dan pemahaman tentang keadaan singkapannya dan
geomorfologi serta keadaan struktur daerah sekitar. Setelah itu, aplikasikan
dalam bentuk tulisan agar bisa dipertanggung jawabkan.
3. Morfologi daerah penelitian terdiri daeri 3 jenis bentang alam yaitu bentang
alam perbukitan rendah denudasional, perbukitan rendah struktural dan
pedataran fluvial dan daerah penelitian terdapat tiga jenis litologi yang
berbeda yang diamati dan disebutkan dalam muda ke-tua yaitu napal,
batulempung dan batupasir yang berumur trias tengah hingga akhir (225195 juta tahun), yang didominasi oleh batulempung. Struktur yang bekerja
pada daerah penelitian di pengaruhi oleh sesar major sesar lasolo dan sesar
minor sesar boro boro karena kesamaan arah sesar yang bekerja pada
Sulawesi tenggara dan arah datangnya gaya, daerah penelitian masih
dipengaruhi oleh aktifitas sesar major yaitu sesar lasolo yang memiliki arah
dari barat laut ke tenggara, dan dipengaruhi juga oleh aktifitas sesar minor
yaitu sesar boro-boro dengan arah yang sama.
4.2 Saran
Disarankan agar praktikum lapangan selanjutnya suapaya diberi bimbingan

secara intensif kepada mahasiswa agar lebih mudah memahami apa yang ada

38

dilapangan dan pada akhirnya khasilnya memuasakan baik dalam bentuk


pengetahuan baru serta dalam bentuk laporan.

DAFTAR PUSTAKA

Blyth, F. G. H., 1976, Geological Maps and their Interpretation, 2nd. Ed. ;
Edward Arnold, London, 48 p.

McClay, K., 1987, The Mapping of Geological Structures ; Geol. Soc. London
Handbook Series, The Open University Press, Milton Keynes & Hallstead
Press, John Wiley & Sons, New York, 161 p.

Noor Djauhari. 2010 .Pengantar Geologi. Universitas Pakuan. Jakarta

Roberts, J. L., 1984, Introduction to Geological Maps and Structures ; Pergamon


Press, London, 332 p.

Surono.Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi Kementerian Energi


Dan Sumber Daya Mineral. Bandung

Thorpe, R. and Brown, G., 1985, The Field Description o. f Igneous Rocks ; Geol.
Soc. London Handbook Series, The Open University Press, Milton Keynes
& Hallstead Press, John Wiley & Sons, New York, 154 p.

39

Tucker, M. E., 1982, The Field Description of Sedimentary Rocks ; Geol. Soc.
London Handbook Series, The Open University Press, Milton Keynes &
Hallstead Press, John Wiley & Sons, New York, 112 p.

40

You might also like