You are on page 1of 44
‘mei juni 2010 tata ruang Kerjasama dalam Pemanfaatan Ruang Ir. Joko Widodo ..100 tahun lalu, Solo menjadi kota yang paling bagus di Asia. ooo Une OR LUC MrT Reem arc carded ieee ae Coreea ey Reece Ore nen a en a aes) CU UCC Un etna nd ee gn ee eC) Pa ec Ce eee Cu Cy oa BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL Cee Salam hangat untuk pembaca Butaru.! Tak terasa kin Buletin Tata Ruang telah sampai pada feds ketga di tahun 2010 ini, Jka sebelumyabuletin ini telah panjang lebar membahas tentang wilayah pesisi. Maka pada edisi ketiga ini Butaru mencoba rmengangkat tema besar "Kerasama dolam Persanfactan Ruang” Hal itu dikarenakan arti pentingrya sebuah kerjasama antara daerah/kota di dalam negeri, ‘maupun kenasama antara daerah kota dalam negert dengan daerah/kota yang ada dilvar neges. Dalam topik utama edisi Ketiga ini, redaksi mencoba ‘mengangtat tema-tema seperti, pengelolaan perkotaan lewat skema sister city, mengenal kawasan ekonomi husus, dan ada juga pembahasan kerjasama emanfaatan rvang antar daerah berbasis potensi lokal. Selain membahas permasalahan yang memitki relevansi dengan tema utama, maka pada rubrkasi topik lain, redaksi mencoba untuk menyuguhkan tema-tema yang menark seperti bagamana mencitakan tata ruang kota yang bebas kumuh, dan ada juga pembahasan bagaimana menciptakan tata ruang kota yang rendah karbon, Sementara itu, untuk rubrik profil wilayah pada edisi ketiga ini, redaksi mencoba mengangkat Kota Solo ‘yang sukses menata kota, dimana para Pedagang Kaki Lima (PKL) bersedia.direlokasi untuk menempath antongrkantong atau shelter bagi para PKL tanpa rmenimbutkan bentrokan, dan menjadikan Kota Solo masa depan merupakan Sole pada masa lampau. Solo sebagai kota belakangan ini memang_cukup menarik untuk diangkat dalam Buletin Tata Ruang, selain karena Kota Solo yang tengah sibuk berbenah menata ruang kota, namun juga dikarenakan tidak jauh dari sutradara dibalk keborhasilan Kota Solo, ypaitu, I. Joko Widodo selaku Walikota Solo untuk periode 2010-2015 yang sekaligus sebagai pengis! rubrik Profil Tokoh yang beri tentang pemikiran= pemikran sekaligus impian pria yang cisapa Jokow dalam menciptakan karakter Kota Solo, Disajikan oleh para peruis yang memiiki pengalaman yang panjang dibidangnya dan tema-tema yang ‘menark, merjadkan Butaru edi ketiga ini dharapkan mampu’ memberikan pencerahan dan pengetahuan baru bagi pembacanya. Akhir kata, kami redaksi mengucapkan selamat membaca, Selamat membaca. Redaksi sekapur sirih. Assalam‘alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, uj syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberkan kesempatan untuk menerbitkan Buletin Tata Ruang ceisi Mei - Juni 2010, Tema yang diangkat dalam penerbitan kali ini adalah “Kerjasama dalam Pemanfaatan Ruane”. Pinan tema tersebut diharapkan dapat memberikan ppemahaman yang lebih balk tentang pentingrya Kerjasama antarpemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini sejalan dengan tuntutan yang kita hadapi saat ini, dimana sebuah daerah perl melakukan kerjasama dengan daeral-daerah li sektarrya dalam penyelenggaraan penataan ruang sorta pergelolaan kawasan perbatasan, ekosstem, dan jaringan infastrktur ‘Saya meyakini bahwa kerjasama antarpemangku kepentingan merupakan salah salu faktor kunci keberhasilan pembangunan. Dengan kerjasama, kita dapat ‘menuftup kelemahan yang ada dan memperkuat Keunggulan yang telah dimilk. Kerjasama juga dapat menghindarkan kita dari persaingan antardaerah yang tidak sehat, yang justru akan saling, merugikan, Secara khusus, saya menyambut baik cipithnya i. Joko Widodo sebagai tokoh yang diulas proflnya. Kebernasilan beliau dalam menangani pedagang kaki lima dan merevitalisasi kawasan bersejarah di Kota Solo telah banyak clketalwi, ‘namun pemikiran di balk langkah tersebut patut Kita gali lebih dalam, Akhimya saya ucapkan selamat menikmati Buletin Tata Ruang edisi Mel-Juni 2010 in, Saya berharap artikel yang dimuat dalam edisi kal ini dapat menjadi inspirasi pembaca untuk lebih menyinergkan potensi yang ada untuk membuat ruang kehidupan yang semakin berkualitas dan berkelanjtan, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Direktur Jendral Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN Camel 1. imam 5. ernam, MUM, MSC Belding iam S Era, MEM, MSc Dr, lr, ax Pohan, Ir, Herman Roosita Drs. “Syamsul Arif Rival, Si, MMT Fenanguunglauad : I. Iman Soedradiat PLL Dedy Koespiamoedyo: Mc Heru'Waluyo, MdCort Drs. Sojan Bakar MSe., BR re Abul Kararzuki MP4 | Penacehat Redaksi : DR. I Ruchyat Deni Op ikEng: han Tarun. NORD. MM. Eko Rudianta, MBus (TD. Ie Hatey Djauhari, CES. | Bemimpin Radaksi «I. Maran Bjumante, Msi Waki Pemimpin Redaksi | Ir. Soéreno, MT | Regaktur Pelaksana : Agus Sutanto, ST. MSc. | Sekretaris Redaksi = Ratna Julian, ST, MSc Stat Redaksi: Nana Apriana, MT tr Ganawan, MA, Hetty Debbie B- ST ‘Tessie Krsnaringtjas, 82, Dian Zuchaent Sf, Lista Pramaduita, ST, MT MSe PP No.32/2009 pengolahan barang asal impor dan DPiL_ yang hasilnya untuk tujuan ekspor Kawasan Industri (86 Lokasi) | Keppres No. Kawasan pemusatan kegiatan industri 41/1996 (K)) yang dikelola oleh perusahaan KI > PP No. 24 /2009 Kawasan Pengembangan PP No. 26/2007 Kawasan yang memiliki potensi cepat Ekonomi Terpadu (KAPET) Keppres. tumbuh, sektor unggulan dan potensi Pembentukan Kapet pengembalian investasi yang besar FIZ atau KPBPB (4 lokasi) UU No37/2000 PP No. 46, 47, 48 Kawasan dengan batas tertentu yang terpisah dari daerah pabean sehingga Tahun 2008 terbebas dari bea masuk, PPN, PPnBM dan cukai Kawasan Ekonomi Khusus UU No. 39/2009 Kawasan dengan batas tertentu dalam (KEK) (50 pengusul) Perpres No. wilayah NKRI untuk menyelenggarakan 33/2010 fungsi perekonmian yang bersifat khusus Kepres No. 8/2010 dan memperoleh fasilitas tertentu. Perkembangan Beberapa Kawasan Ekonomi dan Kawasan Khusus Lainnya indonesia a rT04 4, investor asing untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja. Hal itu tak lain karena kemudahan yang didapat para investor, kemudahan itu berbentuk kemudahan ci bidang fiskal, perpajakan dan kepabeanan. Bahkan ada juga di bidang non-fiskal, seperti Kemudahan birokrasi, pengaturan khusus di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian, serta pelayanan yang efisien dan ketertiban di dalam kawasan. Pemberlakuan status KEK bagi daerah tertentu sangat memberikan keuntungan ekonomi secara nasional maupun regional. Tetapi, status ini juga berpotensi merugikan, karena adanya pengurangan pendapatan pajak akibat adanya insentif fiskal, dan dapat mengancam kawasan industri yang telah ada untuk pindah ke KEK yang berdampak pengurangan terhadap penerimaan negara Nyatanya tidak semua KEK berhasil di terapkan, dari hasil penelitian menunjukan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dibeberapa negara. Hal yang paling utama adalah lokasi KEK yang ditujuk berada di daerah terpencil (Remote Area), sehingga membutuhkan biaya yang tinggi, disamping fasilitas infrastruktur tak memadai, dan belum terdapat mekanisme kerjasama Pemerintah-Swasta (Public- Private Partnership) dalam pengembangannya. Menengok kegagalan ini maka KEK yang akan dikembangkan di Indonesia harus berada di lokasi yang strategis, dekat. dengan jalur perdagangan/pelayaran internasional, memiliki infrastruktur yang memadai, serta perlunya menggunakan mekanisme kerjasama Pemerintah ‘<<< PeranPemerintah cw Sinergitas Pendekatan Daerah Tertinggal-KAPET-FTZ-KEK Pengtghon or ‘Swasta dalam pengembangan KEK tersebut. Sementara itu, perbedaan utama KEK dengan kavasan ekonomi lainnya, selain kemudahan yang diberikan adalah banyakrya peran Pemerintah Daerah, baik dalam pengelolaannya maupun dalam penyediaan infrastruktur dan lahan. Hal itu menyebabkan perlunya kerjasama Pemerintah-Swasta dalam pengetolaan KEK, mengingat dana untuk KEK ini sangat besar. Hasil studi dari beberapa negara econ menunjukkan, KEK yang sepenuhnya omen dikelola oleh swasta memperlihatkan Ssettentet Peran Swaste | kemajuan yang lebih besar dibandingkan DacrahTeringgal” ——‘KAPET —~*«OTR KER yang dikelola oleh pemerintah, 45 e wean Mekanisme pengusulan KEK Penyiapan Peraturan dan Kerangka Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus Komitmen pemerintah untuk mengembangkan KEK dibuktikan dengan terbitnya UU No.39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, Sejak itu, pemerintah telah ‘menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan KEK, diantaranya Pembentukan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus berdasarkan Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010 tentang Dewan Nasional dan Dewan Kawasan KEK dan Kepres No. 8 Tahun 2010 tentang Dewan Nasional KEK. Kemudian struktur kelembagaan dalam pengembangan KEK terdiri atas dua tingkatan, yaitu, Dewan Nasional di pusat dan Dewan Kawasan di setiap provinsi yang sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK. Pada setiap KEK dibentuk administrator. Sedangkan dalam menyelenggarakan kegiatan usahia di KEK dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah ditetapkan. KEK dapat iusulkan oleh Badan Usaha, Pemerintah Kabupaten/Kota,, dan Pemerintah Daerah, Usulan tersebut disampaikan, kepada Dewan Nasional untuk memperoleh persetujuan. Persyaratan utama pengusulan KEK ini adalah : ~ Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu Kawasan Lindung. ~ Terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan/pelayaran Internasional, mempunyai batas-batas yang jelas, serta Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota mendukung KEK. ~ Sedangkan ketentuan luas minimum tidak dicantumkan, ‘guna membuka peluang bagi pengembangan kawasan ekonomi yang berbasis teknologi tinggi atau teknologi informasi, seperti technopark, IT Center, dsb. Tantangan dalam pengembangan KEK tercantum dalam RPJMN 2010-2014, yang menargetkan pembentukan 5 lokasi KEK di tahun 2014. Sementara saat ini terdapat 50 lokasi yang mengusulkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, yang tersebar di 27 Provinsi.m uaa rp Sumatera 17 feo Tanjung Aplesps ec usian rp Bonen is re bojonegars ex Use Prop Sumatera Uta 4 ten tndeateh Koala Tansvng © fue Asahan-Tg Bala ex usa rep. ex Use Prop Sumatera Dre, bo hen Indust Marunda Wee seagate Ex Unt rep awe Bat EX Val Prop ona Tesh ung Ber teat ‘angeng fae Econ ep ena x Uatn Pop tatn Seta, 38 aoe Metarputih~ Hotebacu Me mtayan Many 10 8x vsvan Prep Katatn Tn ‘KEK Unuan Prop Math 37 anguna Rangtaliat ex Uasn Pep eR ussan Prop Pepa Peta usulan lokasi Kawasan Ekonomi Khusus ln aa ua er ened 9 Jurusan Teknik Planologl FALTL Kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan sejak 2001, telah memberikan dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak positif memberikan peluang untuk daerah melakukan inovasi dan terobosan dalam menjawab tantangan yang dihadapinya. Tetapi kebijakan itu juga dipersepsikan Sebagai momentum guna memenuhi keinginan dan mempercepat pembangunan di daerahnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan negara. Sementara dalam konteks kenegaraan muncul ego kedaerahan, sehingga dapat mempengaruhi disintegrasi bangsa akibat ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan daerah. Tentunya kondisi ini dipastikan akan terjadi mengingat setiap daerah memiliki potensi lokal yang berbeda. Hal itu juga mengisyaratkan tidak ada daerah yang mampu membangun daerahnya sendiri Modal lingkungan alam, lingkungan buatan, manusia, dan sosial, biasa disebut komunitas yang dimiliki daerah dapat dipandang sebagai potensi lokal jika kondisi modal tersebut memiliki nilai yang relative lebih baik, sehingga mampu mendukung pengembangan pembangunan dalam skala wilayah yang lebih luas. Kerjasama antar daerah salah satu alternatif untuk Kerjasama Pemanfaatan Ruang antardaerah Berbasis Potensi Lokal menyalurkan potensi lokal daerah ke daerah lain yang memeriukan atau sebaliknya. Dengan kata lain, kerjasama antar daerah dapat dipandang sebagai upaya mengoptimalkan potensi masing-masing daerah. Sedangkan di Indonesia berbagai bentuk kerjasama banyak dilakukan pemerintah daerah baik di level antar propinsi maupun kabupaten/kota. tetapi, jika diamati konsep kerjasama lebih kepada mengurangi kesenjangan penyediaan pelayanan umum dan kerjasama di sektor ekonomi guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Pola yang terbentuk adalah satu daerah inti yang dianggap paling maju sebagai pusat penyediaan pelayanan umum dan daerah- daerah di sekitarnya yang berfungsi sebagai daerah pemanfaatan sumberdaya alam untuk produksi. Perkembangannya, daerah inti menjadi kawasan perkotaan yang makin besar, padat dan kaya, sementara daerah produktif makin rusak kualitas sumberdaya alamnya karena over eksploitasi. Pertanyaannya, apakah kerjasama tersebut telah terbukti berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat atau terhadap pelestarian lingkungan? Secara jujur dapat dikatakan, saat ini eksploitasi sumberdaya alam justru makin parah, perubahan Banjr dan longsor terjadi karena Kerjasama pemanfaatan ruang yang tidak berjalan balk aa lahan_ menjadi perkotaan makin pesat, kawasan pedesaan sebagai tonggak ketahanan pangan makin berkurang dan berbagai masalah lingkungan seperti banjir, longsor, dan lain sebagainya makin sering tefjadi. Dari permasalahan itu, maka ciperlukan konsep kerjasama pemanfaatan ruang antar daerah yang berbasis lokal agar kerjasama itu mewujudkan prinsip saling menguntungkan serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pemanfaatan Ruang Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, pemanfaatan ruang adalah upaya untuk ‘mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta_pembiayaannya Sementara, ruang itu sendiri adalah wadah sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tetapi, kenyataanya penataan ruang hanya memandang ruang sebagai wadah untuk hidup (tempat tinggal) dan kegiatan sosial ekonomi Guna mewujudkan struktur ruang dilakukan dengan, cara menetapkan lokasi Kegiatan seperti, pusat-pusat permukiman dan jaringan prasarana sarana beserta hirarki fungsionalnya. Upaya mewujudkan struktur ruang inilah yang kemudian memunculkan pola kerjasama antar daerah yang dilakukan saat ini yaitu kerjasama dalam hal pemanfaatan jaringan prasarana dan sarana Dalam hal mewujudkan pola ruang, ditetapkan berdasarkan kebutuhan ruang untuk penduduk dan kegiatan sosialnya. Penetapan peruntukan fungsi budidaya (selain untuk permukiman) didasarkan potensi pengembangan ekonomi daerah yaitu dengan melihat potensi sumberdaya alam yang ada serta potensi pasarnya. Sementara itu, penetapan peruntukan kawasan lindung didasarkan pada kriteria lokasi dan, sesuai dengan ketentuan minimal yang ada. Upaya memelihara kehidupan hanya diartikulasikan dalam, bentuk penetapan peruntukan ruang untuk fungsi lindung yang didasarkan kriteria kawasan lindung yang sifatnya sangat normatif. Kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan belum secara nyata dipertimbangkan. Modal Komunitas Sebagai Penentu Potensi Lokal Potensi lokal yang dimiliki suatu daerah dapat dinilai dari modal komunitas yang dimilikinya. Modal komunitas mencakup modal alam, modal lingkungan buatan, modal manusia dan sosial. Secara skematik modal komunitas dapat dilhat dalam gambar berikut ini Menurut Salim (2006), modal alam meliputi sumberdaya alam dan jasa ekosistem. Sementara dalam Hart, 2006, disebutkan bahwa modal alam metiputi = Sumberdaya alam yaitu semua yang diambil dari alam dan digunakan dengan atau tanpa melalui proses produksi yang meliputi air, tanaman, hewan, dan material alam seperti bahan bakar fosil, logam dan mineral + Jasa ekosistem yaitu proses alami yang dibutuhkan bagi kehidupan seperti sumberdaya perikanan, lahan untuk budidaya, kemampuan asimilasi air dan udara dan sebagainya. + Estetika dan keindahan alam yang memiliki Kontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan, modal manusia merupakan kemampuan setiap individu dalam hal ketrampilan, kesehatan fisik dan mental serta pendidikan yang mencerminkan kualitas jasmani-rohani, Sementara modal sosial adalah hubungan yang terjadi dalam suatu komunitas atau cara orang berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain dalam satu komunitas (Salim, 2006 dan Hart, 2006). Modal sosial mencakup modal sosial sipil dan’ modal sosial pemerintah. Modal sosial sipil benwuiud interaksi tingkat mikro rumah tangga/perusahaan yang dipengaruhi nilai kepercayaan, sikap dan norma kelakuan. Modal sosial pemerintahan berupa interaksi tingkat makro berkaitan dengan hukum, aturan, prosedur, good governance cerminan kredibilitas pemerintah Gambar 1. Modal Komuritas (Sumber: Hart, 2006) Pevaanieurpie ‘Do. peureon pestiegingisae Gambar 2. Modifilasi Korsep Pembangunan Berkelajutan Concentc Rings (SumberFotmah, 2008) 2 gee wean (Salim, 2006). Sementara, modal lingkungan buatan adalah modal hasil rekayasa manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia termasuk infrastruktur jalan, jaringan air bersih, jaringan drainase, sistem pengolahan limbah cair, sistem pengolahan sampah, ruang terbuka, bangunan dan sebagainya. Konsep pembangunan berkelanjutan Concentric Rings menunjukkan adanya ketergantungan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial pada ketersediaan sumberdaya lingkungan. Dengan konsep ini ditunjukkan bahwa sasaran akhir pembangunan adalah pembangunan sosial Meskipun demikian, untuk mencapai keberlanjutan, pembangunan ekonomi dan sosial tidak boleh melampaui batas lingkaran lingkungan tersebut. Batas area yang terbentuk oleh lingkaran lingkungan tersebut dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah apa yang disebut dengan daya dukung lingkungan. Dengan kata lain daya dukung lingkungan dalam konsep concentric rings dipandang sebagai pembatas perkembangan (Graymore, 2005; Hart, 2006; Sustainable Development Communications Network, 2008). Pembangunan ekonomi itu sendiri_merupakan enghubung keterkaitan antara manusia dan lingkungan dan dapat dipandang sebagai wujud dari kemampuan manusia (human ability) untuk memenuhi kebutuhan manusia sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Ketidaktepatan kebijakan pembangunan ekonomi yang. diterapkan akan mengakibatkan lingkungan menjadi rusak sekaligus tidak memperoleh manfaat lingkungan bagi pembangunan sosial Penghitungan untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh suatu daerah salah satunya dapat menggunakan metode pendekatan supply dan demand. Supply adalah kemampuan yang dimiliki untuk menyediakan sumberdaya, sementara demand adalah kebutuhan sumberdaya bagi kehidupan. Apabila supply lebih besar dari demand maka daya dukung lingkungan belum terlampaui, dengan kata lain sumberdaya tersebut merupakan potensi lokal, demikian sebaliknya. Konsep Kerjasama Pemanfaatan Ruang Antardaerah Berbasis Potensi Lokal Sub-sub bab sebelumnya dimaksudkan_ untuk memberikan pemahaman bahwa potensi daerah dapat berupa modal alam, manusia dan sosial serta lingkungan buatan. Agar pembangunan berkelanjutan, daya dukung lingkungan merupakan pembatas perkembangan. Untuk mempertahankan keberlangsungan ‘modal alam, maka modal alam merupakan titi tolak penetapan arah dan proses pembangunan yang akan dilakukan. Hingga saat ini, modal alam yang dianggap sebagai potensi lokal selalu yang memilki keterkaitan langsung dengan proses produksi barang seperti lahan yang subur, perikanan, hutan, pertambangan karena memiliki nilai ekonomi yang jelas. Salah satu unsur alam yang tidak pernah dianggap potensi lokal adalah sumberdaya air, dimana zat ini sebagai sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Air juga menyediakan jasa ekologis karena memiliki kemampuan untuk mengasimilasi limbah cair yang tercampur ke dalamnya. Pee Meskipun demikian, air dianggap tidak memiliki nilai ekonomis. Akibatnya, penggunaan air menjadi tidak bijaksana dan ketersediaan air secara kuantitas dan kualitas mulai merjadi masalah. Padahal, ketersediaannya hharus tetap terjaga agar mampu mendukung kehidupan manusia Dalam PP No. 50/2007 tentang Tata Cara Kerjasama Antar Daerah, objek kerja sama daerah adalah seluruh turusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publi. Sementara itu, pengelolaan sumberdaya air menjadi objek kerjasama sesuai UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang dalam proses revisi) urusan wajib pemerintahan daerah yang menjadi kewenangan daerah otonom antara lain meliputi: a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; ©) pengendalian lingkungan hidup. Ketiga uurusan wajib tersebut sangat terkait dengan upaya pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan sumberdaya air tidak dapat dilakukan dalam batas admisnistrasi, karena wilayah ekosistem tata air mengikuti geografis. Menurut Syarief, 1997, Daerah Aliran’ Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah, yang memiliki batas geografis yang secara fungsional sebagai suatu ekosistem kesatuan wilayah tata air. Secara geografis, kota/kabupaten merupakan bagian dari satu atau bahkan beberapa DAS. Seperti juga dikatakan oleh Tambunan (2005), dimanapun kita berada di muka bumi ini, lokasi itu pasti merupakan, bagian dari DAS. Ruang pada suatu DAS lebih tepat jika dipandang sebagai satu kesatuan geografis bukan terpisah oleh batasan administratif. Ekosistem DAS, dapat merjadi pemersatu daerah karena setiap daerah didalamnya memiliki kepentingan yang sama terhadap keberlanjutannya. Ekosistem DAS terbagi dalam DAS hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu sungai dicirikan oleh hat-hal sebagai berikut : merupakan daerah konservasi, kerapatan drainase lebih tinggi, daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi biasanya tegakan hutan Sementara DAS hilir dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut : merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, daerah dengan kemiringan lereng kurang dari 8%, pada beberapa tempat merupakan, daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman budidaya. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik DAS tersebut di atas (Asdak, 2002). Apapun pembangunan yang dilakukan akan merubah unsur-unsur alami pembentuk ekosistem DAS seperti topografi, vegetasi serta tata guna tanahnya. Ketidak icin editable tepatan pemanfaatan ruang pada ekosistem DAS secara signifikan akan memiliki keterkaitan terhadap keberiangsungan suatu DAS. Berdasarkan karakteristik masing-masing zona DAS, Fatimah, 2009 dalam disertasinya mengusulkan pola pemanfaatan ruang pada masing-masing zona dalam sistem DAS adalah sebagai berikut = 1. Zona hulu DAS, zona hulu DAS berfungsi sebagai fungsi lindung dan oleh karenanya pemanfaatan ruangnya untuk dominasi pemanfaatan kawasan lindung. Hal membawa konsekuensi, proporsi luasan kawasan lindung di zona ini seharusnya sama atau lebih besar dibandingkan dengan luasan kawasan budidaya. Kegiatan budidaya yang diperbolehkan adalah kegiatan yang sifatnya non intensif yang dicirikan oleh Kegiatan budidaya dengan tidak membuka lahan skala besar. 2. Zona hilir DAS, ada zona hilir yang memiliki fungsi utama budidaya, kegiatan yang diperbolehkan dapat bersifat intensif. Meskipun demikian, pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tidak dilakukan perubahan alih fungsi. Kegiatan budidaya yang diperbolehkan di zona ini adalah permukiman kepadatan tingg!, perdagangan dan jasa, pariwisata, dan industri. Luasan kawasan lindung pada kawasan perkotaan minimal sebesar 30% yang terdiri atas RTH publik seluas minimal 20% dan RTH privat seluas minimal 10% dari uas area (Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruane), Zona tengah DAS merupakan peralihan antara zona hulu dan hilir dan_memiliki fungsi sebagai penyangga zona hulu. Kegiatan budidaya yang diperbolehkan di zona penyangga adalah bersifat semi intensif seperti permukiman kepadatan sedang, perdagangan dan jasa, less-polluted industri, jasa dan pariwisata. Konsep kerjasama antar daerah berdasarkan pola pemanfaatan ruang dalam sistem DAS dapat dilihat pada gambar berikut ini Tie ia Gambar 3. Konsep Kerjasama Pemanfaatan Ruang Antar Daerah berbasis Potensi Lokal Cem) a Institut Teknologi 10 Novern Stat Terdapat beragam pengertian tentang infrastruktur publik, Salah satunya, (1994) yang mendefinisikan dalam konteks ekonomi sebagai terminologi yang memayungi banyak aktivitas terkait ‘social overhead capital. Sementara pembangunan infrastruktur publik di Indonesia mendapat perhatian penting sehingga dalam RPJM tahun 2010-2014, pemerintah akan melakukan percepatan penyediaan, kuantitas dan kualitasnya. Pemerintah pun melihatnya bukan saja dari sisi ‘ekonomi saja, tetapi dari berbagai perpektif kepentingan nasional yang strategis dan prioritas, baik dalam menunjang program revitalisasi pertanian, mengatasi kemiskinan dan keterisolasian, maupun untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan seperti polusi air, udara dan tanah, atau banjir. Sedangkan dalam daftar prioritas nasional, infrastruktur ini masuk peringkat ke enam dari 11. program. Terdapat 7 substansi inti dari program aksi di bidang infrastruktur yaitu yang berkaitan dengan, tanah dan tata ruang, jalan, perhubungan, perumahan rakyat, pengendalian banjir, telekomunikasi, dan transportasi perkotaan. Dari data yang ada besaran nila investasi infrastruktur dibandingkan dengan PDB yang temyata menunjukkan penurunan pada tahun 1993 - 2002 (Gambar 1). Pada tahun fiskal 2003/2004 rasionya 5,34 sedangkan pada tahun fiskal 2002, rasionya menurun tajam lebih dari 509% menjadi 2,33. Dalam lingkup regional (Asia), angka-angka tersebut masih dibawah rasio yang sama di beberapa negara lainnya di Asia pada tahun 2005, sebut saja Laos dan Mongolia dengan, rasio 4 - 7% serta China, Thailand, dan Vietnam dengan rasio diatas 7% (Mustajab, 2009). Kajian Pustaka Keterkaitan Infrastruktur Publik dan Ekonomi Sementara itu, investasi yang dilakukan oleh swasta temyata tidak menunjukkan koncisi yang menggembirakan, setidaknya dalam tahun ketersediaan data dibawah ini, dimana investasi swasta tersebut_ mencapai puncaknya pada tahun 1996 dengan nilai investasi sebesar USS 8,4 miliar (Dikun, 2003). Namun ‘US lion 0 ——— 1990 199119921993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 2. Investasi Infrastruktur Oleh Swasta ai Indonesia sayang besaran nilai investasi tersebut_menurun pasca krisis ekonomi sehingga sampai tahun 2000 tidak sampai mencapai USS 1 miliar (Gambar 2). Konseptualisasi Peran Infrastruktur Infrastruktur memiliki peran yang luas dan mencakup berbagai konteks dalam pembangunan, baik dalam konteks fisik-lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, politik, dan konteks lainnya. Salah satu infrastruktur yang besar perannya dalam pengembangan dan Pembangunan ruang, baik dalam lingkup negara ataupun lingkup witayah adalah infrastruktur transportasi Transportasi adalah infrastruktur yang mampu menciptakan mobiltas sosial dan ekonomi masyarakat (barang dan manusia/penumpang), dan menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar Gambar 1, Rasio antara fnvestas!infrastuktur publk di Indonesia dengan PDB 1969/1904 1904/1995 1905/1098 foee't097 eo7rTee8 199e/1860 2000 2002 (perdagangan/ trade). Transportasi ini pun berdampak pada kesejahteraan masayarakat seperti, perdagangan antar wilayah, perluasan pasar, terciptanya Kompetisi, dan penyebaran pengetahuan, dan meningkatnya aksesibiltas penduduk terhadap sarana pendidikan dan kesehatan dimana pada akhimya akan meningkatkan pula kualitas kesehatan dan_pendidikan masyarakat (Gambar 3.) Hubungan Antara Infrastruktur Transportasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat Gambar 3, Hubungan Antara Infrastruktur TransportasiPertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat ‘Gambar 4 Korelasi antara stok infasiruktur dengan PDB Per Capita pada semua negara di Dunia Pengaruh Infrastruktur dalam Ekonomi Infrastruktur merupakan driving force dalam pertumbuhan ekonomi. Perannya dalam mengembangkan sebuah wilayah tentu tak ada yang meragukannya lagi Sehingga beberapa fakta empiri menyatakan bahwa perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu wilayah akan berjalan seiring dengan perkembangan output ekonomi, Sebuah pemnyataan yang dilansir oleh World Bank (1994) bahkan berani menyatakan bahwa secara average peningkatan stok infrastruktur sebesar 1% akan berasosiasi dengan peningkatan PDB sebesar 1% pula (Gambar 4). Sebuah pernyataan yang menjanjikan sekaligus menantang semua negara untuk menindaklanjutinya dengan meningkatkan pasokan infrastrukturnya. Disisi lain, eksistensi infrastruktur dalam konteks pgetn wa ang dinamika suatu negara atau wilayah _mengalami perubahan-perubahan dasar seiring dengan perkembangan atau perubahan kebutuhan. Semakin maju negara / wilayah, kebutuhan jenis infrastruktur akan mengalami perubahan, dimana kontribusi dari infrastruktur kelistrikan, transportasi (alan), dan telekomunikasi akan semakin dominan, relat teshadap infrastruktur dasar lainnya seperti air bersih dan irigasi (World Bank, 1994) Semakin maju negara, maka peran jasa infrastruktur menyumbang rilai tambah akan semakin besar. Data dari World Bank (1994) menunjukkan umumnya infastruktur jenis transportasi dan komunikasi memiliki peran yang lebih besar dalam menyumbang nilai tambah dengan proporsi terhadap PDB sebesar 5,34% untuk low-income countries, 6,78% untuk middle~ income countries, dan 9,46 % untuk high-income Xsconliie elle elaiieeeaiblalaLananterlbicanal Hubungan Antara Peran Sektor Pertanian dan Pengeluaran Sektor Publik Untuk Sektor Pertanian Dunia Agricultural GDP/GDP Percent Urbanized Agriculture - based ‘Transforming Public spending on agriculture/Agricultural GDP Percent 35 30 5 ons as Agriculture -based Transforming Urbanized countries, dibandingkan dengan infrastruktur kelistrikan dan air dengan nilai proporsi terhadap PDB yang bervariasi antara 1,29 % untuk low-income countries, 2,24% untuk middle-income countries, dan 1,87 % untuk high-income countries. Fakta yang berkaitan dengan infrastruktur transportasi ‘merupakan hal yang jamak dimana keberadaan akses, baik berupa jalan raya, rel kereta api, rute angkutan penyeberangan dan pelayaran, maupun rute penerbangan akan berpotens! mempengaruii peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, walaupun dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Dalam konteks sistem industri, peran infrastruktur juga sangat vital karena mampu diyakini meningkatkan produktivtas dimana pada akhimya akan berpengaruh pada meningkatnya kinerja ekonomi secara keseluruhan, Sementara itu peran infrastruktur dalam ekonomi bukan sekedar ketersediaan (availibility) menjadi kuantitas dan kualitas. Peran penting yang dijalankan oleh infrastruktur dapat menjadi sandungan ketika besaran investasi atau pengeluaran yang dikucurkan oleh Pemerintah untuk infrastruktur publik mengalami penurunan. Inilah barangkali salah satu penyebab menurunnya peran sektor pertanian dalam menunjang output ekonomi baik secara nasional maupun secara regional. World Bank (2008) memperoleh temuan bahwa dari pengamatannya terhadap beberapa negara di dunia, terdapat trend yang cukup signifikan bahwa negara berbasis ekonomi pertanian (agriculture-based countries) sedang mengalami metamorfosis menuju ke negara berbasis ekonomi transisi (transforming countries), sedangkan trend serupa juga terjadi dimana negara berbasis ekonomi transisi (transforming countries) juga sedang bertransformasi ke negara berbasis ekonomi kota (urbanized countries). Fakta empiri menurunnya kinerja infrastruktur disajikan dalam format infrastructure gop antara negara-negara Amerika Latin dengan negara-negara di Asia Timur dimana dalam kurun waktu 1980- 1997 terjadi peningkatan gap sampai sebesar 40-50 % untuk Panjang jalan, 50-60 % untuk telekomunikasi, dan 90-100 % untuk kelistrikan. Dampaknya adalah Penurunan kinerja ekonomi yang sangat signifikan, dalam bentuk terjun-bebasnya pertumbuhan output ekonomi Bagaimana dengan peran infrastruktur_dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Dengan menggunakan data nasional tahun 2000-2007, Mustajab (2009) melakukan penelitian yang berkaitan dengan peran infrastruktur di Indonesia, dan kesimpulannya ‘menunjukkan temuan yang post dimana pengembangan infrastruktur memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Keterkaitan Timbal Balik Antara Infrastruktur dan Ekonomi Keterkaitan antara infrastruktur dan ekonomi sudah lama menjadi perbincangan bagi para pengambil kebljakan. Bagi para penentu kebijakan, pengembangan, dan pembangunan prasarana sudah barang tentu diharapkan akan menjadi driving force bagi pengembangan ekonomi. Sedangkan dalam ranah akademis, keterkaitan antara keduanya masih menjadi bahan perdebatan. Dalam World Development Report tahun 1994 dinyatakan bahwa keterkaitan antara investasi pada infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi belum merupakan suatu keniscayaan. Artinya, apakah investasi di infrastruktur menyebabkan pertumbuhan, ekonomi atau apakah pertumbuhan ekonomi menyebabkan tumbuhnya investasi di infrastruktur belum sepenuhnya dapat dijelaskan (established). Dalam ketekaitan antara infrastruktur dan ekonomi, penelitian Badan Litbang Departemen Perhubungan bekerjasama dengan LPPM ITS pada tahun 2004 menunjukan, hasil uji Granger causality dengan mengeunakan data tahun 1999-2003 yang dilakukan dengan basis wilayah pulau besar menyatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara infrastruktur transportasi dan ekonomi, dan terdapat diferensiasi hubungan kausalitas antara tiap pulau besar tersebut. Di hampir semua pulau (Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi) terdapat hubungan kausalitas yang bersifat dua arah, dimana pengembangan dan pembangunan infrastruktur transportasi mempengaruhi pertumbuhan en aru 4, Transportast > Ekonomi 1 | indonesia honor Transport “Fransporiasi = Ekonomi | — Tidak valid Wats as | Tampon Fatan ga ansportasi-> Ekonomi} bibumion | mempengaruhi prasarina~sarana 2 | sunnier | 7 =e Xapasites) pode | ekonsa (transport | iransporiasi scare Tampons = Bio Tidak Vale Transports ‘Transportasi—> Ekonomi mempengert 7 = brtarites economy) , Ekonomi Kaien Kuang Tecan Bees eee oveer |Seme emeenat Totton econern Transport Peninakatan jaringan sompongarht prasarana sa eae konom! (unsport | transports! sec aa | teenie briortas sconons [Kuantan Ekonomi Peninekatan onan ransportast < Ekonomt peau at ete proenrenn e Ee {anspor Canyon | sarana trsaporas Fotos econ) ‘Transportast Peningkatan jringan rtasi—» Ekonomi | ibungan | mompongacubi prasarana ~sarana as kapasitay pads | chonomt (hunsporr | fransportasi asvarn as || scacs tags | prioritas economy) | Kuantias Valid ar Peningkatan al Transportasi > Eke: Jasin prasarana~ franaporiat sara prastrana~sarana Transportasi = Ekonomi | Tidak Vai [expaeeiniiri! Suanthas ?Peningkatan jaringan Fransportast > Ekonomi | Tidak Valid praseere sama 7 | Matuxe- wantias 7) *pansa ‘Varia ada Ekonomi Peningkatan Ki hubungan | mempengaruhi jaringan prasarana ‘Transportasi < Ekonomt eapasitas) pad ramportast (Trungpon | Saran trasport follows ecomeesy) ‘Hubungan antara peran sektor pertanian dan pengeluaran sektor publk untuk sektor pertanvan dunia ekonomi dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi mempengaruhi pengembangan dan pembangunan infrastruktur transportasi Kesimpulannya untuk kasus di Indonesia secara keseluruhan terlihat peran infrastruktur transportasi dalam pertumbuhan ekonomi, atau dalam bahasa lain dapat dikatakan seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan infrastruktur transportasi dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Pengaruh tersebut tidaklah terjadi seketika, namun baru nyata pada perioda ke empat setelah terjadi peningkatan kinerja infrastruktur transportasi (Litbang Dephub dan LPPM ITS, 2004) Kasus Infrastruktur Jembatan Suramadu Sejumlah kasus keberhasilan infrastuktur dalam mendorong ekonomi tersebut kemudian menggugah Pemerintah Indonesia untuk menggunakan instrumen yang serupa. Salah satu infrastruktur strategis yang dibangun dengan menelan dana sekitar Rp 4,5 triiun adalah jembatan Suramadu. Dampaknya pun diprediksikan akan membawa banyak manfaat ketika Pemerintah membangun Suramacu yang menghubungkan antara daratan pulau Jawa bagian Timur dengan pulau Madura, Persoalan mendasar yang terjadi di wilayah ini Gerbangkertosusila) adalah disparitas ekonomi wilayah. Pada tahun 2002, nilai PDRB Madura adalah Ro 8.2 Triliun, sedangkan PDRB wilayah Gerbangkertosusila pada tahun yang sama telah mencapai Rp. 64,5 triliun. Ini berarti bahwa pada tahun 2002 PDRB wilayah Gerbangkertosusila telah mencapai hampir 10 kali lipat dari PORB Madura, Pada saat ini tentunya prediksi tersebut belum dapat dirasakan karena jembatan Suramadu baru setahun Namun dengan berkaca pada peran infrastruktur dan keterkaitan antara infrastruktur dan ekonomi, ada 2 hal yang dapat menjadi catatan, yaitu pertama, fenomena keterkaitan tersebut hendaknya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi penguatan dampak positif ekonomi yang diharapkan dari jembatan Suramadu, dan yang kedua adalah tidak hanya memandang manfaat ekonomi sebagai satu-satunya harapan unggulan, namun juga manfaat lainnya baik dalam konteks sosial, budaya, maupun lingkungan ‘yang juga tidak kalah pentingnya dalam membangun Madura ke depan. een Ceres Menuju Kota Bebas Kumuh Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB menargetkan perbaikan kehidupan 100 juta penghuni permukiman kumuh pada tahun 2020. Komunitas internasional telah mengakui pentingnya kebutuhan akan kota yang berkelanjutan baik dari segi lingkungan hidup maupun sosial. UN Habitat bekerja sama dengan mitra Agenda Habitat seperti organisasi internasional, pemerintah, otorita lokal, swasta, LSM, komunitas dan badan PBB seperti UNEP untuk mencapai target ini. Indonesiapun memastikan ikut mendukung pencapaian MDGs. Salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah terpenuhinya Kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarkat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien dan akuntabel Sehingga terwujud kota tanpa pemukiman kumuh. Artikel ini akan mengupas tentang apakah pemukiman kumuh dan beberapa pendekatan yang dilakukan komunitas internasional dan Indonesia dalam mengatasi persoalan permukiman kumuh. Apakah Permukiman Kumuh ? ‘Slum atau permukiman kumuh bisasanya digunakan untuk menggambarkan permukiman yang tumbuh secara spontan di perkotaan yang mempunyai kualitas erumahan di bawah standar minimal dalam lingkungan yang kurang sehat dan tidak didukung oleh jasa pelayanan kota seperti air minum, sanitasi, drainase (gorong-gorong), jalur pejalan kaki dan jalan akses darurat. Ciri lain permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke fasilitas sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas baik dari status administrasi dan hukum tanah, maupun, kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait status hukum atas tanah, biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan pemukiman liar (squatter) Menurut definisi UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum household) adalah kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah perkotaan yang tidak mempunyai salah satu dari indikator berikut : 1. Rumah yang kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang ekstrim 2. Ruang huni yang cukup, yang berarti tidak lebih, dari 3 orang menghuni 1 ruang bersama 3. Akses yang mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah’ yang cukup dan harga yang terjangkau, 4, Akses ke sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama 5. Kepastian atau rasa aman bermukim (secure tenure), yang dapat melindungi penghuninya dari penggusuran paksa. Kampung lati Baru, Jakarta Pusat ‘Mengapa Pemukiman Kumuh Berkembang ? Permukiman kumuh bukan fenomena baru. Beberapa istilah permukiman kumuh di negara lain adalah barios Venezuela), favela (Brazil, katchi abadi (Pakistan), basti (Bangladesh), kampung kumuh (Indonesia), skidrow (UK), ghetto (USA). Banyak permukiman kumuh mempunyai sejarah panjang di kota-kota dunia, terutama pada tahun-tahun awal terjadinya urbanisasi dan industrialiasi dimana terjadi migrasi besar-besaran penduduk desa ke kota. Permukiman kumuh adalah salah satu cara masyarakat ‘miskin mengatasi persoalan perumahan yang terjangkatu. Dari pengamatannya di beberapa negara di Amerika Latin di tahun 1960-an, John Turner menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri (autonomous settlement), dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sesuai kemampuan mereka sendiri (Turner 1976), Permukiman semacam ini mempunyai potensi untuk menjadi lebih sehat/ teratur melalui bantuan prasarana, pengaturan dan pendampingan masyarakat. ‘Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh tetap berkembang : pertumbuhan penduduk dan tata-kelola kepemerintahan (governance). 1, Pertumbuhan Penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan Pemukiman kumuh barios, Venezuela hilp://mnwwordptesscom semakin tinggi. Pertumbuhan ini dapat berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan ekolog! yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan Kesehatan yang bak. Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke kota, Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi masa dan hasil panen. Banyak petani terllit hutang dan kehilangan tanah, serta terpaksa mencari lapangan kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara temporer dan rutin, di mana masyarakat desa pergi ke kota dan mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa. 2, Tatarkelola pemerintahan (governance) Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman kumuh, Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan, Hal ini justru_ mendukung pertumbuhan permukiman kumuh. Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan kumuh. Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu disediakan pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau, masyarakat miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian dengan menempati tanah dan membangun gubukrya, atau menyewa rumah petak yang ada tanpa mempedulikan status tanahnya Sikap pemerintah terhadap urbanisasi bervariasi ~ ada yang membuat kebijakan ‘kota tertutup’ (seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di permukiman liar (masin terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen untuk menanganinya. Catatan statistik terkait penghuni permukiman kumuh yang berstatus liar (squatter) belum jelas atau kadang-kadang tidak ada karena pencatatan penduduk oleh pemerintah dianggap oleh para penghuni liar sebagai salah satu bentuk ‘pengakuan’ pemerintah tethadap keberadaan mereka di kota Pendekatan untuk mencegah pemukiman kumuh baru Menurut Cities Alliance (lembaga internasional yang menangani hibah, pengetahuan dan advokasi untuk kepentingan peningkatan permukiman kumuh di dunia) ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru. Salah satu adalah mengakui bahwa urbanisasi akan tetap terjadi dan pemerintah perlu merencanakan di mana pendatang baru akan tinggal. Kebijakan alternatif untuk mengembangkan perdesaan masih dianggap kurang efektif. Meskipun demikian India ‘mengadopsi kebijakan ini karena 75% wilayah India masihy merupakan perdesaan. Kepastian Bermukim (Secure Tenure) Hak atas tanah adalah hak individu atau kelompok untuk menghuni atau menggunakan sebidang tanah. Hak atas tanah dapat berupa hak milik atau hak sewa, Kejelasan hak atas tanah memberikan keyakinan akan masa depan - rasa aman karena kejelasan hak (sewa ataupun milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan mengakibatkan penghuni berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan mereka. Perbaikan secara bertahap oleh masyarakat dapat meningkatkan kualitas komunitas, Perlu ada kerangka kerja yang jelas tentang kepastian bermukim, Seringkali masyarakat permukiman_kumuh menghadapi berbagai_ hambatan untuk memiliki atau memperoleh kejelasan hak atas tanah dan hak atas hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya agak disfungsional dan peraturan yang ada menyulitkan pemerintah daerah untuk mencari tanah terjangkau dan berada di lokasi yang strategis bagi penghuni permukiman kumuh yang. padat. Pengendalian tanah seringkali terkait dengan kekuatan politi dan korupsi, sehingga menyulitkan memperoleh informasi tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan dan Eastern ‘South-Western Southern Eastern Sub- Northern Latin Peningkatan permukiman kumuh (slum upgrading) ‘Slum upgrading atau peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana permukiman informal ditingkatkan secara bertahap, di'formalkan dan dijadikan bagian dari kota, melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi, sosial, kelembagaan dan komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh. Peningkatan permukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih, drainase (gorong-gorong) atau perumahan, tapi lebih banyak memberikan perhatian pada bagaimana menggerakan kegiatan sosial-ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara bersama-sama dengan pihak-pihak yang terlibat - bik warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah (tingkat pusat dan daerah). Kegiatan ini juga mencakup penyediaan jasa pelayanan dasar seperti perumahan, jalan, pedestrian, drainase, air bersin, sanitasi dan pembuangan sampah. Akses Annual Growth of Urban’ Stum Population (°4) mw Annual Growth of Urban Population (34) 25 Asia Asia Saharan Africa America ketersediaan tanah, Asi Hak warga kota Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan, dan seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak ini seringkali dibatasi oleh kemampvan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar ini, Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan ‘tuang’ dimana ‘masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah dapat saling berdialog tentang peluang:peluang meningkatkan komunitas permukiman kumuh. Melalui dialog, setiap pihak dapat meletakkan hak dan tanggung jawab, serta merancang program peningkatan permukiman, kumuh yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sult program ini berhasil. Africa ke pendidikan dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan kualitas. Salah satu komponen utama dalam peningkatan permukiman kumuh adalah meningkatkan status tanah (misalnya sertifikat tanah dan surat perjanjian pemanfaatan tanah) atau status administrasi permukiman (misalnya memberikan status RT/RW) sehingga dapat menjadi bagian dari kota. Pada akhirnya, upaya meningkatkan_permukiman kumuh mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamika dalam komunitas dimana tumbuh rasa pemilikan, manfaat dan investasi di dalam permukimannya. ‘Mengapa Peningkatan Permukiman Kumuh Penting ? Alasan utama peningkatan permukiman kumuh adalah agar masyarakat mempunyai hak dasar untuk hidup dengan martabat dan dalam kondisi yang layak Meskipun kebanyakan masyarakat permukiman kumuh, adalah migran, bukan alasan untuk tidak memberikan eluang hidup yang baik. Di tingkat yang lain, menjadi oe rug perhatian kota untuk meningkatkan permukiman kumuh dan mencegah pembentukan permukiman kumuh baru. Bila permukiman kumuh mengalami kermunduran kualtas, maka pemerintah dapat kehilangan kendali atas penduduk tersebut dan permukiman kumuh tersebut menjadi daerah dengan tingkat kejahatan tinggi dan kemungkinan penularan penyakit yang berpengaruh pada seluruh kota Manfaat peningkatan permukiman kumuh untuk kota adalah = Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kota termasuk mengatasi masalah illegalitas, hambatan mengakses jasa pelayanan kota, akses ke kredit dan perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat rentan, Mendorong pengembangan ekonomi ~ peningkatan permukiman kumuh dapat mendorong sumberdaya ekonomi yang ada. Menjawab isu kota tentang penurunan kualitas lingkungan, peningkatan sanitasi, penarikan investasi dan menurunkan tingkat kejahatan. Meningkatan kualitas kehidupan. Peningkatan Permukiman kumuh meningkatkan kualitas kehidupan komunitas dan kota secara keseluruhan dengan memberikan kejelasan status kewargakotaan, Peningkatkan kualitas hidup, meningkatkan keamanan dan kepastian tinggal. Meningkatkan penyediaan hunian bagi masyarakat mmiskin dengan keterlibatan masyarakat - merupakan cara paling efektif karena dapat dilakukan dalam skala besar dengan biaya rendah, Belajar dari Program Peningkatan Permukiman Kumuh, Kampung Improvement Program (KIP) ~ Indonesia Program Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori Indonesia di kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program nasional di kota-kota Indonesia dengan dukungan Bank Dunia. Pada awalnya diiakukan secara top-down tapi dalam perkembangannya semakin melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Di Jakarta lebih dari 500 kampung yang meliput! 38 juta penduduk diperbaiki melalui KIP. Namun kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki justru menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KP dan menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal. Di Surabaya, program KIP berhasil dikembangkan merjadi KIP Komprehensif yang melibatkan masyarakat, melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik lingkungan) dan mengupayakan jjin bangunan dan sertifikasi tanah, Pemerintah Daerah Surabaya bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) dalam pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat, divujudkan dalam bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan koperasi untuk kredit mikro dan dana berguti Program KIP Surabaya berhasil mendapat penghargaaan The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award (1990), the Habitat Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan negara lain, seperti Pekalongan, Solo dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi lebih besar dan berhasil. Program KIP di Indonesia masih dilanjutkan di Surabaya. Di tingkat nasional program semacam ini diadopsi dengan beragam nama tergantung kemasan proyek dan donor misalnya Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung, NUSSP, P2KP dsb yang dilakukan oleh instansi penerima bantuan, Belum ada kebijakan- strategi dan rencana aksi penanganan permukiman kumuh yang disepakati bersama secara nasional. Peran Pemerintah Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh menjadi semakin besar setelah otonomi daerah, Beberapa kota berhasil melakukan program peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan mensinergikan sumber daya yang ada_misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good tp: //wamuurbanscience.eu Practice’ dati panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008. Program Baan Mankong - Thailand Community Organizations Development Institute (COD) adalah organisasi publik independen yang dibentuk pemerintah Thailand (cibawah Kementerian Pembangunan Sosial) pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban Community Development Office (UDCO) dan Rural Development Fund (RDF). Menurut Somsook Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), COD! justru belajar dari program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti ‘secure housing’ atau. Perumahan aman, diluncurkan pada tahun 2003. Program ini menempatkan komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari proses pengembangan solusi yang komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan di kota-kota Thailand. Sistem perencanaan konvensional yang top-down digantikan dengan pengelolaan program berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi pelaksana kegiatan yang mereka rencanakan dan prakarsai dengan dukungan dari sistem jaringan komunitas, LSM, akademisi dan institusi pendidikan. ‘Ada 5 strategi yang diterapkan dalam program Baan Mankong : 1) peningkatan permukiman kumuh yang disebut in-situ, 2) reblocking atau land readjustment, 3) land sharing di mana ada perjanjian sewa atau Perjanjian pemanfaatan tanah antara pemilik tanah dengan masyarakat, 4) rekonstruksi atau pembangunan kembali dan 5) relokasi Untuk scaling-up proyek ini digunakan 6 pendekatan yaitu : ~ Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang ingin belajar dari pengalaman proyek tersebut. - Pengembangan pusat pembelajaran di beberapa funni kota yang sudah berhasil melakukan peningkatan kualitas permukiman kumuh ~ Peresmian proyek yang dapat cikunjungi dan dilhat banyak orang ~ Pertukaran pengalaman antar pelaku pembangunan, permukiman kumuh Langkah Kedepan Kelompok Kerja Permukiman Kumuh Indonesia untuk mendukung Asia Pacific Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) telah mengidentifikasikan beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan permukiman, kumuh, yaitu 1. Pengembangan sektor informal dan bisnis mikro 2. Perkuatkan peran perempuan dan organisasi masyarakat dalam peningkatan permukiman kumuh 3, Pengembangan kebijakan dan program berbasis komunitas 4, Peningkatan peran serta masyarakat dan pendekatan skala kota untuk penanganan permukiman kumuh 5, Perkuatan sistem pembiayaan peningkatan permukiman kumuh Hasil Kelompok Kerja merekomendasikan perlunya dukungan bagi Pemerintah Daerah yang melakukan, Peningkatan kumuh skala kota, peningkatan peran Pemerintah sebagai ‘pemberdaya’ (enabler) dan perkuatan sistem peningkatan permukiman kumuh berbasis komunitas, Di tingkat nasional perlu ada kebijakan strategi mengenai peningkatan permukiman kumuh dan road- ‘map bagaimana tujuan yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2025 dapat dicapai. Mudah-mudahan dengan adanya Slum Alleviation Policy and Action Plan (SAPOLA) yang didukung Cities Alliance di tahun 2011 dapat segera dirumuskan suatu kebijakan dan rencana aksi yang disepakati bersama para pemangku kepentingan. va Coreen Ty Bukan faktor kebetulan kalau isu. dampak perubahan iklim terjadi bersamaan dengan masifrya perubahan wilayah perkotaan dunia. Konsumsi sumber daya alam, energi, dan dampak lingkungan pada wilayah- wilayah perkotaan dapat dikatakan menjadi faktor kunci akselerasi perubahan iklim dunia. Di negara negara Eropa dan Amerika Serikat, konsumsi energi dari sumber-sumber fosil merupakan penyumbang utama pelepasan gas-gas rumah kaca, sementara pada negara berkembang, konsumsi energi perkotaannya belum seintens negara maju dalam menyumbang pelepasan gas rumah kaca dari pertanian dan pembukaan hutan. Tentunya kita tahu bagaimana kecepatan urbanisasi dunia, dimana telah dipreciksi dalam waktu tidak lama lagi mayoritas penduduk dunia akan tinggal di perkotaan, pastinya hal ini akan mempercepat, perubahan iklim dan sekaligus memperbesar jurang kemampuan mengantisipasi dampak dan beradaptasi. Berkaca dari pengalaman negara maju. dilihat dari sisi perkotaan, telah diketahui bahwa penyumbang gas rumah kaca yang perkembangannya paling cepat, adalah dari sektor transportasi dimana emisi pembuangan dari kendaraan bermotor menjadi kontributor efek rumah kaca. Sehingga menjadi amat signifikan bagi seluruh pemerintah wilayah perkotaan untuk segera melakukan investasi perbaikan sistem transportasi secepat mungkin, tidak ada kata terlambat untuk segara mengendalikan permasalahan tersebut. Sayangnya, dalam perlombaan dengan waktu untuk ‘mengantisipasi perubahan iklim, umumnya pemerintah Peluang Pengembangan Kota Rendah Karbon 1.00.900:5.00 00 10,00-300,000 Ii ,00-100000 2,20050,000 '3000.20,000 00.5000 000 | Tingkat emisi karbon monoksida i Dunia terpaksa_harus lebih berkonsentrasi dalam menginvestasikan infrastruktur dan solusi teknis adaptasi perubahan iklim daripada melaksanakan upaya pencegahannya sendiri Sebagai contoh, Jakarta, belakangan ini telah diprediksi bakal kehilangan seluruh wilayah utaranya (sampai batas garis administrasi Jakarta Pusat) dalam beberapa puluh tahun mendatang. Bahkan akibat kenaikan muka air laut dan banjir akan lebih memfokuskan upaya penyelamatan dari pada upaya nyata untuk mengubah pola hidup masyarakatrya yang masih bergantung pada kendaraan pribadi dalam bertransportasi. Lagipula, akan jauh lebih mudah (dan mungkin alamiah) untuk ‘meryalahkan’ negara-negara maju sebagai penyumbang emisi terbesar dan menganggap upaya mitigasi atas pelepasan gas-gas rumah kaca dari sektor transportasi dan perkotaan sebagai upaya eksklusif negara-negara tersebut. Tak berhenti disitu, selain sektor transportasi ada juga tren sumber pelepasan gas rumah kaca penting di wilayah perkotaan Indonesia sebenarnya justru dari sektor properti. Menjamurnya (Booming) pengembangan properti kini mulai tersebar merata di Indonesia, saat ini saja kota-kota seperti Makassar, Palembang, Manado, Padang, Batam, hingga Tarakan dan Merauke akan segera mendapatkan dana-dana segar untuk membangun megaproyek properti beserta infrastrukturnya yang skalanya bisa sama atau melebihi kota-kota di Jawa. Menurut data yang diperoleh, menunjukkan kalau sektor properti melalui kegiatan konstruksi dan operasional bangunan-bangunan bertingkat, yang kemudian diikuti dengan infrastruktur pendukungnya telah menyumbang sepertiga pelepasan karbondioksida. Bangunan-bangunan diperkantoran seperti, apartemen, mall, pusat hiburan sangat boros dalam mengkonsumsi energi sehingga menjadi salah satu faktor yang turut menyumbang karbondioksida. Melihat kondisi seperti itu, tentunya, tak dapat dipungkiri bahwa posisi Indonesia yang dianggap sebagai penyumbang pelepasan gas rumah kaca ‘hanya’ dari sektor kehutanan dan pertanian akan bergeser dalam waktu dekat. Meski demikian, sangat naif apabila hanya melihat data statistik ini dari satu sudut sehingga pembangunan bertajuk ‘rendah karbor’ hanya lebih banyak ditujukan kepada pengurangan pembukaan hutan dan pengurangan pelepasan gas metan dari pertanian. Upaya pembukaan hutan sebenarnya sudah mencapai titik kulminasi dengan arah pergerakan menuju menurun (terutama bila semua kebijakan yang mendukung moratorium berjalan dengan baik). Upaya pengelolaan dampak industri juga memiliki kecenderungan pengetatan yang berjalan dengan lebih nyata, justru upaya mengantisipasi kepesatan perkembangan perkotaan dengan faktor transportasinya yang tak terkendali, tidak didukung oleh kebijakan yang memadai, sehingga dikhawatirkan dalam waktu yang lebih cepat dari perkiraan, justru sektor perkotaan Permasalahan transportasi dikota besar Indonesia akan segera mengambil alih posisi penyumbang pelepasan gas rumah kaca utama. Jka keadaan seperti ini diperlukan kearifan korwensional selalu_mengatakan bahwa krisis seperti ini akan menyebabkan adanya pengalihan dana-dana publik yang seharusnya untuk layanan sosial kepada belanja infrastruktur dan solusi teknologi guna mengurangi dampak rumah kaca dan bersiap-siap menghadapi perubahan iklim. Lebih jauh lagi, kearifan konvensional selalu menganggap upaya lanjutan antisipasi perubahan iklim akan mempengaruhi pertumbuhan lapangan Pen kerja dan menciptakan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari seharusnya. Intinya, banyak argumentasi yang mengatakan bahwa upaya antisipasi Perubahan iklim pada dasamnya akan tetap merugikan masyarakat miskin, dan lebin banyak menguntungkan masyarakat kaya. Sentimen inilah yang sebenarnya mewarnai banyak pertemuan-pertemuan perubahan iklim dunia dan sulitrya mencapai suatu kesepakatan global Sementara itu, dalam pertemuan bergengsi negara- negara G-20 yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu, kebutuhan untuk melihat upaya global dari perspektif negara berkembang maupun negara miskin menjadi semakin nyata. Ada pemahaman bersama bahwa sebenarnya upaya antisipasi perubahan iklim dapat turut_ mengatrol kecepatan pengentasan kemiskinan. Pembangunan kota rendah Karbon yang mengutamakan pada komunitas masyarakat dan mengurangi ‘bias pasar’ yang berpihak pada pemodal besar membuka kesempatan mengembangkan lapangan kerja di sektor lingkungan, Tak hanya itu, maka akan terbuka pula potensi penghematan energi di skala rumah tangga, Menjamumya proper surut meningkatkan emisi karbon, whiny pada Potts besa [csineekenishoedanieaekenienceduataeeibiea str tenaga menurunkat eee ae vg, dapat membantu perubahan pola hidup, yang kemudian berpengaruh pada kebutuhan fasilitas dan infrastruktur perkotaan. Contoh yang paling rill diantaranya adalah pelayanan cenergi lstrik bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang geografisnya adalah kepulauan. Cepat atau lambat, layanan listrik dengan sistem transmisi dari pembangkt-pembangkit utama yang hanya terkonsentrasi di lokasi tertentu akan menjadi terlalu mahal untuk melayani masyarakat yang tinggal di pulau. Kebutuhan untuk swasembada energi dengan pilhan memanfaatkan sumber-sumber lokal membuka peluang pengembangan energy alternatif. Sedangkan kecepatan pengembangan teknologi penyediaan energi dari sinar matahari, air, dan biomassa amat pesat, bahkan telah merambah sampai ke tingkat pedesaan, dan telah dipraktekkan oleh siswa-siswa sekolah. Hal ini adalah satu contoh bagaimana pembangunan rendah karbon bisa efektif apabila dijalankan sebagai sebuah ‘gerakan’. Untuk selanjutnya pemerintah hanya perlu mengupayakan bantuan kebijakan dan atmosfir yang mendukung untuk gerakan ini tetap bergulir. Di sisi lain, sektor transportasi perkotaan tidak akan pernah mencapai upaya ‘rendah karbon’ yang banyak diinginkan masyarakat, apabila tidak segera diupayakan pengembangan dan perbaikan dalam pengoperasian sistem transportasi publik yang memadai, apalagi tidak pula dikuti upaya perbaikan pola struktur ruang kota yang memperkecil kebutuhan pergerakan masyarakat dengan menggunakan kendaraan bermotor. Ruang gerak bagi para perencana kota dan wilayah dalam mewujudkan cita-cita pembangunan rendah karbon di perkotaan sebenarnya masih amat besar. Sebuah konsep pekerjaan hijau (green jobs) saat ini pun sudah mulai didengungkan. Tipe-tipe lapangan pekerjaan yang citujukan’ untuk mengantisipasi upaya pengendalian dampak lingkungan mulai banyak diciptakan dan perlu ditiu oleh masyarakat Indonesia, Industri penyedia peralatan sumber energi alternatif, retrofitting, dan penyedia jasa infrastruktur ramah lingkungan mencapai pertumbuhan yang luar biasa. Di negara-negara Eropa, industri rumahan yang tumbuh pesat diantaranya adalah pembuat bohlam lampu tenaga surya, layanan konstruksi instalasi Penghemat listrik, pembuatan barang-barang dari sampah bekas, layanan desain konstruksi daur ulang air skala rumah tangga, layanan belanja melalui internet, bahkan sampai bengkel retrofit kendaraan yang bisa membuat mobil menggunakan bahan bakar nabati tanpa mengubah keseluruhan mesin, Dengan konsumen terbesar dari jenis lapangan pekerjaan ini adalah masyarakat perkotaan, adalah sangat wajar apabila administrator kota harus membuka kesempatan jenis-jenis pekerjaan seperti ini menjadi bagian dari pengembangan perkotaan. Dari sisi Pengentasan kemiskinan, upaya pembangunan rendah karbon bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki pola pelayanan yang ada. Perbaikan struktur ruang dapat sekaligus memetakan dan memperbaiki wilayah-wilayah kantong kemiskinan. Perbaikan harga tanah, penyediaan infrastruktur, dan pembukaan kesempatan pengembangan sektor ekonomi ‘hijau’ yang dicontohkan diatas akan secara langsung maupun tidak langsung memberikan kesempatan bagi warga marjinal untuk mencari peluang baru. Upaya nyata, misalnya seperti arahan pemerintah agar masyarakat memanfaatkan tenaga surya dalam penyediaan energi rumah tangganya dapat mendorong, lonjakan permintaan tenaga-tenaga kasar perbaikan rumah, tenaga-tenaga teknisi perbaikan instalasi elektronik, dan lain sebagainya. Akhir kata, perlu secara bersama disadari, bahwa jargon ‘perkotaan rendah karbon’ atau perkotaan ramah lingkungan atau juga diistilahkan ‘perkotaan hijau’ tidak semata-mata hanya diterjemahkan sebagai wilayah perkotaan yang memilki MRT dan berhektar~ hektar taman/ruang hijau. Tent saja kedua sarana diatas wajib dimilki, tetapi tetap harus disadari bahwa perkotaan rendah karbon baru dapat terwuijud apabila ada upaya nyata perubahan pola konsumsi masyarakatnya dan pola operasional kegiatan-kegiatan ekonominya.m CE ets Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Menggagas Tata Ruang Perairan Berbasis Hak Nelayan Indonesé Indonesia sébagian besar terdir dari wilayah perairan Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR), mengharuskan penyelenggara negara memasukan laut sebagai bagian yang sangat penting dan terintegrasi, bahkan di subordinatkan dalam manajemen pemanfaatan ruang. Sehingga tujuan menjamin kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.= Menilik dari judul diatas terbangun atas tiga subtansi pokok yaitu, penataan ruang, perairan pesisir, dan hak nelayan. Sehingga kepentingan untuk menata ruang laut, melahirkan komitmen legislasi berupa UU, Np. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK), yang menjacikan wilayah perairan sebagai ruang pengaturan utamanya. Bahkan undang-undang tersebut menyatakan perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Lantas bagaimana kepentingan nelayan tradisional dapat terakomodasi ditengah berkembanganya komersialisasi pesisit ? Namun setelah UU PWP-PPK diterapkan maka Pemanfaatan perairan pesisir diarahkan dengan menggunakan mekanisme sertifikasi, yakni melalui instrument Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Tak hanya itu, UU juga mengatakan bahwa HP3 adalah hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut, dan untuk masa waktu pengusahaan 60 tahun akumulatif. Sekaligus, negara memberikan landasan hukum dalam rangka komersialisasi perairan pesisir. Kemudian, setidaknya ada tiga hal yang pertu dicermati dalam penataan ruang perairan pesisir yang berkaitan dengan hak nelayan tradisional Indonesia Pertama, aspek pemenuhan atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Seperti diketahui, wilayah Indonesia terletak di 8003.4, sepanjang gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Diperkirakan lebih lebih dari separuh kejadian bencana di Indonesia terjadi di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil ‘Ada juga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berantakan ‘membuat bencana baniir didesa-desa pesisir Indonesia. Kalau tahun 1996-1999 terdapat 7.000 desa terendam banjir, maka pada periode 2000-2003 terdapat 12.000 desa yang terkena bencana. Lonjakan semakin mengkhawatirkan di Pulau Jawa, yakni, dari 1.289 desa pesisir menjadi 2823 desa pesisir. Tak berhenti disitu, bencana alam berupa Tsunami ddan naiknya air laut (Sea level rise) dan aksi pencemaran laut, hingga kini belum tertangani dengan baik Kesemuanya memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Karena hal itulah perlindungan dan perlakuan khusus terhadap pengelolaan perairan pesisir dan pulau- pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak konstitusi setiap warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana perlu. dikedepankan. Diberikannya jaminan perlindungan pengusahaan 35 esetn a ang kawasan melalui HP3, justru mereduksi kapasitas dan tugas pemerintah melindungi kepentingan warga pesisir, khususnya nelayan tradisional atas ruang perairan pesisir yang aman dan sehat. Selanjutnya, yang kedua adalah aspek akuntabilitas dan pastisipasi publik dalam tata ruang pesisir, dimana dalam pasal 7 UU PWP-PPK membaginya dalam empat tahapan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K); Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K); Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K). Secara keseluruhan, usulan tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha sehingga keterlbatan nelayan dalam memastikan kepentingannya terhadap ruang perairan pesisir sebagai bagian hak melekat padanya sulit terpenuhi. Sementara itu, searah dengan semangat pemenuhan hak, maka Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) melalui Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) menyerukan agar negara anggota (Indonesia) atau bukan anggotanya menjamin para nelayan dan pembudidaya ikan dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan. Pada aspek ketiga, yaitu, konflik perikanan terkait hak pemanfaatan dan kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) membagi ‘struktur’ konflik perikanan kedalam 4 kategori, yaitu 1. Yuridiksi_ perikanan - terkait dengan siapa yang ‘memiliki’ kontrol atas pengelolaan perikanan; 2. Mekanisme pengelolaan - umumnya terkait konflk antara nelayan ~ pemerintah mengenai tingkat/jumlah Penangkapan, proses konsultatif dan penegakan aturan perikanan; 3. Alokasi internal - seperti konflik yang dipicu oleh penggunaan alat tangkap yang berbeda; 4. Alokasi eksternal - mencakup konflik yang melibatkan nelayan tradisional kapal asing, pembudidaya, industri non-perikanan (seperti pariwisata dan’ kehutanan) dan masyarakat umum. Kesemuanya menggambarkan ruang perairan pesisir yang rawan konflik perikanan. Pada konteks inilah penataan ruang perairan pesisir kembali menemukan urgensinya. Menata Ruang, Memuliakan Nelayan Terdapat 3 kepentingan Negara mengatur ulang tata kelola sumberdaya alam dan ruang pesisir di Indonesia: pertama, kepentingan untuk mengembalikan dan melindungi hak-hak masyarakat yang paling rentan (vulnerable societies) seperti masyarakat adat, nelayan, atau masyarakat pesisir pada umumnya; kedua, kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan warga yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang saat ini mendapati kemiskinan akut; serta kepentingan untuk melakukan harmonisasi pengaturan kebijakan publik, agar tidak berbenturan satu dan ra aaa eo ee ra lainnya. FAO pun merincikan tujuan pengelolaan perikanan sejatinya untuk mewujudkan: ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan keberianjutan lingkungan. Sedangkan mencermati UU No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka kepentingan nelayan tradisional dalam pengaturan ruang perairan pesisir belum terakomodir. Penataan pada dasarnya meliputi tiga hal penting, seperti, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tethadap pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Dengan mempertimbangkan permasalahan dan ketergantungan masyarakat nelayan perairan pesisir, maka keterlibatan aktif nelayan tradisional menjadi keharusan, Langkah ini dapat diawali dengan mengoperasionaikan penataan ruang, dengan menjamin kehidupan manusia dan mabluk lainnya, kedalam pengaturan penataan ruang perairan pesisir. Guna mencapai tujuan, sesuai dengan pandangan Charles (1992 dan 2001), maka paradigma kebijakan perikanan yang seharusnya dianut pemerintah adalah paradigma sosial. Dimana paradigma tersebut berfokus pada kesejahteraan masyarakat, keadilan distibusi, dan manfeat sosial dan budaya perikanan lainnya guna melindungi nelayan tradisional yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi: Karena itulah, upaya judicial review (uji materi) terhadap UU PWP-PPK (khusus Pasal HP3), merjadi penting guna memenuhi hak para nelayan dalam pengelolaan ruang pesisir. Dalam konteks itulah, untuk mewujudkan penataan ruang pesisir yang mengarah pada ketahanan_ pangan, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan lingkungan, maka sudah semestinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh masyarakat sipil, termasuk 18 nelayan tradisional. Penguatan organisasi nelayan tradisional Indonesia, baik berupa serikat nelayan maupun koperasi nelayan sangat dipertukan untuk terlibat dalam penataan ruang yang juga ditopang oleh kapasitas sumberdaya manusia dan organisasi yang handal. tea) Per TG Coe ae een al Waktu 10 tahun tentunya banyak memiliki perubahan. Begitu juga dengan dunia tata ruang yang mengalami secara signifkan, sehingga merubah wajah pembangunan Indonesia. Salah satunya desentralisasi yang memberikan peran besar bagi Pemerintah Daerah dalam mengelola pembangunan. Selain itu, dekokratisasi yang menuntut peran besar dari masyarakat dalam penataan ruang, urbanisasi sehingga menuntut pengelolaan perkotaan yang sustainable, degradasi lingkungan baik di kawasan Perkotaan maupun kawasan hutan, Tantangan dan permasalahan pun muncul yang direspon dunia perencanaan dengan melakukan revisi terhadap UU No.4/1992, tentang Penataan Ruang menjadi UU No, 26/2007. Salah satu perubahan UU tersebut memberikan porsi besar di aspek Pemanfaatan dan Pengendalian sebagai kunci mencapai tujuan penataan ruang, Bahkan era keterbukaan informasi dan komunikasi ‘membuat nuansa baru dalam melakukan pembangunan. Kali ini para aktor pembangunan di minta untuk lebih transparan dalam informasi, terbuka dalam proses pengambilan keputusan, kreatif dalam melaksanakan sosialisasi kebijakan, inovatif dalam implementasi pembangunan, dan lairvlain. Tak hanya itu, penggunaan Transformasi Menuju IAP 2.0 media komunikasipun ikut meramaikan, diseminasi informasi tidak semata-mata menggunakan media konvensional, seperti media cetak atau elektronik seperti TV dan Radio. Tetapi lebin canggih dengan memanfaatkan media web, menjadi trend baru di kalangan pelaksana pembangunan. Mobilisasi opini melalui sosial media, seperti facebook, blogspot, twitter, dll, menjadi model baru dalam membangun kebijakan publik. Tantangan IAP Dimasa Mendatang Situasi dan kondisi itulah yang memaksa Ikatan Abli Perencanaan (IAP), sebagai organisasi profesi bermain di wilayah baru. Sebuah wilayah yang merespon tantangan penataan ruang dengan memanfaatkan media komunikasi sebagai bentuk advokasi dunia penataan ruang. IAP dituntut’ mampu mampu melaksanakan perannya sebagai lembaga sertifikasi tenaga ahli penata ruang semata. Kedepannya IAP menghadapai tantangan yang baru di paruh kedua abad 21, yang tentunya berbeda dengan pelaksanaan IAP di tahun 80, 90, dan 2000 awal. Pasalnya IAP tidak lagi bisa menjalankan organisasinya dengan gaya ‘birokrasi’. Dimana kepengurusan yang didominasi oleh birokrat di IAP Ikatan Abli Perencanaan Indonesia berbagai institusi. Tantangan tersebut menuntut pengelolaan dan implementasi organisasi yang lebih modem, kreatif, inovatif dan terbuka. Beberapa tantangan yang dihadapi IAP di beberapa tahun ke depan adalah 1. Penguatan peran advokasi dunia penataan ruang. IAP saat ini melaksanakan perannya sebagai organisasi pembina individu yang berkiprah di dunia penataan ruang. Sayangnya, IAP belum melaksanakan peran yang optimal. Sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai penataan ruang seharusnya menjadi salah satu concern utama dari IAP. Sehingga peran ini harus diperkuat kembali oleh IAP pada tahun-tahun mendatang 2. Mendorong Peran IAP dalam mobilisasi opini publik. Beberapa tahun terakhir IAP sulit melaksanakan perannya sebagai lembaga profesi yang independen. Dominasi birokrat dalam struktur pengurus, selain memberikan dampak positif bagi organisasi juga memiliki dampak negatif, dengan mempersulit IAP dalam melaksanakan mobilisasi opini di bidang penataan ruang, terutama ketika bersebrangan dengan Pemerintah Daerah. Statement ini bukan berarti kedepannya bebas birokrat, tetapi lebih ibutuhkan strategi khusus untuk mendorong peran IAP dalam mobilisasi opini. Keberadaan birokrat tentunya tidak menjadikan hambatan bagi IAP dalam memberikan pandangan dan masukan kepada Pemerintah ataupun masyarakat. 3. Struktur organisasi yang terdiri dari berbagai kelompok usia dan aktivitas. Kepengurusan IAP masa depan semestinya mampu menjawab isue yang timbul terkait dengan perencanaan wilayah dan kota. Hal itu tentunya membutuhkan keahlian dan informasi yang beragam, Sementara kepengurusan IAP tidak dapat dibangun oleh 3 kelompok profesi yang saat ini ada: birokrat, akademisi dan konsultan perencanaan. Pandangan dari kelompok profesi lain mutlak dibutuhkan, seperti sektor swasta, NGO, politik, dll. Selain itu berbagai isu yang muncul membutuhkan pandangan lintas generasi yang tentunya memiliki idealisme jaman yang berbeda- beda. Menuju IAP 20 Penggunaan istilah IAP 2.0 untuk memperkuat dan menegaskan kembali peran IAP di era keterbukaan informasi seperti saat ini. IAP 2.0 adalah usulan model pengelolaan IAP untuk menjawab tantangan, masa depan dunia penataan ruang. IAP 2.0 bukan visi misi calon ketua IAP ataupun visi misi dari organisasi IAP, melainkan masukan sebagai bentuk kepedulian untuk memperkuat peran IAP di masa mendatang. Konsep IAP 2.0 dibentuk melalui lima prinsip dasar yang dapat diimplementasikan oleh IAP, yaitu 1. Terbuka IAP harus jadi organisasi yang membuka diri kepada publik. IAP juga memiliki peran strategis untuk melaksanakan diseminasi informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai hal-hal terkait dengan penataan ruang. Pengunaan media alternative, seperti webpage, web blog, twitter,dll, bukanlah sebuah konsekuensi mode saja. Tetapi upaya dari IAP agar terbuka terhadap masyarakat. Selain itu, Keterbukaan dapat diartikan sebagai keterbukaan terhadap berbagai jenis pengetahuan yang digunakan sebagai amunisi dalam membuka opini publik 2. Kreatif dan Inovatif Perkembangan pola dan trend masyarakat perlu dikuti guna menyusun kegiatan-kegiatan kreatif untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Inisiasi Lcniainecinendahieshichnaiieicindadihcad Most Livable City Index, terlepas dari kesederhanaannya, ‘merupakan terobosan yang telah dicoba kepengurusan IAP kin 3. Membangun Kemitraan Strategis (Strategic Partnership) Strategic partnership merupakan keharusan bagi sebuah organisasi di era modern. Kebutuhan organisasi di bidang penataan ruang tentunya membutuhkan kemitraan dengan stekholder- stakeholder strategis skala lokal, regional dan global. Membangun kemitraan strategis didasarkan kepada prinsip-prinsip : kesetaraan, menguntungkan dan terbuka. Kemitraan yang telah dimulai dengan organisasi-organisasi lokal internasional saat ini patut dikembangkan lebih lanjut ke arah kemitraan yang kongkrit dan berimplikasi positif bagi dunia penataan ruang indonesia. 4, Organisasi Global Era globalisasi saat ini menuntut IAP berevolusi menjadi organisasi global. Hal itu didasari pada pemikiran bahwa konstelasi diluar Indonesia akan memberikan implikasi kepada dunia penataan rvang, Indonesia. Isurisu internasional, seperti climate changes, deforestasi, urbanisasi perkotaan, peluang beraktivitas bagi planner asing di Indonesia serta sebaliknya. IAP harus berkembang menjadi organisasi yang tidak berkutat pada isu-isu lokal (yang tentunya masin banyak harus diselesaikan). IAP harus membuktikan sebagai organisasi profesi penataan ruang yang diakui di tingkat global Kemitraan dengan organisasi internasional, keikutsertaan dalam forum-forum interasional, penyikapan terhadap isurisu global, pengembangan kompetensi SDM dengan standar internasional, adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk mendorong 1AP sebagai organisasi global 5. Knowledge Management IAP terdiri dari individu diberbagai institusi swasta ataupun Pemerintah dengan kompetensi yang telah diakui. Pengetahuan yang tersebar di seluruh anggota dapat menjadi amunisi dan potensi yang menjadi bekal IAP di masa depan. Kemudian tantangannya adalah bagaimana cara mengakumulasi berbagai informasi dan pengetahuan tersebut untuk dipergunakan oleh seluruh anggota. Knowledge management perlu didukung oleh penyediaan ‘alat’ yang representatif dalam mengelola pengetahuan yang ada. Pendekatan knowledge management tentunya diharapkan dapat menjadi modal dalam memperkuat posisi IAP sebagai organisasi profesi terdepan di Indonesia Sebagai organisasi tkatan Ahli Perencanaan Indonesia tentunya banyak memiliki kekurangan baik itu dari kinerja maupun manajemen organisasi. sehingga dengan adanya konsep IAP 2.0 mampu menjadikan organisasi ini menjadi lebih baik pada periode yang akan datang, tak hanya itu, IAP pun diharapkan mampu terus berbenah diri, baik itu kedalam mapun keluar, hingga menciptakan output yang positif bagi semua pihak. Tentunya IAP 2.0 bukanlah konsep yang mujarab, tetapi setidaknya IAP 2.0 juga bukan sebuah konsep yang hanya membutuhkan kerja keras pengurus dan perangkatnya, IAP 2.0 harus dilaksanakan secara bersama-sama seluruh stakeholder IAP di tingkat pusat dan daerah, Ka ee) RPP tentang Sistem Informasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pembahasan Usulan Pengembangan Pulau Morotal sebagai Kawasan Strategis. Kesepakatan Percepatan Legalisasi Raperpres tentang RTR kawasan metropolitan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar. Konsolidasi Penataan Ruang Provinsi Papua Tahun 2010, Konsinyasi Audit Pemanfaatan Ruang (Stock Taking). Ekspose Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Tengah. Pembahasan Penyiapan Kebijakan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo Berbasis Penataan Ruang Tindak Lanjut Hasil Konsinyasi Stocktaking dan Penyusunan Laporan Stocktaking. Peluncuran ‘Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera: Visi Sumatera 2020' dan Rencana Kawasan Ekosistem RIMBA (Riau, Jambi, Sumbar) Terpadu. Rapat Tim Kecil Penyiapan Bahan Hasil Stocktaking, Persiapan Finalisasi Bahan Rakortas Tingkat Menteri BKPRN tentang Progress Inpres 1 Tahun 2010 serta Pending Matters. Workshop Pembahasan Raperpres tentang RTR Kawasan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Raja Ampat. Pembahasan Rencana Pembangunan Kawasan Industri Pemintalan Benang dan Reklamasi Pantai Kabupaten Tangerang. Pembahasan Usulan Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 - 2029. Pembahasan Raperda Kab. Merauke tentang RTRW Kab. Merauke dalam Rangka Persetujuan Substansi Pembahasan Raperda Prov. Gorontalo tentang RTRW Prov. Gorontolo. Pembahasan Laporan Progres IV Kegiatan Peningkatan Penataan Wilayah Kab. Tana Toraja Prov. Sulsel Pembahasan Usulan Pengembangan Kawasan Morotai dan Penyelesaian Masalah Penggunaan Kawasan Hutan di Batam. Tindak Lanjut Peryelesaian Pengembangan Lapangan Migas Pondok Makmur, Kabupaten Bekasi Pembahasan Draft Rancangan Peraturan pemerintah (RPP) tentang Lahan. Audit Pemanfaatan Ruang (Stocktaking) 2010, Raker dan Persiapan Kelapangan dalam rangka Review RTRP Kalimantan Barat. Pembahasan Draft Raperpres RTR Kawasan Sarbagita R Ditjen PR Lt. 3 Gd. SDA & PR PP No.27 Th 2008 ttg Badan Pengembangan Wilayah Surabaya ~ Madura. Pembahasan Progres Penyusunan Raperpres Pengelolaan Kawasan Strategis Nasional Cagar Budaya Candi Borobudur. a ee aL) fe

You might also like