You are on page 1of 160

ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK

DI KALANGAN PETANI
(Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Propinsi Jawa Tengah)

AERO WIDIARTA
I34063414

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRACT
AERO WIDIARTA. THE SUSTAINABILITY ANALYSIS OF ORGANIC
FARMING PRACTICE AMONG FARMERS. Case: Ketapang Village, Susukan
Subregency, Semarang Regency, Central Java. (Supervised by SOERYO
ADIWIBOWO and WIDODO).
The objectives of this research are: (1) to analyze the influence of organic
farming practice to the economic sustainability of farmers; (2) to compare the
complexity level of organic farming practice and conventional farming practice
based on farmers perception; and (3) to investigate causal factors regarding why
organic farming practice is not widely adopted by farmers. This research was
conducted by using quantitative approach at Ketapang Village, Susukan
Subregency, Semarang Regency, Central Java on November-December 2010. The
number of respondents in this research was 79 people from the total population
target of farmers. The selected respondents determined through stratified random
sampling and simple random sampling technique afterwards. The respondents
were devided into two groups: experimental group (organic farmers) and control
group (conventional farmers).
The kinds of data in this research were: primary quantitative data which
collected by spreading questionnaire to the respondents; secondary data from AlBarokahs document; and also supported with primary qualitative data which
gathered from in depth interview technique. The data were analyzed by using
Paired Samples T-test and Kolmogorov-Smirnov Test, supported with SPSS
Program for Windows Version 17.0. The results of this research show that
organic farming practice has significant positive influence to the economic
sustainability of farmers. Nevertheless, organic farming practice is considered
more complex or difficult significantly than conventional farming practice based
on control groups perception. Conversely, the fact above doesnt valid for
experimental group. There are several causal factors regarding why organic
farming practice is not widely adopted by farmers, such as: pragmatic mindset of
farmers in viewing organic farming practice and ecological sustainability;
farmers are not satisfied if they only use organic fertilizers for rice that make its
leaf green color become less visible; organic farming practice doesnt ensure
pest-free; the use of organic fertilizer is more difficult than synthetic fertilizer;
and a large part of farmers have inadequate supply of manures. Socio-economic
characteristic of farmers consisting of: education level, agricultural land
ownership status, and livestock ownership are also revealed as influential factors
to the organic farming decision process.
Keywords: organic farming practice, farmers, sustainability, analysis.

RINGKASAN
AERO WIDIARTA. ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DI KALANGAN PETANI. Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan
Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. (Di bawah bimbingan
SOERYO ADIWIBOWO dan WIDODO).
Pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang memanfaatkan
sumber daya alam organik secara alami, bijaksana dan holistik, sebagai input
dalam pertanian tanpa input luar tinggi kimiawi untuk memenuhi kebutuhan
manusia khususnya pangan. Pertanian organik dikembangkan sesuai budaya lokal
setempat, sehingga mampu menjamin keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi,
sosial budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara
berkelanjutan. Gerakan organik melalui pertanian organik telah lama diinisiasi
oleh berbagai pihak di level internasional, sebagai salah satu wujud perlawanan
dari pembangunan pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan dan sering
disebut sebagai Revolusi Hijau. Gerakan organik kemudian berkembang
menjadi sebuah filosofi yang diimplementasikan dalam sistem pertanian secara
holistik, sehingga muncullah istilah pertanian organik sebagai sebuah alternatif
sistem pertanian yang berkelanjutan.
Perkembangan pertanian organik cukup pesat di dunia bahkan praktik
pertanian ini sudah diadopsi di Indonesia. Perkembangan pertanian organik di
Indonesia banyak didukung oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), ilmuwan, hingga pemerintah melalui programnya Go Organic 2010.
Banyak ilmuwan yang sudah membuktikan manfaat pertanian organik, baik
dilihat dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Praktik pertanian
organik dinyatakan oleh banyak kalangan mampu menjamin keberlanjutan
ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial. Namun, ironisnya praktik pertanian
organik di Indonesia belum berkembang cukup pesat yang terlihat dari data-data
statistik tentang luas lahan pertanian organik dan jumlah produsen pertanian
organik yang relatif sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Padahal,
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi salah satu produsen
organik terbesar di dunia. Realita yang menunjukkan bahwa sangat sedikit petani

iv

yang mengadopsi praktik pertanian organik inilah yang kemudian menjadi sebuah
pertanyaan besar, apakah pertanian organik memiliki keberlanjutan pada masa
yang akan datang di kalangan petani, atau hanya merupakan sebuah retorika. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di
kalangan petani.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keberlanjutan praktik
pertanian organik di kalangan petani dengan menguji pengaruh praktik pertanian
organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani; membandingkan tingkat
kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani,
serta mengidentifikasi kendala atau faktor penyebab kurang berkembangnya
praktik pertanian organik di kalangan petani. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survey eksperimen di Desa
Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah pada
bulan November sampai Desember 2010. Unit analisis penelitian ini adalah
individu. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif, baik
berupa data primer maupun sekunder. Data kuantitatif dikumpulkan melalui
teknik pengisian kuesioner oleh para responden penelitian, sedangkan data
kualitatif dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam dengan informan dan
beberapa responden penelitian. Jumlah responden penelitian ini ditentukan
melalui perhitungan rumus Slovin dan didapatkan 79 orang petani yang dijadikan
sebagai responden penelitian dari total populasi petani sebanyak 372 orang di
Paguyuban Petani Al-Barokah (populasi sasaran).
Responden penelitian terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen (petani organik) dan kelompok kontrol (petani konvensional) dengan
jumlah masing-masing: 14 orang dan 65 orang. Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling)
karena populasi tidak homogen, lalu responden dipilih melalui teknik simple
random sampling (pemilihan acak sederhana). Data-data kuantitatif primer diolah
dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan SPSS 17 for Windows.
Data-data tersebut kemudian dianalisis secara statistik melalui uji Paired Samples
T-test

untuk

mengetahui

pengaruh

praktik

pertanian

organik

terhadap

keberlanjutan ekonomi petani. Selain itu, data-data kuantitatif primer juga

dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui perbandingan


tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi
petani. Data kualitatif hasil wawancara mendalam, dianalisis secara kualitatif
untuk dideskripsikan dalam laporan penelitian (skripsi).
Berdasarkan

hasil

perhitungan

uji Paired

Samples

T-test

yang

membandingkan keuntungan rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik,


diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari
0,05 yang berarti, praktik pertanian organik berpengaruh secara signifikan
terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Pengaruh tersebut bersifat positif karena
nilai rataan (mean) keuntungan usahatani sesudah organik lebih besar daripada
nilai mean keuntungan usahatani sebelum organik yang diuji pada kelompok
eksperimen. Selain itu, berdasarkan analisis finansial usahatani, didapatkan nilai
B/C Rasio sebesar 1,7 pada usahatani sesudah organik dan 0,9 pada usahatani
sebelum organik. Nilai B/C rasio tersebut membuktikan bahwa usahatani organik
layak secara ekonomi, sedangkan usahatani sebelum organik (konvensional) tidak
layak secara ekonomi karena nilai B/C Rasionya kurang dari 1. Dengan demikian,
hipotesis pertama dari penelitian ini yang menyatakan bahwa praktik pertanian
organik diduga berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan
ekonomi petani terbukti benar dan diterima.
Hasil analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional
menurut persepsi kelompok petani organik, menunjukkan bahwa tingkat
kompleksitas praktik pertanian organik tidak berbeda secara signifikan dengan
tingkat kompleksitas praktik pertanian konvensional. Hal ini berdasarkan nilai
signifikansi variabel praktik pertanian yang diuji, mayoritas lebih besar dari 0,05
dan berarti, hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat
kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan
daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani, tidak terbukti
dan ditolak untuk kelompok eksperimen. Sementara itu, nilai signifikansi tingkat
kompleksitas semua variabel praktik pertanian yang diuji pada kelompok kontrol,
adalah 0,000 dan nilai ini lebih kecil dari 0,05. Selain itu, nilai mean tingkat
kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih tinggi daripada
praktik pertanian konvensional. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, maka

vi

hipotesis kedua dari penelitian ini, yaitu: tingkat kompleksitas praktik pertanian
organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian
konvensional menurut persepsi petani, terbukti benar dan diterima untuk
kelompok kontrol.
Hipotesis pengarah penelitian yang menyatakan: praktik pertanian organik
tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional dan
dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani, juga terbukti benar
berdasarkan hasil penelitian ini. Meskipun demikian, ada beberapa faktor lain
yang menyebabkan petani tidak banyak mengadopsi praktik pertanian organik di
Desa Ketapang, antara lain: (1) pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap
praktik pertanian organik dan rendahnya kesadaran para petani terhadap
kelestarian lingkungan; (2) petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk
organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat; (3) praktik
pertanian organik tidak menjamin bebas hama; (4) penggunaan pupuk organik
lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik; (5) sebagian petani tidak memiliki
pasokan pupuk kandang; (6) banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus
sebagai buruh tani, sehingga mereka harus mengejar target hasil panen dari petani
pemilik lahan; (7) sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan
besar sudah tercemar oleh bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional
di sekitarnya; (8) tingkat produktivitas pertanian organik lebih rendah daripada
pertanian konvensional, sehingga jumlah hasil panen kurang memuaskan
khususnya pada masa-masa awal bertani organik. Keberlanjutan praktik pertanian
organik di kalangan petani khususnya petani di Desa Ketapang, masih rendah
berdasarkan tingkat adaptasinya (adaptable), sehingga tidak banyak petani yang
mengadopsi praktik pertanian organik. Hal ini terlihat dari hasil analisis
kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani
yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK


DI KALANGAN PETANI
(Kasus : Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Propinsi Jawa Tengah)

AERO WIDIARTA

Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama

: Aero Widiarta

NRP

: I34063414

Departemen

: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul Skripsi

: Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di


Kalangan Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan
Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing 1

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS


NIP. 19550630 198103 1 003

Dosen Pembimbing 2

Dr. Ir. Widodo


NIP. 19591115 198503 1 003

Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS


NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Kelulusan:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL


ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI
KALANGAN

PETANI

(KASUS:

DESA

KETAPANG,

KECAMATAN

SUSUKAN, KABUPATEN SEMARANG, PROPINSI JAWA TENGAH)


BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU
LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI
INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK

LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN

RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Maret 2011

Aero Widiarta
I34063414

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Probolinggo pada tanggal 17 September 1987 sebagai anak
kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Sarwiyono dan Ibu Nuniek
Kartikowati. Penulis menyelesaikan pendidikannya di TK Dharma Wanita Gresik
pada tahun 1993, SDN Manyarejo pada tahun 1993-1999, SLTPN 1 Gresik pada
tahun 1999-2002, dan SMAN 1 Gresik pada tahun 2002-2005. Setelah lulus dari
jenjang pendidikan SMA, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Udhayana, Bali pada tahun 2005. Pada
tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun kedua
di IPB, penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dengan program minor
Kewirausahaan Agribisnis pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen (FEM).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan
organisasi, antara lain: fasilitator Dormitory English Community IPB (2006-2007),
anggota Divisi Konservasi Reptil dan Amfibi Uni Konservasi Fauna IPB (20062007), bendahara Departemen Eksternal International Association of Students in
Agricultural and Related Sciences (IAAS) Local Committee (LC) IPB (20072008), wakil ketua Divisi Pengembangan Masyarakat Samisaena IPB (2008),
anggota Divisi Produksi Agrifarma IPB (2008), ketua panitia Communication and
Community Development Expo (2009), manajer Divisi Jurnalistik Himasiera IPB
(2009), Koordinator Volunteer for Climate Justice (2010), anggota Control
Council Local Committee (CCLC) IAAS LC IPB (2011), dan lain-lain. Selain itu,
penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum pada tahun
ajaran 2008/2009 dan 2009/2010 serta Komunikasi Bisnis pada tahun ajaran
2008/2009.
Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis, antara lain: lulusan
terbaik dan pelajar teladan SDN Manyarejo (1999), juara 2 lomba diba dan
puitisasi se- Kabupaten Gresik (2002), kandidat Chapter AFS Surabaya Year
Program 2004-2005, kandidat nasional Mext Program Jepang (2004), pembaca

xi

berita bahasa Jawa terbaik se- SMAN 1 Gresik, grand finalis Cak Gresik (Duta
Wisata Gresik) tahun 2004, juara 3 lomba presenter se- IPB tahun 2006, juara 1
lomba teater se- IPB tahun 2008, semifinalis Bayer Young Environmental Envoy
Indonesia (2008), student paper presenter IASS (The 1st International
Agricultural Students Symposium) di Universiti Putra Malaysia (2009), delegasi
mahasiswa IPB untuk MYC (Miracle Youth Conference) di AIESEC LC
Universiti Putra Malaysia (2009), student paper presenter Go Organic Symposium
di Bangkok, Thailand (2009), dan lain-lain. Selain itu, penulis juga aktif menjadi
presenter, moderator, pembicara, dan pengisi hiburan di beberapa acara, baik di
dalam maupun di luar kampus IPB.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan
Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Propinsi Jawa Tengah) dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Selain itu, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sampai
sejauh mana keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani yang
dilihat berdasarkan aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktik pertanian
organik menurut petani. Skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi penelitian
selanjutnya terkait pertanian organik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang ikut membantu
penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung selama proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan
skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini belumlah sempurna, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga
skripsi ini dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca
secara umum, akademisi, dan aktivis pertanian organik yang memiliki visi
mengembangkan pertanian organik di Indonesia.

Bogor, Maret 2011

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Analisis Keberlanjutan
Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan
Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah) ini berhasil diselesaikan.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain:
1)

Bapak Sarwiyono dan Ibu Nuniek Kartikowati sebagai orang tua yang
senantiasa memberikan kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan kepada
penulis, baik secara materi maupun non materi.

2)

Kakak tercinta, Adhi Tyan Wijaya beserta istri, Naimatus Sholichah yang
selalu memberikan dorongan dan saran kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.

3)

Om Darnoko yang telah membantu penulis selama proses pra penelitian.

4)

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Dr. Ir. Widodo atas kesabarannya dalam
membimbing penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga
skripsi ini selesai.

5)

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA selaku dosen penguji utama dalam


sidang skripsi.

6)

Ir. Hadiyanto, M.Si selaku dosen penguji perwakilan departemen dalam


sidang skripsi.

7)

Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS yang telah membuat jadwal sidang skripsi
secara paksa kepada penulis, sehingga penulis termotivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.

8)

Dr. Ir. Henny Mayrowani, M.Sc yang telah memberikan pandangan kepada
penulis mengenai kriteria pertanian organik.

9)

Mas Ayip dari lembaga KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan)
yang telah membantu penulis mencari lokasi penelitian yang tepat.

xiv

10) Mbak Nunung dari lembaga AOI (Aliansi Organis Indonesia) yang telah
memberikan rekomendasi kontak rekan-rekannya dan pinjaman beberapa
literatur kepada penulis terkait dengan pertanian organik.
11) Mas Andreas dari lembaga ELSPAT yang telah berkenan meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.
12) Pak Ndindin, dan Kang Erik atas kesediaannya memberikan informasi kepada
penulis mengenai perkembangan pertanian organik di Desa Cibatok,meskipun
pada akhirnya penulis tidak melakukan penelitian di desa tersebut.
13) Pak Mustofa atas bimbingan dan data-data yang diberikan kepada penulis
selama penelitian di Desa Ketapang.
14) Pak Muslikh Masum sekeluarga yang telah berkenan mengizinkan penulis
untuk tinggal dan makan seperti keluarga sendiri di rumah beliau selama
penelitian di Desa Ketapang. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak
sekeluarga.
15) Semua petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah atas
informasi, keramahan, dan jamuan yang diberikan kepada penulis selama
penelitian.
16) Mbak Maria, Mbak Icha, Mbak Dini, Bu Susi yang sering direpotkan oleh
penulis terkait administrasi dan kesekretariatan.
17) Sahabat-sahabatku tercinta, seperti: Aliyatur Ropiah, Dedi Mulyana, Elhaq,
Rinaldi, Yuli, Nova, Maulani, Dewi, Windarti, Ifah, Asri, Wulan, Ani, Isma,
Ogi, dan Bedhil yang selalu memberikan semangat, dorongan, saran, dan
bantuan teknis dalam pengerjaan skripsi ini.
18) Teman-teman seperjuangan mahasiswa Departemen SKPM 43 yang tidak
dapat disebutkan satu persatu atas kebersamaan, perhatian, dan keceriaannya
selama ini, sehingga hidup tidak terasa membosankan bagi penulis.
19) Rekan-rekan kerja di organisasi IAAS LC IPB atas kebersamaan dan suasana
hangat yang diberikan selama ini, sehingga penulis tidak merasa sendirian.
20) Serta semua pihak yang ikut membantu terselesaikannya skripsi ini.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .........................................................................................................xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxii
BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 5
1.4.1. Kegunaan Teoretis ..................................................................5
1.4.2. Kegunaan Praktis ....................................................................5

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS ................................................................7


2.1. Tinjauan Pustaka ..............................................................................7
2.1.1. Konsep dan Definisi Pertanian Organik .................................7
2.1.2. Prinsip-prinsip Pertanian Organik ........................................10
2.1.3. Pertanian Organik Versus Pertanian Berkelanjutan..............11
2.1.4. Praktik Pertanian Organik di Indonesia ................................13
2.1.5. Pengertian Keberlanjutan Ekologi ........................................17
2.1.6. Pengertian Keberlanjutan Ekonomi ......................................18
2.1.7. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap
Keberlanjutan Ekologi dan Ekonomi Petani ........................20
2.1.7.1. Keberlanjutan Ekologi .............................................20
2.1.7.2. Keberlanjutan Ekonomi ...........................................23
2.1.8. Perkembangan dan Kondisi Pertanian Organik
di Indonesia ...........................................................................26
2.1.9. Proses Pengambilan Keputusan Inovasi ...............................31
2.2. Kerangka Pemikiran .......................................................................32
2.3. Hipotesis Penelitian ........................................................................35
2.3.1. Hipotesis Uji .........................................................................35
2.3.2. Hipotesis Pengarah ...............................................................36
2.4. Definisi Operasional .......................................................................36

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................39


3.1. Metode Penelitian ..........................................................................39
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..........................................................39
3.3. Teknik Pengumpulan Data .............................................................40
3.4. Teknik Pengambilan Responden dan Informan..............................40
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................... 42
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...............................44
4.1. Gambaran Umum Desa Ketapang ..................................................44

xvi

4.1.1. Kondisi Geografis .................................................................44


4.1.2. Kondisi Kependudukan dan Kehidupan Beragama ..............45
4.1.3. Tingkat Pendidikan Penduduk ..............................................46
4.1.4. Mata Pencaharian Penduduk .................................................46
4.1.5. Ketersediaan Fasilitas Umum ...............................................47
4.2. Profil Paguyuban Petani Al-Barokah .............................................51
4.2.1. Visi dan Misi .........................................................................53
4.2.2. Tujuan Strategis ....................................................................54
4.2.3. Tujuan Operasional ...............................................................54
4.2.4. Program Kerja Utama ...........................................................55
4.2.5. Kegiatan-kegiatan yang Telah Dilaksanakan .......................58
4.2.5.1. Kegiatan Fisik..........................................................58
4.2.5.2. Kegiatan Ekonomi ...................................................59
4.2.6. Produk Unggulan ..................................................................60
4.3. Karakteristik Responden Penelitian................................................61
4.3.1. Jenis Kelamin ........................................................................61
4.3.2. Tingkat Pendidikan ...............................................................62
4.3.3. Umur .....................................................................................63
4.3.4. Jenis Mata Pencaharian Selain Bertani .................................65
4.3.5. Status Petani dan Jumlah Anggota Keluarga ........................66
4.3.6. Kepemilikan Hewan Ternak .................................................68
4.3.7. Penggunaan Hasil Panen .......................................................69
4.3.8. Jenis Tanaman yang Dibudidayakan Selain Padi .................70
BAB V

PENGARUH PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK TERHADAP


KEBERLANJUTAN EKONOMI PETANI ..................................... 72
5.1. Analisis Tingkat Input dan Output Usahatani Organik dan
Konvensional ..................................................................................72
5.2. Analisis Finansial Usahatani Organik dan Konvensional ..............79
5.3. Analisis Akses Pasar Usahatani Organik dan Konvensional .........87
5.4. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan
Ekonomi Petani ..............................................................................89

BAB VI ANALISIS KOMPLEKSITAS PRAKTIK PERTANIAN


ORGANIK DAN KONVENSIONAL MENURUT PERSEPSI
PETANI ............................................................................................... 92
6.1. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan
Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik
(Responden Eksperimen)................................................................96
6.2. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan
Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani
Konvensional (Responden Kontrol) .............................................100
BAB VII ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DI KALANGAN PETANI ............................................105

xvii

BAB VIII PENUTUP .........................................................................................113


8.1. Kesimpulan ..................................................................................113
8.2. Saran ............................................................................................116
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................119
LAMPIRAN ........................................................................................................121

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman
Teks

Tabel 1. Perbandingan Anatomi Konsep Pertanian Organik dan Konvensional .. 9


Tabel 2. Perbandingan Ekonomi, Sosial serta Kesehatan Pertanian Organik
dan Konvensional ................................................................................. 10
Tabel 3. Luas Area Pertanian Organik Menurut Region, Tahun 2007 ................28
Tabel 4. Daftar Negara dengan Luas Area Pertanian Organik Terbesar
di Asia, Tahun 2007.............................................................................. 28
Tabel 5. Definisi Operasional untuk Analisis Pengaruh Praktik Pertanian
Organik (Variabel X) terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani
(Variabel Y) .......................................................................................... 37
Tabel 6. Definisi Operasional untuk Analisis Tingkat kompleksitas Praktik
Pertanian Organik (Variabel X) Menurut Persepsi Petani ....................38
Tabel 7. Jumlah Populasi dan Responden Penelitian ..........................................42
Tabel 8. Luas dan Persentase Lahan Desa Ketapang Berdasarkan
Penggunaannya, Tahun 2007 ................................................................ 44
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan
Kelompok Umur, Tahun 2007 ............................................................ 45
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan
Tingkat Pendidikan, Tahun 2007.......................................................... 46
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Mata
Pencaharian, Tahun 2007 ..................................................................... 47
Tabel 12. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Transportasi Darat Desa
Ketapang, Tahun 2007 .......................................................................... 48
Tabel 13. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Komunikasi Desa Ketapang,
Tahun 2007 ........................................................................................... 48
Tabel 14. Ketersediaan Prasarana Air Bersih Desa Ketapang, Tahun 2007 .........49

xix

Tabel 15. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Peribadatan Desa Ketapang,


Tahun 2007 ........................................................................................... 49
Tabel 16. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Olahraga Desa Ketapang,
Tahun 2007 ........................................................................................... 49
Tabel 17. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Kesehatan Desa Ketapang,
Tahun 2007 ........................................................................................... 50
Tabel 18. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Pendidikan Desa Ketapang,
Tahun 2007 ........................................................................................... 50
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis
Kelamin di Desa Ketapang, Tahun 2010 .............................................. 62
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Desa Ketapang, Tahun 2010.......................................... 63
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan
Kelompok Umur di Desa Ketapang, Tahun 2010 ................................ 65
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Mata
Pencaharian selain Bertani di Desa Ketapang, Tahun 2010 ................. 66
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Status
Petani di Desa Ketapang, Tahun 2010.................................................. 67
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis
Kepemilikan Hewan Ternak di Desa Ketapang, Tahun 2010 .............. 69
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan
Penggunaan Hasil Panen di Desa Ketapang, Tahun 2010 .................... 70
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis
Tanaman yang Dibudidayakan selain Padi di Desa Ketapang,
Tahun 2010 ........................................................................................... 71
Tabel 27. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan
Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok
Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah,
Tahun 2010 ........................................................................................... 73
Tabel 28. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan
Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok
Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010................ 74

xx

Tabel 29. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan


Rata-rata Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha
per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional,
Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .......................................... 81
Tabel 30. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan
Rata-rata Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha
per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional,
Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .......................................... 81
Tabel 31. Daftar Harga Jual Padi Organik dan Konvensional menurut
Bentuk Padi di Desa Ketapang, Tahun 2010 ........................................ 84
Tabel 32. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing
Variabel Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Organik,
Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .......................................... 97
Tabel 33. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel
Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Konvensional, Desa
Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 ................................................. 102

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman
Teks

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian


Organik di Kalangan Petani ................................................................ 33
Gambar 2. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas
Variabel Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut
Persepsi Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah,
Tahun 2010 ......................................................................................... 96
Gambar 3. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas
Variabel Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut
Persepsi Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa
Tengah, Tahun 2010.......................................................................... 101

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman
Teks

Lampiran 1. Hasil Uji Paired Samples T-test Pengaruh Praktik Pertanian


Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani.......................... 122
Lampiran 2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik
Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah,
Tahun 2010 .................................................................................... 123
Lampiran 3. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik
Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah,
Tahun 2010 .................................................................................... 125
Lampiran 4. Kerangka Sampling Penelitian ........................................................127
Lampiran 5. Daftar Nama Responden Penelitian.................................................137

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pertanian organik dipahami sebagai suatu sistem produksi pertanaman
yang berazaskan daur ulang hara secara hayati (Sutanto, 2002). Menurut CAC
(1999)1, pertanian organik merupakan keseluruhan sistem pengelolaan produksi
yang mendorong dan mengembangkan kesehatan agro ekosistem, termasuk
keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas biologis tanah. Pertanian ini
menekankan pada praktik-praktik pengelolaan yang mengutamakan penggunaan
input off-farm dan memperhitungkan kondisi regional sistem yang disesuaikan
secara lokal. Pertanian organik merupakan salah satu metode produksi yang
ramah lingkungan, sehingga dapat menjamin keberlanjutan ekologi, sesuai dengan
filosofi kembali ke alam atau selaras dengan alam.
Pertanian organik pada mulanya merupakan sebuah gerakan yang
dipopulerkan di Uni Eropa, sebagai wujud perlawanan dari pembangunan
pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan atau produktivitas yang sering
disebut

sebagai

Revolusi

Hijau.

Sistem

pertanian

organik

berusaha

memperbaiki dampak negatif dari Revolusi Hijau dengan berpijak pada


kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi yang memperhatikan
kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas
yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Gerakan organik kemudian
berkembang menjadi sebuah filosofi yang diimplementasikan dalam sistem
pertanian secara holistik, sehingga muncullah istilah pertanian organik sebagai
sebuah alternatif sistem pertanian yang berkelanjutan.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia dimulai pada awal 1980-an
yang ditandai dengan bertambahnya luas lahan pertanian organik, dan jumlah
produsen organik Indonesia dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Statistik
Pertanian Organik Indonesia (SPOI) yang diterbitkan oleh Aliansi Organis
Indonesia (AOI) tahun 2009, diketahui bahwa luas total area pertanian organik di
1

Definisi berdasarkan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang dikutip dari


http://melileafood.multiply.com/journal/item/6

Indonesia tahun 2009 adalah 231.687,11 ha. Luas area tersebut meliputi luas lahan
yang tersertifikasi, yaitu 97.351,60 ha (42 persen dari total luas area pertanian
organik di Indonesia) dan luas lahan yang masih dalam proses sertifikasi (pilot
project AOI), yaitu 132.764,85 ha (57 persen dari total luas area pertanian organik
di Indonesia). Luas total area pertanian organik tahun 2008 jauh lebih besar
daripada tahun 2009, yaitu sekitar 235.078,16 ha. Sementara itu, total jumlah
pelaku pertanian organik yang tercatat pada tahun 2009 adalah 12.101 produsen
yang terdiri dari: 9.628 produsen tersertifikasi, sedangkan sisanya adalah 2.383
produsen non sertifikasi, 80 produsen dalam proses sertifikasi, dan 10 produsen
PAMOR (Penjaminan Mutu Organis Indonesia yang merupakan salah satu bentuk
sistem sertifikasi partisipasi).
Perkembangan pertanian organik ternyata juga diikuti oleh perkembangan
trend atau gaya hidup organik masyarakat yang mensyaratkan konsumsi produkproduk organik. Hal ini kemudian mendorong isu sertifikasi sebagai jaminan atas
dipraktikkannya pertanian organik yang menjadi sebuah pembicaraan hangat dari
tahun 2003. Semakin terbukanya pasar organik, ternyata masih belum membuat
Indonesia cukup mampu menjadi produsen utama produk organik di dunia jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti: India, Amerika Serikat, dan
Argentina. Padahal, Indonesia sebagai negara agraris sebenarnya memiliki potensi
yang sangat besar untuk menjadi produsen organik di level internasional.
Sementara itu, jumlah pelaku pertanian organik di Indonesia yang telah
tersertifikasi relatif sedikit, demikian pula dengan jumlah total area pertanian
organik di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan lagi.
Rendahnya jumlah produsen dan luas lahan organik di Indonesia
khususnya di kalangan petani, ternyata tidak hanya sekedar isapan jempol yang
dilaporkan dalam data-data statistik, tetapi juga diperkuat oleh bukti nyata di
lapangan yang didapatkan oleh penulis selama survey pra penelitian. Berdasarkan
survey lapang pada bulan Juni hingga Juli 2010 di wilayah Kota dan Kabupaten
Bogor, diketahui bahwa jumlah petani organik di setiap desa yang dikunjungi,
seperti: Desa Cibatok, Desa Cibereum Situleutik, Kelurahan Situgede, Kelurahan
Mulyaharja, dan Kelurahan Sukaharja, sangat sedikit dibandingkan petani
konvensional. Jumlah tersebut hanya berkisar antara tiga sampai tiga belas orang

petani organik per desa. Sedangkan jumlah petani konvensional, relatif lebih
banyak dibandingkan petani organik, yaitu lebih dari dua puluh orang petani per
desanya meskipun belum ada laporan statistik secara resmi di tiap desa mengenai
hal ini. Realita tersebut sangat ironis atau bertolak belakang dengan teori
pertanian organik yang dikemukakan oleh para ahli. Banyak referensi atau teori
yang menyatakan bahwa pertanian organik berpengaruh positif terhadap
keberlanjutan ekologi, dan ekonomi petani. Namun, pada kenyataannya masih
banyak petani yang belum menjalankan praktik pertanian organik dan cenderung
mempertahankan praktik pertanian konvensional. Perbedaan nyata antara teori
dengan realita praktik pertanian organik di kalangan petani inilah kemudian
menimbulkan pertanyaan besar yang penting untuk diteliti lebih lanjut.
Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani
kemudian menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menjawab fenomena
di atas. Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani memang perlu
dipertanyakan karena masih sedikitnya jumlah petani organik di Indonesia.
Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik, dapat dilihat dari aspek
ekonomi, tingkat kompleksitas praktik budidayanya, dan alasan petani mengapa
mereka belum menerapkan praktik pertanian organik secara luas, sehingga
pertanian organik belum begitu berkembang di kalangan mereka. Analisis tersebut
sangat memungkinkan dilakukan pada komunitas petani organik yang telah
menjalankan praktik pertanian organik lebih dari tiga tahun di suatu desa, seperti
Desa Ketapang, lalu membandingkannya dengan praktik pertanian konvensional
di kalangan petani konvensional pada lokasi yang sama. Analisis keberlanjutan
praktik pertanian organik di kalangan petani, menjadi penting untuk diteliti karena
jika tidak segera diteliti, maka fenomena pertanian organik yang belum
berkembang di kalangan petani Indonesia, akan terus menjadi pertanyaan besar
yang tidak akan terjawab. Selain itu, ketersediaan data atau laporan penelitian
mengenai pertanian organik di Indonesia masih kurang, sehingga dapat
menghambat perkembangan informasi seputar pertanian organik khususnya di
kalangan petani.

1.2. Perumusan Masalah


Perkembangan pertanian organik di Indonesia selain diindikasikan oleh
data statistik, juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan gerakan-gerakan
organik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), khususnya yang berhubungan
dengan sistem sertifikasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari AOI,
Indonesia termasuk negara yang sedang dalam proses penyusunan kebijakan. Pada
praktiknya, telah dilakukan langkah-langkah penyusunan kebijakan untuk
mendukung perkembangan pertanian organik di Indonesia. Di tingkat nasional,
pemerintah telah membuat kebijakan

yang ditujukan untuk menumbuhkan,

memfasilitasi, mengarahkan, dan mengatur perkembangan pertanian organik


(Sulaeman, 2006). Departemen Pertanian telah mencanangkan pertanian organik
dengan slogan Go Organic 2010.
Tahun 2010 merupakan titik puncak agenda nasional Go Organic 2010
yang dicanangkan sejak tahun 2000 oleh Kementrian Pertanian Republik
Indonesia. Lalu, bagaimanakah capaian program Go Organic 2010? Menurut
laporan SPOI (2009), program Go Organic 2010 belum mencapai sasaran dan
tahapan yang diharapkan. Meskipun demikian, OKPO (Otoritas Kompeten
Pangan Organik) sudah melakukan berbagai upaya dalam mendukung
pengembangan pangan organik di Indonesia. Salah satu catatan kritis yang
dikemukakan dalam SPOI (2009) pada poin nomor empat terkait dengan Go
Organic 2010 adalah capaian lemah di aspek sosialisasi, penguatan sumberdaya
manusia, pembangunan infrastruktur dan kelembagaan serta dukungan informasi
dan promosi pasar. Berdasarkan informasi tersebut, terlihat bahwa permasalahan
di aspek sosialisasi dan dukungan informasi pertanian organik masih menjadi
kendala utama. Oleh karena itu, dukungan yang kuat, baik dari pemerintah
maupun stakeholders dalam penyediaan informasi, khususnya laporan penelitian
mengenai mengapa pertanian organik belum berkembang di kalangan petani
Indonesia sangat dibutuhkan, sehingga selanjutnya dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk proses pengambilan kebijakan pembangunan pertanian.
Berdasarkan kondisi perkembangan dan permasalahan pertanian organik
di Indonesia yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka penelitian ini
berfokus pada analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di aras petani lokal,

sebagai pembuktian dari salah satu pernyataan Rosenow, Soltysiak, dan


Verschuur (1996), yaitu: pertanian organik berdasarkan sifat-sifat dan metodenya,
mampu berkontribusi terhadap keseimbangan sosial, ekonomi, dan ekologi
dengan memperhatikan budaya lokal setempat. Dengan demikian, perumusan
masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1)

Bagaimana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan


ekonomi petani?

2)

Seberapa tinggi tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dibandingkan


dengan pertanian konvensional menurut petani?

3)

Mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan
ekonomi petani.
2) Menganalisis tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dibandingkan
dengan pertanian konvensional menurut petani.
3) Menjelaskan faktor-faktor penyebab praktik pertanian organik tidak banyak
diadopsi oleh petani.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu ekologi manusia, khususnya perkembangan praktik pertanian
organik di Indonesia beserta analisis keberlanjutannya di kalangan petani. Selain
itu, penelitian ini diharapkan mampu menjawab kendala perkembangan pertanian
organik di Indonesia, serta sebagai referensi atau rujukan pemikiran bagi peneliti
yang akan melakukan penelitian tentang pertanian organik lebih lanjut.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi
beberapa kalangan yang ingin mengembangkan pertanian organik di Indonesia,
antara lain:

1) Bagi kalangan pemerintahan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber


infomasi yang bermanfaat dalam proses sosialisasi pertanian organik kepada
petani di Indonesia, dan juga sebagai salah satu pertimbangan dalam
menentukan arah kebijakan pembangunan pertanian pada masa yang akan
datang.
2) Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu mendorong
berkembangnya penelitian pertanian organik lebih lanjut karena masih sangat
sedikitnya laporan penelitian mengenai pertanian organik khususnya di
bidang sosial.
3) Bagi kalangan aktivis yang berkecimpung dalam LSM, hasil penelitian ini
dapat menjadi salah satu pelengkap data mengenai analisis keberlanjutan
praktik pertanian organik di kalangan petani, sehingga dapat dijadikan
sebagai referensi kampanye, sosialisasi atau bahan diskusi yang bermanfaat.
4) Bagi masyarakat dan pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah informasi dan pengetahuan, serta dapat membuka pikiran mereka
mengenai fenomena praktik pertanian organik di Indonesia yang masih
membutuhkan partisipasi atau usaha pengembangan lebih lanjut dari
masyarakat, khususnya kalangan petani.

BAB II
PENDEKATAN TEORETIS

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Konsep dan Definisi Pertanian Organik
Sutanto (2002) menyatakan bahwa pertanian organik dipahami sebagai
suatu sistem produksi pertanaman yang berazaskan daur ulang hara secara hayati.
Sutanto selanjutnya dalam bukunya menyatakan:

Pakar pertanian barat menyebutkan bahwa sistem pertanian


organik merupakan hukum pengembalian (law of return) yang
berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua
jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan
limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan
memberi makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi
pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi
makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan
untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan
memberi makanan langsung pada tanaman.

Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah membatasi kemungkinan


dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi atau yang seringkali
disebut sebagai pertanian konvensional. Meskipun sistem pertanian organik
dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada
pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan hidup, termasuk
konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan akan
menghadapi banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan umum dan sosio-politik
sangat menentukan arah pengembangan sistem pertanian sebagai unsur
pengembangan ekonomi (Notohadiprawiro, 1992 dalam Sutanto, 2002). Sistem
pertanian organik mengajak manusia kembali ke alam, sambil tetap meningkatkan
produktivitas hasil tani melalui perbaikan kualitas tanah dengan tidak memakai
atau mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Pertanian organik menghargai
kedaulatan dan otonomi petani berdasarkan nilai-nilai lokal.
Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur (1996) menyatakan pertanian organik
dalam versi lain, yaitu merupakan sistem pertanian yang mempromosikan aspek

lingkungan, sosial, ekonomi, dengan memproduksi pangan dan serat. Sistem ini
memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami
tanaman, hewan, biofisik, landskap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas
semua faktor-faktor yang saling terintegrasi atau tergantung tersebut. Pertanian
organik menekankan praktik rotasi tanaman, daur ulang limbah-limbah organik
secara alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik
tersebut dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh
karena itu, pertanian organik bisa dikatakan sebagai dasar produksi hasil
pertanian, dasar untuk peternakan hewan, dasar untuk keseimbangan ekologi
secara alami.
Berdasarkan beberapa konsep dan definisi pertanian organik yang telah
dijelaskan di atas, maka secara umum penulis dapat menyimpulkan bahwa
pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang mengelola sumber daya
alam secara bijaksana dan holistik untuk memenuhi kebutuhan manusia
khususnya pangan, dengan memanfaatkan bahan-bahan organik secara alami
sebagai input dalam pertanian tanpa input luar tinggi yang bersifat kimiawi,
dan dikembangkan sesuai budaya lokal setempat, sehingga mampu menjaga
keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, serta mendorong
terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Filosofi Pertanian
organik adalah siklus kehidupan menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras
dengan alam, melayani alam secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan
memberikan hasil produksi pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi,
hubungan ini bersifat timbal balik.
Terdapat perbedaan yang mencolok antara pertanian organik dan
konvensional, baik secara anatomi maupun ekonomi. Perbedaan antara pertanian
organik dan konvensional secara anatomi, dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1. Perbandingan Anatomi Konsep Pertanian Organik dan Konvensional


Uraian
Perlakuan Pra
produksi
sampai Pasca
produksi

Pertanian Organik

Pertanian Konvensional

Dilakukan secara tradisional tanpa


menggunakan alat-alat mekanisasi
yang dapat merusak kesuburan tanah.

Menggunakan alat-alat semi


sampai full mekanis dalam setiap
tahap pekerjaan.

Bibit

Berasal dari varietas bibit-bibit lokal.

Berasal dari bibit unggul, hibrida,


dan transgenik (transformasi gen).

Pola tanam

Ditanam secara tumpangsari, pergiliran


tanaman, dan sebagainya (mix
cropping).

Monokultur (satu jenis tanaman


pada satu hampar lahan).

Pengairan

Sederhana dan berkelanjutan

Bentuk fisik
tanaman

Kokoh, tidak mengandung banyak air.

Umur tanaman
Pertumbuhan

Panjang
Agak lambat, karena tumbuh secara
alami.

Resistensi
hama penyakit

Tahan hama dan penyakit.

Pemupukan

Menggunakan bahan-bahan kimia


organis (asli dan mudah terurai secara
alami).

Hasil/kualitas
produksi

Beraneka ragam, berkualitas tinggi,


bebas residu kimia beracun,
mengandung gizi yang seimbang, tahan
disimpan lama, dan sebagainya.

Rasa

Enak (aromatik)

Mekanis, sehingga mempercepat


pengurasan air yang tersedia pada
lahan.
Lemah, mengandung banyak air,
sehingga mudah diserang hama
dan penyakit.
Pendek
Cepat tumbuh
Mudah diserang hama dan
penyakit.
Kimia non-organis (sintetis,
sehingga sulit terurai dan
menimbulkan timbunan senyawa
baru yang merusak keseimbangan
biokhemis tanah).
Sejenis, kurang berkualitas,
mengandung residu kimia
berbahaya, kandungan gizi tidak
berimbang, dan tidak tahan untuk
disimpan lama.
Kurang enak (tawar)

Sumber: Data-data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman
dari petani-petani organik yang menjadi rekanan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000.

Perbedaan antara pertanian organik dan konvensional secara ekonomi, dapat


dilihat pada Tabel 2.

10

Tabel 2. Perbandingan Ekonomi, Sosial serta Kesehatan Pertanian Organik dan


Konvensional
Uraian
Pilihan
konsumen
Harga
Risiko
kegagalan
usahatani
Kerusakan
ekosistem
lahan

Pertanian Organik

Lebih adil, karena pola pasar dari


produsen langsung ke konsumen.

Pertanian Konvensional
Kurang disukai, karena kurang
enak.
Relatif, tergantung pedagang dan
distribusi yang bertingkat-tingkat.

Sedikit, karena ada tumpang sari,


rotasi.

Lebih besar dengan peningkatan


input serta wabah hama/penyakit.

Disukai konsumen.

Tidak ada, dan berkelanjutan.

Resiko sosial

Terbebas dari ketergantungan.

Resiko budaya

Kreatif dan menjunjung tinggi nilainilai tradisi dan kekuatan alam.

Resiko
kesehatan

Tidak ada

Lebih cepat, resistensi hama pada


pestisida, polusi, daur ulang
biokemis tanah tidak seimbang.
Menciptakan ketergantungan pada
petani dan lahan.
Efisien, malas, dan menimbulkan
sifat tamak dan serakah.
Pasti , keracunan secara akut atau
kronis.

Sumber: Data-data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman
dari petani-petani organik yang menjadi rekanan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000.

2.1.2. Prinsip-prinsip Pertanian Organik


Prinsip dasar pertanian organik berfungsi sebagai panduan posisi, program,
dan standar. Menurut IFOAM2 (2006), ada empat prinsip yang bersifat normatif
atau disusun sebagai etika dalam pengembangan pertanian organik. Keempat
prinsip pertanian organik tersebut adalah prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan
kepedulian yang menjadi satu kesatuan dan digunakan secara ketergantungan.
Prinsip-prinsip tersebut disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan
visi pertanian organik menjadi nyata. Berikut ini penjelasan untuk masing-masing
prinsip pertanian organik:
1)

Prinsip Kesehatan
Pertanian organik harus berkelanjutan dan mendorong kesehatan tanah,
tanaman, hewan, manusia, dan planet sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.

Jadi,

pertanian

organik

berperan

dalam

menjaga

dan

meningkatkan kesehatan ekosistem serta organisme yang terlibat di dalamnya


pada semua proses sistem usahataninya.

International Federation for Organic Agriculture Movement

11

2)

Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus diterapkan berdasarkan pada siklus dan sistem
ekologi kehidupan. Bekerja, meniru, dan berusaha memelihara sistem dan
siklus ekologi kehidupan sehingga dapat menjamin keberlanjutan ekologi.

3)

Prinsip Keadilan
Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin
keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.

4)

Prinsip Perlindungan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab
untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan
mendatang serta lingkungan hidup.

2.1.3. Pertanian Organik Versus Pertanian Berkelanjutan


Keberlanjutan menurut Reijntjes, Haverkort, dan Bayer (2006) dapat
diartikan sebagai menjaga agar suatu upaya terus berlangsung, atau
kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot. Dalam konteks
pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif
sekaligus tetap mempertahankan ketersediaan sumber daya. Technical Advisory
Committee of The CGIAR (1988) dalam Reijntjes, Haverkort, dan Bayer (2006)
menyatakan, pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang
berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah
sekaligus

mempertahankan

atau

meningkatkan

kualitas

lingkungan

dan

melestarikan sumber daya alam. Definisi lain tentang pertanian berkelanjutan


sebagaimana yang diungkapkan Reijntjes (1999) dalam Indriana (2010), yaitu
pertanian yang memenuhi syarat-syarat berikut ini: mantap secara ekologis, bisa
berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes.
Berdasarkan definisi pertanian berkelanjutan yang telah dikemukakan
pada paragraf di atas, maka sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi
berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, antara lain3:
1)

Aman menurut wawasan lingkungan, berarti kualitas sumberdaya alam dan


vitalitas keseluruhan agroekosistem dipertahankan, mulai dari kehidupan
3

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro Wongso Atmojo, MS. n.d. Degradasi lahan & Ancaman bagi
Pertanian. Solo: SOLO POS.

12

manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan.


Hal ini dapat dicapai apabila tanah dikelola dengan baik, kesehatan tanah dan
tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia maupun hewan
ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan
sedemikian

rupa

sehingga

dapat

menekan

kemungkinan

terjadinya

kehilangan hara, biomassa dan energi, serta menghindarkan terjadinya polusi.


Pertanian ini juga menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya terbarukan.
2)

Menguntungkan secara ekonomi, berarti petani dapat menghasilkan sesuatu


yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, termasuk pendapatan,
dan cukup memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan biaya
produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur
langsung berdasarkan hasil usaha taninya, tetapi juga berdasarkan fungsi
kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi
terhadap lingkungan.

3)

Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar


sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat
terpenuhi, demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama
dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan
memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam menentukan kebijakan, baik di lapangan maupun dalam
lingkungan masyarakat itu sendiri.

4)

Manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, berarti tanggap terhadap


semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia). Prinsip dasar semua
bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar
makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan
saling membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu
dipertahankan dan dilestarikan.

5)

Mudah diadaptasi (luwes), berarti masyarakat pedesaan atau petani mampu


dalam menyesuaikan perubahan kondisi usaha tani, misalnya: pertambahan
penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan
dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan, tetapi termasuk juga
inovasi sosial dan budaya.

13

Pertanian berkelanjutan bisa diwujudkan melalui berbagai macam sistem


usaha tani, termasuk pertanian organik yang menekankan daur ulang hara secara
alami, sehingga penggunaan input luar pertanian menjadi rendah. Berdasarkan
konsep dan definisi pertanian berkelanjutan, lalu setelah

membandingkannya

dengan konsep, definisi, dan prinsip-prinsip pertanian organik, maka dapat


dianalisis bahwa pertanian organik termasuk dalam kategori pertanian
berkelanjutan yang mampu menjamin kelangsungan atau keseimbangan ekologi,
ekonomi, dan sosial budaya. Pertanian organik mampu menjamin kelangsungan
ekologi karena sifatnya yang ramah lingkungan; menjamin keberlanjutan ekonomi
karena dapat mengoptimalkan usaha tani, sehingga dapat mencukupi kebutuhan
manusia khususnya petani sendiri; dan menjamin kehidupan sosial budaya karena
memperhatikan aspek budaya lokal dalam menjalankan usaha tani. Dengan
demikian, analisis terhadap keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan
petani, dapat dilihat berdasarkan kriteria-kriteria dalam pertanian berkelanjutan.
2.1.4. Praktik Pertanian Organik di Indonesia
Bentuk penerapan pertanian organik yang diterapkan di masing-masing
negara dan wilayah memiliki ciri dan sistem yang berbeda, tergantung kondisi
lokal atau budaya setempat. Hal ini mengingat bahwa penerapan pertanian organik
sangat menekankan pada pengetahuan lokal petani, mulai dari pengelolaan tanah,
pemilihan bibit lokal, sampai panen dan pasca panen. Semua sistem yang
digunakan saling terintegrasi satu sama lain, namun tetap berprinsip sama, yaitu
melarang penggunaan input luar tinggi yang bersifat kimiawi, atau penggunaan
bibit transgenik. Banyak praktik yang bisa diterapkan atau diadopsi dalam
pertanian organik berdasarkan kondisi dan budaya lokal setempat, apalagi
Indonesia yang terkenal dengan keanekaragaman hayati serta budayanya.
Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada data kuantitatif yang
menggambarkan persentase jenis metode ataupun bentuk penerapan pertanian
organik di daerah tertentu di Indonesia.
Beberapa sistem budidaya organik sederhana sebagai bentuk penerapan
pertanian organik yang bisa diadopsi oleh petani di Indonesia, antara lain4:
4

Informasi diperoleh dari Rachman Sutanto (2002) dalam bukunya yang berjudul
Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan dan Pengembangannya . Yogyakarta: Kanisius.

14

1)

Penerapan Pupuk Organik


Pupuk organik merupakan elemen penting dalam menjalankan sistem

pertanian organik sebagai pengganti pupuk kimia pada pertanian konvensional.


Pupuk organik ramah terhadap lingkungan karena bahan-bahannya berasal dari
limbah pertanian, peternakan (kotoran hewan), limbah penggergajian kayu,
limbah cair, rumput laut, dan lain-lain. Limbah pertanaman sebagai pupuk organik
bisa dibuat hingga menjadi pupuk yang siap pakai dengan komposisi atau
campuran tertentu bersama bahan-bahan lainnya. Pemanfaatan kotoran dan limbah
ternak sebagai sumber pupuk organik, biasa disebut sebagai pupuk kandang.
Pupuk kandang bisa berbentuk kering atau cair.
Pengolahan limbah organik bisa juga dimanfaatkan untuk kompos. Selama
proses pengomposan, akan terjadi proses mikrobiologis yang nantinya akan
muncul mikroba-mikroba aktif sehingga bisa diaplikasikan pada lahan untuk
meningkatkan produktivitas dan kesuburan tanah. Teknik yang terkenal dalam
pengelolaan kompos adalah Bokashi. Produktivitas tanah dapat ditingkatkan
hanya melalui pengelolaan lahan, tanah, dan tanaman secara terpadu. Usaha untuk
memperbaiki produktivitas tanah dengan memperhatikan semua faktor yang
berpengaruh dikenal sebagai membangun tanah secara terpadu. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan terkait dengan hal tersebut adalah membangun kesuburan
tanah, pengelolaan nutrisi/hara terpadu yang kemudian dikenal sebagai Sistem
Gizi Tanaman Terpadu (SGTT).
2)

Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu


Praktik pertanian organik bisa dikembangkan melalui pengelolaan

tanaman terpadu, misalnya: budidaya lorong (Alley Cropping) dan pertanian


sejajar kontur (Contour Farming), perencanaan hutan desa melalui sistem
agroforestry, usahatani terpadu LEISA (Low External Input and Sustainable
Agriculture), intensifikasi pekarangan, pengendalian hama dan penyakit dengan
menganekaragamkan tanaman budidaya dan tanaman pagar serta penggunaan
pestisida nabati (tumbuhan) atau hayati (mikroba), konservasi sumber daya
genetika, sistem pertanaman campuran dan pergiliran tanaman, sistem pertanaman
surjan yang cocok untuk daerah pasang surut atau rawan banjir, pertanianperikanan terpadu, pertanian-peternakan terpadu, bahkan pertanian-peternakan-

15

perikanan terpadu. Limbah padat dan limbah cair sebagai sumber pupuk organik
akan mendukung semua jenis pertanian terpadu. Limbah ini bisa berupa bagas
tebu, blotong, fermentasi slop (limbah cair pabrik alkohol), macam-macam limbah
agroindustri, sampah kota, biogas, atau limbah cair hasil fermentasi biogas. Selain
itu, tumbuhan air seperti Azolla pinnata, eceng gondok, alga biru, ganggang hijau
juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Untuk mendukung sistem
usahatani organik dan LEISA, diperlukan tanaman pupuk hijau seperti Calliandra
calothyrsus, Leucaena glauca yang mendukung di lahan karena hasil residu
tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk hijau.
3)

Pemanfaatan Pupuk Hayati dan Pupuk Hijau


Jenis pupuk lainnya yang ramah lingkungan adalah pupuk hayati yang

memanfaatkan

mikroorganisme

penambat

nitrogen,

yaitu

Rhizobium,

Azospirillum, Azotobakter, Cyanobakter. Mikroorganisme yang cukup penting


dalam memanfaatkan fosfat di dalam tanah, adalah Bacillus polymyxa,
Pseudomonas striata, Aspergillus awamori, Pencillium digitatum, Mikorisa,
Ektomikoriza, dan masih banyak lagi. Pemanfaatan pupuk hayati dapat
mempercepat penambatan nitrogen dalam tanah dan penyediaan unsur hara
penting lainnya bagi tanaman. Semua mikroorganisme penting dalam pupuk
hayati, bisa diinokulasi dalam jumlah yang cukup, sesuai kebutuhan dalam sistem
pertanian organik.
Pemupukan bisa juga didukung dengan pemanfaatan pupuk hijau. Metode
ini bukan merupakan hal yang baru karena sudah lama dikenal oleh petani lahan
kering dan lahan basah. Pupuk hijau atau disebut juga tanaman pembenah tanah
karena merupakan bahan terbaik untuk meningkatkan kandungan bahan organik
tanah (Sangatanan, 1989 dalam Sutanto, 2002). Pupuk hijau berarti memasukkan
bahan yang belum terdekomposisi ke dalam tanah yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas produksi tanaman. Pupuk hijau dimasukkan ke dalam
lapisan olah, dan hasilnya dapat dilihat pada tanaman berikutnya. Manfaat pupuk
hijau yang utama selain sebagai sumber bahan organik, juga sebagai sumber
nitrogen.
Tanaman pupuk hijau dapat ditanam dalam beberapa bentuk kombinasi
dan konfigurasi berdasarkan ruang dan waktu. Penggunaan tanaman pupuk hijau

16

yang umum dilaksanakan di Indonesia adalah: perbaikan tanah selama periode


pemberoan, budidaya lorong, memadukan legum pohon pada tanaman
perkebunan, pemberoan terkendali, mulsa hidup, dan tanaman naungan. Beberapa
jenis tanaman pupuk hijau yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kesuburan tanah, antara lain: Calliandra colothyrsus, Calopogonium mucunoides,
Canavalia ensiformis, Canavalia gladiata, Centrocema pubescens, Crotalaria
lanceolata, Dolichos lablab, Leucaena glauca, Mimosa invisa, Mucuna pruriens.
Pupuk hijau biasanya merupakan alternatif terakhir sebagai sumber pupuk karena
petani lebih senang memanfaatkan pupuk kandang atau membenamkan limbah
panen.
4)

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu serta Pemanfaatan Pestisida


Hayati
Pengendalian hama dan penyakit terpadu, harus memahami prinsip-prinsip

perlindungan tanaman, melalui praktik budidaya sebagai berikut: pengetahuan


agroekosistem; pertanaman campuran dan diversifikasi; pemanfaatan bentuk lahan
sebagai habitat predator hama; pergiliran tanaman; irama alam dan saat tanam
yang tepat; pemupukan dan kesehatan tanaman; pengolahan tanah; pemilihan
varietas; kesehatan tanah; gatra sosial; pengendalian hama dan penyakit secara
alami yang dapat dilakukan dengan pengendalian alami, perencanaan yang
matang, penjaminan kebersihan kondisi lahan, belajar memahami hama yang ada,
menggunakan teknik sederhana, menggunakan bahan beracun hanya dalam
keadaan terpaksa dalam jumlah sangat terbatas, membuang tanaman yang lemah
atau tumbuhnya kurang baik. Sementara itu, pemanfaatan pestisida hayati dapat
dimulai dari bahan tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikenal dengan baik,
misalnya ramuan untuk obat tradisional, bahan yang diketahui mengandung racun,
mempunyai kemampuan spesifik dalam menangani hama, dan lain-lain. Bahanbahan tersebut, selanjutnya diatur tingkat penggunaannya sesuai dengan
kebutuhan. Beberapa jenis pestisida hayati yang sering digunakan, antara lain:
bawang putih, jarak, jengkol, kecubung, lombok, mindi, nimba, pepaya,
tembakau.
5)

Pertanian Olah Tanah Minimum dan Tanpa Olah Tanah


Pertanian Olah Tanah Minimum (OTM) dan Tanpa Olah Tanah (TOT)

merupakan praktik pertanian masa depan sesuai dengan LEISA sehingga petani

17

tidak terlalu menghabiskan biaya untuk pengolahan tanah. Namun, hal ini hanya
bisa dilakukan apabila kondisi tanah sudah cukup baik atau stabil pasca perlakuan
kimiawi sehingga terlepas dari ketergantungan penggunaan input luar kimiawi.
Oleh karena itu, daur hara dalam tanah selanjutnya akan mengikuti alam secara
alami (organik) sehingga keberlanjutan sistem pertanian terjamin dan OTM atau
TOT bisa diterapkan.
2.1.5. Pengertian Keberlanjutan Ekologi
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Sedunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka (Soemarwoto, 2004). Keberlanjutan ekologi
merupakan

prasyarat

untuk

pembangunan

dan

keberlanjutan

kehidupan

sebagaimana yang dinyatakan oleh Jaya (2004)5. Keberlanjutan ekologi akan


menjamin keberlanjutan ekosistem bumi.
Menurut Jaya (2004), untuk menjamin keberlanjutan ekologi, perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1)

Memelihara integritas tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan


di bumi tetap terjamin dan sistem produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan
tanah, air, udara dan seluruh kehidupan berkelanjutan. Untuk melaksanakan
kegiatan yang tidak mengganggu integritas tatanan lingkungan, maka
hindarkan konversi alam dan modifikasi ekosistem, kurangi konversi lahan
subur dan kelola secara bijaksana. Selain itu, limbah yang dibuang tidak
melampaui daya asimilatif lingkungan.

2)

Memelihara keanekaragaman hayati pada keanekaragaman kehidupan yang


menentukan

keberlanjutan

proses

ekologi.

Terdapat

tiga

aspek

keanekaragaman hayati, yaitu: keanekaragaman genetika, spesies, dan


tatanan lingkungan. Untuk mengkonversikan keanekaragaman hayati
tersebut, kita harus menjaga ekosistem alam dan area yang representatif
tentang kekhasan sumberdaya hayati agar tidak dimodifikasikan, memelihara
seluas mungkin area ekosistem yang dimodifikasikan untuk keanekaragaman
5

Askar, Jaya2004. Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) .


Tugas Individu Semester Ganjil 2004, Pengantar Falsafah Sains. Program S3 IPB. Bogor: IPB.

18

dan keberlanjutan keanekaragaman spesies, konservatif terhadap konversi


lahan pertanian.
Upaya untuk menjamin keberlanjutan ekologi, sebaiknya tidak hanya menjadi
suatu himbauan yang bersifat teoritis. Hal ini dapat diimplementasikan secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari melalui praktik pertanian organik karena sesuai
dengan definisi sebelumnya, bahwa pertanian organik menekankan pada proses
produksi secara alamiah, dimana manusia melayani alam, dan alampun akan
memberikan hasil positif kepada manusia. Sistem pertanian yang holistik tersebut,
dinyatakan oleh banyak pihak mampu menjamin keberlanjutan ekologi.
2.1.6. Pengertian Keberlanjutan Ekonomi
Keberlanjutan ekonomi dalam perspektif pembangunan memiliki dua hal
utama, yaitu keberlanjutan ekonomi makro dan sektoral yang keduanya saling
berkaitan dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Keberlanjutan ekonomi
makro menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong
efisiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional. Tiga elemen utama
untuk keberlanjutan ekonomi makro, yaitu: efisiensi ekonomi, kesejahteraan
ekonomi yang berkesinambungan, dan meningkatkan pemerataan serta distribusi
kemakmuran. Hal tersebut dapat dicapai melalui reformasi fiskal, meningkatkan
efisiensi sektor publik, mobilisasi tabungan domestik, pengelolaan nilai tukar,
reformasi kelembagaan, kekuatan pasar yang tepat guna, ukuran sosial untuk
pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan distribusi pendapatan dan
aset (Jaya, 2004). Sementara itu, keberlanjutan ekonomi sektoral akan diwujudkan
dalam bentuk kebijaksanaan sektoral yang spesifik. Kegiatan ekonomi sektoral ini
mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang bernilai ekonomis
sebagai kapital; koreksi terhadap harga barang dan jasa; serta pemanfaatan sumber
daya lingkungan yang merupakan biosfer keseluruhan sumber daya6.
Jaya (2004) selanjutnya menyatakan bahwa penyesuaian kebijakan yang
meningkatkan keberlanjutan ekonomi makro secara jangka pendek akan
mengakibatkan distorsi sektoral yang selanjutnya mengabaikan keberlanjutan
ekologi. Hal ini harus diperbaiki melalui kebijaksanaan sektoral yang spesifik dan
6

http://www.gudangmateri.com/2010/07/harmonisasi-dankeseimbangankebudayaanhtml.
Diakses pada tanggal 1 September 2010, pukul 12:44 WIB.

19

terarah. Oleh karena itu, keberlanjutan aktivitas dan ekonomi sektoral perlu
diperhatikan. Untuk mencapai keberlanjutan ekonomi sektoral, dapat dilakukan
melalui beberapa upaya. Pertama, sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat
dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang tangible dalam kerangka
akunting ekonomi. Kedua, secara prinsip harga sumberdaya alam harus merefleksi
biaya ekstaksi, ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatannya. Pakar
ekonomi harus mengidentifikasi dan memperlakukan sumber daya sebagai sumber
daya yang terpulih, tidak terpulihkan, dan lingkungan hidup.
Sumber yang terpulihkan seperti hutan dapat memberikan manfaat secara
berkelanjutan bila tidak memperlakukan produktivitas ekonomi sebagai fungsi
yang pasif atau jasa yang mengalir sehingga perlu menggunakan prinsip
pengelolaan yang berkelanjutan. Sedangkan sumber yang tidak terpulihkan,
mempunyai jumlah absolut dan berkurang bila dimanfaatkan. Pembangunan
berkelanjutan dalam konteks sumberdaya yang tidak dapat dipulihkan, berarti:
pemanfaatan secara efisien sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi masa
mendatang dan diupayakan agar dapat dikembangkan substitusi dengan
sumberdaya terpulihkan; membatasi dampak lingkungan dengan pemanfaatannya
yang sekecil mungkin.
Prof. Dr. Emil Salim dalam Orasi Ilmiahnya yang berjudul Sains dan
Pembangunan Berkelanjutan pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Tahun
2003 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang, memberikan
pemahaman sederhana tentang apa yang disebut keberlanjutan ekonomi seperti
kutipan di bawah ini:

...kita meningkatkan kesejahteraan generasi sekarang tanpa


mengurangi kemampuan alam, masyarakat dan ekonomi untuk
menaikkan kesejahteraan generasi masa depan. Jadi, jika generasi
saat ini bisa maju, maka generasi anak-anak kitapun minimal bisa
mencapai kesejahteraan yang setingkat, demikian pula dengan
cucu-cucu kita. Sehingga kemudian terdapat alur ekonomi yang
berjalan terus menerus, tanpa mengurangi tingkat kesejahteraan
dari generasi ke generasi. Itulah yang dimaksud dengan
keberlanjutan ekonomi.

20

Keberlanjutan

ekonomi

dapat diwujudkan

melalui pengembangan

pertanian organik di Indonesia. Hal ini diperkuat karena pertanian organik


mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang bernilai ekonomis
sebagai kapital, dengan memanfaatkan sumber daya lingkungan secara holistik.
Dengan demikian, praktik pertanian organik dapat dikategorikan sebagai salah
satu kegiatan ekonomi sektoral. Aspek ekonomi dilihat dari bidang pertanian,
dapat dikatakan berlanjut bila produksi pertanian mampu mencukupi kebutuhan
pangan, dan memberikan pendapatan

yang layak untuk melaksanakan

keberlanjutan penghidupan, khususnya bagi para petani.


2.1.7. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan
Ekologi dan Ekonomi Petani
2.1.7.1. Keberlanjutan Ekologi
Kontribusi pertanian organik terhadap sistem ekologi telah banyak dimuat
ke dalam berbagai buku atau publikasi. Meskipun demikian, namun hasil
penelitian terdahulu mengenai sampai sejauh mana pengaruh praktik pertanian
organik terhadap keberlanjutan ekologi dan ekonomi petani, khususnya di
Indonesia masih sangat kurang. Oleh karena itu, penulis mencoba mensintesis
berbagai rujukan atau referensi, baik dari dalam maupun luar negeri yang
memungkinkan digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Rosenow,
Soltysiak, dan Verschuur (1996) menyatakan bahwa pertanian organik
memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami
tanaman, hewan, biofisik, landskap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas
semua faktor-faktor yang saling terintegrasi atau tergantung.
Pertanian organik menggunakan daur ulang limbah-limbah organik secara
alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik tersebut
dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh karena itu,
pertanian organik bisa dikatakan sebagai basis untuk keseimbangan ekologi secara
alami. Pertanian organik tidak hanya mementingkan produk akhir yang organik
tetapi semua proses secara holistik dalam sistem usahatani, mulai dari proses
persiapan lahan hingga panen. Sebuah buku berjudul What is Organic
Farming? yang diterbitkan oleh HDRA - The Organic Organisation juga

21

mengemukakan tentang keuntungan pertanian organik bagi manusia dan


lingkungan dalam jangka panjang, sebagai berikut:
1)

Meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang.

2)

Mengontrol serangan hama dan penyakit tanaman tanpa merusak lingkungan.

3)

Menjamin air tetap bersih dan aman.

4)

Menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh petani, sehingga dapat


mengurangi biaya input produksi pertanian.

5)

Menghasilkan pangan yang bergizi, pakan untuk hewan, dan tanaman


berkualitas tinggi yang dapat dijual dengan harga layak.
Pendapat lain yang memperkuat dampak positif pertanian organik terhadap

ekologi adalah: pollution of air and water is found to be reduced on organic


farms, soil health improves, and the number and variety of wild species, such as
plants, butterflies, and spiders is enhanced (ESRC Global Environmental Change
Programme, 1999 dalam Soil Association dan SUSTA, 20017). Berdasarkan
kutipan tersebut, dapat dikatakan bahwa pertanian organik mampu mengurangi
polusi udara dan air, meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah, dan menjaga
keanekaragaman hayati baik tanaman maupun hewan seperti kupu-kupu, labalaba, dan lain-lain. Selain itu, terdapat lagi beberapa keuntungan dari praktik
pertanian organik seperti yang ditulis oleh Dede Sulaeman (2008) dalam
makalahnya yang berjudul Mengenal Sistem Pangan Organik Indonesia, antara
lain:
1)

Dihasilkannya makanan yang cukup, aman, dan bergizi, sehingga dapat


meningkatkan kesehatan masyarakat.

2)

Terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani.

3)

Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.

4)

Meningkatkan produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang.

5)

Mempertahankan fungsi konservasi.


Pengaruh positif pertanian organik secara lebih rinci telah dibuktikan oleh

beberapa hasil penelitian dari luar negeri, meskipun belum banyak dipublikasikan

Soil Association bekerjasama dengan SUSTA (Southern United States Trade


Association), menerbitkan buku yang berjudul Organic Food and Farming Report 2000, Myth and
Reality Organic Vs Non-organic: The Facts. Maret 2001.

22

di Indonesia. Maria Mller-Lindenlauf (2009) menguraikan beberapa pengaruh


positif pertanian organik tersebut, melalui tulisannya yang berjudul Organic
Agriculture and Carbon Sequestration dengan mengutip pernyataan para
ilmuwan, seperti di bawah ini:

Organic agriculture has various positive environmental effects,


chiefly enhancing biodiversity (Hole et al., 2005; McNeely, 2001)
and reducing the energy use for agricultural production (Ziesemer,
2007). Emissions from mineral fertilizers production, which
contribute alone to 1% of global anthropogenic greenhouse gas
emissions, are totally omitted (FAOSTAT; EFMA; Williams, 2006).
Furthermore, organic agricultural practices show ways of efficient
nutrient management, which is going to become even more
important in times of limited resources. While agricultural
productivity increased substantially during the last decades by
using higher amounts of mineral fertilizers, the global efficiency of
Nitrogen use decreased from 80 to 30% (Erismann et al., 2008).
Organic agricultural practices can contribute to a more efficient
use of nitrogen by planting legumes and catch crops and integrated
livestock production. Integration of landscape elements and higher
soil organic matter contents increase the water capturing capacity
of the agricultural system and lower the risk of soil erosion. Hence,
the risk of yield losses by extreme weather events is lowered
(Lotter, 2003). Abstention from all chemical pesticides avoids the
risk of health damage by chemicals for farmers and consumers.
Water quality is increased both by lower nitrate leaching and
abstention from agro-chemicals (Stolze et al., 2000).

Hasil penelitian seperti yang telah dikutip oleh Maria dalam tulisannya di atas,
sudah cukup membuktikan bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif
terhadap beberapa bidang kehidupan khususnya ekologi. Kutipan tersebut secara
umum dapat disimpulkan bahwa pertanian organik memberikan pengaruh positif
terhadap lingkungan, seperti: menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi
penggunaan energi dan emisinya, mencegah polusi dan bahaya kesehatan dengan
menghindari penggunaan bahan-bahan kimia, menjaga kebersihan dan kesehatan
air, mengoptimalkan penggunaan nitrogen secara efisien melalui tanaman
penambat nitrogen, dan meminimalkan resiko erosi serta biaya input tinggi.
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekologi
berdasarkan beberapa referensi yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan

23

demikian secara umum dapat dibuktikan atau diukur melalui perubahan kualitas
lingkungan, seperti: tingkat kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, serangan
hama dan penyakit, produktivitas pertanian secara berkelanjutan, serta kesehatan
lingkungan dan petani yang dapat dilihat dari kualitas air maupun produk
pertanian

organik.

Untuk

menganalisis

pengaruh

tersebut,

dibutuhkan

perbandingan hasil nyata pada aspek ini, yaitu perbandingan kondisi ekologi pada
sistem pertanian konvensional (non organik) dengan kondisi ekologi pada
pertanian organik.
2.1.7.2. Keberlanjutan Ekonomi
Menurut Ho dan Ching (2006), pertanian organik menjamin keberlanjutan
ekonomi yang terlihat dari:
1)

Produksi yang lebih efisien dan menguntungkan dihasilkan dari pertanian


organik melalui peningkatan produktivitas, biaya rendah namun keuntungan
tinggi.

2)

Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan keuntungan


bagi masyarakat lokal selain baik juga untuk kesehatan.

Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur (1996) selanjutnya mengemukakan bahwa


pertanian organik mampu memproduksi pangan yang bergizi tinggi dalam jumlah
cukup, mengizinkan setiap orang terlibat dalam produksi organik dan proses
peningkatan kualitas hidup sesuai dengan hak asasi manusia yang diutarakan oleh
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk mencukupi semua kebutuhan dasar dan
mendapatkan kepuasan atau tingkat pengembalian yang memadai atas kerja
mereka termasuk lingkungan kerja yang sehat.
Sejumlah keuntungan dari praktik pertanian organik di bidang ekonomi
diungkapkan oleh Dede Sulaeman (2008) sebagai dukungan atas praktik pertanian
organik di Indonesia. Keuntungan pertanian organik terhadap bidang ekonomi
tersebut, antara lain:
1)

Meningkatnya pendapatan petani

2)

Terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan

3)

Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk agribisnis secara


berkelanjutan.

24

Bukti lain yang menyatakan pengaruh positif praktik pertanian organik terhadap
keberlanjutan ekonomi dimuat dalam sebuah buku yang berjudul Science-Based
Organic Farming 2008: Toward Local and Secure Food Systems. Buku tersebut
memiliki beberapa bab dan terdapat satu bab berjudul Economics of Organic
Agriculture pada halaman 97 yang membahas tentang keunggulan pertanian
organik secara ekonomi dibandingkan pertanian konvensional, seperti yang
dikutip di bawah ini:

Producers transitioning to organic systems will likely experience a


decline in yields during the first several years of conversion.
However, once that conversion period ends, research shows that
yields will rebound to levels approaching conventional levels.
More importantly, premiums for organically produced crops and
reduced production costs impact net return and profitability...A
1999 Wallace Institute review of six midwestern land-grant
university studies found: Organic grain and soybean production
systems are "competitive with conventional production systems." In
fact, with current market premiums, producers of organic grain
and soybeans earn higher profits than conventional growers.
Without a price premium for organic crops, half of organic systems
were still more profitable than the conventional systems...

Berdasarkan pernyataan di atas, diketahui bahwa

pertanian organik

memberikan pengaruh positif terhadap ekonomi petani karena pertanian organik


mampu memproduksi hasil panen setara, bahkan lebih besar daripada pertanian
konvensioanl dalam jangka panjang. Produktivitas pertanian organik pada awal
masa konversi memang sangat rendah dibandingkan pertanian konvensional.
Namun, hasil panen akan terus meningkat setelah lahan mengalami konversi pada
masa tanam berikutnya. Selain itu, produk organik dihargai lebih mahal di pasar
dibandingkan produk pertanian konvensional, sehingga petani akan memperoleh
keuntungan secara maksimal dengan harga premium ini. Petani juga diuntungkan
dalam praktik pertanian organik dari segi biaya input yang lebih rendah melalui
pemanfaatan sumber daya lokal yang tersedia di lingkungan sekitar.
Penjelasan lebih lanjut mengenai keuntungan pertanian organik secara
ekonomi masih dijabarkan dalam buku Science-Based Organic Farming 2008:
Toward Local and Secure Food Systems pada halaman 97, seperti di bawah ini:

25

...Several recent studies in the U.S. report that organic price


premiums are key in giving organic farming systems comparable or
higher wholefarm profits than conventional systems. Other studies
indicate that organic systems are more profitable even without
organic premiums because of lower input costs. A study of organic
soybeans in the Midwest revealed that they were more profitable
than conventionally-grown soybeans because of higher yields in
dry areas and periods of drought and lower associated input costs.

Semua pernyataan atau bahasan di dalam buku Science-Based Organic Farming


2008: Toward Local and Secure Food Systems pada bab Economics of Organic
Agriculture, sebagian besar memiliki pemahaman yang sama mengenai pertanian
organik, yaitu: menguntungkan secara ekonomi bagi para petani, karena pertanian
organik membutuhkan biaya input lebih rendah dibandingkan pertanian
konvensional dengan produktivitas tinggi secara berkelanjutan pada kondisi
apapun, misalnya musim kering; dan harga produk organik juga lebih tinggi di
pasaran atau seringkali disebut sebagai harga premium yang dapat meningkatkan
pendapatan petani secara material.
Sumber referensi lain yang cukup kuat menyatakan bahwa pertanian
organik berpengaruh positif terhadap ekonomi adalah Sustainable Agriculture
Research and Education (SARE). SARE menyatakan bahwa hasil panen pada
lahan organik akan mencapai 90 persen hingga 95 persen dari total hasil panen
pada pertanian konvensional setelah tiga hingga lima tahun masa konversi lahan.
Pada masa itu, tanah benar-benar terbebas dari residu kimia dan bisa dikatakan
sebagai lahan organik8. Hal ini ditulis berdasarkan studi komparatif dari Organic
Farming Research Foundation. Para petani organik sebagian besar tidak hanya
melihat manfaat pertanian organik dari sisi produktivitas yang dibandingkan
dengan pertanian konvensional saja, tetapi juga dari sisi nilai tambah produk
organik dan harga premiumnya yang lebih tinggi daripada produk konvensional.
Selain itu, biaya input operasional pertanian organik dinilai lebih rendah daripada
pertanian konvensional.

http://www.sare.org/publications/organic/organic07.htm. Diakses pada tanggal 2


September 2010, pukul 14:51 WIB.

26

Jeff Moyer, seorang Farm Manager Rodale Institute di Kutztown


menjelaskan bahwa pertanian organik berdampak baik bagi perekonomian petani
karena dapat meminimalkan biaya input, memperluas pasar dan meningkatkan
harga jual hasil pertanian. Berdasarkan data yang ada, penjualan produk organik
pada tahun 2001 mencapai lebih dari $8 milyar di dalam negeri (Amerika Serikat)
dan $27 milyar di seluruh dunia. Fakta ini mewakili dua puluh persen
pertumbuhan pasar organik per tahun selama lima tahun terakhir. Permintaan
terhadap produk organik hingga saat ini masih melebihi suplainya, sehingga
kesempatan untuk mengembangkan pertanian organik beserta produknya masih
terbuka lebar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa depan pertanian
organik sangat cerah untuk jangka panjang, apalagi didukung oleh lahan organik
yang mampu berproduksi secara berkelanjutan tanpa merusak keseimbangan
ekosistem. Potensi ekonomi yang tersembunyi tersebut, jika dihitung secara
kuantitatif, maka jumlahnya jauh melebihi potensi ekonomi pada pertanian
konvensional9.
Berdasarkan beberapa teori, hasil penelitian, dan referensi pada paragraf
sebelumnya, maka dapat dianalisis bahwa praktik pertanian organik terbukti
mampu mempengaruhi keberlanjutan ekonomi secara positif. Pengaruh terhadap
ekonomi ini dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain: kemampuan pertanian
organik dalam mencukupi kebutuhan pangan keluarga dan permintaan konsumen
(tingkat produktivitas); keuntungan total dari hasil penjualan produk organik per
musim tanam; dan peluang atau akses pasar. Untuk menganalisis pengaruh
tersebut, dibutuhkan perbandingan hasil nyata pada aspek ini, yaitu perbandingan
analisis ekonomi antara sistem pertanian konvensional (non organik) dengan
pertanian organik.
2.1.8. Perkembangan dan Kondisi Pertanian Organik di Indonesia
Sejarah singkat yang dirangkum dari tulisan Oudejans (1999) dalam
bukunya

yang berjudul Perkembangan Pertanian di Indonesia, telah

membuktikan bahwa pertanian di Indonesia sudah lama terlaksana terutama pada


masa penjajahan Belanda. Hal yang perlu diperhatikan dalam pertanian di zaman
9

http://www.rodaleinstitute.org/transition_fact_sheet. Diakses pada tanggal 2 September


2010, pukul 15:27 WIB.

27

kolonial Belanda adalah sistem pelaksanaan pertanian itu sendiri yang lebih
menekankan pada unsur-unsur alami tanpa penggunaan input luar kimiawi. Jadi,
pertanian organik sebenarnya sudah lama diterapkan di Indonesia, yaitu zaman
penjajahan Belanda tetapi belum disadari secara penuh baik manfaat maupun
istilahnya pada masa itu oleh masyarakat.
Hal yang melatarbelakangi berkembangnya pertanian organik selain
sebagai aksi perbaikan atas dampak negatif yang ditimbulkan Revolusi Hijau,
adalah: timbulnya kesadaran masyarakat akan pangan dan kesehatan. Rujukan
buku Silent Spring yang ditulis oleh Carson (1962), menyatakan bahwa input
luar kimiawi yang seringkali digunakan oleh manusia dalam meningkatkan
produktivitas pertanian, dapat berdampak buruk bagi lingkungan10. Permasalahan
lain yang selanjutnya memacu perkembangan pertanian organik adalah mahalnya
harga pupuk dan rendahnya harga gabah kering giling sehingga tidak seimbang
dengan pengeluaran petani.
Pertanian organik mulai berkembang pesat di Indonesia sejak krisis
moneter tahun 1997, yang dipicu oleh mahalnya harga pupuk dan pestisida,
sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan petani. Meskipun demikian, isu
pertanian organik di Indonesia sebenarnya telah mulai berkembang sejak sekitar
tahun 1970-an dan perkembangannya hingga saat ini cukup menggembirakan,
terbukti dari data SPOI tahun 2008 yang menunjukkan peningkatan luas area
pertanian organik dari tahun sebelumnya, yaitu dari 41.431 ha menjadi 235.078,16
ha.
Data pertanian organik global tahun 2008, berdasarkan buku The World of
Organic Agriculture , Statistics and Emerging Trends 2009 sebagaimana dikutip
dalam SPOI (2008), memperlihatkan angka 32,2 juta ha sebagai total luas area
pertanian organik global yang merupakan 0,8 persen dari total luas area pertanian
141 negara yang disurvey. Berdasarkan data organik global tahun sebelumnya,
luas area ini meningkat 1,5 juta ha. Tabel mengenai luas area pertanian organik
menurut region tahun 2007 disajikan di bawah ini:

10

Irianto. 2003. Prosiding Seminar Sehari Peluang dan Tantangan Pengembangan


Pertanian Organik di Bogor.

28

Tabel 3. Luas Area Pertanian Organik Menurut Region, Tahun 2007


Luas Lahan Pertanian Organik
(ha)*

Region
Afrika
Amerika Utara
Asia**
Amerika Latin
Eropa
Oceania
Total

870.329
2.197.077
2.893.079
6.402.875
7.758.526
12.110.758
32.232.644

Persentase dari Luas


Total Area Pertanian
(%)*
0,1
0,6
0,2
1,0
1,9
2,6
0,8

Sumber: SPOI 2008


Keterangan:
* Tidak termasuk akuakultur dan area panen liar, termasuk area konservasi
** Diolah kembali oleh tim SPOI dengan penambahan data dari Indonesia

Dari Tabel 3, diketahui bahwa region dengan luas lahan pertanian organik terbesar
adalah Oceania, lalu diikuti Eropa, dan Amerika Latin. Total luas area pertanian
organik di dunia adalah 0,8 persen dari jumlah total luas lahan pertanian di
seluruh dunia.
Perkembangan pertanian organik di Asia, cukup menggembirakan. Benua
Asia merupakan benua terbesar dengan populasi terpadat di dunia. Hampir semua
pemerintah memiliki prioritas dalam sertifikasi dan akreditasi organik, meskipun
perkembangan organik di Asia masih pada taraf produksi. Luas area pertanian
organik di Asia dibandingkan area pertanian konvensional, baru sebesar 0,2
persen. Berikut ini disajikan tabel negara dengan luas area pertanian organik
terbesar di Asia tahun 2007:
Tabel 4. Daftar Negara dengan Luas Area Pertanian Organik Terbesar di Asia,
Tahun 2007
Negara
Cina
India
Indonesia
Syria
Pakistan
Timor Leste
Azerbaijin
Thailand
Sri Lanka
Filipina

Luas Lahan Pertanian


Organik (ha)*

Persentase dari Total Luas


Area Pertanian (%)*

1.553.000,0
1.030.311,0
77.517,8
28.461,0
25.001,0
23.790,0
21.239,7
19.123,1
17.000,0
15.343,8

0,28
0,57
0,14
0,20
0,09
7,00
0,45
0,10
0,72
0,13

Sumber: SPOI 2008


Keterangan:
* Tidak termasuk akuakultur dan area panen liar, termasuk area konservasi
- Tidak ada data

Jumlah
Produsen
(Orang)
1.600
195.741
6.568
3.256
28
312
3.924
4.216
-

29

Tampak pada Tabel 4 bahwa Cina dan India memiliki luas area pertanian organik
terbesar dengan selisih yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara lainnya.
Indonesia menempati urutan ketiga setelah India. Pada umumnya, produsen di
Asia adalah petani kecil yang kemudian berkelompok untuk mendapatkan
sertifikasi.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia selain diindikasikan oleh
data statistik, juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan gerakan-gerakan
organik dari LSM, khususnya yang berhubungan dengan sistem sertifikasi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari AOI, Indonesia termasuk negara yang
sedang dalam proses penyusunan kebijakan. Pada praktiknya, telah dilakukan
langkah-langkah penyusunan kebijakan untuk mendukung perkembangan
pertanian organik di Indonesia. Di tingkat nasional, pemerintah telah membuat
kebijakan yang ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan, dan
mengatur perkembangan pertanian organik (Sulaeman, 2006). Departemen
Pertanian telah mencanangkan pertanian organik dengan slogan Go Organic
2010. Sebelum munculnya pencanangan Go Organic 2010, Surono (2007)
dalam presentasinya untuk Regional Conference On Organic Agriculture in Asia
di Bangkok seperti yang dikutip dalam SPOI (2008), menguraikan bahwa
sebenarnya penanda dimulai gerakan organik di Indonesia adalah berdirinya Bina
Sarana Bakti (BSB) sebagai pusat pelatihan organik pertama di Indonesia,
kemudian diikuti dengan terbentuknya jaringan petani dan nelayan (SPTN-HPS)
di Yogyakarta tahun 1990. Delapan tahun kemudian, jaringan pertanian organik
skala nasional pertama kali terbentuk yang saat ini dikenal sebagai Jaringan Kerja
Pertanian Organik (Jaker PO). Hal ini lalu disusul dengan dibentuknya Koperasi
SAHANI tahun 1999.
Pada tahun 2000 dideklarasikan juga MAPORINA (Masyarakat Pertanian
Organik Indonesia) dan gerakan ini kemudian diikuti dengan munculnya AOI
(Aliansi Organis Indonesia) pada tahun 2002. APOI (Asosiasi Pertanian Organik
Indonesia) ikut meramaikan dunia pertanian organik dan terbentuk pada tahun
2003. Pada tahun 2003, Departemen Pertanian juga secara resmi membentuk
OKPO (Otoritas Kompeten Pertanian Organik). Pada tahun 2006, AOI
mengukuhkan PT. BIOCert Indonesia sebagai lembaga sertifikasi pertama organik

30

di Indonesia. Tidak kalah pentingnya, pada tahun 2002 standar nasional untuk
produk pangan organik (SNI 01-6729-2002) diluncurkan. Pada tahun 2007,
Departemen Pertanian menganggarkan dana sebesar 4 juta USD untuk program
organik dan pada tahun 2009 lalu, Menteri Pertanian menargetkan penggunaan
pupuk organik di tahun 2014 (Surono, 2007 dalam SPOI, 2008). Standar dan
pedoman pertanian organik lalu bermunculan dan IFOAM Basic Standards
menjadi rujukan langsung maupun tidak langsung bagi para penggiat pertanian
organik di Indonesia, baik dari kalangan pemerintah maupun LSM. Jaker PO pada
tahun 2001 juga mengeluarkan standar pertanian organik.
Perkembangan

pertanian

organik

di

Indonesia

meskipun

cukup

menggembirakan setiap tahunnya, namun masih perlu ditingkatkan lagi karena


mengingat masih luasnya lahan potensial di Indonesia yang belum organik. Luas
total area pertanian organik di Indonesia tahun 2009 adalah 231.687,11 ha. Luas
area tersebut meliputi luas lahan yang tersertifikasi, yaitu 97.351,60 ha (42 persen
dari total luas area pertanian organik di Indonesia) dan luas lahan yang masih
dalam proses sertifikasi (pilot project AOI), yaitu 132.764,85 ha (57 persen dari
total luas area pertanian organik di Indonesia). Sementara itu, berdasarkan hasil
evaluasi lahan pada skala eksplorasi (skala 1 :1000000) untuk seluruh wilayah
Indonesia, diperoleh data bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk pertanian seluas
100,7 juta ha, terdiri dari lahan yang sesuai untuk tanaman pangan seluas 24,6 juta
ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering, serta lahan seluas 50,9 juta ha sesuai
untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002 dalam Mulyani, Agus, Subagyo,
2003). Jika diambil persentase, maka jumlah area pertanian organik hanya sekitar
0,23 persen dibandingkan dengan luas total lahan pertanian potensial di Indonesia.
Jumlah ini relatif kecil dan artinya, masih banyak petani yang belum menerapkan
pertanian organik di Indonesia.
Luas area pertanian organik Indonesia cukup besar jika dibandingkan
dengan negara lainnya di Asia tetapi luas area pertanian organik negara ini masih
kalah jauh dibandingkan India dan Cina yang masing-masing mencapai 1.030.311
ha dan 1.553.000 ha pada tahun 2007 berdasarkan data SPOI (2008). Luas lahan
pertanian organik terbesar di dunia sesuai yang dilaporkan dalam SPOI (2008),
sampai saat ini masih dipegang oleh negara Australia (12.500.000 ha), Argentina

31

(2.777.959 ha), Brazil (1.765.793 ha), dan Amerika Serikat (1.640.836,4 ha),
sedangkan jumlah produsen organik terbanyak berada di negara Uganda (206.803
orang), disusul India (195.741 orang), Etiopia (165.560 orang), dan Meksiko
(128.819 orang).
Indonesia masih berada pada posisi yang sangat jauh dalam hal
perkembangan pertanian organik di tingkat dunia, baik dihitung berdasarkan luas
lahan maupun jumlah produsen organik yang hanya berkisar 12.101 orang pada
tahun 2009. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk
berkembang menjadi produsen organik di dunia mengingat luas lahan potensial
yang masih terbuka lebar beserta faktor pendukung geografisnya. Negara
pengekspor produk pertanian organik terbesar di dunia diduduki oleh Argentina,
Meksiko, Brazil, Dominika, Cina, India, Afrika Selatan dan Turki. Negara-negara
tersebut adalah eksportir utama produk-produk organik ke Eropa. Beberapa
negara Afrika seperti Tunisia, Moroko, Mesir, Uganda dan Zambia juga adalah
pemasok produk organik ke kawasan tersebut, meskipun nilai ekspornya lebih
rendah daripada negara-negara yang disebutkan di awal. Sementara itu, Indonesia
tidak termasuk dalam negara pengekspor produk organik terbesar di dunia.
2.1.9. Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Rogers (1983) dalam Mugniesyah (2006) mengemukakan lima fungsi atau
tahapan proses pengambilan keputusan inovasi, antara lain: (1) knowledge
(pengenalan), (2) persuasion (pembentukan sikap), (3) decision (pengambilan
keputusan), (4) implementation dan (5) confirmation (penegasan). Proses
pengambilan keputusan inovasi dipengaruhi oleh beberapa variabel antesenden
yang terdiri atas: (1) karakteristik individu, (2) karakteristik sosial ekonomi dan
(3) kekuatan penerimaan akan kebutuhan inovasi. Semua variabel antesenden
tersebut, akan mempengaruhi kelangsungan setiap tahapan proses pengambilan
keputusan inovasi. Suatu inovasi akan diadopsi atau ditolak, tergantung dari
keputusan masing-masing individu sasaran inovasi. Proses pengambilan
keputusan tersebut, berada pada tahap decision.
Proses pengambilan keputusan inovasi sebagaimana yang dijelaskan oleh
Mugniesyah (2006), juga dipengaruhi oleh persepsi unit pengambil keputusan
inovasi terhadap karakteristik atau ciri-ciri inovasi. Karakteristik atau ciri-ciri

32

inovasi tersebut, antara lain: (1) keuntungan relatif (relative advantage), (2)
kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) kemungkinan dicoba
(trialability) dan (5) kemungkinan diamati (observability). Karakteristik inovasi
yang sesuai dan memungkinkan untuk diteliti dalam praktik pertanian organik
berdasarkan kriteria pertanian berkelanjutan adalah keuntungan relatif secara
ekonomi dan kerumitan atau tingkat kompleksitas praktik pertanian organik.
Analisis terhadap keuntungan relatif akan menjawab bagaimana pengaruh praktik
pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Sementara itu, analisis
terhadap kerumitan atau tingkat kompleksitas praktik pertanian organik akan
menjawab sampai sejauh mana tingkat fleksibilitas (adaptable) praktik pertanian
organik di kalangan petani.
2.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kriteria pertanian berkelanjutan, analisis keberlanjutan praktik
pertanian organik di kalangan petani dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dan
mengukur tingkat kompleksitas praktik pertanian organik menurut persepsi petani.
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
dianalisis dengan metode survey eksperimen, sehingga perubahan terhadap aspek
ekonomi petani terlihat jelas. Metode ini berusaha membandingkan kondisi
ekonomi petani yang dilihat dari keuntungan usahataninya pada saat sebelum dan
sesudah adanya praktik pertanian organik melalui kuesioner. Responden
penelitian meliputi control group, yaitu kelompok petani non organik
(konvensional) yang dijadikan sebagai responden kontrol atau pembanding dan
experimental group, yaitu kelompok petani organik yang dijadikan sebagai
responden eksperimen. Jenis tanaman budidaya dalam sistem usahatani organik
dan konvensional yang akan diteliti adalah padi sawah. Bentuk kerangka
pemikiran penelitian ini, secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.

33

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani


v Tingkat pendidikan
v Status petani
v Kepemilikan ternak

Experimental Group

Control Group

Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y1)


v Tingkat produktivitas pertanian
v Keuntungan usahatani per musim
tanam
v Akses pasar

Sebelum Organik

Organik

Praktik Pertanian Organik (X)

v Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non


organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia
sintetik selama 3 tahun.
v Menggunakan pupuk organik.
v Menggunakan bibit padi varietas lokal.
v Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan
menggunakan pestisida organik.
v Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik
harus dipisahkan dari pertanian konvensional.

Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y2)


v Tingkat produktivitas pertanian
v Keuntungan usahatani per musim
tanam
v Akses pasar

Analisis
Tingkat
Kompleksitas
Praktik
Pertanian
Organik
menurut
Persepsi
Petani

Apakah ada perbedaan?

Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y1)


v Tingkat produktivitas pertanian
v Keuntungan usahatani per musim
tanam
v Akses pasar

Sesudah Organik

Ada perbedaan

Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y2)


v Tingkat produktivitas pertanian
v Keuntungan usahatani per musim
tanam
v Akses pasar

Mengapa praktik pertanian


organik tidak banyak diadopsi
oleh petani?

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik


di Kalangan Petani
Keterangan:
= Stimuli yang diberikan kepada experimental group.

= Perbandingan variabel Y antar kelompok responden

= Variabel X dianalisis secara komparatif dengan praktik pertanian konvensional.


= Perbandingan variabel Y dalam satu kelompok responden
= Mempengaruhi
= Kontradiksi dengan keputusan menolak (tidak mengadopsi) praktik pertanian organik.

34

Praktik pertanian organik menurut Sutanto (2002), sangat tergantung dari


pengetahuan lokal petani dan kondisi pertanian setempat. Namun, secara umum
praktik pertanian organik yang paling mudah dilakukan dan diukur di kalangan
petani, meliputi: penggunaan pupuk organik, penggunaan bibit varietas lokal,
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida
organik, serta pemisahan lahan dan sumber air irigasi pertanian organik dari
pertanian konvensional. Praktik pertanian organik seperti yang telah disebutkan di
atas, merupakan ketentuan minimal yang harus dipenuhi oleh petani jika ingin
diakui sebagai petani organik. Hal ini disebabkan karena pertanian organik, tidak
hanya dilihat dari penggunaan pupuk organik saja, tetapi banyak aspek yang
dinilai, termasuk sikap petani sendiri terhadap alam. Selain itu, suatu lahan
pertanian organik benar-benar akan terbebas dari residu kimia sintetik dan mampu
berproduksi secara stabil atau optimal, jika telah mengalami masa konversi dari
lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama
minimal tiga tahun atau lebih.
Praktik pertanian organik dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai
variabel bebas atau variabel pengaruh (independent variabel) yang diberi lambang
X. Variabel ini akan diuji pengaruhnya terhadap variabel lainnya, yaitu variabel
tidak bebas atau terikat (dependent variabel). Variabel terikat yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah keberlanjutan ekonomi (Y) yang memiliki beberapa
indikator, antara lain: tingkat produktivitas pertanian, keuntungan usahatani per
musim tanam, dan akses pasar. Pengaruh X terhadap Y dapat diketahui dengan
membandingkan nilai variabel Y1 dengan Y2 antar kelompok responden pada
kondisi sebelum organik, Y1 dengan Y2 antar kelompok responden pada kondisi
sesudah organik dan Y1 dengan Y1 dalam kelompok eksperimen. Hubungan antar
variabel bersifat asimetris yang menunjukkan hubungan antara stimulus dengan
respons dan merupakan hubungan bivariat, yaitu hubungan antara satu variabel
bebas dengan satu variabel terikat.
Pengaruh variabel X terhadap variabel Y menjadi penting untuk diuji agar
dapat diketahui sampai sejauh mana praktik pertanian organik berpengaruh
terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Jika X terbukti berpengaruh terhadap Y,
maka akan terjadi perbedaan nilai Y antara petani yang menjalankan sistem

35

usahatani organik dengan konvensional. Menurut tinjauan pustaka, praktik


pertanian organik terbukti berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekonomi
petani. Namun, ironisnya hal ini berkontradiksi dengan banyaknya keputusan para
petani yang menolak atau tidak mengadopsi praktik pertanian organik.
Analisis tingkat kompleksitas praktik pertanian organik (variabel X)
menurut persepsi petani, juga penting diketahui karena bisa menjadi salah satu
alasan kuat mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani
di suatu daerah. Bentuk analisis terhadap variabel X, bersifat komparatif karena
membandingkan tingkat kompleksitas antara praktik pertanian organik dengan
praktik pertanian konvensional menurut dua kelompok responden. Meskipun
demikian, masih terdapat kemungkinan adanya penyebab lain mengapa praktik
pertanian organik belum berkembang di kalangan petani, seperti pengaruh
variabel antesenden terhadap pengambilan keputusan inovasi, yaitu karakteristik
sosial ekonomi petani yang terdiri dari: tingkat pendidikan, status petani dan
kepemilikan ternak. Penyebab lain di luar analisis statistik, akan diinvestigasi
lebih dalam secara kualitatif. Hasil penelitian ini secara keseluruhan, dapat
digunakan sebagai referensi mengenai bukti keberlanjutan praktik pertanian
organik di kalangan petani yang kemudian menjawab sebuah pertanyaan besar,
yaitu mengapa pertanian organik masih belum banyak diadopsi oleh petani.
Setelah mengetahui hasil penelitian ini, diharapkan akan ada tindak lanjut atau
kebijakan pembangunan pertanian dari para stakeholders, khususnya pemerintah
pada masa yang akan datang.
2.3. Hipotesis Penelitian
2.3.1. Hipotesis Uji
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, penelitian ini
mempunyai beberapa hipotesis kerja yang akan diuji, antara lain:
1)

Praktik pertanian organik (X) diduga berpengaruh positif secara signifikan


terhadap keberlanjutan ekonomi petani (Y).

2)

Tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara


signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani.

36

2.3.2. Hipotesis Pengarah


Praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena
diduga memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik
pertanian konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani.
2.4. Definisi Operasional
Beberapa definisi operasional penelitian ini, dijelaskan dalam Tabel 5 dan
Tabel 6 sebagai berikut:

37

Tabel 5. Definisi Operasional untuk Analisis Pengaruh Praktik Pertanian Organik (Variabel X) terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani (Variabel Y)
Variabel/Indikator

Praktik Pertanian Organik (X):

a. Lahan pertanian harus dikonversi dari non


organik menjadi organik tanpa tercemar bahan
kimia sintetik selama 3 tahun.
b. Menggunakan pupuk organik.

Definisi Operasional
Teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam secara organik atau
terbebas dari penggunaan input kimia sintetik dan dilakukan oleh petani sesuai dengan
pengetahuan dan kondisi lokal mereka.

Periode yang dibutuhkan untuk mengkonversi lahan dari non-organik menjadi organik,
sehingga lahan terbebas dari residu bahan kimia sintetik secara ideal selama minimal 3
tahun.
Petani menggunakan pupuk yang berasal dari bahan organik seperti pupuk kompos,
kandang, hijau, dan lain-lain.

Kategori
Organik = 1, jika indikator
a-e terpenuhi.
Konvensional = 2, jika
salah satu dari indikator ae tidak terpenuhi.
Ya = 1
Tidak = 2
Ya = 1
Tidak = 2
Ya = 1
Tidak = 2

Skala Pengukuran

Nominal

Nominal
Nominal
Nominal

c. Menggunakan bibit padi varietas lokal.

Petani menggunakan bibit padi varietas lokal, bukan hibrida atau hasil rekayasa genetika.

d. Pengendalian hama dan penyakit tanaman


dengan menggunakan pestisida organik.

Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami yang dapat dilakukan oleh petani
dengan memanfaatkan pestisida hayati atau nabati; serta predator hama alami tanpa bahan
kimia sintetik.

Ya = 1
Tidak = 2

Nominal

e. Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian


organik harus dipisahkan dari pertanian
konvensional.

Pemisahan lahan dan sumber air irigasi antara pertanian organik dengan pertanian
konvensional untuk menghindari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik.

Ya = 1
Tidak = 2

Nominal

Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y):

Kondisi ekonomi petani yang ideal, yaitu jika petani mampu mencukupi kebutuhan
mereka dan memperoleh pendapatan yang cukup untuk melaksanakan keberlanjutan
penghidupan secara kontinu.

a. Tingkat produksi pertanian

Kemampuan sistem usahatani dalam menghasilkan panen per luas lahan pada musim
tertentu dari tanaman yang dibudidayakan untuk menjamin kelangsungan hidup petani.

b. Keuntungan usahatani per musim tanam

Jumlah total pendapatan petani per musim tanam dikurangi jumlah total biaya input
produksi pertanian.

c. Akses pasar

Kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya
kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan
konsumen. Akses pasar dinilai dari banyak dan terbukanya saluran distribusi yang bisa
dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani.

Berlanjut secara signifikan


jika ada perbedaan yang
cukup nyata antara kondisi
ekonomi petani sebelum
dan sesudah melaksanakan
pertanian organik, serta
antara kondisi ekonomi
petani organik dengan
konvensional.
Jumlah hasil panen
dihitung per luas lahan
yang digarap oleh petani
per musim dengan satuan
kg.
Keuntungan dihitung
dalam satuan Rupiah (Rp).

Rasio

Rasio

Rasio

38

Tabel 6. Definisi Operasional untuk Analisis Tingkat Kompleksitas Praktik Pertanian Organik (Variabel X) Menurut Persepsi Petani
Variabel/Indikator

Definisi Operasional

Praktik Pertanian Organik (X):

Teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam secara organik atau
terbebas dari penggunaan input kimia dan dilakukan oleh petani sesuai dengan
pengetahuan dan kondisi lokal mereka.

a. Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan


non organik menjadi organik tanpa tercemar
bahan kimia sintetik selama 3 tahun (v1)

Periode yang dibutuhkan untuk mengkonversi lahan dari non-organik menjadi organik,
sehingga lahan terbebas dari residu bahan kimia sintetik secara ideal selama minimal 3
tahun.

b. Proses mendapatkan dan mengangkut pupuk


organik ke sawah secara rutin setiap musim
(v2)

Cara petani mendapatkan dan mengangkut pupuk yang berasal dari bahan organik seperti
pupuk kompos, kandang, hijau, cair, dan lain-lain dari lokasi awal mereka menuju ke
sawah secara rutin setiap musim.

c. Harga beli bibit padi varietas lokal (v3)

Harga yang harus dibayar oleh petani dalam menggunakan bibit padi varietas lokal, bukan
hibrida atau hasil rekayasa genetika.

d. Pengendalian hama dan penyakit tanaman


dengan menggunakan pestisida organik (v4)

Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami yang dapat dilakukan oleh petani
dengan memanfaatkan pestisida hayati atau nabati; serta predator hama alami tanpa bahan
kimia sintetik.

e.

Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian


organik harus dipisahkan dari pertanian
konvensional (v5)

Pemisahan lahan dan sumber air irigasi antara pertanian organik dengan pertanian
konvensional untuk menghindari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik.

Kategori
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
1 = sangat singkat
2 = singkat
3 = sedang
4 = lama
5 = sangat lama
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
1 = sangat murah
2 = murah
3 = sedang
4 = mahal
5 = sangat mahal
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit

Skala Pengukuran

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN

3.1. Metode Penelitian


Penelitian

ini

merupakan

penelitian

yang

bersifat

menjelajah

(exploratory) karena bertujuan untuk mengenal pengetahuan mengenai suatu


gejala tertentu yang masih baru dan memuaskan keingintahuan peneliti untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik (Wahyuni dan Muljono, 2007).
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini secara umum termasuk penelitian survey
eksperimental karena data dikumpulkan dari responden atau sampel suatu
populasi dengan menggunakan kuesioner serta berusaha mengetahui hubungan
sebab akibat variabel penelitian sebagai konsekuensi dari suatu tindakan/aksi
dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu experimental dan control group
(Singarimbun dan Effendi, 2006). Selain itu, penelitian ini juga bisa dikatakan
sebagai penelitian kausal komparatif yang bermaksud mencari kemungkinan
hubungan sebab akibat dan mencari kesamaan atau perbedaan kelompok dengan
menggunakan data yang ada (Usman dan Akbar, 2008).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yang
didukung oleh data kualitatif. Metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian
ini, berperan sebagai landasan atau dasar penelitian untuk menguji hipotesis yang
kemudian diperkuat dengan data kualitatif. Data kualitatif berfungsi untuk
menjelaskan atau memperkuat fakta yang tidak bisa dijelaskan secara kuantitatif.
Data kualitatif juga bertujuan untuk menjawab perumusan masalah penelitian
yang bersifat mendalam, yaitu perumusan masalah ketiga dalam penelitian ini.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di
Paguyuban Petani Al-Barokah, Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Dimensi waktu penelitian ini adalah crosssectional karena penelitian ini hanya dilakukan pada bulan November hingga
Desember 2010. Beberapa alasan pemilihan lokasi tersebut, antara lain:
1)

Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, merupakan salah


satu desa di Jawa Tengah yang memiliki area pertanian organik dan

40

komunitas petani organik maupun konvensional cukup banyak sesuai dengan


kebutuhan penelitian. Petani organik dan konvensional yang menjadi sasaran
penelitian ini, tergabung dalam sebuah Paguyuban Petani bernama AlBarokah yang berada dalam satu desa.
2)

Praktik pertanian organik sudah dilakukan oleh para petani sejak tahun 1998
atau minimal telah lebih dari 3 tahun di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang, sehingga pengaruh praktik pertanian organik terhadap
keberlanjutan ekonomi petani dapat diukur secara nyata. Paguyuban Petani
Al-Barokah juga memiliki banyak prestasi, baik di tingkat propinsi maupun
nasional terkait dengan pengembangan pertanian organik. Komoditas yang
dibudidayakan oleh petani di desa tersebut adalah padi sawah. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka lokasi penelitian ini sangat tepat dipilih.

3.3. Teknik Pengumpulan Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan
data kualitatif yang dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data sesuai dengan
masing-masing jenis data. Sumber data yang dikumpulkan adalah data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari responden
atau informan. Sebaliknya, data sekunder merupakan data yang diperoleh secara
tidak langsung melalui pihak lain atau penelusuran dokumen. Teknik pengambilan
data pada metode kuantitatif, dilakukan dengan cara menyebar kuesioner kepada
responden penelitian. Sedangkan teknik pengambilan data kualitatif, dilakukan
melalui wawancara mendalam dengan informan terkait dan responden; serta
teknik dokumentasi dengan cara menganalisis atau menelusuri dokumen terkait
penelitian. Berdasarkan teknik pengumpulan data yang telah dijelaskan, maka
instrumen penelitian ini adalah instrumen non-tes berupa kuesioner dan pedoman
wawancara.
3.4. Teknik Pengambilan Responden dan Informan
Unit analisis penelitian ini adalah individu. Responden penelitian ini
adalah petani organik yang telah melaksanakan praktik pertanian organik lebih
dari tiga tahun dengan tanaman budidaya padi sawah dan petani konvensional
sebagai responden kontrol yang berada pada lokasi dan tergabung dalam
paguyuban petani yang sama dengan petani organik. Jumlah total populasi petani

41

di Desa Ketapang (populasi sampling) mencapai 2.347 orang (Tabel 11),


sedangkan jumlah total populasi petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani
Al-Barokah (populasi sasaran) adalah 372 orang (terlampir). Populasi sasaran
tersebut terdiri dari dua sub populasi (strata), yaitu: 14 orang petani organik, dan
358 orang petani konvensional. Penelitian ini menggunakan metode survey
eksperimen yang membutuhkan sampel dari populasi, yaitu dua kelompok
responden penelitian, yang terdiri dari: kelompok eksperimen (experimental
group) dan kelompok kontrol (control group) dengan jumlah tertentu karena
jumlah populasi terlalu besar jika diteliti. Banyaknya jumlah responden penelitian
yang dapat mewakili populasi, ditentukan dari hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus Slovin, sebagai berikut:
n=

N
372
=
= 78,8
1 + N. e
1 + (372 x 0,01)

Keterangan:

n = Jumlah sampel penelitian


N = Jumlah populasi penelitian
e = Nilai kritis yang digunakan (10%)
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan 79 orang responden
(pembulatan dari hasil perhitungan karena responden adalah manusia). Peneliti
memiliki asumsi bahwa 79 orang merupakan jumlah minimal responden
penelitian yang dapat mewakili populasi petani dalam Paguyuban Petani AlBarokah di Desa Ketapang.
Teknik pengambilan responden pada penelitian ini dilakukan secara acak
distratifikasi (stratified random sampling) karena populasi tidak homogen, yaitu
terdiri dari dua sub populasi, seperti sub populasi petani organik dan
konvensional. Dari semua sub populasi atau kelas tersebut, kemudian masingmasing diambil perwakilan respondennya dengan perhitungan sebagai berikut:
1)

Petani organik = 14 orang karena merupakan jumlah total sub populasi.

2)

Petani konvensional = 79 - 14 = 65 orang.

Responden dari masing-masing kelas, selanjutnya akan dipilih secara acak melalui
teknik simple random sampling (pemilihan acak sederhana). Rincian mengenai
jumlah populasi dan sampel penelitian, dapat dilihat dalam Tabel 7.

42

Tabel 7. Jumlah Populasi dan Responden Penelitian


Petani Paguyuban Al-Barokah

Populasi Total* (Orang)

Petani Organik

Responden (Orang)

14

14

Petani Konvensional

358

65

Total

372

79

*Sumber: Data Paguyuban Petani Al-Barokah

Informan yang dipilih untuk penelitian ini adalah orang yang memahami
Paguyuban Petani Al-Barokah dan telah ikut berkecimpung dalam perkembangan
pertanian organik di Desa Ketapang. Pemilihan informan tersebut dilakukan
secara sengaja (purposive) dan mereka adalah Pak Mustofa, mantan ketua
Paguyuban Petani Al-Barokah; Pak Muslikh, Ketua Paguyuban Petani AlBarokah yang baru; Pak Basirun; serta beberapa tokoh masyarakat Desa
Ketapang. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data tambahan
terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner.
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan perlakuan yang berbeda sesuai jenis data yang diperoleh dan jenis
hipotesisnya. Menurut Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2009), data
kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis, yaitu reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (conclusion
drawing). Penjelasan mengenai tahap-tahap tersebut, antara lain:
1)

Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada halhal penting sesuai dengan kebutuhan penelitian.

2)

Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat dan kutipan
langsung untuk mendukung data kuantitatif.

3)

Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian.


Data primer yang diperoleh melalui metode kuantitatif, yaitu hasil

penyebaran kuesioner di lapangan, terlebih dahulu akan dilakukan proses editing,


pengkodean, selanjutnya dilakukan pemindahan dari daftar pertanyaan ke buku
kode dalam bentuk tabel Microsoft Excell 2007 yang telah disiapkan. Data-data
tersebut kemudian diolah menggunakan program SPSS 17.0 for Windows dan
diuji secara statistik. Uji statistik yang digunakan adalah Paired Samples T-test
yang bertujuan untuk menguji hipotesis pertama penelitian ini. Selain itu,

43

penelitian ini juga menggunakan uji non parametrik dua Independent Samples
Test, yaitu Uji
ji Kolmogorov
Kolmogorov-Smirnov untuk menguji hipotesis kedua penelitian ini,
sehingga tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dapat dibandingkan
dengan praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani pada dua
kelompok berbeda (Experimental
Experimental Group dan Control Group). Rumus T-test
test untuk
dua sampel berpasangan (Paired Samples T-test) secara lengkap disajikan di
bawah ini:

Keterangan:
t

= Nilai t yang dihitung


= Nilai rata-rata

= Simpangan baku sampel

= Jumlah anggota sampel

= Koefisien korelasi

BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Desa Ketapang


4.1.1. Kondisi Geografis
Desa Ketapang merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah
administratif Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah.
Desa ini memiliki suhu rata-rata harian sekitar 27-29C dengan curah hujan ratarata 21 mm per tahun. Batas wilayah Desa Ketapang adalah sebagai berikut:
sebelah utara berbatasan dengan Desa Sidoharjo; sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Timpik-Tawang; sebelah barat berbatasan dengan Desa Susukan;
dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gentan-Bakalrejo. Desa Ketapang
termasuk daerah dataran tinggi yang berada pada ketinggian 613 m di atas
permukaan laut dengan jarak: 1 km dari Ibu Kota Kecamatan, 48 km dari Ibu
Kota Kabupaten, 75 km dari Ibu Kota Propinsi dan 1000 km dari Ibu Kota
Negara.
Desa Ketapang terdiri dari 6 Rukun Warga (RW), 5 dusun, 31 Rukun
Tetangga (RT) dengan luas total wilayah sebesar 327 ha. Sebagian besar luas
wilayah desa digunakan untuk area persawahan, sedangkan sisanya digunakan
untuk pemukiman dan bangunan, tegalan, fasilitas umum, lapangan olahraga, dan
kuburan. Berikut ini disajikan tabel mengenai penggunaan lahan di Desa
Ketapang secara lengkap beserta luas lahan dan persentasenya:
Tabel 8. Luas dan Persentase Lahan Desa Ketapang Berdasarkan Penggunaannya,
Tahun 2007
No.

Penggunaan Lahan

1.

Persawahan

2.

Luas Lahan (ha)

Persentase (%)

160

48,9

Pemukiman dan Bangunan

91

27,8

3.

Tegalan

60

18,4

4.

Tanah Fasilitas Umum

13

5.

Lapangan Olahraga

0,3

6.

Kuburan

0,6

327

100

Total

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

45

4.1.2. Kondisi Kependudukan dan Kehidupan Beragama


Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Ketapang pada tahun 2007
mencapai 1.176 KK dengan jumlah total penduduk sebanyak 4.559 jiwa yang
terdiri dari 2.248 penduduk laki-laki dan 2.311 penduduk perempuan. Semua
penduduk di Desa Ketapang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang
beretnis Jawa, sehingga tidak ada satupun Warga Negara Asing (WNA) yang
tinggal di desa ini. Informasi lebih lengkap mengenai jumlah dan persentase
penduduk Desa Ketapang berdasarkan kelompok umur tahun 2007, dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa
Kelompok Umur, Tahun 2007
Umur (Tahun)

Ketapang Berdasarkan

Jumlah (Jiwa)

Persentase (%)

0-9

590

12,9

10-19

692

15,2

20-29

827

18,1

30-39

588

12,9

40-49

508

11,1

50-59

658

14,4

60-69

444

9,7

70 ke atas

252

5,5

4.559

100

Total

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa kelompok umur dengan jumlah


penduduk terbanyak di Desa Ketapang adalah kelompok umur 20-29 tahun.
Jumlah penduduk pada kelompok umur ini relatif lebih banyak daripada
kelompok umur lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa Desa Ketapang
memiliki jumlah penduduk usia dewasa muda yang cukup tinggi.
Kehidupan beragama penduduk di Desa Ketapang sampai saat ini berjalan
dengan sangat baik karena semua penduduk di desa ini, yaitu sebanyak 4.559 jiwa
beragama Islam. Jadi, tidak ada pemeluk agama lain di Desa Ketapang. Oleh
karena itu, tidak heran jika nuansa Islam di Desa Ketapang sangat kuat. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya acara-acara keagamaan, seperti: selametan, khol,
bahkan pengajian yang sering diadakan oleh warga pada hari-hari tertentu.
Pendidikan Agama Islam selalu ditanamkan oleh para orang tua kepada anakanaknya di Desa Ketapang sejak dini.

46

4.1.3. Tingkat Pendidikan Penduduk


Tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang berdasarkan data yang
diperoleh dari Kantor Kepala Desa cukup bervariasi, mulai dari tidak sekolah,
belum sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), belum tamat SD, tamat SD,
belum tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat, tamat SMP sederajat,
belum tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat, tamat SMA sederajat,
belum tamat Perguruan Tinggi (PT), lulus S1, S2, dan S3. Gambaran lebih rinci
mengenai tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang, diuraikan di dalam Tabel.
10.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Tingkat
Pendidikan, Tahun 2007
No.

Tingkat Pendidikan

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1.

Tidak Sekolah

347

7,6

2.

Belum Sekolah

467

10,2

3.

Tidak Tamat SD

341

7,5

4.

Belum Tamat SD

573

12,6

5.

Tamat SD

699

15,3

6.

Belum Tamat SMP/Sederajat

377

8,3

7.

Tamat SMP/Sederajat

676

14,8

8.

Belum Tamat SMA/Sederajat

355

7,8

400

8,8

95

2,1

9.

Tamat SMA/Sederajat

10.

Belum Tamat PT

11.

S1

217

4,8

12.

S2

0,2

13.

S3

0,1

4.559

100

Total

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang berdasarkan Tabel 10, sebagian


besar masih tergolong rendah karena persentase tertinggi untuk tingkat pendidikan
penduduk Desa Ketapang adalah tamat SD.
4.1.4. Mata Pencaharian Penduduk
Jenis mata pencaharian penduduk Desa Ketapang cukup bervariasi,
seperti: petani, nelayan, pengusaha industri besar/sedang, pengusaha industri
kecil/pengrajin, buruh industri, buruh bangunan, pedagang, jasa pengangkutan,
TNI/POLRI, PNS, pensiunan, peternak, pegawai swasta, dan TKI. Meskipun
cukup banyak jenis mata pencaharian penduduk Desa Ketapang, tetapi ada satu

47

mata pencaharian yang paling dominan di desa ini. Berdasarkan Tabel 11, jenis
mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah petani dengan persentase
yang sangat besar dan jauh selisihnya dibandingkan jenis mata pencaharian
lainnya, yaitu 69,71 persen.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Mata
Pencaharian, Tahun 2007
No.

Jenis Mata Pencaharian

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

2.347

69,7

1.

Petani

2.

Nelayan

0,1

3.

Pengusaha Industri Besar/Sedang

0,2

4.

Pengusaha Industri Kecil/Pengrajin

250

7,4

5.

Buruh Industri

54

1,6

6.

Buruh Bangunan

251

7,5

7.

Pedagang

31

0,9

8.

Jasa Pengangkutan

18

0,5

9.

TNI/POLRI

10

0,3

10.

PNS

74

2,2

11.

Pensiunan

30

0,9

12.

Peternak

13.

Pegawai Swasta

72

2,1

14.

TKI

17

0,5

3.367

100

Total

203

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

4.1.5. Ketersediaan Fasilitas Umum


Desa Ketapang memiliki fasilitas umum seperti halnya desa-desa yang
lain. Ketersediaan fasilitas umum tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk di berbagai bidang. Oleh karena itu, fasilitas umum berupa sarana dan
prasarana di Desa Ketapang, terbagi dalam beberapa bidang, yaitu: transportasi
darat, komunikasi, air bersih, peribadatan, olahraga, kesehatan, pendidikan, dan
penerangan. Penjelasan lebih detail mengenai fasilitas umum untuk masingmasing bidang, disajikan dalam tabel di bawah ini:

48

Tabel 12. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Transportasi Darat Desa


Ketapang, Tahun 2007
No.

Jenis Fasilitas Umum

Jumlah

1.

Jalan Aspal

10.110 m

2.

Jalan Makadam

1.250 m

3.

Jalan Tanah

3.670 m

4.

Jalan Konblok

5.100 m

5.

Jembatan Kelurahan

7 unit

6.

Jembatan Beton

7 unit

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Sarana transportasi darat Desa Ketapang, sampai saat ini hanya dilalui bis umum
dengan panjang jalan sekitar 1.500 m, dan ojek atau sepeda motor sebanyak 83
buah yang tercatat oleh pemerintah desa.
Tabel 13. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Komunikasi Desa Ketapang,
Tahun 2007
No.

Jenis Fasilitas Umum

Jumlah (Unit)

1.

Telepon Rumah

2.

Wartel

64
4

3.

Warnet

4.

Faximile

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Fasilitas umum bidang komunikasi di Desa Ketapang memang tidak


banyak tersedia karena sebagian besar penduduk saat ini sudah memiliki hand
phone atau telepon genggam. Berdasarkan Tabel 13, jenis prasarana bidang
komunikasi yang paling banyak tersedia dan digunakan oleh penduduk setempat
adalah telepon rumah. Selain itu, desa ini juga telah memiliki satu unit Warung
Internet (Warnet) yang terletak di sekretariat Paguyuban Petani Al-Barokah.
Warnet ini pada awalnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan petani akan akses
informasi dan teknologi agar mereka bisa berdaya. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, Warnet ini kemudian dibuka untuk masyarakat umum.

49

Tabel 14. Ketersediaan Prasarana Air Bersih Desa Ketapang, Tahun 2007
No.

Jenis Prasarana Air Bersih

Jumlah (Unit)

1.

Sumur Pompa

2.

Sumur Gali

673

3.

Air Sungai

4.

PAM

5.

Toilet Umum

55
1

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Prasarana air bersih yang paling banyak tersedia di Desa Ketapang adalah sumur
gali dengan jumlah 673 unit (Tabel 14). Jumlah pengguna prasarana ini mencapai
790 KK dan merupakan jumlah pengguna prasarana air bersih terbanyak di Desa
Ketapang. Kebutuhan air bersih penduduk Desa Ketapang dapat terpenuhi melalui
ketersediaan sumur gali ini. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat
tentang pemakaian air bersih sudah sangat baik.
Tabel 15. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Peribadatan Desa Ketapang,
Tahun 2007
No.

Jenis Fasilitas Umum

Jumlah (Unit)

1.

Masjid

10

2.

Musholla/Surau

30

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa fasilitas umum bidang peribadatan yang
tersedia di Desa Ketapang, hanya berupa masjid dan musholla atau surau karena
semua penduduk di desa ini beragama Islam.
Tabel 16. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Olahraga Desa Ketapang, Tahun
2007
No.

Jenis Fasilitas Umum

Jumlah (Unit)

1.

Lapangan Sepak Bola

2.

Lapangan Bulu Tangkis

3.

Lapangan Voli

4.

Meja Tenis Meja

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Fasilitas umum bidang olahraga di Desa Ketapang terdiri dari: lapangan


sepak bola, lapangan bulu tangkis, lapangan voli, dan meja tenis meja (Tabel 16).
Semua fasilitas tersebut, ditujukan untuk memuaskan hasrat olahraga penduduk di
Desa Ketapang. Prasarana olahraga yang paling banyak tersedia adalah lapangan
bulu tangkis. Meskipun fasilitas umum bidang olahraga telah tersedia, tetapi pada

50

kenyataannya penduduk jarang memanfaatkan fasilitas tersebut karena setiap hari,


mayoritas penduduk Desa Ketapang harus bekerja di sawah sebagai petani atau
beternak mulai dari pagi hingga sore. Oleh karena itu, prasarana olahraga di Desa
Ketapang sebagian besar dimanfaatkan oleh penduduk usia remaja atau dewasa
muda yang belum bekerja.
Tabel 17. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Kesehatan Desa Ketapang, Tahun
2007
No.

Jenis Fasilitas Umum

Jumlah (Unit)

1.

Poliklinik/Balai Pengobatan

2.

Posyandu

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Ketersediaan fasilitas umum bidang kesehatan di Desa Ketapang relatif sangat


kurang. Desa ini hanya memiliki 1 unit poliklinik atau balai pengobatan, dan 7
unit Posyandu (Tabel 17). Padahal, jumlah penduduk Desa Ketapang lebih dari
4.000 jiwa. Jauhnya akses menuju rumah sakit seringkali menjadi kendala bagi
penduduk yang sangat membutuhkan perawatan kesehatan intensif. Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan apotek sebenarnya juga tersedia
meskipun tidak berada dalam kawasan desa, tetapi berada di pusat Kecamatan
Susukan yang jaraknya tidak jauh dari Desa Ketapang.
Tabel 18. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Pendidikan Desa Ketapang,
Tahun 2007
No.

Jenis Fasilitas Umum

Jumlah (Unit)

1.

Gedung SMA/Sederajat

2.

Gedung SMP/Sederajat

3.

Gedung SD/Sederajat

4.

Gedung TK

5.

Gedung TPA

6.

Pendidikan Keagamaan

7.

Perpustakaan

Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007

Fasilitas umum bidang pendidikan di Desa Ketapang cukup banyak


tersedia yang terlihat dari adanya prasarana pendidikan berupa gedung sekolah,
mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK), hingga SMA/sederajat dan
prasarana untuk pendidikan keagamaan. Bangunan untuk kepentingan pendidikan
yang paling banyak tersedia di Desa Ketapang adalah gedung SD/sederajat dan

51

TK, yaitu masing-masing berjumlah 4 unit (Tabel 18). Oleh karena itu, tidak
heran jika saat ini telah banyak penduduk Desa Ketapang yang memiliki tingkat
pendidikan minimal lulus SD. Selain bidang pendidikan, fasilitas umum lainnya
yang tersedia di Desa Ketapang dan menjadi kebutuhan penting penduduk adalah
penerangan. Desa Ketapang memiliki prasarana lampu penerangan jalan
kampung, baik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun swadaya
masyarakat sendiri. Lampu tersebut hampir ada di sepanjang jalan, meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebagai informasi, Desa Ketapang merupakan
desa yang telah dialiri listrik dari PLN dan juga mempunyai diesel swadaya
masyarakat untuk cadangan sumber listrik jika suatu saat terjadi pemadaman
listrik dari PLN.
4.2. Profil Paguyuban Petani Al-Barokah11
Paguyuban Petani Al-Barokah merupakan sebuah organisasi masyarakat
pedesaan yang berbasis pertanian dengan kegiatan utamanya adalah pertanian padi
sawah organik. Al-Barokah secara resmi didirikan pada tanggal 6 September 1999
oleh para petani penggarap di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang. Paguyuban petani ini sebenarnya telah lama dirintis oleh para tokoh
pertanian organik di Desa Ketapang sejak tahun 1989. Namun, realisasi resmi
terbentuknya Paguyuban Petani Al-Barokah baru disahkan tahun 1999. Sejarah
terbentuknya Al-Barokah dimulai pada saat pemerintah tidak memenuhi janjinya
untuk memberikan Kredit Usaha Tani (KUT) kepada para petani sekitar akhir
tahun 1980-an. Gagalnya janji pemerintah dalam memberikan dana segar kepada
petani ini diketahui oleh beberapa tokoh masyarakat, seperti: Pak Muslikh, Pak
Basirun, dan Pak Mustofa, lalu mereka sengaja menyembunyikan berita tersebut
kepada para petani agar petani tidak merasa kecewa. Para petani sebelumnya telah
menaruh harapan besar terhadap bantuan pemerintah dalam bentuk apapun,
khususnya dana segar. Hal inilah yang membuat mereka menjadi tidak berdaya
atau masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemerintah.

11

http://ukmsentral.com/mustofa/ dan hasil wawancara dengan ketua Paguyuban Petani


Al-Barokah pada tanggal 19 November 2010

52

Beberapa tokoh masyarakat dan petani, seperti: Pak Basirun, Pak Muslikh,
dan Pak Mustofa yang peduli dengan kondisi sesama petani di Desa Ketapang,
tidak ingin melihat petani terjerat dalam ketergantungan dan kemiskinan yang
berkepanjangan. Akhirnya, mereka mempunyai inisiatif untuk membentuk suatu
organisasi petani berazaskan kekeluargaan. Pak Muslikh, Ketua Paguyuban Petani
Al-Barokah dalam wawancaranya menambahkan:

Kita para petani hanya bisa maju dan mandiri jika kita bersatu
dalam kelompok karena kelompok inilah yang nantinya dapat
menjawab kebutuhan petani sendiri. Jadi, organisasi ini dibentuk
oleh petani dan untuk petani. Sudah saatnya petani hidup layak
dan tidak tergantung lagi dari bantuan pemerintah.
Pada awalnya, paguyuban petani ini dibentuk di bawah naungan organisasi Islam,
yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan hanya diikuti oleh segelintir petani. Namun,
perjuangan untuk memberdayakan petani terus dilakukan oleh beberapa tokoh
penggerak petani tersebut, hingga akhirnya muncul sebuah ide untuk menerapkan
praktik pertanian organik sebagai sebuah alternatif pertanian berkelanjutan dengan
input rendah.
Paguyuban Petani Al-Barokah telah berbadan hukum dengan akte notaris:
Muhammad Fauzan, SH Salatiga tanggal 14 September 2004 nomor 24. AlBarokah saat ini telah memiliki beberapa kelompok tani yang diketuai oleh
seorang petani terpilih dan tersebar di semua dusun Desa Ketapang, bahkan ada
pula kelompok tani dari desa lain yang bergabung dengan Al-Barokah. Jadi, AlBarokah merupakan embrio klaster dengan jumlah anggota sekitar 372 petani,
baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di dua Kecamatan (Susukan dan
Kaliwungu). Total luas lahan yang dikelola oleh paguyuban ini melalui masingmasing kelompok tani adalah 63 ha, dan kemungkinan akan terus bertambah.
Paguyuban Petani Al-Barokah dijalankan secara demokratis yang diawali dengan
strategic planning untuk menghasilkan master plan organisasi dan setiap tahun
diadakan RUBANI (Rapat Umum Anggota Paguyuban Petani) untuk pemilihan
ketua serta penyusunan program tahunan. Kepengurusan paguyuban petani ini
terdiri dari Dewan Pleno Paguyuban (legislatif) dan Ketua Pelaksana Paguyuban
(eksekutif). Dewan Pleno Paguyuban dipilih secara mufakat melalui RUBANI,

53

sedangkan Ketua Pelaksana Paguyuban dipilih secara langsung oleh anggota


(petani penggarap) melalui pemilu paguyuban dengan masa jabatan empat
tahun.
Sebagai organisasi akar rumput di komunitas, Al-Barokah menitikberatkan pengembangan sosial ekonomi anggotanya. Wadah yang digunakan
dalam menjalankan usaha-usaha ekonomi kerakyatan Al-Barokah adalah lembaga
ekonomi petani, yaitu dalam bentuk Koperasi Serba Usaha Gardu Tani AlBarokah, dan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) yang telah berbadan
hukum dari Deperindagkop, tanggal 15 November 2002 nomor 267/BH/KOK.II.
1/188.4/XI/2003. Al-Barokah bermitra dengan 35 paguyuban petani lainnya seJawa Tengah yang tergabung dalam Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah
(SPPQT) untuk mewujudkan cita-cita pemberdayaan ekonomi petani penggarap.
Seperti halnya organisasi yang berbadan hukum, Al-Barokah juga memiliki visi
dan misi, tujuan strategis, tujuan operasional, program kerja utama, laporan
kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan, dan produk unggulan pertanian yang
telah dipasarkan secara luas. Penjelasan lebih lengkap mengenai masing-masing
hal di atas, akan dibahas dalam sub bab tersendiri.
4.2.1. Visi dan Misi
Visi Paguyuban Petani Al-Barokah adalah Membentuk masyarakat tani
yang kuat, mandiri, adil, dan sejahtera yang mampu mengelola sumberdaya alam,
dengan menjaga kelestarian lingkungan serta memperhatikan kesetaraan dan
kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Misi Paguyuban Petani Al-Barokah,
adalah:
1)

Membangun kesadaran kolektif petani (laki-laki dan perempuan) untuk


mengelola dan menentukan pengelolaan sumber dayanya, dengan kesadaran
untuk mengubah perilaku dan sistem kehidupan yang lebih bijak.

2)

Membangun organisasi yang kuat sebagai wadah perjuangan ekonomi petani.

3)

Mengembangkan sistem informasi yang berbasis petani dan jaringan kerja


dengan pihak-pihak lain yang memiliki kesamaan visi dan misi.

4)

Mengembangkan pertanian organik terpadu sebagai alat perjuangan gerakan


tani yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat, dalam rangka
memperkuat perekonomian petani berbasis keadilan dan kelestarian, serta

54

mampu menguasai dan mengembangkan tehnologi petani, dan menjunjung


tinggi kearifan lokal serta kelestarian lingkungan.
5)

Mendesakkan perubahan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan


penguasaan dan pemanfaatan benih, tanah, air, udara, dan harga dasar hasil
pertanian, agar berpihak pada petani.

6)

Menguatkan organisasi gerakan tani yang efektif untuk mewujudkan visi dan
misi gerakan pemberdayaan petani.

4.2.2. Tujuan Strategis


Tujuan strategis Paguyuban Petani Al-Barokah adalah:
1)

Meningkatnya kapasitas dan kinerja gerakan tani yang efektif dalam


mewujudkan tujuan bersama sesuai visi yang telah ditetapkan.

2)

Menguatnya serta berkembangnya pengorganisasian petani menuju gerakan


tani yang kuat dan mandiri.

3)

Disikapinya penerapan corporate farming yang mengancam terampasnya


hak-hak akses dan kontrol petani terhadap sumberdaya agraria untuk
budidaya di lahan sendiri dan mengupayakan sistem pertanian ramah
lingkungan (organik) yang berkeadilan, berpihak pada kepentingan petani.

4)

Berkembangnya sistem informasi dan komunikasi yang berbasis gerakan tani


agar seluruh elemen gerakan termediasi dan bekerja secara terpadu.

4.2.3. Tujuan Operasional


Tujuan operasional Paguyuban Petani Al-Barokah, adalah:
1)

Tersedianya pemimpin organisasi tani yang mampu menggerakkan dan


mendampingi organisasi tani yang berkualitas.

2)

Berkembangnya
Farming/IOF)

pertanian
melalui

organik

kegiatan

terpadu

pertanian

(Integrated

berkelanjutan

Organic

(sustainable

agriculture) demi terwujudnya petani yang tangguh (suitable farmers).


3)

Berfungsinya lembaga ekonomi petani yang berbentuk KSULKMA Gardu


Tani untuk mendukung implementasi pertanian organik.

4)

Menguatnya organisasi paguyuban petani sebagai organisasi gerakan tani


yang maju.

55

5)

Tersedianya analisis data informasi (data base), sebagai media informasi,,


komunikasi, dan advokasi kebijakan dalam penataan alat produksi pertanian
(tanah, air, udara).

6)

Tersedianya media komunikasi petani yang layak sebagai pelayanan serta


penyadaran publik.

7)

Terpenuhinya sarana dan prasarana organisasi dan gerakan pertanian organik


yang memadai.

4.2.4. Program Kerja Utama


Program utama Paguyuban Petani Al-Barokah yang telah direncanakan,
meliputi:
1)

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)


Program pengembangan SDM setiap tahun yang diadakan oleh Al-Barokah,
terdiri dari:
a) Peningkatan capacity bulding bagi para petani melalui pelatihan-pelatihan
teknologi pertanian organik (IOF), kepemimpinan, Ansos (PRA dan PAR),
administrasi keuangan, gender, Dikpol, dan kewirausahaan.
b) Pengorganisasian kelompok yang kuat melalui strategic planning,
penguatan status organisasi, Pemilu pada rapat umum anggota petani,
pertemuan rutin dan audit.
c) Pengembangan kesadaran aktif dari petani, oleh petani, dan bersama
petani dalam proses pembelajaran tehnologi pertanian yang ramah
lingkungan.

2)

Teknologi Pertanian Organik (IOF)


Program kerja Al-Barokah yang berkaitan dengan pengembangan teknologi
pertanian orgnaik (IOF) di kalangan petani adalah:
a) Penerapan IOF (Integrated Organic Farming)
b) Pemeliharaan ternak sebagai penghasil pupuk organik
c) Pembuatan pupuk organik (lumbung pupuk organik)
d) Pembuatan pestisida alami (agensi hayati)
e) Biogas Degister
f) Pengolahan pasca panen
g) Strategi pemasaran hasil pertanian

56

3)

Sarana Produksi Pertanian (Saprodi)


Beberapa program utama Al-Barokah dalam memenuhi Saprodi, antara lain:
a) Penyediaan pupuk organik dan pestisida alami kepada anggota (sistem
lumbung)
b) Pengadaan benih padi kepada anggota (sistem lumbung)
c) Pengolahan (penggilingan) gabah hingga pengemasan hasil pertanian
beras organik oleh dan dari anggota
d) Pengadaan sarana dan prasarana seperti traktor, alat angkut, dan laborat
sederhana
e) Penyediaan tangki semprot dan pedal trayser

4)

Usaha Ekonomi Kerakyatan


Program usaha ekonomi kerakyatan Al-Barokah untuk meningkatkan
perekonomian anggota, adalah:
a) Mendirikan lembaga ekonomi kerakyatan dalam bentuk koperasi (KSU
Gardu Tani Al-Barokah) dan LKM Agribisnis.
b) Menyediakan kebutuhan anggota untuk berwirausaha.
c) Upaya pemupukan modal usaha anggota koperasi melalui pinjaman
kepada koperasi dan atau lembaga lain.
d) Upaya menampung hasil pertanian atau usaha anggota yang dipasarkan
melalui Koperasi Gardu Tani Al-Barokah.
e) Mengupayakan informasi peluang pasar untuk memasarkan hasil produksi
anggota.
f) Menjalin kemitraan dengan pihak ketiga, promosi, temu usaha, lelang
expo agribisnis, dan lain-lain.

5)

Pemuda Usaha dan Pemberdayaan Perempuan


Program utama Al-Barokah di bidang pemuda usaha dan pemberdayaan
perempuan, antara lain:
a) Pengorganisasian pemuda wirausaha dalam meningkatkan ekonomi
anggota dan mengurangi urbanisasi.
b) Penguatan pemberdayaan perempuan dalam industri rumah tangga, dan
pembuatan beras organik tumbuk melalui usaha simpan pinjam anggota
kelompok.

57

6)

Advokasi Kebijakan
Program utama advokasi kebijakan yang dimaksud Al-Barokah, adalah:
a) Organisasi aktif dalam perencanaan pembangunan desa, mengawal
masyarakat atau anggota organisasi dalam kebijakan-kebijakan yang
berpihak kepada petani.
b) Sosialisasi Peraturan Daerah, Peraturan Desa, dan peraturan lainnya
kepada petani anggota.
c) Mengadakan pendidikan politik kebijakan baik pemerintah maupun non
pemerintah.

7)

Pendidikan Anak Petani


Paguyuban Petani Al-Barokah juga memiliki program untuk peningkatan
pendidikan anak petani yang tercatat sebagai berikut:
a) Mendirikan dan mengelola pendidikan alternatif Kejar Paket B dan C
kepada putra-putri petani (anggota) yang tidak mampu mengenyam
pendidikan di sekolah reguler karena keterbatasan ekonomi.
b) Memfokuskan pendidikan lives skill kepada putra-putri petani agar mereka
mampu mengatasi beban hidupnya sendiri di masa depan.
c) Mengadakan berbagai macam pelatihan sebagai salah satu bentuk capacity
building untuk remaja dan anak-anak.
d) Mengelola PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Qaryah
Thayyibah yang terdiri dari: pendidikan kesetaraan (Kejar Paket B dan C),
KBU (Kelompok Belajar Usaha), KBO (Kelompok Belajar Olahraga),
kursus-kursus (komputer, internet, menjahit, akuntansi), dan kepramukaan.

8)

Penguatan Lumbung Masyarakat


Program kerja utama Al-Barokah di bidang penguatan lumbung masyarakat,
terdiri dari:
a) Penguatan kembali lumbung tani anggota paguyuban dan masyarakat,
seperti: penguatan Lumbung Pangan, Lumbung Benih (padi), Lumbung
Pemasaran (organik), Lumbung Pupuk Organik (padat dan cair), dan
Lumbung Pestisida Organik.

58

b) Memfasilitasi kebutuhan pertanian dari petani, oleh petani, dan untuk


petani anggota Paguyuban Petani Al-Barokah khususnya, serta masyarakat
tani pada umumnya.
4.2.5. Kegiatan-kegiatan yang Telah Dilaksanakan
Paguyuban Petani Al-Barokah, telah melaksanakan berbagai macam
kegiatan yang terkait dengan program kerja utamanya. Kegiatan-kegiatan tersebut
secara umum dikategorikan ke dalam kegiatan fisik dan kegiatan ekonomi.
Kegiatan fisik merupakan kegiatan yang difokuskan untuk penyediaan sarana
produksi pertanian atau penguatan teknologi pertanian organik di kalangan petani.
Sementara itu, kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang difokuskan untuk
meningkatkan perekonomian para petani melalui sistem usahatani atau
kewirausahaan.
4.2.5.1. Kegiatan Fisik
Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Paguyuban Petani AlBarokah dan termasuk dalam kategori kegiatan fisik, antara lain:
1)

Intensifikasi Padi Organik


Salah

satu

kegiatan

pokok

Paguyuban

Petani

Al-Barokah

adalah

menghasilkan produk beras, baik non organik, maupun organik. Produkproduk tersebut dibudidayakan dalam dua area lahan yang berbeda, yaitu
lahan organik untuk produksi padi organik seluas 14 ha dan lahan non
organik untuk produksi padi non organik seluas 31,6 ha.
2)

Penyediaan Benih
Paguyuban Petani Al-Barokah terus berusaha menyediakan pasokan benih
organik untuk para petani organik yang tergabung sebagai anggota
paguyuban. Usaha ini dilakukan dengan

mengembangkan benih-benih

unggul lokal, seperti: Pandan Wangi, Mentik Wangi, Mentik Susu, dan Beras
Merah, serta varietas unggul lokal lainnya melalui metode penangkaran
sendiri. Metode penangkaran sendiri yang dimaksud adalah petani
memasukkan hasil penangkaran bibit padi di lumbung benih. Selain itu, AlBarokah juga menyediakan benih-benih unggul nasional (varietas padi
hibrida) di dalam lumbung benih untuk mencukupi kebutuhan petani
konvensional (non organik).

59

3)

Pengadaan Pupuk
Para petani anggota Al-Barokah, menggunakan dua jenis pupuk untuk
mencukupi kebutuhan usahataninya. Pupuk tersebut, yaitu: pupuk organik
dan non organik. Kebutuhan pupuk organik telah disediakan di lumbung
pupuk oleh organisasi dengan sistem kolektif, melalui pemeliharaan ternak
anggota yang diolah bersama menjadi pupuk organik (bokashi), pupuk cair,
pupuk hijau, dan pengembangan bakteri melalui proses fermentasi. Semua
pupuk organik tersebut diproduksi sendiri oleh organisasi dan para petani
anggota paguyuban. Sementara itu, penggunaan pupuk non organik oleh
petani perlahan-lahan mulai dikurangi, seperti: Urea, SP36, KCL, dan lainlain untuk mendorong dipraktikkannya pertanian organik.

4)

Usaha Lain
Usaha lain biasanya merupakan kegiatan yang dilaksanakan para wanita tani
sepanjang hari selain memproduksi beras organik tumbuk, misalnya:
pembuatan jamur, usaha di bidang industri tempe, makanan kecil, anyaman
bambu, serta konfeksi.

4.2.5.2. Kegiatan Ekonomi


Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Paguyuban Petani AlBarokah dan termasuk dalam kategori kegiatan ekonomi, antara lain:
1)

Permodalan
Paguyuban

Petani

Al-Barokah

telah

mempunyai

lembaga

ekonomi

kerakyatan dalam bentuk Koperasi Tani (KSU Gardu Tani Al-Barokah) dan
LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis). Koperasi ini memberikan
bantuan kepada anggota melalui usaha simpan pinjam dan pengadaan sarana
produksi kepada anggota dalam berwirausaha maupun bertani organik. Selain
itu, koperasi juga mengusahakan hibah atau pinjaman modal bergulir melalui
kerjasama dengan instansi lain yang terkait.
2)

Pemasaran Produk
Pemasaran produk, dilakukan melalui:
a) Penjualan langsung kepada pengecer untuk komoditi beras organik, jamur
tiram, kerupuk, makanan kecil, kerajinan bambu dan sebagainya.

60

b) Kerjasama dengan pihak ketiga untuk komoditi khusus seperti beras


organik

sebagai produk unggulan. Sehubungan dengan hal ini, telah

dilakukan kerjasama kemitraan dengan beberapa distributor di kota-kota


besar yang berbadan hukum PT, CV, sektor usaha perdagangan lainnya
dan dinas atau istansi lainnya (supermarket, grosir, dan lain-lain).
3)

Promosi Produk
Upaya promosi produk terus dilakukan, baik melalui pameran, bursa lelang,
media elektronik maupun cetak serta melalui media informasi dan
komunikasi lainnya yang dilaksanakan di berbagai kota-kota besar.

4)

Pengembangan usaha
Saat ini hasil usaha petani berupa beras organik dan produk lainnya telah
mampu menembus pasar lokal maupun non lokal, bahkan dari waktu ke
waktu, permintaan terus meningkat khususnya permintaan terhadap beras
organik. Oleh karena itu, produksi pertanian akan terus dikembangkan
melalui kerjasama dengan kelompok tani lain yang mempunyai visi dan misi
sama dengan Al-Barokah.

4.2.6. Produk Unggulan


Produk unggulan Paguyuban Petani Al-Barokah adalah beras organik.
Beras Organik Al-Barokah adalah beras yang dihasilkan dari budidaya pertanian
organik oleh anggota Paguyuban Petani Al-Barokah. Pengolahan dan pengemasan
beras terpusat di pabrik beras Al-Barokah. Beras Organik Al-Barokah dijual
dengan menggunakan kemasan plastik yang berkapasitas 5 kg, 10 kg, dan 25 kg.
Kemasan tersebut berlogo Paguyuban Petani Al-Barokah yang berupa gambar
sketsa dua petani dalam lingkaran berbentuk elips. Adapun jenis beras yang dijual
ada dua, yaitu: beras slip (selep) dan beras tumbuk. Beras tumbuk adalah beras
yang dihasilkan dengan cara ditumbuk memakai alat tumbuk berupa antan dan
lesung (tradisional). Beras tumbuk inilah yang masih banyak mempunyai
kandungan nutrisi, protein, dan kandungan serat yang lebih tinggi. Semua varietas
beras yang diproduksi oleh Al-Barokah adalah varietas lokal, seperti: Mentik
Wangi Super, Beras Merah, Pandan Wangi, Mentik Susu, Ketan, dan lain-lain.
Beras Organik Al-Barokah mempunyai beberapa keunggulan, antara lain:
1)

Mempunyai banyak kandungan nutrisi yang baik untuk kesehatan.

61

2)

Aman dari residu kimia sintetik yang berbahaya bagi kesehatan.

3)

Penanganan pasca panen secara profesional yang berpusat di Paguyuban


Petani Al-Barokah untuk menjaga kualitas (keorganikan) beras.

4)

Berdasarkan hasil uji laboratorium dari BALITBIO No. 029/LB/III/03, telah


terbukti bahwa dari lima zat aktif yang diuji, hanya terdeteksi residu dua zat
aktif dalam taraf yang sangat rendah dan jauh dari batas maksimum residu
yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa produk beras Al-Barokah aman bagi
kesehatan dan layak untuk dikonsumsi.

5)

Rasa beras lebih enak, pulen, tahan lama dan tidak mudah basi.

6)

Ditanam dan diproduksi sendiri oleh petani anggota Paguyuban Petani AlBarokah yang memudahkan konsumen untuk ikut melakukan kontrol atau
pengecekan di lapangan.

4.3. Karakteristik Responden Penelitian


Penulis akan menjelaskan karakteristik responden secara khusus dalam
Sub bab ini sesuai dengan kategori yang telah ditentukan dan berdasarkan hasil
perhitungan olahan data primer melalui program Microsoft Excell 2007.
Karakteristik responden tersebut, meliputi: jenis kelamin, tingkat pendidikan,
umur, jenis mata pencaharian selain bertani, status petani dan jumlah anggota
keluarga, kepemilikan hewan ternak, penggunaan hasil panen, serta jenis tanaman
yang dibudidayakan selain padi.
4.3.1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin responden dalam penelitian ini, sebagian besar adalah lakilaki, yaitu 58 orang atau 73,4 persen dari jumlah total responden, sedangkan
sisanya adalah responden perempuan sebanyak 21 orang atau 26,6 persen dari
jumlah total responden (Tabel 19). Jenis kelamin semua responden dalam
kelompok eksperimen (petani organik) adalah laki-laki, sedangkan proporsi lakilaki dan perempuan pada kelompok kontrol (petani konvensional) masing-masing
adalah: 67,7 persen dan 32,3 persen dari jumlah total responden kontrol, yaitu 65
orang. Besarnya jumlah responden laki-laki dalam penelitian ini, disebabkan
karena para petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah, rata-rata
adalah laki-laki. Laki-laki memegang peranan penting dalam sistem usahatani

62

keluarga atau kelompok tani karena mereka lebih mengetahui pengelolaan lahan
pertanian, mulai dari persiapan lahan, hingga panen dibandingkan perempuan. Hal
ini dipengaruhi oleh keterlibatan langsung mereka pada setiap proses pengelolaan
lahan, seperti: mencangkul tanah, membajak sawah, menabur pupuk, dan lainlain. Perempuan juga memiliki peranan dalam sistem usahatani tetapi hanya
sebatas pada tandur atau menanam padi, proses penyiangan (maton), dan pasca
panen (penjemuran, pengolahan produk turunan pertanian, dan lain-lain). Oleh
karena itu, tidak heran jika petani laki-laki lebih mengetahui sistem usahatani
secara lebih detail daripada petani perempuan dan terlibat aktif dalam kegiatan
kelompok tani. Meskipun demikian, ada kelompok tani yang anggotanya
merupakan campuran dari petani laki-laki dan perempuan, bahkan ada pula
kelompok tani yang hampir semua anggotanya adalah perempuan. Fakta ini
terjadi pada dua dusun di Desa Ketapang karena pada dusun-dusun tersebut,
perempuan memegang kendali lebih dominan daripada laki-laki atas manajemen
keuangan sistem usahatani.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis
Kelamin di Desa Ketapang, Tahun 2010
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total

Petani Organik
n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
14
100
0
0
14
100

Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
44
67,7
21
32,3
65
100

Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
58
73,4
21
26,6
79
100

Sumber: Data Primer Diolah

4.3.2. Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan responden cukup bervariasi, mulai dari tidak tamat
Sekolah

Dasar

(SD),

tamat

SD,

tamat

Sekolah

Menengah

Pertama

(SMP)/sederajat, tamat Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan tamat


Perguruan Tinggi (PT) dengan gelar sarjana. Tingkat pendidikan responden masih
rendah karena terbukti dari banyaknya responden yang hanya tamat SD
dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jumlah responden
dengan tingkat pendidikan terakhir tamat SD mencapai 45 orang atau 57 persen
dari jumlah total responden (Tabel 20). Persentase tersebut merupakan persentase

63

tertinggi diantara persentase jumlah responden pada masing-masing tingkat


pendidikan.
Persentase jumlah responden eksperimen dan kontrol yang tidak lulus SD
masing-masing sebesar 35,7 persen dan 18,5 persen dari jumlah total responden
pada masing-masing kelompok. Sementara itu, persentase jumlah responden
eksperimen dan kontrol yang tingkat pendidikannya termasuk dalam kategori
sedang hingga tinggi (lulus SMP/Sederajat hingga Perguruan Tinggi), masingmasing adalah 42,9 persen dan 16,9 persen dari jumlah total responden pada
masing-masing kelompok. Hal ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan
responden eksperimen (petani organik) lebih tinggi daripada responden kontrol
(petani konvensional), meskipun persentase jumlah responden eksperimen yang
tidak lulus SD lebih besar daripada responden kontrol. Untuk keterangan lebih
lanjut mengenai jumlah dan persentase responden penelitian berdasarkan tingkat
pendidikan, dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Desa Ketapang, Tahun 2010
Tingkat
Pendidikan
Tidak Lulus SD
SD
SMP/Sederajat
SMA/Sederajat
Sarjana
Total

Petani Organik
n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
5
35,7
3
21,4
2
14,3
3
21,4
1
7,1
14
100

Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
12
18,5
42
64,6
9
13,8
2
3,1
0
0
65
100

Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
17
21,5
45
57
11
13,9
5
6,3
1
1,3
79
100

Sumber: Data Primer Diolah

4.3.3. Umur
Umur responden berkisar antara 31 sampai 80 tahun. Dari Tabel 21, dapat
diketahui bahwa para petani di Desa Ketapang yang masih terus melanjutkan
usahataninya, rata-rata adalah petani usia dewasa tengah hingga dewasa tua. Tidak
ada satupun responden dengan usia di bawah 31 tahun yang ditemui oleh penulis
selama penelitian. Fakta ini menunjukkan bahwa sudah jarang sekali generasi
muda yang menjadi petani di Desa Ketapang karena minat mereka terhadap
pertanian telah menurun. Banyak penduduk dengan usia kerja produktif atau

64

dewasa awal yang beralih untuk bekerja di sektor industri, perdagangan, atau
bahkan menjadi buruh ke daerah perkotaan. Salah satu informan penelitian, yaitu
Bapak Msl (laki-laki, 55 tahun) menjelaskan:

Ya beginilah Mas, pertanian di sini itu masih tetap ada karena


orang-orang tuanya seperti saya terus bertani, sedangkan anakanak muda di sini sudah gak ada lagi yang mau bertani. Disuruh
nyangkul aja saya yakin banyak yang ndak bisa!

Informan lainnya mengatakan:

Teman-teman saya lainnya dan anak-anak muda di sini sudah


banyak yang pergi ke kota. Mereka bekerja atau dagang di kotakota, seperti Jakarta. Jadi, sudah jarang ditemukan anak-anak
muda di desa ini. Makanya kebanyakan tinggal orang-orang tua
saja atau anak-anak kecil. (Msy, laki-laki, 16 tahun).
Jumlah responden terbanyak berada pada kelompok umur 41-50 tahun,
yaitu 25 orang atau 31,6 persen dari jumlah total responden penelitian. Selain itu,
ada 24 orang responden (30,4 persen dari jumlah total responden penelitian)
dengan kelompok umur 51-60 tahun. Jumlah responden pada kelompok umur
lainnya, jauh di bawah kedua kelompok umur di atas. Kelompok umur dominan
pada responden eksperimen adalah 41-50 tahun yang persentase jumlah
respondennya mencapai 35,7 persen dari total jumlah responden eksperimen.
Sementara itu, kelompok umur dominan pada responden kontrol adalah 51-60
tahun dengan persentase sebesar 32,3 persen dari total jumlah responden kontrol.
Fakta penelitian menunjukkan bahwa ternyata masih ada petani berusia 71-80
tahun yang bekerja di sawah dan ikut terlibat langsung dalam proses pengelolaan
lahan pertanian meskipun jumlahnya hanya empat orang (5,1 persen dari jumlah
total responden penelitian). Padahal, usia tersebut merupakan usia senja dan
bukan lagi usia kerja produktif yang seharusnya sudah tidak layak untuk bekerja.
Informasi mengenai sebaran jumlah responden berdasarkan kelompok umur,
dapat dilihat pada Tabel 21.

65

Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Kelompok


Umur di Desa Ketapang, Tahun 2010
Petani Organik
Kelompok
Umur (Tahun)

n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

31 - 40

14,3

10,8

11,4

41 - 50

35,7

20

30,8

25

31,6

51 - 60

21,4

21

32,3

24

30,4

61 - 70

28,6

13

20

17

21,5

71 - 80

6,2

5,1

Total

14

100

65

100

79

100

Sumber: Data Primer Diolah

4.3.4. Jenis Mata Pencaharian selain Bertani


Semua responden penelitian adalah penduduk Desa Ketapang yang bekerja
sebagai petani dan tergabung sebagai anggota Paguyuban Petani Al-Barokah.
Penulis mencoba menggali lebih dalam jenis mata pencaharian responden selain
bertani sebagai gambaran umum karakteristik mereka dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Selain bertani, responden sebagian besar juga beternak. Ada beberapa
responden yang memiliki mata pencaharian lebih dari dua, yaitu kombinasi antara
bertani, beternak, dan menganyam bambu atau berdagang, menjahit, dan lain-lain.
Meskipun demikian, jumlah dan persentase responden yang beternak jauh lebih
tinggi diantara mata pencaharian selain bertani lainnya, yaitu sebanyak 28 orang
atau 35,4 persen dari jumlah total responden. Data mengenai jumlah dan
persentase responden berdasarkan mata pencaharian selain bertani, dijelaskan
dalam Tabel 22.

66

Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Mata


Pencaharian selain Bertani di Desa Ketapang, Tahun 2010
Jenis Mata Pencaharian
Selain Bertani

Petani Organik

Petani Konvensional

n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

Hanya Bertani

7,1

14

21,5

15

19

Beternak
Beternak dan Menganyam
Bambu
Beternak dan Tukang
Kayu-Batu

64,3

19

29,2

28

35,4

13,8

11,4

7,1

1,5

2,5

Beternak dan Jaga Selep

1,5

1,3

Beternak dan Berdagang

1,5

1,3

Beternak dan Menjahit

1,5

1,3

Berdagang

1,5

1,3

Menganyam Bambu

10

15,4

10

12,7

Menjahit dan Berdagang

7,1

1,3

Service Jam

7,1

1,3

Tukang Kayu

1,5

1,3

Tukang Batu

3,1

2,5

Buruh

3,1

2,5

Guru Agama
Aktivis dan Fasilitator
LSM

1,5

1,3

7,1

1,3

Pensiunan

3,1

2,5

Total

14

100

65

100

79

100

Sumber: Data Primer Diolah

4.3.5. Status Petani dan Jumlah Anggota Keluarga


Status petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petani pemilik
lahan, petani penggarap atau buruh tani dan petani pemilik lahan sekaligus
penggarap atau petani berstatus ganda. Petani pemilik lahan adalah petani yang
memiliki lahan pertanian (sawah) sendiri, baik sawah yang dikelola sendiri
maupun dikelola oleh orang lain. Petani penggarap adalah petani yang tidak
mempunyai lahan pertanian (sawah) tetapi menggarap atau mengelola sawah
milik orang lain dengan sistem bagi hasil panen sebesar 50 persen. Semua biaya
produksi pertanian ditanggung oleh petani penggarap. Petani berstatus ganda
adalah petani yang selain memiliki lahan pertanian (sawah) tetapi juga menggarap
sawah milik orang lain untuk menambah pemasukan usahataninya. Berdasarkan
Tabel 23, sebagian besar responden memiliki lahan pertanian atau sawah sendiri,

67

yaitu sejumlah 50 orang dari jumlah total responden penelitian yang terbagi
menjadi: 40 orang petani pemilik lahan, dan 10 orang petani berstatus ganda
(pemilik lahan dan penggarap).
Persentase jumlah responden eksperimen dan kontrol yang memiliki lahan
pertanian atau sawah sendiri, masing-masing adalah 78,6 persen dan 60 persen
dari jumlah total responden pada setiap kelompok. Sementara itu, persentase
jumlah responden kontrol yang berstatus sebagai petani penggarap/buruh tani
mencapai 40 persen dari jumlah total responden kontrol. Persentase tersebut lebih
besar daripada persentase jumlah responden eksperimen yang berstatus sebagai
petani penggarap/buruh tani (21,4 persen dari jumlah total responden
eksperimen). Fakta ini membuktikan bahwa petani organik sebagian besar adalah
petani pemilik lahan dan jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan petani
konvensional menurut kelompok responden (eksperimen dan kontrol). Jumlah dan
persentase responden berdasarkan status petani, selengkapnya disajikan dalam
Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Status Petani
di Desa Ketapang, Tahun 2010
Status Petani
Pemilik Lahan
Penggarap/Buruh
Tani
Pemilik Lahan dan
Penggarap
Total

Petani Organik
n = 14
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
6
42,9

Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
34
52,3

Total Responden
n = 79
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
40
50,6

21,4

26

40

29

36,7

5
14

35,7
100

5
65

7,7
100

10
79

12,7
100

Sumber: Data Primer Diolah

Jumlah anggota keluarga responden penelitian cukup bervariasi, mulai dari


satu hingga delapan anggota keluarga dalam satu rumah. Kepala keluarga
responden semuanya adalah laki-laki dan bekerja sebagai petani. Meskipun
jumlah anggota keluarga responden cukup bervariasi, tetapi rata-rata jumlah
anggota keluarga responden penelitian ini adalah empat orang (berdasarkan hasil
olahan data melalui program Microsoft Excell 2007). Hal ini membuktikan bahwa
kesadaran para petani cukup tinggi dalam hal Keluarga Berencana (KB) yang
mensyaratkan jumlah anggota keluarga ideal sebanyak empat orang. Oleh karena

68

itu, Desa Ketapang tidak mengalami ledakan jumlah penduduk yang besar secara
signifikan.
4.3.6. Kepemilikan Hewan Ternak
Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa selain bertani, para responden
sebagian besar juga beternak. Hal ini dapat terlihat dari kepemilikan hewan ternak
responden dalam penelitian ini. Kepemilikan hewan ternak ternyata sangat
mempengaruhi praktik pertanian organik di Desa Ketapang. Berdasarkan hasil
penelitian, terbukti bahwa hampir semua petani organik memiliki hewan ternak.
Hanya dua orang petani organik dari empat belas orang responden eksperimen
(petani organik) yang tidak memiliki hewan ternak. Selain itu, keberadaan hewan
ternak juga sangat membantu petani konvensional dalam memenuhi kebutuhan
pupuk kandang sebagai pendukung pupuk kimia sintetik, sehingga dapat
mengurangi biaya pemupukan pada lahan pertanian mereka.
Para petani konvensional di Desa Ketapang saat ini telah mulai
mengurangi penggunaan pupuk kimia sintetik secara perlahan-lahan dengan
memanfaatkan pupuk kandang. Persentase jumlah responden eksperimen yang
memiliki hewan ternak adalah 85,7 persen dari jumlah total responden
eksperimen. Persentase tersebut lebih besar daripada persentase jumlah responden
kontrol yang memiliki hewan ternak, yaitu hanya 53,8 persen dari jumlah total
responden kontrol. Jumlah dan persentase responden yang memiliki hewan ternak,
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 24.

69

Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis


Kepemilikan Hewan Ternak di Desa Ketapang, Tahun 2010
Kepemilikan Ternak

Tidak Punya
Kelinci
Sapi
Kambing
Ayam
Kerbau
Sapi dan Kambing
Kambing dan Ayam
Sapi, Kambing, Ayam,
Burung Merpati
Total

Petani Organik
n = 14
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
2
14,3
1
7,1
1
7,1
4
28,6
1
7,1
0
0
4
28,6
1
7,1
0
14

Petani Konvensional
n = 65
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
30
46,2
1
1,5
3
4,6
18
27,7
8
12,3
3
4,6
0
0
1
1,5

0
100

1
65

1,5
100

Total Responden
n = 79
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
32
40,5
2
2,5
4
5,1
22
27,8
9
11,4
3
3,8
4
5,1
2
2,5
1
79

1,3
100

Sumber: Data Primer Diolah

Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki hewan ternak yang
berlokasi di pekarangan rumah atau tidak jauh dari rumah mereka. Ada 47 orang
responden yang memiliki hewan ternak dengan jenis sebagai berikut: sapi,
kambing, kerbau, kelinci, ayam, dan burung merpati. Sementara itu, jumlah
responden yang tidak memiliki hewan ternak adalah 32 orang atau 40,5 persen
dari jumlah total responden penelitian (Tabel 24).
4.3.7. Penggunaan Hasil Panen
Hasil panen petani yang menjadi responden penelitian ini adalah padi
dalam bentuk gabah basah. Penggunaan hasil panen tersebut, antara lain dapat
digunakan untuk: konsumsi keluarga, dijual, atau keduanya (dikonsumsi dan
dijual). Kebutuhan petani akan pangan sangat penting, sehingga penggunaan hasil
panen untuk konsumsi keluarga tidak mungkin dihindari dan menjadi suatu
keharusan. Petani yang menggunakan hasil panen untuk konsumsi keluarganya
sendiri, belum tentu menjual hasil panen tersebut kepada konsumen atau pasar.
Sebaliknya, petani yang menjual hasil panennya kepada konsumen atau pasar,
sudah pasti menyisakan sebagian hasil panennya untuk dikonsumsi keluarganya
sendiri. Oleh karena itu, penggunaan hasil panen oleh responden yang akan
ditampilkan dalam Tabel 25, hanya meliputi penggunaan untuk: konsumsi
keluarga serta konsumsi keluarga dan dijual.

70

Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Penggunaan


Hasil Panen di Desa Ketapang, Tahun 2010
Penggunaan Hasil
Panen

Petani Organik

Petani Konvensional

Total Responden

n = 14
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)

n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)

Konsumsi Keluarga
Konsumsi Keluarga
dan Dijual

28,6

47

72,3

51

64,6

10

71,4

18

27,7

28

35,4

Total

14

100

65

100

79

100

Sumber: Data Primer Diolah

Berdasarkan Tabel 25, diketahui bahwa jumlah responden yang


menggunakan hasil panennya hanya untuk konsumsi keluarga adalah 51 orang
atau 64,6 persen dari jumlah total responden penelitian. Jumlah tersebut lebih
besar dibandingkan dengan jumlah responden yang menggunakan hasil panennya
untuk konsumsi keluarga dan dijual yang hanya mencapai 28 orang atau 35,4
persen dari jumlah total responden penelitian. Responden eksperimen ternyata
lebih banyak memilih untuk mengkonsumsi dan menjual hasil panennya (71,4
persen dari jumlah total responden eksperimen) daripada hanya untuk konsumsi
keluarga sendiri. Sebaliknya, responden kontrol cenderung menggunakan hasil
panennya untuk konsumsi keluarga sendiri (72,3 persen dari jumlah total
responden kontrol) daripada untuk konsumsi keluarga dan dijual.
4.3.8. Jenis Tanaman yang Dibudidayakan selain Padi
Semua petani yang menjadi responden penelitian ini membudidayakan
padi sebagai produk utama pertanian di desa mereka. Namun, ada beberapa petani
yang juga membudidayakan jenis tanaman lain selain padi. Jenis tanaman
tersebut, biasanya adalah tanaman palawija dan ditanam pada lahan-lahan kering
yang sulit untuk ditanami padi atau pada saat musim kemarau tiba. Jadi, para
petani dapat menikmati hasil panen selain padi jika terdapat lahan kering.
Meskipun demikian, ternyata tidak banyak responden yang menanam tanaman
budidaya selain padi di lahan mereka. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah dan
persentase responden yang tidak menanam tanaman budidaya selain padi di lahan
mereka, yaitu mencapai 68 orang atau 86,1 persen dari jumlah total responden
penelitian. Dengan demikian, hanya ada 11 orang responden dari 79 orang
responden penelitian yang membudidayakan jenis tanaman selain padi (Tabel 26).

71

Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis


Tanaman yang Dibudidayakan selain Padi di Desa Ketapang, Tahun
2010
Jenis Tanaman
Budidaya Selain Padi
Tidak Ada
Palawija
Bawang Merah dan
Kacang Panjang
Total

Petani Organik
n = 14
Jumlah* Persentase
(Orang)
(%)
13
92,9
1
7,1

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
* Jumlah petani yang menanam

0
14

0
100

Petani Konvensional
n = 65
Jumlah* Persentase
(Orang)
(%)
55
84,6
9
13,8
1
65

1,5
100

Total Responden
n = 79
Jumlah* Persentase
(Orang)
(%)
68
86,1
10
12,7
1
79

1,3
100

BAB V
PENGARUH PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK TERHADAP
KEBERLANJUTAN EKONOMI PETANI
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi
petani, dapat diketahui melalui perbandingan analisis sistem usahatani organik
dan konvensional. Pengaruh tersebut memiliki tiga kemungkinan, yaitu:
berpengaruh positif, negatif, atau tidak berpengaruh. Analisis sistem usahatani
dilakukan pada masing-masing kelompok (eksperimen dan kontrol) untuk
mengetahui sampai sejauh mana keuntungan usahatani organik dibandingkan
usahatani konvensional. Selain itu, penulis juga menganalisis sistem usahatani
sebelum dan sesudah organik pada satu kelompok responden eksperimen, yaitu
kelompok petani organik. Setelah sistem usahatani organik dan konvensional
dianalisis dari segi tingkat input, output dan finansial, selanjutnya dilakukan
analisis statistik mengenai pengaruh praktik pertanian organik terhadap
keberlanjutan ekonomi petani berdasarkan hasil uji Paired Samples T-test.
Variabel sistem usahatani yang dianalisis dalam penelitian ini, antara lain:
tingkat output atau produktivitas usahatani per musim; keuntungan usahatani per
musim yang diketahui melalui hasil pengurangan penerimaan usahatani per
musim dengan biaya input produksi usahatani per musim; dan akses pasar. Semua
variabel di atas merupakan variabel yang mudah diukur untuk mengetahui
keberlanjutan ekonomi petani dilihat dari sistem usahataninya. Penulis
menggunakan asumsi harga yang berlaku saat ini untuk mempermudah analisis
finansial pada masing-masing sistem usahatani (organik dan konvensional) dalam
satu musim. Selain itu, petani juga tidak dapat mengingat biaya input produksi
usahataninya secara detail maupun harga hasil panen mereka per kilogram
beberapa tahun yang lalu, saat pertanian organik belum diadposi oleh petani.
5.1. Analisis Tingkat
Konvensional

Input

dan

Output

Usahatani

Organik

dan

Jenis tanaman budidaya dalam usahatani organik dan konvensional yang


dianalisis dalam penelitian ini adalah padi sawah. Untuk mengetahui lebih jelas
mengenai tingkat input dan output usahatani organik dan konvensional per

73

musim, berikut ini disajikan tabel perbandingan input dan output usahatani
organik dan konvensional per rataan luas lahan responden (0,24 ha) per musim
menurut kelompok petani organik dan konvensional, serta tabel perbandingan
input dan output usahatani sebelum dan sesudah organik per rataan luas lahan
responden (0,24 ha) per musim menurut kelompok petani organik di Desa
Ketapang.
Tabel 27. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional
per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan
Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Input dan
Output

Organik
n = 14

Pupuk2

Jenis
Umbul, Menthik
Wangi, Menthik Susu
(kg)
Pupuk kandang (kg)
Pupuk cair (botol)

Pestisida3

Nabati (botol)

Bibit1

HOK4
Tingkat
Produktivitas
(Output)

Rata-rata
6,2
1.001,7
4,3
4,4

Konvensional
n = 65
Jenis
Rata-rata
IR 64, Umbul, Intani,
PP (kg)
Urea (kg)
TSP (kg)
PONSKA (kg)
Matador, Hamador,
dan lain-lain (botol)

51
Gabah basah (kg)

1.814,3

6,3
120,4
71,8
68,6
5,7
49,1

Gabah basah (kg)

1856,1

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
1
Tidak termasuk bibit Beras Merah yang digunakan oleh satu orang petani organik sebesar 2,6 kg.
2
Tidak termasuk pupuk kompos dan Bioton yang digunakan oleh satu orang petani organik dengan jumlah
masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol, serta pupuk KCL dan NPK yang digunakan oleh dua orang
petani konvensional dengan jumlah masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg.
3
Jenis pestisida kimia sintetik yang paling dominan digunakan oleh petani konvensional adalah Matador dan
Hamador.
4
HOK merupakan hasil pembagian biaya tenaga kerja (Rp) dengan upah rata-rata harian petani, yaitu Rp.
12.500,00.

74

Tabel 28. Perbandingan Input dan Output Usahatani Sebelum dan Sesudah
Organik per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik,
Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Sebelum Organik
n = 14

Input dan
Output
Bibit1

Jenis
IR 64 (kg)

Pupuk2
Pestisida3

Urea (kg)
TSP (kg)
KCL (kg)
Matador, Hamador,
dan lain-lain (botol)

HOK
Tingkat
Produktivitas
(Output)

Sesudah Organik
n = 14

Rata-rata
7,5
122,9
66,3
19,5
3,3

Ratarata

Jenis
Umbul, Menthik Wangi,
Menthik Susu (kg)
Pupuk kandang (kg)
Pupuk cair (botol)

6,2
1.001,7
4,3

Nabati (botol)

4,4

50,5
Gabah Basah (kg)

1.904,6

51
Gabah Basah (kg)

1.814,3

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
1
Tidak termasuk bibit Beras Merah yang digunakan oleh satu orang petani organik sebesar 2,6 kg.
2
Tidak termasuk pupuk kompos dan Bioton yang digunakan oleh satu orang petani organik dengan jumlah
masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol, serta pupuk SP 36, NPK dan ZA yang digunakan oleh satu
orang petani sebelum organik dengan jumlah masing-masing sebesar 120 kg, 60 kg dan 21,8 kg.
3
Jenis pestisida kimia sintetik yang paling dominan digunakan oleh petani konvensional adalah Matador dan
Hamador.
4
HOK merupakan hasil pembagian biaya tenaga kerja (Rp) dengan upah rata-rata harian petani, yaitu Rp.
12.500,00.

Input produksi usaha tani yang dibandingkan pada sistem pertanian organik dan
konvensional, meliputi: penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida dan HOK (Hari
Orang Kerja). Tingkat produktivitas usahatani bisa diketahui melalui produksi
gabah basah per musim dalam satuan kilogram. Berdasarkan Tabel 27, diketahui
bahwa terdapat perbedaan input produksi antara usahatani organik dan
konvensional, baik dalam hal jumlah maupun jenis input yang digunakan, seperti:
jenis bibit padi, jenis pupuk dan jenis pestisida. Jenis bibit padi yang digunakan
pada usahatani organik adalah: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras
Merah. Semua bibit padi tersebut merupakan varietas lokal yang sangat
dianjurkan dalam praktik pertanian organik. Jenis bibit padi yang digunakan pada
usahatani konvensional secara umum adalah: IR 64, Umbul, Intani dan PP.
Jumlah rata-rata bibit padi yang digunakan pada usahatani organik dan
konvensional per 0,24 ha per musim tidak jauh berbeda. Petani organik rata-rata
menggunakan bibit padi sebanyak 6,2 kg di luar penggunaan bibit Beras Merah
yang tidak dihitung ke dalam Tabel 27 karena hanya satu responden yang

75

menggunakan bibit tersebut setiap musim secara rutin. Sementara itu, petani
konvensional rata-rata menggunakan bibit padi sebanyak 6,3 kg. Selisih jumlah
penggunaan rata-rata bibit padi antara kedua kelompok responden hanya 0,1 kg.
Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani organik adalah pupuk kandang;
pupuk cair yang biasanya merupakan hasil fermentasi urine sapi, kelinci, manusia,
atau bahkan bahan-bahan nabati; pupuk kompos dan Bioton. Sistem pertanian
organik tidak mengizinkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetik sedikitpun.
Oleh karena itu, tidak ada input pupuk kimia sintetik dalam sistem usahatani ini.
Sebaliknya, sistem usahatani konvensional menggunakan pupuk kimia sintetik
untuk mempercepat proses pertumbuhan tanaman padi. Pupuk kimia sintetik yang
umumnya digunakan dalam usahatani konvensional, antara lain: Urea, TSP dan
PONSKA. Pupuk kimia sintetik lainnya yang juga digunakan dalam usahatani
konvensional adalah KCL dan NPK meskipun jarang digunakan oleh responden
kontrol penelitian ini.
Jumlah penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani organik dan
konvensional per 0,24 ha per musim relatif berbeda berdasarkan masing-masing
jenis pupuk yang digunakan. Petani organik menggunakan pupuk kandang hingga
1.001,7 kg dan pupuk cair sebanyak 4,3 botol setiap musimnya. Selain itu,
adapula petani organik yang menggunakan pupuk kompos dan Bioton dengan
jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol setiap musimnya. Jumlah
penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton per 0,24 ha per musim tersebut,
tidak dimasukkan dalam perhitungan Tabel 27 karena hanya digunakan oleh satu
orang petani organik. Jumlah pupuk yang digunakan dalam usahatani
konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani konvensional,
adalah sebagai berikut: pupuk Urea 120,4 kg, pupuk TSP 71,8 kg, pupuk
PONSKA 68,6 kg. Selain itu, ada penggunaan jenis pupuk kimia sintetik lainnya,
yaitu KCLdan NPK yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan Tabel 27
karena hanya digunakan oleh dua orang petani konvensional dengan jumlah
masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg.
Jenis dan jumlah pestisida yang digunakan dalam usahatani organik dan
konvensional juga sangat berbeda. Praktik pertanian organik hanya menggunakan
pestisida organik berupa pestisida nabati yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan

76

alami. Jumlah rata-rata pestisida nabati yang digunakan oleh petani organik per
0,24 ha per musim berdasarkan hasil penelitian ini adalah 4,4 botol. Praktik
pertanian konvensional membutuhkan jenis pestisida kimia sintetik dengan jumlah
tertentu berdasarkan penggunaan petani per musim. Jenis pestisida kimia sintetik
yang paling banyak digunakan oleh petani konvensional adalah Hamador,
Matador dan Regent. Selain itu, ada beberapa jenis pestisida kimia sintetik lainnya
yang hanya digunakan oleh sebagian kecil petani, yaitu: Gandasil B, Kape Laut,
Konfider, SPONTAN, Herbafarm, Decis dan T-Mec. Jumlah penggunaan rata-rata
semua jenis pupuk kimia sintetik pada usahatani konvensional per 0,24 ha per
musim menurut kelompok petani konvensional adalah 5,7 botol.
Hari Orang Kerja (HOK) rata-rata per 0,24 ha per musim sebagaimana
yang ditunjukkan dalam Tabel 27, terlihat berbeda antara sistem pertanian organik
dan konvensional. Usahatani organik menghabiskan HOK rata-rata sekitar 51
hari, sedangkan usahatani konvensional HOK rata-ratanya adalah 49,1 hari. HOK
Rata-rata tersebut didapatkan dari hasil perhitungan total biaya tenaga kerja dibagi
upah rata-rata harian petani yang umumnya sebesar Rp. 12.500,00. HOK rata-rata
pada pertanian organik ternyata lebih besar daripada pertanian konvensional dan
oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertanian organik membutuhkan tenaga
kerja atau waktu kerja yang lebih besar dibandingkan pertanian konvensional.
Setelah mengetahui perbandingan jenis dan jumlah penggunaan rata-rata input
pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim menurut
kelompok petani organik dan konvensional, maka perlu juga mengetahui
perbandingan tingkat produktivitas rata-rata pertanian organik dan konvensional
per 0,24 ha per musim dengan basis hitungan hasil panen gabah basah dalam
satuan kilogram.
Sistem pertanian organik mampu menghasilkan 1.814,3 kg gabah basah,
sedangkan sistem pertanian konvensional mampu menghasilkan gabah basah
sebesar 1.856,1 kg (Tabel 27). Berdasarkan rata-rata hasil panen tersebut, dapat
dinyatakan bahwa tingkat produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah
dibandingkan pertanian konvensional. Meskipun demikian, selisih tingkat
produktivitas antara pertanian organik dan konvensional sangat tipis, sehingga
baik pertanian organik maupun konvensional memiliki kemampuan yang hampir

77

sama dalam menghasilkan panen. Tingkat produktivitas pertanian konvensional


yang sedikit lebih tinggi daripada pertanian organik, disebabkan oleh penggunaan
input kimia sintetik yang cukup tinggi, khususnya pupuk. Penggunaan pupuk
kimia sintetik pada sistem pertanian konvensional dapat merangsang atau
mempercepat pertumbuhan tanaman, sehingga waktu panen menjadi lebih cepat
dan hasil panen menjadi lebih banyak daripada sistem pertanian organik. Namun,
penggunaan input kimia sintetik secara rutin pada usahatani konvensional,
beresiko terhadap turunnya kualitas lingkungan.
Tabel 28 berisi informasi mengenai perbandingan tingkat input dan output
usahatani sebelum dan sesudah organik per 0,24 ha per musim, menurut
kelompok petani organik. Usahatani sebelum petani organik mengadopsi praktik
pertanian organik sama saja dengan usahatani konvensional. Berdasarkan Tabel
28, terdapat perbedaan jenis dan jumlah penggunaan input pada usahatani
sebelum dan sesudah organik. Input yang dibandingkan, meliputi: penggunaan
bibit padi, pupuk, pestisida, dan HOK (Hari Orang Kerja). Sebelum responden
eksperimen (petani organik) mengadopsi praktik pertanian organik, jenis bibit
padi yang biasanya digunakan adalah IR 64 dengan jumlah penggunaan rata-rata
per 0,24 ha per musim sebesar 7,5 kg. Jenis bibit padi hibrida kemudian diganti
dengan varietas lokal, seperti: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras
Merah ketika responden sudah menjalankan praktik pertanian organik. Jumlah
penggunaan rata-rata bibit padi varietas lokal tersebut per 0,24 ha per musim
adalah 6,2 kg, tidak termasuk penggunaan bibit Beras Merah yang hanya
digunakan oleh satu orang petani organik dalam penelitian ini.
Pupuk yang digunakan oleh responden eksperimen sebelum menjalankan
praktik pertanian organik adalah pupuk kimia sintetik dengan jenis: Urea, TSP,
KCL, SP 36, NPK dan ZA. Jumlah penggunaan rata-rata masing-masing jenis
pupuk tersebut per 0,24 ha per musim adalah: Urea 122,9 kg, TSP 66,3 kg, KCL
19,5 kg, SP 36 120 kg, NPK 60 kg dan ZA 21,8 kg. Jumlah penggunaan rata-rata
pupuk SP 36, NPK dan ZA tidak dicantumkan ke dalam tabel 28 karena hanya
digunakan oleh satu orang responden eksperimen. Semua jenis pupuk kimia
sintetik tersebut tidak digunakan lagi oleh responden eksperimen saat mereka
sudah mengadopsi pertanian organik secara penuh. Jenis pupuk yang digunakan

78

oleh petani setelah bertani organik adalah pupuk kandang, pupuk cair, pupuk
kompos dan Bioton dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim
sebesar: 1.001,7 kg pupuk kandang, 4,3 botol pupuk cair, 734,9 kg pupuk kompos
dan 0,9 botol Bioton. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton
tidak dicantumkan ke dalam Tabel 28 karena hanya digunakan oleh satu orang
responden eksperimen.
Jenis pestisida yang digunakan pada usahatani sebelum dan sesudah
organik relatif berbeda. Ada beberapa jenis atau merek pestisida kimia sintetik
yang digunakan oleh petani sebelum mereka bertani organik. Sementara itu,
usahatani sesudah organik tidak menggunakan pestisida kimia sintetik sama sekali
tetapi menggunakan pestisida organik. Jenis pestisida kimia sintetik yang paling
banyak digunakan oleh petani sebelum menjalankan usahatani organik adalah
Matador dan Hamador. Selain itu, ada beberapa merek pestisida kimia sintetik
lainnya yang juga digunakan oleh para petani sebelum bertani organik, seperti:
Gandasil B, Gandasil Bubuk, Nakodan dan Regent. Jumlah penggunaan rata-rata
semua jenis pestisida tersebut per 0,24 ha per musim menurut responden
eksperimen adalah 3,3 botol. Setelah menjalankan usahatani organik, para petani
kemudian meninggalkan penggunaan pestisida kimia sintetik, lalu menggantinya
dengan pestisida nabati yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan alami. Jumlah
penggunaan rata-rata pestisida nabati oleh petani organik per 0,24 ha per musim
adalah 4,4 botol dan jumlah ini lebih banyak daripada jumlah penggunaan
pestisida kimia sintetik sebelum mereka bertani organik.
Perbedaan Hari Orang Kerja (HOK) juga terlihat antara sistem usahatani
sebelum dan sesudah organik sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 28.
Sistem usahatani sesudah organik ternyata menghabiskan HOK rata-rata lebih
banyak, yaitu 51 hari daripada sistem usahatani sebelum organik yang
menghabiskan HOK rata-rata sebesar 50,5 hari per 0,24 ha per musim. Selain
perbedaan jenis dan tingkat penggunaan input, sistem pertanian organik dan
konvensional ternyata memiliki perbedaan tingkat produktivitas (output).
Perbandingan tingkat produktivitas pertanian antara sistem usahatani sebelum dan
sesudah organik dalam penelitian ini, dinilai dari kemampuan masing-masing

79

sistem usahatani untuk menghasilkan panen rata-rata dalam bentuk gabah basah
per 0,24 ha per musim dengan satuan kilogram.
Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa sistem usahatani sebelum organik
mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.904,6 kg, sedangkan sistem
usahatani sesudah organik menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.814,3 kg.
Dengan demikian, sistem usahatani sesudah organik terbukti memiliki
produktivitas lebih rendah dibandingkan sistem usahatani sebelum organik.
Meskipun demikian, nilai ekonomi produk organik dihargai lebih tinggi oleh para
petani dan konsumen daripada produk non organik, sehingga berpengaruh
terhadap penerimaan usahatani per musim. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan
salah satu informan penelitian, sebagai berikut:

Pertanian organik niku ngge luwih apik dibandingno non


organik, dilihat saking gembure lemah lan hasil panene. Pas
organik, tanah niku luwih remah timbangane sing ndok lahan non
organik. Terus, hasil panen organik di waktu awal-awal memang
turun drastis, tapi ngge lami-lami mbalek maneh, meh podo kale
lahan non organik meskipun memang sedikit lebih rendah hasil
panennya dibanding pertanian non organik, tapi selisihnya nggak
banyak kok. Nek organik niku Mas, padine luwih abot, rapet masio
hasil panene ketok mek titik, tapi pas ditimbang tibae luwih abot
dibandingno karo padi biasa dan harganya itu juga jauh lebih
tinggi Mas daripada padi biasa. Mangkane tetep luwih untung tani
organik masio panene rodok titik. (Rhy, laki-laki, 32 tahun).
5.2. Analisis Finansial Usahatani Organik dan Konvensional
Analisis finansial usahatani organik dan konvensional dilakukan untuk
mengetahui lebih jelas mengenai biaya input produksi, penerimaan usahatani,
keuntungan dan nilai B/C Rasio per musim. Analisis finansial ini akan menjawab
sampai sejauh mana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan
ekonomi petani. Perhitungan finansial pada masing-masing kategori, seperti:
biaya input produksi, penerimaan usahatani dan keuntungan merupakan nilai ratarata dari semua responden pada masing-masing kelompok (kontrol dan
eksperimen) per rataan luas lahan responden (0,24 ha) per musim. Pertanian
organik dapat dikatakan mampu menjamin keberlanjutan ekonomi petani jika nilai
keuntungan rata-ratanya lebih besar daripada nilai keuntungan rata-rata usahatani

80

konvensional per 0,24 ha per musim dan demikian pula dengan nilai B/C Rasio
pada usahatani organik yang lebih tinggi daripada konvensional. Suatu bisnis atau
sistem usahatani dikategorikan layak jika nilai B/C Rasionya lebih besar dari 1.
Sebaliknya, jika nilai B/C Rasio suatu usahatani lebih kecil dari 1, maka usahatani
tersebut tidak layak secara ekonomi.
Biaya input produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah
total biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses produksi dalam sistem
usahatani, meliputi: biaya penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida, biaya tenaga
kerja dan upah panen. Penerimaan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah jumlah total hasil panen rata-rata gabah basah dalam satuan kilogram per
0,24 ha per musim kali harga jual gabah basah per kilogram, yaitu Rp. 2.700,00
dan dikurangi upah panen yang besarnya 1/5 dari jumlah total hasil panen gabah
basah dalam satuan rupiah. Nilai keuntungan rata-rata usahatani per 0,24 ha per
musim, baru dapat dihitung setelah nilai input produksi dan penerimaan usahatani
diketahui karena keuntungan usahatani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
hasil pengurangan antara penerimaan usahatani dengan biaya input produksi.
Sementara itu, nilai B/C Rasio yang dijadikan sebagai acuan kelayakan usahatani
merupakan rasio atau hasil bagi antara keuntungan (benefit) dengan biaya input
produksi (cost). Analisis finansial usahatani organik dan konvensional menurut
dua kelompok responden (petani organik dan konvensional) dan menurut satu
kelompok responden (petani organik) di Desa Ketapang, selengkapnya disajikan
dalam Tabel 29 dan Tabel 30.

81

Tabel 29. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata


Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut
Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa
Tengah, Tahun 2010
Organik (Rp)

Konvensional (Rp)

n = 14

n =65

Input Produksi:
1. Bibit1

44.455

2. Pupuk2

36.465,6

371.937,5

3.151,3

51.090,6

2.161.122,2

1.616.434,5

2.245.194

2.067.851,5

6.096.150,6

4.009.191,4

3.850.956,5

1.941.339,9

1,7

0,9

3. Pestisida
4. Tenaga Kerja dan Upah
Panen3
Total Biaya Input Produksi
Penerimaan Usahatani

Keuntungan
B/C Rasio

28.388,8

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
1
Termasuk biaya menggunakan bibit Beras Merah oleh satu orang petani organik.
2
Termasuk biaya menggunakan pupuk kompos dan Bioton oleh satu orang petani organik, serta pupuk KCL
dan NPK oleh dua orang petani konvensional.
3
Upah panen dihitung 1/5 dari penerimaan usahatani dengan basis hitungan gabah basah (Rp).
4
Dihitung dari perkalian antara hasil panen dalam bentuk gabah basah (kg) dengan harga jual gabah basah per
kg, yaitu Rp. 2.700,00 lalu dikurangi upah panen.

Tabel 30. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata


Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha per Musim
menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah,
Tahun 2010

Input Produksi:
1. Bibit1
2. Pupuk

Sesudah Organik (Rp)

n = 14

n = 14

37.721,1

3. Pestisida
4. Tenaga Kerja dan Upah
Panen3
Total Biaya Input Produksi
Penerimaan Usahatani

Sebelum Organik (Rp)

Keuntungan
B/C Rasio

44.455

393.217,8

36.465,6

47.463

3.151,3

1.659.626,9

2.161.122,2

2.138.028,8

2.245.194

4.113.909,7

6.096.150,6

1.975.880,9

3.850.956,5

0.9

1.7

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
1
Termasuk biaya menggunakan bibit Beras Merah oleh satu orang petani organik.
2
Termasuk biaya menggunakan pupuk kompos dan Bioton oleh satu orang petani organik, serta pupuk SP 36,
NPK dan ZA yang digunakan oleh satu orang petani sebelum organik.
3
Upah panen dihitung 1/5 dari penerimaan usahatani dengan basis hitungan gabah basah (Rp).
4
Dihitung dari perkalian antara hasil panen dalam bentuk gabah basah (kg) dengan harga jual gabah basah per
kg, yaitu Rp. 2.700,00 lalu dikurangi upah panen.

82

Berdasarkan Tabel 29, diketahui bahwa biaya penggunaan rata-rata bibit


padi per 0,24 ha per musim pada usahatani organik lebih besar daripada usahatani
konvensional. Biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik mencapai Rp.
44.455,00 sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya untuk bibit
padi hanya sebesar Rp. 28.388,80. Lebih tingginya biaya penggunaan bibit padi
pada usahatani organik disebabkan oleh harga bibit padi varietas lokal yang lebih
mahal, yaitu Rp. 6.000,00 per kg daripada harga bibit padi varietas hibrida seperti
IR 64, yang hanya Rp. 5.000,00 per kg. Pertanian organik mewajibkan
penggunaan bibit padi varietas lokal.
Biaya penggunaan pupuk pada usahatani organik, ternyata lebih rendah
daripada usahatani konvensional. Sistem usahatani organik menghabiskan biaya
penggunaan rata-rata pupuk sebesar Rp. 36.465,60 sedangkan usahatani
konvensional menghabiskan biaya penggunaan rata-rata pupuk yang lebih tinggi,
yaitu Rp. 371.937,50 per 0,24 ha per musim. Lebih rendahnya biaya penggunaan
pupuk pada usahatani organik disebabkan karena usahatani organik hanya
menggunakan pupuk organik yang biayanya relatif sangat rendah atau bahkan
seringkali tidak perlu mengeluarkan biaya dan bahan bakunya pun mudah didapat
di lingkungan sekitar petani. Sebaliknya, usahatani konvensional membutuhkan
asupan pupuk kimia sintetik yang harganya jauh lebih mahal dan hanya bisa
didapat dari toko-toko Saprodi (Sarana Produksi Pertanian) atau melalui subsidi
kelompok tani.
Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim pada
usahatani organik juga lebih rendah daripada usahatani konvensional. Usahatani
organik menghabiskan biaya penggunaan pestisida sebesar Rp. 3.151,30
sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya penggunaan pestisida
sebesar Rp. 28.388,80. Praktik pertanian organik tidak memperbolehkan
penggunaan pestisida kimia sintetik, sehingga petani organik harus membuat
pestisida alami yang pada umumnya berupa pestisida nabati untuk menggantikan
fungsi pestisida kimia sintetik. Oleh karena itu, biaya input untuk penggunaan
pestisida pada usahatani organik jauh lebih rendah dibandingkan usahatani
konvensional yang menggunakan pestisida kimia sintetik. Harga pestisida kimia
sintetik per botol berkisar antara Rp. 15.000,00 hingga Rp. 25.000,00 tergantung

83

pada jenis atau merek pestisida, sedangkan pestisida nabati seringkali tidak
membutuhkan biaya dan jika memang petani terpaksa harus membelinya,
harganya hanya Rp. 5.000,00 per botol.
Biaya tenaga kerja dan upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada
usahatani organik mencapai Rp. 2.161.122,20 sedangkan biaya tenaga kerja dan
upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani konvensional adalah
Rp. 1.616.434,50 (Tabel 29). Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pertanian organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen lebih
besar daripada pertanian konvensional. Hal ini berbanding lurus dengan HOK
yang dihabiskan pada masing-masing sistem usahatani seperti yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Secara keseluruhan, total biaya input
produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani organik dan konvensional
masing-masing adalah Rp. 2.245.194,00 dan Rp. 2.067.851,50. Usahatani organik
ternyata menghabiskan biaya input produksi lebih tinggi daripada usahatani
konvensional.
Penjelasan mengenai mengapa biaya input produksi pada usahatani
organik lebih tinggi daripada usahatani konvensional adalah karena usahatani
organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih tinggi
daripada usahatani konvensional. Selisih biaya tenaga kerja dan upah panen antara
usahatani organik dan konvensional cukup besar. Hal ini salah satunya disebabkan
oleh tingginya harga jual gabah basah organik per kilogram dibandingkan gabah
basah non organik yang kemudian mempengaruhi besarnya upah panen dalam
satuan rupiah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, upah panen dihitung 1/5
dari total panen rata-rata gabah basah per 0,24 ha per musim. Meskipun terdapat
perbedaan total biaya input rata-rata antara usahatani organik dan konvensional,
namun jenis biaya input produksi yang paling tinggi dalam kedua sistem usahatani
adalah sama, yaitu terletak pada biaya tenaga kerja dan upah panen.
Penulis menggunakan beberapa asumsi dalam penelitian ini untuk
mengetahui penerimaan usahatani rata-rata responden per 0,24 ha per musim
secara mudah. Selain itu, hal ini juga untuk mempermudah perhitungan
keuntungan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim. Beberapa asumsi tersebut,
adalah:

84

1)

Semua petani yang menjadi responden penelitian ini dianggap menjual


seluruh hasil panennya per musim dalam bentuk gabah basah karena sebagian
besar hasil panen yang diperoleh responden hanya digunakan untuk konsumsi
sendiri (Tabel 25).

2)

Penulis menggunakan acuan harga jual padi organik dan konvensional dalam
bentuk gabah basah per kilogram yang berlaku saat ini, karena tidak banyak
petani yang bisa mengingat harga jual padi beberapa tahun lalu.
Penerimaan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim menunjukkan

perbedaan yang cukup besar antara pertanian organik dan konvensional.


Penerimaan rata-rata usahatani organik mencapai Rp. 6.096.150,60 sedangkan
usahatani

konvensional

menghasilkan

penerimaan

rata-rata

sebesar

Rp.

4.009.191,40. Lebih besarnya penerimaan usahatani organik dibandingkan


konvensional disebabkan oleh harga jual produk pertanian organik yang lebih
tinggi daripada produk pertanian konvensional. Oleh karena itu, meskipun tingkat
produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah daripada pertanian
konvensional, tetapi nilai penerimaan usahatani rata-ratanya jauh lebih besar.
Petani organik telah memiliki standar kualitas dan harga jual sendiri untuk hasil
panennya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi daripada hasil panen pertanian
konvensional. Perbandingan harga jual antara produk pertanian organik dan
konvensional, dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Daftar Harga Jual Padi Organik dan Konvensional menurut Bentuk Padi
di Desa Ketapang, Tahun 2010
Bentuk Padi yang Dijual

Harga Jual/kg (Rp)


Organik

Konvensional

Gabah Basah

4.200,00

2.700,00

Gabah Kering

4.500,00

4.000,00

7.200,00 - 9.000,00

5.000,00 - 6.500,00

Beras
Sumber: Data Primer

Penerimaan usahatani organik yang lebih besar daripada usahatani


konvensional, ternyata mempengaruhi nilai keuntungan rata-rata usahatani
organik per 0,24 ha per musim. Tabel 29 menunjukkan bahwa keuntungan ratarata usahatani organik yang mencapai Rp. 3.850.956,50 jauh lebih besar daripada
keuntungan rata-rata usahatani konvensional yang hanya Rp. 1.941.339,90.

85

Selisih keuntungan rata-rata usahatani organik dengan konvensional tersebut,


hampir dua kali lipat. Selain nilai keuntungan rata-rata usahatani, juga perlu
diketahui nilai B/C Rasio masing-masing sistem usahatani agar dapat disimpulkan
apakah sistem usahatani tersebut layak atau tidak secara ekonomi. Nilai B/C Rasio
usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim secara berurutan
adalah 1,7 dan 0,9 (Tabel 29). Berdasarkan nilai B/C Rasio tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sistem usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan
sistem usahatani konvensional tidak layak secara ekonomi karena nilai B/C
Rasionya kurang dari 1. Dengan demikian, sudah terbukti bahwa pertanian
organik lebih menguntungkan secara ekonomi daripada pertanian konvensional,
berdasarkan analisis finansial terhadap dua kelompok responden, yaitu kelompok
petani organik dan konvensional.
Perbandingan analisis finansial antara usahatani sebelum dan sesudah
organik menurut kelompok responden eksperimen (petani organik), dapat dilihat
pada Tabel 30. Berdasarkan tabel 30, dapat diketahui bahwa total biaya input
produksi rata-rata usaha tani sesudah organik lebih besar daripada usahatani
sebelum organik. Responden eksperimen menghabiskan total biaya input produksi
rata-rata per 0,24 ha per musim ketika mereka sudah bertani organik sebesar
Rp. 2.245.194,00. Biaya tersebut lebih besar dibandingkan total biaya input
produksi rata-rata usahatani sebelum organik, yaitu Rp. 2.138.028,80. Lebih
besarnya total biaya input produksi rata-rata pada usahatani sesudah organik
disebabkan oleh biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih besar daripada
usahatani sebelum organik, seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial di
paragraf sebelumnya. Biaya tenaga kerja dan upah rata-rata per 0,24 ha per musim
pada sistem usahatani sebelum organik adalah Rp. 1.659.626,90. Biaya tersebut
meningkat menjadi Rp. 2.161.122,20 setelah para petani menjalankan usahatani
organik.
Perbedaan biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada
usahatani sebelum dan sesudah organik tidak hanya terlihat dalam hal tenaga kerja
dan upah panen, tetapi juga dalam hal penggunaan bibit padi, pupuk dan pestisida.
Biaya penggunaan bibit padi usahatani sebelum dan sesudah organik, masingmasing adalah Rp. 37.721,10 dan Rp. 44.455,00 (Tabel 30). Biaya penggunaan

86

bibit padi lebih besar pada saat petani menjalankan pertanian organik karena
seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial sebelumnya, pertanian organik
mengharuskan penggunaan bibit padi varietas lokal yang harganya lebih mahal
dibandingkan bibit padi varietas hibrida yang biasanya digunakan dalam sistem
pertanian konvensional. Biaya penggunaan rata-rata pupuk per 0,24 ha per musim
pada usahatani sebelum organik, jauh lebih tinggi daripada sesudah organik.
Biaya tersebut mencapai Rp. 393.217,80 dan berbeda jauh dengan biaya
penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani sesudah organik yang hanya sebesar
Rp. 36.465,60. Para petani harus membeli pupuk kimia sintetik yang harganya
relatif mahal pada saat sebelum bertani organik. Namun, biaya penggunaan pupuk
akhirnya dapat ditekan sesudah petani menjalankan praktik pertanian organik
karena pertanian organik hanya memanfaatkan sumber daya pupuk yang langsung
berasal dari limbah-limbah organik.
Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim

pada

usahatani sebelum dan sesudah organik masing-masing adalah Rp. 47.463,00 dan
Rp. 3.151,30. Hal ini berarti, usahatani sebelum organik mengeluarkan biaya lebih
tinggi untuk penggunaan pestisida daripada usahatani sesudah organik. Pada saat
sebelum bertani organik, para petani menggunakan pestisida kimia sintetik yang
harganya relatif mahal, yaitu berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 25.000,00
per botol tergantung jenis atau merek pestisida. Namun, setelah para petani
mengadopsi

praktik

pertanian

organik,

mereka

secara

perlahan-lahan

meninggalkan pestisida kimia sintetik, kemudian menggantinya dengan pestisida


nabati yang tidak perlu mengeluarkan biaya atau jika terpaksa harus membeli
pestisida nabati dari tetangga, mereka hanya perlu mengeluarkan uang sebesar
Rp. 5.000,00 per botol. Itulah alasan mengapa biaya penggunaan pestisida pada
usahatani sebelum organik jauh lebih tinggi daripada sesudah organik.
Dari semua biaya input yang telah dijelaskan, dapat diketahui bahwa
kategori biaya input yang paling besar pada sistem usahatani sebelum dan sesudah
organik adalah biaya tenaga kerja dan upah panen. Analisis finansial berikutnya
yang akan dibandingkan antara kedua sistem usahatani adalah penerimaan
usahatani, keuntungan usahatani dan nilai B/C Rasio. Penerimaan rata-rata
usahatani sebelum dan sesudah organik per 0,24 ha per musim seperti yang

87

tercantum dalam Tabel 30 secara berurutan adalah Rp. 4.113.909,70 dan Rp.
6.096.150,60. Penerimaan rata-rata usahatani sesudah organik ternyata lebihbesar
daripada sebelum organik. Hal ini sama dengan yang terjadi pada perbandingan
penerimaan rata-rata usahatani organik dan konvensional antara kedua kelompok
responden (kontrol dan eksperimen).
Nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik per 0,24 ha per
musim juga lebih tinggi dibandingkan sebelum organik. Para petani biasanya
mendapatkan keuntungan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar Rp.
1.975.880,90 sebelum bertani organik dan jumlah keuntungan rata-tersebut
meningkat menjadi Rp. 3.850.956,50 setelah mereka bertani organik. Setelah
mengetahui nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik yang lebih tinggi
daripada sebelum organik, maka sudah dapat dikatakan bahwa usahatani sesudah
organik lebih unggul secara ekonomi daripada usahatani sebelum organik
(usahatani konvensional). Hal ini diperkuat oleh nilai B/C Rasio sebesar 1,7 pada
usahatani sesudah organik yang berarti, usahatani tersebut layak secara ekonomi.
Sebaliknya, nilai B/C Rasio pada usahatani sebelum organik hanya 0,9 yang
berarti usahatani tersebut tidak layak secara ekonomi, karena suatu bisnis bisa
disebut layak jika nilai B/C Rasio lebih besar dari 1.
5.3. Analisis Akses Pasar Usahatani Organik dan Konvensional
Pengertian akses pasar dalam penelitian ini adalah kemampuan atau
peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada
konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan
konsumen. Akses pasar dinilai dari jumlah dan kemudahan saluran distribusi yang
bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani.
Dengan demikian, akses pasar suatu sistem usahatani bisa dikatakan tinggi jika
semakin banyak peluang pasar dan saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh
petani. Selain itu, petani juga merasa leluasa dalam menjual produknya kepada
siapa saja, di mana saja, dengan posisi tawar yang lebih tinggi. Sebaliknya, akses
pasar dikatakan rendah jika petani menghadapi keterbatasan peluang pasar dan
saluran distribusi atas produk pertanian mereka; serta tidak memiliki posisi tawar
atau bargaining position yang tinggi atas produk pertanian mereka di hadapan
konsumen sehingga petani tidak berdaya.

88

Akses pasar usahatani organik menurut pengakuan semua responden


eksperimen (petani organik) lebih tinggi daripada akses pasar usahatani
konvensional karena para petani memiliki lebih banyak saluran distribusi untuk
memasarkan produk-produk mereka setelah bertani organik. Para petani organik
dapat membandingkan akses pasar pada sistem usahatani organik dan
konvensional karena mereka telah melaksanakan kedua sistem usahatani tersebut
sebelumnya. Produk-produk pertanian organik khususnya padi, dapat dijual
langsung kepada konsumen dengan harga premium atau sesuai dengan standar
harga dari petani. Selain itu, petani juga biasanya menjual padi organik dalam
bentuk gabah basah atau gabah kering ke Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah
dengan harga lebih tinggi daripada padi non organik. Saluran distribusi lainnya
yang sudah bisa dijangkau petani, antara lain: grosir beras organik, distributor
besar, bahkan gerai khusus produk organik yang tersebar di beberapa daerah,
seperti: Jakarta, Bogor, Surabaya, Semarang, Solo, Salatiga, Kendal, dan lain-lain.
Petani organik sekarang lebih bebas dalam menentukan kemana dan
kepada siapa hasil panen padi organik mereka akan dijual. Tidak ada ketakutan
sama sekali mengenai akses pasar pertanian organik karena saat ini, permintaan
konsumen (demand) atas produk organik masih sangat tinggi bahkan lebih tinggi
daripada ketersediaan produknya (supply). Oleh karena itu, seringkali para petani
organik belum sanggup memenuhi semua permintaan tersebut. Berdasarkan
kondisi tersebut, Paguyuban Petani Al-Barokah kemudian menjalin kerjasama
atau kemitraan dengan kelompok tani organik di daerah lain untuk memenuhi
permintaan konsumen. Hal ini sangat berbeda dengan akses pasar pertanian
konvensional yang rendah. Para petani konvensional hanya dapat menjual produk
mereka di pasar lokal dalam bentuk beras atau di tempat penggilingan (selepan)
dan sawah dalam bentuk gabah melalui tengkulak. Harga jual padi konvensional
pun jauh lebih rendah daripada padi organik. Selain itu, sudah terdapat banyak
pesaing produsen padi konvensional di pasaran. Fakta mengenai perbandingan
antara akses pasar pertanian organik dan konvensional, diperkuat oleh pernyataan
salah satu informan penelitian sebagai berikut:

Sebelum organik, padi dalam bentuk gabah basah, gabah kering,


atau beras biasanya dijual ke pasar lokal dan sebagian besar

89

lainnya langsung dijual di tempat penggilingan (selepan) atau


sawah melalui tengkulak. Sedangkan setelah organik, padi bisa
dijual ke Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah atau langsung
kepada konsumen dan grosir beras organik, tergantung keputusan
petani. Harga jual padi organik dalam bentuk apapun, tentu saja
lebih tinggi daripada yang non organik. Sampai saat ini, kami
masih kewalahan sekali memenuhi permintaan pasar atas beras
organik karena tidak semua petani di sini bertani organik.
Padahal, potensi lahan pertanian yang bisa diorganikkan masih
besar. Jadi, Al-Barokah dalam hal ini terus menjalin kemitraan
dengan kelompok tani organik di daerah lainnya yang juga
tergabung dalam SPPQT (Serikat Paguyuban Petani Qorryah
Thoyyibah). Kelompok tani tersebut sudah terbukti organik dan
bisa dipercaya kualitas produknya karena kami sama-sama
melakukan pengecekan atau inspeksi internal terhadap lahan
pertanian organik. (Mst, laki-laki, 43 tahun).
5.4. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi
Petani
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
sebenarnya sudah dapat diketahui melalui analisis finansial usahatani yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Analisis terhadap Tabel 29 dan Tabel 30
memiliki kesimpulan sama bahwa usahatani organik jauh lebih menguntungkan
dan lebih layak secara ekonomi daripada usahatani konvensional. Namun, untuk
membuktikan kebenaran hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa praktik
pertanian organik berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan
ekonomi petani, dibutuhkan suatu analisis statistik. Analisis statistik yang
digunakan untuk menguji hipotesis penelitian tersebut adalah uji Paired Samples
T-test dengan didukung oleh program SPSS 17 for Windows.
Uji Paired Samples T-test dalam penelitian ini berguna untuk mengetahui
tingkat perbedaan keuntungan usahatani sebelum dan sesudah organik pada
kelompok eksperimen. Indikator diterima atau ditolaknya hipotesis penelitian
secara statistik, tergantung dari besarnya nilai signifikansi dan nilai rata-rata
(mean) keuntungan usahatani sebelum dan sesudah organik. Hipotesis penelitian
akan diterima jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 dan nilai mean
keuntungan usahatani sesudah organik lebih tinggi daripada sebelum organik.
Setelah melakukan pengolahan data dengan menggunakan program SPSS 17 for
Windows, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,000 dan nilai tersebut lebih kecil

90

dari 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara keuntungan
rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik. Berdasarkan Tabel 30 dan hasil
olahan data melalui SPSS 17 for Windows (lampiran), dapat pula diketahui bahwa
keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik lebih tinggi daripadasebelum
organik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa praktik pertanian organik
berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani yang
dapat dilihat dari peningkatan keuntungan usahatani setelah para petani bertani
organik. Jadi, hipotesis pertama dari penelitian ini diterima.
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
yang telah terbukti positif, ternyata menjadi alasan utama para petani untuk
beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik. Alasan kedua para
petani mau bertani organik selain karena aspek ekonomi, adalah aspek ekologi.
Semua responden eksperimen dalam penelitian ini menyatakan bahwa praktik
pertanian organik berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekologi. Hal ini
dapat dilihat dari perubahan tekstur tanah yang semakin gembur dan tingkat
kesuburan tanah yang semakin tinggi setelah bertani organik. Selain itu, kualitas
produk pertanian organik ternyata lebih baik daripada kualitas produk pertanian
konvensional, misalnya: beras organik terbukti lebih tahan lama dan rasanya lebih
enak dengan kandungan nutrisi lebih tinggi daripada beras konvensional.
Keuntungan praktik pertanian organik secara ekonomi dan ekologi inilah yang
membuat para petani organik masih bertahan untuk terus melanjutkan praktik
pertanian organik di Desa Ketapang, meskipun tidak banyak petani yang
mengadopsinya. Fakta tersebut diperkuat oleh pernyataan salah satu informan
penelitian berinisial Bsr (laki-laki, 61 tahun), sebagai berikut:

Kami mau bertani organik pada mulanya karena menguntungkan


secara ekonomi. Biaya produksi lebih murah, harga jual
produknya lebih tinggi. Jadi, ya untung Mas. Selain itu, pertanian
organik ini bisa menggemburkan tanah, sehingga tanah lebih
subur daripada pas dulu saat saya dan beberapa teman masih
menjalankan pertanian non organik. Penggunaan pupuk sintetik
yang berlebihan ternyata membuat tanah kering, pecah-pecah dan
lama-lama nggak subur lagi. Saya bilangnya pupuk sintetik lo ya,
bukan pupuk kimia soalnya semua pupuk, baik organik atau non
organik kan mengandung bahan-bahan kimia. Terus, saya bertani
organik juga karena alasan kesehatan. Beras organik dan lahan

91

organik kan lebih sehat Mas, soalnya nggak tercemar racun,


daripada yang pertanian non organik. Memang susah sih bertani
organik itu banyak sekali kendalanya, tapi saya masih mau
bertahan karena beberapa keuntungan tadi dan peluang pasar
organik masih terbuka lebar.

BAB VI
ANALISIS KOMPLEKSITAS PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DAN KONVENSIONAL MENURUT PERSEPSI
PETANI
Praktik pertanian organik secara umum, tidak jauh berbeda dengan praktik
pertanian konvensional. Namun, ada beberapa variabel yang menjadi perhatian
utama apakah sistem pertanian tersebut dikategorikan sebagai pertanian organik
atau bukan, yaitu:
1)

Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik
tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama 3 tahun.

2)

Menggunakan pupuk organik.

3)

Menggunakan bibit padi varietas lokal.

4)

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida


organik.

5)

Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional.
Beberapa variabel di atas merupakan variabel sensitif yang telah banyak

disyaratkan dalam pertanian organik dan telah dilaksanakan oleh para petani
organik di Desa Ketapang. Sementara itu, praktik pertanian konvensional
merupakan kebalikan dari praktik pertanian organik. Jadi, beberapa variabel
sensitif dari praktik pertanian konvensional yang dapat dibandingkan tingkat
kompleksitasnya dengan praktik pertanian organik, antara lain:
1)

Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap
diberikan input bahan-bahan kimia sintetik.

2)

Menggunakan pupuk kimia sintetik.

3)

Menggunakan bibit padi varietas hibrida (bibit unggul).

4)

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida


kimia sintetik.

5)

Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya.
Praktik pertanian organik harus saling terintegrasi antara satu dengan

lainnya selama proses bertani dalam satu musim. Praktik ini dimulai dari
penyiapan lahan sebelum padi ditanam hingga pasca panen, yang meliputi:

93

1)

Pembajakan dengan menggunakan kerbau atau traktor yang diikuti dengan


penyebaran pupuk organik basah berupa granul (pupuk kandang hasil
fermentasi dan penggilingan) atau pupuk hijau berupa daun-daunan yang
dibenamkan ke dalam tanah. Pembajakan dengan menggunakan dua ekor
kerbau, biasanya membutuhkan waktu kurang lebih dua hari. Setelah tanah
dibajak, tanah dibiarkan terdedah tanpa perlakuan agar gembur.

2)

Perataan tanah dengan menggunakan kerbau atau traktor. Perataan tanah


biasanya membutuhkan dua ekor kerbau dan dapat diselesaikan sekitar satu
hari.

3)

Pencangkulan tanah yang melibatkan petani secara langsung. Cangkul yang


digunakan harus terbebas dari bahan-bahan kimia sintetik. Jika tidak, maka
cangkul harus dicuci atau dibersihkan terlebih dahulu sampai steril atau
higienis.

4)

Penanaman padi atau seringkali disebut tandur oleh petani di Desa


Ketapang. Penanaman padi ini, melibatkan petani perempuan hingga masa
tanam selesai.

5)

Pemupukan dengan menggunakan pupuk organik yang terdiri dari: pupuk


kandang kering dan pupuk cair (terbuat dari urine hewan ternak atau urine
manusia). Pupuk cair disemprotkan ke bagian daun hingga batang tanaman
padi sebanyak empat sampai lima kali.

6)

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menyemprotkan pestisida


organik ke bagian daun hingga batang tanaman padi.

7)

Penyiangan dan pembersihan galengan. Proses penyiangan (maton)


dimanfaatkan oleh petani untuk mendapatkan pupuk hijau tambahan dengan
cara membenamkan sisa-sisa rumput atau daun-daunan yang telah dicabuti ke
dalam tanah.

8)

Pemanenan padi yang mengikutsertakan petani laki-laki dan perempuan.


Semua hasil panen dalam bentuk gabah basah harus disimpan ke dalam
tempat atau wadah yang terbebas dari bahan kimia sintetik.

9)

Penjemuran padi untuk menghasilkan gabah kering yang siap digiling ke


tempat penggilingan atau selepan. Jika padi dibawa ke tempat penggilingan,
maka gudang tempat penyimpanan padi dan semua lingkungan penggilingan

94

harus terbebas dari bahan kimia sintetik. Oleh karena itu, penyemprotan
pestisida sintetik di dalam gudang atau tempat penggilingan, dilarang keras.
10) Penggilingan padi yang dilakukan jika petani ingin menjual hasil panennya
dalam bentuk beras.
11) Pengemasan padi dalam bentuk beras yang biasanya dilakukan di sekretariat
Paguyuban Petani Al-Barokah. Pengemasan ini bertujuan untuk menambah
nilai jual beras organik kepada konsumen. Pengemasan juga harus dilakukan
secara hati-hati agar tidak tercemar bahan-bahan kimia sintetik.
Semua proses bertani dalam sistem usahatani organik yang telah
disebutkan di atas, sebenarnya sama dengan proses bertani dalam sistem usahatani
konvensional. Namun, praktik pertanian organik membutuhkan ketelitian dan
kerja keras yang lebih besar daripada praktik pertanian konvensional untuk
menjaga agar lahan pertanian dan lingkungan sekitar sistem usahatani tersebut,
tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia sintetik. Selain itu, masa panen pertanian
organik juga lebih lama daripada pertanian konvensional. Hal ini terjadi karena
menurut penuturan salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki, 55
tahun), pertanian organik mensyaratkan penggunaan bibit padi varietas lokal yang
masa berbuahnya lebih lama daripada bibit padi hibrida. Selisih masa panen
antara pertanian organik dengan konvensional adalah lima belas hari dan dalam
waktu dua tahun, pertanian organik mampu panen sebanyak lima kali, sedangkan
pertanian konvensional dalam waktu dua tahun bisa panen lebih dari lima kali.
Pola tanam dalam sistem pertanian organik sama dengan pola tanam dalam
sistem pertanian konvensional. Petani tidak merasakan perbedaan yang nyata
mengenai pola tanam antara sebelum dan sesudah bertani organik. Tanaman
budidaya yang ditanam sepanjang tahun oleh petani adalah padi sawah, kecuali
beberapa petani yang memiliki lahan kering. Petani yang memiliki lahan kering,
biasanya menanam tanaman palawija atau kacang-kacangan selain padi (Tabel
26). Beberapa tahun yang lalu, ketika musim hujan dan kemarau masih bisa
diprediksi, mayoritas petani mulai bercocok tanam pada bulan Maret hingga masa
panen tiba pada bulan Juni dan seterusnya. Suatu sistem usahatani konvensional
membutuhkan waktu sekitar 105 hari untuk menghasilkan panen padi dalam satu
musim. Sistem usahatani organik pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 120

95

hari (15 hari lebih lama) untuk menghasilkan panen padi dalam satu musim. Saat
ini, petani sudah tidak mampu memprediksi kapan datangnya musim hujan atau
kemarau akibat anomali iklim, sehingga mereka mulai bercocok tanam pada bulan
apapun. Jadi, tidak ada lagi ketentuan khusus mengenai kapan petani harus mulai
bercocok tanam hingga panen.
Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut
persepsi petani dilakukan untuk mengetahui perbandingan tingkat kompleksitas
dari kedua praktik pertanian tersebut. Analisis ini diperoleh setelah petani menilai
sendiri sampai sejauh mana tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik
pertanian organik dan konvensional yang telah disebutkan pada paragraf
sebelumnya berdasarkan persepsi mereka. Semua responden sama-sama diminta
untuk membandingkan tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik
pertanian organik dan konvensional dengan kategori nilai yang telah ditentukan
oleh penulis (Tabel 6). Data hasil penilaian tersebut, selanjutnya diolah dan
dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows melalui uji
Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengolahan dan analisis data kemudian menjadi dasar
diterima tidaknya hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa
tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara
signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani.
Hipotesis penelitian akan ditolak jika nilai signifikansi semua variabel
praktik pertanian yang dinilai oleh petani mayoritas lebih besar dari 0,05 dan nilai
rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian organik mayoritas lebih kecil
daripada nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian konvensional.
Sebaliknya, hipotesis penelitian akan diterima jika nilai signifikansi semua
variabel praktik pertanian yang dinilai oleh petani mayoritas lebih kecil dari 0,05
dan nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian organik mayoritas lebih
besar daripada nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian konvensional.
Penjelasan lebih lengkap mengenai hasil analisis kompleksitas praktik pertanian
organik dan konvensional menurut persepsi petani, dijelaskan dalam sub bab
tersendiri berdasarkan kelompok responden (eksperimen dan kontrol).

96

6.1. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional


menurut Persepsi Kelompok Petani Organik (Responden Eksperimen)
Gambar 2 berisi informasi mengenai nilai rataan (mean) tingkat
kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional
menurut persepsi kelompok petani organik:
Gambar 2. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas Variabel
Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
Variabel Praktik Pertanian Organik (diagram warna biru):
v1 = Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia
sintetik selama 3 tahun
v2 = Menggunakan pupuk organik
v3 = Menggunakan bibit padi varietas lokal
v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik
v5 = Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional
Variabel Praktik Pertanian Konvensional (diagram warna hijau):
v1 = Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap diberikan input bahan-bahan
kimia sintetik
v2 = Menggunakan pupuk kimia sintetik
v3 = Menggunakan bibit padi varietas hibrida (bibit unggul)
v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik
v5 = Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya

97

Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa nilai rata-rata tingkat kompleksitas


semua variabel praktik pertanian organik (v1-v5) lebih besar daripada nilai ratarata tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian konvensional (v1-v5).
Hal ini berarti, menurut penilaian kelompok petani organik, praktik pertanian
organik dirasakan lebih kompleks atau lebih sulit daripada praktik pertanian
konvensional. Namun, keputusan untuk menerima atau menolak hipotesis
penelitian masih ditentukan oleh nilai signifikansi tingkat kompleksitas pada
masing-masing variabel praktik pertanian (v1-v5). Nilai signifikansi berguna
untuk menunjukkan ada tidaknya perbedaan nyata antara tingkat kompleksitas
masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional secara
statistik. Nilai signifikansi tingkat kompleksitas untuk masing-masing variabel
praktik pertanian hasil dari perhitungan uji Kolmogorov-Smirnov dengan
menggunakan program SPSS 17 for Windows disajikan dalam Tabel 32.
Tabel 32. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel
Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang,
Jawa Tengah, Tahun 2010
Variabel Praktik Pertanian

Nilai Signifikansi
n = 14

v1

0,000

v2

0,334

v3

0,905

v4

0,905

v5

0,000

Sumber: Data Primer Diolah

Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui bahwa variabel 1 (v1) dan variabel
5 (v5) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, yaitu 0,000. Hal ini berarti,
terdapat perbedaan nyata antara tingkat kompleksitas praktik pertanian organik
dan konvensional dalam hal praktik dan masa konversi lahan dari non organik
menjadi organik (variabel 1) serta praktik pemisahan lahan dan sumber irigasi
pertanian organik dari pertanian konvensional (variabel 5). Fakta tersebut
diperkuat oleh Gambar 2 yang menunjukkan lebih besarnya nilai mean tingkat
kompleksitas variabel 1 dan variabel 5 praktik pertanian organik dibandingkan
praktik pertanian konvensional. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat
kompleksitas praktik pertanian organik terbukti lebih tinggi secara signifikan

98

daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi kelompok petani


organik berdasarkan variabel 1 dan variabel 5.
Tingkat kompleksitas untuk variabel praktik pertanian lainnya selain
variabel 1 dan variabel 5 (v2-v4), memiliki nilai signifikansi lebih lebih besar dari
0,05 (Tabel 32). Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas yang
signifikan antara praktik pertanian organik dan konvensional berdasarkan variabel
2, variabel 3, dan variabel 4. Padahal, berdasarkan Gambar 2, terlihat jelas adanya
perbedaan nilai mean tingkat kompleksitas yang cukup nyata pada variabel 2
hingga variabel 4 antara praktik pertanian organik dan konvensional. Namun,
penarikan kesimpulan atas diterima tidaknya hipotesis penelitian tetap dilihat
berdasarkan nilai signifikansi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
tingkat kompleksitas secara signifikan antara praktik pertanian organik dan
konvensional menurut persepsi kelompok petani organik berdasarkan variabel 2,
variabel 3, dan variabel 4.
Hasil analisis statistik yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, telah
memperlihatkan bahwa praktik pertanian organik terbukti lebih kompleks atau
lebih sulit secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional hanya pada
variabel 1 dan variabel 5. Sementara itu, perbandingan tingkat kompleksitas tiga
variabel lainnya antara praktik pertanian organik dan konvensional, tidak berbeda
secara signifikan. Berdasarkan hal tersebut, maka kesimpulan umum atas
hipotesis penelitian kedua yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik
pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian
konvensional menurut persepsi petani, adalah ditolak. Jadi, tidak ada perbedaan
tingkat kompleksitas secara signifikan antara praktik pertanian organik dan
konvensional menurut persepsi kelompok petani organik.
Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan para petani organik (responden
eksperimen) menerima dan menolak hipotesis penelitian kedua berdasarkan setiap
variabel praktik pertanian, adalah sebagai berikut:
1)

Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik
tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama 3 tahun (variabel 1) dinilai
membutuhkan waktu yang sangat lama dan cenderung lebih sulit dilakukan
daripada praktik pengolahan lahan pada pertanian konvensional. Jadi, petani

99

harus sabar menunggu hingga lahan pertanian dan hasil panennya bisa
disebut organik. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima
berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 1.
2)

Menggunakan pupuk organik (variabel 2) dinilai tidak sulit oleh para petani
organik karena mereka sudah terbiasa membuat pupuk organik sendiri dan
ketersediaan pupuk organik juga sangat melimpah di lingkungan sekitar
mereka. Hal terpenting bagi petani organik adalah ulet dan sabar karena
pupuk organik berbeda dengan pupuk kimia sintetik yang sudah siap pakai.
Oleh karena itu, petani organik menganggap bahwa praktik menggunakan
pupuk organik tidak lebih sulit dari praktik menggunakan pupuk kimia
sintetik. Jadi, hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat
kompleksitas variabel 2.

3)

Menggunakan bibit padi varietas lokal (variabel 3) dinilai mudah dan tidak
ada perbedaan tingkat kompleksitas jika dibandingkan dengan praktik
menggunakan bibit padi varietas hibrida pada pertanian konvensional. Hal ini
disebabkan karena harga bibit padi varietas lokal hampir sama dengan
varietas hibrida. Kalaupun harganya berbeda, selisih harga antara bibit padi
varietas lokal dan hibrida tidak besar. Selain itu, secara teknis penanaman
bibit padi varietas lokal sama dengan varietas hibrida. Oleh karena itu,
hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat kompleksitas
variabel 3.

4)

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida


organik (variabel 4) ternyata tidak lebih sulit daripada pengendalian hama
dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik. Menurut
petani, penggunaan pestisida baik pada saat sebelum maupun sesudah
organik, sangat jarang dilakukan jika tidak ada serangan hama yang
menakutkan. Selain itu, cara membuat pestisida organik pun dianggap
sederhana oleh petani organik karena mereka sudah terbiasa memanfaatkan
sumber daya nabati di sekitar lingkungan. Oleh karena itu, hipotesis kedua
dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 4.

5)

Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional (variabel 5) dinilai lebih sulit daripada lahan dan

100

sumber air irigasi untuk pertanian konvensional yang tidak harus dipisahkan
dengan sistem pertanian lainnya. Petani mengaku kesulitan untuk
menghindari pencemaran bahan kimia sintetik dari lahan maupun sumber air
irigasi di sekitar mereka karena terlalu banyak lahan-lahan pertanian dan
sumber air irigasi untuk pertanian konvensional. Jadi, pertanian organik
membutuhkan perlakuan yang sangat hati-hati dan harus terisolasi dari
pencemaran bahan-bahan kimia sintetik, sehingga hipotesis kedua dari
penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 5.
Penolakan atas hipotesis kedua dari penelitian ini yang diuji pada kelompok
petani organik diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian, seperti di
bawah ini:

Menurut saya, praktik pertanian organik tidak sulit kok kalau


dibandingkan dengan praktik pertanian yang non organik.
Sebenarnya, secara umum praktiknya hampir sama tetapi
pertanian organik ini kan harus terbebas dari bahan-bahan kimia
sintetik jadi kita harus memperlakukannya dengan sangat hati-hati,
mulai dari penggunaan pupuknya, pestisida, bibit, sumber irigasi,
dan lain-lain. Praktik pertanian organik malah bisa saya katakan
jauh lebih mudah daripada non organik karena saya sudah
terbiasa berorganik mulai tahun 1998. Selain itu, biaya
produksinya juga lebih murah dan menguntungkan secara
ekonomis. Cuma, petani-petani di sini saja yang kurang rekoso
istilahnya, opo males ngono lo Mas, kurang telaten. (Mst, lakilaki, 43 tahun).
6.2. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional
menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional (Responden Kontrol)
Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut
persepsi kelompok petani konvensional, bertujuan untuk mengetahui sampai
sejauh mana tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dibandingkan praktik
pertanian konvensional menurut persepsi kelompok petani konvensional.
Kesimpulan atas diterima atau ditolaknya hipotesis penelitian berdasarkan nilai
signifikansi yang merupakan hasil perhitungan statistik dari uji KolmogorovSmirnov dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows. Selain itu, untuk
memperkuat kecenderungan mengenai manakah praktik pertanian yang tingkat
kompleksitasnya lebih tinggi, maka penulis juga menyajikan perbandingan nilai

101

mean tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan


konvensional dalam Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas Variabel
Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun
2010

Sumber: Data Primer Diolah


Keterangan:
Variabel Praktik Pertanian Organik (diagram warna biru):
v1 = Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia
sintetik selama 3 tahun
v2 = Menggunakan pupuk organik
v3 = Menggunakan bibit padi varietas lokal
v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik
v5 = Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional
Variabel Praktik Pertanian Konvensional (diagram warna hijau):
v1 = Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap diberikan input bahan-bahan
kimia sintetik
v2 = Menggunakan pupuk kimia sintetik
v3 = Menggunakan bibit padi varietas hibrida (bibit unggul)
v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik
v5 = Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya

Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa nilai mean tingkat


kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih besar daripada
praktik pertanian konvensional. Hal ini berarti, tingkat kompleksitas praktik
pertanian organik dinilai lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional oleh

102

responden kontrol. Selisih nilai mean terbesar antara praktik pertanian organik
dan konvensional, berada pada variabel 1 dan variabel 5. Jadi, variabel 1 dan
variabel 5 dianggap oleh petani sebagai variabel praktik pertanian organik yang
tingkat kompleksitasnya paling tinggi dibandingkan variabel lainnya. Meskipun
demikian, fakta ini masih belum dapat membuktikan kebenaran hipotesis
penelitian kedua karena harus melihat nilai signifikansi tingkat kompleksitas
masing-masing variabel praktik pertanian terlebih dahulu, seperti yang tercantum
di dalam Tabel 33.
Tabel 33. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel
Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Konvensional, Desa
Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Variabel Praktik Pertanian

Nilai Signifikansi
n = 14

v1

0,000

v2

0,000

v3

0,000

v4

0,000

v5

0,000

Sumber: Data Primer Diolah

Nilai signifikansi tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian


seperti yang ditampilkan di dalam Tabel 33 adalah sama, yaitu 0,000 dan nilai ini
kurang dari 0,05. Berdasarkan nilai signifikansi tersebut, maka dapat dianalisis
bahwa terdapat perbedaan tingkat kompleksitas yang signifikan antara praktik
pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani konvensional. Hasil
analisis ini diperkuat oleh perbedaan nyata nilai mean tingkat kompleksitas antara
masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional (Gambar 3).
Nilai mean tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih
tinggi daripada semua variabel praktik pertanian konvensional. Setelah
mengetahui hasil analisis statistik di atas, maka kesimpulan umum atas hipotesis
kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik
pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian
konvensional menurut persepsi petani, adalah diterima. Jadi, sudah jelas terbukti
bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik lebih tinggi secara

103

signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi kelompok


petani konvensional.
Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan para petani konvensional
(responden kontrol) menerima hipotesis penelitian kedua berdasarkan setiap
variabel praktik pertanian, adalah sebagai berikut:
1)

Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik
tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama 3 tahun (variabel 1) dinilai
membutuhkan waktu yang sangat lama dan cenderung lebih sulit dilakukan
daripada praktik pengolahan lahan pada pertanian konvensional. Jadi, petani
harus sabar menunggu hingga lahan pertanian dan hasil panennya bisa
disebut

organik.

Sebaliknya,

praktik

pertanian

konvensional

tidak

mensyaratkan adanya perlakuan terhadap lahan seperti ini. Oleh karena itu,
hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas
variabel 1.
2)

Menggunakan pupuk organik (variabel 2) dinilai oleh para petani


konvensional lebih sulit daripada menggunakan pupuk kimia sintetik. Pupuk
organik yang biasanya digunakan di dalam pertanian organik, adalah: pupuk
kandang, pupuk cair, pupuk kompos dan pupuk hijau. Petani konvensional
merasa kesulitan untuk membuat pupuk organik yang membutuhkan waktu
tertentu agar bisa siap digunakan ke lahan. Selain itu, pertanian organik juga
membutuhkan pasokan pupuk organik yang tidak sedikit, yaitu sekitar 2,5 ton
untuk satu hektar lahan pertanian. Jumlah kebutuhan pupuk organik ini
sepuluh kali lipat lebih banyak daripada kebutuhan pupuk kimia sintetik pada
pertanian konvensional. Oleh karena itu, transportasi pupuk organik menuju
sawah petani sangat sulit dilakukan akibat terlalu beratnya pupuk yang harus
diangkut dan sulitnya akses jalan menuju sawah (jalan becek, sempit dan
jauh). Jadi, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat
kompleksitas variabel 2.

3)

Menggunakan bibit padi varietas lokal (variabel 3) sebenarnya mudah dan


tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas jika dibandingkan dengan praktik
menggunakan bibit padi varietas hibrida pada pertanian konvensional.
Namun, menurut petani konvensional, penggunaan bibit padi varietas lokal

104

lebih sulit daripada varietas hibrida karena harga bibit padi varietas lokal
lebih mahal dibandingkan dengan varietas hibrida. Harga satu kilogram bibit
padi varietas lokal bisa mencapai Rp. 6.000,00, sedangkan harga bibit padi
varietas hibrida per kilogramnya adalah Rp. 5.000,00. Oleh karena itu,
hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas
variabel 3.
4)

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida


organik (variabel 4) ternyata lebih sulit daripada pengendalian hama dan
penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik. Menurut
petani konvensional, dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam membuat
pestisida organik yang memanfaatkan sumber daya nabati di sekitar
lingkungan. Petani konvensional lebih memilih menggunakan pestisida kimia
sintetik yang sudah siap pakai, lebih praktis, dan jumlah pemakaiannya pun
tidak banyak dalam satu musim. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari
penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 4.

5)

Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional (variabel 5) dinilai lebih sulit daripada lahan dan
sumber air irigasi untuk pertanian konvensional yang tidak harus dipisahkan
dengan sistem pertanian lainnya. Petani mengaku kesulitan untuk
menghindari pencemaran bahan kimia sintetik dari lahan maupun sumber air
irigasi di sekitar mereka karena terlalu banyak lahan-lahan pertanian
konvensional. Hal ini akan lebih sulit lagi jika jarak sumber air irigasi sangat
jauh dari sawah petani. Jadi, pertanian organik membutuhkan perlakuan yang
sangat hati-hati dan harus terisolasi dari pencemaran bahan-bahan kimia
sintetik, sehingga hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan
tingkat kompleksitas variabel 5.

Kebenaran atas hipotesis kedua dari penelitian ini, diperkuat oleh pernyataan salah
satu responden penelitian, seperti di bawah ini:
Saya nggak bertani organik soalnya lebih susah dibandingkan
pertanian yang biasa. Bertani organik itu butuh tenaga lebih besar.
Saya sudah ndak ada tenaga untuk ngangkut pupuk rabuk ke sawah
yang kadang jalannya becek, mboten saget dilewati kendaraan
niku lo. Dadi ngge males Mas kulo. (Suy, perempuan, 55 tahun).

BAB VII
ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DI KALANGAN PETANI
Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani dapat dianalisis
menurut aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktiknya. Berdasarkan hasil
pembahasan Bab V, telah terbukti bahwa praktik pertanian organik berpengaruh
positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Selain aspek ekonomi,
keberlanjutan praktik pertanian organik juga didukung oleh potensi pertanian
lokal atau ketersediaan sumber daya alam yang memungkinkan petani untuk
bertani organik. Desa Ketapang masih memiliki lahan pertanian yang luas (Tabel
8) dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya sebagai petani (Tabel 11),
sehingga masih ada kemungkinan untuk terus mengembangkan praktik pertanian
organik di desa ini. Ketersediaan pupuk kandang juga cukup besar di Desa
Ketapang yang terbukti dari tingginya kepemilikan hewan ternak di kalangan
petani (Tabel 24). Para petani di Desa Ketapang, sebagian besar sudah
menggunakan kombinasi antara pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk kimia
sintetik, meskipun masih belum bisa bertani organik secara penuh. Mereka
menyebut dirinya sebagai petani semi organik.
Pengaruh positif praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan
ekonomi petani dan besarnya potensi sumber daya alam yang mendukung praktik
pertanian organik di Desa Ketapang, seharusnya bisa membuat pertanian organik
lebih berkembang di kalangan petani. Namun, tidak demikian kenyataannya.
Praktik pertanian organik justru cenderung dihindari oleh para petani di Desa
Ketapang. Hal ini terlihat dari lebih banyaknya jumlah petani konvensional
daripada jumlah petani organik di Desa ini. Perbandingan jumlah responden
kontrol dengan responden eksperimen yang cukup jauh (65:14) dalam penelitian
ini sudah membuktikan bahwa praktik pertanian organik kurang berkembang.
Alasan utama mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh
petani di Desa Ketapang, adalah karena praktik pertanian organik tingkat
kompleksitasnya lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional menurut
persepsi petani khususnya kelompok petani konvensional. Hal ini sudah

106

dibuktikan melalui analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan


konvensional menurut persepsi petani pada Bab VI.
Faktor lain yang kemungkinan besar mempengaruhi pengambilan
keputusan para petani untuk mengadopsi praktik pertanian organik atau tidak
adalah karakteristik sosial ekonomi petani. Karakteristik sosial ekonomi petani
merupakan variabel anteseden dalam penelitian ini yang sudah melekat pada diri
petani sebelum pertanian organik mulai diperkenalkan di Desa Ketapang.
Karakteristik sosial ekonomi petani yang dianalisis dalam penelitian ini, meliputi:
tingkat pendidikan, status petani dan kepemilikan ternak. Berdasarkan Tabel 20,
diketahui bahwa persentase jumlah petani organik yang memiliki tingkat
pendidikan sedang hingga tinggi (lulus SMP/sederajat hingga sarjana) lebih besar
daripada petani konvensional. Ada 42,8 persen petani organik dengan tingkat
pendidikan lulus SMP/sederajat hingga sarjana dari jumlah total petani organik
yang menjadi responden eksperimen penelitian ini, yaitu sebanyak empat belas
orang. Sementara itu, persentase jumlah petani konvensional dengan tingkat
pendidikan lulus SMP/sederajat hingga sarjana hanya 16,9 persen dari jumlah
total petani konvensional yang menjadi responden kontrol penelitian ini, yaitu
sebanyak 65 orang.
Lebih tingginya persentase jumlah petani organik yang memiliki tingkat
pendidikan sedang hingga tinggi dibandingkan petani konvensional, menjadi bukti
nyata pengaruh tingkat pendidikan terhadap proses pengambilan keputusan atas
praktik pertanian organik. Petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan
petani lainnya, cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperti praktik
pertanian organik. Petani konvensional masih tetap tidak mau mengadopsi
pertanian organik karena tingkat pendidikan mereka lebih rendah dibandingkan
kelompok petani organik, sehingga daya abstraksi mereka atas manfaat dan masa
depan pertanian organik, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk
lingkungan, sangat kurang. Hal ini berbeda dengan daya abstraksi atau pola pikir
para petani organik yang lebih tinggi dan mampu berpikir secara jangka panjang
mengenai manfaaat pertanian organik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Oleh
karena itu, para petani organik mengambil keputusan untuk mengadopsi praktik
pertanian organik secara berkelanjutan.

107

Status petani seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV adalah status
kepemilikan petani terhadap lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian,
terdapat tiga jenis status petani atas kepemilikan lahan pertanian, yaitu: petani
pemilik lahan, petani penggarap atau buruh tani dan petani berstatus ganda
(pemilik dan penggarap). Berdasarkan Tabel 23, ada 21,4 persen petani organik
yang berstatus sebagai petani penggarap, sehingga 78,6 persen sisanya dari jumlah
total responden eksperimen adalah petani organik yang memiliki lahan sendiri.
Hal ini berbeda dengan persentase jumlah petani konvensional yang berstatus
sebagai petani penggarap, yaitu sebesar 40 persen, sehingga ada 60 persen petani
konvensional yang memiliki lahan pertanian sendiri dari jumlah total responden
kontrol.
Persentase kepemilikan lahan pertanian yang lebih tinggi pada kelompok
petani organik daripada kelompok petani konvensional, menjadi salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi pertanian organik. Petani pemilik lahan
cenderung lebih mudah mengadopsi pertanian organik dibandingkan petani
penggarap karena resiko atas kegagalan atau periode panen yang lebih lama pada
usahatani, bisa ditanggung sendiri tanpa merugikan pihak lain. Sebaliknya, petani
penggarap jarang mau mengambil resiko atas kegagalan usahatani atau jarang
mau bekerja keras mengkonversi lahan non organik menjadi organik karena
merasa lahan pertanian tersebut bukan miliknya. Petani penggarap sebagian besar
mengejar target panen yang diberikan oleh pemilik lahan. Mereka akan berusaha
semaksimal mungkin untuk dapat menghasilkan panen sebanyak-banyaknya
dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah
satu cara termudah yang bisa dilakukan oleh petani penggarap adalah bertani
konvensional, karena sistem pertanian organik membutuhkan waktu panen lebih
lama dan tingkat produktivitasnya pun lebih rendah daripada sistem pertanian
konvensional, apalagi pada masa-masa awal bertani organik.
Praktik pertanian organik yang mensyaratkan penggunaan pupuk organik,
seperti pupuk kandang dan pupuk cair dari urine hewan ternak, membuat
keberadaan hewan ternak di lingkungan petani menjadi sangat penting. Oleh
karena itu, tingkat kepemilikan ternak di kalangan petani perlu dianalisis karena
berpengaruh terhadap ketersediaan pupuk organik, sehingga berpengaruh pula

108

terhadap pengambilan keputusan petani untuk mengadopsi pertanian organik atau


tidak. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 14,3 persen petani organik yang tidak
mempunyai hewan ternak dan berarti ada 85,7 persen petani organik yang
memiliki hewan ternak dari jumlah total responden eksperimen (Tabel 24).
Sebagai perbandingan, persentase jumlah petani konvensional yang tidak
memiliki hewan ternak adalah sebesar 46,2 persen dari jumlah total responden
kontrol. Jadi, ada 53,8 persen petani konvensional yang memiliki hewan ternak
dari jumlah total responden kontrol dan persentase tersebut, lebih rendah daripada
persentase jumlah petani organik yang memiliki hewan ternak (Tabel 24).
Persentase kepemilikan hewan ternak yang lebih tinggi pada kelompok
petani organik daripada kelompok petani konvensional, mempengaruhi tingkat
adopsi petani terhadap praktik pertanian organik. Para petani organik tidak ragu
dalam mengadopsi pertanian organik karena mereka memiliki ketersediaan pupuk
kandang yang lebih besar daripada petani konvensional berdasarkan tingkat
kepemilikan ternak. Kelompok petani konvensional seringkali masih ragu apakah
akan mengadopsi praktik pertanian organik atau tidak, karena mereka tidak yakin
dapat menyediakan pupuk kandang dan pupuk cair sendiri dalam jumlah yang
cukup besar untuk kebutuhan lahan pertanian mereka. Oleh karena itu, hingga saat
ini belum banyak petani konvensional yang mengadopsi pertanian organik secara
penuh di Desa Ketapang. Fakta mengenai pengaruh kepemilikan hewan ternak
terhadap proses pengambilan keputusan bertani organik di kalangan petani,
diperkuat oleh pernyataan salah satu responden penelitian, sebagai berikut: Saya
belum berorganik ya karena nggak punya pupuk kandang dan nggak punya ternak
juga. Jadi, mau gimana lagi. (Mur, perempuan, 70 tahun).
Penjelasan semua paragraf sebelumnya mengenai faktor-faktor pengaruh
atau penyebab mengapa banyak petani belum mengadopsi pertanian organik,
ternyata sesuai dengan hipotesis pengarah penelitian ini yang menyatakan bahwa
praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga
memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian
konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani. Hipotesis
pengarah tersebut, terus berkembang selama penelitian berlangsung secara
kualitatif dan penulis menemukan beberapa alasan lain yang menyebabkan petani

109

tidak banyak mengadopsi praktik pertanian organik di Desa Ketapang, seperti


yang dijelaskan sebagai berikut:
1)

Pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian
organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional. Padahal, mereka
belum mencoba praktik pertanian organik terlebih dahulu. Para petani sudah
terbiasa bertani secara instan melalui pertanian konvensional dan tidak mau
bersusah payah untuk bertani organik, sehingga ketergantungan mereka
masih tinggi terhadap bantuan pemerintah, khususnya subsidi pupuk kimia
sintetik. Selain itu, rendahnya kesadaran para petani terhadap kelestarian
lingkungan juga sangat menghambat perkembangan pertanian organik di
Desa Ketapang. Salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki,
55 tahun) menambahkan:

Ya itulah susahnya mengajak para petani untuk berorganik,


padahal kita sudah berusaha keras. Al-Barokah juga sudah
mempunyai beberapa fasilitas yang mendukung, tapi tetap saja
tidak banyak petani yang mau berorganik. Pola pikir mereka masih
belum berubah dan ndak mau rekoso karena terbiasa manja atau
serba instan ketika revolusi hijau mulai masuk hingga saat ini.
Mereka tidak mikir masa depan untuk anak cucu kita yang juga
ingin menikmati kondisi lahan pertanian yang baik. Saya bertani
organik ini, karena jihad agar lingkungan tetap lestari, kesehatan
tetap terjaga, dan anak cucu kita masih dapat menikmati kekayaan
sumber daya alam ini dengan layak.
2)

Petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau
daun tanaman padi kurang terlihat. Oleh karena itu, banyak petani yang
enggan meninggalkan pertanian konvensional dan terus memupuk tanaman
padinya dengan pupuk kimia sintetik untuk merangsang pertumbuhan
tanaman padi agar warna hijau daunnya terlihat jelas. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah satu responden penelitian sebagai berikut:

Saya itu yo mau lo Mas sebenarnya bertani organik karena


memang sudah terbukti bagus hasil panennya dan kesuburan tanah
tetap terjaga, tapi istri saya katanya masih belum puas sama
ijonya daun padi. Jadi, kita sampai saat ini masih semi organik.
Kalau cuma dipupuk organik, warna daun padinya kurang ijo,
dadi yo kurang lego ndeloke. (Myd, laki-laki, 44 tahun).

110

3)

Praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama. Petani tidak mau
berspekulasi untuk mengadopsi praktik pertanian organik yang secara teknis
lebih sulit, karena tidak ada jaminan bebas hama, khususnya hama tikus yang
dianggap paling berbahaya. Alasan ini diperkuat oleh kesaksian salah satu
responden sebagai berikut:

Para petani di sini tidak mau bertani organik karena mereka


mikir hama itu tetap ada, apalagi tikus yang paling ditakuti warga.
Jadi, sama saja, mau bertani organik atau tidak, serangan hama
tetap ada dan nggak ada jaminan bebas hama kalau berorganik.
Daripada sudah susah-susah bertani organik yang butuh
perjuangan lebih tinggi tapi masih saja dirusak tikus, ya
mendingan nggak usah sekalian! (Zuh, laki-laki 36 tahun).

4)

Penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik. Petani
banyak yang mengeluh mengenai sulitnya proses pengangkutan pupuk
organik ke lahan pertanian, karena pertanian organik membutuhkan asupan
pupuk organik yang sangat banyak. Sementara itu, akses tranportasi menuju
pematang sawah sulit dijangkau petani dengan kondisi jalan yang buruk
(becek, licin). Proses pembuatan pupuk organik juga membutuhkan keuletan
dan waktu tertentu, sehingga tidak jarang petani yang lebih memilih
menggunakan pupuk kimia sintetik. Alasan ini diperkuat oleh pernyataan
salah satu responden penelitian sebagai berikut:

Saya belum bertani organik soale gak kuat Mas tenagane gawe
ngangkut rabuk kandang nang sawah terus belum lagi kalo jalanan
menuju sawah becek atau rusak. Jadi, jalan di sepanjang
pematang itu gak bisa dilewati sepeda utowo kendaraan liyane,
jauh lo Mas! (Sum, perempuan, 55 tahun).

5)

Sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang. Banyak petani


konvensional yang masih belum mau bertani organik karena tidak
mempunyai hewan ternak di sekitar rumah mereka, sehingga tidak ada
persediaan pupuk kandang. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu
responden penelitian sebagai berikut: Saya belum berorganik ya karena

111

nggak punya pupuk kandang dan nggak punya ternak juga. Jadi, mau gimana
lagi. (Mur, perempuan, 70 tahun).
6)

Banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani. Tugas
buruh tani adalah menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan target
hasil panen yang maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Masa panen
pada pertanian organik lebih lama daripada pertanian konvensional. Hal
inilah yang menghambat buruh tani untuk bisa mendapatkan hasil panen
maksimal dalam waktu singkat, karena mereka harus memenuhi target dari
petani pemilik lahan setiap musim. Pernyataan yang sama diutarakan oleh
salah satu responden penelitian, sebagai berikut:

Kebanyakan petani di sini itu kan buruh tani Mas, dan kita harus
memenuhi target panen dari pemilik lahan. Kalau bisa, panen
secepatnya dengan hasil sebanyak-banyaknya, jadi nggak rugi.
Kalau kita berorganik kan lebih lama panennya dan hasil
panennya juga belum tentu sebanyak pertanian yang non organik.
(Muh, laki-laki, 40 tahun).

7)

Sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah
tercemar oleh air irigasi pada lahan pertanian konvensional lainnya. Petani
masih kesulitan memisahkan sumber air irigasi untuk pertanian organik
karena banyaknya lahan pertanian konvensional di sekitarnya. Jadi,
kemungkinan besar air irigasi tercemar oleh bahan-bahan kimia sintetik dari
lahan pertanian konvensional milik tetangga. Salah satu responden penelitian
menambahkan:

Sumber irigasi jauh dari sawah kita jadi nggak mungkin


berorganik. Sementara kalau mau berorganik, segala sesuatunya
kan harus terjamin, seperti ketersediaan air bersih untuk irigasi.
Nah, kalau kayak gini, misalnya kekurangan air atau airnya
tercemar bahan kimia dari lahan tetangga, gimana bisa berorganik
Mas. (Mjh, laki-laki, 58 tahun).

8)

Hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang


memuaskan pada masa awal bertani organik. Banyak responden kontrol yang
mengaku tidak sabar menunggu hasil panen maksimal dari pertanian organik.

112

Padahal, tingkat produktivitas lahan organik akan kembali normal seperti


lahan konvensional pada umumnya setelah tiga tahun atau lebih. Kenyataan
inilah yang membuat para petani tidak mau mengadopsi pertanian organik.
Para petani hanya mau memikirkan bagaimana cara mendapatkan hasil panen
yang banyak dalam waktu singkat, tanpa melalui sebuah proses panjang.
Salah satu responden penelitian menyatakan keberatan hatinya untuk bertani
organik, seperti kutipan lisan berikut ini: Saya malas bertani organik soalnya
hasil panennya sedikit, jadi kurang memuaskan. Padahal, saya butuh panen
cepat dan banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (Roh, perempuan,
53 tahun).
Fakta mengenai tidak banyaknya petani yang menjalankan praktik
pertanian organik di Desa Ketapang beserta alasannya, secara otomatis sudah
membuktikan bahwa keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani
masih rendah berdasarkan tingkat kompleksitas atau tingkat adaptasinya. Praktik
pertanian organik dianggap kurang adaptable atau kurang adaptif oleh sebagian
besar petani di Desa Ketapang. Padahal, berdasarkan analisis ekonomi dan potensi
sumber daya alam di Desa Ketapang, praktik pertanian organik sebenarnya
mempunyai prospek yang menjanjikan dalam jangka panjang. Oleh karena itu,
perjuangan untuk mengajak para petani beralih dari pertanian konvensional
menuju ke pertanian organik harus terus dilakukan demi tercapainya
pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

BAB VIII
PENUTUP

8.1. Kesimpulan
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
dapat diketahui melalui analisis perbandingan tingkat input dan output serta
finansial

antara

usahatani

organik

dan

konvensional.

Hasil

penelitian

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis dan jumlah input yang digunakan
pada usahatani organik dan konvensional. Usahatani organik tidak menggunakan
bibit padi varietas hibrida, pupuk kimia sintetik dan pestisida kimia sintetik tetapi
menggunakan bibit padi varietas lokal yang jumlahnya hampir sama dengan
penggunaan bibit padi varietas hibrida; pupuk organik seperti: pupuk kandang
dengan jumlah penggunaan lebih banyak daripada pupuk kimia sintetik, pupuk
cair; pestisida nabati; dan HOK yang lebih banyak daripada usahatani
konvensional.
Usahatani konvensional menggunakan bibit padi varietas hibrida seperti
IR 64 dengan jumlah pemakaian rata-rata sebesar 6,3 kg hingga 7,5 kg per 0,24 ha
per musim dan input-input kimiawi, seperti pupuk kimia sintetik dengan jenis:
Urea, TSP, KCL, PONSKA, SP 36, NPK dan ZA dengan jumlah pemakaian yang
bervariasi untuk masing-masing jenis pupuk (Tabel 27 dan Tabel 28). Selain itu,
usahatani konvensional juga menggunakan pestisida kimia sintetik dengan jumlah
penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar 3,3 botol menurut responden
eksperimen atau 5,7 botol menurut responden kontrol dan jenis yang cukup
bervariasi, seperti: Matador, Hamador, Regent, Decis, SPONTAN, dan lain-lain.
HOK pada usahatani konvensional lebih kecil daripada usahatani organik dengan
selisih sangat tipis.
Tingkat output pertanian organik lebih kecil daripada pertanian
konvensional dilihat dari hasil panen rata-rata gabah basah per musim dengan
selisih output antara kedua sistem usahatani yang sangat tipis. Analisis finansial
usahatani menunjukkan bahwa total biaya input produksi rata-rata pada usahatani
organik lebih besar daripada usahatani konvensional, karena usahatani organik
menghabiskan biaya tenaga kerja kerja dan upah panen yang lebih besar. Kategori

114

biaya input produksi yang paling besar diantara biaya input lainnya pada
usahatani organik dan konvensional terletak pada biaya tenaga kerja dan upah
panen. Meskipun usahatani organik menghabiskan biaya input produksi rata-rata
per musim yang lebih besar daripada usahatani konvensional, tetapi penerimaan
usahatani organik jauh lebih besar daripada usahatani konvensional, sehingga
keuntungan rata-rata usahatani organik per musim pun lebih besar dibandingkan
usahatani konvensional. Lebih besarnya keuntungan rata-rata usahatani organik
dibandingkan usahatani konvensional per musim, membuat nilai B/C Rasio
usahatani organik jauh lebih besar, yaitu 1,7 daripada B/C Rasio pada usahatani
konvensional yang hanya 0,9. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan usahatani konvensional tidak
layak secara ekonomi karena nilai B/C Rasionya kurang dari 1.
Analisis pengaruh praktik pertanian organik terhadap kerberlanjutan
ekonomi petani secara statistik melalui uji Paired Samples T-test dengan
menggunakan program SPSS 17 for Windows dilakukan untuk memperkuat
analisis finansial usahatani. Berdasarkan perhitungan statistik, didapatkan nilai
signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang
berarti, praktik pertanian organik berpengaruh secara signifikan terhadap
keberlanjutan ekonomi petani. Pengaruh tersebut bersifat positif karena nilai
rataan (mean) keuntungan dan B/C Rasio usahatani sesudah organik lebih besar
daripada usahatani sebelum organik. Oleh karena itu, hipotesis pertama penelitian
ini yang menyatakan bahwa paktik pertanian organik diduga berpengaruh positif
secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani diterima.
Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut
kelompok petani organik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
antara tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional. Hal ini
terbukti dari nilai signifikansi hasil uji statistik yang lebih besar dari 0,05 pada
tiga variabel dari lima variabel praktik pertanian. Sementara itu, hanya ada dua
variabel praktik pertanian yang nilai signifikansinya kurang dari 0,05. Oleh karena
itu, hipotesis penelitian kedua yang manyatakan bahwa tingkat kompleksitas
praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik

115

pertanian konvensional menurut persepsi petani tidak berlaku (ditolak) untuk


kelompok responden eksperimen.
Nilai signifikansi tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian
yang diuji pada kelompok petani konvensional, adalah 0,000 dan nilai ini lebih
kecil dari 0,05. Selain itu, nilai mean tingkat kompleksitas semua variabel praktik
pertanian organik lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut, maka hipotesis penelitian kedua yang
menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih
tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi
petani, berlaku (diterima) untuk kelompok responden kontrol.
Hipotesis pengarah penelitian ini yang menyatakan bahwa praktik
pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki
tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian
konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani, terbukti
benar. Namun, ada beberapa alasan lain yang menyebabkan para petani tidak
banyak mengadopsi praktik pertanian organik, antara lain: pola pikir petani yang
masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian organik lebih sulit daripada
praktik pertanian konvensional serta rendahnya kesadaran para petani terhadap
kelestarian lingkungan; petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik
karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat; praktik pertanian organik
tidak menjamin bebas hama; penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada
pupuk kimia sintetik; sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang;
banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani, sehingga
mereka harus mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan; sumber air
irigasi yang bersih jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah
tercemar oleh bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional di
sekitarnya; hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang
memuaskan pada masa awal bertani organik.
Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani masih rendah
berdasarkan fakta mengenai banyaknya petani yang masih belum mengadopsi
praktik pertanian organik dan hasil analisis kompleksitas atau tingkat adaptasi
praktiknya. Sebuah sistem pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika telah

116

memenuhi semua kriteria pertanian berkelanjutan dan salah satunya adalah


adaptable. Praktik pertanian organik masih belum memenuhi syarat adaptable
menurut persepsi petani berdasarkan hasil penelitian ini. Meskipun demikian,
masih terdapat kemungkinan lain mengapa praktik pertanian organik belum
banyak diadopsi oleh petani, bukan hanya karena tingkat kompleksitas praktik
pertanian organik atau faktor-faktor penyebab yang telah dibahas dalam penelitian
ini. Kelemahan penelitian ini adalah tidak menganalisis hubungan antara
karakteristik sosial ekonomi petani dengan proses pengambilan keputusan adopsi
atas praktik pertanian organik melalui uji statistik. Penulis hanya menganalisis
hubungan tersebut berdasarkan persentase jumlah petani menurut karakteristik
sosial ekonominya, sehingga kajian kurang mendalam. Selain itu, ada beberapa
variabel sosiologis, seperti: pengetahuan dan pengalaman bertani, keaktifan petani
dalam kelompok tani, dan lain-lain yang mungkin berpengaruh terhadap proses
adopsi inovasi tetapi tidak diteliti oleh penulis.
8.2. Saran
Beberapa saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis terkait
penelitian ini, antara lain:
1)

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai analisis keberlanjutan praktik


pertanian organik di kalangan petani selain dilihat dari aspek ekonomi dan
tingkat kompleksitas praktik pertanian organik, dengan kasus wilayah
pertanian lainnya di dataran rendah.

2)

Memperkuat jaringan dan kerjasama antara petani dengan pengusaha, petani


dengan pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan
petani. Hubungan ini akan sangat membantu perkembangan pertanian
organik.

3)

Meningkatkan akses pasar petani dan memperkuat sistem kontrol internal


untuk menjamin keorganikan sistem usahatani yang dijalankan. Para petani
organik yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah dapat
menerapkan Participatory Guarantee System (PGS). PGS merupakan sistem
sertifikasi yang menekankan partisipasi para pemangku kepentingan. Pada
pola PGS, keseluruhan pemangku kepentingan yang terdiri dari: produsen,
kelompok tani, konsumen, pendamping, Lembaga Swadaya Masyarakat

117

(LSM), dan distributor terlibat secara aktif untuk membangun dan


memberdayakan diri dalam proses produksi, pemasaran atau distribusi sesuai
sistem pangan organik. Keikutsertaan aktif dari sejumlah pihak yang
berkepentingan akan berdampak pada proses pemberdayaan dan adanya
tanggung jawab dari seluruh komponen yang terlibat di dalam sistem
penjaminan partisipatoris (PGS).
4)

Sarana dan prasarana yang mendukung pertanian organik di Desa Ketapang,


seperti alat penggiling pupuk organik atau granul dan lain-lain hendaknya
dimanfaatkan serta dirawat lebih maksimal secara berkelompok.

5)

Solusi atas kendala utama dalam praktik pertanian organik di Desa Ketapang,
misalnya transportasi pupuk organik menuju lahan pertanian, sebaiknya
mulai dibicarakan di tingkat kelompok. Petani sangat mengharapkan
kerjasama

yang

kuat

dalam

bertani

organik

mengingat

tingkat

kompleksitasnya yang cukup tinggi dibandingkan praktik pertanian


konvensional.
6)

Pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap pertanian organik perlu
segera diubah dengan frekuensi penyuluhan pertanian yang lebih intensif.
Selain itu, para petani sebaiknya diajak untuk lebih bersabar dalam melewati
masa konversi lahan non organik menjadi organik yang membutuhkan waktu
relatif lama. Usaha meyakinkan petani untuk bertani organik, bisa dilakukan
melalui demonstrasi lahan atau demonstrasi hasil dan bersama-sama
merencanakan strategi, agar fasilitas irigasi untuk pertanian organik yang
higienis dapat dinikmati secara bersama oleh petani.

7)

Kegiatan mengembangkan pertanian organik di Desa Ketapang, harus terus


dipertahankan secara rutin, misalnya mengadakan pelatihan pembuatan
pupuk organik. Selain itu, keuntungan pertanian organik secara ekonomi,
perlu ditekankan lagi kepada petani dalam proses sosialisasi pertanian
organik.

8)

Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah sebaiknya dikembangkan lebih lanjut


dan dimaksimalkan peranannya terhadap pemberdayaan petani di Desa
Ketapang. Pengembangan koperasi mungkin dapat diarahkan menuju

118

koperasi simpan pinjam usahatani, atau gerai khusus produk organik Desa
Ketapang yang dibuka untuk masyarakat umum (konsumen organik).
9)

Publikasi penelitian tentang pertanian organik hendaknya diperbanyak lagi di


kalangan pemerintah, LSM, bahkan petani sebagai pedoman atau bahan
sosialisasi pertanian organik kepada masyarakat.

10) Keberlanjutan praktik pertanian organik perlu mendapatkan perhatian lebih


dari pemerintah, agar petani sedikit demi sedikit dapat mengurangi
ketergantungannya terhadap pupuk dan pestisida kimia sintetik yang selama
ini sering disubsidi oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Science-Based Organic Farming 2008: Toward Local and Secure
Food Systems. n.p.
Ariesusanty, Lidya. 2009. Statistik Pertanian Organik Indonesia. Bogor: Aliansi
Organis Indonesia.
___ ___ 2008. Statistik Pertanian Organik Indonesia. Bogor: Aliansi Organis
Indonesia.
HDRA-The Organic Organisation. 1998. What is Organic Farming?. United
Kingdom: HDRA Publishing.
Ho, Maewan dan Ching, Lim Li. Gerakan Menuju Dunia Berkelanjutan Bebas
dari Rekayasa Genetik. 2006. n.p: Independent Science Panel.
Indriana, Hana. 2010. Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik.
Tesis. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
IFOAM. 2006. Organic Agriculture Worldwide Directory of IFOAM Member
Organizations and Associates. Jerman: IFOAM.
Lindenlauf, Maria Mller. 2009. Organic Agriculture and Carbon Sequestration.
Roma: Natural Resources Management and Environment Department
Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Mugniesyah, Siti. 2006. Materi Bahan Ajar: Ilmu Penyuluhan (KPM 211).
Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor.
Mulyani, Agus, dan Subagyo. 2003. Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah
Pengembangan ke Depan. Tabloid Sinar Tani. Jakarta: Sinar Tani.
Oudejans & Martono, Edhi (Penerjemah). 2006. Perkembangan Pertanian di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Reijntjes, Haverkort, dan Bayer. 2006. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk
Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta:
Kanisius.
Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur. 1996. Organic Farming, Sustainable
Agriculture Put Into Practice. Jerman: IFOAM.
Salim, Emil. 2003. Sains dan Pembangunan Berkelanjutan. Orasi Ilmiah pada
Peringatan Hari Lingkungan Hidup. Bogor: IPB.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 2006. Metode Penelitian Survay. Jakarta:
LP3ES.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi
10. Jakarta: Djambatan.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

120

Sulaeman, Dede. 2008. Mengenal Sistem Pangan Organik Indonesia. Jakarta:


Departemen Pertanian.
___ ___ 2006. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia. Jakarta: Asosiasi
Produsen Organik Indonesia.
Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan &
Pengembangannya. Yogyakarta: Kanisius.
Usman, Husaini dan Akbar, Setiady. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi 2.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Wahyuni, Ekawati dan Muljono, Pudji. 2007. Metode Penelitian Sosial. Bogor:
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

LAMPIRAN

122

Lampiran 1. Hasil Uji Paired Samples T-test Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani
Paired Samples Statistics
Mean
Pair 1

Std. Deviation

Std. Error Mean

Sebelum Organik

1975880.879

14

989518.7636

264460.0137

Sesudah Organik

3850956.493

14

1.8509E6

494673.3140

Correlation

Sig.

Paired Samples Correlations


N
Pair 1

Sebelum Organik & Sesudah

14

.900

.000

Organik

Paired Samples Test


Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference
Mean
Pair 1

Sebelum Organik Sesudah Organik

-1.8751E6

Std. Deviation
1.0522E6

Std. Error Mean


281206.3207

Lower
-2.4826E6

Upper
-1.2676E6

t
-6.668

df

Sig. (2-tailed)
13

.000

123

Lampiran 2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Frequencies
Metode
v1

v2

v3

v4

v5

organik

14

non organik

14

Total

28

organik

14

non organik

14

Total

28

organik

14

non organik

14

Total

28

organik

14

non organik

14

Total

28

organik

14

non organik

14

Total

28

124

Test Statisticsa
v1
Most Extreme Differences

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Metode

v2

v3

v4

v5

Absolute

.929

.357

.214

.214

.857

Positive

.000

.071

.000

.000

.000

Negative

-.929
2.457
.000

-.357
.945
.334

-.214
.567
.905

-.214
.567
.905

-.857
2.268
.000

125

Lampiran 3. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Frequencies
Metode
v1

organik

65

non organik

65

Total
v2

65

non organik

65
65

non organik

65
130

organik

65

non organik

65

Total
v5

130

organik
Total

v4

130

organik
Total

v3

130

organik

65

non organik

65

Total

130

126

Test Statisticsa
v1
Most Extreme Differences

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Metode

v2

v3

v4

v5

Absolute

.985

.723

.600

.600

.938

Positive

.000

.000

.000

.000

.000

Negative

-.985
5.613
.000

-.723
4.122
.000

-.600
3.421
.000

-.600
3.421
.000

-.938
5.350
.000

127

Lampiran 4. Kerangka Sampling Penelitian


No.

Nama

Alamat

Keterangan

1.

Hasan Basri

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

2.

Hadi suparman

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

3.

Samroni

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

4.

Sulimah

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

5.

Wasito

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

6.

Suroso

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

7.

Subadi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

8.

Cokro

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

9.

Slamet W

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

10.

Muhdiar

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

11.

Muh parjo

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

12.

Salim

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

13.

Matahir

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

14.

Nasiran

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

15.

Romti

RT 03 RW 02

Petani Konvensional

16.

Towi rejo

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

17.

Rusman

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

18.

Tukiman

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

19.

Jumali

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

20.

Siswanto

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

21.

Riyanto

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

22.

Samsi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

23.

Sugiman

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

24.

Zainuddin

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

25.

Tukimin

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

26.

Pujo

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

27.

Joko winarno

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

28.

Sumardi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

29.

Akip

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

30.

Sutiman

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

31.

Suparti

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

32.

Sinem

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

33.

Rumini

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

34.

Tuminah

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

35.

Supriyatno

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

36.

Daryanto

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

37.

Marsono

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

38.

Ari

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

39.

Warsono

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

40.

Pardi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

128

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

41.

Murtiah

RT 03 RW 05

Petani Konvensional

42.

Mashuri

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

43.

Muhyiri

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

44.

Mushofa

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

45.

Munjemi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

46.

Suliman

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

47.

Kumedi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

48.

Basiroh

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

49.

Samidi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

50.

Suyono

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

51.

Muh Umar

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

52.

Romi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

53.

Maryamah

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

54.

Juhdi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

55.

Pardi

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

56.

Mursito

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

57.

Bahrim

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

58.

Sururi

RT 04 RW 02

Petani Konvensional

59.

Sumadi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

60.

Juwedi

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

61.

Anwar

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

62.

Sunarto

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

63.

Muslih Ma'sum

RT 02 RW 04

Petani Organik

64.

Juweri

RT 04 RW 04

Petani Organik

65.

Romli

RT 02 RW 04

Petani Organik

66.

Sulimin

RT 03 RW 04

Petani Konvensional

67.

Muhdi

RT 03 RW 04

Petani Konvensional

68.

Musroni

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

69.

Mansyur

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

70.

Suyadi

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

71.

Samijan

RT 01 RW 04

Petani Konvensional

72.

Wakiri

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

73.

Mufidi

RT 03 RW 04

Petani Organik

74.

Muhsony

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

75.

Mubasir

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

76.

Khoirun

RT 02 RW 04

Petani Organik

77.

Muh Saidun

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

78.

Darso

RT 04 RW 04

Petani Konvensional

79.

Munawir

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

80.

Juweni

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

129

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

81.

Mubakhin

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

82.

Musafa'

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

83.

Ikhwani

RT 04 RW 04

Petani Organik

84.

Bashoir

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

85.

Royani

RT 02 RW 04

Petani Organik

86.

Bp. Suharman

RT 04 RW 05

Petani Konvensional

87.

Muslih mukri

RT 03 RW 05

Petani Konvensional

88.

Sulimin

Petani Konvensional

89.

Dasimin

Petani Konvensional

90.

Musiri

Petani Konvensional

91.

Nur Ali

Petani Konvensional

92.

Slamet Riyanto

93.

Muhadi

Petani Konvensional

94.

Muniroh

Petani Konvensional

95.

Yatmo

Petani Konvensional

96.

Suwarni

97.

Dhopari H

Petani Konvensional

98.

Ngatman S

Petani Konvensional

99.

Sartono

Petani Konvensional

100.

Rofiq

101.

Sugimin

Petani Konvensional

102.

Sadirin

Petani Konvensional

103.

Sumarno

Petani Konvensional

104.

Sofrowi

Petani Konvensional

105.

Mukini

106.

Suratman

Petani Konvensional

107.

Eko

Petani Konvensional

108.

Sunaryo

Petani Konvensional

109.

Nawari

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

110.

Muntasir

RT 01 RW 05

Petani Konvensional

111.

Khasan

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

112.

Suparno

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

113.

Sumali

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

114.

Kusnan

RT 02 RW 06

Petani Organik

115.

Muji Zainal

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

116.

Daryanto

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

117.

Mahmudi

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

118.

F. Rohman

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

119.

Tanwir

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

120.

Sukiman

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

RT 04 RW 04

RT 06 RW 06

RT 03 RW 02

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

130

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

121.

Muhson

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

122.

Subardi

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

123.

Suwarno Sardi

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

124.

Mundiri

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

125.

Muhyidin

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

126.

Sutamam

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

127.

Sarengat

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

128.

Parsih

RT 02 RW 05

Petani Konvensional

129.

Nur Ali

RT 04 RW 05

Petani Konvensional

130.

Nursalim

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

131.

Sardi

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

132.

Juwahir

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

133.

Sukiman

RT 03 RW 05

Petani Konvensional

134.

Sumardi

RT 04 RW 03

Petani Konvensional

135.

M Sakiman

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

136.

Subandi

RT 04 RW 03

Petani Konvensional

137.

Sugimin

RT 04 RW 03

Petani Konvensional

138.

Sutikat

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

139.

Masturi D

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

140.

Jumadi

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

141.

Nurtanto

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

142.

Munzayatun

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

143.

Marso utomo

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

144.

Muh roji

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

145.

Suhut

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

146.

Sarjo

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

147.

Yahmin

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

148.

Darmo Sajad

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

149.

A Latif

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

150.

Musroni

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

151.

Japarin

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

152.

Samsi

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

153.

Bardi

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

154.

Bakir

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

155.

Sholeh

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

156.

Sumini

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

157.

Slamet Pur

RT 04 RW 03

Petani Konvensional

158.

Sakirin

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

159.

Supandi

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

160.

Basri

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

131

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

161.

Mufid

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

162.

Murdingatun

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

163.

Sugiman

RT 02 RW 03

Petani Konvensional

164.

Ngadni

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

165.

Basuki

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

166.

Suyati

RT 04 RW 05

Petani Konvensional

167.

Kadari

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

168.

Tamzis

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

169.

Slamet

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

170.

Suradi

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

171.

Kumanto

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

172.

Sukarman

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

173.

Musliman

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

174.

Basirun M

RT 02 RW 01

Petani Organik

175.

Sardi

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

176.

Suratman

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

177.

Iskak

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

178.

Teguh

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

179.

Abadi

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

180.

Jasman

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

181.

Slamet I

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

182.

Kasdirin

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

183.

Muhson

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

184.

Faizun

RT 06 RW 01

Petani Konvensional

185.

Siswo

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

186.

Musliman B

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

187.

Zuhri

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

188.

Ansor

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

189.

Solikhin

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

190.

Muhammad P

RT 03 RW 02

Petani Konvensional

191.

Sumanah

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

192.

Juhari

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

193.

Huri

RT 03 RW 02

Petani Konvensional

194.

Zuhri

RT 01 RW 02

Petani Organik

195.

Sumyani

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

196.

Ruslan

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

197.

Sunoto

Petani Konvensional

198.

Daryono

Petani Konvensional

199.

Suparno

200.

Tumejo

RT 02 RW 05

Petani Konvensional
Petani Konvensional

132

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

201.

Kadi

Petani Konvensional

202.

Samin

Petani Konvensional

203.

Sakir

Petani Konvensional

204.

Suminem

205.

Karjono

Petani Konvensional

206.

Kardi

Petani Konvensional

207.

Sumar

Petani Konvensional

208.

Darmadi

209.

Urip

Petani Konvensional

210.

Marjono

Petani Konvensional

211.

Suroso

Petani Konvensional

212.

Sunar

Petani Konvensional

213.

Suwarti

214.

Sopawi

Petani Konvensional

215.

Sudir

Petani Konvensional

216.

Dalil

Petani Konvensional

217.

Waris

Petani Konvensional

218.

Maesuri

219.

Gino

Petani Konvensional

220.

Supad

Petani Konvensional

221.

Pono

Petani Konvensional

222.

Sukir

Petani Konvensional

223.

Sumang

224.

Marsih

Petani Konvensional

225.

Pandi

Petani Konvensional

226.

Sya roni

Petani Konvensional

227.

Irfani

Petani Konvensional

228.

Pramono

Petani Konvensional

229.

Usman

230.

Mustofa

231.

Zuhroni

Petani Konvensional

232.

Jumadi

Petani Konvensional

233.

Rohman

Petani Konvensional

234.

Nasikhi

Petani Konvensional

235.

Nasikun

Petani Konvensional

236.

Ahmadi

237.

Romlah

Petani Konvensional

238.

Munjamil .Muhdi

Petani Konvensional

239.

Suroto

Petani Konvensional

240.

Muntaha

Petani Konvensional

RT 05 RW 03

RT 04 RW 04

RT 04 RW 01

RT 01 RW 01

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional
RT 05 RW 06

RT 05 RW 06

Petani Organik

Petani Organik

133

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat
RT 03 RW 04

Keterangan

241.

Waimin

Petani Konvensional

242.

Sumardi

Petani Konvensional

243.

Saebani

Petani Konvensional

244.

Fatkhurrohman

Petani Konvensional

245.

Jazuli

246.

Sumilah

247.

Abdul Khafidz

Petani Konvensional

248.

Samsuri

Petani Konvensional

249.

Parman Hasyim

Petani Konvensional

250.

Marman

Petani Konvensional

251.

Muhari

252.

Yahya

Petani Konvensional

253.

Abdul Azis

Petani Konvensional

254.

Ibnu Aqil

Petani Konvensional

255.

Munjamil Rusdi

Petani Konvensional

256.

Basirun Warti

RT 01 RW 01

Petani Konvensional

257.

Parto Diharjo

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

258.

Sholikhin

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

259.

Muh. Gatot

RT 01 RW 01

Petani Konvensional

260.

Wawan

RT 01 RW 01

Petani Konvensional

261.

Muh. Muslim

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

262.

M S. Mubin

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

263.

Mustofa

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

264.

Mahsun S

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

265.

Nur Kholis

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

266.

M.Rifa'i

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

267.

Busri

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

268.

Wulan dari

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

269.

Jawadi

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

270.

Slamet Ws

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

271.

M.Zamrodin

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

272.

Masinem

RT 05 RW 01

Petani Konvensional

273.

Nurul Anwar

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

274.

Ahadak

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

275.

M. Huda

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

276.

Iwan S

277.

Suyitno

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

278.

Irsadun

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

279.

Yasin

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

280.

Mundakir

Petani Konvensional
RT 01 RW 03

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

134

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

281.

R. Binarso

Petani Konvensional

282.

Mitrorejo

Petani Konvensional

283.

Nur Salim

Petani Konvensional

284.

Siti Qomsiyah

285.

Djumadi

Petani Konvensional

286.

Muh Jumadi

Petani Konvensional

287.

Yoso Suwito

Petani Konvensional

288.

Teguh T

Petani Konvensional

289.

Sugiyono

290.

Baderun

Petani Konvensional

291.

Priyoparno

Petani Konvensional

292.

Narto W

Petani Konvensional

293.

Witarno

Petani Konvensional

294.

Suyamto

Petani Konvensional

295.

Sastrowiryo

Petani Konvensional

296.

Kasno

Petani Konvensional

297.

Sutono

Petani Konvensional

298.

Tholibatun

299.

Sarli

Petani Konvensional

300.

Ngadno

Petani Konvensional

301.

Surastri

Petani Konvensional

302.

Nasiri

Petani Konvensional

303.

Sutrisno

Petani Konvensional

304.

Nur Ichsan

Petani Konvensional

305.

Nur Aziz

306.

Mitro usup

Petani Konvensional

307.

Suparno

Petani Konvensional

308.

Sugeng

309.

Rohadi

Petani Konvensional

310.

Riyadi

Petani Konvensional

311.

Marlan

Petani Konvensional

312.

M. Thoyyib

313.

Jayin

Petani Konvensional

314.

Bainatun

Petani Konvensional

315.

Saomar

Petani Konvensional

316.

Diyar

Petani Konvensional

317.

Roekhan

Petani Konvensional

318.

Ahmadi

Petani Konvensional

319.

Thohir

Petani Konvensional

320.

Mujahid

RT 04 RW 05

RT 02 RW 05

RT 05 RW 06

RT 06 RW 06

RT 06 RW 05

RT 06 RW 06

RT 05 RW 06

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Organik

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Petani Konvensional

135

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

321.

Muhtar

Petani Konvensional

322.

Islami

Petani Konvensional

323.

Sopar

Petani Konvensional

324.

Musliman

Petani Konvensional

325.

Rohmi

Petani Konvensional

326.

Khotijah

Petani Konvensional

327.

Supinah

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

328.

Muhlisin

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

329.

Samroni

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

330.

Iman sumadi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

331.

Wasito

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

332.

Suroso

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

333.

Subadi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

334.

Cokro

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

335.

Slamet D.

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

336.

Muh ngadino

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

337.

Muh parjo

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

338.

Salim

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

339.

Matahir

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

340.

Nasiran

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

341.

Bejo

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

342.

Towi rejo

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

343.

Basoni

RT 04 RW 04

Petani Konvensional

344.

Tukiman

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

345.

Jumali

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

346.

Slamet S

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

347.

Riyanto

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

348.

Samsi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

349.

Sugiman

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

350.

Zainuddin

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

351.

Tukimin

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

352.

Samijan

RT 01 RW 04

Petani Organik

353.

Joko winarno

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

354.

Sumardi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

355.

Atmokimin

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

356.

Sulami

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

357.

Suparti

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

358.

Sinem

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

359.

Rumini

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

360.

Tuminah

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

136

Lanjutan Lampiran 4
No.

Nama

Alamat

Keterangan

361.

Supriyatno

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

362.

Slamet C

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

363.

Muhjalal

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

364.

Ari

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

365.

Warsono

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

366.

Pardi

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

367.

Mahbub Junaidi

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

368.

Rohyatun

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

369.

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

370.

Iman sumadi
Trimorejo

371.

Rif'an

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

372.

Mulyati

RT 05 RW 05

Petani Konvensional

Petani Konvensional

Sumber: Data Paguyuban Petani Al-Barokah

137

Lampiran 5. Daftar Nama Responden Penelitian


No.

Nama

Alamat

Keterangan

1.

Ahmadi

RT 05 RW 06

Petani Organik

2.

Nur Aziz

RT 06 RW 06

Petani Organik

3.

Kusnan

RT 02 RW 06

Petani Organik

4.

Royani

RT 02 RW 04

Petani Organik

5.

Romli

RT 02 RW 04

Petani Organik

6.

Samijan

RT 01 RW 04

Petani Organik

7.

Khoirun

RT 02 RW 04

Petani Organik

8.

Juweri

RT 04 RW 04

Petani Organik

9.

Mufidi

RT 03 RW 04

Petani Organik

10.

Ikhwani

RT 04 RW 04

Petani Organik

11.

Zuhri

RT 01 RW 02

Petani Organik

12.

Basirun

RT 02 RW 01

Petani Organik

13.

Mustofa

RT 05 RW 06

Petani Organik

14.

Muslikh Ma'sum

RT 02 RW 04

Petani Organik

15.

Muhyidin

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

16.

Nur Ali

RT 04 RW 05

Petani Konvensional

17.

Mujahid

RT 05 RW 06

Petani Konvensional

18.

Suparno

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

19.

Muhdiar

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

20.

Rohyatun

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

21.

Sumini

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

22.

Basiroh

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

23.

Murdingatun

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

24.

Mukini

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

25.

Munzayatun

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

26.

Sugeng

RT 06 RW 05

Petani Konvensional

27.

Mansyur

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

28.

Muhsony

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

29.

Slamet Riyanto

RT 04 RW 04

Petani Konvensional

30.

Darso

RT 04 RW 04

Petani Konvensional

31.

Waimin

RT 03 RW 04

Petani Konvensional

32.

Juwahir

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

33.

Jasman

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

34.

Yahmin

RT 03 RW 03

Petani Konvensional

35.

Musroni

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

36.

Sugiyono

RT 02 RW 05

Petani Konvensional

37.

Munawir

RT 02 RW 04

Petani Konvensional

38.

Darmadi

RT 04 RW 04

Petani Konvensional

39.

Muntasir

RT 01 RW 05

Petani Konvensional

40.

Sumadi

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

138

Lanjutan Lampiran 5
No.

Nama

Alamat

Keterangan

41.

Maesuri

RT 01 RW 01

Petani Konvensional

42.

Juwedi

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

43.

Suyitno

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

44.

Akip

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

45.

Slamet Darmanto

RT 07 RW 02

Petani Konvensional

46.

M. Thoyyib

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

47.

Parto Diharjo

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

48.

Muhari

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

49.

Parsih

RT 02 RW 05

Petani Konvensional

50.

Suparno

RT 02 RW 05

Petani Konvensional

51.

Busri

RT 03 RW 01

Petani Konvensional

52.

Rofiq

RT 03 RW 02

Petani Konvensional

53.

Suwarno

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

54.

Siswanto

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

55.

Mahmudi

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

56.

Daryanto

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

57.

Sumang

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

58.

Zuhri

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

59.

Tholibatun

RT 05 RW 06

Petani Konvensional

60.

Basoni

RT 04 RW 04

Petani Konvensional

61.

Sarengat

RT 02 RW 06

Petani Konvensional

62.

Nursalim

RT 03 RW 05

Petani Konvensional

63.

Muhson

RT 03 RW 06

Petani Konvensional

64.

Sugiman

RT 08 RW 04

Petani Konvensional

65.

Muhjalal

RT 02 RW 02

Petani Konvensional

66.

Suyati

RT 04 RW 05

Petani Konvensional

67.

Romti

RT 03 RW 02

Petani Konvensional

68.

Suwarni

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

69.

Suwarti

RT 04 RW 01

Petani Konvensional

70.

Mulyati

RT 05 RW 05

Petani Konvensional

71.

Supinah

RT 02 RW 01

Petani Konvensional

72.

Murtiah

RT 03 RW 05

Petani Konvensional

73.

Sulami

RT 01 RW 02

Petani Konvensional

74.

Maryamah

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

75.

Sumilah

RT 01 RW 03

Petani Konvensional

76.

Sulimah

RT 06 RW 06

Petani Konvensional

77.

Siti Qomsiyah

RT 04 RW 05

Petani Konvensional

78.

Masinem

RT 05 RW 01

Petani Konvensional

79.

Suminem

RT 05 RW 03

Petani Konvensional

You might also like