Professional Documents
Culture Documents
Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik Di Kalangan Petani
Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik Di Kalangan Petani
DI KALANGAN PETANI
(Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Propinsi Jawa Tengah)
AERO WIDIARTA
I34063414
ABSTRACT
AERO WIDIARTA. THE SUSTAINABILITY ANALYSIS OF ORGANIC
FARMING PRACTICE AMONG FARMERS. Case: Ketapang Village, Susukan
Subregency, Semarang Regency, Central Java. (Supervised by SOERYO
ADIWIBOWO and WIDODO).
The objectives of this research are: (1) to analyze the influence of organic
farming practice to the economic sustainability of farmers; (2) to compare the
complexity level of organic farming practice and conventional farming practice
based on farmers perception; and (3) to investigate causal factors regarding why
organic farming practice is not widely adopted by farmers. This research was
conducted by using quantitative approach at Ketapang Village, Susukan
Subregency, Semarang Regency, Central Java on November-December 2010. The
number of respondents in this research was 79 people from the total population
target of farmers. The selected respondents determined through stratified random
sampling and simple random sampling technique afterwards. The respondents
were devided into two groups: experimental group (organic farmers) and control
group (conventional farmers).
The kinds of data in this research were: primary quantitative data which
collected by spreading questionnaire to the respondents; secondary data from AlBarokahs document; and also supported with primary qualitative data which
gathered from in depth interview technique. The data were analyzed by using
Paired Samples T-test and Kolmogorov-Smirnov Test, supported with SPSS
Program for Windows Version 17.0. The results of this research show that
organic farming practice has significant positive influence to the economic
sustainability of farmers. Nevertheless, organic farming practice is considered
more complex or difficult significantly than conventional farming practice based
on control groups perception. Conversely, the fact above doesnt valid for
experimental group. There are several causal factors regarding why organic
farming practice is not widely adopted by farmers, such as: pragmatic mindset of
farmers in viewing organic farming practice and ecological sustainability;
farmers are not satisfied if they only use organic fertilizers for rice that make its
leaf green color become less visible; organic farming practice doesnt ensure
pest-free; the use of organic fertilizer is more difficult than synthetic fertilizer;
and a large part of farmers have inadequate supply of manures. Socio-economic
characteristic of farmers consisting of: education level, agricultural land
ownership status, and livestock ownership are also revealed as influential factors
to the organic farming decision process.
Keywords: organic farming practice, farmers, sustainability, analysis.
RINGKASAN
AERO WIDIARTA. ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DI KALANGAN PETANI. Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan
Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. (Di bawah bimbingan
SOERYO ADIWIBOWO dan WIDODO).
Pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang memanfaatkan
sumber daya alam organik secara alami, bijaksana dan holistik, sebagai input
dalam pertanian tanpa input luar tinggi kimiawi untuk memenuhi kebutuhan
manusia khususnya pangan. Pertanian organik dikembangkan sesuai budaya lokal
setempat, sehingga mampu menjamin keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi,
sosial budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara
berkelanjutan. Gerakan organik melalui pertanian organik telah lama diinisiasi
oleh berbagai pihak di level internasional, sebagai salah satu wujud perlawanan
dari pembangunan pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan dan sering
disebut sebagai Revolusi Hijau. Gerakan organik kemudian berkembang
menjadi sebuah filosofi yang diimplementasikan dalam sistem pertanian secara
holistik, sehingga muncullah istilah pertanian organik sebagai sebuah alternatif
sistem pertanian yang berkelanjutan.
Perkembangan pertanian organik cukup pesat di dunia bahkan praktik
pertanian ini sudah diadopsi di Indonesia. Perkembangan pertanian organik di
Indonesia banyak didukung oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), ilmuwan, hingga pemerintah melalui programnya Go Organic 2010.
Banyak ilmuwan yang sudah membuktikan manfaat pertanian organik, baik
dilihat dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Praktik pertanian
organik dinyatakan oleh banyak kalangan mampu menjamin keberlanjutan
ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial. Namun, ironisnya praktik pertanian
organik di Indonesia belum berkembang cukup pesat yang terlihat dari data-data
statistik tentang luas lahan pertanian organik dan jumlah produsen pertanian
organik yang relatif sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Padahal,
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi salah satu produsen
organik terbesar di dunia. Realita yang menunjukkan bahwa sangat sedikit petani
iv
yang mengadopsi praktik pertanian organik inilah yang kemudian menjadi sebuah
pertanyaan besar, apakah pertanian organik memiliki keberlanjutan pada masa
yang akan datang di kalangan petani, atau hanya merupakan sebuah retorika. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di
kalangan petani.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keberlanjutan praktik
pertanian organik di kalangan petani dengan menguji pengaruh praktik pertanian
organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani; membandingkan tingkat
kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani,
serta mengidentifikasi kendala atau faktor penyebab kurang berkembangnya
praktik pertanian organik di kalangan petani. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survey eksperimen di Desa
Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah pada
bulan November sampai Desember 2010. Unit analisis penelitian ini adalah
individu. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif, baik
berupa data primer maupun sekunder. Data kuantitatif dikumpulkan melalui
teknik pengisian kuesioner oleh para responden penelitian, sedangkan data
kualitatif dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam dengan informan dan
beberapa responden penelitian. Jumlah responden penelitian ini ditentukan
melalui perhitungan rumus Slovin dan didapatkan 79 orang petani yang dijadikan
sebagai responden penelitian dari total populasi petani sebanyak 372 orang di
Paguyuban Petani Al-Barokah (populasi sasaran).
Responden penelitian terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen (petani organik) dan kelompok kontrol (petani konvensional) dengan
jumlah masing-masing: 14 orang dan 65 orang. Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling)
karena populasi tidak homogen, lalu responden dipilih melalui teknik simple
random sampling (pemilihan acak sederhana). Data-data kuantitatif primer diolah
dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan SPSS 17 for Windows.
Data-data tersebut kemudian dianalisis secara statistik melalui uji Paired Samples
T-test
untuk
mengetahui
pengaruh
praktik
pertanian
organik
terhadap
hasil
perhitungan
uji Paired
Samples
T-test
yang
vi
hipotesis kedua dari penelitian ini, yaitu: tingkat kompleksitas praktik pertanian
organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian
konvensional menurut persepsi petani, terbukti benar dan diterima untuk
kelompok kontrol.
Hipotesis pengarah penelitian yang menyatakan: praktik pertanian organik
tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional dan
dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani, juga terbukti benar
berdasarkan hasil penelitian ini. Meskipun demikian, ada beberapa faktor lain
yang menyebabkan petani tidak banyak mengadopsi praktik pertanian organik di
Desa Ketapang, antara lain: (1) pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap
praktik pertanian organik dan rendahnya kesadaran para petani terhadap
kelestarian lingkungan; (2) petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk
organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat; (3) praktik
pertanian organik tidak menjamin bebas hama; (4) penggunaan pupuk organik
lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik; (5) sebagian petani tidak memiliki
pasokan pupuk kandang; (6) banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus
sebagai buruh tani, sehingga mereka harus mengejar target hasil panen dari petani
pemilik lahan; (7) sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan
besar sudah tercemar oleh bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional
di sekitarnya; (8) tingkat produktivitas pertanian organik lebih rendah daripada
pertanian konvensional, sehingga jumlah hasil panen kurang memuaskan
khususnya pada masa-masa awal bertani organik. Keberlanjutan praktik pertanian
organik di kalangan petani khususnya petani di Desa Ketapang, masih rendah
berdasarkan tingkat adaptasinya (adaptable), sehingga tidak banyak petani yang
mengadopsi praktik pertanian organik. Hal ini terlihat dari hasil analisis
kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani
yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
AERO WIDIARTA
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
: Aero Widiarta
NRP
: I34063414
Departemen
Judul Skripsi
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Ketua
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
PETANI
(KASUS:
DESA
KETAPANG,
KECAMATAN
Aero Widiarta
I34063414
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Probolinggo pada tanggal 17 September 1987 sebagai anak
kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Sarwiyono dan Ibu Nuniek
Kartikowati. Penulis menyelesaikan pendidikannya di TK Dharma Wanita Gresik
pada tahun 1993, SDN Manyarejo pada tahun 1993-1999, SLTPN 1 Gresik pada
tahun 1999-2002, dan SMAN 1 Gresik pada tahun 2002-2005. Setelah lulus dari
jenjang pendidikan SMA, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Udhayana, Bali pada tahun 2005. Pada
tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun kedua
di IPB, penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dengan program minor
Kewirausahaan Agribisnis pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen (FEM).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan
organisasi, antara lain: fasilitator Dormitory English Community IPB (2006-2007),
anggota Divisi Konservasi Reptil dan Amfibi Uni Konservasi Fauna IPB (20062007), bendahara Departemen Eksternal International Association of Students in
Agricultural and Related Sciences (IAAS) Local Committee (LC) IPB (20072008), wakil ketua Divisi Pengembangan Masyarakat Samisaena IPB (2008),
anggota Divisi Produksi Agrifarma IPB (2008), ketua panitia Communication and
Community Development Expo (2009), manajer Divisi Jurnalistik Himasiera IPB
(2009), Koordinator Volunteer for Climate Justice (2010), anggota Control
Council Local Committee (CCLC) IAAS LC IPB (2011), dan lain-lain. Selain itu,
penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum pada tahun
ajaran 2008/2009 dan 2009/2010 serta Komunikasi Bisnis pada tahun ajaran
2008/2009.
Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis, antara lain: lulusan
terbaik dan pelajar teladan SDN Manyarejo (1999), juara 2 lomba diba dan
puitisasi se- Kabupaten Gresik (2002), kandidat Chapter AFS Surabaya Year
Program 2004-2005, kandidat nasional Mext Program Jepang (2004), pembaca
xi
berita bahasa Jawa terbaik se- SMAN 1 Gresik, grand finalis Cak Gresik (Duta
Wisata Gresik) tahun 2004, juara 3 lomba presenter se- IPB tahun 2006, juara 1
lomba teater se- IPB tahun 2008, semifinalis Bayer Young Environmental Envoy
Indonesia (2008), student paper presenter IASS (The 1st International
Agricultural Students Symposium) di Universiti Putra Malaysia (2009), delegasi
mahasiswa IPB untuk MYC (Miracle Youth Conference) di AIESEC LC
Universiti Putra Malaysia (2009), student paper presenter Go Organic Symposium
di Bangkok, Thailand (2009), dan lain-lain. Selain itu, penulis juga aktif menjadi
presenter, moderator, pembicara, dan pengisi hiburan di beberapa acara, baik di
dalam maupun di luar kampus IPB.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan
Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Propinsi Jawa Tengah) dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Selain itu, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sampai
sejauh mana keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani yang
dilihat berdasarkan aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktik pertanian
organik menurut petani. Skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi penelitian
selanjutnya terkait pertanian organik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang ikut membantu
penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung selama proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan
skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini belumlah sempurna, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga
skripsi ini dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca
secara umum, akademisi, dan aktivis pertanian organik yang memiliki visi
mengembangkan pertanian organik di Indonesia.
Penulis
Bapak Sarwiyono dan Ibu Nuniek Kartikowati sebagai orang tua yang
senantiasa memberikan kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan kepada
penulis, baik secara materi maupun non materi.
2)
Kakak tercinta, Adhi Tyan Wijaya beserta istri, Naimatus Sholichah yang
selalu memberikan dorongan dan saran kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
3)
4)
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Dr. Ir. Widodo atas kesabarannya dalam
membimbing penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga
skripsi ini selesai.
5)
6)
7)
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS yang telah membuat jadwal sidang skripsi
secara paksa kepada penulis, sehingga penulis termotivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
8)
Dr. Ir. Henny Mayrowani, M.Sc yang telah memberikan pandangan kepada
penulis mengenai kriteria pertanian organik.
9)
Mas Ayip dari lembaga KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan)
yang telah membantu penulis mencari lokasi penelitian yang tepat.
xiv
10) Mbak Nunung dari lembaga AOI (Aliansi Organis Indonesia) yang telah
memberikan rekomendasi kontak rekan-rekannya dan pinjaman beberapa
literatur kepada penulis terkait dengan pertanian organik.
11) Mas Andreas dari lembaga ELSPAT yang telah berkenan meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.
12) Pak Ndindin, dan Kang Erik atas kesediaannya memberikan informasi kepada
penulis mengenai perkembangan pertanian organik di Desa Cibatok,meskipun
pada akhirnya penulis tidak melakukan penelitian di desa tersebut.
13) Pak Mustofa atas bimbingan dan data-data yang diberikan kepada penulis
selama penelitian di Desa Ketapang.
14) Pak Muslikh Masum sekeluarga yang telah berkenan mengizinkan penulis
untuk tinggal dan makan seperti keluarga sendiri di rumah beliau selama
penelitian di Desa Ketapang. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak
sekeluarga.
15) Semua petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah atas
informasi, keramahan, dan jamuan yang diberikan kepada penulis selama
penelitian.
16) Mbak Maria, Mbak Icha, Mbak Dini, Bu Susi yang sering direpotkan oleh
penulis terkait administrasi dan kesekretariatan.
17) Sahabat-sahabatku tercinta, seperti: Aliyatur Ropiah, Dedi Mulyana, Elhaq,
Rinaldi, Yuli, Nova, Maulani, Dewi, Windarti, Ifah, Asri, Wulan, Ani, Isma,
Ogi, dan Bedhil yang selalu memberikan semangat, dorongan, saran, dan
bantuan teknis dalam pengerjaan skripsi ini.
18) Teman-teman seperjuangan mahasiswa Departemen SKPM 43 yang tidak
dapat disebutkan satu persatu atas kebersamaan, perhatian, dan keceriaannya
selama ini, sehingga hidup tidak terasa membosankan bagi penulis.
19) Rekan-rekan kerja di organisasi IAAS LC IPB atas kebersamaan dan suasana
hangat yang diberikan selama ini, sehingga penulis tidak merasa sendirian.
20) Serta semua pihak yang ikut membantu terselesaikannya skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .........................................................................................................xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 5
1.4.1. Kegunaan Teoretis ..................................................................5
1.4.2. Kegunaan Praktis ....................................................................5
BAB II
xvi
xvii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Teks
xix
xx
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Teks
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Teks
BAB I
PENDAHULUAN
sebagai
Revolusi
Hijau.
Sistem
pertanian
organik
berusaha
Indonesia tahun 2009 adalah 231.687,11 ha. Luas area tersebut meliputi luas lahan
yang tersertifikasi, yaitu 97.351,60 ha (42 persen dari total luas area pertanian
organik di Indonesia) dan luas lahan yang masih dalam proses sertifikasi (pilot
project AOI), yaitu 132.764,85 ha (57 persen dari total luas area pertanian organik
di Indonesia). Luas total area pertanian organik tahun 2008 jauh lebih besar
daripada tahun 2009, yaitu sekitar 235.078,16 ha. Sementara itu, total jumlah
pelaku pertanian organik yang tercatat pada tahun 2009 adalah 12.101 produsen
yang terdiri dari: 9.628 produsen tersertifikasi, sedangkan sisanya adalah 2.383
produsen non sertifikasi, 80 produsen dalam proses sertifikasi, dan 10 produsen
PAMOR (Penjaminan Mutu Organis Indonesia yang merupakan salah satu bentuk
sistem sertifikasi partisipasi).
Perkembangan pertanian organik ternyata juga diikuti oleh perkembangan
trend atau gaya hidup organik masyarakat yang mensyaratkan konsumsi produkproduk organik. Hal ini kemudian mendorong isu sertifikasi sebagai jaminan atas
dipraktikkannya pertanian organik yang menjadi sebuah pembicaraan hangat dari
tahun 2003. Semakin terbukanya pasar organik, ternyata masih belum membuat
Indonesia cukup mampu menjadi produsen utama produk organik di dunia jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti: India, Amerika Serikat, dan
Argentina. Padahal, Indonesia sebagai negara agraris sebenarnya memiliki potensi
yang sangat besar untuk menjadi produsen organik di level internasional.
Sementara itu, jumlah pelaku pertanian organik di Indonesia yang telah
tersertifikasi relatif sedikit, demikian pula dengan jumlah total area pertanian
organik di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan lagi.
Rendahnya jumlah produsen dan luas lahan organik di Indonesia
khususnya di kalangan petani, ternyata tidak hanya sekedar isapan jempol yang
dilaporkan dalam data-data statistik, tetapi juga diperkuat oleh bukti nyata di
lapangan yang didapatkan oleh penulis selama survey pra penelitian. Berdasarkan
survey lapang pada bulan Juni hingga Juli 2010 di wilayah Kota dan Kabupaten
Bogor, diketahui bahwa jumlah petani organik di setiap desa yang dikunjungi,
seperti: Desa Cibatok, Desa Cibereum Situleutik, Kelurahan Situgede, Kelurahan
Mulyaharja, dan Kelurahan Sukaharja, sangat sedikit dibandingkan petani
konvensional. Jumlah tersebut hanya berkisar antara tiga sampai tiga belas orang
petani organik per desa. Sedangkan jumlah petani konvensional, relatif lebih
banyak dibandingkan petani organik, yaitu lebih dari dua puluh orang petani per
desanya meskipun belum ada laporan statistik secara resmi di tiap desa mengenai
hal ini. Realita tersebut sangat ironis atau bertolak belakang dengan teori
pertanian organik yang dikemukakan oleh para ahli. Banyak referensi atau teori
yang menyatakan bahwa pertanian organik berpengaruh positif terhadap
keberlanjutan ekologi, dan ekonomi petani. Namun, pada kenyataannya masih
banyak petani yang belum menjalankan praktik pertanian organik dan cenderung
mempertahankan praktik pertanian konvensional. Perbedaan nyata antara teori
dengan realita praktik pertanian organik di kalangan petani inilah kemudian
menimbulkan pertanyaan besar yang penting untuk diteliti lebih lanjut.
Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani
kemudian menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menjawab fenomena
di atas. Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani memang perlu
dipertanyakan karena masih sedikitnya jumlah petani organik di Indonesia.
Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik, dapat dilihat dari aspek
ekonomi, tingkat kompleksitas praktik budidayanya, dan alasan petani mengapa
mereka belum menerapkan praktik pertanian organik secara luas, sehingga
pertanian organik belum begitu berkembang di kalangan mereka. Analisis tersebut
sangat memungkinkan dilakukan pada komunitas petani organik yang telah
menjalankan praktik pertanian organik lebih dari tiga tahun di suatu desa, seperti
Desa Ketapang, lalu membandingkannya dengan praktik pertanian konvensional
di kalangan petani konvensional pada lokasi yang sama. Analisis keberlanjutan
praktik pertanian organik di kalangan petani, menjadi penting untuk diteliti karena
jika tidak segera diteliti, maka fenomena pertanian organik yang belum
berkembang di kalangan petani Indonesia, akan terus menjadi pertanyaan besar
yang tidak akan terjawab. Selain itu, ketersediaan data atau laporan penelitian
mengenai pertanian organik di Indonesia masih kurang, sehingga dapat
menghambat perkembangan informasi seputar pertanian organik khususnya di
kalangan petani.
2)
3)
BAB II
PENDEKATAN TEORETIS
lingkungan, sosial, ekonomi, dengan memproduksi pangan dan serat. Sistem ini
memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami
tanaman, hewan, biofisik, landskap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas
semua faktor-faktor yang saling terintegrasi atau tergantung tersebut. Pertanian
organik menekankan praktik rotasi tanaman, daur ulang limbah-limbah organik
secara alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik
tersebut dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh
karena itu, pertanian organik bisa dikatakan sebagai dasar produksi hasil
pertanian, dasar untuk peternakan hewan, dasar untuk keseimbangan ekologi
secara alami.
Berdasarkan beberapa konsep dan definisi pertanian organik yang telah
dijelaskan di atas, maka secara umum penulis dapat menyimpulkan bahwa
pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang mengelola sumber daya
alam secara bijaksana dan holistik untuk memenuhi kebutuhan manusia
khususnya pangan, dengan memanfaatkan bahan-bahan organik secara alami
sebagai input dalam pertanian tanpa input luar tinggi yang bersifat kimiawi,
dan dikembangkan sesuai budaya lokal setempat, sehingga mampu menjaga
keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, serta mendorong
terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Filosofi Pertanian
organik adalah siklus kehidupan menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras
dengan alam, melayani alam secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan
memberikan hasil produksi pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi,
hubungan ini bersifat timbal balik.
Terdapat perbedaan yang mencolok antara pertanian organik dan
konvensional, baik secara anatomi maupun ekonomi. Perbedaan antara pertanian
organik dan konvensional secara anatomi, dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
Pertanian Organik
Pertanian Konvensional
Bibit
Pola tanam
Pengairan
Bentuk fisik
tanaman
Umur tanaman
Pertumbuhan
Panjang
Agak lambat, karena tumbuh secara
alami.
Resistensi
hama penyakit
Pemupukan
Hasil/kualitas
produksi
Rasa
Enak (aromatik)
Sumber: Data-data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman
dari petani-petani organik yang menjadi rekanan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000.
10
Pertanian Organik
Pertanian Konvensional
Kurang disukai, karena kurang
enak.
Relatif, tergantung pedagang dan
distribusi yang bertingkat-tingkat.
Disukai konsumen.
Resiko sosial
Resiko budaya
Resiko
kesehatan
Tidak ada
Sumber: Data-data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman
dari petani-petani organik yang menjadi rekanan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000.
Prinsip Kesehatan
Pertanian organik harus berkelanjutan dan mendorong kesehatan tanah,
tanaman, hewan, manusia, dan planet sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Jadi,
pertanian
organik
berperan
dalam
menjaga
dan
11
2)
Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus diterapkan berdasarkan pada siklus dan sistem
ekologi kehidupan. Bekerja, meniru, dan berusaha memelihara sistem dan
siklus ekologi kehidupan sehingga dapat menjamin keberlanjutan ekologi.
3)
Prinsip Keadilan
Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin
keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
4)
Prinsip Perlindungan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab
untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan
mendatang serta lingkungan hidup.
mempertahankan
atau
meningkatkan
kualitas
lingkungan
dan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro Wongso Atmojo, MS. n.d. Degradasi lahan & Ancaman bagi
Pertanian. Solo: SOLO POS.
12
rupa
sehingga
dapat
menekan
kemungkinan
terjadinya
3)
4)
5)
13
membandingkannya
Informasi diperoleh dari Rachman Sutanto (2002) dalam bukunya yang berjudul
Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan dan Pengembangannya . Yogyakarta: Kanisius.
14
1)
15
perikanan terpadu. Limbah padat dan limbah cair sebagai sumber pupuk organik
akan mendukung semua jenis pertanian terpadu. Limbah ini bisa berupa bagas
tebu, blotong, fermentasi slop (limbah cair pabrik alkohol), macam-macam limbah
agroindustri, sampah kota, biogas, atau limbah cair hasil fermentasi biogas. Selain
itu, tumbuhan air seperti Azolla pinnata, eceng gondok, alga biru, ganggang hijau
juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Untuk mendukung sistem
usahatani organik dan LEISA, diperlukan tanaman pupuk hijau seperti Calliandra
calothyrsus, Leucaena glauca yang mendukung di lahan karena hasil residu
tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk hijau.
3)
memanfaatkan
mikroorganisme
penambat
nitrogen,
yaitu
Rhizobium,
16
merupakan praktik pertanian masa depan sesuai dengan LEISA sehingga petani
17
tidak terlalu menghabiskan biaya untuk pengolahan tanah. Namun, hal ini hanya
bisa dilakukan apabila kondisi tanah sudah cukup baik atau stabil pasca perlakuan
kimiawi sehingga terlepas dari ketergantungan penggunaan input luar kimiawi.
Oleh karena itu, daur hara dalam tanah selanjutnya akan mengikuti alam secara
alami (organik) sehingga keberlanjutan sistem pertanian terjamin dan OTM atau
TOT bisa diterapkan.
2.1.5. Pengertian Keberlanjutan Ekologi
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Sedunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka (Soemarwoto, 2004). Keberlanjutan ekologi
merupakan
prasyarat
untuk
pembangunan
dan
keberlanjutan
kehidupan
2)
keberlanjutan
proses
ekologi.
Terdapat
tiga
aspek
18
http://www.gudangmateri.com/2010/07/harmonisasi-dankeseimbangankebudayaanhtml.
Diakses pada tanggal 1 September 2010, pukul 12:44 WIB.
19
terarah. Oleh karena itu, keberlanjutan aktivitas dan ekonomi sektoral perlu
diperhatikan. Untuk mencapai keberlanjutan ekonomi sektoral, dapat dilakukan
melalui beberapa upaya. Pertama, sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat
dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang tangible dalam kerangka
akunting ekonomi. Kedua, secara prinsip harga sumberdaya alam harus merefleksi
biaya ekstaksi, ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatannya. Pakar
ekonomi harus mengidentifikasi dan memperlakukan sumber daya sebagai sumber
daya yang terpulih, tidak terpulihkan, dan lingkungan hidup.
Sumber yang terpulihkan seperti hutan dapat memberikan manfaat secara
berkelanjutan bila tidak memperlakukan produktivitas ekonomi sebagai fungsi
yang pasif atau jasa yang mengalir sehingga perlu menggunakan prinsip
pengelolaan yang berkelanjutan. Sedangkan sumber yang tidak terpulihkan,
mempunyai jumlah absolut dan berkurang bila dimanfaatkan. Pembangunan
berkelanjutan dalam konteks sumberdaya yang tidak dapat dipulihkan, berarti:
pemanfaatan secara efisien sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi masa
mendatang dan diupayakan agar dapat dikembangkan substitusi dengan
sumberdaya terpulihkan; membatasi dampak lingkungan dengan pemanfaatannya
yang sekecil mungkin.
Prof. Dr. Emil Salim dalam Orasi Ilmiahnya yang berjudul Sains dan
Pembangunan Berkelanjutan pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Tahun
2003 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang, memberikan
pemahaman sederhana tentang apa yang disebut keberlanjutan ekonomi seperti
kutipan di bawah ini:
20
Keberlanjutan
ekonomi
dapat diwujudkan
melalui pengembangan
21
2)
3)
4)
5)
2)
3)
4)
5)
beberapa hasil penelitian dari luar negeri, meskipun belum banyak dipublikasikan
22
Hasil penelitian seperti yang telah dikutip oleh Maria dalam tulisannya di atas,
sudah cukup membuktikan bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif
terhadap beberapa bidang kehidupan khususnya ekologi. Kutipan tersebut secara
umum dapat disimpulkan bahwa pertanian organik memberikan pengaruh positif
terhadap lingkungan, seperti: menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi
penggunaan energi dan emisinya, mencegah polusi dan bahaya kesehatan dengan
menghindari penggunaan bahan-bahan kimia, menjaga kebersihan dan kesehatan
air, mengoptimalkan penggunaan nitrogen secara efisien melalui tanaman
penambat nitrogen, dan meminimalkan resiko erosi serta biaya input tinggi.
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekologi
berdasarkan beberapa referensi yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan
23
demikian secara umum dapat dibuktikan atau diukur melalui perubahan kualitas
lingkungan, seperti: tingkat kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, serangan
hama dan penyakit, produktivitas pertanian secara berkelanjutan, serta kesehatan
lingkungan dan petani yang dapat dilihat dari kualitas air maupun produk
pertanian
organik.
Untuk
menganalisis
pengaruh
tersebut,
dibutuhkan
perbandingan hasil nyata pada aspek ini, yaitu perbandingan kondisi ekologi pada
sistem pertanian konvensional (non organik) dengan kondisi ekologi pada
pertanian organik.
2.1.7.2. Keberlanjutan Ekonomi
Menurut Ho dan Ching (2006), pertanian organik menjamin keberlanjutan
ekonomi yang terlihat dari:
1)
2)
2)
3)
24
Bukti lain yang menyatakan pengaruh positif praktik pertanian organik terhadap
keberlanjutan ekonomi dimuat dalam sebuah buku yang berjudul Science-Based
Organic Farming 2008: Toward Local and Secure Food Systems. Buku tersebut
memiliki beberapa bab dan terdapat satu bab berjudul Economics of Organic
Agriculture pada halaman 97 yang membahas tentang keunggulan pertanian
organik secara ekonomi dibandingkan pertanian konvensional, seperti yang
dikutip di bawah ini:
pertanian organik
25
26
27
kolonial Belanda adalah sistem pelaksanaan pertanian itu sendiri yang lebih
menekankan pada unsur-unsur alami tanpa penggunaan input luar kimiawi. Jadi,
pertanian organik sebenarnya sudah lama diterapkan di Indonesia, yaitu zaman
penjajahan Belanda tetapi belum disadari secara penuh baik manfaat maupun
istilahnya pada masa itu oleh masyarakat.
Hal yang melatarbelakangi berkembangnya pertanian organik selain
sebagai aksi perbaikan atas dampak negatif yang ditimbulkan Revolusi Hijau,
adalah: timbulnya kesadaran masyarakat akan pangan dan kesehatan. Rujukan
buku Silent Spring yang ditulis oleh Carson (1962), menyatakan bahwa input
luar kimiawi yang seringkali digunakan oleh manusia dalam meningkatkan
produktivitas pertanian, dapat berdampak buruk bagi lingkungan10. Permasalahan
lain yang selanjutnya memacu perkembangan pertanian organik adalah mahalnya
harga pupuk dan rendahnya harga gabah kering giling sehingga tidak seimbang
dengan pengeluaran petani.
Pertanian organik mulai berkembang pesat di Indonesia sejak krisis
moneter tahun 1997, yang dipicu oleh mahalnya harga pupuk dan pestisida,
sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan petani. Meskipun demikian, isu
pertanian organik di Indonesia sebenarnya telah mulai berkembang sejak sekitar
tahun 1970-an dan perkembangannya hingga saat ini cukup menggembirakan,
terbukti dari data SPOI tahun 2008 yang menunjukkan peningkatan luas area
pertanian organik dari tahun sebelumnya, yaitu dari 41.431 ha menjadi 235.078,16
ha.
Data pertanian organik global tahun 2008, berdasarkan buku The World of
Organic Agriculture , Statistics and Emerging Trends 2009 sebagaimana dikutip
dalam SPOI (2008), memperlihatkan angka 32,2 juta ha sebagai total luas area
pertanian organik global yang merupakan 0,8 persen dari total luas area pertanian
141 negara yang disurvey. Berdasarkan data organik global tahun sebelumnya,
luas area ini meningkat 1,5 juta ha. Tabel mengenai luas area pertanian organik
menurut region tahun 2007 disajikan di bawah ini:
10
28
Region
Afrika
Amerika Utara
Asia**
Amerika Latin
Eropa
Oceania
Total
870.329
2.197.077
2.893.079
6.402.875
7.758.526
12.110.758
32.232.644
Dari Tabel 3, diketahui bahwa region dengan luas lahan pertanian organik terbesar
adalah Oceania, lalu diikuti Eropa, dan Amerika Latin. Total luas area pertanian
organik di dunia adalah 0,8 persen dari jumlah total luas lahan pertanian di
seluruh dunia.
Perkembangan pertanian organik di Asia, cukup menggembirakan. Benua
Asia merupakan benua terbesar dengan populasi terpadat di dunia. Hampir semua
pemerintah memiliki prioritas dalam sertifikasi dan akreditasi organik, meskipun
perkembangan organik di Asia masih pada taraf produksi. Luas area pertanian
organik di Asia dibandingkan area pertanian konvensional, baru sebesar 0,2
persen. Berikut ini disajikan tabel negara dengan luas area pertanian organik
terbesar di Asia tahun 2007:
Tabel 4. Daftar Negara dengan Luas Area Pertanian Organik Terbesar di Asia,
Tahun 2007
Negara
Cina
India
Indonesia
Syria
Pakistan
Timor Leste
Azerbaijin
Thailand
Sri Lanka
Filipina
1.553.000,0
1.030.311,0
77.517,8
28.461,0
25.001,0
23.790,0
21.239,7
19.123,1
17.000,0
15.343,8
0,28
0,57
0,14
0,20
0,09
7,00
0,45
0,10
0,72
0,13
Jumlah
Produsen
(Orang)
1.600
195.741
6.568
3.256
28
312
3.924
4.216
-
29
Tampak pada Tabel 4 bahwa Cina dan India memiliki luas area pertanian organik
terbesar dengan selisih yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara lainnya.
Indonesia menempati urutan ketiga setelah India. Pada umumnya, produsen di
Asia adalah petani kecil yang kemudian berkelompok untuk mendapatkan
sertifikasi.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia selain diindikasikan oleh
data statistik, juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan gerakan-gerakan
organik dari LSM, khususnya yang berhubungan dengan sistem sertifikasi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari AOI, Indonesia termasuk negara yang
sedang dalam proses penyusunan kebijakan. Pada praktiknya, telah dilakukan
langkah-langkah penyusunan kebijakan untuk mendukung perkembangan
pertanian organik di Indonesia. Di tingkat nasional, pemerintah telah membuat
kebijakan yang ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan, dan
mengatur perkembangan pertanian organik (Sulaeman, 2006). Departemen
Pertanian telah mencanangkan pertanian organik dengan slogan Go Organic
2010. Sebelum munculnya pencanangan Go Organic 2010, Surono (2007)
dalam presentasinya untuk Regional Conference On Organic Agriculture in Asia
di Bangkok seperti yang dikutip dalam SPOI (2008), menguraikan bahwa
sebenarnya penanda dimulai gerakan organik di Indonesia adalah berdirinya Bina
Sarana Bakti (BSB) sebagai pusat pelatihan organik pertama di Indonesia,
kemudian diikuti dengan terbentuknya jaringan petani dan nelayan (SPTN-HPS)
di Yogyakarta tahun 1990. Delapan tahun kemudian, jaringan pertanian organik
skala nasional pertama kali terbentuk yang saat ini dikenal sebagai Jaringan Kerja
Pertanian Organik (Jaker PO). Hal ini lalu disusul dengan dibentuknya Koperasi
SAHANI tahun 1999.
Pada tahun 2000 dideklarasikan juga MAPORINA (Masyarakat Pertanian
Organik Indonesia) dan gerakan ini kemudian diikuti dengan munculnya AOI
(Aliansi Organis Indonesia) pada tahun 2002. APOI (Asosiasi Pertanian Organik
Indonesia) ikut meramaikan dunia pertanian organik dan terbentuk pada tahun
2003. Pada tahun 2003, Departemen Pertanian juga secara resmi membentuk
OKPO (Otoritas Kompeten Pertanian Organik). Pada tahun 2006, AOI
mengukuhkan PT. BIOCert Indonesia sebagai lembaga sertifikasi pertama organik
30
di Indonesia. Tidak kalah pentingnya, pada tahun 2002 standar nasional untuk
produk pangan organik (SNI 01-6729-2002) diluncurkan. Pada tahun 2007,
Departemen Pertanian menganggarkan dana sebesar 4 juta USD untuk program
organik dan pada tahun 2009 lalu, Menteri Pertanian menargetkan penggunaan
pupuk organik di tahun 2014 (Surono, 2007 dalam SPOI, 2008). Standar dan
pedoman pertanian organik lalu bermunculan dan IFOAM Basic Standards
menjadi rujukan langsung maupun tidak langsung bagi para penggiat pertanian
organik di Indonesia, baik dari kalangan pemerintah maupun LSM. Jaker PO pada
tahun 2001 juga mengeluarkan standar pertanian organik.
Perkembangan
pertanian
organik
di
Indonesia
meskipun
cukup
31
(2.777.959 ha), Brazil (1.765.793 ha), dan Amerika Serikat (1.640.836,4 ha),
sedangkan jumlah produsen organik terbanyak berada di negara Uganda (206.803
orang), disusul India (195.741 orang), Etiopia (165.560 orang), dan Meksiko
(128.819 orang).
Indonesia masih berada pada posisi yang sangat jauh dalam hal
perkembangan pertanian organik di tingkat dunia, baik dihitung berdasarkan luas
lahan maupun jumlah produsen organik yang hanya berkisar 12.101 orang pada
tahun 2009. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk
berkembang menjadi produsen organik di dunia mengingat luas lahan potensial
yang masih terbuka lebar beserta faktor pendukung geografisnya. Negara
pengekspor produk pertanian organik terbesar di dunia diduduki oleh Argentina,
Meksiko, Brazil, Dominika, Cina, India, Afrika Selatan dan Turki. Negara-negara
tersebut adalah eksportir utama produk-produk organik ke Eropa. Beberapa
negara Afrika seperti Tunisia, Moroko, Mesir, Uganda dan Zambia juga adalah
pemasok produk organik ke kawasan tersebut, meskipun nilai ekspornya lebih
rendah daripada negara-negara yang disebutkan di awal. Sementara itu, Indonesia
tidak termasuk dalam negara pengekspor produk organik terbesar di dunia.
2.1.9. Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Rogers (1983) dalam Mugniesyah (2006) mengemukakan lima fungsi atau
tahapan proses pengambilan keputusan inovasi, antara lain: (1) knowledge
(pengenalan), (2) persuasion (pembentukan sikap), (3) decision (pengambilan
keputusan), (4) implementation dan (5) confirmation (penegasan). Proses
pengambilan keputusan inovasi dipengaruhi oleh beberapa variabel antesenden
yang terdiri atas: (1) karakteristik individu, (2) karakteristik sosial ekonomi dan
(3) kekuatan penerimaan akan kebutuhan inovasi. Semua variabel antesenden
tersebut, akan mempengaruhi kelangsungan setiap tahapan proses pengambilan
keputusan inovasi. Suatu inovasi akan diadopsi atau ditolak, tergantung dari
keputusan masing-masing individu sasaran inovasi. Proses pengambilan
keputusan tersebut, berada pada tahap decision.
Proses pengambilan keputusan inovasi sebagaimana yang dijelaskan oleh
Mugniesyah (2006), juga dipengaruhi oleh persepsi unit pengambil keputusan
inovasi terhadap karakteristik atau ciri-ciri inovasi. Karakteristik atau ciri-ciri
32
inovasi tersebut, antara lain: (1) keuntungan relatif (relative advantage), (2)
kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) kemungkinan dicoba
(trialability) dan (5) kemungkinan diamati (observability). Karakteristik inovasi
yang sesuai dan memungkinkan untuk diteliti dalam praktik pertanian organik
berdasarkan kriteria pertanian berkelanjutan adalah keuntungan relatif secara
ekonomi dan kerumitan atau tingkat kompleksitas praktik pertanian organik.
Analisis terhadap keuntungan relatif akan menjawab bagaimana pengaruh praktik
pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Sementara itu, analisis
terhadap kerumitan atau tingkat kompleksitas praktik pertanian organik akan
menjawab sampai sejauh mana tingkat fleksibilitas (adaptable) praktik pertanian
organik di kalangan petani.
2.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kriteria pertanian berkelanjutan, analisis keberlanjutan praktik
pertanian organik di kalangan petani dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dan
mengukur tingkat kompleksitas praktik pertanian organik menurut persepsi petani.
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
dianalisis dengan metode survey eksperimen, sehingga perubahan terhadap aspek
ekonomi petani terlihat jelas. Metode ini berusaha membandingkan kondisi
ekonomi petani yang dilihat dari keuntungan usahataninya pada saat sebelum dan
sesudah adanya praktik pertanian organik melalui kuesioner. Responden
penelitian meliputi control group, yaitu kelompok petani non organik
(konvensional) yang dijadikan sebagai responden kontrol atau pembanding dan
experimental group, yaitu kelompok petani organik yang dijadikan sebagai
responden eksperimen. Jenis tanaman budidaya dalam sistem usahatani organik
dan konvensional yang akan diteliti adalah padi sawah. Bentuk kerangka
pemikiran penelitian ini, secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
33
Experimental Group
Control Group
Sebelum Organik
Organik
Analisis
Tingkat
Kompleksitas
Praktik
Pertanian
Organik
menurut
Persepsi
Petani
Sesudah Organik
Ada perbedaan
34
35
2)
36
37
Tabel 5. Definisi Operasional untuk Analisis Pengaruh Praktik Pertanian Organik (Variabel X) terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani (Variabel Y)
Variabel/Indikator
Definisi Operasional
Teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam secara organik atau
terbebas dari penggunaan input kimia sintetik dan dilakukan oleh petani sesuai dengan
pengetahuan dan kondisi lokal mereka.
Periode yang dibutuhkan untuk mengkonversi lahan dari non-organik menjadi organik,
sehingga lahan terbebas dari residu bahan kimia sintetik secara ideal selama minimal 3
tahun.
Petani menggunakan pupuk yang berasal dari bahan organik seperti pupuk kompos,
kandang, hijau, dan lain-lain.
Kategori
Organik = 1, jika indikator
a-e terpenuhi.
Konvensional = 2, jika
salah satu dari indikator ae tidak terpenuhi.
Ya = 1
Tidak = 2
Ya = 1
Tidak = 2
Ya = 1
Tidak = 2
Skala Pengukuran
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Petani menggunakan bibit padi varietas lokal, bukan hibrida atau hasil rekayasa genetika.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami yang dapat dilakukan oleh petani
dengan memanfaatkan pestisida hayati atau nabati; serta predator hama alami tanpa bahan
kimia sintetik.
Ya = 1
Tidak = 2
Nominal
Pemisahan lahan dan sumber air irigasi antara pertanian organik dengan pertanian
konvensional untuk menghindari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik.
Ya = 1
Tidak = 2
Nominal
Kondisi ekonomi petani yang ideal, yaitu jika petani mampu mencukupi kebutuhan
mereka dan memperoleh pendapatan yang cukup untuk melaksanakan keberlanjutan
penghidupan secara kontinu.
Kemampuan sistem usahatani dalam menghasilkan panen per luas lahan pada musim
tertentu dari tanaman yang dibudidayakan untuk menjamin kelangsungan hidup petani.
Jumlah total pendapatan petani per musim tanam dikurangi jumlah total biaya input
produksi pertanian.
c. Akses pasar
Kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya
kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan
konsumen. Akses pasar dinilai dari banyak dan terbukanya saluran distribusi yang bisa
dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani.
Rasio
Rasio
Rasio
38
Tabel 6. Definisi Operasional untuk Analisis Tingkat Kompleksitas Praktik Pertanian Organik (Variabel X) Menurut Persepsi Petani
Variabel/Indikator
Definisi Operasional
Teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam secara organik atau
terbebas dari penggunaan input kimia dan dilakukan oleh petani sesuai dengan
pengetahuan dan kondisi lokal mereka.
Periode yang dibutuhkan untuk mengkonversi lahan dari non-organik menjadi organik,
sehingga lahan terbebas dari residu bahan kimia sintetik secara ideal selama minimal 3
tahun.
Cara petani mendapatkan dan mengangkut pupuk yang berasal dari bahan organik seperti
pupuk kompos, kandang, hijau, cair, dan lain-lain dari lokasi awal mereka menuju ke
sawah secara rutin setiap musim.
Harga yang harus dibayar oleh petani dalam menggunakan bibit padi varietas lokal, bukan
hibrida atau hasil rekayasa genetika.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami yang dapat dilakukan oleh petani
dengan memanfaatkan pestisida hayati atau nabati; serta predator hama alami tanpa bahan
kimia sintetik.
e.
Pemisahan lahan dan sumber air irigasi antara pertanian organik dengan pertanian
konvensional untuk menghindari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik.
Kategori
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
1 = sangat singkat
2 = singkat
3 = sedang
4 = lama
5 = sangat lama
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
1 = sangat murah
2 = murah
3 = sedang
4 = mahal
5 = sangat mahal
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
1 = sangat mudah
2 = mudah
3 = biasa saja
4 = sulit
5 = sangat sulit
Skala Pengukuran
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
ini
merupakan
penelitian
yang
bersifat
menjelajah
40
Praktik pertanian organik sudah dilakukan oleh para petani sejak tahun 1998
atau minimal telah lebih dari 3 tahun di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang, sehingga pengaruh praktik pertanian organik terhadap
keberlanjutan ekonomi petani dapat diukur secara nyata. Paguyuban Petani
Al-Barokah juga memiliki banyak prestasi, baik di tingkat propinsi maupun
nasional terkait dengan pengembangan pertanian organik. Komoditas yang
dibudidayakan oleh petani di desa tersebut adalah padi sawah. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka lokasi penelitian ini sangat tepat dipilih.
41
N
372
=
= 78,8
1 + N. e
1 + (372 x 0,01)
Keterangan:
2)
Responden dari masing-masing kelas, selanjutnya akan dipilih secara acak melalui
teknik simple random sampling (pemilihan acak sederhana). Rincian mengenai
jumlah populasi dan sampel penelitian, dapat dilihat dalam Tabel 7.
42
Petani Organik
Responden (Orang)
14
14
Petani Konvensional
358
65
Total
372
79
Informan yang dipilih untuk penelitian ini adalah orang yang memahami
Paguyuban Petani Al-Barokah dan telah ikut berkecimpung dalam perkembangan
pertanian organik di Desa Ketapang. Pemilihan informan tersebut dilakukan
secara sengaja (purposive) dan mereka adalah Pak Mustofa, mantan ketua
Paguyuban Petani Al-Barokah; Pak Muslikh, Ketua Paguyuban Petani AlBarokah yang baru; Pak Basirun; serta beberapa tokoh masyarakat Desa
Ketapang. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data tambahan
terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner.
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan perlakuan yang berbeda sesuai jenis data yang diperoleh dan jenis
hipotesisnya. Menurut Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2009), data
kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis, yaitu reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (conclusion
drawing). Penjelasan mengenai tahap-tahap tersebut, antara lain:
1)
Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada halhal penting sesuai dengan kebutuhan penelitian.
2)
Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat dan kutipan
langsung untuk mendukung data kuantitatif.
3)
43
penelitian ini juga menggunakan uji non parametrik dua Independent Samples
Test, yaitu Uji
ji Kolmogorov
Kolmogorov-Smirnov untuk menguji hipotesis kedua penelitian ini,
sehingga tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dapat dibandingkan
dengan praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani pada dua
kelompok berbeda (Experimental
Experimental Group dan Control Group). Rumus T-test
test untuk
dua sampel berpasangan (Paired Samples T-test) secara lengkap disajikan di
bawah ini:
Keterangan:
t
= Koefisien korelasi
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penggunaan Lahan
1.
Persawahan
2.
Persentase (%)
160
48,9
91
27,8
3.
Tegalan
60
18,4
4.
13
5.
Lapangan Olahraga
0,3
6.
Kuburan
0,6
327
100
Total
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
45
Ketapang Berdasarkan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
0-9
590
12,9
10-19
692
15,2
20-29
827
18,1
30-39
588
12,9
40-49
508
11,1
50-59
658
14,4
60-69
444
9,7
70 ke atas
252
5,5
4.559
100
Total
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
46
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1.
Tidak Sekolah
347
7,6
2.
Belum Sekolah
467
10,2
3.
Tidak Tamat SD
341
7,5
4.
Belum Tamat SD
573
12,6
5.
Tamat SD
699
15,3
6.
377
8,3
7.
Tamat SMP/Sederajat
676
14,8
8.
355
7,8
400
8,8
95
2,1
9.
Tamat SMA/Sederajat
10.
Belum Tamat PT
11.
S1
217
4,8
12.
S2
0,2
13.
S3
0,1
4.559
100
Total
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
47
mata pencaharian yang paling dominan di desa ini. Berdasarkan Tabel 11, jenis
mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah petani dengan persentase
yang sangat besar dan jauh selisihnya dibandingkan jenis mata pencaharian
lainnya, yaitu 69,71 persen.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Mata
Pencaharian, Tahun 2007
No.
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
2.347
69,7
1.
Petani
2.
Nelayan
0,1
3.
0,2
4.
250
7,4
5.
Buruh Industri
54
1,6
6.
Buruh Bangunan
251
7,5
7.
Pedagang
31
0,9
8.
Jasa Pengangkutan
18
0,5
9.
TNI/POLRI
10
0,3
10.
PNS
74
2,2
11.
Pensiunan
30
0,9
12.
Peternak
13.
Pegawai Swasta
72
2,1
14.
TKI
17
0,5
3.367
100
Total
203
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
48
Jumlah
1.
Jalan Aspal
10.110 m
2.
Jalan Makadam
1.250 m
3.
Jalan Tanah
3.670 m
4.
Jalan Konblok
5.100 m
5.
Jembatan Kelurahan
7 unit
6.
Jembatan Beton
7 unit
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Sarana transportasi darat Desa Ketapang, sampai saat ini hanya dilalui bis umum
dengan panjang jalan sekitar 1.500 m, dan ojek atau sepeda motor sebanyak 83
buah yang tercatat oleh pemerintah desa.
Tabel 13. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Komunikasi Desa Ketapang,
Tahun 2007
No.
Jumlah (Unit)
1.
Telepon Rumah
2.
Wartel
64
4
3.
Warnet
4.
Faximile
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
49
Tabel 14. Ketersediaan Prasarana Air Bersih Desa Ketapang, Tahun 2007
No.
Jumlah (Unit)
1.
Sumur Pompa
2.
Sumur Gali
673
3.
Air Sungai
4.
PAM
5.
Toilet Umum
55
1
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Prasarana air bersih yang paling banyak tersedia di Desa Ketapang adalah sumur
gali dengan jumlah 673 unit (Tabel 14). Jumlah pengguna prasarana ini mencapai
790 KK dan merupakan jumlah pengguna prasarana air bersih terbanyak di Desa
Ketapang. Kebutuhan air bersih penduduk Desa Ketapang dapat terpenuhi melalui
ketersediaan sumur gali ini. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat
tentang pemakaian air bersih sudah sangat baik.
Tabel 15. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Peribadatan Desa Ketapang,
Tahun 2007
No.
Jumlah (Unit)
1.
Masjid
10
2.
Musholla/Surau
30
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa fasilitas umum bidang peribadatan yang
tersedia di Desa Ketapang, hanya berupa masjid dan musholla atau surau karena
semua penduduk di desa ini beragama Islam.
Tabel 16. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Olahraga Desa Ketapang, Tahun
2007
No.
Jumlah (Unit)
1.
2.
3.
Lapangan Voli
4.
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
50
Jumlah (Unit)
1.
Poliklinik/Balai Pengobatan
2.
Posyandu
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Jumlah (Unit)
1.
Gedung SMA/Sederajat
2.
Gedung SMP/Sederajat
3.
Gedung SD/Sederajat
4.
Gedung TK
5.
Gedung TPA
6.
Pendidikan Keagamaan
7.
Perpustakaan
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
51
TK, yaitu masing-masing berjumlah 4 unit (Tabel 18). Oleh karena itu, tidak
heran jika saat ini telah banyak penduduk Desa Ketapang yang memiliki tingkat
pendidikan minimal lulus SD. Selain bidang pendidikan, fasilitas umum lainnya
yang tersedia di Desa Ketapang dan menjadi kebutuhan penting penduduk adalah
penerangan. Desa Ketapang memiliki prasarana lampu penerangan jalan
kampung, baik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun swadaya
masyarakat sendiri. Lampu tersebut hampir ada di sepanjang jalan, meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebagai informasi, Desa Ketapang merupakan
desa yang telah dialiri listrik dari PLN dan juga mempunyai diesel swadaya
masyarakat untuk cadangan sumber listrik jika suatu saat terjadi pemadaman
listrik dari PLN.
4.2. Profil Paguyuban Petani Al-Barokah11
Paguyuban Petani Al-Barokah merupakan sebuah organisasi masyarakat
pedesaan yang berbasis pertanian dengan kegiatan utamanya adalah pertanian padi
sawah organik. Al-Barokah secara resmi didirikan pada tanggal 6 September 1999
oleh para petani penggarap di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang. Paguyuban petani ini sebenarnya telah lama dirintis oleh para tokoh
pertanian organik di Desa Ketapang sejak tahun 1989. Namun, realisasi resmi
terbentuknya Paguyuban Petani Al-Barokah baru disahkan tahun 1999. Sejarah
terbentuknya Al-Barokah dimulai pada saat pemerintah tidak memenuhi janjinya
untuk memberikan Kredit Usaha Tani (KUT) kepada para petani sekitar akhir
tahun 1980-an. Gagalnya janji pemerintah dalam memberikan dana segar kepada
petani ini diketahui oleh beberapa tokoh masyarakat, seperti: Pak Muslikh, Pak
Basirun, dan Pak Mustofa, lalu mereka sengaja menyembunyikan berita tersebut
kepada para petani agar petani tidak merasa kecewa. Para petani sebelumnya telah
menaruh harapan besar terhadap bantuan pemerintah dalam bentuk apapun,
khususnya dana segar. Hal inilah yang membuat mereka menjadi tidak berdaya
atau masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemerintah.
11
52
Beberapa tokoh masyarakat dan petani, seperti: Pak Basirun, Pak Muslikh,
dan Pak Mustofa yang peduli dengan kondisi sesama petani di Desa Ketapang,
tidak ingin melihat petani terjerat dalam ketergantungan dan kemiskinan yang
berkepanjangan. Akhirnya, mereka mempunyai inisiatif untuk membentuk suatu
organisasi petani berazaskan kekeluargaan. Pak Muslikh, Ketua Paguyuban Petani
Al-Barokah dalam wawancaranya menambahkan:
Kita para petani hanya bisa maju dan mandiri jika kita bersatu
dalam kelompok karena kelompok inilah yang nantinya dapat
menjawab kebutuhan petani sendiri. Jadi, organisasi ini dibentuk
oleh petani dan untuk petani. Sudah saatnya petani hidup layak
dan tidak tergantung lagi dari bantuan pemerintah.
Pada awalnya, paguyuban petani ini dibentuk di bawah naungan organisasi Islam,
yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan hanya diikuti oleh segelintir petani. Namun,
perjuangan untuk memberdayakan petani terus dilakukan oleh beberapa tokoh
penggerak petani tersebut, hingga akhirnya muncul sebuah ide untuk menerapkan
praktik pertanian organik sebagai sebuah alternatif pertanian berkelanjutan dengan
input rendah.
Paguyuban Petani Al-Barokah telah berbadan hukum dengan akte notaris:
Muhammad Fauzan, SH Salatiga tanggal 14 September 2004 nomor 24. AlBarokah saat ini telah memiliki beberapa kelompok tani yang diketuai oleh
seorang petani terpilih dan tersebar di semua dusun Desa Ketapang, bahkan ada
pula kelompok tani dari desa lain yang bergabung dengan Al-Barokah. Jadi, AlBarokah merupakan embrio klaster dengan jumlah anggota sekitar 372 petani,
baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di dua Kecamatan (Susukan dan
Kaliwungu). Total luas lahan yang dikelola oleh paguyuban ini melalui masingmasing kelompok tani adalah 63 ha, dan kemungkinan akan terus bertambah.
Paguyuban Petani Al-Barokah dijalankan secara demokratis yang diawali dengan
strategic planning untuk menghasilkan master plan organisasi dan setiap tahun
diadakan RUBANI (Rapat Umum Anggota Paguyuban Petani) untuk pemilihan
ketua serta penyusunan program tahunan. Kepengurusan paguyuban petani ini
terdiri dari Dewan Pleno Paguyuban (legislatif) dan Ketua Pelaksana Paguyuban
(eksekutif). Dewan Pleno Paguyuban dipilih secara mufakat melalui RUBANI,
53
2)
3)
4)
54
6)
Menguatkan organisasi gerakan tani yang efektif untuk mewujudkan visi dan
misi gerakan pemberdayaan petani.
2)
3)
4)
2)
Berkembangnya
Farming/IOF)
pertanian
melalui
organik
kegiatan
terpadu
pertanian
(Integrated
berkelanjutan
Organic
(sustainable
4)
55
5)
6)
7)
2)
56
3)
4)
5)
57
6)
Advokasi Kebijakan
Program utama advokasi kebijakan yang dimaksud Al-Barokah, adalah:
a) Organisasi aktif dalam perencanaan pembangunan desa, mengawal
masyarakat atau anggota organisasi dalam kebijakan-kebijakan yang
berpihak kepada petani.
b) Sosialisasi Peraturan Daerah, Peraturan Desa, dan peraturan lainnya
kepada petani anggota.
c) Mengadakan pendidikan politik kebijakan baik pemerintah maupun non
pemerintah.
7)
8)
58
satu
kegiatan
pokok
Paguyuban
Petani
Al-Barokah
adalah
menghasilkan produk beras, baik non organik, maupun organik. Produkproduk tersebut dibudidayakan dalam dua area lahan yang berbeda, yaitu
lahan organik untuk produksi padi organik seluas 14 ha dan lahan non
organik untuk produksi padi non organik seluas 31,6 ha.
2)
Penyediaan Benih
Paguyuban Petani Al-Barokah terus berusaha menyediakan pasokan benih
organik untuk para petani organik yang tergabung sebagai anggota
paguyuban. Usaha ini dilakukan dengan
mengembangkan benih-benih
unggul lokal, seperti: Pandan Wangi, Mentik Wangi, Mentik Susu, dan Beras
Merah, serta varietas unggul lokal lainnya melalui metode penangkaran
sendiri. Metode penangkaran sendiri yang dimaksud adalah petani
memasukkan hasil penangkaran bibit padi di lumbung benih. Selain itu, AlBarokah juga menyediakan benih-benih unggul nasional (varietas padi
hibrida) di dalam lumbung benih untuk mencukupi kebutuhan petani
konvensional (non organik).
59
3)
Pengadaan Pupuk
Para petani anggota Al-Barokah, menggunakan dua jenis pupuk untuk
mencukupi kebutuhan usahataninya. Pupuk tersebut, yaitu: pupuk organik
dan non organik. Kebutuhan pupuk organik telah disediakan di lumbung
pupuk oleh organisasi dengan sistem kolektif, melalui pemeliharaan ternak
anggota yang diolah bersama menjadi pupuk organik (bokashi), pupuk cair,
pupuk hijau, dan pengembangan bakteri melalui proses fermentasi. Semua
pupuk organik tersebut diproduksi sendiri oleh organisasi dan para petani
anggota paguyuban. Sementara itu, penggunaan pupuk non organik oleh
petani perlahan-lahan mulai dikurangi, seperti: Urea, SP36, KCL, dan lainlain untuk mendorong dipraktikkannya pertanian organik.
4)
Usaha Lain
Usaha lain biasanya merupakan kegiatan yang dilaksanakan para wanita tani
sepanjang hari selain memproduksi beras organik tumbuk, misalnya:
pembuatan jamur, usaha di bidang industri tempe, makanan kecil, anyaman
bambu, serta konfeksi.
Permodalan
Paguyuban
Petani
Al-Barokah
telah
mempunyai
lembaga
ekonomi
kerakyatan dalam bentuk Koperasi Tani (KSU Gardu Tani Al-Barokah) dan
LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis). Koperasi ini memberikan
bantuan kepada anggota melalui usaha simpan pinjam dan pengadaan sarana
produksi kepada anggota dalam berwirausaha maupun bertani organik. Selain
itu, koperasi juga mengusahakan hibah atau pinjaman modal bergulir melalui
kerjasama dengan instansi lain yang terkait.
2)
Pemasaran Produk
Pemasaran produk, dilakukan melalui:
a) Penjualan langsung kepada pengecer untuk komoditi beras organik, jamur
tiram, kerupuk, makanan kecil, kerajinan bambu dan sebagainya.
60
Promosi Produk
Upaya promosi produk terus dilakukan, baik melalui pameran, bursa lelang,
media elektronik maupun cetak serta melalui media informasi dan
komunikasi lainnya yang dilaksanakan di berbagai kota-kota besar.
4)
Pengembangan usaha
Saat ini hasil usaha petani berupa beras organik dan produk lainnya telah
mampu menembus pasar lokal maupun non lokal, bahkan dari waktu ke
waktu, permintaan terus meningkat khususnya permintaan terhadap beras
organik. Oleh karena itu, produksi pertanian akan terus dikembangkan
melalui kerjasama dengan kelompok tani lain yang mempunyai visi dan misi
sama dengan Al-Barokah.
61
2)
3)
4)
5)
Rasa beras lebih enak, pulen, tahan lama dan tidak mudah basi.
6)
Ditanam dan diproduksi sendiri oleh petani anggota Paguyuban Petani AlBarokah yang memudahkan konsumen untuk ikut melakukan kontrol atau
pengecekan di lapangan.
62
keluarga atau kelompok tani karena mereka lebih mengetahui pengelolaan lahan
pertanian, mulai dari persiapan lahan, hingga panen dibandingkan perempuan. Hal
ini dipengaruhi oleh keterlibatan langsung mereka pada setiap proses pengelolaan
lahan, seperti: mencangkul tanah, membajak sawah, menabur pupuk, dan lainlain. Perempuan juga memiliki peranan dalam sistem usahatani tetapi hanya
sebatas pada tandur atau menanam padi, proses penyiangan (maton), dan pasca
panen (penjemuran, pengolahan produk turunan pertanian, dan lain-lain). Oleh
karena itu, tidak heran jika petani laki-laki lebih mengetahui sistem usahatani
secara lebih detail daripada petani perempuan dan terlibat aktif dalam kegiatan
kelompok tani. Meskipun demikian, ada kelompok tani yang anggotanya
merupakan campuran dari petani laki-laki dan perempuan, bahkan ada pula
kelompok tani yang hampir semua anggotanya adalah perempuan. Fakta ini
terjadi pada dua dusun di Desa Ketapang karena pada dusun-dusun tersebut,
perempuan memegang kendali lebih dominan daripada laki-laki atas manajemen
keuangan sistem usahatani.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis
Kelamin di Desa Ketapang, Tahun 2010
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Petani Organik
n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
14
100
0
0
14
100
Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
44
67,7
21
32,3
65
100
Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
58
73,4
21
26,6
79
100
Dasar
(SD),
tamat
SD,
tamat
Sekolah
Menengah
Pertama
63
Petani Organik
n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
5
35,7
3
21,4
2
14,3
3
21,4
1
7,1
14
100
Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
12
18,5
42
64,6
9
13,8
2
3,1
0
0
65
100
Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
17
21,5
45
57
11
13,9
5
6,3
1
1,3
79
100
4.3.3. Umur
Umur responden berkisar antara 31 sampai 80 tahun. Dari Tabel 21, dapat
diketahui bahwa para petani di Desa Ketapang yang masih terus melanjutkan
usahataninya, rata-rata adalah petani usia dewasa tengah hingga dewasa tua. Tidak
ada satupun responden dengan usia di bawah 31 tahun yang ditemui oleh penulis
selama penelitian. Fakta ini menunjukkan bahwa sudah jarang sekali generasi
muda yang menjadi petani di Desa Ketapang karena minat mereka terhadap
pertanian telah menurun. Banyak penduduk dengan usia kerja produktif atau
64
dewasa awal yang beralih untuk bekerja di sektor industri, perdagangan, atau
bahkan menjadi buruh ke daerah perkotaan. Salah satu informan penelitian, yaitu
Bapak Msl (laki-laki, 55 tahun) menjelaskan:
65
n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
31 - 40
14,3
10,8
11,4
41 - 50
35,7
20
30,8
25
31,6
51 - 60
21,4
21
32,3
24
30,4
61 - 70
28,6
13
20
17
21,5
71 - 80
6,2
5,1
Total
14
100
65
100
79
100
66
Petani Organik
Petani Konvensional
n = 14
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
Total Responden
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
Hanya Bertani
7,1
14
21,5
15
19
Beternak
Beternak dan Menganyam
Bambu
Beternak dan Tukang
Kayu-Batu
64,3
19
29,2
28
35,4
13,8
11,4
7,1
1,5
2,5
1,5
1,3
1,5
1,3
1,5
1,3
Berdagang
1,5
1,3
Menganyam Bambu
10
15,4
10
12,7
7,1
1,3
Service Jam
7,1
1,3
Tukang Kayu
1,5
1,3
Tukang Batu
3,1
2,5
Buruh
3,1
2,5
Guru Agama
Aktivis dan Fasilitator
LSM
1,5
1,3
7,1
1,3
Pensiunan
3,1
2,5
Total
14
100
65
100
79
100
67
yaitu sejumlah 50 orang dari jumlah total responden penelitian yang terbagi
menjadi: 40 orang petani pemilik lahan, dan 10 orang petani berstatus ganda
(pemilik lahan dan penggarap).
Persentase jumlah responden eksperimen dan kontrol yang memiliki lahan
pertanian atau sawah sendiri, masing-masing adalah 78,6 persen dan 60 persen
dari jumlah total responden pada setiap kelompok. Sementara itu, persentase
jumlah responden kontrol yang berstatus sebagai petani penggarap/buruh tani
mencapai 40 persen dari jumlah total responden kontrol. Persentase tersebut lebih
besar daripada persentase jumlah responden eksperimen yang berstatus sebagai
petani penggarap/buruh tani (21,4 persen dari jumlah total responden
eksperimen). Fakta ini membuktikan bahwa petani organik sebagian besar adalah
petani pemilik lahan dan jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan petani
konvensional menurut kelompok responden (eksperimen dan kontrol). Jumlah dan
persentase responden berdasarkan status petani, selengkapnya disajikan dalam
Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Status Petani
di Desa Ketapang, Tahun 2010
Status Petani
Pemilik Lahan
Penggarap/Buruh
Tani
Pemilik Lahan dan
Penggarap
Total
Petani Organik
n = 14
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
6
42,9
Petani Konvensional
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
34
52,3
Total Responden
n = 79
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
40
50,6
21,4
26
40
29
36,7
5
14
35,7
100
5
65
7,7
100
10
79
12,7
100
68
itu, Desa Ketapang tidak mengalami ledakan jumlah penduduk yang besar secara
signifikan.
4.3.6. Kepemilikan Hewan Ternak
Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa selain bertani, para responden
sebagian besar juga beternak. Hal ini dapat terlihat dari kepemilikan hewan ternak
responden dalam penelitian ini. Kepemilikan hewan ternak ternyata sangat
mempengaruhi praktik pertanian organik di Desa Ketapang. Berdasarkan hasil
penelitian, terbukti bahwa hampir semua petani organik memiliki hewan ternak.
Hanya dua orang petani organik dari empat belas orang responden eksperimen
(petani organik) yang tidak memiliki hewan ternak. Selain itu, keberadaan hewan
ternak juga sangat membantu petani konvensional dalam memenuhi kebutuhan
pupuk kandang sebagai pendukung pupuk kimia sintetik, sehingga dapat
mengurangi biaya pemupukan pada lahan pertanian mereka.
Para petani konvensional di Desa Ketapang saat ini telah mulai
mengurangi penggunaan pupuk kimia sintetik secara perlahan-lahan dengan
memanfaatkan pupuk kandang. Persentase jumlah responden eksperimen yang
memiliki hewan ternak adalah 85,7 persen dari jumlah total responden
eksperimen. Persentase tersebut lebih besar daripada persentase jumlah responden
kontrol yang memiliki hewan ternak, yaitu hanya 53,8 persen dari jumlah total
responden kontrol. Jumlah dan persentase responden yang memiliki hewan ternak,
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 24.
69
Tidak Punya
Kelinci
Sapi
Kambing
Ayam
Kerbau
Sapi dan Kambing
Kambing dan Ayam
Sapi, Kambing, Ayam,
Burung Merpati
Total
Petani Organik
n = 14
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
2
14,3
1
7,1
1
7,1
4
28,6
1
7,1
0
0
4
28,6
1
7,1
0
14
Petani Konvensional
n = 65
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
30
46,2
1
1,5
3
4,6
18
27,7
8
12,3
3
4,6
0
0
1
1,5
0
100
1
65
1,5
100
Total Responden
n = 79
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
32
40,5
2
2,5
4
5,1
22
27,8
9
11,4
3
3,8
4
5,1
2
2,5
1
79
1,3
100
Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki hewan ternak yang
berlokasi di pekarangan rumah atau tidak jauh dari rumah mereka. Ada 47 orang
responden yang memiliki hewan ternak dengan jenis sebagai berikut: sapi,
kambing, kerbau, kelinci, ayam, dan burung merpati. Sementara itu, jumlah
responden yang tidak memiliki hewan ternak adalah 32 orang atau 40,5 persen
dari jumlah total responden penelitian (Tabel 24).
4.3.7. Penggunaan Hasil Panen
Hasil panen petani yang menjadi responden penelitian ini adalah padi
dalam bentuk gabah basah. Penggunaan hasil panen tersebut, antara lain dapat
digunakan untuk: konsumsi keluarga, dijual, atau keduanya (dikonsumsi dan
dijual). Kebutuhan petani akan pangan sangat penting, sehingga penggunaan hasil
panen untuk konsumsi keluarga tidak mungkin dihindari dan menjadi suatu
keharusan. Petani yang menggunakan hasil panen untuk konsumsi keluarganya
sendiri, belum tentu menjual hasil panen tersebut kepada konsumen atau pasar.
Sebaliknya, petani yang menjual hasil panennya kepada konsumen atau pasar,
sudah pasti menyisakan sebagian hasil panennya untuk dikonsumsi keluarganya
sendiri. Oleh karena itu, penggunaan hasil panen oleh responden yang akan
ditampilkan dalam Tabel 25, hanya meliputi penggunaan untuk: konsumsi
keluarga serta konsumsi keluarga dan dijual.
70
Petani Organik
Petani Konvensional
Total Responden
n = 14
Jumlah Persentase
(Orang)
(%)
n = 65
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
n = 79
Jumlah
Persentase
(Orang)
(%)
Konsumsi Keluarga
Konsumsi Keluarga
dan Dijual
28,6
47
72,3
51
64,6
10
71,4
18
27,7
28
35,4
Total
14
100
65
100
79
100
71
Petani Organik
n = 14
Jumlah* Persentase
(Orang)
(%)
13
92,9
1
7,1
0
14
0
100
Petani Konvensional
n = 65
Jumlah* Persentase
(Orang)
(%)
55
84,6
9
13,8
1
65
1,5
100
Total Responden
n = 79
Jumlah* Persentase
(Orang)
(%)
68
86,1
10
12,7
1
79
1,3
100
BAB V
PENGARUH PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK TERHADAP
KEBERLANJUTAN EKONOMI PETANI
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi
petani, dapat diketahui melalui perbandingan analisis sistem usahatani organik
dan konvensional. Pengaruh tersebut memiliki tiga kemungkinan, yaitu:
berpengaruh positif, negatif, atau tidak berpengaruh. Analisis sistem usahatani
dilakukan pada masing-masing kelompok (eksperimen dan kontrol) untuk
mengetahui sampai sejauh mana keuntungan usahatani organik dibandingkan
usahatani konvensional. Selain itu, penulis juga menganalisis sistem usahatani
sebelum dan sesudah organik pada satu kelompok responden eksperimen, yaitu
kelompok petani organik. Setelah sistem usahatani organik dan konvensional
dianalisis dari segi tingkat input, output dan finansial, selanjutnya dilakukan
analisis statistik mengenai pengaruh praktik pertanian organik terhadap
keberlanjutan ekonomi petani berdasarkan hasil uji Paired Samples T-test.
Variabel sistem usahatani yang dianalisis dalam penelitian ini, antara lain:
tingkat output atau produktivitas usahatani per musim; keuntungan usahatani per
musim yang diketahui melalui hasil pengurangan penerimaan usahatani per
musim dengan biaya input produksi usahatani per musim; dan akses pasar. Semua
variabel di atas merupakan variabel yang mudah diukur untuk mengetahui
keberlanjutan ekonomi petani dilihat dari sistem usahataninya. Penulis
menggunakan asumsi harga yang berlaku saat ini untuk mempermudah analisis
finansial pada masing-masing sistem usahatani (organik dan konvensional) dalam
satu musim. Selain itu, petani juga tidak dapat mengingat biaya input produksi
usahataninya secara detail maupun harga hasil panen mereka per kilogram
beberapa tahun yang lalu, saat pertanian organik belum diadposi oleh petani.
5.1. Analisis Tingkat
Konvensional
Input
dan
Output
Usahatani
Organik
dan
73
musim, berikut ini disajikan tabel perbandingan input dan output usahatani
organik dan konvensional per rataan luas lahan responden (0,24 ha) per musim
menurut kelompok petani organik dan konvensional, serta tabel perbandingan
input dan output usahatani sebelum dan sesudah organik per rataan luas lahan
responden (0,24 ha) per musim menurut kelompok petani organik di Desa
Ketapang.
Tabel 27. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional
per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan
Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Input dan
Output
Organik
n = 14
Pupuk2
Jenis
Umbul, Menthik
Wangi, Menthik Susu
(kg)
Pupuk kandang (kg)
Pupuk cair (botol)
Pestisida3
Nabati (botol)
Bibit1
HOK4
Tingkat
Produktivitas
(Output)
Rata-rata
6,2
1.001,7
4,3
4,4
Konvensional
n = 65
Jenis
Rata-rata
IR 64, Umbul, Intani,
PP (kg)
Urea (kg)
TSP (kg)
PONSKA (kg)
Matador, Hamador,
dan lain-lain (botol)
51
Gabah basah (kg)
1.814,3
6,3
120,4
71,8
68,6
5,7
49,1
1856,1
74
Tabel 28. Perbandingan Input dan Output Usahatani Sebelum dan Sesudah
Organik per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik,
Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Sebelum Organik
n = 14
Input dan
Output
Bibit1
Jenis
IR 64 (kg)
Pupuk2
Pestisida3
Urea (kg)
TSP (kg)
KCL (kg)
Matador, Hamador,
dan lain-lain (botol)
HOK
Tingkat
Produktivitas
(Output)
Sesudah Organik
n = 14
Rata-rata
7,5
122,9
66,3
19,5
3,3
Ratarata
Jenis
Umbul, Menthik Wangi,
Menthik Susu (kg)
Pupuk kandang (kg)
Pupuk cair (botol)
6,2
1.001,7
4,3
Nabati (botol)
4,4
50,5
Gabah Basah (kg)
1.904,6
51
Gabah Basah (kg)
1.814,3
Input produksi usaha tani yang dibandingkan pada sistem pertanian organik dan
konvensional, meliputi: penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida dan HOK (Hari
Orang Kerja). Tingkat produktivitas usahatani bisa diketahui melalui produksi
gabah basah per musim dalam satuan kilogram. Berdasarkan Tabel 27, diketahui
bahwa terdapat perbedaan input produksi antara usahatani organik dan
konvensional, baik dalam hal jumlah maupun jenis input yang digunakan, seperti:
jenis bibit padi, jenis pupuk dan jenis pestisida. Jenis bibit padi yang digunakan
pada usahatani organik adalah: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras
Merah. Semua bibit padi tersebut merupakan varietas lokal yang sangat
dianjurkan dalam praktik pertanian organik. Jenis bibit padi yang digunakan pada
usahatani konvensional secara umum adalah: IR 64, Umbul, Intani dan PP.
Jumlah rata-rata bibit padi yang digunakan pada usahatani organik dan
konvensional per 0,24 ha per musim tidak jauh berbeda. Petani organik rata-rata
menggunakan bibit padi sebanyak 6,2 kg di luar penggunaan bibit Beras Merah
yang tidak dihitung ke dalam Tabel 27 karena hanya satu responden yang
75
menggunakan bibit tersebut setiap musim secara rutin. Sementara itu, petani
konvensional rata-rata menggunakan bibit padi sebanyak 6,3 kg. Selisih jumlah
penggunaan rata-rata bibit padi antara kedua kelompok responden hanya 0,1 kg.
Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani organik adalah pupuk kandang;
pupuk cair yang biasanya merupakan hasil fermentasi urine sapi, kelinci, manusia,
atau bahkan bahan-bahan nabati; pupuk kompos dan Bioton. Sistem pertanian
organik tidak mengizinkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetik sedikitpun.
Oleh karena itu, tidak ada input pupuk kimia sintetik dalam sistem usahatani ini.
Sebaliknya, sistem usahatani konvensional menggunakan pupuk kimia sintetik
untuk mempercepat proses pertumbuhan tanaman padi. Pupuk kimia sintetik yang
umumnya digunakan dalam usahatani konvensional, antara lain: Urea, TSP dan
PONSKA. Pupuk kimia sintetik lainnya yang juga digunakan dalam usahatani
konvensional adalah KCL dan NPK meskipun jarang digunakan oleh responden
kontrol penelitian ini.
Jumlah penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani organik dan
konvensional per 0,24 ha per musim relatif berbeda berdasarkan masing-masing
jenis pupuk yang digunakan. Petani organik menggunakan pupuk kandang hingga
1.001,7 kg dan pupuk cair sebanyak 4,3 botol setiap musimnya. Selain itu,
adapula petani organik yang menggunakan pupuk kompos dan Bioton dengan
jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol setiap musimnya. Jumlah
penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton per 0,24 ha per musim tersebut,
tidak dimasukkan dalam perhitungan Tabel 27 karena hanya digunakan oleh satu
orang petani organik. Jumlah pupuk yang digunakan dalam usahatani
konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani konvensional,
adalah sebagai berikut: pupuk Urea 120,4 kg, pupuk TSP 71,8 kg, pupuk
PONSKA 68,6 kg. Selain itu, ada penggunaan jenis pupuk kimia sintetik lainnya,
yaitu KCLdan NPK yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan Tabel 27
karena hanya digunakan oleh dua orang petani konvensional dengan jumlah
masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg.
Jenis dan jumlah pestisida yang digunakan dalam usahatani organik dan
konvensional juga sangat berbeda. Praktik pertanian organik hanya menggunakan
pestisida organik berupa pestisida nabati yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan
76
alami. Jumlah rata-rata pestisida nabati yang digunakan oleh petani organik per
0,24 ha per musim berdasarkan hasil penelitian ini adalah 4,4 botol. Praktik
pertanian konvensional membutuhkan jenis pestisida kimia sintetik dengan jumlah
tertentu berdasarkan penggunaan petani per musim. Jenis pestisida kimia sintetik
yang paling banyak digunakan oleh petani konvensional adalah Hamador,
Matador dan Regent. Selain itu, ada beberapa jenis pestisida kimia sintetik lainnya
yang hanya digunakan oleh sebagian kecil petani, yaitu: Gandasil B, Kape Laut,
Konfider, SPONTAN, Herbafarm, Decis dan T-Mec. Jumlah penggunaan rata-rata
semua jenis pupuk kimia sintetik pada usahatani konvensional per 0,24 ha per
musim menurut kelompok petani konvensional adalah 5,7 botol.
Hari Orang Kerja (HOK) rata-rata per 0,24 ha per musim sebagaimana
yang ditunjukkan dalam Tabel 27, terlihat berbeda antara sistem pertanian organik
dan konvensional. Usahatani organik menghabiskan HOK rata-rata sekitar 51
hari, sedangkan usahatani konvensional HOK rata-ratanya adalah 49,1 hari. HOK
Rata-rata tersebut didapatkan dari hasil perhitungan total biaya tenaga kerja dibagi
upah rata-rata harian petani yang umumnya sebesar Rp. 12.500,00. HOK rata-rata
pada pertanian organik ternyata lebih besar daripada pertanian konvensional dan
oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertanian organik membutuhkan tenaga
kerja atau waktu kerja yang lebih besar dibandingkan pertanian konvensional.
Setelah mengetahui perbandingan jenis dan jumlah penggunaan rata-rata input
pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim menurut
kelompok petani organik dan konvensional, maka perlu juga mengetahui
perbandingan tingkat produktivitas rata-rata pertanian organik dan konvensional
per 0,24 ha per musim dengan basis hitungan hasil panen gabah basah dalam
satuan kilogram.
Sistem pertanian organik mampu menghasilkan 1.814,3 kg gabah basah,
sedangkan sistem pertanian konvensional mampu menghasilkan gabah basah
sebesar 1.856,1 kg (Tabel 27). Berdasarkan rata-rata hasil panen tersebut, dapat
dinyatakan bahwa tingkat produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah
dibandingkan pertanian konvensional. Meskipun demikian, selisih tingkat
produktivitas antara pertanian organik dan konvensional sangat tipis, sehingga
baik pertanian organik maupun konvensional memiliki kemampuan yang hampir
77
78
oleh petani setelah bertani organik adalah pupuk kandang, pupuk cair, pupuk
kompos dan Bioton dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim
sebesar: 1.001,7 kg pupuk kandang, 4,3 botol pupuk cair, 734,9 kg pupuk kompos
dan 0,9 botol Bioton. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton
tidak dicantumkan ke dalam Tabel 28 karena hanya digunakan oleh satu orang
responden eksperimen.
Jenis pestisida yang digunakan pada usahatani sebelum dan sesudah
organik relatif berbeda. Ada beberapa jenis atau merek pestisida kimia sintetik
yang digunakan oleh petani sebelum mereka bertani organik. Sementara itu,
usahatani sesudah organik tidak menggunakan pestisida kimia sintetik sama sekali
tetapi menggunakan pestisida organik. Jenis pestisida kimia sintetik yang paling
banyak digunakan oleh petani sebelum menjalankan usahatani organik adalah
Matador dan Hamador. Selain itu, ada beberapa merek pestisida kimia sintetik
lainnya yang juga digunakan oleh para petani sebelum bertani organik, seperti:
Gandasil B, Gandasil Bubuk, Nakodan dan Regent. Jumlah penggunaan rata-rata
semua jenis pestisida tersebut per 0,24 ha per musim menurut responden
eksperimen adalah 3,3 botol. Setelah menjalankan usahatani organik, para petani
kemudian meninggalkan penggunaan pestisida kimia sintetik, lalu menggantinya
dengan pestisida nabati yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan alami. Jumlah
penggunaan rata-rata pestisida nabati oleh petani organik per 0,24 ha per musim
adalah 4,4 botol dan jumlah ini lebih banyak daripada jumlah penggunaan
pestisida kimia sintetik sebelum mereka bertani organik.
Perbedaan Hari Orang Kerja (HOK) juga terlihat antara sistem usahatani
sebelum dan sesudah organik sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 28.
Sistem usahatani sesudah organik ternyata menghabiskan HOK rata-rata lebih
banyak, yaitu 51 hari daripada sistem usahatani sebelum organik yang
menghabiskan HOK rata-rata sebesar 50,5 hari per 0,24 ha per musim. Selain
perbedaan jenis dan tingkat penggunaan input, sistem pertanian organik dan
konvensional ternyata memiliki perbedaan tingkat produktivitas (output).
Perbandingan tingkat produktivitas pertanian antara sistem usahatani sebelum dan
sesudah organik dalam penelitian ini, dinilai dari kemampuan masing-masing
79
sistem usahatani untuk menghasilkan panen rata-rata dalam bentuk gabah basah
per 0,24 ha per musim dengan satuan kilogram.
Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa sistem usahatani sebelum organik
mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.904,6 kg, sedangkan sistem
usahatani sesudah organik menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.814,3 kg.
Dengan demikian, sistem usahatani sesudah organik terbukti memiliki
produktivitas lebih rendah dibandingkan sistem usahatani sebelum organik.
Meskipun demikian, nilai ekonomi produk organik dihargai lebih tinggi oleh para
petani dan konsumen daripada produk non organik, sehingga berpengaruh
terhadap penerimaan usahatani per musim. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan
salah satu informan penelitian, sebagai berikut:
80
konvensional per 0,24 ha per musim dan demikian pula dengan nilai B/C Rasio
pada usahatani organik yang lebih tinggi daripada konvensional. Suatu bisnis atau
sistem usahatani dikategorikan layak jika nilai B/C Rasionya lebih besar dari 1.
Sebaliknya, jika nilai B/C Rasio suatu usahatani lebih kecil dari 1, maka usahatani
tersebut tidak layak secara ekonomi.
Biaya input produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah
total biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses produksi dalam sistem
usahatani, meliputi: biaya penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida, biaya tenaga
kerja dan upah panen. Penerimaan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah jumlah total hasil panen rata-rata gabah basah dalam satuan kilogram per
0,24 ha per musim kali harga jual gabah basah per kilogram, yaitu Rp. 2.700,00
dan dikurangi upah panen yang besarnya 1/5 dari jumlah total hasil panen gabah
basah dalam satuan rupiah. Nilai keuntungan rata-rata usahatani per 0,24 ha per
musim, baru dapat dihitung setelah nilai input produksi dan penerimaan usahatani
diketahui karena keuntungan usahatani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
hasil pengurangan antara penerimaan usahatani dengan biaya input produksi.
Sementara itu, nilai B/C Rasio yang dijadikan sebagai acuan kelayakan usahatani
merupakan rasio atau hasil bagi antara keuntungan (benefit) dengan biaya input
produksi (cost). Analisis finansial usahatani organik dan konvensional menurut
dua kelompok responden (petani organik dan konvensional) dan menurut satu
kelompok responden (petani organik) di Desa Ketapang, selengkapnya disajikan
dalam Tabel 29 dan Tabel 30.
81
Konvensional (Rp)
n = 14
n =65
Input Produksi:
1. Bibit1
44.455
2. Pupuk2
36.465,6
371.937,5
3.151,3
51.090,6
2.161.122,2
1.616.434,5
2.245.194
2.067.851,5
6.096.150,6
4.009.191,4
3.850.956,5
1.941.339,9
1,7
0,9
3. Pestisida
4. Tenaga Kerja dan Upah
Panen3
Total Biaya Input Produksi
Penerimaan Usahatani
Keuntungan
B/C Rasio
28.388,8
Input Produksi:
1. Bibit1
2. Pupuk
n = 14
n = 14
37.721,1
3. Pestisida
4. Tenaga Kerja dan Upah
Panen3
Total Biaya Input Produksi
Penerimaan Usahatani
Keuntungan
B/C Rasio
44.455
393.217,8
36.465,6
47.463
3.151,3
1.659.626,9
2.161.122,2
2.138.028,8
2.245.194
4.113.909,7
6.096.150,6
1.975.880,9
3.850.956,5
0.9
1.7
82
83
pada jenis atau merek pestisida, sedangkan pestisida nabati seringkali tidak
membutuhkan biaya dan jika memang petani terpaksa harus membelinya,
harganya hanya Rp. 5.000,00 per botol.
Biaya tenaga kerja dan upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada
usahatani organik mencapai Rp. 2.161.122,20 sedangkan biaya tenaga kerja dan
upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani konvensional adalah
Rp. 1.616.434,50 (Tabel 29). Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pertanian organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen lebih
besar daripada pertanian konvensional. Hal ini berbanding lurus dengan HOK
yang dihabiskan pada masing-masing sistem usahatani seperti yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Secara keseluruhan, total biaya input
produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani organik dan konvensional
masing-masing adalah Rp. 2.245.194,00 dan Rp. 2.067.851,50. Usahatani organik
ternyata menghabiskan biaya input produksi lebih tinggi daripada usahatani
konvensional.
Penjelasan mengenai mengapa biaya input produksi pada usahatani
organik lebih tinggi daripada usahatani konvensional adalah karena usahatani
organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih tinggi
daripada usahatani konvensional. Selisih biaya tenaga kerja dan upah panen antara
usahatani organik dan konvensional cukup besar. Hal ini salah satunya disebabkan
oleh tingginya harga jual gabah basah organik per kilogram dibandingkan gabah
basah non organik yang kemudian mempengaruhi besarnya upah panen dalam
satuan rupiah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, upah panen dihitung 1/5
dari total panen rata-rata gabah basah per 0,24 ha per musim. Meskipun terdapat
perbedaan total biaya input rata-rata antara usahatani organik dan konvensional,
namun jenis biaya input produksi yang paling tinggi dalam kedua sistem usahatani
adalah sama, yaitu terletak pada biaya tenaga kerja dan upah panen.
Penulis menggunakan beberapa asumsi dalam penelitian ini untuk
mengetahui penerimaan usahatani rata-rata responden per 0,24 ha per musim
secara mudah. Selain itu, hal ini juga untuk mempermudah perhitungan
keuntungan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim. Beberapa asumsi tersebut,
adalah:
84
1)
2)
Penulis menggunakan acuan harga jual padi organik dan konvensional dalam
bentuk gabah basah per kilogram yang berlaku saat ini, karena tidak banyak
petani yang bisa mengingat harga jual padi beberapa tahun lalu.
Penerimaan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim menunjukkan
konvensional
menghasilkan
penerimaan
rata-rata
sebesar
Rp.
Konvensional
Gabah Basah
4.200,00
2.700,00
Gabah Kering
4.500,00
4.000,00
7.200,00 - 9.000,00
5.000,00 - 6.500,00
Beras
Sumber: Data Primer
85
86
bibit padi lebih besar pada saat petani menjalankan pertanian organik karena
seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial sebelumnya, pertanian organik
mengharuskan penggunaan bibit padi varietas lokal yang harganya lebih mahal
dibandingkan bibit padi varietas hibrida yang biasanya digunakan dalam sistem
pertanian konvensional. Biaya penggunaan rata-rata pupuk per 0,24 ha per musim
pada usahatani sebelum organik, jauh lebih tinggi daripada sesudah organik.
Biaya tersebut mencapai Rp. 393.217,80 dan berbeda jauh dengan biaya
penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani sesudah organik yang hanya sebesar
Rp. 36.465,60. Para petani harus membeli pupuk kimia sintetik yang harganya
relatif mahal pada saat sebelum bertani organik. Namun, biaya penggunaan pupuk
akhirnya dapat ditekan sesudah petani menjalankan praktik pertanian organik
karena pertanian organik hanya memanfaatkan sumber daya pupuk yang langsung
berasal dari limbah-limbah organik.
Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim
pada
usahatani sebelum dan sesudah organik masing-masing adalah Rp. 47.463,00 dan
Rp. 3.151,30. Hal ini berarti, usahatani sebelum organik mengeluarkan biaya lebih
tinggi untuk penggunaan pestisida daripada usahatani sesudah organik. Pada saat
sebelum bertani organik, para petani menggunakan pestisida kimia sintetik yang
harganya relatif mahal, yaitu berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 25.000,00
per botol tergantung jenis atau merek pestisida. Namun, setelah para petani
mengadopsi
praktik
pertanian
organik,
mereka
secara
perlahan-lahan
87
tercantum dalam Tabel 30 secara berurutan adalah Rp. 4.113.909,70 dan Rp.
6.096.150,60. Penerimaan rata-rata usahatani sesudah organik ternyata lebihbesar
daripada sebelum organik. Hal ini sama dengan yang terjadi pada perbandingan
penerimaan rata-rata usahatani organik dan konvensional antara kedua kelompok
responden (kontrol dan eksperimen).
Nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik per 0,24 ha per
musim juga lebih tinggi dibandingkan sebelum organik. Para petani biasanya
mendapatkan keuntungan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar Rp.
1.975.880,90 sebelum bertani organik dan jumlah keuntungan rata-tersebut
meningkat menjadi Rp. 3.850.956,50 setelah mereka bertani organik. Setelah
mengetahui nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik yang lebih tinggi
daripada sebelum organik, maka sudah dapat dikatakan bahwa usahatani sesudah
organik lebih unggul secara ekonomi daripada usahatani sebelum organik
(usahatani konvensional). Hal ini diperkuat oleh nilai B/C Rasio sebesar 1,7 pada
usahatani sesudah organik yang berarti, usahatani tersebut layak secara ekonomi.
Sebaliknya, nilai B/C Rasio pada usahatani sebelum organik hanya 0,9 yang
berarti usahatani tersebut tidak layak secara ekonomi, karena suatu bisnis bisa
disebut layak jika nilai B/C Rasio lebih besar dari 1.
5.3. Analisis Akses Pasar Usahatani Organik dan Konvensional
Pengertian akses pasar dalam penelitian ini adalah kemampuan atau
peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada
konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan
konsumen. Akses pasar dinilai dari jumlah dan kemudahan saluran distribusi yang
bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani.
Dengan demikian, akses pasar suatu sistem usahatani bisa dikatakan tinggi jika
semakin banyak peluang pasar dan saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh
petani. Selain itu, petani juga merasa leluasa dalam menjual produknya kepada
siapa saja, di mana saja, dengan posisi tawar yang lebih tinggi. Sebaliknya, akses
pasar dikatakan rendah jika petani menghadapi keterbatasan peluang pasar dan
saluran distribusi atas produk pertanian mereka; serta tidak memiliki posisi tawar
atau bargaining position yang tinggi atas produk pertanian mereka di hadapan
konsumen sehingga petani tidak berdaya.
88
89
90
dari 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara keuntungan
rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik. Berdasarkan Tabel 30 dan hasil
olahan data melalui SPSS 17 for Windows (lampiran), dapat pula diketahui bahwa
keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik lebih tinggi daripadasebelum
organik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa praktik pertanian organik
berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani yang
dapat dilihat dari peningkatan keuntungan usahatani setelah para petani bertani
organik. Jadi, hipotesis pertama dari penelitian ini diterima.
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
yang telah terbukti positif, ternyata menjadi alasan utama para petani untuk
beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik. Alasan kedua para
petani mau bertani organik selain karena aspek ekonomi, adalah aspek ekologi.
Semua responden eksperimen dalam penelitian ini menyatakan bahwa praktik
pertanian organik berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekologi. Hal ini
dapat dilihat dari perubahan tekstur tanah yang semakin gembur dan tingkat
kesuburan tanah yang semakin tinggi setelah bertani organik. Selain itu, kualitas
produk pertanian organik ternyata lebih baik daripada kualitas produk pertanian
konvensional, misalnya: beras organik terbukti lebih tahan lama dan rasanya lebih
enak dengan kandungan nutrisi lebih tinggi daripada beras konvensional.
Keuntungan praktik pertanian organik secara ekonomi dan ekologi inilah yang
membuat para petani organik masih bertahan untuk terus melanjutkan praktik
pertanian organik di Desa Ketapang, meskipun tidak banyak petani yang
mengadopsinya. Fakta tersebut diperkuat oleh pernyataan salah satu informan
penelitian berinisial Bsr (laki-laki, 61 tahun), sebagai berikut:
91
BAB VI
ANALISIS KOMPLEKSITAS PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DAN KONVENSIONAL MENURUT PERSEPSI
PETANI
Praktik pertanian organik secara umum, tidak jauh berbeda dengan praktik
pertanian konvensional. Namun, ada beberapa variabel yang menjadi perhatian
utama apakah sistem pertanian tersebut dikategorikan sebagai pertanian organik
atau bukan, yaitu:
1)
Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik
tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama 3 tahun.
2)
3)
4)
5)
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional.
Beberapa variabel di atas merupakan variabel sensitif yang telah banyak
disyaratkan dalam pertanian organik dan telah dilaksanakan oleh para petani
organik di Desa Ketapang. Sementara itu, praktik pertanian konvensional
merupakan kebalikan dari praktik pertanian organik. Jadi, beberapa variabel
sensitif dari praktik pertanian konvensional yang dapat dibandingkan tingkat
kompleksitasnya dengan praktik pertanian organik, antara lain:
1)
Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap
diberikan input bahan-bahan kimia sintetik.
2)
3)
4)
5)
Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya.
Praktik pertanian organik harus saling terintegrasi antara satu dengan
lainnya selama proses bertani dalam satu musim. Praktik ini dimulai dari
penyiapan lahan sebelum padi ditanam hingga pasca panen, yang meliputi:
93
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
94
harus terbebas dari bahan kimia sintetik. Oleh karena itu, penyemprotan
pestisida sintetik di dalam gudang atau tempat penggilingan, dilarang keras.
10) Penggilingan padi yang dilakukan jika petani ingin menjual hasil panennya
dalam bentuk beras.
11) Pengemasan padi dalam bentuk beras yang biasanya dilakukan di sekretariat
Paguyuban Petani Al-Barokah. Pengemasan ini bertujuan untuk menambah
nilai jual beras organik kepada konsumen. Pengemasan juga harus dilakukan
secara hati-hati agar tidak tercemar bahan-bahan kimia sintetik.
Semua proses bertani dalam sistem usahatani organik yang telah
disebutkan di atas, sebenarnya sama dengan proses bertani dalam sistem usahatani
konvensional. Namun, praktik pertanian organik membutuhkan ketelitian dan
kerja keras yang lebih besar daripada praktik pertanian konvensional untuk
menjaga agar lahan pertanian dan lingkungan sekitar sistem usahatani tersebut,
tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia sintetik. Selain itu, masa panen pertanian
organik juga lebih lama daripada pertanian konvensional. Hal ini terjadi karena
menurut penuturan salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki, 55
tahun), pertanian organik mensyaratkan penggunaan bibit padi varietas lokal yang
masa berbuahnya lebih lama daripada bibit padi hibrida. Selisih masa panen
antara pertanian organik dengan konvensional adalah lima belas hari dan dalam
waktu dua tahun, pertanian organik mampu panen sebanyak lima kali, sedangkan
pertanian konvensional dalam waktu dua tahun bisa panen lebih dari lima kali.
Pola tanam dalam sistem pertanian organik sama dengan pola tanam dalam
sistem pertanian konvensional. Petani tidak merasakan perbedaan yang nyata
mengenai pola tanam antara sebelum dan sesudah bertani organik. Tanaman
budidaya yang ditanam sepanjang tahun oleh petani adalah padi sawah, kecuali
beberapa petani yang memiliki lahan kering. Petani yang memiliki lahan kering,
biasanya menanam tanaman palawija atau kacang-kacangan selain padi (Tabel
26). Beberapa tahun yang lalu, ketika musim hujan dan kemarau masih bisa
diprediksi, mayoritas petani mulai bercocok tanam pada bulan Maret hingga masa
panen tiba pada bulan Juni dan seterusnya. Suatu sistem usahatani konvensional
membutuhkan waktu sekitar 105 hari untuk menghasilkan panen padi dalam satu
musim. Sistem usahatani organik pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 120
95
hari (15 hari lebih lama) untuk menghasilkan panen padi dalam satu musim. Saat
ini, petani sudah tidak mampu memprediksi kapan datangnya musim hujan atau
kemarau akibat anomali iklim, sehingga mereka mulai bercocok tanam pada bulan
apapun. Jadi, tidak ada lagi ketentuan khusus mengenai kapan petani harus mulai
bercocok tanam hingga panen.
Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut
persepsi petani dilakukan untuk mengetahui perbandingan tingkat kompleksitas
dari kedua praktik pertanian tersebut. Analisis ini diperoleh setelah petani menilai
sendiri sampai sejauh mana tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik
pertanian organik dan konvensional yang telah disebutkan pada paragraf
sebelumnya berdasarkan persepsi mereka. Semua responden sama-sama diminta
untuk membandingkan tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik
pertanian organik dan konvensional dengan kategori nilai yang telah ditentukan
oleh penulis (Tabel 6). Data hasil penilaian tersebut, selanjutnya diolah dan
dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows melalui uji
Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengolahan dan analisis data kemudian menjadi dasar
diterima tidaknya hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa
tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara
signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani.
Hipotesis penelitian akan ditolak jika nilai signifikansi semua variabel
praktik pertanian yang dinilai oleh petani mayoritas lebih besar dari 0,05 dan nilai
rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian organik mayoritas lebih kecil
daripada nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian konvensional.
Sebaliknya, hipotesis penelitian akan diterima jika nilai signifikansi semua
variabel praktik pertanian yang dinilai oleh petani mayoritas lebih kecil dari 0,05
dan nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian organik mayoritas lebih
besar daripada nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian konvensional.
Penjelasan lebih lengkap mengenai hasil analisis kompleksitas praktik pertanian
organik dan konvensional menurut persepsi petani, dijelaskan dalam sub bab
tersendiri berdasarkan kelompok responden (eksperimen dan kontrol).
96
97
Nilai Signifikansi
n = 14
v1
0,000
v2
0,334
v3
0,905
v4
0,905
v5
0,000
Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui bahwa variabel 1 (v1) dan variabel
5 (v5) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, yaitu 0,000. Hal ini berarti,
terdapat perbedaan nyata antara tingkat kompleksitas praktik pertanian organik
dan konvensional dalam hal praktik dan masa konversi lahan dari non organik
menjadi organik (variabel 1) serta praktik pemisahan lahan dan sumber irigasi
pertanian organik dari pertanian konvensional (variabel 5). Fakta tersebut
diperkuat oleh Gambar 2 yang menunjukkan lebih besarnya nilai mean tingkat
kompleksitas variabel 1 dan variabel 5 praktik pertanian organik dibandingkan
praktik pertanian konvensional. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat
kompleksitas praktik pertanian organik terbukti lebih tinggi secara signifikan
98
Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik
tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama 3 tahun (variabel 1) dinilai
membutuhkan waktu yang sangat lama dan cenderung lebih sulit dilakukan
daripada praktik pengolahan lahan pada pertanian konvensional. Jadi, petani
99
harus sabar menunggu hingga lahan pertanian dan hasil panennya bisa
disebut organik. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima
berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 1.
2)
Menggunakan pupuk organik (variabel 2) dinilai tidak sulit oleh para petani
organik karena mereka sudah terbiasa membuat pupuk organik sendiri dan
ketersediaan pupuk organik juga sangat melimpah di lingkungan sekitar
mereka. Hal terpenting bagi petani organik adalah ulet dan sabar karena
pupuk organik berbeda dengan pupuk kimia sintetik yang sudah siap pakai.
Oleh karena itu, petani organik menganggap bahwa praktik menggunakan
pupuk organik tidak lebih sulit dari praktik menggunakan pupuk kimia
sintetik. Jadi, hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat
kompleksitas variabel 2.
3)
Menggunakan bibit padi varietas lokal (variabel 3) dinilai mudah dan tidak
ada perbedaan tingkat kompleksitas jika dibandingkan dengan praktik
menggunakan bibit padi varietas hibrida pada pertanian konvensional. Hal ini
disebabkan karena harga bibit padi varietas lokal hampir sama dengan
varietas hibrida. Kalaupun harganya berbeda, selisih harga antara bibit padi
varietas lokal dan hibrida tidak besar. Selain itu, secara teknis penanaman
bibit padi varietas lokal sama dengan varietas hibrida. Oleh karena itu,
hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat kompleksitas
variabel 3.
4)
5)
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional (variabel 5) dinilai lebih sulit daripada lahan dan
100
sumber air irigasi untuk pertanian konvensional yang tidak harus dipisahkan
dengan sistem pertanian lainnya. Petani mengaku kesulitan untuk
menghindari pencemaran bahan kimia sintetik dari lahan maupun sumber air
irigasi di sekitar mereka karena terlalu banyak lahan-lahan pertanian dan
sumber air irigasi untuk pertanian konvensional. Jadi, pertanian organik
membutuhkan perlakuan yang sangat hati-hati dan harus terisolasi dari
pencemaran bahan-bahan kimia sintetik, sehingga hipotesis kedua dari
penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 5.
Penolakan atas hipotesis kedua dari penelitian ini yang diuji pada kelompok
petani organik diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian, seperti di
bawah ini:
101
102
responden kontrol. Selisih nilai mean terbesar antara praktik pertanian organik
dan konvensional, berada pada variabel 1 dan variabel 5. Jadi, variabel 1 dan
variabel 5 dianggap oleh petani sebagai variabel praktik pertanian organik yang
tingkat kompleksitasnya paling tinggi dibandingkan variabel lainnya. Meskipun
demikian, fakta ini masih belum dapat membuktikan kebenaran hipotesis
penelitian kedua karena harus melihat nilai signifikansi tingkat kompleksitas
masing-masing variabel praktik pertanian terlebih dahulu, seperti yang tercantum
di dalam Tabel 33.
Tabel 33. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel
Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Konvensional, Desa
Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Variabel Praktik Pertanian
Nilai Signifikansi
n = 14
v1
0,000
v2
0,000
v3
0,000
v4
0,000
v5
0,000
103
Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik
tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama 3 tahun (variabel 1) dinilai
membutuhkan waktu yang sangat lama dan cenderung lebih sulit dilakukan
daripada praktik pengolahan lahan pada pertanian konvensional. Jadi, petani
harus sabar menunggu hingga lahan pertanian dan hasil panennya bisa
disebut
organik.
Sebaliknya,
praktik
pertanian
konvensional
tidak
mensyaratkan adanya perlakuan terhadap lahan seperti ini. Oleh karena itu,
hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas
variabel 1.
2)
3)
104
lebih sulit daripada varietas hibrida karena harga bibit padi varietas lokal
lebih mahal dibandingkan dengan varietas hibrida. Harga satu kilogram bibit
padi varietas lokal bisa mencapai Rp. 6.000,00, sedangkan harga bibit padi
varietas hibrida per kilogramnya adalah Rp. 5.000,00. Oleh karena itu,
hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas
variabel 3.
4)
5)
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional (variabel 5) dinilai lebih sulit daripada lahan dan
sumber air irigasi untuk pertanian konvensional yang tidak harus dipisahkan
dengan sistem pertanian lainnya. Petani mengaku kesulitan untuk
menghindari pencemaran bahan kimia sintetik dari lahan maupun sumber air
irigasi di sekitar mereka karena terlalu banyak lahan-lahan pertanian
konvensional. Hal ini akan lebih sulit lagi jika jarak sumber air irigasi sangat
jauh dari sawah petani. Jadi, pertanian organik membutuhkan perlakuan yang
sangat hati-hati dan harus terisolasi dari pencemaran bahan-bahan kimia
sintetik, sehingga hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan
tingkat kompleksitas variabel 5.
Kebenaran atas hipotesis kedua dari penelitian ini, diperkuat oleh pernyataan salah
satu responden penelitian, seperti di bawah ini:
Saya nggak bertani organik soalnya lebih susah dibandingkan
pertanian yang biasa. Bertani organik itu butuh tenaga lebih besar.
Saya sudah ndak ada tenaga untuk ngangkut pupuk rabuk ke sawah
yang kadang jalannya becek, mboten saget dilewati kendaraan
niku lo. Dadi ngge males Mas kulo. (Suy, perempuan, 55 tahun).
BAB VII
ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN
ORGANIK DI KALANGAN PETANI
Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani dapat dianalisis
menurut aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktiknya. Berdasarkan hasil
pembahasan Bab V, telah terbukti bahwa praktik pertanian organik berpengaruh
positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Selain aspek ekonomi,
keberlanjutan praktik pertanian organik juga didukung oleh potensi pertanian
lokal atau ketersediaan sumber daya alam yang memungkinkan petani untuk
bertani organik. Desa Ketapang masih memiliki lahan pertanian yang luas (Tabel
8) dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya sebagai petani (Tabel 11),
sehingga masih ada kemungkinan untuk terus mengembangkan praktik pertanian
organik di desa ini. Ketersediaan pupuk kandang juga cukup besar di Desa
Ketapang yang terbukti dari tingginya kepemilikan hewan ternak di kalangan
petani (Tabel 24). Para petani di Desa Ketapang, sebagian besar sudah
menggunakan kombinasi antara pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk kimia
sintetik, meskipun masih belum bisa bertani organik secara penuh. Mereka
menyebut dirinya sebagai petani semi organik.
Pengaruh positif praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan
ekonomi petani dan besarnya potensi sumber daya alam yang mendukung praktik
pertanian organik di Desa Ketapang, seharusnya bisa membuat pertanian organik
lebih berkembang di kalangan petani. Namun, tidak demikian kenyataannya.
Praktik pertanian organik justru cenderung dihindari oleh para petani di Desa
Ketapang. Hal ini terlihat dari lebih banyaknya jumlah petani konvensional
daripada jumlah petani organik di Desa ini. Perbandingan jumlah responden
kontrol dengan responden eksperimen yang cukup jauh (65:14) dalam penelitian
ini sudah membuktikan bahwa praktik pertanian organik kurang berkembang.
Alasan utama mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh
petani di Desa Ketapang, adalah karena praktik pertanian organik tingkat
kompleksitasnya lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional menurut
persepsi petani khususnya kelompok petani konvensional. Hal ini sudah
106
107
Status petani seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV adalah status
kepemilikan petani terhadap lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian,
terdapat tiga jenis status petani atas kepemilikan lahan pertanian, yaitu: petani
pemilik lahan, petani penggarap atau buruh tani dan petani berstatus ganda
(pemilik dan penggarap). Berdasarkan Tabel 23, ada 21,4 persen petani organik
yang berstatus sebagai petani penggarap, sehingga 78,6 persen sisanya dari jumlah
total responden eksperimen adalah petani organik yang memiliki lahan sendiri.
Hal ini berbeda dengan persentase jumlah petani konvensional yang berstatus
sebagai petani penggarap, yaitu sebesar 40 persen, sehingga ada 60 persen petani
konvensional yang memiliki lahan pertanian sendiri dari jumlah total responden
kontrol.
Persentase kepemilikan lahan pertanian yang lebih tinggi pada kelompok
petani organik daripada kelompok petani konvensional, menjadi salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi pertanian organik. Petani pemilik lahan
cenderung lebih mudah mengadopsi pertanian organik dibandingkan petani
penggarap karena resiko atas kegagalan atau periode panen yang lebih lama pada
usahatani, bisa ditanggung sendiri tanpa merugikan pihak lain. Sebaliknya, petani
penggarap jarang mau mengambil resiko atas kegagalan usahatani atau jarang
mau bekerja keras mengkonversi lahan non organik menjadi organik karena
merasa lahan pertanian tersebut bukan miliknya. Petani penggarap sebagian besar
mengejar target panen yang diberikan oleh pemilik lahan. Mereka akan berusaha
semaksimal mungkin untuk dapat menghasilkan panen sebanyak-banyaknya
dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah
satu cara termudah yang bisa dilakukan oleh petani penggarap adalah bertani
konvensional, karena sistem pertanian organik membutuhkan waktu panen lebih
lama dan tingkat produktivitasnya pun lebih rendah daripada sistem pertanian
konvensional, apalagi pada masa-masa awal bertani organik.
Praktik pertanian organik yang mensyaratkan penggunaan pupuk organik,
seperti pupuk kandang dan pupuk cair dari urine hewan ternak, membuat
keberadaan hewan ternak di lingkungan petani menjadi sangat penting. Oleh
karena itu, tingkat kepemilikan ternak di kalangan petani perlu dianalisis karena
berpengaruh terhadap ketersediaan pupuk organik, sehingga berpengaruh pula
108
109
Pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian
organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional. Padahal, mereka
belum mencoba praktik pertanian organik terlebih dahulu. Para petani sudah
terbiasa bertani secara instan melalui pertanian konvensional dan tidak mau
bersusah payah untuk bertani organik, sehingga ketergantungan mereka
masih tinggi terhadap bantuan pemerintah, khususnya subsidi pupuk kimia
sintetik. Selain itu, rendahnya kesadaran para petani terhadap kelestarian
lingkungan juga sangat menghambat perkembangan pertanian organik di
Desa Ketapang. Salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki,
55 tahun) menambahkan:
Petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau
daun tanaman padi kurang terlihat. Oleh karena itu, banyak petani yang
enggan meninggalkan pertanian konvensional dan terus memupuk tanaman
padinya dengan pupuk kimia sintetik untuk merangsang pertumbuhan
tanaman padi agar warna hijau daunnya terlihat jelas. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah satu responden penelitian sebagai berikut:
110
3)
Praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama. Petani tidak mau
berspekulasi untuk mengadopsi praktik pertanian organik yang secara teknis
lebih sulit, karena tidak ada jaminan bebas hama, khususnya hama tikus yang
dianggap paling berbahaya. Alasan ini diperkuat oleh kesaksian salah satu
responden sebagai berikut:
4)
Penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik. Petani
banyak yang mengeluh mengenai sulitnya proses pengangkutan pupuk
organik ke lahan pertanian, karena pertanian organik membutuhkan asupan
pupuk organik yang sangat banyak. Sementara itu, akses tranportasi menuju
pematang sawah sulit dijangkau petani dengan kondisi jalan yang buruk
(becek, licin). Proses pembuatan pupuk organik juga membutuhkan keuletan
dan waktu tertentu, sehingga tidak jarang petani yang lebih memilih
menggunakan pupuk kimia sintetik. Alasan ini diperkuat oleh pernyataan
salah satu responden penelitian sebagai berikut:
Saya belum bertani organik soale gak kuat Mas tenagane gawe
ngangkut rabuk kandang nang sawah terus belum lagi kalo jalanan
menuju sawah becek atau rusak. Jadi, jalan di sepanjang
pematang itu gak bisa dilewati sepeda utowo kendaraan liyane,
jauh lo Mas! (Sum, perempuan, 55 tahun).
5)
111
nggak punya pupuk kandang dan nggak punya ternak juga. Jadi, mau gimana
lagi. (Mur, perempuan, 70 tahun).
6)
Banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani. Tugas
buruh tani adalah menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan target
hasil panen yang maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Masa panen
pada pertanian organik lebih lama daripada pertanian konvensional. Hal
inilah yang menghambat buruh tani untuk bisa mendapatkan hasil panen
maksimal dalam waktu singkat, karena mereka harus memenuhi target dari
petani pemilik lahan setiap musim. Pernyataan yang sama diutarakan oleh
salah satu responden penelitian, sebagai berikut:
Kebanyakan petani di sini itu kan buruh tani Mas, dan kita harus
memenuhi target panen dari pemilik lahan. Kalau bisa, panen
secepatnya dengan hasil sebanyak-banyaknya, jadi nggak rugi.
Kalau kita berorganik kan lebih lama panennya dan hasil
panennya juga belum tentu sebanyak pertanian yang non organik.
(Muh, laki-laki, 40 tahun).
7)
Sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah
tercemar oleh air irigasi pada lahan pertanian konvensional lainnya. Petani
masih kesulitan memisahkan sumber air irigasi untuk pertanian organik
karena banyaknya lahan pertanian konvensional di sekitarnya. Jadi,
kemungkinan besar air irigasi tercemar oleh bahan-bahan kimia sintetik dari
lahan pertanian konvensional milik tetangga. Salah satu responden penelitian
menambahkan:
8)
112
BAB VIII
PENUTUP
8.1. Kesimpulan
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani
dapat diketahui melalui analisis perbandingan tingkat input dan output serta
finansial
antara
usahatani
organik
dan
konvensional.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis dan jumlah input yang digunakan
pada usahatani organik dan konvensional. Usahatani organik tidak menggunakan
bibit padi varietas hibrida, pupuk kimia sintetik dan pestisida kimia sintetik tetapi
menggunakan bibit padi varietas lokal yang jumlahnya hampir sama dengan
penggunaan bibit padi varietas hibrida; pupuk organik seperti: pupuk kandang
dengan jumlah penggunaan lebih banyak daripada pupuk kimia sintetik, pupuk
cair; pestisida nabati; dan HOK yang lebih banyak daripada usahatani
konvensional.
Usahatani konvensional menggunakan bibit padi varietas hibrida seperti
IR 64 dengan jumlah pemakaian rata-rata sebesar 6,3 kg hingga 7,5 kg per 0,24 ha
per musim dan input-input kimiawi, seperti pupuk kimia sintetik dengan jenis:
Urea, TSP, KCL, PONSKA, SP 36, NPK dan ZA dengan jumlah pemakaian yang
bervariasi untuk masing-masing jenis pupuk (Tabel 27 dan Tabel 28). Selain itu,
usahatani konvensional juga menggunakan pestisida kimia sintetik dengan jumlah
penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar 3,3 botol menurut responden
eksperimen atau 5,7 botol menurut responden kontrol dan jenis yang cukup
bervariasi, seperti: Matador, Hamador, Regent, Decis, SPONTAN, dan lain-lain.
HOK pada usahatani konvensional lebih kecil daripada usahatani organik dengan
selisih sangat tipis.
Tingkat output pertanian organik lebih kecil daripada pertanian
konvensional dilihat dari hasil panen rata-rata gabah basah per musim dengan
selisih output antara kedua sistem usahatani yang sangat tipis. Analisis finansial
usahatani menunjukkan bahwa total biaya input produksi rata-rata pada usahatani
organik lebih besar daripada usahatani konvensional, karena usahatani organik
menghabiskan biaya tenaga kerja kerja dan upah panen yang lebih besar. Kategori
114
biaya input produksi yang paling besar diantara biaya input lainnya pada
usahatani organik dan konvensional terletak pada biaya tenaga kerja dan upah
panen. Meskipun usahatani organik menghabiskan biaya input produksi rata-rata
per musim yang lebih besar daripada usahatani konvensional, tetapi penerimaan
usahatani organik jauh lebih besar daripada usahatani konvensional, sehingga
keuntungan rata-rata usahatani organik per musim pun lebih besar dibandingkan
usahatani konvensional. Lebih besarnya keuntungan rata-rata usahatani organik
dibandingkan usahatani konvensional per musim, membuat nilai B/C Rasio
usahatani organik jauh lebih besar, yaitu 1,7 daripada B/C Rasio pada usahatani
konvensional yang hanya 0,9. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan usahatani konvensional tidak
layak secara ekonomi karena nilai B/C Rasionya kurang dari 1.
Analisis pengaruh praktik pertanian organik terhadap kerberlanjutan
ekonomi petani secara statistik melalui uji Paired Samples T-test dengan
menggunakan program SPSS 17 for Windows dilakukan untuk memperkuat
analisis finansial usahatani. Berdasarkan perhitungan statistik, didapatkan nilai
signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang
berarti, praktik pertanian organik berpengaruh secara signifikan terhadap
keberlanjutan ekonomi petani. Pengaruh tersebut bersifat positif karena nilai
rataan (mean) keuntungan dan B/C Rasio usahatani sesudah organik lebih besar
daripada usahatani sebelum organik. Oleh karena itu, hipotesis pertama penelitian
ini yang menyatakan bahwa paktik pertanian organik diduga berpengaruh positif
secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani diterima.
Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut
kelompok petani organik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
antara tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional. Hal ini
terbukti dari nilai signifikansi hasil uji statistik yang lebih besar dari 0,05 pada
tiga variabel dari lima variabel praktik pertanian. Sementara itu, hanya ada dua
variabel praktik pertanian yang nilai signifikansinya kurang dari 0,05. Oleh karena
itu, hipotesis penelitian kedua yang manyatakan bahwa tingkat kompleksitas
praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik
115
116
2)
3)
117
5)
Solusi atas kendala utama dalam praktik pertanian organik di Desa Ketapang,
misalnya transportasi pupuk organik menuju lahan pertanian, sebaiknya
mulai dibicarakan di tingkat kelompok. Petani sangat mengharapkan
kerjasama
yang
kuat
dalam
bertani
organik
mengingat
tingkat
Pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap pertanian organik perlu
segera diubah dengan frekuensi penyuluhan pertanian yang lebih intensif.
Selain itu, para petani sebaiknya diajak untuk lebih bersabar dalam melewati
masa konversi lahan non organik menjadi organik yang membutuhkan waktu
relatif lama. Usaha meyakinkan petani untuk bertani organik, bisa dilakukan
melalui demonstrasi lahan atau demonstrasi hasil dan bersama-sama
merencanakan strategi, agar fasilitas irigasi untuk pertanian organik yang
higienis dapat dinikmati secara bersama oleh petani.
7)
8)
118
koperasi simpan pinjam usahatani, atau gerai khusus produk organik Desa
Ketapang yang dibuka untuk masyarakat umum (konsumen organik).
9)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Science-Based Organic Farming 2008: Toward Local and Secure
Food Systems. n.p.
Ariesusanty, Lidya. 2009. Statistik Pertanian Organik Indonesia. Bogor: Aliansi
Organis Indonesia.
___ ___ 2008. Statistik Pertanian Organik Indonesia. Bogor: Aliansi Organis
Indonesia.
HDRA-The Organic Organisation. 1998. What is Organic Farming?. United
Kingdom: HDRA Publishing.
Ho, Maewan dan Ching, Lim Li. Gerakan Menuju Dunia Berkelanjutan Bebas
dari Rekayasa Genetik. 2006. n.p: Independent Science Panel.
Indriana, Hana. 2010. Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik.
Tesis. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
IFOAM. 2006. Organic Agriculture Worldwide Directory of IFOAM Member
Organizations and Associates. Jerman: IFOAM.
Lindenlauf, Maria Mller. 2009. Organic Agriculture and Carbon Sequestration.
Roma: Natural Resources Management and Environment Department
Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Mugniesyah, Siti. 2006. Materi Bahan Ajar: Ilmu Penyuluhan (KPM 211).
Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor.
Mulyani, Agus, dan Subagyo. 2003. Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah
Pengembangan ke Depan. Tabloid Sinar Tani. Jakarta: Sinar Tani.
Oudejans & Martono, Edhi (Penerjemah). 2006. Perkembangan Pertanian di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Reijntjes, Haverkort, dan Bayer. 2006. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk
Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta:
Kanisius.
Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur. 1996. Organic Farming, Sustainable
Agriculture Put Into Practice. Jerman: IFOAM.
Salim, Emil. 2003. Sains dan Pembangunan Berkelanjutan. Orasi Ilmiah pada
Peringatan Hari Lingkungan Hidup. Bogor: IPB.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 2006. Metode Penelitian Survay. Jakarta:
LP3ES.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi
10. Jakarta: Djambatan.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
120
LAMPIRAN
122
Lampiran 1. Hasil Uji Paired Samples T-test Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani
Paired Samples Statistics
Mean
Pair 1
Std. Deviation
Sebelum Organik
1975880.879
14
989518.7636
264460.0137
Sesudah Organik
3850956.493
14
1.8509E6
494673.3140
Correlation
Sig.
14
.900
.000
Organik
-1.8751E6
Std. Deviation
1.0522E6
Lower
-2.4826E6
Upper
-1.2676E6
t
-6.668
df
Sig. (2-tailed)
13
.000
123
Lampiran 2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Frequencies
Metode
v1
v2
v3
v4
v5
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
124
Test Statisticsa
v1
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Metode
v2
v3
v4
v5
Absolute
.929
.357
.214
.214
.857
Positive
.000
.071
.000
.000
.000
Negative
-.929
2.457
.000
-.357
.945
.334
-.214
.567
.905
-.214
.567
.905
-.857
2.268
.000
125
Lampiran 3. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi
Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Frequencies
Metode
v1
organik
65
non organik
65
Total
v2
65
non organik
65
65
non organik
65
130
organik
65
non organik
65
Total
v5
130
organik
Total
v4
130
organik
Total
v3
130
organik
65
non organik
65
Total
130
126
Test Statisticsa
v1
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: Metode
v2
v3
v4
v5
Absolute
.985
.723
.600
.600
.938
Positive
.000
.000
.000
.000
.000
Negative
-.985
5.613
.000
-.723
4.122
.000
-.600
3.421
.000
-.600
3.421
.000
-.938
5.350
.000
127
Nama
Alamat
Keterangan
1.
Hasan Basri
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
2.
Hadi suparman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
3.
Samroni
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
4.
Sulimah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
5.
Wasito
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
6.
Suroso
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
7.
Subadi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
8.
Cokro
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
9.
Slamet W
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
10.
Muhdiar
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
11.
Muh parjo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
12.
Salim
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
13.
Matahir
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
14.
Nasiran
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
15.
Romti
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
16.
Towi rejo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
17.
Rusman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
18.
Tukiman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
19.
Jumali
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
20.
Siswanto
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
21.
Riyanto
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
22.
Samsi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
23.
Sugiman
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
24.
Zainuddin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
25.
Tukimin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
26.
Pujo
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
27.
Joko winarno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
28.
Sumardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
29.
Akip
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
30.
Sutiman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
31.
Suparti
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
32.
Sinem
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
33.
Rumini
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
34.
Tuminah
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
35.
Supriyatno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
36.
Daryanto
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
37.
Marsono
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
38.
Ari
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
39.
Warsono
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
40.
Pardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
128
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
41.
Murtiah
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
42.
Mashuri
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
43.
Muhyiri
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
44.
Mushofa
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
45.
Munjemi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
46.
Suliman
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
47.
Kumedi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
48.
Basiroh
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
49.
Samidi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
50.
Suyono
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
51.
Muh Umar
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
52.
Romi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
53.
Maryamah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
54.
Juhdi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
55.
Pardi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
56.
Mursito
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
57.
Bahrim
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
58.
Sururi
RT 04 RW 02
Petani Konvensional
59.
Sumadi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
60.
Juwedi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
61.
Anwar
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
62.
Sunarto
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
63.
Muslih Ma'sum
RT 02 RW 04
Petani Organik
64.
Juweri
RT 04 RW 04
Petani Organik
65.
Romli
RT 02 RW 04
Petani Organik
66.
Sulimin
RT 03 RW 04
Petani Konvensional
67.
Muhdi
RT 03 RW 04
Petani Konvensional
68.
Musroni
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
69.
Mansyur
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
70.
Suyadi
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
71.
Samijan
RT 01 RW 04
Petani Konvensional
72.
Wakiri
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
73.
Mufidi
RT 03 RW 04
Petani Organik
74.
Muhsony
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
75.
Mubasir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
76.
Khoirun
RT 02 RW 04
Petani Organik
77.
Muh Saidun
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
78.
Darso
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
79.
Munawir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
80.
Juweni
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
129
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
81.
Mubakhin
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
82.
Musafa'
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
83.
Ikhwani
RT 04 RW 04
Petani Organik
84.
Bashoir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
85.
Royani
RT 02 RW 04
Petani Organik
86.
Bp. Suharman
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
87.
Muslih mukri
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
88.
Sulimin
Petani Konvensional
89.
Dasimin
Petani Konvensional
90.
Musiri
Petani Konvensional
91.
Nur Ali
Petani Konvensional
92.
Slamet Riyanto
93.
Muhadi
Petani Konvensional
94.
Muniroh
Petani Konvensional
95.
Yatmo
Petani Konvensional
96.
Suwarni
97.
Dhopari H
Petani Konvensional
98.
Ngatman S
Petani Konvensional
99.
Sartono
Petani Konvensional
100.
Rofiq
101.
Sugimin
Petani Konvensional
102.
Sadirin
Petani Konvensional
103.
Sumarno
Petani Konvensional
104.
Sofrowi
Petani Konvensional
105.
Mukini
106.
Suratman
Petani Konvensional
107.
Eko
Petani Konvensional
108.
Sunaryo
Petani Konvensional
109.
Nawari
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
110.
Muntasir
RT 01 RW 05
Petani Konvensional
111.
Khasan
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
112.
Suparno
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
113.
Sumali
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
114.
Kusnan
RT 02 RW 06
Petani Organik
115.
Muji Zainal
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
116.
Daryanto
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
117.
Mahmudi
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
118.
F. Rohman
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
119.
Tanwir
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
120.
Sukiman
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
RT 04 RW 04
RT 06 RW 06
RT 03 RW 02
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
130
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
121.
Muhson
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
122.
Subardi
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
123.
Suwarno Sardi
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
124.
Mundiri
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
125.
Muhyidin
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
126.
Sutamam
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
127.
Sarengat
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
128.
Parsih
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
129.
Nur Ali
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
130.
Nursalim
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
131.
Sardi
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
132.
Juwahir
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
133.
Sukiman
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
134.
Sumardi
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
135.
M Sakiman
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
136.
Subandi
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
137.
Sugimin
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
138.
Sutikat
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
139.
Masturi D
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
140.
Jumadi
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
141.
Nurtanto
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
142.
Munzayatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
143.
Marso utomo
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
144.
Muh roji
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
145.
Suhut
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
146.
Sarjo
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
147.
Yahmin
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
148.
Darmo Sajad
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
149.
A Latif
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
150.
Musroni
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
151.
Japarin
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
152.
Samsi
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
153.
Bardi
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
154.
Bakir
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
155.
Sholeh
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
156.
Sumini
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
157.
Slamet Pur
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
158.
Sakirin
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
159.
Supandi
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
160.
Basri
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
131
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
161.
Mufid
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
162.
Murdingatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
163.
Sugiman
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
164.
Ngadni
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
165.
Basuki
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
166.
Suyati
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
167.
Kadari
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
168.
Tamzis
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
169.
Slamet
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
170.
Suradi
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
171.
Kumanto
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
172.
Sukarman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
173.
Musliman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
174.
Basirun M
RT 02 RW 01
Petani Organik
175.
Sardi
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
176.
Suratman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
177.
Iskak
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
178.
Teguh
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
179.
Abadi
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
180.
Jasman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
181.
Slamet I
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
182.
Kasdirin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
183.
Muhson
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
184.
Faizun
RT 06 RW 01
Petani Konvensional
185.
Siswo
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
186.
Musliman B
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
187.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
188.
Ansor
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
189.
Solikhin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
190.
Muhammad P
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
191.
Sumanah
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
192.
Juhari
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
193.
Huri
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
194.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Organik
195.
Sumyani
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
196.
Ruslan
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
197.
Sunoto
Petani Konvensional
198.
Daryono
Petani Konvensional
199.
Suparno
200.
Tumejo
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
Petani Konvensional
132
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
201.
Kadi
Petani Konvensional
202.
Samin
Petani Konvensional
203.
Sakir
Petani Konvensional
204.
Suminem
205.
Karjono
Petani Konvensional
206.
Kardi
Petani Konvensional
207.
Sumar
Petani Konvensional
208.
Darmadi
209.
Urip
Petani Konvensional
210.
Marjono
Petani Konvensional
211.
Suroso
Petani Konvensional
212.
Sunar
Petani Konvensional
213.
Suwarti
214.
Sopawi
Petani Konvensional
215.
Sudir
Petani Konvensional
216.
Dalil
Petani Konvensional
217.
Waris
Petani Konvensional
218.
Maesuri
219.
Gino
Petani Konvensional
220.
Supad
Petani Konvensional
221.
Pono
Petani Konvensional
222.
Sukir
Petani Konvensional
223.
Sumang
224.
Marsih
Petani Konvensional
225.
Pandi
Petani Konvensional
226.
Sya roni
Petani Konvensional
227.
Irfani
Petani Konvensional
228.
Pramono
Petani Konvensional
229.
Usman
230.
Mustofa
231.
Zuhroni
Petani Konvensional
232.
Jumadi
Petani Konvensional
233.
Rohman
Petani Konvensional
234.
Nasikhi
Petani Konvensional
235.
Nasikun
Petani Konvensional
236.
Ahmadi
237.
Romlah
Petani Konvensional
238.
Munjamil .Muhdi
Petani Konvensional
239.
Suroto
Petani Konvensional
240.
Muntaha
Petani Konvensional
RT 05 RW 03
RT 04 RW 04
RT 04 RW 01
RT 01 RW 01
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
RT 05 RW 06
RT 05 RW 06
Petani Organik
Petani Organik
133
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
RT 03 RW 04
Keterangan
241.
Waimin
Petani Konvensional
242.
Sumardi
Petani Konvensional
243.
Saebani
Petani Konvensional
244.
Fatkhurrohman
Petani Konvensional
245.
Jazuli
246.
Sumilah
247.
Abdul Khafidz
Petani Konvensional
248.
Samsuri
Petani Konvensional
249.
Parman Hasyim
Petani Konvensional
250.
Marman
Petani Konvensional
251.
Muhari
252.
Yahya
Petani Konvensional
253.
Abdul Azis
Petani Konvensional
254.
Ibnu Aqil
Petani Konvensional
255.
Munjamil Rusdi
Petani Konvensional
256.
Basirun Warti
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
257.
Parto Diharjo
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
258.
Sholikhin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
259.
Muh. Gatot
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
260.
Wawan
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
261.
Muh. Muslim
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
262.
M S. Mubin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
263.
Mustofa
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
264.
Mahsun S
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
265.
Nur Kholis
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
266.
M.Rifa'i
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
267.
Busri
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
268.
Wulan dari
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
269.
Jawadi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
270.
Slamet Ws
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
271.
M.Zamrodin
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
272.
Masinem
RT 05 RW 01
Petani Konvensional
273.
Nurul Anwar
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
274.
Ahadak
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
275.
M. Huda
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
276.
Iwan S
277.
Suyitno
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
278.
Irsadun
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
279.
Yasin
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
280.
Mundakir
Petani Konvensional
RT 01 RW 03
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
134
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
281.
R. Binarso
Petani Konvensional
282.
Mitrorejo
Petani Konvensional
283.
Nur Salim
Petani Konvensional
284.
Siti Qomsiyah
285.
Djumadi
Petani Konvensional
286.
Muh Jumadi
Petani Konvensional
287.
Yoso Suwito
Petani Konvensional
288.
Teguh T
Petani Konvensional
289.
Sugiyono
290.
Baderun
Petani Konvensional
291.
Priyoparno
Petani Konvensional
292.
Narto W
Petani Konvensional
293.
Witarno
Petani Konvensional
294.
Suyamto
Petani Konvensional
295.
Sastrowiryo
Petani Konvensional
296.
Kasno
Petani Konvensional
297.
Sutono
Petani Konvensional
298.
Tholibatun
299.
Sarli
Petani Konvensional
300.
Ngadno
Petani Konvensional
301.
Surastri
Petani Konvensional
302.
Nasiri
Petani Konvensional
303.
Sutrisno
Petani Konvensional
304.
Nur Ichsan
Petani Konvensional
305.
Nur Aziz
306.
Mitro usup
Petani Konvensional
307.
Suparno
Petani Konvensional
308.
Sugeng
309.
Rohadi
Petani Konvensional
310.
Riyadi
Petani Konvensional
311.
Marlan
Petani Konvensional
312.
M. Thoyyib
313.
Jayin
Petani Konvensional
314.
Bainatun
Petani Konvensional
315.
Saomar
Petani Konvensional
316.
Diyar
Petani Konvensional
317.
Roekhan
Petani Konvensional
318.
Ahmadi
Petani Konvensional
319.
Thohir
Petani Konvensional
320.
Mujahid
RT 04 RW 05
RT 02 RW 05
RT 05 RW 06
RT 06 RW 06
RT 06 RW 05
RT 06 RW 06
RT 05 RW 06
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Organik
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
135
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
321.
Muhtar
Petani Konvensional
322.
Islami
Petani Konvensional
323.
Sopar
Petani Konvensional
324.
Musliman
Petani Konvensional
325.
Rohmi
Petani Konvensional
326.
Khotijah
Petani Konvensional
327.
Supinah
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
328.
Muhlisin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
329.
Samroni
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
330.
Iman sumadi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
331.
Wasito
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
332.
Suroso
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
333.
Subadi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
334.
Cokro
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
335.
Slamet D.
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
336.
Muh ngadino
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
337.
Muh parjo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
338.
Salim
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
339.
Matahir
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
340.
Nasiran
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
341.
Bejo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
342.
Towi rejo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
343.
Basoni
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
344.
Tukiman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
345.
Jumali
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
346.
Slamet S
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
347.
Riyanto
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
348.
Samsi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
349.
Sugiman
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
350.
Zainuddin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
351.
Tukimin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
352.
Samijan
RT 01 RW 04
Petani Organik
353.
Joko winarno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
354.
Sumardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
355.
Atmokimin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
356.
Sulami
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
357.
Suparti
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
358.
Sinem
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
359.
Rumini
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
360.
Tuminah
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
136
Lanjutan Lampiran 4
No.
Nama
Alamat
Keterangan
361.
Supriyatno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
362.
Slamet C
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
363.
Muhjalal
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
364.
Ari
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
365.
Warsono
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
366.
Pardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
367.
Mahbub Junaidi
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
368.
Rohyatun
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
369.
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
370.
Iman sumadi
Trimorejo
371.
Rif'an
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
372.
Mulyati
RT 05 RW 05
Petani Konvensional
Petani Konvensional
137
Nama
Alamat
Keterangan
1.
Ahmadi
RT 05 RW 06
Petani Organik
2.
Nur Aziz
RT 06 RW 06
Petani Organik
3.
Kusnan
RT 02 RW 06
Petani Organik
4.
Royani
RT 02 RW 04
Petani Organik
5.
Romli
RT 02 RW 04
Petani Organik
6.
Samijan
RT 01 RW 04
Petani Organik
7.
Khoirun
RT 02 RW 04
Petani Organik
8.
Juweri
RT 04 RW 04
Petani Organik
9.
Mufidi
RT 03 RW 04
Petani Organik
10.
Ikhwani
RT 04 RW 04
Petani Organik
11.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Organik
12.
Basirun
RT 02 RW 01
Petani Organik
13.
Mustofa
RT 05 RW 06
Petani Organik
14.
Muslikh Ma'sum
RT 02 RW 04
Petani Organik
15.
Muhyidin
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
16.
Nur Ali
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
17.
Mujahid
RT 05 RW 06
Petani Konvensional
18.
Suparno
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
19.
Muhdiar
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
20.
Rohyatun
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
21.
Sumini
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
22.
Basiroh
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
23.
Murdingatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
24.
Mukini
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
25.
Munzayatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
26.
Sugeng
RT 06 RW 05
Petani Konvensional
27.
Mansyur
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
28.
Muhsony
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
29.
Slamet Riyanto
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
30.
Darso
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
31.
Waimin
RT 03 RW 04
Petani Konvensional
32.
Juwahir
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
33.
Jasman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
34.
Yahmin
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
35.
Musroni
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
36.
Sugiyono
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
37.
Munawir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
38.
Darmadi
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
39.
Muntasir
RT 01 RW 05
Petani Konvensional
40.
Sumadi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
138
Lanjutan Lampiran 5
No.
Nama
Alamat
Keterangan
41.
Maesuri
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
42.
Juwedi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
43.
Suyitno
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
44.
Akip
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
45.
Slamet Darmanto
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
46.
M. Thoyyib
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
47.
Parto Diharjo
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
48.
Muhari
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
49.
Parsih
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
50.
Suparno
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
51.
Busri
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
52.
Rofiq
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
53.
Suwarno
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
54.
Siswanto
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
55.
Mahmudi
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
56.
Daryanto
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
57.
Sumang
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
58.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
59.
Tholibatun
RT 05 RW 06
Petani Konvensional
60.
Basoni
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
61.
Sarengat
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
62.
Nursalim
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
63.
Muhson
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
64.
Sugiman
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
65.
Muhjalal
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
66.
Suyati
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
67.
Romti
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
68.
Suwarni
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
69.
Suwarti
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
70.
Mulyati
RT 05 RW 05
Petani Konvensional
71.
Supinah
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
72.
Murtiah
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
73.
Sulami
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
74.
Maryamah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
75.
Sumilah
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
76.
Sulimah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
77.
Siti Qomsiyah
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
78.
Masinem
RT 05 RW 01
Petani Konvensional
79.
Suminem
RT 05 RW 03
Petani Konvensional