Professional Documents
Culture Documents
Daftar Isi
Prakata
Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang
Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah
Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak.
Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya yang namanya jarang
disebut berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang
kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Tokoh
penginjilan
dari
Rheinische
Missions-Gesellschaft
(RMG),
lembaga
penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun.
Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan
mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.
Nommensen memang seorang tokoh yang berkarisma tetapi dia juga hanya
salah satu dari banyak penginjil Batakmission (zending Batak) yang ditugaskan
untuk menyebarkan injil. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya
terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan memang sangat diutamakan
dalam
kalangan
RMG,
dan
para
penginjil
sadar
bahwa
mereka
diharap
Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian
BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang
terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII
terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan
laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para
penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli
yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia,
dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.
Buku ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil, terutama Ludwig Ingwer
Nomensen dan Wilhelm Metzler selama masa Perang Toba. Laporan Nommensen
dan Metzler berbicara sendiri dan tidak perlu banyak dikomentari. Akan tetapi yang
perlu dilakukan ialah mencari alasan mengapa para penginjil begitu rela membantu
tentara Belanda menumpaskan perjuangan Si Singamangaraja XII. Sebagai didikan
seminaris RMG para penginjil tentu dipengaruhi oleh para guru mereka, dan guru
mereka
sendiri
dipengaruhi
oleh
aliran
teologi
dan
ideologi
yang
sedang
kita
tentang
tindakan
mereka
akan
juga
bermanfaat
untuk
menghindar agar jangan terjadi pembentukan mitos dan legenda yang tidak sehat.
Sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah
bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari
bahwa buku yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap kontroversial.
Sesungguhnya buku ini hanya bisa menjadi kontroversial karena selama ini
penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang
dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang
penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara
kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan
yang berdiri di belakangnya.
Honolulu, September 2010,
Dr. Uli Kozok
Pendahuluan
Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami
pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal
dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya
menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah
Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke
lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali
meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung
menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga
terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak
memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai
musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen. Bersama-sama
mereka
berangkat
untuk
mematahkan
perjuangan
Singamangaraja.
Pihak
peran
dan
tujuan
Rheinische
Missionsgesellschaft
(RMG)
dan
1.
Peran
para
penginjil
dalam
menaklukkan
Onafhankelijke
sekali
(Berichte
der
Rheinischen
Missionsgesellschaft).
Daripada
menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sendiri yang terdapat
dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang
Batak
hingga
dirasakan
perlu
untuk
menerbitkan
ulang
catatan
sehingga
Nommensen
hanya
bahan
pelengkap
saja
dan
bukan
Nommensen,
tidak
benar
bertolak
belakang
dengan
laporan
Memang
benar
bahwa
mereka
[pasukan
bantuan
Kristen,
UK]
mengakui
bahwa
tidak
semua
orang
Batak
berpihak
pada
Singamangaraja:
...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah
semangat mereka yang mengkhianati perjuangan
mundur
kecuali
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu
melawan Belanda:
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan
para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka
bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak
membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan
Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa banyak daerah yang sudah berulang
kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi. Raja yang
memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam
wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada
agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat
penting
bagi
Sidjabat
adalah
rekonsiliasi
zending
dengan
Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh.
Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta
kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah
Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka
hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan
zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk
adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris
belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang
diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi
zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka
sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah
terkejar? (BRMG 1878:118)
Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah
mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan
dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah
Belanda. (BRMG 1878:193)
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena
mereka berada di wilayah yang pada hakikatnya (eigentlich) berada di bawah
kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum)
Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara
nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut
rakyat yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda
dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil
kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di
atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan
kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah
penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada
Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak
melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan
penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan
penginjil kita? (BRMG 1878:94)
Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan
pasukan
memasuki
dan
menduduki
Bahal
Batu
yang
termasuk
wilayah
misionaris
juga
menekankan
bahwa
Belanda
senantiasa
dapat
ia
secara
konsisten
menggunakan
kata
kami.
Kata
kami malahan
digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa
Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan
200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.
Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 1012 lakilaki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan
kampung-kampung yang berpihak pada musuh.
Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa
melihat niat baiknya.
Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami
yang jahat bergerak lagi.
Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos
diserang musuh.
Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan
meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap
kami.
Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar
dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang
menghasut dan mencelakakan rakyatnya.
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh
berusaha untuk membakarnya.
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending
Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang
ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak
antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak
dapat diterima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah
kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya,
penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan
pelajaran mereka di seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa
yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa
keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan
mendukungnya dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu
membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan
bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka
pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan
sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa
orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan
membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. (BRMG
1882:202)
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan
bahasanya Nederduits (Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur
asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat
dekat
dengan
bahasa
Belanda.
Selain
itu,
sesuai
dengan
pelajaran
yang
membantu
pemerintah
dan
tentara
Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen
melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen
para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah
kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia
yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina
Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara:
Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,
1
keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada
abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai
kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila
diterjemahkan berarti Pantai Utara).
Ketika
Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972-1984: Die
missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus, Imperialismus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist die missionarische
Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des Rassismus verbunden.
[Dikutip dari Jura 2002:285].
alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb.
Junghuhn juga diminta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan,
adat, dan pemerintahan di Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan
yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga
tentang kanibalisme.
Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak
terbatas sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki
Junghuhn lama tinggal di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguhsungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama di
daerah Batak. Sesudah menetap di Barus selama delapan belas bulan terpaksa
Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspedisi
pertama
Junghuhn ke Tanah Batak merdeka dimulai pada pertengahan November 1840 dan
membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember
Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit.
Perjalanan kedua dimulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung
selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspedisi yang
pertama Junghuhn didampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan
pembantunya yang terdiri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari
wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sendiri menjadi
pengawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya
dipersenjatai dengan bedil yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25
orang (Angerler 1993: 6).
Walaupun sakit-sakitan selama berada di Tanah Batak Junghuhn sempat menulis
dua jilid dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battalnder auf Sumatra. Bukunya
dibagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras,
kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan,
musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian,
peternakan, dan irigasi.
Sesuai dengan
permintaan
pemerintah
kolonial
yang
mempekerjakannya,
nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menjadi salah satu dari tidak banyak
wilayah di Indonesia yang diperintah secara langsung.
Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat digolongkan liberal. Ia amat kecewa
melihat keadaan tanah airnya: Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan,
kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang dihalalkan oleh
gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa,
pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat perang! kapal dan
benteng pertahanan diledakkan, ribuan manusia dikorbankan dalam sedetik; orang
saling mencurigai, benci... Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk
keadaan Eropa yang begitu menyedihkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis
ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya
penginjilan di Jawa.
Apa alasan maka dalam Die Battalnder auf Sumatra Junghuhn yang sendiri
anti-Kristen menyarankan agar pemerintah
injil.
Selama
berada
di
daerah
Batak
(1851-1857)
Van
der
Tuuk
menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus
bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) Belanda, menyusun tata bahasa
Toba yang menjadi terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah di Hindia
Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren
Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so da selbst ein schwaches Rosenroth der Backen
hindurch schimmert. Dabei sind die Haare nicht schwarz, sondern gewhnlich, und bei
den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien
und Javanen. Der Krper ist wohlgebaut, stark muskuls.
NBG itu bukan lembaga zending dalam arti yang sebenarnya karena tidak menyediakan
zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan
terjemahan alkitab.
Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan
Pakpak.
Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van
der Tuuk adalah seorang ateis namun di lain pihak NBG juga sadar akan
kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina
para penginjil sebagai pengobral buku murahan ia juga bersikap setia pada NBG
sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling
melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang
sama dengan Junghuhn:
Orang
1884)
yang
pada
tahun
1859
mendirikan
Jemaat
Zending
5
menjadi penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang bernama
Gerrit van Asselt (18321910) itu berada di ladang ia tiba-tia mendengar
Mazmur 96:2 Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah
kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita. Beberapa minggu kemudian
ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 Bangkitlah, menjadi
teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu. Pemuda
setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Ds Witteveen
menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) menanyakan apa von
Asselt bisa menjadi tukang pada zending NZG. Akan tetapi permintaan itu ditolak
dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing.
Selain itu van Asselt dianggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil
untuk
meyakinkan
Persatuan
Pendukung
Zending
Perempuan
Amsterdam
Pastor Witteveen menjadi salah seorang pendiri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat
Injil Bebas) di Belanda.
amanat
Esser
menyebarkan
injil
di
ranah
Minangkabau.
Namun
permintaannya ditolak karena daerah itu sudah menjadi Islam, dan ia ditawari
gubernur menjadi administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil menyebarkan
injil.6 (Groot 1984: 91-93)
Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser
ketika beliau berceramah tentang Sumatra di muka Persatuan Pemuda Pekerja di
Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka
ditahbiskan oleh Pastor Witteveen.
Pada tahun 1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu
Friedrich Wilhelm Betz (18321881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk
mendampingi van Asselt di Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt
di Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator
kebun untuk bersama dengan Betz membuka pos zending di Silindung. Namun
permintaan Asselt ditolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena
pemerinta tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak
yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan
zending ke Angkola. Betz bertugas di Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 18697
sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang ditahbiskan di Ermelo pada
21-10-186) membuka pos di Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara
Van Asselt tetap di Parau Sorat (Sipirok).
Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zending Batak diprakarsai oleh Van
Asselt yang dianggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas
yang sedemikian berat.
Christian Philip Schtz (18381922) menjadi pengganti Betz di Bunga Bondar dari tahun
1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schtz hanya sekali
berlibur ke Jerman (18931895).
pada saat itu sedang berada di Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine
Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zendingskerk Ermelo dengan RMG.
Setelah dirundingkan dengan Pastor Witteveen maka diputuskan bahwa ketiga
misionaris dari Domine Witteveen yang sudah ada di Sumatra, yaitu van Asselt,
Betz, dan Dammerboer selanjutnya dipekerjakan oleh RMG dan diperbantukan oleh
tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst
Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz,
Heine dan
meninggalkan
zending
sedangkan
L. I. Nommensen umumnya dianggap sebagai salah seorang misionaris yang paling berhasil. Pada
tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen Batak Protestant memiliki 500 paroki dengan
180.000 jemaah, 34 pastor (pandita Batak), hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940
HKBP menjadi mandiri, 1948 menjadi anggota Dewan Oikumene (kumenischerRat der Kirchen), dan
1952 menjadi anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar
2,5 juta HKPB menjadi gereja terbesar di Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen
memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh
penghargaan Kerajaan Belanda dengan menjadi Officier8 Ordo Oranye-Nassau.
Kini nama Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama disebabkan bahwa malahan
dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering dianggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap
bangsa-bangsa berwarna dalam konteks imperialisme kolonial.
Dalam Pengakuan Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-1971 secara resmi Vereinigte
Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG mengakui: Kami terlalu sering menyerah pada
godaan bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari
pribumi. 9
Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan
Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah dikirim ke Sumatra,
Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan disambut dengan baik,
namun pemerintah melarangnya untuk menetap di sana. Pemerintah tidak bersikap
anti-zending dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para
penguasa
takut
bahwa
kehadiran
misionaris
akan
mengakibatkan
adanya
Weddingstedt
di
Holstein,
tidak
jauh
dari
kampung
halaman
Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah Ridder
Grootkruis, diikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid.
Wir bekennen, da wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den weltlichen
Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brder und Schwestern
zusammenzuarbeiten. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In die Welt fr die Welt No. 12/1971, hal. 13).
para
zendeling
di
Tanah
Batak
tentu
tidak
disetujui
oleh
Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah
mereka mengundang
10
1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa
mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi
yang
menjalankan
hukum
dan
keadilan
(Recht
und
adanya pemerintah
Gerechtigkeit)
(BRMG
bulan
Januari
1878
para
misionaris
diperintahkan
untuk
segera
11
kehidupan
yang
serba
berbeda.
Rata-rata
para
misionaris
RMG
berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada
di Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang diharapkan untuk tetap berada
di tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-satunya misionaris yang
dipanggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang dibutuhkan sebagai
guru di seminaris Barmen12. Misionaris yang paling lama tinggal di Tanah Batak
adalah L.I. Nommensen yang berdiam di Tanah Batak selama 57 tahun, diikuti oleh
M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33
tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap di Tanah Batak hingga
mereka meninggal. Johannsen meninggal di Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,
12
Mohri di Purba pada usia 72 tahun, Nommensen di Sigumpar pada usia 84 tahun,
dan Staudte di Sipirok pada usia 39 tahun. Jadi kebanyakan misionaris memilih
masa pensiun di Jerman, tetapi ada juga di antaranya, seperti Nommensen, dan
Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris
yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali ke
Jerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schtz misalnya baru kembali ke Jerman
pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas di Pearaja hingga mencapai
umur 78 tahun.
Para misionaris diperbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya.
Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905,
dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun
lebih mengambil cuti ke Jerman.
Setelah diutus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris diwajibkan
untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting
(misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris
tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya di wilayah
kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka
yang tidak mematuhi peraturan ini segera diberhentikan.
Tabel 1 Data Misionaris RMG 18611878
A
1832
1856
1862
1875
1910
1832
1860
1858
1869
1881
Christiansen, Julius
1844
1871
1879
1906
1934
1833
1860
1866
1873
1897
Johannsen, Peter
1839
1865
1870
Klammer, Johann
1826
1855
1861
1883
1919
Leipoldt, Christian
1844
1869
1874
1879
1911
Metzler, Wilhelm
1847
1875
1877
1924
1935
Mohri, August
1835
1867
1871
1907
Nommensen, I.L.
1834
1861
1866
1918
Pse, Heinrich
1842
1874
1882
1905
1920
Schreiber, August
1839
1866
1866
1873
1903
Schtz, Christian
1838
1867
1870
1912
1922
Simoneit, August
1842
1873
1882
1886
1886
Staudte, Friedrich
1845
1873
1877
1898
1884
Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para
misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus
segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah
tamat dikirim ke luar negeri dan berada di wilayah kerjanya selama bertahun-tahun
maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sendiri. Oleh sebab itu
maka pilihan calon istri menjadi tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya,
berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan
pilihan RMG lain yang ditentukan bagi tiga penginjil di Borneo. Mereka satu
rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer ditunjuk untuk menjaga
ketiga calon istri itu. Setiba di Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan
lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan di antara kedua
pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya dilaksanakan pada 22 Februari
1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuan lainnya dikawinkan dengan ketiga
penginjil di Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya di Sibolga.
Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun
setelah mulai menetap di Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang
mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun
sebelum diperbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah
hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai
lima, dan penginjil Pse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.
Para calon istri misionaris juga belajar di RMG namun pendidikannya berfokus
pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pendidikan teologi
sangat
kurang.
Terutama
menjahit
dan
menyanyi
dilihat
sebagai
wahana
penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena
ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya diizinkan
mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pendidikan sekolah
anak-anak misionaris dikirim ke Jerman untuk diasuh pihak RMG.
Mengingat bahwa para misionaris tiba di Tanah Batak sebagai bujangan berumur
20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa di antara misionaris itu
yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi,
tidak di zamannya Nommensen dan juga tidak di kemudian hari. Dari lebih dari
seratus penginjil yang diutus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang
memperistri seorang boru Batak.
Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang
penginjil dengan seorang gadis pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak
tertulis bahwa hal itu takkan boleh terjadi. Kendati demikian asmara tidak
senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Mller yang
menjadi penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft di Togo pada November 1900
mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang gadis
Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan
tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya.
Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: Saya telah memberitahu
penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara
seorang penginjil dengan seorang Negro. Permohonan Mller ditolak dan Mller
meninggalkan zending NMG yang merupakan salah satu badan zending yang
progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi dikhawatirkan bisa
menjadi isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu
harus dihindari. Kejadian serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl
Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang gadis Kristen Ewe.
Permintaan ini pun ditolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank diputuskan
(Altena 2003:148-149).
Para penginjil senantiasa disadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para
pendukung dan oleh karena itu mereka diharapkan untuk hidup lebih sederhana
daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana
pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka
sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin
di Nordstrand sebuah kampung kecil dan terbelakang di daerah Schleswig yang
pada tahun kelahiran Nommensen masih menjadi wilayah Denmark: Saya anak
dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang dibesarkan dengan roti tanpa isi,
hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur
gandum13. Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa
daripada duduk di bangku sekolah, pada usia delapan ia menjadi penggembala
kambing, pada usia sembilan ia belajar menjadi tukang atap, pada umur sepuluh ia
menjadi tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menjadi buruh tani, dan sebelum
masuk seminaris RMG ia sempat menjadi guru bantu. Leipoldt dan Christiansen,
teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menjadi guru bantu. Metzler
menjadi
Lohgerber (tukang
yang
mengolah
kulit binatang),
Mohri menjadi
Ich war ein Junge armer, krnklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz,
Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei gro
geworden. (Warneck 1950:9)
menjadi Anstreicher (tukang cat), Staudte menjadi Drechsler (tukang kayu), dan
Heine menjadi Bauer (petani). Hanya satu di antara keenam penginjil di Silindung,
Johannsen, menjadi guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah
pun dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, dibandingkan
dengan kehidupan di Jerman status sosial mereka di Sumatra jauh lebih tinggi.14
(Angerler 1993:5657)
August Schreiber berbeda dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sendiri
yang berpendidikan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris di Barmen
melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber menjadi
guru di seminaris di Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan mulai
tahun 1884 hingga tahun 1903 ia menjadi Inspektor (direktur) RMG.
kebanyakan
penginjil
berasal
dari
latar
belakang
sosial
yang
sederhana, mereka berkeyakinan menjadi wakil peradaban yang begitu jauh lebih
unggul daripada budaya kafir (AMZ 6, 1879:352) 15. Masyarakat di wilayah
penginjilan dianggap tidak memiliki peradaban sehingga diperlukan adanya transfer
budaya dan peradaban Eropa. Untuk transfer budaya satu arah itu Warneck
menggunakan istilah Culturkampf (perang budaya) yang dilaksanakan di semua
tempat pertemuan Cultur Kristen Eropa dengan kebarbaran dan Uncultur bangsabangsa di luar Eropa. 16
Oleh karena masyarakat primitif tidak memiliki Cultur (budaya) melainkan
Uncultur (non-budaya/kekacauan) maka sebagian besar unsur budaya yang sudah
ada harus dihilangkan. Namun dalam praktek para penginjil, paling tidak di daerah
Batak, melihat adanya unsur budaya Batak yang perlu dilestarikan, termasuk
aksara Batak, sastra lisan, dan arsitektur. Namun sebagian besar budaya Batak
dianggap tidak penting atau malahan bertentangan dengan agama Kristen sehingga
perlu dihilangkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya untuk
14
15
16
Perlu diketahui bahwa kehidupan seorang tukang, buruh, atau petani pada pertengahan
abad ke-19 jauh sekali berbeda dengan keadaan yang sekarang. Hampir semua
misionaris berasal dari keluarga yang miskin.
Majalah Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) didirikan oleh Gustav Warneck, direktur
RMG.
berall wo unsere christliche, europische Cultur und Civilisation mit der Uncultur und
Barbarei der nicht europischen Vlker in Berhrung getreten (dikutip dari Schubert
2003:126).
bermain
musik
(margondang),
menari
(manortor),
dan
malahan
sistem
kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkannya
dengan
mengizinkan
perkawinan
antara
orang
sesama
marga.
Setelah
mendapatkan perlawanan dari orang Batak maka para penginjil bersedia untuk
berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap dilarang dan diganti dengan
musik tiup asal Jerman. Bukan saja di Batakmission tetapi juga di Afrika seni tari
selain tari Eropa dianggap kegiatan yang berdosa (Paczensky, 1991:134).
Perasaan unggul yang dimiliki oleh hampir semua orang Eropa terhadap bangsa
primitif membuatnya cenderung untuk melihat masyarakat setempat dengan
serba negatif.
Dalam buku hariannya tahun 1853 Carl Hugo Hahn, misionaris pertama di
Namibia, menyimpulkan watak suku Nama sebagai berikut: Watak mereka
sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala,
tidak teguh pendirian, tamak, birahi, suka membunuh, dan pemabuk. Selain itu
mereka teramat membenci bangsa kulit putih.17 Prasangka yang serba negatif
juga
dikemukakan
oleh
Junghuhn.
Menurutnya
orang
Batak
memiliki
sifat
pemabuk, takhyuli, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, keras kepala dan
malas, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sifat positif pada orang Batak seperti
berani, jujur, berterus-terang, baik hati dan mandiri (Junghuhn 1847a:240).
Penilaian positif tersebut tentu juga berkaitan dengan keunggulan ras yang
menurut Junghuhn dimiliki oleh orang Batak terhadap suku-suku lain di HindiaBelanda.
Junghuhn menekankan bahwa orang Batak malas seperti semua orang yang
tinggal di daerah khatulistiwa. (idem 237). Menurut bekas direktur RMG Gustav
Warneck kemalasan merupakan masalah terutama pada bangsa-bangsa primitif
dan bahwa dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus
dipaksa untuk bekerja. Kalau kita membiarkan mereka sendiri mereka akan tetap
malas (AMZ 6, 1879:430). Sesuai dengan semboyan ora et labora, ora (berdoa)
dilihat sebagai budaya, dan labora (bekerja) sebagai inti peradaban dan budaya
sekaligus (Schubert 2003:126).
Oleh sebab itu maka zending memiliki tugas untuk mendidik masyarakat pribumi
agar bisa bekerja dengan tekun dan rajin. Bagi masyarakat kafir di Afrika
pekerjaan terutama yang diuntukkan bagi bangsa pribumi adalah sebagai kuli
17
tidak
diberi
kesempatan
untuk
mengatur
kehidupan
sendiri;
tidak
di
pemerintahan dan juga tidak di gereja. Batakmission dikuasai oleh para misionaris
Jerman dan mereka tidak bersedia untuk melepaskan kekuasaan mereka itu.
Dalam buku Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jan S. Aritonang
menulis: Lambat laun sebagaian masyarakat Batak Kristen semakin jelas melihat
bahwa para zendeling Batakmission itu sangat menonjolkan superioritas dan
paternalisme mereka sebagai orang Kristen Barat, dan mereka mulai tidak betah
seperti
gerakan
nasionalisme.
Namun
di
belakang
perbedaan
18
Christelijke Ethische Partij adalah partai politik yang dibentuk dan didominasi oleh orang
Kristen Belanda.
(kekayaan),
hagabeon
(banyak
keturunan),
dan
hasangapon
bertentangan
dengan
kehendak
Tuhan
yang
memang
sudah
Batak mendapatkan
perlawanan
yang
yang
19
20
21
Asal usul kata ras tidak diketahui dengan jelas. Ada kemungkinan kata tersebut
berasal dari bahasa Latin ratio (alam/watak), radix (akar), atau generatio
(pembuatan), namun ada pula teori yang mengatakan bahwa istilah ras berasal
dari bahasa Slawonik, bahasa Germania, atau malahan bahasa Arab. Istilah ras
pertama kali muncul dalam bahasa-bahasa Romawi sebagai razza (bahasa Itali),
raza (Spanyol), raca (Portugal), dan race (Prancis) sejak abad ke-13. Menjelang
abad ke-16 kata itu juga masuk dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Pada
waktu itu kata ras belum punya konotasi biologis melainkan berarti keturunan,
atau bangsa seperti dalam perkataan bangsa tuan tanah, atau bangsa
aristokrat. Kata ras dalam arti golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik baru
mulai digunakan pada abad ke-17 dan ke-18, dan baru pada abad ke-19 kata
rasisme
masuk
dalam
perbendaharaan
kata
bahasa-bahasa
Eropa.
Dengan
demikian tampak bahwa sejarah rasisme sebagai ideologi masih relatif baru.
Paham atau ideologi rasisme sebagai ilmu lahir pada zaman pencerahan dan
mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20.
Pada zaman pencerahan manusia melepaskan diri dari ideologi gereja yang
melihat seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, dan para ilmuwan mulai
dengan giat berusaha untuk memahami alam semesta secara rasional. Segalagalanya yang ada, terutama tumbuhan dan hewan dijadikan objek penelitian,
diukur, ditimbang, dan dikelompokkan menurut kategori-kategori yang mereka
ciptakan.
Kalau tumbuhan dan hewan dapat dikategorikan menjadi kerajaan, divisi, kelas,
ordo, famili, genus, dan spesies maka manusia pun dapat dikelompokkan.
Demikianlah usul Franois Bernier (1620-1688) yang menyarankan di majalah ilmiah
Journal des Scavants agar manusia dikategorikan menurut warna kulit, postur,
dan bentuk muka. Beliaulah yang untuk pertama kali menggunakan istilah ras
dalam arti yang sekarang.
Ilmuwan
Jerman
Gottfried
Wilhelm
Leibniz
(1646-1716)
berusaha
untuk
ras kuning (Asia), ras merah (Amerika), dan ras hitam (Afrika). Pembagian ini
menggantikan pembagian non-rasional berdasarkan kitab Injil yang pada tahun
1666 dilakukan oleh Georgius Hornius, yang membedakan tiga golongan, yaitu ras
keturunan Yafet (putih), ras keturunan Sem (kuning) dan ras keturunan Ham
(hitam).
Profesor kedokteran asal Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840)
menjadi pelopor kraniometri (ilmu tengkorak). Ia percaya bahwa perbedaan antara
ras dapat dilihat pada bentuk tengkorak, namun ia juga mengakui bahwa tidak ada
batas antar-ras yang pasti. Blumenbach menambahkan ras kelima yaitu ras cokelat
(Melayu).
Sesudah Blumenbach ada sejumlah besar ilmuwan yang menekuni bidang
kraniometri serta bidang-bidang ilmu yang mirip seperti frenologi, ilmu yang
meneliti sikap-sikap kepribadian, dan fisiognomy yang mempelajari bentuk muka
namun semua upaya ini tidak membuahkan hasil apa-apa kecuali memberi kesan
bahwa rasisme memang memiliki dasar yang rasional.
Kini diketahui bahwa pengelompokan ras berdasarkan warna kulit tidak memiliki
dasar ilmiah yang kuat. Bahan pewarna (pigmen) yang dikenali sebagai melanin
yang didapati di dalam kulit menentukan warna kulit manusia. Kulit yang hitam
melindungi manusia terhadap kerusakan yang dapat diakibatkan oleh sinar
ultraungu. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa manusia di daerah tropis
memiliki kulit yang lebih cokelat dibandingkan dengan manusia yang mendiami
daerah berhawa dingin. Namun demikian, di dalam suatu populasi selalu terdapat
variasi warna kulit yang signifikan sehingga klasifikasi manusia menurut warna kulit
tidak akurat. Baik di Eropa, di Amerika dan di Asia Timur ada spektrum warna dari
putih hingga cokelat, tergantung pada individu, dan juga tergantung pada daerah.
Ternyata dalam sejarah evolusi manusia, warna kulit hitam (atau cokelat) adalah
warna kulit yang asli sementara warna putih di Eropa dan Asia merupakan
perkembangan di kemudian hari.22
Di dalam zaman imperialisme Eropa rasisme menjadi salah paham yang secara
ilmiah membenarkan penjajahan bangsa berwarna oleh bangsa putih. Tentu saja
kaum
penjajah
tak
ingin
dikenang
sepanjang
sejarah
sebagai
penjarah.
penjajahan
dapat
dibenarkan
sebagai
tindakan
yang
sebetulnya
Lihat juga Sweet, Frank W. 2002. The Paleo-Etiology of Human Skin Tone: Essays on the
Color Line and the One-Drop Rule. http://backintyme.com/essays/?p=4
Keyakinan bahwa individu untuk bisa menjadi bebas harus menjadi bagian
dari suatu bangsa, dan mengidentifikasikan diri dengan bangsanya. Hal itu
menyebabkan seorang individu menjadi setia pada bangsanya dan kesetiaan
kepada bangsa adalah prioritas utama baginya.
watak
bangsa.
Nasionalisme sering disebut sebagai sejenis agama politik karena memang ada
banyak kemiripan antara agama dan nasionalisme. Keduanya melibatkan emosi
atau semacam getaran jiwa, keduanya memiliki sistem kepercayaan, doktrin, dan
ajaran yang tertentu, keduanya memiliki upacara dan ritual, dan keduanya memiliki
kelompok penganutnya.
Baik nasionalisme maupun rasisme mempunyai landasan ideologis yang berakar
pada ide-ide zaman pencerahan dan zaman romantik yang secara ekonomi ditandai
oleh oleh perubahan dari masyarakat pertanian kepada lahirnya sistem kapitalis
dan komersial dengan munculnya kaum borjuis, dan secara ideologis ditandai oleh
munculnya perhatian pada individu dan berkurangnya perhatian pada teologi dan
metafisika. Zaman pencerahan itu juga zaman rasionalisme yang ditandai oleh
berkembangnya ilmu pengetahuan.
Istilah nasionalisme untuk pertama kali digunakan oleh Johann Gottfried von
Herder (17441803). Namun pengertian nasionalisme baginya bukan dalam arti
sempit sebagaimana dipakai oleh kebanyakan nasionalis. Nasionalisme Herder
bukan chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan) yang menempatkan bangsanya
sendiri di atas bangsa yang lain. Lain dengan banyak nasionalis Jerman di
kemudian hari yang yakin akan keunggulan bangsa Germania 23
membenci
menghargai
Perancis
dan
bangsa-bangsa
budaya
dan
Volkscharakter
24
Slavia .
Slavia,
Herder
dan
dan amat
malahan
mengilhami
sangat
timbulnya
nasionalisme Slavia.
Nasionalisme yang berlebihan sering diiringi oleh rasisme. Di Jerman, kebencian
terhadap kaum Yahudi yang oleh sebagian orang dianggap sebagai ras inferior
berakibat pada pembantaian terhadap kaum Yahudi. Di berbagai negara bagian di
Amerika Serikat perkawinan antar-ras malahan dilarang dan larangan itu berlaku
hingga tahun 1967. Tergantung pada negara bagian, peraturan-peraturan itu
berbeda-beda, tetapi selalu dimaksud untuk melindungi bangsa putih agar tidak
tercemar oleh darah yang bukan murni Eropa. Di Arizona, misalnya, mengeluarkan
undang-undang pada tahun 1865 yang melarang perkawinan antara orang putih
dengan orang hitam, namun pada tahun 1931 laragan itu diperluas mencakup
bangsa India dan bangsa Melayu: The marriage of a person of Caucasian blood
with a Negro, Mongolian, Malay or Hindu is null and void. 25 Apabila ada anak yang
lahir dari hubungan antara seorang putih dengan seorang yang non-putih maka
secara otomatis keturunan itu dianggap hitam. Peraturan tersebut menjadi terkenal
sebagai one-drop rule yang berarti apabila seorang memiliki hanya setetes darah
hitam ia tetap dianggap hitam.
Melalui pendidikan yang mereka peroleh di seminaris maka para misionaris RMG
tidak hanya dipengaruhi oleh teologi kebangkitan yang dipupuk oleh nasionalisme
Herder, tetapi juga oleh rasisme yang dibalut dalam kemasan keagamaan. Oleh
sebab itu mustahillah seorang pemuda misionaris akan mengawini seorang
perempuan Batak karena perbuatan yang tercela itu akan mengancam kemurnian
23
24
25
agama
Bali
yang
di
kemudian
hari
menjadi
Hindu
dicap
sebagai
Nordrhein-Westfalen
dan
negara
bagian
Rheinland
Pfalz).
Di
situ
(mulai 1861).
Pimpinan RMG terdiri dari seorang presiden (Prses) yang biasanya merupakan
orang kaya yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan besar
yang turut menyumbangkan dana operasional RMG, dan seorang direktur yang
memiliki latar belakang teologi dan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan
misi. Para misionaris berada langsung di bawah direktur, dan mereka diharapkan
untuk senantiasa patuh pada direktur dan melaksanakan perintahnya.
Johann Christian Wallmann (1811-1865) menjadi direktur RMG dari 1848
hingga 1857.
teologi RMG yang merupakan teologi penebusan yang berasal dari gerakan
kebangkitan yang menekankan kebutuhan orang akan penebusan, pertobatan dan
26
Pada tahun 1971 RMG bergabung dengan Bethel Mission di bawah nama Vereinigte
Evangelische Mission (Persatuan Penginjilan Evangelis) yang pada tahun 1996 menjadi
Vereinte Evangelische Mission (Penginjilan Evangelis Bersatu)
Namun untuk periode yang disoroti dalam buku ini Wallmann tidak
dan rasisme yang dipadukan oleh Rohden dengan peristiwa sejarah yang
diambilnya dari alkitab injil.
Bagi Rohden seluruh manusia adalah keturunan nabi Nuh karena hanya nabi Nuh
beserta keluarganya selamat pada air bah yang menurut Rohden melanda dunia
5000 tahun yang lalu.27 Rohden berpedoman pada kisah dalam Kitab Kejadian
ketika nabi Nuh mengutuk Kanaan.
9:18
Anak-anak Nuh yang keluar dari kapal itu ialah Sem, Yafet dan Ham. (Ham adalah ayah Kanaan.)
9:19
Ketiga anak Nuh itu adalah nenek moyang semua orang di dunia.
9:20
Nuh seorang petani, dan dialah yang pertama-tama membuat kebun anggur.
27
Kini diperkirakan bahwa air bah terjadi sekitar 5600 SM ketika zaman es berakhir dan
permukaan lau naik sehingga Laut Tengah meluap ke dalam Laut Hitam yang sebelumnya
merupakan sebuah danau air tawar yang dangkal dan jauh lebih kecil dan yang dikelilingi
oleh dataran yang subur. Air yang mengalir melalui Bosporus selama 300 hari dengan
kecepatan 96 km/jam melepas volume air 200 kali lipat dari air terjun Niagara, dan
membanjiri daratan seluas 155.000 km2.
9:21
Setelah Nuh minum anggurnya, ia menjadi mabuk. Dilepaskannya segala pakaiannya lalu
tidurlah ia telanjang di dalam kemahnya.
9:22
Ketika Ham, yaitu ayah Kanaan, melihat bahwa ayahnya telanjang, ia keluar dan
memberitahukan hal itu kepada kedua saudaranya.
9:23
Kemudian Sem dan Yafet mengambil sehelai jubah dan membentangkannya pada bahu
mereka. Mereka berjalan mundur memasuki kemah itu dan menyelimuti ayah mereka dengan
jubah itu. Mereka memalingkan muka supaya tidak melihat ayah mereka yang telanjang itu.
9:24
Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mengetahui apa yang diperbuat anak bungsunya
terhadap dirinya,
9:25
ia berkata, "Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya.
9:26
9:27
Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya.
Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi
budak Yafet."
9:28
9:29
Bagian dari Kitab Kejadian ini menimbulkan berbagi kesulitan: 1. Tidak jelas
mengapa justeru Kanaan (anak Ham yang tidak melakukan apa-apa) dikutuk, 2.
Tidak semua nama tempat yang disebut diketahui keberadaannya. 3. Tidak jelas
apa yang terjadi dengan bagian dunia yang tidak disebut dalam alkitab seperti
bagian selatan Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika.
Masalahnya
pada
waktu
Kitab
Perjanjian
ditulis
kawasan-kawasan
tersebut
Termasuk juga pulau-pulau di Samudera Pasifik serta semenanjungsemenanjung di Asia Tenggara dari dahulu dan sebagaian besar masih
hingga kini didiami oleh keturunan yang sama. (Rohden, 1867:25)
Rohden
mengaitkan
interpretasinya
dengan
paham
rasisme
yang
mengidentifikasikan lima ras menurut warna kulit: putih, kuning, merah, cokelat,
dan hitam. Menurut Rohden warna kulit keturunan nabi Nuh ditentukan oleh derajat
dosa yang dipikulnya: Semakin berdosa sebuah bangsa, semakin berubah bentuk
dan warna kulitnya. Semakin hitam warna kulit sebuah bangsa semakin berdosa
bangsa itu:
Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan
ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri semakin merosot
moral dan kecerdasan seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh, dan
warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan kulit yang
paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang.
Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada:
ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan
ilahi.28
Menurut Rohden bangsa yang berkulit hitam malahan bisa saja menjadi putih
kembali melalui pengaruh agama Protestan!
Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi
manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh
Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses
penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang,
pandangan mata, dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, dan
bahkan warna kulitnya, secara turun-temurun, bisa menjadi lebih putih.29
Karena
Rohden
percaya
pada
keunggulan
bangsa
Germania
maka
ia
29
Die Menschen aber haben sich in verschiedener Stufenfolge bald weniger, bald mehr von
ihrem gttlichen Lebensquell losgerissen, und in dem Mae wie das geschehen ist, hat
sich zugleich mit ihrem sittlichem Bewusstsein und ihren geistigen Fhigkeiten auch ihre
Gestalt, ihre Krperform, ihre Farbe verndert. Die am meisen ausgearteten sind auch am
tiefsten (schwarz) gefrbt, und in ihrer Erscheinung den Thieren am hnlichsten
geworden. Der himmelsweite Unterschied zwischen Mensch und Thier bleibt immer noch
bestehen, das ist die vernnftige menschliche Seele, die den Menschen von Gott
eingehaucht ist als Theil und Stck gttlichen Lebens in ihm (Rohden 1867:4)
Auch der am tiefsten heruntergekommene Neger kann durch zweckmige Anleitung
unter dem heiligenden Einflu des Christenthums auf die Hhe menschlicher Bildung
gehoben werden, und in dem selben Mae, als das geschieht, wird seine thierische
Gesichtsbildung schwinden, der Ausdruck seines Auges und die weicheren Theile seiner
Gestalt sich veredeln, ja seine Farbe, wenigstens in der Folge der Geschlechter, von ihrer
Dunkelheit verlieren. (ibid.)
pusat sejarah dunia bergeser ke barat, mula-mula ke Roma, dan sesudah zaman
reformasi ke Jerman sehingga Jerman adalah jantung yang mengalirkan darah
tubuh Kristen Eropa. Sebagaimana bangsa Israel dipilih Tuhan dari keturunan Sem
maka sekarang Jerman menjadi bangsa terpilih dari keturunan Yafet.
Interpretasi
alkitab
sebagaimana
dilakukan
oleh
Rohden
tidak
hanya
30
31
Auch in der neuen Welt (America) sind Hams und Japhets Shne zusammengetroffen,
und auch da erfllt sich das alte Fluchwort, da Hams Nachkomme ein Knecht sein soll
unter seinen Brdern (Rohden 1867:12).
Die neuberufenen Trger der Weltgeschichte (Fabri 1859:7).
11:4
11:5
11:6
11:7
11:8
11:9
Semula, bangsa-bangsa di seluruh dunia hanya mempunyai satu bahasa dan mereka memakai
kata-kata yang sama.
Ketika mereka mengembara ke sebelah timur, sampailah mereka di sebuah dataran di
Babilonia, lalu menetap di sana.
Mereka berkata seorang kepada yang lain, "Ayo kita membuat batu bata dan membakarnya
sampai keras." Demikianlah mereka mempunyai batu bata untuk batu rumah dan ter untuk
bahan perekatnya.
Kata mereka, "Mari kita mendirikan kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke
langit, supaya kita termasyhur dan tidak tercerai berai di seluruh bumi."
Maka turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh manusia.
Lalu Ia berkata, "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa, dan ini baru permulaan dari
rencana-rencana mereka. Tak lama lagi mereka akan sanggup melakukan apa saja yang mereka
kehendaki.
Sebaiknya Kita turun dan mengacaukan bahasa mereka supaya mereka tidak mengerti lagi satu
sama lain."
Demikianlah Tuhan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Lalu berhentilah mereka
mendirikan kota itu.
Sebab itu kota itu diberi nama Babel, karena di situ Tuhan mengacaukan bahasa semua bangsa,
dan dari situ mereka diceraiberaikan oleh Tuhan ke seluruh bumi.
Dalam
alkitab
dikatakan
bahwa
Tuhan
menghukum
manusia
dengan
dengan
konsep
ras:
Ras,
kebangsaan,
yang
menggantikan
32
keluarga manusia .
Menurut Fabri Nimrod (cucunya Ham yang bagaimana pun sudah terkutuk) serta
keturunannya mendapatkan hukuman yang paling keras karena ia memprakarsai
baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan menara Babel:
Semakin besar keterlibatan suatu keturunan [pada pembangunan menara
32
Die Rasse, die Nationalitt, ist an die Stelle der Menschheitsfamilie getreten (Fabri
1859:52).
yang
berkulit
berwarna
tidak
perlu
mengharapkan
mendapatkan
kemerdekaan sampai pada akhir dunia. Kalau pun mereka memeluk agama Kristen
kaum berwarna akan tetap lebih rendah daripada bangsa putih. Karena bangsa
berwarna (keturunan Nimrod) merupakan bangsa yang sejak pembangunan
menara Babel tidak lagi mengenal keesaan Tuhan dan menjadi bangsa yang kafir
sementara pada keturunan Sem dan Yafet masih ada unsur keesaan Tuhan maka
bangsa putih pun memiliki kewajiban untuk menyebarkan injil kepada bangsa yang
berwarna.
Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa
karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit demikianlah ideologi
Fabri dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan
dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek.
Namun di antara ras berwarna kulit cokelat yang dianggap serba dekaden itu
ternyata ada satu bangsa yang tingkat kerusakannya tidak terlalu parah. Dalam
majalah
Berichte
der
Rheinischen
Missionsgesellschaft
Fabri,
yang
ternyata
34
Je mehr sich ein Geschlecht daran betheiligte, desto rmer die Sprache, desto
polytheistischer das Gottesbewusstsein; je weniger Betheiligung, desto edler die Gestalt,
desto reicher die Sprache, desto mehr Anklnge an den ursprnglichen Monotheismus in
der Mythologie. Nun begreifen wir einigermaen, warum die Hamiten die in jeder
Beziehung am meisten zertretenen Vlker der Erde bis auf den heutigen Tag sind, und
ahnen nun auch, wie das Geheimni der Bosheit, zu dessen Haupttrgern sie sich vor
Jahrtausenden gemacht, seine furchtbaren und entstellenden Wirkungen sebst in Farbe
und Krpergestalt bis auf den heutigen Tag ausgrprgt hat. (Fabri 1859:93-40)
Weit mehr als die Malaien nhern sie sich dem indogermanischen Vlkerstamme, sowohl
in der Schdelform, als auch in der Gestalt und Krperfarbe. Ihre Farbe ist so
Berdasarkan dugaan Junghuhn, yang tentu sama sekali tidak beralasan, Fabri
menganggap bangsa Batak lebih unggul dari bangsa-bangsa Melayu, tetapi tentu
tetap di bawah ras putih karena menurutnya dosa yang dipikul oleh keturunan Ham
abadi dan tidak berkurang bahkan kalau mereka memeluk agama Kristen.
Fabri juga melihat adanya kemiripan antara bangsa Germania dan bangsa Batak
karena kedua-duanya dikepung oleh bangsa yang hendak memusnahkannya.
Jerman diancam dari barat oleh musuh bebuyutan Prancis
yang hendak
keadaan orang Batak yang menurut Fabri dikepung oleh bangsa Melayu. Berdiri
sendiri secara kokoh dalam keadaan dikepung oleh musuh adalah gambaran yang
sering dikemukakan oleh para nasionalis Jerman, dan hal yang sama juga
diungkapkan oleh Junghuhn: Batak merupakan bangsa kecil yang berdiri sendiri
dikelilingi oleh bangsa Melayu (II: 13).
Selain daripada rasisme dan chauvinisme tentu ada juga unsur agama karena
bangsa yang mengancam Jerman beragama Katolik (Prancis dan Polandia) atau
Ortodoks (Rusia), dan bangsa Melayu yang mengancam orang Batak beragama
Islam.
Selama Fabri menjadi Direktur RMG ia semakin tertarik pada penjajahan dan
tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk
mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman.
teorinya ia
35
simpulkan dalam
ceramah pada
Konferensi
Zustnde fr die Entwicklung der Mission (Keadaan Politik yang Stabil sebagai
Faktor Pendukung Penginjilan). Bersama mantan misionaris RMG C.G. Bttner dan
35
lichtbrunlich, da man oftmals rothen Wagen unter ihnen begegnet. Sie haben auch ein
reicheres und weicheres Haar als die Malaien, fters von brauner Farbe, und sind stark
und muskuls gebaut. Im Ganzen kann man sagen, da sie zwischen der kaukasischen
und malaiischen Race eine gewisse Mittelstellung einnehmen. (Fabri BRMG 1862:12)
6. Kontinentale Missionskonferenz (Bremen 20 Maret 1884).
sosial
yang
melanda
Jerman.
Kepadatan
penduduk
dan
angka
mereka yang dijajah. Karakter dasar para pribumi daerah tropis yang kurang
lebih lemas, lalai, dan malas dapat diubah kalau mereka didik oleh orang Eropa
untuk berkerja keras. Oleh karena itu kekuasaan Eropa menjadi syarat mutlak
untuk membudayakan kaum pribumi. Karena berkecimpung di bidang penginjilan
luar Eropa maka Fabri menjadi tertarik pada politik kolonial, tetapi keyakinan akan
perlunya penjajahan terutama ia dasarkan pada alasan sosial-politik, dan bukan
penginjilan.
Menurut Fabri para penginjil perlu mendukung pihak penjajah sementara
pemerintah kolonial diharapkan membantu para penginjil dengan menaklukkan
daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (Bade 2005:104). 37
Pengalaman Fabri sebagai direktur RMG membuatnya menjadi makin tertarik pada
politik kolonial
37
Lihat publikasi A. Merensky: Was lehren uns die Erfahrungen, welche andere Vlker bei
Kolonisationsversuchen in Afrika gemachten haben? (Kita bisa belajar apa dari upaya
penjajahan bangsa lain di Afrika?), Berlin 1880; dan Wie erzieht man am besten den
Neger zur Plantagenarbeit? (Bagaimana cara terbaik mengajar si Negro menjadi buruh
perkebunan?), Berlin 1912.
Fabri sendiri pda tahun 1880 pernah meminta perlindungan untuk para penginjil di Teluk
Paus (Walfischbai, Afrika Barat Daya) dari kementerian luar negeri Jerman, namun
kanselir Bismarck menolak permintaan Fabri. (Bade 2005: 335)
akan
bermanfaat
merintis
jalan
untuk
perusahaan-perusahaan
perdagangan dan aneksasi kolonial yang akan menyusul. Oleh sebab itu ia
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya agar pemerintah Jerman menyadari bahwa
penginjilan sangat bermanfaat, dan malahan bisa menjadi syarat mutlak (hchst
ntzlich, unter Umstnden sogar unentbehrlich) untuk ekspansi kolonial. (Bade
2005:145)
Tidak semua orang di RMG setuju dengan kebijakan Fabri yang pro-industri, dan
kecenderungan Fabri untuk bersekongkol dengan para industriawan, apalagi
kegagalan usaha-usaha Fabri yang diharapkan akan mendatangkan dana bagi RMG
akhirnya menjadi penyebab bahwa Fabri terpaksa mengundurkan diri dari jabatan
sebagai direktur Rheinische Mission.
w
Penginjil sebagai Penjajah
Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813
1873) yang pada masanya di tanah airnya Inggris dianggap sebagai pahlawan
nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk perdagangan dan
kekristenan. Mengabdi pada Tuhan menjadi tujuan utama para misionaris, tetapi
sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengabdi pada Tuan
Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menjadi penjajah. (Paczensky
1991: 262)
Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap
di Gronamaqualand 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang dikenal
sebagai Namibia menjadi daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme,
dan tanpa disuruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan
Jerman baru berdiri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia
tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan.
Ketika para misionaris tiba di Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand
dihuni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat
itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero
untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu
terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai
perselisihian. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan dan konflik semakin
berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka
dianeksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman.
Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero,
dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa
yang terdiri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang,
mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band.
hal. 245)
Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta
perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena
kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan
Jerman.
Pada awal tahun 1880an konflik antara Herero dan Naman semakin menjadi,
dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni
1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges
Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna
melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122,
band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa
menurutnya seyogyanya kawasan itu dijajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris
karena dianggapnya lebih sesuai bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa
yang sama (ibid., hal.123).
Kali ini juga Bismarck menolak permintaan RMG, namun sikap Bismarck
terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman
bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan
terutama di Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menjadi Namibia
sebagai jajahan Jerman terjadi dengan dukungan dan bantuan para misionaris
RMG. Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada hakikatnya,
dan tanpa pengetahuan mereka, mengatur perampasan wilayahnya. Misionaris
Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa keadaan menjadi tenang
sekali dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen.
Sesudah masyarakat tradisional mereka dihancurkan secara total oleh para
penjajah maka mereka tiada lagi pegangan untuk dapat bertahan di bahwa orde
baru sehingga terpaksa mereka andalkan satu-satunya lembaga yang masih
berfungsi yaitu lembaga Kristen (Paczensky 1991:262-268).
38
Alles, was auf die Beine zu bringen war, zog aus auf die Jagd. Da wurde totgeschlagen
und totgeschossen alles, was zu erreichen war, mnnlich und weiblich. Von Schonung des
Nachwuchses war keine Rede. Die Folge war, dass in der Nhe bald nichts Jagdbares
mehr zu finden war.
perang antara suku Naman dan Herero maka terpaksa P.T. Dagang Zending gulung
tikar.
Sesudah kepergian Fabri kebijakan RMG berubah drastis, dan pada tahun 1884
para penginjil diimbau:
Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa
[tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya diri,
ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan
rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa
diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol,
Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya
dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-dapatnya
melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh
bangsa putih. [...]. Jauhkan diri dari segala masalah politik.39
August Schreiber yang menggantikan Fabri berupaya untuk menjaga jarak
dengan pemerintah kolonial:
Kolonisasi bertujuan untuk menambah kekuasaan dan kehormatan tanah
air kita yang tercinta sedangan penginjilan demi kebesaran kerajaan Allah
dan demi kehormatan raja kita di surga Yesus Kristus. Oleh sebab itu
kedua urusan itu jangan dicampur karena bermanfaat bagi kedua belah
pihak bila ada pemisahan yang jelas antara kedua urusan tersebut. Dari
sejarah kita mengetahui betapa buruknya bila penginjil berupaya untuk
menjadi penjajah, dan sama buruk hasilnya bila pemerintah berupaya
untuk menyebarkan injil.40
Namun Schreiber pun tetap berkeyakinan bahwa perampasan wilayah adalah hal
yang wajar, dan bahwa para pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah, dan
ia mengeluh bahwa sayang sekali hal ini jarang disadari oleh bangsa yang
ditaklukkan.
39
40
Eure Aufgabe ist es, Christum zu predigen und die Seele Eures Volkes zu retten; jene
aber wollen sich selbst bereichern, wollen Handel, Gewerbe, Industrie, unbekmmert, ob
das Volk darber zugrunde geht. Noch nirgend ist in der Heidenwelt eine europische
Kolonie entstanden ohne die schwersten Ungerechtigkeiten. Portugiesen und Spanier,
Hollnder und Englnder haben darin ziemlich gleichen Schritt gehalten. Die Deutschen
werden es schwerlich viel besser machen, und Ihr werdet die Aufgabe haben, Euer Volk
vor Mihandlungen und Vergewaltigung der Weien zu schtzen, solange Ihr knnt [...].
Haltet Euch von allen politischen Fragen fern. Deputation Rheinische Mission kepada
Namakonferenz, 29-12-1884, ARM M SWA, hal. 8689. Dikutip dari Bade 205:225-226.
Kolonisation dient zur Ausbreitung der Macht und des Ansehens unseres lieben deutschen
Vaterlandes, die Mission dagegen will dienen zur Ausbreitung des Reiches und der Ehre
unseres himmlischen Knigs, Jesus Christus. So wolle man auch hier nicht
verschiedenartige Dinge durcheinandermischen oder miteinander verwechseln; es wird
beiden zugute kommen, wenn man sie reinlich und deutlich auseinander hlt, denn die
Geschichte kann uns lehren, dass noch niemals gute Resultate dabei herausgekommen
sind, wenn die Missionare Kolonien grndeten, noch wenn die Kolonialmacht missionierte.
03/05/1878
04/05/1878
05/05/1878
8 Mei 1878
11/05/1878
12/05/1878
akhir Mei
27/12/1878
melakukan
pengeditan
bila
para
misionaris
terlalu
kuat
mengecam
pemerintah kolonial. Hal itu terjadi pada surat penginjil Pilgrim yang pada 25-111887 menulis tentang Perang Toba Kedua:
Para serdadu telah kembali dari Dolok Sanggul. Baru tadi Kontelir Welsink
datang kemari. Mereka membakar 60 kampung yang indah. Para musuh
mengungsi ke hutan dengan membawa harta karun mereka dan tidak
kembali selama enam minggu. Melalui seorang pengantara mereka
dipaksa untuk membayar denda 1500 Gulden. Bangkara dan Lintong akan
dihukum dari Danau Toba karena pemerintah akan mengirim kapal ke
Danau Toba. Mudah-mudahan hal itu akan berakibat positif terhadap Si
Gaol dan Samosir sehingga kita dengan aman bisa menyebarkan injil.
Beberapa hari yang lalu kami diberitahu oleh Nommensen bahwa Sarbet
(?) dan 15 orang Aceh berada di Samosir. Maunya dengan bantuan Tuhan
injil dapat juga dibawa kepada orang Aceh yang selama ini berada di
kemelut perang. Sampai sekarang yang mereka dapatkan dari kita orang
Eropa hanyalah peluru dan mesiu. Tidak mengherankan kalau mereka
membalas dengan menyerang kita seperti harimau. (RMG 1.941
tertanggal 25-11-1887)
Cuplikan dari surat asli Pilgram di atas diterbitkan dalam BRMG dalam versi yang
lebih pendek dan lebih moderat:
Para serdadu sudah kembali dari Dolok Sanggul. Mereka membakar
sejumlah kampung, dan musuh didenda 1500 Gulden, tetapi itu pun hanya
melalui seorang pengantara karena sejak enam minggu mereka tidak
kelihatan lagi. Bangkara dan Lintong direncanakan akan dihukum dari
Danau Toba melalui kapal yang akan diluncurkan. (BRMG 1888:42-43)
Jadi ekspresi simpati dengan korban perang tidak dimuat oleh pihak RMG.
Penulis buku ini telah membaca kedua surat yang asli yang kini berada di arsip
RMG
di
Wuppertal
dan
membandingkannya
dengan
salinannya
di
BRMG.
Nommensen dan Metzler menulis suratnya dengan tangan dan tentu terdapat
beberapa kesalahan dalam ejaan atau tata bahasa. Oleh sebab itu semua surat
diperiksa dulu untuk memastikan tiada kesalahan yang sempat masuk ke edisi
cetakan. Proses penyuntingan yang dilakukan oleh staf editorial RMG sama sekali
tidak
mengubah
arti
surat
asli
melainkan
hanya
meralat
kesalahan
atau
Tampaknya
surat
pula
pada
halaman-halaman
berikut
pihak
RMG
hampir
tidak
tentang
adanya
persiapan
perang,
namun
penginjil
kita
tidak
menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus
itu sebagaimana layak terjadi semakin jauh dari tempat asalnya, menjadi
semakin heboh.
Selain itu kami yakin bahwa apabila terjadi hal yang paling buruk, atau apabila
penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah dikabari melalui
telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan
bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk
menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka
berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka
kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya
berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba di sini yang terakhir kami menerima
pada tanggal 15 Januari [1878] sehingga keadaan menjadi semakin jelas, dan ada
harapan bahwa masalah ini tidak menjadi lebih daripada sekadar berita angin.
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba,
berdiam
seorang
tokoh
yang
bergelar
Singamangaraja,
yang
berarti,
bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan
seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh
Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang
awalnya Islam kini menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan
Singamangaraja yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol,
misalnya bahwa lidahnya berbulu dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata
acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada rohroh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh
Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali
ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris.
Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya,
entah wabah cacar atau perang di Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah
dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya di Silindung. Suatu hari dia
malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan dijamu di rumahnya. Akan tetapi
kini ia tidak begitu dihormati lagi di Silindung karena dia membawa lari istri
seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya.
Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguhsungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu tentu saja
dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia
mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50
laskar dari Singkel atau Terumon yang di antaranya termasuk sejumlah orang
Aceh. Adanya orang Aceh di antaranya membuatnya menjadi berita karena paling
laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini disebabkan karena
ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan
musuhnya yang dapat menjadi penghalang dalam pekerjaan berdarah mereka.
Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk
menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah
bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan di Sibolga
pasukan sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari
pihak musuh.
Jika hal itu terjadi maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan
Pangaloan dianeksasi menjadi bagian daerah jajahan Belanda.
Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang tadi kami sebut
perlu
kami
mengemukakan
kenyataan
bahwa
1)
Silindung
secara
hukum
Belanda,
dan
kalau
Belanda
sekarang
hendak
menyelenggarakan
pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri
[yang ada di tanah Batak]. Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah
dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [di tanah Batak] adalah
pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah
meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta Tuhan tentu
akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi
zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka
sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.
Singamangaraja,
Perang di Toba
Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung di Toba maka sejumlah surat
kabar
Hindia-Belanda
melontarkan
berbagai
tuduhan
kepada
penginjil
kita.
Tuduhan bahwa kita memilih wilayah penginjilan ini untuk memperkaya diri sendiri
tidak perlu dihiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Malahan pihak di Belanda yang
bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita
meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita di Silindung
berada di kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah. Jadi apa salahnya kalau
mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita
diberi tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil
datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada
utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat yang pada
hakekatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda dan menyerukan [194]
agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang
Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan
berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan
Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan
hal itu kepada Residen?
Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa?
Kalau
pemerintah
Belanda,
berdasarkan
laporan
penginjil
kita,
mengirim
atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak
secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada
orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar
bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa
pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar
bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]
Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi,
di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada
pertumpahan darah yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda
sedapat-dapatnya dilindungi. Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya
para musuh pun bisa melihat niat baiknya. Tidak ada seorang tahanan pun yang
dibunuh, melainkan semua dilepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar
tebusannya.
Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka
hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu
memang sangat penting demi mengukuhkan kekuasaan mereka di Sibolga dan
Deli. Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur,
Pintu Bai dan Lintong ni Huta sudah dapat ditaklukkan. Suatu hal yang sangat
menguntungkan bagi zending kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun
Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zending kita secara
langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita.
Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu
membawa istrinya yang masih muda ke pos zending. Surat yang dikirim pada bulan
Maret berbunyi sebagai berikut:
Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap
baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan
mereka akan mendapatkan uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat
kami cemas sekaligus sedih. Banyak yang dulu menghadiri misa kini tidak datang
lagi. Para raja yang paling parah karena baju hadiah istri saya ternyata tidak cukup
bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin,
kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras,
susu, dsb. [196] yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit
dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang
bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung datang untuk mencari pos buat
penginjil Pse di Butar. Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka
menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga
upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil
Pse ditempatkan di situ sehingga hal itu langsung dikonfirmasikan. Lalu para
penginjil
dari
Silindung
memanggil
Portaon
Angin
bertanya
mengapa
ia
menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos
zending
ditarik
kembali
dan
hanya
seorang
guru
sekolah
ditempatkan
di
Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menjadi Kristen.
Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan.
Kala itu Singamangaraja [198] telah diam-diam menjalin perjanjian dengan raja
Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa dialah biang
keladi kerusuhan.
Desas-desus makin menjadi. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari
Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara yang berjarak hanya satu
hari jalan kaki dari sini, dan kami disuruh untuk segera berangkat. Maka kami
berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zending kami serahkan kepada
raja tua. Sedang di perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk
sementara kami tetap tinggal di Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami
kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada
malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar.
Lalu datanglah penginjil Nommensen, Pse, Simoneit, dan Israel. Sebagian
besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika diserang.
Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin
malahan
mengatakan
musuh
terlebih
dahulu
harus
membunuh
kalau
mau
mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalaukalau pos diserang musuh.
Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan.
Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat
saling mendukung satu sama lain
Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada
zending pemerintah menyediakan 50 bedil beserta amunisi serta menjamin adanya
bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana
yang terjadi tahun 1859 di Kalimantan. Penginjil Nommensen menyuruh orang
bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil,
namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang
memanggil ulubalang itu.
[199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung
dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut
orang untuk memusuhi kami.
Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami
merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru
para penginjil meninggalkan kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap
tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen di
Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyelidikinya. Awal Februari datang 80
tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau dibunuh dan dimakan oleh
penduduk Bahal Batu, tetapi mereka dihalangi oleh Simoneit dan Pse dan
beberapa orang serdadu. Orang itu dibawa ke pos zending dan kemudian ke huta
[kampung] Portaon Angin lalu ia ditebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden.
Setelah kami tinggalkan pos zending dijaga oleh orang Bahal Batu.
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh
berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat diketahui dan para pelaku
diusir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol yang kira-kira sama
dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zending. Hal itu
dilakukan karena balas dendam untuk keponakannya yang gugur di Bahal Batu.
Berkat pertolongan Allah pos zending hingga kini selamat, dan di Bahal Batu belum
ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada.
Pada 14 Maret Bapak Residen datang sendiri dari Sibolga bersama 250 tentara
dan Kolonel Engels yang telah
Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda, dan pada tanggal
16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan
Residen berusaha untuk, bersama dengan para penginjil, meyakinkan musuh untuk
menyerah, akan tetapi usaha tersebut ditolak. Setelah itu Bahal Batu pun
dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda dan para raja harus melakukan
sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai
penerjemah. Orang Butar pun disuruh menyerah bila mau selamat. Setelah
penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan
membakarnya. Penduduknya tidak ditangkap tetapi ada beberapa orang yang mati
dan cedera di antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan
beberapa hari kemudian meninggal di Bahal Batu. Kampung-kampung lain di Butar
lalu menyerah; 11 raja ditangkap dan dibawa ke Bahal Batu, dan masing-masing
diwajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200300 dolar Spanyol atau
600900 Gulden. Kini mereka sudah dilepaskan. Atas permintaan para penginjil
maka Butar diperlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung
yang dibakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para
penginjil yang ditahan di Butar kini menjadi pemimpin musuh.
Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak dibakar, hal mana semoga
akan membuat dia merenungkan peristiwa yang berlalu.
Semua perundingan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ
diserang. Lima kampung dibakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap
netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga
Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja
[umat
paroki
Nommensen]
dengan
tentara
maka
mereka
banyak
menjadi
rusak.
Namun
kesetiaan
penggembala
Tuhan
kita
yang
menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang jatuh sakit, hal mana
dilakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan disiplin di antara umatnya.
Namun tahun yang lalu juga dianugerahi rahmat Allah. Banyak orang meninggal
karena {5} tifus dan disentri. Hampir semua orang Batak yang berjalan dari
Silindung ke Bahal Batu kena salah satu dari penyakit itu.
[363] Banyak orang yang terpaksa ditandu pulang, lain orang membawa
kumannya ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang
yang meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat
menyedihkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang dibaptis pada 14
Oktober 1866.
[Berikut ini laporan saya tentang perang.] Menurut saya dalam sejarah HindiaBelanda belum pernah ada ekspedisi militer yang begitu cepat dan begitu berhasil
seperti Ekspedisi Toba, dan saya yakin pemerintah tidak akan melarang usaha kita
untuk secepatnya menetap di Toba. Untuk sementara waktu para penginjil terpaksa
meninggalkan Bahal Batu karena Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak
dan
mempertimbangkan
menyerang
utusan
Singamangaraja
dan
kami
tidak
bisa
menjaminnya.
Waktu
mereka
berunding
utusan
mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan menyerang lagi, dan bahwa
orang Silindung sudah bersekutu dengan orang Bonjol. [365]
Maka terjadilah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke
Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba di Naga Saribu mereka ditangkap
dan dipasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya. Setelah kejadian
itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke Toba; orang Toba juga masih
marah pada orang Silindung karena desas-desus tadi. Akibatnya makin banyak
kabar angin yang tidak jelas atau dilebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh
di Toba yang masih tetap ada di Bangkara dan di Muara. Beberapa orang kelahiran
Toba yang menetap di Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke
Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu.
Dalam keadaan seperti itu kami sendiri tidak mungkin ke sana dan kami juga tidak
berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena menurut adat Batak
kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak mungkin kami lakukan. Dari
Barus dan Singkel dikonfirmasi memang ada 40 orang Aceh yang berangkat ke
Toba. Seorang raja di Silindung mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari
Padang Bolak ke Huta Tinggi, dan bahwa raja-raja di Huta Tinggi kembali dengan
mereka ke Padang Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya
ke Toba juga sudah diketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke
Toba, tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu ke
Huta Tinggi karena sudah ada serdadu di sekitar Silindung
Keresahan makin menjadi dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan
yang sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap
siaga dengan memegang senjata, dan penginjil di Bahal Batu saking ditakuti oleh
orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa pada malam itu juga
orang Aceh dan sekutunya akan datang.
[366] Surat dengan berita tadi tiba di sini pada jam 1:30 malam. Pada keesokan
hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada di sini, kami berangkat ke
Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Israel yang juga
ikut dengan kami. Setiba di Bahal Batu kami mendapatkan penduduk kampung
duduk di luar kampungnya dengan membawa lembing dan bedil. Setiba di pos
zending datanglah Partaon Angin yang sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa
kami datang untuk menjemput Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan
Israel tetap di situ dengan penginjil Pse. Namun orang tua yang cerdas itu
menjawab: Lebih baik aku mati dibunuh daripada saya membiarkan Saudari
Metzler pergi karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu
akan pergi pula. Biarkan saja dia di sini bersama suaminya. Mereka tidak perlu
khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler di sini maka Bahal
Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak jelas bahwa dia hanya
ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler. Dalam pikirannya, selama masih
ada perempuan Eropa di sini mereka pasti akan berusaha agar Bahal Batu selamat,
kalau dia pergi mereka tidak peduli.
Sebentar kemudian ia berkata lagi: Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa
dijaga, pada malam hari mereka pergi. Walaupun demikian cara pikirannya kami
tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap di Bahal Batu karena jelas
bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau mereka pergi, dan juga karena kami
percaya keadaan masih agak aman.
Namun demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan
penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral dan
beberapa di antara mengatakan [367] akan berpihak pada pihak mana yang
menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya selamat.
Hal mana, demikian penjelasannya, juga dilakukan oleh Mangkali Bonar dari
Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menjadi kaya dan terkenal.
Pendapat yang sedemikian menjadi makin populer apalagi karena orang-orang tua
masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak bersaudara dengan, dan
pernah membayar upeti kepada Aceh dan . Sampai sekarang pun orang masih
memanjatkan doa kepada Soripada di Anse. Maka dengan demikian mereka sudah
membiasakan diri bakalan berada di bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah
begitu baik hati untuk mengirim 50 bedil lengkap dengan amunisi bagi umat Kristen
supaya mereka bisa membela diri kalau diserang.
Minggu demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba
berita bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas
dibunuh di Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari Bahal Batu.
Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta Tinggi Simamora
menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula kelompok 40 orang Aceh
ternyata dipimpin oleh Willem Daut, anak seorang perempuan Eropa, dan Said
Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang dulu sudah pernah mengancam
Singkel.
Oleh sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah
menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan
itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh
menetap di Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya. Pasukan pertama di
bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel sudah
berangkat pada 1 Februari ketika permintaan [untuk mengirim tentara] kami
sampaikan dari sini. Pada tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba di
Pearaja. Kontrolir van Hoevel dan Upas [368] Bartolemy bermalam di tempat kami,
laki-laki yang lain tinggal bersama tentara.
Rumah di kampungnya Obaja sudah disediakan untuk tentara dan dilengkapi
dengan tikar. Kayu api disediakan oleh anak buah Obaja. Para perwira tinggal di
pusat kampung di antara tentara, di rumahnya Jesaia supaya dekat tentara kalaukalau ada sesuatu yang terjadi. Soalnya ada beberapa raja yang pada acara
musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang lain malahan tidak menghadiri
musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada seorang yang berhak menyuruh kami.
Seusai musyawarah dan setelah upacara penaikan bendera Belanda maka tentara
masuk ke Sipoholon, kampung yang letaknya dekat dengan pos zending. Di situ
pun diadakan musyawarah dan maksud kedatangan tentara dijelaskan kepada para
raja, dan sesudah dilakukan pengamatan maka diputuskan pergi ke Bahal Batu.
Waktu itu tiba surat dari Singamangaraja membalas surat Residen. Katanya dia
tidak datang karena ada tentara tetapi bersedia bertemu dengan saya di Pintu Bosi
dengan syarat saya tidak ditemani lebih dari dua orang. Permintaannya ditolak oleh
Kontrolir. Katanya karena ia sudah berjalan jauh dari Sibolga maka pantas
Singamangaraja datang ke Bahal Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat
balasan Kontrolir ia hendak memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak
mungkin karena pembawa surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu
dirobek-robek dan mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perundingannya.
Sementara itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara dikirim ke Bahal Batu. Tidak
lama kemudian tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari Balige
membawa kabar soal perobekan surat [369] serta pengumuman perang asli Batak
yang dinamakan pulas.
Pulas itu terdiri dari sebuah kentang yang agak panjang yang diukir hingga
menyerupai manusia dan ditusuk dengan beberapa lembing kecil dan disertai tiga
surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta sebuah sumbu yang
bekas disulut. Pulas itu digantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa
kali tembakan.
Hal itu terjadi pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang
namanya tertera pada surat tadi memang menggantungkan pengumuman perang
itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang namanya
tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang memanggil orang Aceh,
namun menurut hasil penyelidikan di kemudian hari mereka ternyata tidak bersalah
dan menjadi korban tipu muslihat musuh mereka. Dengan demikian tetap tidak
jelas pengumuman perang itu berasal dari pihak mana.
Beberapa hari kemudian seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan
bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan
tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai
menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika mereka
lebih dekat kami dihujani peluru. Ketika berada pada jarak sekitar 200m mereka
menjerit secara mengerikan sambil menembak dan bertari perang; di situlah
Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak serta meniupkan trompet yang
menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang Batak berdiam sejenak lalu lari.
Mereka berkumpul di luar jangkauan peluru di atas bukit-bukit sampai ada granat
yang meledak (yang mendarat jauh di belakang mereka) yang mengakibatkan
mereka mundur. Sepertinya pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan
kedua dan ketiga [370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang
mati namun jumlahnya susah ditentukan.
Pada awalnya kami tinggal di pos zending, juga sesudah pengumuman perang,
tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zending dan dengan
membawa harta benda kami pindah ke benteng.
Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200
pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah Butar
dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang tewas; lima
kampung dibakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang lain mengibarkan
bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak dibumihanguskan. Sekitar
5060 kampung di Butar yang tidak dibakar namun raja-rajanya ditahan di Bahal
Batu sampai mereka membayar denda yang ditetapkan oleh Residen Boyle.
Sesudah beberapa hari Lobu Siregar diserang. Setelah bertempur selama 12
jam lima kampung dibakar. Kampung pertama sudah dikosongkan namun makan
waktu 1 jam sebelum pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya.
Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di
sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk
menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka
tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan
pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada
di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan
melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal
Batu
dan
juga
Pagar
Sinondi
bersumpah
setia
pada
pemerintah
dengan
dan
juga
Pagar
Sinondi
bersumpah
setia
pada
pemerintah
dengan
Orang Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa di bukit
sebelah utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan
mencederai seorang di antara mereka maka mereka langsung lari karena takut
akan dikejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek Simokmok.
Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana dan menembak
mati seorang.
Sesudah semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat
ke Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni Huta dan
Si Hombing. Negeri itu yang terdiri atas sekitar 70 kampung sudah bersumpah
setia di Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Bangkara.
Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni Huta kami bertemu dengan Ompu ni
Chordopang dari Bangkara, raja yang memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura
seolah-olah menjadi sahabat lama. Karena saya berjalan paling depan dan saya
langsung mengenalnya maka saya melaporkannya kepada Residen. Lalu dia
ditangkap. Ketika kami mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah.
Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang
terletak 550600 meter di bawah. Ketika kami tiba di kompleks kampung yang
salah satu di antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin
granat ditembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai
jatuh di kampung. Lalu kami turun. Tiba di bawah, kami melihat pertahanan
kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung dikelilingi tembok setinggi 4
meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu kokoh dan terjal sehingga
orang bisa kagum melihat kesabaran mereka membuat tembok. Di atas [373]
tembok tumbuh tanaman rambat yang berduri yang tidak dapat dipegang dengan
tangan telanjang.
Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang
berusaha memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari
atas kami bisa melihat kejadian di kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka
membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang
dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut.
Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera.
Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 1012 laki-laki
dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
Tentara menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung satu
kampung. Kampung-kampung yang lain ditempati oleh mereka dari Bahal Batu,
Butar, dan dari lain tempat di Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang
antaranya
ada
istri
dari
raja-raja
yang
terkemuka.
Maksudnya
supaya
sangat dalam, tetapi cukup dalam untuk menghalang kami karena arus yang deras.
Para serdadu juga sudah lelah seusai melewati [375] sawah-sawah di terik
matahari maka kami istirahat dulu.
Lalu kami melihat penginjil Simoneit yang di seberang sungai menyemaikan bibit
perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Kapten
menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk surat kepada Kolonel
meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah pasukannya untuk kembali
karena
kampung-kampung
di
ujung
selatan
lembah
Bangkara
juga
sudah
menyerah.
Raja itu didenda dan diwajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada
hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan semua
tawanan dilepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara sesudah
kampung-kampung yang kami tempati dibakar oleh serdadu.
Makan waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya
sampai di dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 2030 kuli
yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal sehingga kami
menjadi basah. Karena cuaca di atas jauh lebih dingin maka Simoneit dan saya
tidak mau duduk-duduk kedinginan. Kami jalan-jalan arah ke utara untuk bisa
melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang. Setelah kami berjalan sekitar
satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka kami melihat sekelompok orang
bersenjata menuju kami. Di antara kami dan mereka ada lembah yang lumayan
dalam. Mereka mempercepat langkah untuk bisa menyergap kami dan kami
memutuskan untuk selekasnya kembali. Ternyata mereka bukan pemberani karena
mereka mendaki bukit dengan sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu
tempat kami tadi berdiri untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah
agak jauh baru mereka berani naik ke kubu itu.
Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami di sana
kami langsung bergerak arah ke timur. [376]
Melintasi wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang
jalan itu dipasang bambu runcing yang pasti dilakukan pada hari sebelumnya.
Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka
tampak ketakutan. Hanya satu dua di antara mereka nekad menodongkan laras
senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak. Mereka
lebih kaget lagi melihat di antara kami orang Silindung yang mereka kenal. Orang
Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan laras bedilnya.
Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada
karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain di pasar. Rupanya mereka
tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat untuk
bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal di Paranginan selama
beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah mereka
melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka mereka mulai
menaruh kepercayaan pada kami.
Dari Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun orang
Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang di tengah jalan yang di
dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira kami datang pada
malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta Ginjang kami berhenti di
pasar untuk berbicara dengan para raja, kemudian kami turun ke Meat, sebuah
lembah seperti Bangkara tetapi lebih kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan
diteruskan ke Gurgur.
Jalan ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi hampir sama
keadaan
seperti di Bangkara.
Orang
Batak sudah
sudah takluk minta kepada residen agar kampung-kampung itu tidak dibakar
karena mereka memiliki rumah di situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah
orang Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [378] orang Gohan
terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu, dan kuda keluar
dari tempat persembunyiannya ke arah tentara.
Sementara Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung di tanjung Tara
Bunga bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap di sini,
di jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di mana-mana
terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya bersembunyi di
jurang-jurang
pegunungan
dan
langsung
lari
apabila
ada
yang
mendekati
persembunyiannya. Itulah saat yang paling menyedihkan bagi kami yang datang
sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk
diusir dari rumahnya.
Ketika kami sampai kami disambut raja Balige yang dua tahun yang lalu
menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk
bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami di Gurgur dia datang ke sana
meminta
agar
kami
menyampaikan
kepada
Residen
permohonannya
agar
wilayahnya tidak diganggu namun karena Residen saat itu sangat marah karena
kerugian yang dideritanya di Gurgur maka kami tidak menyampaikan permohonan
itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi menjadi agak jengkel
ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung pertama dalam keadaan
tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya keliling selama kira-kira satu jam
sampai pada pinggir danau di pasar Balige, dan ia puas karena pintu kampung di
sana terbuka semua. Serdadu yang datang 30 menit kemudian langsung mandi
sampai ke lutut di danau karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau
termasuk Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena
rendah letaknya. Tiga kampung dipilih sebagai tempat tentara dan setelah mereka
merasa nyaman di tempat barunya semua terjun ke danau untuk mandi. Pertama
kali di Danau Toba kata mereka semua. Banyak di antaranya mengungkapkan
perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang
begitu indah. [379]
Pada malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang
musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah
takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi saya tidak
ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada acara berperang
dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 5060 kampung dibakar. Awalnya
musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari juga. Menjelang siang saya
berjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di tempat itu Raja Deang mendirikan kubu
dan pertempuran berlangsung. Di Lumban Atas, Paninduan, saya duduk di bawah
pohon besar dan menonton hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan
pergi untuk menjarah kampung-kampung yang dibakar. pada sore hari sekitar jam
3 pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur dan
Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan bersengketa di
tanjung. Mereka menyerahkan diri kepada Residen. Setelah senjatanya dirampas
mereka dijebloskan di sebuah rumah dan dijaga. Pada keesokan hari raja-raja yang
menyatakan diri takluk didenda dan diambil sumpah setia. Karena mereka tidak
begitu cepat bisa mengumpulkan uang untuk membayar denda maka mereka
dibawa ke Bahal Batu untuk di kemudian hari ditebus oleh keluarganya. Pada hari
keempat
kami
berjalan
ke
Onan
Geang-Geang
tempat
tinggal
mertua
dikatakan seluruh Toba ditaklukkan, dan hanya di Toba Humbang masih diperlukan
beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan di sana. Namun hal
itu tidak terjadi karena pemerintah tidak tertarik akan Toba Humbang. Mereka
terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zending kita pun bagus begitu karena kami
kurang tenaga untuk menempatkan cukup banyak penginjil sehingga kami malahan
bisa didahului Islam. Sekarang kami punya cukup waktu untuk menggarap
Silindung dulu sebelum kami masuk ke Toba dalam waktu beberapa tahun
mendatang.
Pemerintah tidak akan melarang karena orang Toba [381] akan makin dekat
dengan pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus
bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya datang,
kita bisa menuruti petunjuk Tuhan.
Sejak Silindung menjadi wilayah Hindia-Belanda dan perang telah berakhir maka
datanglah
ratusan
orang
Toba
berbondong-bondong
kemari.
Banyak
orang
Menaklukkan Toba
Setelah mengadakan perjalanan ke Danau Toba para penginjil berniat untuk
menetap dan membuka pos zending di sana. Kemungkinan itu dulu sudah pernah
disinggung oleh penginjil Nommensen dalam laporan tahun 1876.
Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya
pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di
Silindung memainkan peranan cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda
terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan injil di Silindung mendapatkan
perlawanan dari Singamangaraja yang dulu maupun dari Singamangaraja yang
sekarang.
Karena
sudah
kehilangan
sebagian
besar
kekuasaan
dua-duanya
karena ia bersekutu dengan orang Aceh di utara maupun dengan orang Batak Islam
di timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan
demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak
memperluas dan memperkokoh kekuasaan mengingat tindak-tanduk orang Aceh
dan jaringan mereka yang makin hari menjadi makin ketat dan luas.
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu
cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu
diperhatikan butir-butir berikut:
[1.] Secara formal Silindung sudah lama termasuk wilayah kolonial Belanda
walaupun mereka memang jarang sekali melaksanakan pemerintahannya. Karena
status hukum Silindung sebagai wilayah kekuasaan Belanda maka penginjil kita
mendapatkan izin untuk menetap, dan berhak untuk meminta perlindungan
pemerintah. [203]
[2.] Mengingat hubungan Silindung dan Toba yang begitu erat maka upaya
pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan di Silindung hanya dapat dilakukan
dengan sekalian menaklukkan Toba. Hal itu penting karena Toba, yang padat
penduduk, terletak di antara wilayah perkebunan yang subur di pantai timur dan
Tapanuli dengan pelabuhannya yang penting di pantai barat.
[3.] Penaklukan Toba menjadi begitu penting dan tidak dapat diundurkan lagi
karena adanya unsur Aceh. Selain itu kita tidak boleh melupakan bahwa Belanda
sudah lama merencanakan dan mengupayakan penaklukan seluruh bagian utara
pulau Sumatra. Aceh menjadi musuh yang bertahun-tahun sangat merepotkan
mereka, dan malahan sampai sekarang masih sering merepotkan pemerintah. Aceh
di dahulu kala pernah menguasai hampir seluruh kawasan pesisir Sumatra. Orang
Batak juga pernah berada di bawah kekuasaan Aceh dan bagian utara daerah Batak
hingga kini masih berada di bawah pengaruh Aceh. Pada masa kekacauan
menjelang ekspedisi terhadap Toba, orang-orang tua menceritakan bahwa mereka
dengar dari orang tuanya bahwa dahulu mereka membayar upeti pada orang Aceh.
Dalam doa sampai sekarang pun mereka masih menyembah Partuan Soripada di
Atse. Oleh sebab itu maka Belanda harus secara tegas mematahkan tiap upaya
Aceh untuk memperluas pengaruh atau malahan mempersatukan suku-suku yang
ada di pedalaman pulau Sumatra untuk melawan Belanda.
Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting
lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik
Islam, Aceh, maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus
agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan
dan
betapa
mudah
mereka
mempertimbangkan
langkah
yang
sedemikian menyesatkan.
Puji Allah hal itu tidak terjadi. Kemenangan Belanda dalam ekspedisi yang amat
cepat dan perluasan kekuasaan mereka hingga ke Danau Toba membawa berkat
kepada zending kita, dan sangat penting dalam tiga hal: 1. Pemerintahan di
Silindung dilaksanakan secara semestinya sehingga para penginjil dapat beroperasi
tanpa ancaman. Pemerintahan Belanda yang ditetapkan di bawah kondisi yang
begitu unik, mestinya di mata penduduk kelihatan seperti pemerintah yang
Kristen atau paling tidak ramah terhadap agama Kristen. Hal itu merupakan faktor
yang begitu menentukan di Silindung yang juga akan berpengaruh di Toba. 2. Hal
yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada
pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah
zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci
orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka.
Namun hal itu tidak terjadi. Berkat tangan Tuhan, demikianlah tulisnya penginjil
Nommensen waktu itu, dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki
rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai
oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang
mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas
kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang,
yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang
Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga
mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa
mereka sendiri bersalah. Kalau kejadian berlanjut sebagaimana sekarang maka di
dalam beberapa tahun terbukalah lahan yang luas bagi zending kita. [205] Kalau
situasi menjadi tenang kembali maka kita bisa masuk, apalagi karena kita dilihat
sebagai pelindung terhadap pemerintah. Mereka melihat bahwa siapa saja yang
menuruti nasihat kami tidak akan menderita, dan tidak perlu khawatir. Mereka
yang menderita salah sendiri karena mereka tidak menerima nasihat kita.
Usahakanlah agar sebanyak-banyaknya penginjil bisa datang ke Toba karena
sekarang masa penginjilan mulai di Toba.
Dengan demikian juga terucap butir ketiga:
3. Akibat perang Toba maka orang makin percaya pada penginjil dan sudah ada
yang minta agar kita datang.
Daftar Pustaka
Altena, Thorsten. 2003. Ein Huflein Christen mitten in der Heidenwelt des dunklen
Erdteils.
Zum
Selbst-
und
Fremdverstndnis
protestantischer
Missionare
im
Hans.
Mission,
Kolonialismus
und
Missionierte:
ber
die
deutsche
Eine
Analyse
Emanzipationsprozesses
eigenst!
ndigen
unter
einer
Partnerkirche
ehemals
im
besonderer
Ber!
cksichtigung
kolonialen
Missionskirche
heutigen
Namibia
des
zu
einer
sowie
der
Lothar.
Adat
und
Evangelium:
Zur
Bedeutung
der
altvlkischen