You are on page 1of 86

Utusan Damai di Kemelut Perang

Peran Zending dalam Perang Toba


Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil RMG lain
oleh
Uli Kozok
2009 Uli Kozok (kozok@hawaii.edu)
Hak Cipta dilindungi undang-undang

Daftar Isi

Prakata
Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang
Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah
Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak.
Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya yang namanya jarang
disebut berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang
kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Tokoh

penginjilan

dari

Rheinische

Missions-Gesellschaft

(RMG),

lembaga

penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun.
Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan
mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.
Nommensen memang seorang tokoh yang berkarisma tetapi dia juga hanya
salah satu dari banyak penginjil Batakmission (zending Batak) yang ditugaskan
untuk menyebarkan injil. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya
terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan memang sangat diutamakan
dalam

kalangan

RMG,

dan

para

penginjil

sadar

bahwa

mereka

diharap

melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak dan kebijakan pimpinan RMG.


Sebagai pelaksana, para penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan.
Laporan-laporan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang
dinamakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG. Secara
total ada sekitar 5.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah

Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian
BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang
terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII
terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan
laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para
penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli
yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia,
dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.
Buku ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil, terutama Ludwig Ingwer
Nomensen dan Wilhelm Metzler selama masa Perang Toba. Laporan Nommensen
dan Metzler berbicara sendiri dan tidak perlu banyak dikomentari. Akan tetapi yang
perlu dilakukan ialah mencari alasan mengapa para penginjil begitu rela membantu
tentara Belanda menumpaskan perjuangan Si Singamangaraja XII. Sebagai didikan
seminaris RMG para penginjil tentu dipengaruhi oleh para guru mereka, dan guru
mereka

sendiri

dipengaruhi

oleh

aliran

teologi

dan

ideologi

yang

sedang

berkembang pada waktu itu.


Oleh sebab itu buku ini tidak hanya mengulas latar belakang teologi di RMG pada
pertengahan abad ke-19 melainkan juga ideologi yang sedang berkembang di
Eropa, dan khususnya di Jerman. Hanya dengan adanya pengetahuan tentang latar
belakang kehidupan para misionaris maka kita bisa memahami tindakan mereka.
Pengetahuan

kita

tentang

tindakan

mereka

akan

juga

bermanfaat

untuk

menghindar agar jangan terjadi pembentukan mitos dan legenda yang tidak sehat.
Sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah
bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari
bahwa buku yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap kontroversial.
Sesungguhnya buku ini hanya bisa menjadi kontroversial karena selama ini
penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang
dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang
penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara
kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan
yang berdiri di belakangnya.
Honolulu, September 2010,
Dr. Uli Kozok

Pendahuluan
Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami
pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal
dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya
menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.

Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah
Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke
lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali
meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung
menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga
terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak
memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai
musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen. Bersama-sama
mereka

berangkat

untuk

mematahkan

perjuangan

Singamangaraja.

Pihak

pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan


peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adatistiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial,
saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada
hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak terbuka pada pengaruh Eropa dan
tunduk pada kekuasaan Eropa.
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling
Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti
mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda:
Bantuan dan keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspedisi
militer hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu
untuk meyakinkan rakyat untuk menghentikan perlawanan mereka yang
sia-sia dan mendesak mereka untuk menyerahkan diri.
Sementara yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil
dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische
Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan
Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang
telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba.
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari
pemerintah yang dapat diambil setiap saat.

Kerja sama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan


pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangaraja XII,
tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.
Secara resmi Perang Toba I hanya berlangsung selama dua bulan namun
perlawanan dari pihak Singamangaraja tetap ada. Pada tahun 1880 misalnya pos
zending dan gereja di Simorangkir dibakar oleh seorang raja yang berpihak pada
Singamangaraja yang menaruh dendam terhadap pendeta Simoneit. Alasan
pembakaran itu karena Simoneit atas permintaan pemerintah, ikut pada sebuah
ekspedisi militer kecil sebagai penerjemah.
Walaupun

peran

dan

tujuan

Rheinische

Missionsgesellschaft

(RMG)

dan

penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama


(1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya kontroversi. Ada dua isu
yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di zaman
kemerdekaan:

1.

Peran

para

penginjil

dalam

menaklukkan

Onafhankelijke

Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII


dengan Zending.
Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang
Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel
atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh
pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang duaduanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal
itu akan menimbulkan dilema.
Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul Ahu Si
Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII
berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan mendamaikan kedua tokoh
sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam
penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.
Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik
primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman
dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan
puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan
juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG,
tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan
sebulan

sekali

(Berichte

der

Rheinischen

Missionsgesellschaft).

Daripada

menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sendiri yang terdapat
dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang

ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L.


Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 oleh Zendingsdrukkerij Laguboti
setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya
yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah
disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja
XII melawan Belanda butir 111 (hal. 151186) membahas Perang Toba I, dan
BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang
Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam
RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang
menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun
di atas sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L.
Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan
sejarah

Batak

hingga

dirasakan

perlu

untuk

menerbitkan

ulang

catatan

Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.


Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia
memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda
digambarkan sebagai orang yang cerdik (hal. 157), memiliki tangan kotor
(158), hendak memanfaatkan Nommensen, menggunakan tindakan keganasan
(171), mengadakan kegiatan ganas (171), tujuannya didorong oleh keserakahan
ekonomi dan militer, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang
menonjol hanya unsur kebinatangan manusia (179).
Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari
hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam
pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut
oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya
digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca
bukunya bahwa kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan (156),
Nommensen melakukan pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah
(165), berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai (166),
tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda (159),
dan merasa sedih sekali melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda
Nommensen akhirnya merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan
dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan. Hasil pekerjaannya
sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat
tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling
lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba,
U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah.

Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung


tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke
Silindung

sehingga

Nommensen

hanya

bahan

pelengkap

saja

dan

bukan

merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung. Kalau pun, di


samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja
untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama
Kristen, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi
kesimpulan Sidjabat bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas
permintaan

Nommensen,

tidak

benar

bertolak

belakang

dengan

laporan

Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:


Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen
Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai
mengadakan tindakan kekerasan.
Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan
pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan
bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras bukan hanya
oleh surat-kabar Hindia Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti
Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang
bengis dan keji dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata
berikut:

Memang

benar

bahwa

mereka

[pasukan

bantuan

Kristen,

UK]

diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang


memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya
demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah
yang berlebihan. (BRMG 1878 hal. 195)
Sidjabat

mengakui

bahwa

tidak

semua

orang

Batak

berpihak

pada

Singamangaraja:
...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah
semangat mereka yang mengkhianati perjuangan

mundur

kecuali

Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu
melawan Belanda:
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan
para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka
bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak
membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan
Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa banyak daerah yang sudah berulang

kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi. Raja yang
memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam
wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada
agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat

penting

bagi

Sidjabat

adalah

rekonsiliasi

zending

dengan

Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara


eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395411).
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap
zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: tidak ada sikap permusuhan dari Si
Singamangaraja X terhadap pihak zending (157), melainkan sejak tibanya pihak
zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157),
Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen (158). Menurut
Sidjabat Singamangaraja bukan musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan
zending Kristen sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan
zending itu hanya merupakan godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus
diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen
dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka
dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan
kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama
Nommensen dalam laporannya di BRMG.
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa
lebih sukses di daerah yang merdeka:
Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan
Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu
menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di
daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan
betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan
seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya
lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda].
Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena
para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan
masuk ke Tanah Batak:
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua
orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan
Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam
ke sini.

Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh.
Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta
kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah
Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka
hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan
zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk
adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris
belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang
diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi
zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka
sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah
terkejar? (BRMG 1878:118)
Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah
mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan
dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah
Belanda. (BRMG 1878:193)
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena
mereka berada di wilayah yang pada hakikatnya (eigentlich) berada di bawah
kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum)
Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara
nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut
rakyat yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda
dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil
kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di
atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan
kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah
penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada
Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak
melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan
penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan
penginjil kita? (BRMG 1878:94)
Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan
pasukan

memasuki

dan

menduduki

Bahal

Batu

yang

termasuk

wilayah

Singamangaraja - hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini


mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan
2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara. Menarik untuk dicatat di sini

bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil


untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk
wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi
kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan
pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka
tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.
Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba
Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam
salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si
Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP
Distrik III Humbang, disebutkan bahwa,
...selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan
pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang
mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian,
pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.
Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer
Ludwig Nommensen di Tanah Batak:
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda,
Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah sering berbeda, tetapi di
berbagai bidang kepentingan mereka sejajar, dan di bawah Fabri sebagai direktur
RMG yang sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa
kepentingan misi pada hakekatnya sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial.
Fabri, yang notabene menjadi penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der
Colonien? (Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?) malahan menganjurkan
agar penginjilan dimanfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para
misionaris maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik
dengan membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan
biadab.
Para

misionaris

juga

menekankan

bahwa

Belanda

senantiasa

dapat

mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:


Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang,
sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang
patuh pada Belanda. [...] memang benar bahwa orang Silindung yang
Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka
berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)

Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan


Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi
Toba

ia

secara

konsisten

menggunakan

kata

kami.

Kata

kami malahan

digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa
Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:

Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan
200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.

Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 1012 lakilaki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.

Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera.

[...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami.

Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai


musuh:

Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.

Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500700 orang.


Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah
dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada
20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu
dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak
musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan
dan disiplin.

Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan
kampung-kampung yang berpihak pada musuh.

Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa
melihat niat baiknya.

Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami
yang jahat bergerak lagi.

Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos
diserang musuh.

Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan
meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap
kami.

Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang.

Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar
dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang
menghasut dan mencelakakan rakyatnya.

Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh
berusaha untuk membakarnya.

Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending
Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang
ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak
antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak
dapat diterima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah
kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya,
penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan
pelajaran mereka di seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa
yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa
keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan
mendukungnya dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu
membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan
bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka
pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan
sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa
orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan
membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. (BRMG
1882:202)
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan
bahasanya Nederduits (Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur
asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat
dekat

dengan

bahasa

Belanda.

Selain

itu,

sesuai

dengan

pelajaran

yang

diperolehnya ketika belajar di seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan


keturunan ras Germania yang sama.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah
tampak pada kutipan berikut:
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan
begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban,
maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202)
Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang
Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak
orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di
kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai
beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak
sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.

Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya


tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri,
Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama
yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan
kolonial pada hakikatnya sama.
RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan
politik, tidak hanya di Batakmission tetapi juga di wilayah kerja yang lain seperti di
Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik
dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada
tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan
kemerdekaan masyarakat hitam di Afrika Selatan. Demikian juga di Tanah Batak.
Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh di kalangan orang Batak, dan
ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sendiri nasib
gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja
Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan
bahwa kemandirian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah
menakdirkan orang putih sebagai pemimpin1.
Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:
Berkat tangan Tuhan, [...] dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan
menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan
ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun
mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan
yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang
disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang
hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat
kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga
mereka
tidak
dapat
membenci
kita,
apalagi
karena
Tuhan
menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. (BRMG 1882:204)
Perlu ditekankan bahwa Nommensen

membantu

pemerintah

dan

tentara

Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen
melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen
para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah
kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia
yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina
Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara:
Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,
1

Lihat Aritonang 1988.

kagum saja tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan


mitos
juga
dapat berbahaya.
Sayangnya manusia mempunyai
kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama
yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku
Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L.
Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai anak zaman
dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan tidak sebagai tokoh legendaris.
Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul
dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini
dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada
tempat dalam masyarakat Jerman modern.

Pada awal abad ke-21 paham

keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada
abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai
kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila
diterjemahkan berarti Pantai Utara).

Ketika

ia berumur 14 tahun gerakan

demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal.


Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu
tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat
peraturan sendiri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches
Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu
dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan
barangkali menjadi negara termaju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa
lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum
memiliki daerah penjajahan.
Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga
dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG.

Sejarah Masuknya Injil ke Tanah Batak


Gerakan penginjilan [...] bermula bertepatan dengan
waktu munculnya kolonialisme, imperialisme, dan,
sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka
gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan
sejarah rasisme.

Ph. Potter, Dewan Gereja Se-Dunia 2


Orang-orang yang memainkan peranan penting pada sejarah masuknya injil ke
Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter
Johannes Veth, Herman Neubronner van der Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang
disebut dalam publikasi yang berkaitan dengan sejarah penginjilan di Indonesia.
Ahli botani F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil
dibawa ke Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemudian menarik perhatian direktur
Serikat Penginjilan Belanda P. J. Veth. H.N. van der Tuuk menjadi orang pertama
yang menerjemahkan injil kepada bahasa Batak, dan Friedrich Fabri menjadi 'otak'
di balik penginjilan orang Batak.
Franz Wilhelm Junghuhn (18091864) lahir di Mansfeld, Kerajaan Westfalia
(sekarang menjadi bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia dipaksa menjadi seorang
dokter namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia
pindah ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menjadi warga negara
Belanda. Karena ingin ke Hindia-Belanda maka ia mendaftar di tentara Belanda
sebagai dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba di Jawa dan pada tahun 1840 ia
ditugaskan ke Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang
pejabat yang pada tahun 1841 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berkat
bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang
pada saat itu masih merdeka.
Pada waktu itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk
tidak memperluas wilayah Hindia Belanda melainkan membatasinya pada Jawa,
Maluku, dan beberapa daerah di Sumatra. Karena politik tidak campur tangan
dalam urusan raja-raja di Nusantara (onthoudingspolitiek) maka Belanda tidak
mempunyai rencana konkret untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah
ada beberapa raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada Belanda maka
pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan
daerah yang nantinya dapat dipergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk
ke Tanah Batak.
Informasi yang dicari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah.
Mereka ingin mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan
sungai, jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya
2

Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972-1984: Die
missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus, Imperialismus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist die missionarische
Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des Rassismus verbunden.
[Dikutip dari Jura 2002:285].

alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb.
Junghuhn juga diminta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan,
adat, dan pemerintahan di Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan
yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga
tentang kanibalisme.
Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak
terbatas sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki
Junghuhn lama tinggal di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguhsungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama di
daerah Batak. Sesudah menetap di Barus selama delapan belas bulan terpaksa
Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspedisi

pertama

Junghuhn ke Tanah Batak merdeka dimulai pada pertengahan November 1840 dan
membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember
Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit.
Perjalanan kedua dimulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung
selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspedisi yang
pertama Junghuhn didampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan
pembantunya yang terdiri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari
wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sendiri menjadi
pengawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya
dipersenjatai dengan bedil yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25
orang (Angerler 1993: 6).
Walaupun sakit-sakitan selama berada di Tanah Batak Junghuhn sempat menulis
dua jilid dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battalnder auf Sumatra. Bukunya
dibagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras,
kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan,
musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian,
peternakan, dan irigasi.
Sesuai dengan

permintaan

pemerintah

kolonial

yang

mempekerjakannya,

Junghuhn memberi rekomendasi bagaimana orang Batta dapat dijadikan warga


negara yang patuh (die Batter zu gehorsamen Unterthanen zu machen). Antara
lain ia memberi saran agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menjadi
kepala pemerintahan karena hal itu akan dimanfaatkan untuk memberontak
melawan Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli
tanpa pemerintahan pusat karena hal itu membantu menaklukkan orang Batak.
Menurut Junghuhn daerah Batak lebih baik diperintah langsung oleh Belanda. Perlu
dicatat di sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para

pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda


biasanya tidak suka bila bangsa pribumi diperintah langsung oleh pegawai Belanda
karena biayanya lebih tinggi.

Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan

nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menjadi salah satu dari tidak banyak
wilayah di Indonesia yang diperintah secara langsung.
Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat digolongkan liberal. Ia amat kecewa
melihat keadaan tanah airnya: Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan,
kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang dihalalkan oleh
gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa,
pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat perang! kapal dan
benteng pertahanan diledakkan, ribuan manusia dikorbankan dalam sedetik; orang
saling mencurigai, benci... Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk
keadaan Eropa yang begitu menyedihkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis
ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya
penginjilan di Jawa.
Apa alasan maka dalam Die Battalnder auf Sumatra Junghuhn yang sendiri
anti-Kristen menyarankan agar pemerintah

kolonial memperkenalkan agama

Kristen pada orang Batak? Ternyata untuk memperkenalkan agama kontra-Islam


(Junghuhn, 1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama
Islam di Tanah Batak merupakan kebijakan yang teramat penting. Agar cepat
orang Batak masuk Kristen dan jangan telanjur menjadi Islam maka ia tidak
keberatan bila konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal. (Junghuhn,
1847b:83 catatan kaki).
Dalam BAB 1 yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1
tentang watak, adat, dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang,
ditinjau dari sudut pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat
adanya kemiripan antara bangsa Batak dan bangsa Eropa!
Tingkat budaya orang Batak tidak dapat dikatakan rendah walaupun tentu
masih jauh dari bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun
muka tampak bahwa orang Tobah yang belum bercampur [dengan bangsa
lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras Mongoloid. Tubuhnya
menunjukkan kemiripan dengan ras hindu-kaukasus (indo-eropa). Muka
mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah daripada orang
Melayu. (Junghuhn, 1847a:275)
Warna kulit yang cokelat cenderung menjadi putih, terutama pada
perempuan yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya
kelihatan kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus,
pada perempuan, cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang
Melayu atau orang Jawa, hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan

proporsi tubuhnya seimbang.3 (ibid. hal. 7)


Anehnya kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan
Batak!
Bentuk muka oval yang dapat disebut sub-Yunani lebih sering dapat
ditemukan pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung
memiliki wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.)
Uraian Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth (1814-1895), guru
besar pada Universitas di Leiden dan pendiri Indisch Genootschap, yang sejak 1843
menjadi anggota dewan pimpinan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga
Alkitab Belanda) 4. Pada rapat tahunan NBG tahun 1847 Veth membacakan halaman
275 dari buku Junghuhn Die Battalnder auf Sumatra kepada anggota-anggota
dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan bahwa penginjilan
orang Batak perlu dilaksanakan.
NBG langsung memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman
Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat
muda, untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der
Tuuk lahir di Melaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu
yang separuh Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menjadi wilayah
Inggris sebagai akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke
Surabaya. Tahun 1836 Herman Neubronner van der Tuuk disekolahkan ke Belanda
dan mulai tahun 1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, di Groningen dan
di Leiden. Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta.
Kerena bakatnya yang luar biasa ia dikatakan bisa mempelajari sebuah bahasa
dalam waktu hanya tiga bulan

maka ia dipekerjakan oleh Nederlandsch

Bijbelgenootschap untuk meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan


alkitab

injil.

Selama

berada

di

daerah

Batak

(1851-1857)

Van

der

Tuuk

menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus
bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) Belanda, menyusun tata bahasa
Toba yang menjadi terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah di Hindia

Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren
Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so da selbst ein schwaches Rosenroth der Backen
hindurch schimmert. Dabei sind die Haare nicht schwarz, sondern gewhnlich, und bei
den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien
und Javanen. Der Krper ist wohlgebaut, stark muskuls.
NBG itu bukan lembaga zending dalam arti yang sebenarnya karena tidak menyediakan
zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan
terjemahan alkitab.

Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan
Pakpak.
Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van
der Tuuk adalah seorang ateis namun di lain pihak NBG juga sadar akan
kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina
para penginjil sebagai pengobral buku murahan ia juga bersikap setia pada NBG
sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling
melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang
sama dengan Junghuhn:

Orang

Batak harus diinjilkan untuk membendung

pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatra.


Upaya penginjilan di Tanah Batak dipelopori oleh Hermanus Willem Witteveen
(1815

1884)

yang

pada

tahun

1859

mendirikan

Jemaat

Zending
5

(Zendingsgemeente) dan Gereja Zending (Zendingskerk) di Ermelo . Seusai


kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang seharian bekerja
sebagai pengembala kambing

mendatangi Pastor Witteveen karena hendak

menjadi penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang bernama
Gerrit van Asselt (18321910) itu berada di ladang ia tiba-tia mendengar
Mazmur 96:2 Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah
kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita. Beberapa minggu kemudian
ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 Bangkitlah, menjadi
teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu. Pemuda
setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Ds Witteveen
menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) menanyakan apa von
Asselt bisa menjadi tukang pada zending NZG. Akan tetapi permintaan itu ditolak
dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing.
Selain itu van Asselt dianggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil
untuk

meyakinkan

Persatuan

Pendukung

Zending

Perempuan

Amsterdam

(Amsterdamsche Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zendingszaak) yang


dipimpin oleh Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Lalu
Van Asselt berangkat ke Amsterdam untuk belajar di seminaris. Ia belajar bahasa
Melayu dari Isac Esser (18181885) yang dari 18611864 menjadi residen di
Timor. Esser sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan
tujuan untuk mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar van Asselt
menjadi penginjil di Sumatra untuk menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk
Tuhan. Pada tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang
5

Pastor Witteveen menjadi salah seorang pendiri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat
Injil Bebas) di Belanda.

menerjemahkan alkitab Injil ke dalam bahasa Belanda) ke Batavia. Setiba di sana


ia minta izin pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar sesuai
dengan

amanat

Esser

menyebarkan

injil

di

ranah

Minangkabau.

Namun

permintaannya ditolak karena daerah itu sudah menjadi Islam, dan ia ditawari
gubernur menjadi administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil menyebarkan
injil.6 (Groot 1984: 91-93)
Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser
ketika beliau berceramah tentang Sumatra di muka Persatuan Pemuda Pekerja di
Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka
ditahbiskan oleh Pastor Witteveen.
Pada tahun 1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu
Friedrich Wilhelm Betz (18321881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk
mendampingi van Asselt di Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt
di Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator
kebun untuk bersama dengan Betz membuka pos zending di Silindung. Namun
permintaan Asselt ditolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena
pemerinta tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak
yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan
zending ke Angkola. Betz bertugas di Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 18697
sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang ditahbiskan di Ermelo pada
21-10-186) membuka pos di Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara
Van Asselt tetap di Parau Sorat (Sipirok).

Dammerboer lalu memutuskan untuk

meninggalkan zending. (BRMG 1910:253-257) (Groot 1984: 93-94)


Pada tahun 1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft yang
berkedudukan di Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan
penginjil RMG dibunuh ketika Perang Banjar meletus di Kalimantan sementara
penginjil yang lain diamankan ke Pulau Jawa.
Ketika itu Friedrich Fabri (1824-1891) menjadi Direktur RMG (1857-1884).
Ketika Fabri berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan untuk
menempatkan para misionaris yang sedang berada di Jawa di tempat yang lain.
Sewaktu berada di kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der
Tuuk. Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan van der Tuuk yang
6

Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zending Batak diprakarsai oleh Van
Asselt yang dianggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas
yang sedemikian berat.
Christian Philip Schtz (18381922) menjadi pengganti Betz di Bunga Bondar dari tahun
1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schtz hanya sekali
berlibur ke Jerman (18931895).

pada saat itu sedang berada di Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine
Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zendingskerk Ermelo dengan RMG.
Setelah dirundingkan dengan Pastor Witteveen maka diputuskan bahwa ketiga
misionaris dari Domine Witteveen yang sudah ada di Sumatra, yaitu van Asselt,
Betz, dan Dammerboer selanjutnya dipekerjakan oleh RMG dan diperbantukan oleh
tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst
Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz,
Heine dan

Klammer (Dammerboer sudah

meninggalkan

zending

sedangkan

Denninger masih berada di Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan


kelanjutan penginjilan di Tanah Batak. Betz ditempati di Bunga Bondar, Klammer di
Sipirok, dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru di Pangaloan. Tanggal
7-10-1861 kini dianggap sebagai hari jadi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Tidak lama kemudian L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya
Nommensen ditempatkan di Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk
bergabung dengan keempat penginjil yang sudah berada di sana.
Misi di daerah-daerah selatan (pos zending di Sipirok, Bunga Bondar, Prau
Sorat) berada di wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan
belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan
Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak orang yang
menganut agama Islam dan terutama pada periode sekitar 18671871 ada
kemajuan yang pesat di daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah ada
hampir 700 orang yang menganut agama Kristen. Pada tahun-tahun berikut tidak
ada lagi kemajuan yang berarti. Tahun 1873 tidak ada lagi pertumbuhan di
Bungabondar karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam kecuali
308 orang yang memilih agama Kristen (JB 1873:27). Keadaan yang sama juga
dilaporkan dari Sipirok dan Parausorat (JB 1874:12).
Ludwig Ingwer Nommensen
L.I. Nommensen (kadang-kadang namanya juga ditulis I. L. Nommensen) dilahirkan pada 6 Februari
1834 di Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menjadi bagian dari Kerajaan Denmark.
Setelah mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun ia berjanji akan menjadi penginjil. Ia diterima
di seminaris RMG di Wuppertal-Barmen (18571861) dan setelah tamat Nommensen langsung pergi
ke Belanda untuk naik kapal ke Sumatra bertepatan dengan malam Natal 1861. Di Amsterdam,
Nommensen masih sempat belajar bahasa Batak pada H.N. van der Tuuk yang pada saat itu sedang
berada di Belanda.

L. I. Nommensen umumnya dianggap sebagai salah seorang misionaris yang paling berhasil. Pada
tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen Batak Protestant memiliki 500 paroki dengan
180.000 jemaah, 34 pastor (pandita Batak), hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940
HKBP menjadi mandiri, 1948 menjadi anggota Dewan Oikumene (kumenischerRat der Kirchen), dan
1952 menjadi anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar
2,5 juta HKPB menjadi gereja terbesar di Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen
memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh
penghargaan Kerajaan Belanda dengan menjadi Officier8 Ordo Oranye-Nassau.
Kini nama Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama disebabkan bahwa malahan
dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering dianggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap
bangsa-bangsa berwarna dalam konteks imperialisme kolonial.
Dalam Pengakuan Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-1971 secara resmi Vereinigte
Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG mengakui: Kami terlalu sering menyerah pada
godaan bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari
pribumi. 9
Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan
Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah dikirim ke Sumatra,
Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan disambut dengan baik,
namun pemerintah melarangnya untuk menetap di sana. Pemerintah tidak bersikap
anti-zending dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para
penguasa

takut

bahwa

kehadiran

misionaris

akan

mengakibatkan

adanya

pemberontakan sebagaimana terjadi di Kalimantan tahun 1859 (Perang Banjar).


Karena tidak dapat menetap di Toba terpaksa Nommensen ditempatkan dulu di
Parausorat. Pada November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk
melacak kemungkinan akan diterima di sana, namun sambutan penduduk tidak
begitu hangat: Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak
beralasan) bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yang menetap di antaranya
hal itu pasti akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah
pemerintah Belanda. (JB 1863:46)
Baru pada bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas
Lumbantobing, pindah ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan
yang hebat dari penduduk, ia berhasil membaptis beberapa keluarga di bulan
Agustus 1865. Setahun kemudian Nommensen didampingi oleh Peter Hinrich
Johannsen (1839-1898) yang juga berasal dari Schleswig (tempat kelahiran
Johannsen,
8
9

Weddingstedt

di

Holstein,

tidak

jauh

dari

kampung

halaman

Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah Ridder
Grootkruis, diikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid.
Wir bekennen, da wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den weltlichen
Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brder und Schwestern
zusammenzuarbeiten. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In die Welt fr die Welt No. 12/1971, hal. 13).

Nommensen). Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan alkitab ke


dalam bahasa Batak, mendirikan pos zending yang baru di Pansur na Pitu (1867)
dan menjadi misionaris dan guru di sana hingga ia meninggal pada tahun 1898.
Walaupun RMG mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan di
Silindung mereka prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zending baru di
Sipoholon (1870), Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang
Kristen, walaupun masih minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun
1870an golongan Batak Kristen di Silindung sudah cukup besar untuk menjadi
kekuatan sosial dan politik.
Mulai tahun 1830 Belanda memutuskan untuk tidak lagi memperluas wilayah
kekuasaan di Indonesia. Alasannya karena daerah di luar Jawa akan kurang
menguntungkan bagi negara Belanda, dan juga karena administrasi kolonial tidak
sanggup memerintah seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali
lipat negara induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda di Nusantara
dibatasi pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah di Sumatra. Masih pada
tahun 1861 menteri untuk urusan penjajahan (minister van kolonin) mengatakan
bahwa tiap upaya perluasan wilayah berarti suatu langkah lagi menuju kehancuran
kita10. Kebijakan onthoudingspolitiek (politik tidak campur tangan) itu baru mulai
ditinggal pada tahun 1870an sehingga pada tahun 1907 hampir semua wilayah di
Nusantara sudah menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Suatu peristiwa yang sangat penting untuk sejarah Sumatra bagian utara adalah
pembukaan terusan Suez pada tahun 1869. Sebelum terusan Suez dibuka
kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez,
laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang dikuasai Inggris, lebih pendek
melalui Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut di
perairan Aceh membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan
Aceh dan menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda
keleluasaan untuk berdagang di seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara
Belanda berjanji untuk menjamin keamanan di Selat Melaka. Akibat Perjanjian
Sumatra, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat,
Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) di Singapura yang pada giliran
dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Aceh.
Kehadiran

para

zendeling

di

Tanah

Batak

tentu

tidak

disetujui

oleh

Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah
mereka mengundang

10

Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal

een schrede nader tot onze ondergang.

1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa
mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi
yang

menjalankan

hukum

dan

keadilan

(Recht

und

adanya pemerintah

Gerechtigkeit)

(BRMG

1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens


sebagai sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi
Silindung 11.
Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan
pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata
tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup
berpengalaman.
Pecahnya Perang Aceh di tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda
yang mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang ternyata dipukul balik oleh
pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda Jenderal Johan Harmen Rudolf
Khler tewas. Pada ekspedisi berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki
Banda Aceh sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi
gerilya.
Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang Aceh ternyata juga
menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 dilaporkan bahwa ada
sejumlah orang Aceh di Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja sudah
memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh dan untuk mengusir para
misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. memberi perintah
agar para misionaris harus meninggalkan wilayahnya.
Pada

bulan

Januari

1878

para

misionaris

diperintahkan

untuk

segera

meninggalkan wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris


meminta bantuan tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu
tentara Belanda:
Ekspedisi itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula
dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspedisi itu begitu luar biasa
berhasil karena Silindung menjadi pangkalan yang sangat aman [bagi
tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan dinasihati oleh para
misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya.
Dukungan dan bantuan para misionaris yang ikut pada ekspedisi itu juga
mempunyai tujuan yang satu lagi, yaitu untuk meyakinkan masyarakat
bahwa perlawanan mereka sia-sia dan supaya sebaiknya mereka
menyerah. (JB 1878:31)

11

Immanuel Februari 1894 (dikutip dari Aritonang 1988:160)

Para Penginjil di Tanah Batak


Siapa para misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah diperalat oleh
tentara kolonial?
Para misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus
dibebaskan dari belegu kekafiran dan kebarbaran. Sebagai penganut aliran
pietisme mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit
kembali dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang
sesat. Seperti Aritonang (1988) menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pendidikan
Kristen di Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris
bukanlah sebuah perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris
RMG adalah anak zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan
pada keunggulan ras putih.
Pada tahun 1878, ketika Silindung dan Toba dianeksi dalam Perang Toba I, ada
enam penginjil di Silindung Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Pse, dan
Simoneit. Yang paling tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun
sementara yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka
mulai pendidikannya untuk menjadi misionaris di seminaris RMG di Barmen,
mereka berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Pse). Sesuai
dengan kebiasaan di RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah
mereka tamat seminaris di Barmen dan menerima ordinasi yang hanya berlaku
untuk penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk
pertama kali menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan
mereka semua belum kawin.
Keputusan untuk menjadi seorang misionaris berarti bahwa mereka akan
memasuki

kehidupan

yang

serba

berbeda.

Rata-rata

para

misionaris

RMG

berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada
di Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang diharapkan untuk tetap berada
di tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-satunya misionaris yang
dipanggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang dibutuhkan sebagai
guru di seminaris Barmen12. Misionaris yang paling lama tinggal di Tanah Batak
adalah L.I. Nommensen yang berdiam di Tanah Batak selama 57 tahun, diikuti oleh
M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33
tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap di Tanah Batak hingga
mereka meninggal. Johannsen meninggal di Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,

12

Schreiber hanya tujuh tahun menjadi misionaris (1867-1873) di Prau Sorat.

Mohri di Purba pada usia 72 tahun, Nommensen di Sigumpar pada usia 84 tahun,
dan Staudte di Sipirok pada usia 39 tahun. Jadi kebanyakan misionaris memilih
masa pensiun di Jerman, tetapi ada juga di antaranya, seperti Nommensen, dan
Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris
yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali ke
Jerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schtz misalnya baru kembali ke Jerman
pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas di Pearaja hingga mencapai
umur 78 tahun.
Para misionaris diperbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya.
Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905,
dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun
lebih mengambil cuti ke Jerman.
Setelah diutus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris diwajibkan
untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting
(misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris
tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya di wilayah
kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka
yang tidak mematuhi peraturan ini segera diberhentikan.
Tabel 1 Data Misionaris RMG 18611878
A

Asselt, Gerrit von

1832

1856

1862

1875

1910

Betz, Friedrich Wilhelm

1832

1860

1858

1869

1881

Christiansen, Julius

1844

1871

1879

1906

1934

Heine, Carl Wilhelm

1833

1860

1866

1873

1897

Johannsen, Peter

1839

1865

1870

Klammer, Johann

1826

1855

1861

1883

1919

Leipoldt, Christian

1844

1869

1874

1879

1911

Metzler, Wilhelm

1847

1875

1877

1924

1935

Mohri, August

1835

1867

1871

1907

Nommensen, I.L.

1834

1861

1866

1918

Pse, Heinrich

1842

1874

1882

1905

1920

Schreiber, August

1839

1866

1866

1873

1903

Schtz, Christian

1838

1867

1870

1912

1922

Simoneit, August

1842

1873

1882

1886

1886

Staudte, Friedrich

1845

1873

1877

1898

1884

A Tahun Kelahiran, B Tahun Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun


Kepulangan, E Tahun Kematian

Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para
misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus
segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah
tamat dikirim ke luar negeri dan berada di wilayah kerjanya selama bertahun-tahun
maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sendiri. Oleh sebab itu
maka pilihan calon istri menjadi tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya,
berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan
pilihan RMG lain yang ditentukan bagi tiga penginjil di Borneo. Mereka satu
rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer ditunjuk untuk menjaga
ketiga calon istri itu. Setiba di Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan
lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan di antara kedua
pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya dilaksanakan pada 22 Februari
1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuan lainnya dikawinkan dengan ketiga
penginjil di Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya di Sibolga.
Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun
setelah mulai menetap di Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang
mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun
sebelum diperbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah
hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai
lima, dan penginjil Pse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.
Para calon istri misionaris juga belajar di RMG namun pendidikannya berfokus
pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pendidikan teologi
sangat

kurang.

Terutama

menjahit

dan

menyanyi

dilihat

sebagai

wahana

penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena
ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya diizinkan
mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pendidikan sekolah
anak-anak misionaris dikirim ke Jerman untuk diasuh pihak RMG.
Mengingat bahwa para misionaris tiba di Tanah Batak sebagai bujangan berumur
20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa di antara misionaris itu
yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi,
tidak di zamannya Nommensen dan juga tidak di kemudian hari. Dari lebih dari
seratus penginjil yang diutus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang
memperistri seorang boru Batak.
Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang
penginjil dengan seorang gadis pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak

tertulis bahwa hal itu takkan boleh terjadi. Kendati demikian asmara tidak
senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Mller yang
menjadi penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft di Togo pada November 1900
mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang gadis
Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan
tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya.
Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: Saya telah memberitahu
penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara
seorang penginjil dengan seorang Negro. Permohonan Mller ditolak dan Mller
meninggalkan zending NMG yang merupakan salah satu badan zending yang
progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi dikhawatirkan bisa
menjadi isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu
harus dihindari. Kejadian serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl
Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang gadis Kristen Ewe.
Permintaan ini pun ditolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank diputuskan
(Altena 2003:148-149).
Para penginjil senantiasa disadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para
pendukung dan oleh karena itu mereka diharapkan untuk hidup lebih sederhana
daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana
pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka
sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin
di Nordstrand sebuah kampung kecil dan terbelakang di daerah Schleswig yang
pada tahun kelahiran Nommensen masih menjadi wilayah Denmark: Saya anak
dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang dibesarkan dengan roti tanpa isi,
hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur
gandum13. Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa
daripada duduk di bangku sekolah, pada usia delapan ia menjadi penggembala
kambing, pada usia sembilan ia belajar menjadi tukang atap, pada umur sepuluh ia
menjadi tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menjadi buruh tani, dan sebelum
masuk seminaris RMG ia sempat menjadi guru bantu. Leipoldt dan Christiansen,
teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menjadi guru bantu. Metzler
menjadi

Lohgerber (tukang

yang

mengolah

kulit binatang),

Mohri menjadi

Eisenfabrikarbeiter (buruh pabrik besi), Pse menjadi Zimmermann (tukang


bangunan), Klammer dan Simoneit menjadi Schreiner (tukang kayu), Schtz
13

Ich war ein Junge armer, krnklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz,
Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei gro
geworden. (Warneck 1950:9)

menjadi Anstreicher (tukang cat), Staudte menjadi Drechsler (tukang kayu), dan
Heine menjadi Bauer (petani). Hanya satu di antara keenam penginjil di Silindung,
Johannsen, menjadi guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah
pun dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, dibandingkan
dengan kehidupan di Jerman status sosial mereka di Sumatra jauh lebih tinggi.14
(Angerler 1993:5657)
August Schreiber berbeda dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sendiri
yang berpendidikan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris di Barmen
melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber menjadi
guru di seminaris di Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan mulai
tahun 1884 hingga tahun 1903 ia menjadi Inspektor (direktur) RMG.

Sikap terhadap pribumi


Walaupun

kebanyakan

penginjil

berasal

dari

latar

belakang

sosial

yang

sederhana, mereka berkeyakinan menjadi wakil peradaban yang begitu jauh lebih
unggul daripada budaya kafir (AMZ 6, 1879:352) 15. Masyarakat di wilayah
penginjilan dianggap tidak memiliki peradaban sehingga diperlukan adanya transfer
budaya dan peradaban Eropa. Untuk transfer budaya satu arah itu Warneck
menggunakan istilah Culturkampf (perang budaya) yang dilaksanakan di semua
tempat pertemuan Cultur Kristen Eropa dengan kebarbaran dan Uncultur bangsabangsa di luar Eropa. 16
Oleh karena masyarakat primitif tidak memiliki Cultur (budaya) melainkan
Uncultur (non-budaya/kekacauan) maka sebagian besar unsur budaya yang sudah
ada harus dihilangkan. Namun dalam praktek para penginjil, paling tidak di daerah
Batak, melihat adanya unsur budaya Batak yang perlu dilestarikan, termasuk
aksara Batak, sastra lisan, dan arsitektur. Namun sebagian besar budaya Batak
dianggap tidak penting atau malahan bertentangan dengan agama Kristen sehingga
perlu dihilangkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya untuk

14

15
16

Perlu diketahui bahwa kehidupan seorang tukang, buruh, atau petani pada pertengahan
abad ke-19 jauh sekali berbeda dengan keadaan yang sekarang. Hampir semua
misionaris berasal dari keluarga yang miskin.
Majalah Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) didirikan oleh Gustav Warneck, direktur
RMG.
berall wo unsere christliche, europische Cultur und Civilisation mit der Uncultur und
Barbarei der nicht europischen Vlker in Berhrung getreten (dikutip dari Schubert
2003:126).

bermain

musik

(margondang),

menari

(manortor),

dan

malahan

sistem

kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkannya
dengan

mengizinkan

perkawinan

antara

orang

sesama

marga.

Setelah

mendapatkan perlawanan dari orang Batak maka para penginjil bersedia untuk
berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap dilarang dan diganti dengan
musik tiup asal Jerman. Bukan saja di Batakmission tetapi juga di Afrika seni tari
selain tari Eropa dianggap kegiatan yang berdosa (Paczensky, 1991:134).
Perasaan unggul yang dimiliki oleh hampir semua orang Eropa terhadap bangsa
primitif membuatnya cenderung untuk melihat masyarakat setempat dengan
serba negatif.
Dalam buku hariannya tahun 1853 Carl Hugo Hahn, misionaris pertama di
Namibia, menyimpulkan watak suku Nama sebagai berikut: Watak mereka
sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala,
tidak teguh pendirian, tamak, birahi, suka membunuh, dan pemabuk. Selain itu
mereka teramat membenci bangsa kulit putih.17 Prasangka yang serba negatif
juga

dikemukakan

oleh

Junghuhn.

Menurutnya

orang

Batak

memiliki

sifat

pemabuk, takhyuli, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, keras kepala dan
malas, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sifat positif pada orang Batak seperti
berani, jujur, berterus-terang, baik hati dan mandiri (Junghuhn 1847a:240).
Penilaian positif tersebut tentu juga berkaitan dengan keunggulan ras yang
menurut Junghuhn dimiliki oleh orang Batak terhadap suku-suku lain di HindiaBelanda.
Junghuhn menekankan bahwa orang Batak malas seperti semua orang yang
tinggal di daerah khatulistiwa. (idem 237). Menurut bekas direktur RMG Gustav
Warneck kemalasan merupakan masalah terutama pada bangsa-bangsa primitif
dan bahwa dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus
dipaksa untuk bekerja. Kalau kita membiarkan mereka sendiri mereka akan tetap
malas (AMZ 6, 1879:430). Sesuai dengan semboyan ora et labora, ora (berdoa)
dilihat sebagai budaya, dan labora (bekerja) sebagai inti peradaban dan budaya
sekaligus (Schubert 2003:126).
Oleh sebab itu maka zending memiliki tugas untuk mendidik masyarakat pribumi
agar bisa bekerja dengan tekun dan rajin. Bagi masyarakat kafir di Afrika
pekerjaan terutama yang diuntukkan bagi bangsa pribumi adalah sebagai kuli
17

Die hervorstechenden Zge ihres Charakters sind: unbegrenzter Hochmut, Treulosigkeit,


Hinterlist, Misstrauen, Verschlagenheit und Unvershnlichkeit und Hartnckigkeit und
doch auch Wankelmut, Mord- und Habsucht ... und Wollust und Trunkenheit. Dazu gesellt
sich ein unauslschlicher bitterer Hass gegen alle Weien [...]. Buku Harian penginjil Carl
Hugo Hahn, 1853. Dikutip dari http://de.wikipedia.org/wiki/Nama_(Volk).

perkebunan. Terutama Warneck berulang kali menekankan dalam AMZ betapa


penting zending dalam pembentukan watak yang sesuai dengan kepentingan
penjajah (Schubert 2003:125131).
Namun keadaan di Batakmission berbeda dengan Afrika. Afrika Barat Daya
dijajah oleh Jerman sementara Tanah Batak menjadi bagian Hindia-Belanda.
Jerman memang ada kepentingan ekonomi di Sumatra Timur karena ada sejumlah
perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan Jerman, namun Deli, yang dijuluki Het
Dollarland (Tanah Dolar), dengan kekayaan yang melimpah, cukup jauh dari
Tapanuli. Dari segi ekonomi Tanah Batak kurang menarik bagi pemerintah HindiaBelanda apalagi bagi pemerintah Jerman. Daerah Batak tidak memiliki kekayaan
alam yang layak untuk dieksploitasi, dan juga tidak sesuai untuk membuka
perkebunan. Kemalasan orang Batak yang dikeluhkan para penginjil (BRMG
1863:16) memang termasuk di antara sifat-sifat buruk yang perlu diperantas,
tetapi terutama karena tuntutan etos Protestan dan bukan karena kebutuhan
ekonomi. Selain sifat negatif seperti pendendam, keras kepala, dan susah dapat
diatur, para misionaris juga melihat adanya sifat positif terutama sesudah mereka
telah bertahun-tahun tinggal di tengah-tengah masyarakat Batak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah kedatangan Batakmission ada kemajuan
pesat di Tanah Batak. Namun faktor utama kemajuan bukan Batakmission sendiri
melainkan keadaan politik yang relatif stabil di bawah pemerintahan kolonial, dan
kemajuan ekonomi sebagai akibat keadaan politik dan karena peningkatan
prasarana selama masa penjajahan. Beda dengan orang Minangkabau atau orang
Jawa yang teramat menderita di bawah sistem tanam paksa, zaman penjajahan
bagi kebanyakan orang Batak membawa dampak yang positif, terutama dari segi
ekonomi. Harga-harga turun drastis, terutama setelah dibuka jalan raya yang
menghubungkan Tapanuli dengan Deli, Sibolga dan Padang. Barang-barang yang
belum pernah dikenal tiba-tiba tersedia, terbuka lapangan untuk perdagangan dan
segala macam pekerjaan yang sebelumnya tidak dikenal, adanya sistem pendidikan
dan kesehatan modern juga mendorong kesejahteraan masyarakat.
Namun tetap ada duri di dalam daging: orang Batak dikuasai oleh bangsa asing,
dan

tidak

diberi

kesempatan

untuk

mengatur

kehidupan

sendiri;

tidak

di

pemerintahan dan juga tidak di gereja. Batakmission dikuasai oleh para misionaris
Jerman dan mereka tidak bersedia untuk melepaskan kekuasaan mereka itu.
Dalam buku Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jan S. Aritonang
menulis: Lambat laun sebagaian masyarakat Batak Kristen semakin jelas melihat
bahwa para zendeling Batakmission itu sangat menonjolkan superioritas dan
paternalisme mereka sebagai orang Kristen Barat, dan mereka mulai tidak betah

terhadap sikap yang demikian. (Aritonang, 1988:440). Gerakan kemandirian dan


nasionalisme di bahwa semboyan Hamajuon (kemajuan) dikecam keras oleh para
penginjil yang dengan tegas menolak setiap upaya orang Batak mendirikan
lembaga kemasyarakatan di luar zending. Lembaga seperti HKB dikecam keras
apalagi setelah HKB menjadi semakin nasionalis dan malahan bekerja sama dengan
organisasi politik nasional seperti Sarekat Islam:
Sejak 1918 para zendeling berusaha membendung perkembangan HKB,
antara lain dengan mengimbau masyarakat Batak Kristen agar menjadi
anggota Christelijke Etische (sic!) Partij [...] atau dengan mengajukan
HKB kepada pemerintah sebagai organisasi yang mengancam eksistensi
Zending dan pemerintah di Tanah Batak. (Aritonang, 1988:296) 18
Mereka yang tidak betah dengan paternalisme para zendeling mendirikan
gereja-gereja tandingan seperti Huria Christen Batak, Gereja Mission Batak, dan
Punguan Kristen Batak, tetapi tidak semua aktivis gerakan kemandirian itu
memisahkan diri dari gereja resmi [...] walaupun sebagian dari mereka merasa
diperlakukan kurang wajar atau merasa kurang dihargai oleh para zendeling
(Aritonang, 1988:300)
Kritik yang dilontarkan HKB antara lain bahwa Batakmission kurang berhasil di
bidang pendidikan. Ketersediaan lembaga pendidikan yang memadai memang
sudah lama menjadi sengketa antara para zendeling dan masyarakat Batak. Karena
takut atas pengaruh Islam maka lama sekali Batakmission menolak membuka
sekolah yang mengajarkan bahasa Melayu. Karena para penginjil tetap ingin
mempertahankan bahasa Batak sebagai media instruksi, mereka juga enggan
untuk membuka sekolah berbahasa Belanda. Padahal lulusan sekolah yang
berbahasa Melayu dan Belanda lebih mudah mendapatkan pekerjaan terutama di
pemerintahan. Baru pada tahun 1908 dan atas desakan masyarakat Batakmission
bersedia untuk membuka sekolah berbahasa Belanda, dan baru tahun 1914
Batakmission membuka sekolah berbahasa Melayu yang pertama. Bahkan untuk
menjadikan bahasa Melayu sebagai mata pelajaran di semua sekolah dasar pun
Batakmission tidak bersedia.
Para penginjil memang menginginkan agar orang Batak tetap hidup terisolir
dengan sesedikit mungkin hubungan ke luar dengan alasan agar kebatakannya
lestari, agar jangan dipengaruhi agama Islam, dan agar jangan bersentuhan arus
modernisasi

seperti

gerakan

nasionalisme.

Namun

di

belakang

perbedaan

kepentingan sesungguhnya terdapat konflik yang lebih mendasar: Batakmission

18

Christelijke Ethische Partij adalah partai politik yang dibentuk dan didominasi oleh orang
Kristen Belanda.

bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat nasrani yang ideal sementara


orang Batak lebih condong berpegangan pada filsafat mereka yang tradisional.
Tujuan hidup menurut falsafat Batak ialah mencapai cita-cita tertinggi yaitu
hamoraon

(kekayaan),

hagabeon

(banyak

keturunan),

dan

hasangapon

(kemuliaan). Ketiga cita-cita tersebut pernah disebut oleh penginjil Nommensen


sebagai ketiga dosa H. Terutama di waktu sesudah perang dunia pertama ketiga
dosa H itu malahan ditambah lagi dengan dosa keempat, yaitu hamajuon
gerakan kemandirian untuk menentukan sendiri nasib gereja, untuk berasosiasi
secara bebas dengan suku bangsa lain dalam rangka menentukan nasib bangsa.
RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batak dan
mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa
kemandirian

bertentangan

dengan

kehendak

Tuhan

yang

memang

sudah

menakdirkan orang putih sebagai pemimpin.


Dengan sikap yang demikian Batakmission akhirnya malahan dinilai masyarakat
sebagai penghambat kemajuan sehingga bermunculan berbagai upaya untuk
mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pendidikan alternatif, dan
sekaligus untuk mendorong Batakmission agar bersikap lebih terbuka pada
permintaan dan kebutuhan masyarakat, dan tidak lagi memperlakukan mereka
seperti anak-anak.

Sikap terhadap agama lain


Setelah Jerman bersatu sebagai Deutsches Reich (Kerajaan Jerman) pada tahun
1871 maka raja Prusia menjadi kepala negara dengan gelar kaisar sementara
Austria yang Katolik tidak diikutsertakan. Tanpa Austria kaum Katolik menjadi
minoritas (14 juta) dibandingkan dengan 24 juta Protestan. Kaum Protestan yang
menganggap diri sebagai Jerman sejati (der wahre Deutsche) meragukan
patriotisme kaum Katolik. Pada tahun berdirinya yang kedua Kerajaan Jerman yang
didominasi oleh kaum Protestan, dan dengan kepala negara yang Protestan, sudah
melarang Ordo Yesuit. Pada tahun ketika (1873) diterbitkan Maigesetze (undangundang Mei) yang mendiskriminasikan kaum Katolik dan membatasi ruang gerak
gereja Katolik. Sikap anti-Katolik juga merasuki tubuh RMG dan zending Katolik di
Tanah

Batak mendapatkan

perlawanan

yang

hebat dari pihak HKBP

yang

menganggapnya sebagai musuh besar (JB 1932/1933: h.33).


Namun musuh yang terbesar adalah Islam yang mereka sebut sebagai agama
nabi yang palsu, ajaran sesat, ajaran Iblis yang harus diberantas (Aritonang,

1988:151). Penginjil Batakmission Gottfried Simon menjadi spesialis agama Islam


di RMG. Buku-bukunya tentu saja condong untuk menyudutkan agama Islam,
tetapi ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan keobjektifan berbeda
dengan tokoh-tokoh lain di RMG seperti misalnya direktur RMG Spiecker yang pada
tahun 1911 menyerukan agar seluruh umat Kristen harus berjuang hingga
penganut terakhir nabi yang palsu bertekuk lutut19.

Teologi dan Ideologi RMG


Karena latar belakang pendidikan yang terbatas dan usia yang masih muda
maka para murid seminaris dengan mudah dapat dibentuk oleh guru-gurunya.
Sudah jelas bahwa teologi serta Weltanschauung mereka rata-rata tidak jauh
berbeda dari paham yang dianuti gurunya. Guru yang paling berpengaruh pada
para misionaris adalah F. Fabri (18241891) dan G.L. Rohden (18151889) 20. Fabri
menjadi guru dan sekaligus direktur RMG dari tahun 1857 hingga 1884 sementara
Rohden menjadi guru dari 18461889 dan direktur RMG dari tahun 18841889
menggantikan Fabri yang meninggalkan RMG agar sepenuhnya dapat mengabdikan
diri pada gerakan kolonial Jerman.21
Baik Fabri maupun Rohden adalah orang yang di spektrum politik dapat
digolongkan konservatif, anti-demokrasi, dan pro-kerajaan. Kedua tokoh spiritual
RMG ini juga dipengaruhi oleh paham yang pada saat itu sangat dominan, yaitu
rasisme dan nasionalisme. Sebelum kita menguraikan secara terperinci teologi dan
ideologi Rohden dan Fabri kedua paham yang tadi disebut perlu disoroti terlebih
dahulu.

Berkembangnya Paham Rasisme


Karena tiada manusia yang bisa merampas,
memperbudak, dan membunuh sesama manusia
tanpa melakukan kejahatan maka bangsa yang dijajah
dinyatakan bukan manusia.
Jean-Paul Sartre

19
20
21

Dikutip dari Jongeling 1966:116


Hanya tiga di antara keenam penginjil yang mendapat pendidikan, selain dari Fabri dan
Rohden, juga oleh C. Wallmann yang masih mengajar hingga tahun 1865.
Tentang alasan maka Fabri meninggalkan RMG lihat Bade (1995:369-384).

Asal usul kata ras tidak diketahui dengan jelas. Ada kemungkinan kata tersebut
berasal dari bahasa Latin ratio (alam/watak), radix (akar), atau generatio
(pembuatan), namun ada pula teori yang mengatakan bahwa istilah ras berasal
dari bahasa Slawonik, bahasa Germania, atau malahan bahasa Arab. Istilah ras
pertama kali muncul dalam bahasa-bahasa Romawi sebagai razza (bahasa Itali),
raza (Spanyol), raca (Portugal), dan race (Prancis) sejak abad ke-13. Menjelang
abad ke-16 kata itu juga masuk dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Pada
waktu itu kata ras belum punya konotasi biologis melainkan berarti keturunan,
atau bangsa seperti dalam perkataan bangsa tuan tanah, atau bangsa
aristokrat. Kata ras dalam arti golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik baru
mulai digunakan pada abad ke-17 dan ke-18, dan baru pada abad ke-19 kata
rasisme

masuk

dalam

perbendaharaan

kata

bahasa-bahasa

Eropa.

Dengan

demikian tampak bahwa sejarah rasisme sebagai ideologi masih relatif baru.
Paham atau ideologi rasisme sebagai ilmu lahir pada zaman pencerahan dan
mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20.
Pada zaman pencerahan manusia melepaskan diri dari ideologi gereja yang
melihat seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, dan para ilmuwan mulai
dengan giat berusaha untuk memahami alam semesta secara rasional. Segalagalanya yang ada, terutama tumbuhan dan hewan dijadikan objek penelitian,
diukur, ditimbang, dan dikelompokkan menurut kategori-kategori yang mereka
ciptakan.
Kalau tumbuhan dan hewan dapat dikategorikan menjadi kerajaan, divisi, kelas,
ordo, famili, genus, dan spesies maka manusia pun dapat dikelompokkan.
Demikianlah usul Franois Bernier (1620-1688) yang menyarankan di majalah ilmiah
Journal des Scavants agar manusia dikategorikan menurut warna kulit, postur,
dan bentuk muka. Beliaulah yang untuk pertama kali menggunakan istilah ras
dalam arti yang sekarang.
Ilmuwan

Jerman

Gottfried

Wilhelm

Leibniz

(1646-1716)

berusaha

untuk

memadukan agama dengan ilmu pengetahuan dan menekankan bahwa seluruh


bangsa manusia berasal dari nenek moyang yang sama dan bahwa perbedaanperbedaan ras diakibatkan oleh pengaruh lingkungan hidup, terutama iklim.
Carl von Linn (1707-1778), ahli botani dan zoologi asal Swedia untuk pertama
kali meletakkan dasar tata nama biologi. Beliau juga mengelompokkan manusia
modern (homo sapiens) pada puncak primata. Spesies manusia dikelompokkannya
dalam empat kelas yang masing-masing memiliki bukan hanya ciri-ciri fisik tetapi
juga ciri-ciri watak. Kelas orang Afrika misalnya disebut sebagai jahat, malas,
lalai. Menurut Linn manusia dapat dibagi atas empat ras, yaitu ras putih (Eropa),

ras kuning (Asia), ras merah (Amerika), dan ras hitam (Afrika). Pembagian ini
menggantikan pembagian non-rasional berdasarkan kitab Injil yang pada tahun
1666 dilakukan oleh Georgius Hornius, yang membedakan tiga golongan, yaitu ras
keturunan Yafet (putih), ras keturunan Sem (kuning) dan ras keturunan Ham
(hitam).
Profesor kedokteran asal Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840)
menjadi pelopor kraniometri (ilmu tengkorak). Ia percaya bahwa perbedaan antara
ras dapat dilihat pada bentuk tengkorak, namun ia juga mengakui bahwa tidak ada
batas antar-ras yang pasti. Blumenbach menambahkan ras kelima yaitu ras cokelat
(Melayu).
Sesudah Blumenbach ada sejumlah besar ilmuwan yang menekuni bidang
kraniometri serta bidang-bidang ilmu yang mirip seperti frenologi, ilmu yang
meneliti sikap-sikap kepribadian, dan fisiognomy yang mempelajari bentuk muka
namun semua upaya ini tidak membuahkan hasil apa-apa kecuali memberi kesan
bahwa rasisme memang memiliki dasar yang rasional.
Kini diketahui bahwa pengelompokan ras berdasarkan warna kulit tidak memiliki
dasar ilmiah yang kuat. Bahan pewarna (pigmen) yang dikenali sebagai melanin
yang didapati di dalam kulit menentukan warna kulit manusia. Kulit yang hitam
melindungi manusia terhadap kerusakan yang dapat diakibatkan oleh sinar
ultraungu. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa manusia di daerah tropis
memiliki kulit yang lebih cokelat dibandingkan dengan manusia yang mendiami
daerah berhawa dingin. Namun demikian, di dalam suatu populasi selalu terdapat
variasi warna kulit yang signifikan sehingga klasifikasi manusia menurut warna kulit
tidak akurat. Baik di Eropa, di Amerika dan di Asia Timur ada spektrum warna dari
putih hingga cokelat, tergantung pada individu, dan juga tergantung pada daerah.
Ternyata dalam sejarah evolusi manusia, warna kulit hitam (atau cokelat) adalah
warna kulit yang asli sementara warna putih di Eropa dan Asia merupakan
perkembangan di kemudian hari.22
Di dalam zaman imperialisme Eropa rasisme menjadi salah paham yang secara
ilmiah membenarkan penjajahan bangsa berwarna oleh bangsa putih. Tentu saja
kaum

penjajah

tak

ingin

dikenang

sepanjang

sejarah

sebagai

penjarah.

Karenanya, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya ini.


Mereka berdalih dengan menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa terbelakang
yang hanya dapat mencapai tingkat peradaban bila dibantu oleh ras putih. Dengan
demikian
22

penjajahan

dapat

dibenarkan

sebagai

tindakan

yang

sebetulnya

Lihat juga Sweet, Frank W. 2002. The Paleo-Etiology of Human Skin Tone: Essays on the
Color Line and the One-Drop Rule. http://backintyme.com/essays/?p=4

bermaksud untuk membantu kaum terjajah untuk mencapai tingkat peradaban


yang lebih tinggi.

Nasionalisme dan Keunggulan Germania


Sama dengan kata rasisme, kata nasionalisme pun masih belum dikenal pada
abad ke-18.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara

dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama

untuk sekelompok manusia.


Dalam Theories of Nationalism Anthony D. Smith (1971) menyebut empat
keyakinan yang menandai seorang penganut paham nasionalisme:

Keyakinan bahwa umat manusia secara alamiah dibagi atas bangsa-bangsa


atau kelompok-kelompok etnik yang masing-masing memiliki karakter
nasional, sejarah nasional, serta takdir sendiri-sendiri. Perdamaian dan
keadilan global menuntut adanya dunia yang terdiri atas bangsa-bangsa
yang otonom.

Keyakinan bahwa individu untuk bisa menjadi bebas harus menjadi bagian
dari suatu bangsa, dan mengidentifikasikan diri dengan bangsanya. Hal itu
menyebabkan seorang individu menjadi setia pada bangsanya dan kesetiaan
kepada bangsa adalah prioritas utama baginya.

Keyakinan bahwa sebuah bangsa hanya dapat berkembang apabila memiliki


negara dengan pemerintahan sendiri.

Keyakinan bahwa bangsa itu merupakan satu-satunya sumber kekuasaan


politik.

Menurut penganut paham nasionalisme suatu bangsa harus memiliki otonomi


yang utuh, dan bisa mengatur diri sendiri, memiliki kesatuan wilayah, dan memiliki
identitas nasional yang dalam bahasa Jerman disebut Volkscharakter

watak

bangsa.
Nasionalisme sering disebut sebagai sejenis agama politik karena memang ada
banyak kemiripan antara agama dan nasionalisme. Keduanya melibatkan emosi
atau semacam getaran jiwa, keduanya memiliki sistem kepercayaan, doktrin, dan
ajaran yang tertentu, keduanya memiliki upacara dan ritual, dan keduanya memiliki
kelompok penganutnya.
Baik nasionalisme maupun rasisme mempunyai landasan ideologis yang berakar
pada ide-ide zaman pencerahan dan zaman romantik yang secara ekonomi ditandai
oleh oleh perubahan dari masyarakat pertanian kepada lahirnya sistem kapitalis
dan komersial dengan munculnya kaum borjuis, dan secara ideologis ditandai oleh

munculnya perhatian pada individu dan berkurangnya perhatian pada teologi dan
metafisika. Zaman pencerahan itu juga zaman rasionalisme yang ditandai oleh
berkembangnya ilmu pengetahuan.
Istilah nasionalisme untuk pertama kali digunakan oleh Johann Gottfried von
Herder (17441803). Namun pengertian nasionalisme baginya bukan dalam arti
sempit sebagaimana dipakai oleh kebanyakan nasionalis. Nasionalisme Herder
bukan chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan) yang menempatkan bangsanya
sendiri di atas bangsa yang lain. Lain dengan banyak nasionalis Jerman di
kemudian hari yang yakin akan keunggulan bangsa Germania 23
membenci
menghargai

Perancis

dan

bangsa-bangsa

budaya

dan

Volkscharakter

24

Slavia .
Slavia,

Herder

dan

dan amat

malahan

mengilhami

sangat

timbulnya

nasionalisme Slavia.
Nasionalisme yang berlebihan sering diiringi oleh rasisme. Di Jerman, kebencian
terhadap kaum Yahudi yang oleh sebagian orang dianggap sebagai ras inferior
berakibat pada pembantaian terhadap kaum Yahudi. Di berbagai negara bagian di
Amerika Serikat perkawinan antar-ras malahan dilarang dan larangan itu berlaku
hingga tahun 1967. Tergantung pada negara bagian, peraturan-peraturan itu
berbeda-beda, tetapi selalu dimaksud untuk melindungi bangsa putih agar tidak
tercemar oleh darah yang bukan murni Eropa. Di Arizona, misalnya, mengeluarkan
undang-undang pada tahun 1865 yang melarang perkawinan antara orang putih
dengan orang hitam, namun pada tahun 1931 laragan itu diperluas mencakup
bangsa India dan bangsa Melayu: The marriage of a person of Caucasian blood
with a Negro, Mongolian, Malay or Hindu is null and void. 25 Apabila ada anak yang
lahir dari hubungan antara seorang putih dengan seorang yang non-putih maka
secara otomatis keturunan itu dianggap hitam. Peraturan tersebut menjadi terkenal
sebagai one-drop rule yang berarti apabila seorang memiliki hanya setetes darah
hitam ia tetap dianggap hitam.
Melalui pendidikan yang mereka peroleh di seminaris maka para misionaris RMG
tidak hanya dipengaruhi oleh teologi kebangkitan yang dipupuk oleh nasionalisme
Herder, tetapi juga oleh rasisme yang dibalut dalam kemasan keagamaan. Oleh
sebab itu mustahillah seorang pemuda misionaris akan mengawini seorang
perempuan Batak karena perbuatan yang tercela itu akan mengancam kemurnian

23
24
25

Bangsa Germania biasanya didefinisikan berdasarkan bahasa. Rumpun bahasa Germania


termasuk Jerman, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, Islandia, dan Inggris.
Bahasa-bahasa Slavia yang terbesar termasuk Rusia, Polandia, Ukraina, Serbia, Ceko,
Bulgaria, Belarus, dan Slowakia.
Sejak 1967 semua undang-undang yang melarang perkawinan antar-bangsa dibatalkan.

darah Jerman, dan perkawinan campur dianggap akan menghasilkan keturunan


yang rendah derajatnya.

Teologi RMG di bawah Rohden dan Fabri


Gerakan misi diprakarsai oleh serikat pengijnjilan Inggris pada akhir abad ke-18.
Pada tahun 1792 Baptist Mission Society didirikan disusul oleh London Mission
Society (1795) dan Mission Society for Africa and the Orient (1797). Pada tahun
yang sama berdiri Nederlandsche Zendelinggenootschap, dan ketika itu di Jerman
pun bermunculan beberapa serikat penginjilan. Gerakan misi itu merupakan akibat
langsung dari zaman penjajahan karena ekspansi Eropa ke daerah-daerah yang
hingga itu belum dikenal membuka lahan penginjilan pada bangsa-bangsa yang
memiliki agamanya sendiri yang pada waktu itu dicap sebagai kekafiran. Demikian
pun halnya di tanah Batak. Agama mereka yang sesungguhnya tidak jauh berbeda
dengan

agama

Bali

yang

di

kemudian

hari

menjadi

Hindu

dicap

sebagai

kepercayaan kafir yang perlu diberantas.


Serikat Penginjilan Kawasan Sungai Rhein atau Rheinische Missionsgesellschaft
(RMG) didirikan pada tahun 1828 ketika tiga serikat penginjilan bergabung.26 Basis
RMG terutama di Rheinland dan di Westfalen (kedua daerah kini mencakup negara
bagian

Nordrhein-Westfalen

dan

negara

bagian

Rheinland

Pfalz).

Di

situ

bermunculan kelompok-kelompok pendukung yang menyumbangkan dana yang


menjadi tulang punggung operasional RMG. Medan zending RMG terutama di Afrika
(mulai tahun 1829), Cina (mulai 1846)

Kalimantan (1836-1859), dan Sumatra

(mulai 1861).
Pimpinan RMG terdiri dari seorang presiden (Prses) yang biasanya merupakan
orang kaya yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan besar
yang turut menyumbangkan dana operasional RMG, dan seorang direktur yang
memiliki latar belakang teologi dan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan
misi. Para misionaris berada langsung di bawah direktur, dan mereka diharapkan
untuk senantiasa patuh pada direktur dan melaksanakan perintahnya.
Johann Christian Wallmann (1811-1865) menjadi direktur RMG dari 1848
hingga 1857.

Menurut Schreiner (1972:35) Wallmann meletakkan dasar untuk

teologi RMG yang merupakan teologi penebusan yang berasal dari gerakan
kebangkitan yang menekankan kebutuhan orang akan penebusan, pertobatan dan
26

Pada tahun 1971 RMG bergabung dengan Bethel Mission di bawah nama Vereinigte
Evangelische Mission (Persatuan Penginjilan Evangelis) yang pada tahun 1996 menjadi
Vereinte Evangelische Mission (Penginjilan Evangelis Bersatu)

keselamatan (Aritonang, 1988:101). Berbeda dengan penggantinya, Rohden dan


Fabri, Wallmann tidak terlalu mengagungkan peradaban Eropa dan mengimbau
kepada muridnya agar menyebarkan injil tanpa memaksakan nilai-nilai Eropa
(ibid.).

Namun untuk periode yang disoroti dalam buku ini Wallmann tidak

seberapa berpengaruh karena sudah meninggal pada tahun 1865.


Selama empat tahun belajar di seminaris para misionaris terutama dipengaruhi
oleh heilsgeschichtliche Theologie (Teologi Sejarah Keselamatan) yang juga dikenal
sebagai Teologi Kerajaan Allah (Reich-Gottes-Theologie) sebagaimana diajarkan
oleh Friedrich Fabri dan Ludwig von Rohden.

Baik teologi von Rohden maupun

Fabri kuat dipengaruhi oleh paham nasionalisme yang menekankan keunggulan


bangsa Germania serta paham rasisme yang menegaskan keunggulan ras putih.
Ludwig von Rohden (1815-1889) mengajar sejarah, geografi, antropologi, dan
teologi. Bagi Rohden sejarah dunia adalah sejarah kerajaan Allah dan satu-satunya
sumber yang menurutnya dapat diandalkan dan yang tidak boleh dipertanyakan
adalah alkitab injil. Rohden menjadi pengarang buku sejarah yang dipakai di
seminaris RMG dan menjadi pegangan utama bagi para misionaris. Buku teks yang
berjudul Leitfaden der Weltgeschichte (Pedoman Sejarah Dunia) bertolak belakang
tidak hanya dengan ilmu sejarah modern tetapi juga dengan teologi Kristen mana
pun yang ada dewasa ini. Bagi pembaca masa kini Leitfaden der Weltgeschichte
adalah buku yang sering tidak masuk akal karena mengandung pernyataan yang
acap bertolak belakang, dan penuh dengan asumsi yang dipengaruhi oleh kedua
paham ideologi

yang sangat laku di Jerman pada abad ke-19 yaitu nasionalisme

dan rasisme yang dipadukan oleh Rohden dengan peristiwa sejarah yang
diambilnya dari alkitab injil.
Bagi Rohden seluruh manusia adalah keturunan nabi Nuh karena hanya nabi Nuh
beserta keluarganya selamat pada air bah yang menurut Rohden melanda dunia
5000 tahun yang lalu.27 Rohden berpedoman pada kisah dalam Kitab Kejadian
ketika nabi Nuh mengutuk Kanaan.
9:18

Anak-anak Nuh yang keluar dari kapal itu ialah Sem, Yafet dan Ham. (Ham adalah ayah Kanaan.)

9:19

Ketiga anak Nuh itu adalah nenek moyang semua orang di dunia.

9:20

Nuh seorang petani, dan dialah yang pertama-tama membuat kebun anggur.

27

Kini diperkirakan bahwa air bah terjadi sekitar 5600 SM ketika zaman es berakhir dan
permukaan lau naik sehingga Laut Tengah meluap ke dalam Laut Hitam yang sebelumnya
merupakan sebuah danau air tawar yang dangkal dan jauh lebih kecil dan yang dikelilingi
oleh dataran yang subur. Air yang mengalir melalui Bosporus selama 300 hari dengan
kecepatan 96 km/jam melepas volume air 200 kali lipat dari air terjun Niagara, dan
membanjiri daratan seluas 155.000 km2.

9:21

Setelah Nuh minum anggurnya, ia menjadi mabuk. Dilepaskannya segala pakaiannya lalu
tidurlah ia telanjang di dalam kemahnya.

9:22

Ketika Ham, yaitu ayah Kanaan, melihat bahwa ayahnya telanjang, ia keluar dan
memberitahukan hal itu kepada kedua saudaranya.

9:23

Kemudian Sem dan Yafet mengambil sehelai jubah dan membentangkannya pada bahu
mereka. Mereka berjalan mundur memasuki kemah itu dan menyelimuti ayah mereka dengan
jubah itu. Mereka memalingkan muka supaya tidak melihat ayah mereka yang telanjang itu.

9:24

Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mengetahui apa yang diperbuat anak bungsunya
terhadap dirinya,

9:25

ia berkata, "Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya.

9:26

Pujilah TUHAN, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem.

9:27

Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya.
Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi
budak Yafet."

9:28

Sesudah banjir itu, Nuh masih hidup 350 tahun lagi.

9:29

Ia meninggal pada usia 950 tahun.

Bagian dari Kitab Kejadian ini menimbulkan berbagi kesulitan: 1. Tidak jelas
mengapa justeru Kanaan (anak Ham yang tidak melakukan apa-apa) dikutuk, 2.
Tidak semua nama tempat yang disebut diketahui keberadaannya. 3. Tidak jelas
apa yang terjadi dengan bagian dunia yang tidak disebut dalam alkitab seperti
bagian selatan Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika.
Masalahnya

pada

waktu

Kitab

Perjanjian

ditulis

kawasan-kawasan

tersebut

memang belum diketahui keberadaannya.


Rohden tidak menyinggung masalah yang disebut di bawah butir 1 dan 2, tetapi
persoalan yang ketiga ia pecahkan dengan menggunakan interpretasinya sendiri:
Keturunan Yafet tersebar di seluruh belahan utara bumi terkecuali Amerika, dan
keturunan Ham di belahan selatan. Di antara kedua wilayah, tempatnya kedua
keturunan mulai bercampur baur, menetap keturunan Sem. (Rohden, 1867:12)
Walaupun alkitab injil sama sekali tidak menyebut kawasan Asia Tenggara,
Rohden membuat interpretasi sendiri bahwa bangsa-bangsa Asia Tenggara adalah
keturunan Ham dan dengan demikian mereka ditakdirkan menjadi budak:
Di dalam kitab suci disebut sebagai kenyataan yang tidak dapat diragukan
bahwa Mesir atau Mizraim merupakan keturunan Ham: Mizrain menjadi
putra Ham dan saudara Kush (Tanah Negro, Etiopia) dan Put (Libia).
Ketiga bangsa yang masih bersaudara itu menduduki seluruh bagian
selatan Asia dan Afrika. Mereka menempati kawasan di sekitar Samudera
India, Laut Persia, bagian selatan semenanjung Arabia hingga ke negaranegara di belakang sungai Nil arah ke gurun Afrika dan Samudera Atlantik.

Termasuk juga pulau-pulau di Samudera Pasifik serta semenanjungsemenanjung di Asia Tenggara dari dahulu dan sebagaian besar masih
hingga kini didiami oleh keturunan yang sama. (Rohden, 1867:25)
Rohden

mengaitkan

interpretasinya

dengan

paham

rasisme

yang

mengidentifikasikan lima ras menurut warna kulit: putih, kuning, merah, cokelat,
dan hitam. Menurut Rohden warna kulit keturunan nabi Nuh ditentukan oleh derajat
dosa yang dipikulnya: Semakin berdosa sebuah bangsa, semakin berubah bentuk
dan warna kulitnya. Semakin hitam warna kulit sebuah bangsa semakin berdosa
bangsa itu:
Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan
ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri semakin merosot
moral dan kecerdasan seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh, dan
warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan kulit yang
paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang.
Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada:
ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan
ilahi.28
Menurut Rohden bangsa yang berkulit hitam malahan bisa saja menjadi putih
kembali melalui pengaruh agama Protestan!
Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi
manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh
Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses
penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang,
pandangan mata, dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, dan
bahkan warna kulitnya, secara turun-temurun, bisa menjadi lebih putih.29
Karena

Rohden

percaya

pada

keunggulan

bangsa

Germania

maka

ia

menyimpulkan bahwa keturunan Yafet sesungguhnya adalah bangsa Germania.


Untuk membenarkan asumsinya Rohden menggunakan argumentasi bahwa semula
memang bangsa Israel menjadi bangsa yang terpilih, namun di kemudian hari
28

29

Die Menschen aber haben sich in verschiedener Stufenfolge bald weniger, bald mehr von
ihrem gttlichen Lebensquell losgerissen, und in dem Mae wie das geschehen ist, hat
sich zugleich mit ihrem sittlichem Bewusstsein und ihren geistigen Fhigkeiten auch ihre
Gestalt, ihre Krperform, ihre Farbe verndert. Die am meisen ausgearteten sind auch am
tiefsten (schwarz) gefrbt, und in ihrer Erscheinung den Thieren am hnlichsten
geworden. Der himmelsweite Unterschied zwischen Mensch und Thier bleibt immer noch
bestehen, das ist die vernnftige menschliche Seele, die den Menschen von Gott
eingehaucht ist als Theil und Stck gttlichen Lebens in ihm (Rohden 1867:4)
Auch der am tiefsten heruntergekommene Neger kann durch zweckmige Anleitung
unter dem heiligenden Einflu des Christenthums auf die Hhe menschlicher Bildung
gehoben werden, und in dem selben Mae, als das geschieht, wird seine thierische
Gesichtsbildung schwinden, der Ausdruck seines Auges und die weicheren Theile seiner
Gestalt sich veredeln, ja seine Farbe, wenigstens in der Folge der Geschlechter, von ihrer
Dunkelheit verlieren. (ibid.)

pusat sejarah dunia bergeser ke barat, mula-mula ke Roma, dan sesudah zaman
reformasi ke Jerman sehingga Jerman adalah jantung yang mengalirkan darah
tubuh Kristen Eropa. Sebagaimana bangsa Israel dipilih Tuhan dari keturunan Sem
maka sekarang Jerman menjadi bangsa terpilih dari keturunan Yafet.
Interpretasi

alkitab

sebagaimana

dilakukan

oleh

Rohden

tidak

hanya

membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan: Juga di Amerika keturunan


Ham dan Yafet bertemu, dan di situ pun terwujud kutukan bahwa Ham harus
menjadi budak bagi saudara-saudaranya30. Jadi bangsa putih berhak untuk
menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan
tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara
untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan
mereka supaya mereka menjadi lebih beradab dan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa
yang sesat. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, bangsa
keturunan Ham tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.
Dr. Friedrich Fabri (18241891) mempunyai latar belakang teologi dan
ideologi yang tidak jauh berbeda dengan Rohden, dan yang telah ia bukukan dalam
Die Entstehung des Heidenthums und die Aufgabe der Heidenmission (Munculnya
Kekafiran dan Tugas Misi Kafir, 1859).
Fabri juga meyakini keunggulan bangsa putih, dan terutama bangsa Germania
yang menjadi penyokong baru sejarah dunia31. Menurutnya kiamat semakin
mendekat sehingga penginjilan memiliki tugas untuk menyebarkan agama Kristen
sebelum kiamat tiba sehingga para penginjil menjadi alat Tuhan yang memberitahu
kedatangan kerajaan Allah. Dalam hal ini ia merujuk pada Matius 24,14 Dan Kabar
Baik tentang bagaimana Allah memerintah akan diberitakan ke seluruh dunia,
supaya semua orang mendengarnya. Sesudah itu barulah datang kiamat.
Sama dengan von Rohden, Fabri juga dipengaruhi oleh paham rasisme:
Kalau kita berhadapan dengan seorang negro, berkulit hitam pekat,
berambut keriting, dengan kepala gepeng berdahi rendah sementara
bagian belakang kepala dan bagian bawah muka terlalu besar, dengan
bibir lebar dan hidung pesek, kalau kita memperhatikannya betapa ia tak
mampu menahan birahinya, lalu tenggelam dalam ketidakpedulian,
lamban, tidak mengindahkan apa-apa, acuh tak acuh terhadap siksaan,
[...] maka kita mendapat kesan ini bukan hanya manusia purba yang
menjadi rusak oleh dosa, di sinilah terbenam sebuah rahasia yang belum
tercatat dalam sejarah manusia. (Fabri 1859:89)

30

31

Auch in der neuen Welt (America) sind Hams und Japhets Shne zusammengetroffen,
und auch da erfllt sich das alte Fluchwort, da Hams Nachkomme ein Knecht sein soll
unter seinen Brdern (Rohden 1867:12).
Die neuberufenen Trger der Weltgeschichte (Fabri 1859:7).

Fabri menganggap peristiwa pembangunan menara Babel sebagai peristiwa yang


menentukan, dan bahwa adanya kekafiran berkaitan langsung dengan peristiwa
tersebut. Pada awal sejarah manusia masih menjadi satu keluarga besar dan
seluruh umat manusia memiliki satu bahasa yang sama, dan mereka memuja
Tuhan yang maha esa. Terdorong oleh kesombongan dan keangkuhan, manusia
menjauhkan diri dari Tuhan dan malahan berusaha melebihi Tuhan. Untuk itu
mereka mulai membangun menara setinggi langit. Pembangunan menara ini
diprakarsai oleh Nimrod, anak cucu Nabi Nuh. Orang tua Nimrod adalah Cush, putra
Ham. Bahkan, demikian menurut cerita, Kota Babilon dan Niniwe juga mula
pertama dibangun oleh Nimrod.
11:1
11:2
11:3

11:4
11:5
11:6

11:7
11:8
11:9

Semula, bangsa-bangsa di seluruh dunia hanya mempunyai satu bahasa dan mereka memakai
kata-kata yang sama.
Ketika mereka mengembara ke sebelah timur, sampailah mereka di sebuah dataran di
Babilonia, lalu menetap di sana.
Mereka berkata seorang kepada yang lain, "Ayo kita membuat batu bata dan membakarnya
sampai keras." Demikianlah mereka mempunyai batu bata untuk batu rumah dan ter untuk
bahan perekatnya.
Kata mereka, "Mari kita mendirikan kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke
langit, supaya kita termasyhur dan tidak tercerai berai di seluruh bumi."
Maka turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh manusia.
Lalu Ia berkata, "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa, dan ini baru permulaan dari
rencana-rencana mereka. Tak lama lagi mereka akan sanggup melakukan apa saja yang mereka
kehendaki.
Sebaiknya Kita turun dan mengacaukan bahasa mereka supaya mereka tidak mengerti lagi satu
sama lain."
Demikianlah Tuhan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Lalu berhentilah mereka
mendirikan kota itu.
Sebab itu kota itu diberi nama Babel, karena di situ Tuhan mengacaukan bahasa semua bangsa,
dan dari situ mereka diceraiberaikan oleh Tuhan ke seluruh bumi.

Dalam

alkitab

dikatakan

bahwa

Tuhan

menghukum

manusia

dengan

mengacaukan bahasa dan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Fabri


mengaitkannya

dengan

konsep

ras:

Ras,

kebangsaan,

yang

menggantikan

32

keluarga manusia .
Menurut Fabri Nimrod (cucunya Ham yang bagaimana pun sudah terkutuk) serta
keturunannya mendapatkan hukuman yang paling keras karena ia memprakarsai
baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan menara Babel:
Semakin besar keterlibatan suatu keturunan [pada pembangunan menara
32

Die Rasse, die Nationalitt, ist an die Stelle der Menschheitsfamilie getreten (Fabri
1859:52).

Babel] semakin jelek tubuhnya dan semakin miskin bahasanya, dan


semakin banyak dewa pujaan mereka. Semakin kecil keterlibatan semakin
indah tubuhnya, semakin kaya bahasanya, semakin berkembang keesaan
Tuhan. Kalau kita memahami ini maka menjadi jelas mengapa bangsa
Hamit hingga kini menjadi bangsa yang paling hina di muka bumi ini.
Sekarang kita mengerti betapa kejahatan yang mereka lakukan ribuan
tahun yang lalu menghancurkan tubuh mereka, termasuk warna kulit dan
bentuk tubuhnya.33
Oleh sebab itulah maka bangsa putih berhak untuk menjadi pemimpin, dan
bangsa

yang

berkulit

berwarna

tidak

perlu

mengharapkan

mendapatkan

kemerdekaan sampai pada akhir dunia. Kalau pun mereka memeluk agama Kristen
kaum berwarna akan tetap lebih rendah daripada bangsa putih. Karena bangsa
berwarna (keturunan Nimrod) merupakan bangsa yang sejak pembangunan
menara Babel tidak lagi mengenal keesaan Tuhan dan menjadi bangsa yang kafir
sementara pada keturunan Sem dan Yafet masih ada unsur keesaan Tuhan maka
bangsa putih pun memiliki kewajiban untuk menyebarkan injil kepada bangsa yang
berwarna.
Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa
karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit demikianlah ideologi
Fabri dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan
dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek.
Namun di antara ras berwarna kulit cokelat yang dianggap serba dekaden itu
ternyata ada satu bangsa yang tingkat kerusakannya tidak terlalu parah. Dalam
majalah

Berichte

der

Rheinischen

Missionsgesellschaft

Fabri,

yang

ternyata

dipengaruhi oleh Junghuhn, melaporkan bahwa:


Dibandingkan orang Melayu orang Batak jauh lebih mirip dengan ras IndoGermania baik dari segi bentuk kepala, tubuh, atau warna kulit. Warna
kulitnya sedemikian cokelat muda sehingga malahan ada yang pipinya
kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lebat dan lebih lembut daripada
rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya
tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara
ras Eropa dan Melayu.34
33

34

Je mehr sich ein Geschlecht daran betheiligte, desto rmer die Sprache, desto
polytheistischer das Gottesbewusstsein; je weniger Betheiligung, desto edler die Gestalt,
desto reicher die Sprache, desto mehr Anklnge an den ursprnglichen Monotheismus in
der Mythologie. Nun begreifen wir einigermaen, warum die Hamiten die in jeder
Beziehung am meisten zertretenen Vlker der Erde bis auf den heutigen Tag sind, und
ahnen nun auch, wie das Geheimni der Bosheit, zu dessen Haupttrgern sie sich vor
Jahrtausenden gemacht, seine furchtbaren und entstellenden Wirkungen sebst in Farbe
und Krpergestalt bis auf den heutigen Tag ausgrprgt hat. (Fabri 1859:93-40)
Weit mehr als die Malaien nhern sie sich dem indogermanischen Vlkerstamme, sowohl
in der Schdelform, als auch in der Gestalt und Krperfarbe. Ihre Farbe ist so

Berdasarkan dugaan Junghuhn, yang tentu sama sekali tidak beralasan, Fabri
menganggap bangsa Batak lebih unggul dari bangsa-bangsa Melayu, tetapi tentu
tetap di bawah ras putih karena menurutnya dosa yang dipikul oleh keturunan Ham
abadi dan tidak berkurang bahkan kalau mereka memeluk agama Kristen.
Fabri juga melihat adanya kemiripan antara bangsa Germania dan bangsa Batak
karena kedua-duanya dikepung oleh bangsa yang hendak memusnahkannya.
Jerman diancam dari barat oleh musuh bebuyutan Prancis

yang hendak

membinasakan bangsa Germania dengan bisa kemerosotan moralnya, dan diancam


dari timur oleh bangsa Slawonik yang sangat

rendah derajatnya. Demikian juga

keadaan orang Batak yang menurut Fabri dikepung oleh bangsa Melayu. Berdiri
sendiri secara kokoh dalam keadaan dikepung oleh musuh adalah gambaran yang
sering dikemukakan oleh para nasionalis Jerman, dan hal yang sama juga
diungkapkan oleh Junghuhn: Batak merupakan bangsa kecil yang berdiri sendiri
dikelilingi oleh bangsa Melayu (II: 13).
Selain daripada rasisme dan chauvinisme tentu ada juga unsur agama karena
bangsa yang mengancam Jerman beragama Katolik (Prancis dan Polandia) atau
Ortodoks (Rusia), dan bangsa Melayu yang mengancam orang Batak beragama
Islam.
Selama Fabri menjadi Direktur RMG ia semakin tertarik pada penjajahan dan
tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk
mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman.

Fabri dan Paham Penginjilan Kolonial


Kepentingan misi pada hakikatnya sejajar dengan kepentingan ekonomi dan
politik dan penginjilan seharusnya dijadikan alat untuk merintis penjajahan. Hal ini
diyakini Fabri, dan

teorinya ia

Penginjilan Eropa Daratan

35

simpulkan dalam

ceramah pada

Konferensi

yang berjudul Die Bedeutung geordneter politischer

Zustnde fr die Entwicklung der Mission (Keadaan Politik yang Stabil sebagai
Faktor Pendukung Penginjilan). Bersama mantan misionaris RMG C.G. Bttner dan

35

lichtbrunlich, da man oftmals rothen Wagen unter ihnen begegnet. Sie haben auch ein
reicheres und weicheres Haar als die Malaien, fters von brauner Farbe, und sind stark
und muskuls gebaut. Im Ganzen kann man sagen, da sie zwischen der kaukasischen
und malaiischen Race eine gewisse Mittelstellung einnehmen. (Fabri BRMG 1862:12)
6. Kontinentale Missionskonferenz (Bremen 20 Maret 1884).

superintenden misionaris Merensky36 Fabri menjadi salah seorang perintis paham


penginjilan kolonial (koloniale Missionsauffassung).
Fabri percaya bahwa Jerman memerlukan daerah jajahan untuk mengatasi
masalah

sosial

yang

melanda

Jerman.

Kepadatan

penduduk

dan

angka

pengangguran yang tinggi mengakibatkan kemiskinan massal sehingga timbul


berbagai masalah sosial yang nantinya dapat menjurus ke sosialisme dan
komunisme. Oleh sebab itu masalah sosial (die soziale Frage) merupakan masalah
utama abad ke-19 dan masalah hidup atau mati bagi masa depan (Lebensfrage
fr die Zukunft). Oleh sebab itu Jerman perlu daerah jajahan yang tidak hanya
dapat menampung kaum miskin Jerman tetapi juga meningkatkan kekayaan
Jerman sehingga Fabri melihat kolonialisme sebagai satu-satunya jalan untuk
mengatasi masalah sosial.
Di samping itu, demikian penjelasan Fabri,

kolonialisme juga bermanfaat bagi

mereka yang dijajah. Karakter dasar para pribumi daerah tropis yang kurang
lebih lemas, lalai, dan malas dapat diubah kalau mereka didik oleh orang Eropa
untuk berkerja keras. Oleh karena itu kekuasaan Eropa menjadi syarat mutlak
untuk membudayakan kaum pribumi. Karena berkecimpung di bidang penginjilan
luar Eropa maka Fabri menjadi tertarik pada politik kolonial, tetapi keyakinan akan
perlunya penjajahan terutama ia dasarkan pada alasan sosial-politik, dan bukan
penginjilan.
Menurut Fabri para penginjil perlu mendukung pihak penjajah sementara
pemerintah kolonial diharapkan membantu para penginjil dengan menaklukkan
daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (Bade 2005:104). 37
Pengalaman Fabri sebagai direktur RMG membuatnya menjadi makin tertarik pada
politik kolonial

sehingga tahun 1884 ia keluar dari RMG untuk mengabdikan diri

sepenuhnya pada gerakan kolonial Jerman yang dipeloporinya.


Fabri juga amat dekat dengan para industrialis, terutama sejak pada tahun 1869
ia mendirikan Wuppertaler Aktien-Gesellschaft fr Handel in den Arbeitsgebieten
der Rheinischen Mission (Perseroan untuk Perdagangan di Wilayah Kerja RMG,
Wuppertal) yang biasanya disingkat Missions-Handelsgesellschaft (Serikat Dagang
Misi) atau MHG dengan modal awal 50.000 Taler yang didapatkannya dari
36

37

Lihat publikasi A. Merensky: Was lehren uns die Erfahrungen, welche andere Vlker bei
Kolonisationsversuchen in Afrika gemachten haben? (Kita bisa belajar apa dari upaya
penjajahan bangsa lain di Afrika?), Berlin 1880; dan Wie erzieht man am besten den
Neger zur Plantagenarbeit? (Bagaimana cara terbaik mengajar si Negro menjadi buruh
perkebunan?), Berlin 1912.
Fabri sendiri pda tahun 1880 pernah meminta perlindungan untuk para penginjil di Teluk
Paus (Walfischbai, Afrika Barat Daya) dari kementerian luar negeri Jerman, namun
kanselir Bismarck menolak permintaan Fabri. (Bade 2005: 335)

pengusaha-pengusaha di sekitar Wuppertal. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun


1879, Fabri menawarkan kepada pemerintah Kerajaan Jerman agar para penginjil
merintis jalan untuk mendirikan daerah jajahan baru di Afrika Tengah. Melalui MHG
para penginjil diharapkan merintis perdagangan yang nantinya akan berujung pada
penjajahan. Para penginjil juga diharapkan untuk merintis perkebunan dengan hasil
bumi yang menguntungkan.
Untuk tujuan itu Fabri mengusulkan untuk mendirikan pos-pos zending pada
pantai barat dan pantai timur Afrika Tengah dengan menekankan bahwa para
penginjil

akan

bermanfaat

merintis

jalan

untuk

perusahaan-perusahaan

perdagangan dan aneksasi kolonial yang akan menyusul. Oleh sebab itu ia
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya agar pemerintah Jerman menyadari bahwa
penginjilan sangat bermanfaat, dan malahan bisa menjadi syarat mutlak (hchst
ntzlich, unter Umstnden sogar unentbehrlich) untuk ekspansi kolonial. (Bade
2005:145)
Tidak semua orang di RMG setuju dengan kebijakan Fabri yang pro-industri, dan
kecenderungan Fabri untuk bersekongkol dengan para industriawan, apalagi
kegagalan usaha-usaha Fabri yang diharapkan akan mendatangkan dana bagi RMG
akhirnya menjadi penyebab bahwa Fabri terpaksa mengundurkan diri dari jabatan
sebagai direktur Rheinische Mission.

w
Penginjil sebagai Penjajah
Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813
1873) yang pada masanya di tanah airnya Inggris dianggap sebagai pahlawan
nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk perdagangan dan
kekristenan. Mengabdi pada Tuhan menjadi tujuan utama para misionaris, tetapi
sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengabdi pada Tuan
Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menjadi penjajah. (Paczensky
1991: 262)
Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap
di Gronamaqualand 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang dikenal
sebagai Namibia menjadi daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme,

dan tanpa disuruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan
Jerman baru berdiri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia
tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan.
Ketika para misionaris tiba di Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand
dihuni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat
itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero
untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu
terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai
perselisihian. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan dan konflik semakin
berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka
dianeksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman.
Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero,
dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa
yang terdiri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang,
mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band.
hal. 245)
Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta
perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena
kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan
Jerman.
Pada awal tahun 1880an konflik antara Herero dan Naman semakin menjadi,
dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni
1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges
Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna
melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122,
band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa
menurutnya seyogyanya kawasan itu dijajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris
karena dianggapnya lebih sesuai bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa
yang sama (ibid., hal.123).
Kali ini juga Bismarck menolak permintaan RMG, namun sikap Bismarck
terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman
bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan
terutama di Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menjadi Namibia
sebagai jajahan Jerman terjadi dengan dukungan dan bantuan para misionaris
RMG. Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada hakikatnya,
dan tanpa pengetahuan mereka, mengatur perampasan wilayahnya. Misionaris

Bttman, Heidmann, dan Judt membantu pemerintah kolonial dalam pelaksanaan


perjanjian tersebut.
Setelah Afrika Barat Daya resmi menjadi wilayah penjajahan Jerman para
misionaris berperilaku layak tuan kolonial. Mereka lama mendukung Hendrik
Witbooi (?18301905), kepala suku Orlam yang memeluk agama Kristen. Ketika
Witbooi ingin memperluas wilayah kekuasaan ke arah utara maka suku Herero
yang mendiami daerah itu meminta perlindungan kepada Jerman. Witbooi tidak lagi
memperhatikan nasihat para penginjil dan malahan melarang mereka untuk masuk
ke wilayahnya. Ketika pada tahun 1893 Witbooi berdamai dengan suku Herero,
pemerintah khawatir Witbooi menjadi terlalu kuat dan menyerang markasnya
dengan membunuh 78 perempuan dan anak-anak dan 10 laki-laki. Witbooi sendiri
lepas. Di BRMG 1893 para penginjil menulis bahwa Kalau pengacau keamanan
yang sudah bertahun-tahun mengacaukan negerinya itu dimusnahkan, baru ada
harapan maka negerinya bisa berkembang. Mereka menyesal Wittboi sendiri yang
berangan-angan secara kegilaan bisa melawan kekuasaan Jerman lepas. Tahun
1894 tentara kolonial Jerman berhasil menangkap Wittboi. Dalam Lembaran Negara
Kolonial (Deutsches Kolonialblatt) peranan para misionaris pada penangkapannya
diakui secara resmi dan Kementrian Luar Negeri malahan mengucapkan terima
kasih pada penginjil RMG atas jasa yang berharga dan nasihat yang sangat
berguna (Paczensky 1991:267).
Pada 12 Januari 1904 suku Herero di bawah pimpinan Samuel Maharero
memberontak terhadap kekuasaan kolonial Jerman. Pada pertempuran Waterberg
pasukan Herero mengalami kekalahan dan dipaksa mundur ke gurun Namib.
Jenderal von Trotha memerintah pasukannya untuk membasmi suku Herero.
Mereka yang mau menyerah langsung dibunuh. Dalam keadaan terkepung para
Herero dibiarkan mati kehausan di gurun Namib, dan sisanya mati karena
meminum air sumur yang diracuni oleh pasukan Jerman.
Pada bulan Oktober 1904 terjadi pemberontakan lagi kali ini dari suku Nama.
Nasib mereka tidak lebih baik daripada nasib suku Herero. Di sini juga dengan
sengaja pasukan Jerman berusaha untuk membunuh sebagian besar rakyat.
Diperkirakan bahwa sekitar separuh dari seluruh populasi Nama dibunuh pada
waktu itu sementara jumlah korban pada suku Herero lebih tinggi lagi; diperkirakan
bahwa 50% hingga 70% rakyat Herero, termasuk anak-anak dan perempuan, mati.
Peristiwa ini kemudian menjadi terkenal sebagai genosida Nama dan Herero.
Seluruh tanah mereka dirampas dan mereka yang bertahan hidup dipaksa bekerja
untuk tuan tanah orang putih.

Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa keadaan menjadi tenang
sekali dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen.
Sesudah masyarakat tradisional mereka dihancurkan secara total oleh para
penjajah maka mereka tiada lagi pegangan untuk dapat bertahan di bahwa orde
baru sehingga terpaksa mereka andalkan satu-satunya lembaga yang masih
berfungsi yaitu lembaga Kristen (Paczensky 1991:262-268).

Penginjil sebagai Pedagang


Gustav Warneck direktur RMG dari tahun 18711874 dan pendiri majalah
zending Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) pernah menyebut zending sebagai
satuan pengaman untuk perdagangan internasional (AMZ 5, 1878, hal.67) dan
menambahkan bahwa jasa itu disediakan dengan cuma-cuma. Para misionaris
memang sering menjadi perintis dan hampir selalu diikuti oleh para pedagang.
Yang paling penting bagi para pedagang adalah kenyataan bahwa dengan adanya
para penginjil mereka bisa melaksanakan kegiatan dengan lebih aman.
Adapun kalanya para misionaris ikut berdagang. Untuk tujuan ini pada tahun
1869 RMG mendirikan perseroan terbatas Missions-Handels-Aktien-Gesellschaft zu
Barmen yang diprakarsai oleh Fabri. Sama dengan pedagang lainnya mereka
menjual pakaian, berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, terutama yang dari
besi, dan bahan pangan. Hanya alkohol, yang menjadi barang dagangan yang
sangat laku, tidak mereka jual. Barang dagangan mereka ditukar dengan ternak,
bulu burung unta, dan gading (Rohden 1888:327). Awalnya menguntung, lamakelamaan P.T. Dagang Zending Barmen merugi, terutama karena hewan itu sudah
mulai punah:
Semua orang ikut berburu. Hewan apa saja yang dapat dibunuh, mereka
tikam atau tembak. Baik yang jantan maupun yang betina, dan bahkan
anak hewan dibinasakan sehingga tiada lagi yang dapat diburu (Rohden
1888:330).38
Lalu mereka berupaya untuk memperdagangkan kawanan lembu milik suku Ova
Herero, tetapi usaha itu pun gagal karena terlalu banyak hewan mati selama
perjalanan panjang di gurun pasir. (ibid.). Lalu ketika pada tahun 1880 pecah

38

Alles, was auf die Beine zu bringen war, zog aus auf die Jagd. Da wurde totgeschlagen
und totgeschossen alles, was zu erreichen war, mnnlich und weiblich. Von Schonung des
Nachwuchses war keine Rede. Die Folge war, dass in der Nhe bald nichts Jagdbares
mehr zu finden war.

perang antara suku Naman dan Herero maka terpaksa P.T. Dagang Zending gulung
tikar.
Sesudah kepergian Fabri kebijakan RMG berubah drastis, dan pada tahun 1884
para penginjil diimbau:
Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa
[tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya diri,
ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan
rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa
diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol,
Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya
dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-dapatnya
melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh
bangsa putih. [...]. Jauhkan diri dari segala masalah politik.39
August Schreiber yang menggantikan Fabri berupaya untuk menjaga jarak
dengan pemerintah kolonial:
Kolonisasi bertujuan untuk menambah kekuasaan dan kehormatan tanah
air kita yang tercinta sedangan penginjilan demi kebesaran kerajaan Allah
dan demi kehormatan raja kita di surga Yesus Kristus. Oleh sebab itu
kedua urusan itu jangan dicampur karena bermanfaat bagi kedua belah
pihak bila ada pemisahan yang jelas antara kedua urusan tersebut. Dari
sejarah kita mengetahui betapa buruknya bila penginjil berupaya untuk
menjadi penjajah, dan sama buruk hasilnya bila pemerintah berupaya
untuk menyebarkan injil.40
Namun Schreiber pun tetap berkeyakinan bahwa perampasan wilayah adalah hal
yang wajar, dan bahwa para pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah, dan
ia mengeluh bahwa sayang sekali hal ini jarang disadari oleh bangsa yang
ditaklukkan.

39

40

Eure Aufgabe ist es, Christum zu predigen und die Seele Eures Volkes zu retten; jene
aber wollen sich selbst bereichern, wollen Handel, Gewerbe, Industrie, unbekmmert, ob
das Volk darber zugrunde geht. Noch nirgend ist in der Heidenwelt eine europische
Kolonie entstanden ohne die schwersten Ungerechtigkeiten. Portugiesen und Spanier,
Hollnder und Englnder haben darin ziemlich gleichen Schritt gehalten. Die Deutschen
werden es schwerlich viel besser machen, und Ihr werdet die Aufgabe haben, Euer Volk
vor Mihandlungen und Vergewaltigung der Weien zu schtzen, solange Ihr knnt [...].
Haltet Euch von allen politischen Fragen fern. Deputation Rheinische Mission kepada
Namakonferenz, 29-12-1884, ARM M SWA, hal. 8689. Dikutip dari Bade 205:225-226.
Kolonisation dient zur Ausbreitung der Macht und des Ansehens unseres lieben deutschen
Vaterlandes, die Mission dagegen will dienen zur Ausbreitung des Reiches und der Ehre
unseres himmlischen Knigs, Jesus Christus. So wolle man auch hier nicht
verschiedenartige Dinge durcheinandermischen oder miteinander verwechseln; es wird
beiden zugute kommen, wenn man sie reinlich und deutlich auseinander hlt, denn die
Geschichte kann uns lehren, dass noch niemals gute Resultate dabei herausgekommen
sind, wenn die Missionare Kolonien grndeten, noch wenn die Kolonialmacht missionierte.

Terjemahan Artikel BRMG


Berikut kami sajikan secara kronologis terjemahan enam artikel dari Berichte der
Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) yang berkaitan dengan Perang Toba I,
termasuk artikel dari dua saksi mata. Artikel BRMG 1878 hal. 193-202 yang
pertama berjudul Perang di Toba memuat laporan penginjil Metzler dari Bahal Batu
dan Silindung. Artikel di BRMG 1878 (12): 361-381 yang berjudul Laporan Terakhir
tentang Perang di Toba (Endgltiger Bericht ber den Krieg auf Sumatra)
mengandung laporan L.I. Nommensen ketika ia mendampingi tentara Belanda
dalam Perang Toba I dari Bahal Batu sampai ke Bangkara dan Balige.
Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari
laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak
pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat di Paranginan.
Akhir 1877
17/12/1877
Jan. 1878
Akhir Jan. 78
01/02/1878
06/02/1878
15/02/1878
16/02/ 1878
17/02/1878
19/02/1878
Feb. 1878
01/03/1878
14/03/1878
15/03/1878
16/03/1878
17-20/03/1878
Maret
30/04/1878
01/05/1878
02/05/1878

Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba


Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para
ulubalang sudah tiba di Bangkara
Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang
Kristen
Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya
Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama
dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja
Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja
Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung
Pengumuman perang dari pihak SSM
Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler diantar
suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu
Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi
ke Silindung
Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu.
Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga.
Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari
Sibolga.
Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi
wilayah Hindia-Belanda.
Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang.
Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan.
Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja
dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan
Belanda. Lintong ni Huta ditaklukkan.
Bangkara diserang
Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang.

03/05/1878
04/05/1878
05/05/1878
8 Mei 1878
11/05/1878
12/05/1878
akhir Mei
27/12/1878

Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui


kedaulatan Belanda.
Pasukan maju ke Paranginan.
Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan.
Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat
selama beberapa hari di Gurgur.
Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Panghodia dan Tara
Bunga.
Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi,
Parik Sabungan dan Lobu Siregar.
Nommensen membantu Residen di Bahal Batu.
Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon
Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah
Belanda

Sumber primer dan sekunder: Catatan Metodologi


Artikel-artikel yang kami terjemahkan berasal dari majalah Berichte der
Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG). Sebagian dari artikel BRMG merupakan
sumber primer karena ditulis langsung oleh pihak RMG di Barmen namun nama
pengarang biasanya tidak disebut. Di antara keenam artikel yang diterjemahkan
terdapat dua yang bisa dianggap sebagai sumber sekunder yaitu Perang di Toba
yang merupakan salinan dari sepucuk surat yang ditulis oleh penginjil Metzler (153-1878 Nomor arsip RMG 1.937 Bd.1), dan Laporan Terakhir tentang Perang di
Toba yang ditulis berdasarkan surat Nommensen (20-6-1878, No. arsip RMG
1.926 Bd.1).
Surat asli dari para misionaris dicetak di BRMG setelah disunting oleh para
editor. Proses penyuntingan itu biasanya hanya sekadar meluruskan salah ejaan
dan gaya bahasanya tanpa mengubah isinya. Namun demikian, sekali-sekali para
editor

melakukan

pengeditan

bila

para

misionaris

terlalu

kuat

mengecam

pemerintah kolonial. Hal itu terjadi pada surat penginjil Pilgrim yang pada 25-111887 menulis tentang Perang Toba Kedua:
Para serdadu telah kembali dari Dolok Sanggul. Baru tadi Kontelir Welsink
datang kemari. Mereka membakar 60 kampung yang indah. Para musuh
mengungsi ke hutan dengan membawa harta karun mereka dan tidak
kembali selama enam minggu. Melalui seorang pengantara mereka
dipaksa untuk membayar denda 1500 Gulden. Bangkara dan Lintong akan
dihukum dari Danau Toba karena pemerintah akan mengirim kapal ke
Danau Toba. Mudah-mudahan hal itu akan berakibat positif terhadap Si
Gaol dan Samosir sehingga kita dengan aman bisa menyebarkan injil.
Beberapa hari yang lalu kami diberitahu oleh Nommensen bahwa Sarbet
(?) dan 15 orang Aceh berada di Samosir. Maunya dengan bantuan Tuhan

injil dapat juga dibawa kepada orang Aceh yang selama ini berada di
kemelut perang. Sampai sekarang yang mereka dapatkan dari kita orang
Eropa hanyalah peluru dan mesiu. Tidak mengherankan kalau mereka
membalas dengan menyerang kita seperti harimau. (RMG 1.941
tertanggal 25-11-1887)
Cuplikan dari surat asli Pilgram di atas diterbitkan dalam BRMG dalam versi yang
lebih pendek dan lebih moderat:
Para serdadu sudah kembali dari Dolok Sanggul. Mereka membakar
sejumlah kampung, dan musuh didenda 1500 Gulden, tetapi itu pun hanya
melalui seorang pengantara karena sejak enam minggu mereka tidak
kelihatan lagi. Bangkara dan Lintong direncanakan akan dihukum dari
Danau Toba melalui kapal yang akan diluncurkan. (BRMG 1888:42-43)
Jadi ekspresi simpati dengan korban perang tidak dimuat oleh pihak RMG.
Penulis buku ini telah membaca kedua surat yang asli yang kini berada di arsip
RMG

di

Wuppertal

dan

membandingkannya

dengan

salinannya

di

BRMG.

Nommensen dan Metzler menulis suratnya dengan tangan dan tentu terdapat
beberapa kesalahan dalam ejaan atau tata bahasa. Oleh sebab itu semua surat
diperiksa dulu untuk memastikan tiada kesalahan yang sempat masuk ke edisi
cetakan. Proses penyuntingan yang dilakukan oleh staf editorial RMG sama sekali
tidak

mengubah

arti

surat

asli

melainkan

hanya

meralat

kesalahan

atau

menambahkan informasi waktu bilamana dianggap perlu.


Berikut ini foto halaman pertama surat Nommensen yang ditujukan kepada
Lieber Herr Inspektor (Tuan Direktur yang terhormat).

Tampaknya

surat

Nommensen dicetak ulang dalam BRMG dengan sangat akurat. Satu-satunya


perbaikan yang dibuat oleh para pengedit ialah penambahan im Juni 1877 (pada
bulan 1877)
Demikian

pula

pada

halaman-halaman

berikut

pihak

RMG

hampir

tidak

melakukan penyuntingan apa-apa melainkan menyalin teks tanpa mengubahnya


sama sekali.
Berikut ini kami sajikan halaman terakhir surat Nommensen yang dicetak di
BRMG 1878 (12) pada halaman 364:

Gambar 1Surat Nommensen 20-6-1878; RMG 1.926 Bd.1


Bila dibandingkan dengan surat asli hanya terdapat satu perbedaan kecil. Para
editor di RMG menambahkan kata natrlich (tentu saja) pada baris ke-10 (kata
terakhir pada baris ke-7 pada edisi cetakan):

Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka


sekiranya mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa
menjaminnya.

BRMG 1878 115-118

Desas-desus yang Memprihatinkan


Sudah di bulan Januari kami mendengar dari Belanda desas-desus yang
memprihatinkan dari Sumatra, yang awalnya tidak begitu jelas, tetapi di kemudian
hari menjadi semakin jelas. Terdengar orang Aceh telah menjalin persekutuan
dengan orang Toba melawan pemerintahan Belanda, dan semua penginjil beserta
keluarganya berada dalam keadaan bahaya, atau bahkan telah dibunuh. Setelah
kami melacak asal-usul desas-desus itu, ternyata bersumber dari surat seorang
sahabat kita yang bermukim di Padang. Karena itu kami yakin bahwa desas-desus
itu bukan khayalan belaka. Kami sendiri sudah mengetahui dari surat-surat
penginjil kami yang dikirim pada bulan November [tahun 1877] bahwa ada kabar
angin

tentang

adanya

persiapan

perang,

namun

penginjil

kita

tidak

menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus
itu sebagaimana layak terjadi semakin jauh dari tempat asalnya, menjadi
semakin heboh.
Selain itu kami yakin bahwa apabila terjadi hal yang paling buruk, atau apabila
penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah dikabari melalui
telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan
bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk
menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka
berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka
kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya
berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba di sini yang terakhir kami menerima

pada tanggal 15 Januari [1878] sehingga keadaan menjadi semakin jelas, dan ada
harapan bahwa masalah ini tidak menjadi lebih daripada sekadar berita angin.
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba,
berdiam

seorang

tokoh

yang

bergelar

Singamangaraja,

yang

berarti,

bila

diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan
seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh
Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang
awalnya Islam kini menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan
Singamangaraja yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol,
misalnya bahwa lidahnya berbulu dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata
acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada rohroh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh
Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali
ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris.
Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya,
entah wabah cacar atau perang di Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah
dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya di Silindung. Suatu hari dia
malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan dijamu di rumahnya. Akan tetapi
kini ia tidak begitu dihormati lagi di Silindung karena dia membawa lari istri
seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya.
Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguhsungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu tentu saja
dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia
mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50
laskar dari Singkel atau Terumon yang di antaranya termasuk sejumlah orang
Aceh. Adanya orang Aceh di antaranya membuatnya menjadi berita karena paling
laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini disebabkan karena
ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan
musuhnya yang dapat menjadi penghalang dalam pekerjaan berdarah mereka.
Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk
menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah
bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan di Sibolga
pasukan sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari
pihak musuh.
Jika hal itu terjadi maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan
Pangaloan dianeksasi menjadi bagian daerah jajahan Belanda.

Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang tadi kami sebut
perlu

kami

mengemukakan

kenyataan

bahwa

1)

Silindung

secara

hukum

bagaimana pun sudah termasuk wilayah jajahan Belanda. Namun penyelenggaraan


pemerintahan tidak pernah dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian yang telah
dijalin dengan para raja yang, antara lain, melarang adanya perang di antara
mereka, tidak pernah ditindaklanjuti. 2) Banyak daerah yang sudah berulang kali
meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi maka tuduhan
penindasan dari pihak zending tidak beralasan sama sekali. Daerah-daerah itu
[Silindung] secara hukum sebelum kedatangan zending sudah menjadi bagian
jajahan

Belanda,

dan

kalau

Belanda

sekarang

hendak

menyelenggarakan

pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri
[yang ada di tanah Batak]. Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah
dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [di tanah Batak] adalah
pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah
meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta Tuhan tentu
akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi
zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka
sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.

BRMG 1878 hal. 153154

Perang di Toba (Sumatra)


Pada bulan Januari 1878 muncul utusan Singamangaraja yang menghasut orang
agar membunuh para misionaris dan semua orang beragama Kristen. Ketika mau
ditangkap oleh para raja yang sudah memeluk agama Kristen maka utusan itu
melarikan diri. Sebagai akibat dari ini serta gelagat buruk lainnya maka pasukan
100 tentara yang telah siaga di Sibolga disuruh naik ke Silindung. Kontrolir yang
mendampingi pasukan tersebut diberi tugas untuk mengadakan perundingan damai
yang tidak berhasil karena raja-raja di Silindung tidak mau sekali lagi bersumpah
setia kepada pemerintah Belanda yang selama ini tidak pernah peduli dengan
perjanjian-perjanjian yang dahulu dijalinnya. Raja-raja dari Toba, khususnya

Singamangaraja,

sama sekali tidak datang

kecuali satu yang berpura-pura

bersahabat namun kemudian ketahuan bermusuhan.


Maka pasukan maju sampai Bahal Batu, pos paling utara, lalu mendirikan
benteng pertahanan di sana. Singamangaraja dan para raja dari Toba secara resmi
mengumumkan perang terhadap Belanda. Penginjil Metzler menuruti nasihat
Kontrolir untuk datang ke Silindung sementara penginjil Pse, Simoneit dan
Staudte serta seluruh orang Batak yang Kristen bergabung dengan pasukan di
benteng.
Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing dengan sekitar 500700 orang.
Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan
tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang
yang cedera dan 2 yang mati.
Serangan yang lebih dahsyat diperkirakan akan dilangsungkan pada 2 Maret.
Pasukan tambahan sebanyak 200 atau 300 tentara direncanakan berangkat 1
Maret dari Sibolga. Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan
tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena
Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. Kolonel Engel yang memimpin
pasukan ini malah diberi tugas untuk melancarkan serangan bahkan sampai ke
Danau Toba. Tampaknya jelas bahwa Silindung tidak lagi dapat dibiarkan tanpa
pemerintahan. Selain itu perlu dipikirkan apakah bukan lebih baik bagi pemerintah
Belanda untuk langsung saja menaklukkan seluruh Toba dan sekaligus menjaga
agar orang Aceh yang beragama Islam jangan menguasai Toba dan mengislamkan
ratusan ribu kafir Toba. Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas
sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang
patuh pada Belanda.

BRMG 1878 hal. 170-171

Berita Lain dari Sumatra


Semua sahabat zending yang membaca tentang peristiwa di Sumatra pada edisi
yang lalu, tentu sudah penasaran ingin mengetahui kelanjutan ceritanya. Belum
banyak yang sejak itu kami ketahui, tetapi berita yang kami dengar adalah berita
yang penting, dan insya Allah, baik.
Pasukan tambahan di bawah Kolonel Engels yang awal Maret dikirim dari Sibolga
untuk membantu pasukan yang bertempur di Bahal Batu tiba tepat pada waktu.
Sebelum kedatangannya serangan Batak ketiga juga berhasil ditangkis. Sesudah
pasukan tambahan tiba maka Belanda merasa cukup kuat untuk melancarkan
serangan.
Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan
kampung-kampung yang berpihak pada musuh. Pada waktu itu pasukan juga
datang ke kampung kawan kita yang lama, Ompu Baliga Bosi, yang dahulu pernah
memberi perlindungan kepada penginjil Heine dan Johannsen namun selanjutnya
pindah ke kubu musuh. Kampungnya diserang dan dibumihanguskan. Dari situ
mereka maju ke arah timur ke Lobu Siregar yang letaknya di utara dari Bahal Batu.
Di situ mereka, pada tanggal 20 Maret, membakar beberapa kampung. Bersama
dengan pasukan datang pula Residen dari Sibolga ke Silindung yang meresmikan
aneksasi Silindung, dan, tidak bisa diragukan lagi, Pangaloan dan Sigompulan, dan
Silindung dinyatakan menjadi wilayah taklukan Belanda. Kejadian selanjutnya
dapat kita menanti dengan tenang. Yang penting, mara bahaya yang belakangan
dihadapi oleh penginjil dan zending kita kini sudah berlalu, dan dapat diharapkan
agar perang yang sudah dimulai pihak Belanda dengan penuh kemenangan dapat
diselesaikan penuh kemenangan pula.
Mengingat kondisi yang sekarang, para penginjil setuju dengan kita bahwa
sebaiknya seluruh Toba ditaklukkan saja. Untuk zending kita hal itu berarti akan
adanya perubahan secara mendasar dan kita perlu mengerahkan semua tenaga
untuk memanfaatkan ketika yang mujur ini.
Pada tahun yang kita merayakan hari ulang tahun zending ini barangkali misi
Batak bisa mengalami kemajuan yang sama besar yang telah dialami zending Basel
dengan penginjilan di Tiongkok.

BRMG 1878 (7) hal. 193-202

Perang di Toba
Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung di Toba maka sejumlah surat
kabar

Hindia-Belanda

melontarkan

berbagai

tuduhan

kepada

penginjil

kita.

Tuduhan bahwa kita memilih wilayah penginjilan ini untuk memperkaya diri sendiri
tidak perlu dihiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Malahan pihak di Belanda yang
bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita
meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita di Silindung
berada di kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah. Jadi apa salahnya kalau
mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita
diberi tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil
datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada
utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat yang pada
hakekatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda dan menyerukan [194]
agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang
Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan
berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan
Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan
hal itu kepada Residen?
Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa?
Kalau

pemerintah

Belanda,

berdasarkan

laporan

penginjil

kita,

mengirim

pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?


Pada surat kabar yang lain diberitakan bahwa penginjil kita mendukung
kependudukan Bahal Batu dan penyerangan terhadap kerajaan Singamangaraja.
Mereka mengabsahkan bantuan Belanda terhadap penginjil kita, tetapi mereka
tidak setuju bahwa pasukan maju sampai ke Bahal Batu karena hal itu merupakan
provokasi sehingga

Singamangaraja memang punya alasan untuk membela

kerajaannya dengan mengumumkan perang karena Bahal Batu merupakan bagian


dari kerajaannya. Namun tuduhan itu tidak beralasan karena Bahal Batu berada di
dalam kawasan yang sudah menjadi milik pemerintahan Belanda. Jelas Bahal Batu
bukan bagian kerajaan Singamangaraja karena Singamangaraja hanya berkuasa di
Bangkara. Di luarnya, di Toba, Silindung, dan Bahal Batu Singamangaraja hanya
diakui sebagai raja imam. Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan
dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah
dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab

atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak
secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada
orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar
bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa
pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar
bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]
Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi,
di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada
pertumpahan darah yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda
sedapat-dapatnya dilindungi. Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya
para musuh pun bisa melihat niat baiknya. Tidak ada seorang tahanan pun yang
dibunuh, melainkan semua dilepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar
tebusannya.
Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka
hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu
memang sangat penting demi mengukuhkan kekuasaan mereka di Sibolga dan
Deli. Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur,
Pintu Bai dan Lintong ni Huta sudah dapat ditaklukkan. Suatu hal yang sangat
menguntungkan bagi zending kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun
Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zending kita secara
langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita.
Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu
membawa istrinya yang masih muda ke pos zending. Surat yang dikirim pada bulan
Maret berbunyi sebagai berikut:
Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap
baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan
mereka akan mendapatkan uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat
kami cemas sekaligus sedih. Banyak yang dulu menghadiri misa kini tidak datang
lagi. Para raja yang paling parah karena baju hadiah istri saya ternyata tidak cukup
bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin,
kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras,
susu, dsb. [196] yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit
dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang
bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung datang untuk mencari pos buat
penginjil Pse di Butar. Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka
menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga
upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil

Pse ditempatkan di situ sehingga hal itu langsung dikonfirmasikan. Lalu para
penginjil

dari

Silindung

memanggil

Portaon

Angin

bertanya

mengapa

ia

menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos
zending

ditarik

kembali

dan

hanya

seorang

guru

sekolah

ditempatkan

di

kampungnya. Mendengar ini ia menyesal dan meminta maaf.


Hari berikut kami ke Silindung, dan hanya Pse yang tinggal di Bahal Batu.
Pedoman kami untuk hari ini adalah Kejadian 45:5 Jangan takut atau menyesali
dirimu karena kalian telah menjual saya. Sebenarnya Allah sendiri yang membawa
saya ke sini mendahului kalian untuk menyelamatkan banyak orang. Di Silindung
kami berada selama sekitar enam minggu, dan keadaan kesehatan saya pulih
sepenuhnya. Kami sangat berterima kasih atas kasih sayang saudara kami di sana.
Kepergian kami ternyata berdampak baik pada Portaon Angin dan raja lainnya.
Mereka sering menulis surat dan minta supaya kami kembali.
Tanggal 19 November tahun yang lalu kami kembali ke Bahal Batu dan disambut
hangat oleh saudara Pse. Portaon Angin beserta anak laki-lakinya dan raja-raja
lain menyalami kami dan berjanji akan bersikap lebih ramah terhadap kami.
[197] Sampai sekarang raja tua itu menepati janjinya dan setiap hari Minggu ia
datang menghadiri misa bersama dengan keluarganya.
Hari kedua setelah kedatangan kami dikejutkan dengan kisah di bawah ini:
Seorang anak raja yang saya berikan baju minta supaya diberi celana. Karena saya
tidak punya celana yang bisa saya berikan padanya maka ia menyuluti atap rumah
kami. Kami sedang makan siang ketika kami mendengar jeritan anak kecil dan
salah satu di antara anak buah kami memanggil kami. Bersama dengan bantuan
orang kampung kami naik ke atap. Pse dan istri saya membawa air cuci pakaian
dan anak-anak lain membawa air dari sawah. Dengan bantuan Tuhan Allah kami
berhasil memadamkan api walaupun angin bertiup kencang dari timur. Pelaku yang
melarikan diri ditangkap dan para raja mau langsung memotong orang itu. Atas
permohonan kami dia tidak dibunuh tetapi didenda seekor babi yang mereka
makan bersama pada malam hari. Pada kesempatan itu mereka bersumpah akan
mendenda barang siapa yang hendak berbuat jahat pada kami. Tanpa bantuan
Tuhan rumah kami sekarang tinggal abu saja.
Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang
jahat bergerak lagi. Kami dikabari Tuan Residen adanya 40 ulubalang (laskar) asal
Aceh dari Singkel menuju ke sini, dan supaya kami waspada. Beberapa minggu
yang lalu raja imam Batak datang ke Lobu Siregar melarang penduduk menampung
para zendeling dan menyuruh mereka mengusir kami dari Bahal Batu dan dari

Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menjadi Kristen.
Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan.
Kala itu Singamangaraja [198] telah diam-diam menjalin perjanjian dengan raja
Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa dialah biang
keladi kerusuhan.
Desas-desus makin menjadi. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari
Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara yang berjarak hanya satu
hari jalan kaki dari sini, dan kami disuruh untuk segera berangkat. Maka kami
berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zending kami serahkan kepada
raja tua. Sedang di perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk
sementara kami tetap tinggal di Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami
kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada
malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar.
Lalu datanglah penginjil Nommensen, Pse, Simoneit, dan Israel. Sebagian
besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika diserang.
Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin
malahan

mengatakan

musuh

terlebih

dahulu

harus

membunuh

kalau

mau

mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalaukalau pos diserang musuh.
Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan.
Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat
saling mendukung satu sama lain
Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada
zending pemerintah menyediakan 50 bedil beserta amunisi serta menjamin adanya
bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana
yang terjadi tahun 1859 di Kalimantan. Penginjil Nommensen menyuruh orang
bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil,
namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang
memanggil ulubalang itu.
[199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung
dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut
orang untuk memusuhi kami.
Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami
merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru
para penginjil meninggalkan kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap
tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen di
Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyelidikinya. Awal Februari datang 80

tentara Belanda dengan seorang Komisaris (Kontrolir) untuk menyelidiki lebih


lanjut perkara itu. Selama tentara berada di Silindung suasana menjadi tenang.
Lalu datang surat dari Singamangaraja. Katanya kalau tentara pergi dia akan
datang mengusir kami bersama dengan raja dari Bahal Batu. Raja-raja lain dari
arah pegunungan secara umum memberitahu di pasar-pasar akan menyembilih
kami. Lalu Residen mengirim surat kepada Singamangaraja menanyakan apa
tujuan dia yang sebenarnya. Dia membalas dia tidak keberatan dengan keberadaan
zending, dia hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia bersedia
untuk datang dan berbicara dengan kami. Surat balasan Residen dirobeknya dan
mau memakan pengantar surat itu, namun ada seorang raja menghalanginya.
Tanggal 15 Februari [1878] pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan
penginjil dari Silindung. Selama dua hari keadaan tenang. Pada malam hari tanggal
16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari
buluh yang mengumumkan perang terhadap kami dan bahwa mereka tidak tinggal
diam sampai kepala-kepala Tuan Belanda itu ada di tangan mereka. Pada surat
bambu itu mereka ikat ubi rambat yang ditusuk sebagai tanda akan menusuk
serdadu dan tuan-tuan dan memakannya seperti ubi. [200] Pada pagi hari tanggal
17 Tuan Kontrolir menjelaskan bahwa saya harus segera membawa istri saya ke
Silindung karena dia tidak bisa tinggal di sini kalau perang sudah pecah. Raja tua
hendak menghalanginya tetapi Kontrolir memerintah seorang perwira berpangkat
letnan untuk mengawal kami sampai pertengahan jalan ke Silindung. Pada jam
10:00 kami berangkat dengan saudara Johannsen dan menjelang malam hari kami
tiba, dalam hujan deras, di Pansur na Pitu.
Pada hari Selasa tanggal 19 saya sendirian kembali ke Bahal Batu. Tuan-tuan
sudah tinggal di kamp dan mendesak kami agar meninggalkan pos zendingnya.
Pada tanggal 20 Tuan Kontrolir menyuruh kami meninggalkan pos zending.
Penginjil lain pun mendesak agar saya pergi dari sana sehingga saya kembali ke
Silindung. Atas keputusan para penginjil dan atas permintaan saudara Simoneit
yang baik hati maka saya menempati pos Simorangkir hingga penginjil Simoneit
kembali dari Toba. Dia secara rela memutuskan mendampingi penginjil Pse hingga
perang selesai dan saya bisa kembali ke Bahal Batu bersama istri saya.
Sementara itu pertempuran di Bahal Batu telah dimulai. Setiap hari musuh
datang, kadang-kadang ribuan orang, tetapi setiap kali hanya sebagian dari
ulubalang ikut berperang dan selalu serangan mereka dapat ditangkis dengan
berjatuhan korban di pihak mereka. Kebanyakan musuh berasal dari daerah di
sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja,
seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. Seorang yang

tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau dibunuh dan dimakan oleh
penduduk Bahal Batu, tetapi mereka dihalangi oleh Simoneit dan Pse dan
beberapa orang serdadu. Orang itu dibawa ke pos zending dan kemudian ke huta
[kampung] Portaon Angin lalu ia ditebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden.
Setelah kami tinggalkan pos zending dijaga oleh orang Bahal Batu.
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh
berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat diketahui dan para pelaku
diusir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol yang kira-kira sama
dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zending. Hal itu
dilakukan karena balas dendam untuk keponakannya yang gugur di Bahal Batu.
Berkat pertolongan Allah pos zending hingga kini selamat, dan di Bahal Batu belum
ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada.
Pada 14 Maret Bapak Residen datang sendiri dari Sibolga bersama 250 tentara
dan Kolonel Engels yang telah

membuktikan keberaniannya di Aceh. Tanggal 15

Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda, dan pada tanggal
16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan
Residen berusaha untuk, bersama dengan para penginjil, meyakinkan musuh untuk
menyerah, akan tetapi usaha tersebut ditolak. Setelah itu Bahal Batu pun
dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda dan para raja harus melakukan
sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai
penerjemah. Orang Butar pun disuruh menyerah bila mau selamat. Setelah
penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan
membakarnya. Penduduknya tidak ditangkap tetapi ada beberapa orang yang mati
dan cedera di antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan
beberapa hari kemudian meninggal di Bahal Batu. Kampung-kampung lain di Butar
lalu menyerah; 11 raja ditangkap dan dibawa ke Bahal Batu, dan masing-masing
diwajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200300 dolar Spanyol atau
600900 Gulden. Kini mereka sudah dilepaskan. Atas permintaan para penginjil
maka Butar diperlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung
yang dibakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para
penginjil yang ditahan di Butar kini menjadi pemimpin musuh.
Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak dibakar, hal mana semoga
akan membuat dia merenungkan peristiwa yang berlalu.
Semua perundingan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ
diserang. Lima kampung dibakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap
netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga
Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja

dan tidak menuruti pemimpinnya yang hanya mencelakakan mereka. Bagaimana


pun mereka akan kalah.
Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen
telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya,
zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang
tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa
menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.
Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen
telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya,
zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang
tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa
menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.

BRMG 1878 (12): 361-381

Laporan Terakhir tentang Perang di Toba


oleh I.L. Nommensen
Sepanjang tahun ini kita sudah berulang kali menyajikan berita tentang perang
di Toba, tetapi baru sekarang kami bisa mencetak laporan lengkap oleh saudara
kita Nommensen yang dengan mata sendiri melihat peristiwa yang terjadi. Perang
ini dan perubahan yang terjadi akibat perang itu betapa penting sehingga dirasakan
perlu untuk menulis ulang sejarah peristiwa itu sekali lagi walaupun sebagian yang
sudah pernah ditulis sebelumnya diulang lagi. Penulisan sejarah perang dari
penginjil Nommensen yang sesuai dengan fakta dapat kiranya membantah segala
tuduhan yang dilontarkan kepada pihak zending Kristen Batak. Para penginjil kita
tidak perlu merasa malu atas peranan mereka dalam perkara ini.
Di tengah-tengah kemelut perang mereka menjadi malaikat perdamaian. Kami
yakin bahwa perang itu akan bermanfaat bagi mereka untuk membuka jalan bagi
injil dan memenangkan hati orang. Untuk memahami kisah berikut tentang
berlangsungnya perang kiranya berguna bila pembaca melihat peta Toba yang
terdapat di edisi ke-8 tahun ini

Berikut ini surat Nommensen:


[362] Badai yang mulai melanda kami segera sesudah konferensi terakhir
dengan segala kekacauan dengan bantuan Tuhan kini sudah berlalu. Keadaan di
sini berubah total, tetapi sekarang akhirnya saya punya waktu untuk menceritakan
kembali rangkaian peristiwa tahun yang lalu.
Segera sesudah konferensi Juni 1877 musim pesta bermula bagi orang Batak
yang jatuh bertepatan dengan mulai musim tanam yang baru, dari 1 Juli hingga
bulan September. Itulah musim pesta. Banyak marga mengadakan pesta horja;
yang langsung memengaruhi kami ialah pesta dua marga yang tinggal dekat sini
sehingga banyak anggota paroki kami mempunyai hubungan keluarga dengan
mereka. Pada malam hari mereka memukul gendang, meniup serunai, makan dan
minum. Pada siang hari mereka membunyikan bedil dan menari. Kemeriahan itu
tentu menarik perhatian orang, terutama muda-mudi. Beberapa muda-mudi, dan
juga orang-orang yang mempunyai talian saudara dengan pihak pelaksana pesta,
tergoda menghadiri pesta itu. Hal mana yang tiap kali disambut kaum kafir sebagai
kemenangan mereka.
Tahun yang lalu paroki saya menghadapi banyak percobaan. Karena pergaulan
laki-laki

[umat

paroki

Nommensen]

dengan

tentara

maka

mereka

banyak

dihadapkan percobaan karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya sebagai


kuli, dan, karena mereka lebih mengetahui keadaan setempat, mereka juga
menjadi calo untuk perbekalan [tentara] sehingga ada di antara mereka yang
imannya

menjadi

rusak.

Namun

kesetiaan

penggembala

Tuhan

kita

yang

menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang jatuh sakit, hal mana
dilakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan disiplin di antara umatnya.
Namun tahun yang lalu juga dianugerahi rahmat Allah. Banyak orang meninggal
karena {5} tifus dan disentri. Hampir semua orang Batak yang berjalan dari
Silindung ke Bahal Batu kena salah satu dari penyakit itu.
[363] Banyak orang yang terpaksa ditandu pulang, lain orang membawa
kumannya ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang
yang meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat
menyedihkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang dibaptis pada 14
Oktober 1866.
[Berikut ini laporan saya tentang perang.] Menurut saya dalam sejarah HindiaBelanda belum pernah ada ekspedisi militer yang begitu cepat dan begitu berhasil
seperti Ekspedisi Toba, dan saya yakin pemerintah tidak akan melarang usaha kita
untuk secepatnya menetap di Toba. Untuk sementara waktu para penginjil terpaksa
meninggalkan Bahal Batu karena Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak

termasuk wilayah Silindung. Namun sekarang sudah terbukti sehingga Gubernur


tidak ada pilihan lain, ia harus mempercayainya. Dulu penginjil Pse hanya minta
izin untuk bertugas di Pangaloan sementara penginjil Metzler hanya ada surat izin
untuk menetap di Hindia-Belanda. Keduanya sekarang sudah minta izin untuk
bertugas di Tapian Na Uli sehingga tidak lama lagi Pse bisa kembali ke situ.
Penginjil Metzler mungkin tidak akan kembali ke sana karena keadaan kesehatan
fisik maupun mental.
Sekarang kita kembali pada cerita perang: Pada akhir musim gugur [akhir
Novemberpertengahan Desember] 1877 terdengar bermacam-macam desasdesus. Orang Batak yang kembali dari pesisir membawa kabar bahwa Raja Stambul
(Raja Konstantinopel) bersama dengan rakyatnya akan datang ke Sumatra untuk
bersekutu dengan orang Aceh kalau Kerajaan Ottoman tidak lagi bisa bertahan
menghadapi Rusia. Harinya bendera hijau nabi berkibar sudah ditetapkan dan umat
Islam akan bangkit dan membunuh semua orang kafir dan Kristen. Setiap hari ada
kabar angin baru. Terdengar orang Belanda tidak lagi mempunyai tentara dan akan
kalah dalam perang Aceh.
[364] Khotbah kami tidak dipercayai oleh kaum kafir, mereka percaya pada
cerita bohong itu dan saling menakuti satu sama lain. Bahkan beberapa orang
Kristen meminta nasihat kepada kami. Kabar bahwa ada 40 orang Aceh masuk ke
Toba membuat keadaan menjadi lebih parah lagi. Masyarakat menjadi makin resah
dan mulai menggali harta bendanya. Lalu datang utusan Singamangaraja ke
Silindung mengumumkan di pasar-pasar bahwa Singamangaraja akan datang
bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang Eropa dan orang Kristen. Kaum
kafir tidak perlu khawatir asal bersikap netral. Raja yang beragama Kristen
berunding

dan

mempertimbangkan

menyerang

utusan

Singamangaraja

dan

membawanya ke Sibolga. Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan


membantu mereka sekiranya mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu
saja

kami

tidak

bisa

menjaminnya.

Waktu

mereka

berunding

utusan

Singamangaraja ternyata sudah pergi, barangkali karena rencana mereka tidak


berhasil atau karena mereka mendengar para raja Kristen hendak menangkapnya.
Beberapa raja memperlihatkan kepada mereka keuntungan yang mereka peroleh
dari adanya para penginjil: 1) tiada lagi Bonjol (Melayu) yang datang mengganggu
sejak kedatangan para penginjil, 2) para penginjil hanya berbuat baik seperti
memberi obat, dan 3) sangat tolol kalau Singamangaraja sekarang mau bersekutu
dengan mereka yang membunuh neneknya. Mereka juga mengatakan akan
menjaga keselamatan para penginjil. Setelah utusan Singamangaraja kembali

mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan menyerang lagi, dan bahwa
orang Silindung sudah bersekutu dengan orang Bonjol. [365]
Maka terjadilah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke
Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba di Naga Saribu mereka ditangkap
dan dipasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya. Setelah kejadian
itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke Toba; orang Toba juga masih
marah pada orang Silindung karena desas-desus tadi. Akibatnya makin banyak
kabar angin yang tidak jelas atau dilebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh
di Toba yang masih tetap ada di Bangkara dan di Muara. Beberapa orang kelahiran
Toba yang menetap di Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke
Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu.
Dalam keadaan seperti itu kami sendiri tidak mungkin ke sana dan kami juga tidak
berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena menurut adat Batak
kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak mungkin kami lakukan. Dari
Barus dan Singkel dikonfirmasi memang ada 40 orang Aceh yang berangkat ke
Toba. Seorang raja di Silindung mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari
Padang Bolak ke Huta Tinggi, dan bahwa raja-raja di Huta Tinggi kembali dengan
mereka ke Padang Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya
ke Toba juga sudah diketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke
Toba, tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu ke
Huta Tinggi karena sudah ada serdadu di sekitar Silindung
Keresahan makin menjadi dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan
yang sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap
siaga dengan memegang senjata, dan penginjil di Bahal Batu saking ditakuti oleh
orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa pada malam itu juga
orang Aceh dan sekutunya akan datang.
[366] Surat dengan berita tadi tiba di sini pada jam 1:30 malam. Pada keesokan
hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada di sini, kami berangkat ke
Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Israel yang juga
ikut dengan kami. Setiba di Bahal Batu kami mendapatkan penduduk kampung
duduk di luar kampungnya dengan membawa lembing dan bedil. Setiba di pos
zending datanglah Partaon Angin yang sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa
kami datang untuk menjemput Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan
Israel tetap di situ dengan penginjil Pse. Namun orang tua yang cerdas itu
menjawab: Lebih baik aku mati dibunuh daripada saya membiarkan Saudari
Metzler pergi karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu
akan pergi pula. Biarkan saja dia di sini bersama suaminya. Mereka tidak perlu

khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler di sini maka Bahal
Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak jelas bahwa dia hanya
ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler. Dalam pikirannya, selama masih
ada perempuan Eropa di sini mereka pasti akan berusaha agar Bahal Batu selamat,
kalau dia pergi mereka tidak peduli.
Sebentar kemudian ia berkata lagi: Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa
dijaga, pada malam hari mereka pergi. Walaupun demikian cara pikirannya kami
tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap di Bahal Batu karena jelas
bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau mereka pergi, dan juga karena kami
percaya keadaan masih agak aman.
Namun demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan
penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral dan
beberapa di antara mengatakan [367] akan berpihak pada pihak mana yang
menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya selamat.
Hal mana, demikian penjelasannya, juga dilakukan oleh Mangkali Bonar dari
Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menjadi kaya dan terkenal.
Pendapat yang sedemikian menjadi makin populer apalagi karena orang-orang tua
masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak bersaudara dengan, dan
pernah membayar upeti kepada Aceh dan . Sampai sekarang pun orang masih
memanjatkan doa kepada Soripada di Anse. Maka dengan demikian mereka sudah
membiasakan diri bakalan berada di bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah
begitu baik hati untuk mengirim 50 bedil lengkap dengan amunisi bagi umat Kristen
supaya mereka bisa membela diri kalau diserang.
Minggu demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba
berita bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas
dibunuh di Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari Bahal Batu.
Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta Tinggi Simamora
menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula kelompok 40 orang Aceh
ternyata dipimpin oleh Willem Daut, anak seorang perempuan Eropa, dan Said
Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang dulu sudah pernah mengancam
Singkel.
Oleh sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah
menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan
itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh
menetap di Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya. Pasukan pertama di
bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel sudah
berangkat pada 1 Februari ketika permintaan [untuk mengirim tentara] kami

sampaikan dari sini. Pada tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba di
Pearaja. Kontrolir van Hoevel dan Upas [368] Bartolemy bermalam di tempat kami,
laki-laki yang lain tinggal bersama tentara.
Rumah di kampungnya Obaja sudah disediakan untuk tentara dan dilengkapi
dengan tikar. Kayu api disediakan oleh anak buah Obaja. Para perwira tinggal di
pusat kampung di antara tentara, di rumahnya Jesaia supaya dekat tentara kalaukalau ada sesuatu yang terjadi. Soalnya ada beberapa raja yang pada acara
musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang lain malahan tidak menghadiri
musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada seorang yang berhak menyuruh kami.
Seusai musyawarah dan setelah upacara penaikan bendera Belanda maka tentara
masuk ke Sipoholon, kampung yang letaknya dekat dengan pos zending. Di situ
pun diadakan musyawarah dan maksud kedatangan tentara dijelaskan kepada para
raja, dan sesudah dilakukan pengamatan maka diputuskan pergi ke Bahal Batu.
Waktu itu tiba surat dari Singamangaraja membalas surat Residen. Katanya dia
tidak datang karena ada tentara tetapi bersedia bertemu dengan saya di Pintu Bosi
dengan syarat saya tidak ditemani lebih dari dua orang. Permintaannya ditolak oleh
Kontrolir. Katanya karena ia sudah berjalan jauh dari Sibolga maka pantas
Singamangaraja datang ke Bahal Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat
balasan Kontrolir ia hendak memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak
mungkin karena pembawa surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu
dirobek-robek dan mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perundingannya.
Sementara itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara dikirim ke Bahal Batu. Tidak
lama kemudian tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari Balige
membawa kabar soal perobekan surat [369] serta pengumuman perang asli Batak
yang dinamakan pulas.
Pulas itu terdiri dari sebuah kentang yang agak panjang yang diukir hingga
menyerupai manusia dan ditusuk dengan beberapa lembing kecil dan disertai tiga
surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta sebuah sumbu yang
bekas disulut. Pulas itu digantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa
kali tembakan.
Hal itu terjadi pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang
namanya tertera pada surat tadi memang menggantungkan pengumuman perang
itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang namanya
tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang memanggil orang Aceh,
namun menurut hasil penyelidikan di kemudian hari mereka ternyata tidak bersalah
dan menjadi korban tipu muslihat musuh mereka. Dengan demikian tetap tidak
jelas pengumuman perang itu berasal dari pihak mana.

Beberapa hari kemudian seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan
bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan
tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai
menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika mereka
lebih dekat kami dihujani peluru. Ketika berada pada jarak sekitar 200m mereka
menjerit secara mengerikan sambil menembak dan bertari perang; di situlah
Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak serta meniupkan trompet yang
menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang Batak berdiam sejenak lalu lari.
Mereka berkumpul di luar jangkauan peluru di atas bukit-bukit sampai ada granat
yang meledak (yang mendarat jauh di belakang mereka) yang mengakibatkan
mereka mundur. Sepertinya pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan
kedua dan ketiga [370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang
mati namun jumlahnya susah ditentukan.
Pada awalnya kami tinggal di pos zending, juga sesudah pengumuman perang,
tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zending dan dengan
membawa harta benda kami pindah ke benteng.
Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200
pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah Butar
dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang tewas; lima
kampung dibakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang lain mengibarkan
bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak dibumihanguskan. Sekitar
5060 kampung di Butar yang tidak dibakar namun raja-rajanya ditahan di Bahal
Batu sampai mereka membayar denda yang ditetapkan oleh Residen Boyle.
Sesudah beberapa hari Lobu Siregar diserang. Setelah bertempur selama 12
jam lima kampung dibakar. Kampung pertama sudah dikosongkan namun makan
waktu 1 jam sebelum pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya.
Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di
sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk
menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka
tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan
pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada
di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan
melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal
Batu

dan

juga

Pagar

Sinondi

bersumpah

setia

pada

pemerintah

dengan

menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah


pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara
maka bunyi sumpah tentu berbeda.

Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di


sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk
menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka
tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan
pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada
di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan
melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal
Batu

dan

juga

Pagar

Sinondi

bersumpah

setia

pada

pemerintah

dengan

menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah


pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara
maka bunyi sumpah tentu berbeda.
Setelah acara sumpah setia masih ada enam kampung di Naga Saribu yang
menolak untuk menyerah. Pagi-pagi keesokan hari kami berangkat dari Bahal Batu
melewati ujung timur laut Butar dan tiba di Naga Saribu pada sekitar jam 11:30.
Penduduk keenam kampung tidak mengadakan perlawanan karena sadar bahwa
hal itu akan sia-sia. Ternyata mereka percaya bahwa tidak mungkin tentara bisa
sampai ke kampungnya dalam tempo satu hari, dan di samping itu mereka juga
berharap bahwa pemerintah tidak akan datang hanya gara-gara enam kampung
mengingat bahwa kebanyakan kampung sudah menyerah dan membayar denda.
Ketika mereka menyadari bahwa kampung-kampung lain selamat maka mereka
sangat menyesal, tetapi terlambat sudah.
Dengan sangat lelah kami tiba kembali di Bahal Batu pada jam 19:30. Sebagai
misionaris kami memang tidak perlu memikul senjata dan perbekalan akan tetapi
tugas kami tidak lebih ringan dibanding tugas serdadu. Pada waktu tentara istirahat
ketika pembakaran berlangsung kami harus berjalan dari kampung ke kampung
di sekitar Naga Saribu untuk mendatangi raja-raja yang sudah tunduk tetapi belum
melunasi denda. Harinya panas dan kering. Pasir diterbangkan angin sehingga
mata menjadi perih. Menjelang malam, ketika kami masih harus menempuh jalan
selama 2 jam lagi, hawa berubah menjadi dingin lalu turun hujan disertai
halilintar dan gemuruh sehingga kami basah kuyup.
Lalu ada berita dari Padang akan ada pasukan tambahan sebanyak 300 tentara
dan 100 narapidana karena pemerintah bermaksud untuk maju sampai ke Danau
Toba untuk mendenda mereka yang datang menyerang dari jauh. Hal itu memang
perlu karena sewaktu dilakukan persiapan ekspedisi ke Toba datang pula orang
Toba dari Balige, Gurgur, Si Anjur dan lain-lain tempat untuk sekali lagi menyerang
Bahal Batu. Kali ini Kolonel tidak menunggui orang Batak di benteng, melainkan
menyuruh pasukannya menyerang dan [372] berkubu di balik sebuah bukit

Orang Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa di bukit
sebelah utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan
mencederai seorang di antara mereka maka mereka langsung lari karena takut
akan dikejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek Simokmok.
Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana dan menembak
mati seorang.
Sesudah semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat
ke Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni Huta dan
Si Hombing. Negeri itu yang terdiri atas sekitar 70 kampung sudah bersumpah
setia di Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Bangkara.
Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni Huta kami bertemu dengan Ompu ni
Chordopang dari Bangkara, raja yang memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura
seolah-olah menjadi sahabat lama. Karena saya berjalan paling depan dan saya
langsung mengenalnya maka saya melaporkannya kepada Residen. Lalu dia
ditangkap. Ketika kami mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah.
Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang
terletak 550600 meter di bawah. Ketika kami tiba di kompleks kampung yang
salah satu di antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin
granat ditembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai
jatuh di kampung. Lalu kami turun. Tiba di bawah, kami melihat pertahanan
kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung dikelilingi tembok setinggi 4
meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu kokoh dan terjal sehingga
orang bisa kagum melihat kesabaran mereka membuat tembok. Di atas [373]
tembok tumbuh tanaman rambat yang berduri yang tidak dapat dipegang dengan
tangan telanjang.
Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang
berusaha memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari
atas kami bisa melihat kejadian di kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka
membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang
dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut.
Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera.
Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 1012 laki-laki
dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
Tentara menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung satu
kampung. Kampung-kampung yang lain ditempati oleh mereka dari Bahal Batu,
Butar, dan dari lain tempat di Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang

ditangkap, diserahkan kepada kami. Anak-anak dan perempuan ditahan di sebuah


rumah besar dan laki-laki di rumah yang satu lagi. Kami menghibur mereka dan
berbuat baik kepada mereka sehingga mereka cepat menaruh kepercayaan pada
kami dan mereka tenang-tenang saja dan tidak berusaha untuk melarikan diri.
Mereka ditahan selama dua hari dua malam karena Residen ingin mengetahui apa
di

antaranya

ada

istri

dari

raja-raja

yang

terkemuka.

Maksudnya

supaya

meyakinkan para raja melalui istrinya agar mereka mau menyerah.


Keesokan hari serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampungkampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung dibakar.
Bapak Residen meminta bantuan saya untuk mendampinginya. Tugas saya untuk
berbicara dengan para raja yang ingin menyerah dan untuk membawa mereka
kepadanya. Namun ketika api mulai berkobar di kampung-kampung yang paling
dekat maka penduduk berlari-lari kepanikan berusaha memanjat tebing bukit yang
tingginya sekitar 550 meter. [374]
Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek
bergema di seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang
dihormati dan ayah sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat
membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan
meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda. Bersama dengan
beberapa orang yang kenal dengan penduduk kampung saya mengejar mereka
yang memanjat tebing hal mana berlangsung dengan sangat lambat karena
banyaknya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Kepala raja yang
mengibarkan bendera putih berteriak Patu ma hami! (Kami menyerah!). Ketika
melihat saya ia turun menghampiri saya dan lalu bersedia untuk dibawa kepada
Kapten. Waktunya memang sudah mendesak karena kampungnya sudah dikepung
tentara dan orang Batak yang suka merampas sudah mulai mengangkat padi agar
tidak hangus, dan juga sudah mulai memotong ternak babi. Lalu saya beritahu
kepada Kapten bahwa raja itu hendak menyerah. Ketika para serdadu pergi maka
jerit-tangis semakin berkurang. Raja yang masih sangat muda itu lalu dijaga oleh
tentara dan saya menyuruh Si Daut, seorang Kristen, untuk mendampinginya.
Habis itu saya pergi ke kompleks kampung yang lain lagi, tetapi penduduk sudah
naik ke atas dan kampung-kampung mereka dibakar semua. Saya berjalan terus
dan bertemu beberapa orang yang bersedia untuk memanggil rajanya. Karena
mereka langsung datang masih ada waktu untuk meyakinkan mereka agar mau
tunduk pada pemerintah sebelum tentara datang. Sesudah para raja itu saya
serahkan kepada Kapten saya meneruskan perjalanan dan kampung mereka tidak
dibakar. Ketika kami tiba di atas bukit kami melihat sungai yang deras yang tidak

sangat dalam, tetapi cukup dalam untuk menghalang kami karena arus yang deras.
Para serdadu juga sudah lelah seusai melewati [375] sawah-sawah di terik
matahari maka kami istirahat dulu.
Lalu kami melihat penginjil Simoneit yang di seberang sungai menyemaikan bibit
perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Kapten
menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk surat kepada Kolonel
meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah pasukannya untuk kembali
karena

kampung-kampung

di

ujung

selatan

lembah

Bangkara

juga

sudah

menyerah.
Raja itu didenda dan diwajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada
hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan semua
tawanan dilepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara sesudah
kampung-kampung yang kami tempati dibakar oleh serdadu.
Makan waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya
sampai di dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 2030 kuli
yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal sehingga kami
menjadi basah. Karena cuaca di atas jauh lebih dingin maka Simoneit dan saya
tidak mau duduk-duduk kedinginan. Kami jalan-jalan arah ke utara untuk bisa
melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang. Setelah kami berjalan sekitar
satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka kami melihat sekelompok orang
bersenjata menuju kami. Di antara kami dan mereka ada lembah yang lumayan
dalam. Mereka mempercepat langkah untuk bisa menyergap kami dan kami
memutuskan untuk selekasnya kembali. Ternyata mereka bukan pemberani karena
mereka mendaki bukit dengan sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu
tempat kami tadi berdiri untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah
agak jauh baru mereka berani naik ke kubu itu.
Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami di sana
kami langsung bergerak arah ke timur. [376]
Melintasi wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang
jalan itu dipasang bambu runcing yang pasti dilakukan pada hari sebelumnya.
Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka
tampak ketakutan. Hanya satu dua di antara mereka nekad menodongkan laras
senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak. Mereka
lebih kaget lagi melihat di antara kami orang Silindung yang mereka kenal. Orang
Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan laras bedilnya.
Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada
karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain di pasar. Rupanya mereka

tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat untuk
bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal di Paranginan selama
beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah mereka
melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka mereka mulai
menaruh kepercayaan pada kami.
Dari Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun orang
Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang di tengah jalan yang di
dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira kami datang pada
malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta Ginjang kami berhenti di
pasar untuk berbicara dengan para raja, kemudian kami turun ke Meat, sebuah
lembah seperti Bangkara tetapi lebih kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan
diteruskan ke Gurgur.
Jalan ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi hampir sama
keadaan

seperti di Bangkara.

Orang

Batak sudah

berkumpul di atas dan

menggulingkan batu arah ke tentara. Di sinilah paling besar kerugian tentara.


[377]
Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. Sesudah beberapa
serdadu berhasil naik ke atas mereka lari. Kami istirahat selama dua hari di Gurgur
dan raja-raja di Huta Ginjang, Meat dan Tangga Batu diwajibkan melakukan
sumpah setia pada Belanda. Pada hari ketiga pasukan menuju Lintong ni Huta
Pohan, Panghodia, dan Tara Bunga. Hampir semua kampung di Gurgur dibakar
karena membiarkan musuh menembaki kami di wilayahnya sementara mereka
berpura-pura menjadi sahabat dan mengatakan takluk pada kami dan menjadi
pemandu jalan kami. Namun setelah kami sampai di atas, mereka tidak kelihatan
lagi. Rupanya mereka yakin tentara tidak mungkin naik ke atas melainkan harus
berjalan kembali. Setelah itu mereka berencana agar semua bangkit [melawan
Belanda]. Namun sekarang, ketika mereka lihat bahwa teman-temannya lari
mereka menjadi ketakutan.
Setelah pembakaran diselesaikan kami menuju Lintong ni Huta. Orang Batak
sudah berkumpul di situ dan keluar dari persembunyiannya menyerang kami
dengan menembak, menjerit, dan menari. Ketika berjarak sekitar 250 m tentara
menyerang dan mereka lari bersembunyi di kampung-kampung. Setelah beberapa
granat ditembakkan ke arah kampung-kampung itu mereka lari menurun tebing ke
pantai danau dan menyelamatkan diri naik perahu. Tentara tetap menembaki
mereka dan salah satu perahu kena peluru sehingga orang yang duduk di dalam
terpaksa lompat ke air dan berenang ke darat. Lalu kampungnya dibakar. Hanya
beberapa kampung tidak dibakar karena beberapa anak raja dari Tangga Batu yang

sudah takluk minta kepada residen agar kampung-kampung itu tidak dibakar
karena mereka memiliki rumah di situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah
orang Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [378] orang Gohan
terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu, dan kuda keluar
dari tempat persembunyiannya ke arah tentara.
Sementara Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung di tanjung Tara
Bunga bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap di sini,
di jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di mana-mana
terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya bersembunyi di
jurang-jurang

pegunungan

dan

langsung

lari

apabila

ada

yang

mendekati

persembunyiannya. Itulah saat yang paling menyedihkan bagi kami yang datang
sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk
diusir dari rumahnya.
Ketika kami sampai kami disambut raja Balige yang dua tahun yang lalu
menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk
bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami di Gurgur dia datang ke sana
meminta

agar

kami

menyampaikan

kepada

Residen

permohonannya

agar

wilayahnya tidak diganggu namun karena Residen saat itu sangat marah karena
kerugian yang dideritanya di Gurgur maka kami tidak menyampaikan permohonan
itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi menjadi agak jengkel
ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung pertama dalam keadaan
tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya keliling selama kira-kira satu jam
sampai pada pinggir danau di pasar Balige, dan ia puas karena pintu kampung di
sana terbuka semua. Serdadu yang datang 30 menit kemudian langsung mandi
sampai ke lutut di danau karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau
termasuk Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena
rendah letaknya. Tiga kampung dipilih sebagai tempat tentara dan setelah mereka
merasa nyaman di tempat barunya semua terjun ke danau untuk mandi. Pertama
kali di Danau Toba kata mereka semua. Banyak di antaranya mengungkapkan
perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang
begitu indah. [379]
Pada malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang
musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah
takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi saya tidak
ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada acara berperang
dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 5060 kampung dibakar. Awalnya
musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari juga. Menjelang siang saya

berjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di tempat itu Raja Deang mendirikan kubu
dan pertempuran berlangsung. Di Lumban Atas, Paninduan, saya duduk di bawah
pohon besar dan menonton hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan
pergi untuk menjarah kampung-kampung yang dibakar. pada sore hari sekitar jam
3 pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur dan
Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan bersengketa di
tanjung. Mereka menyerahkan diri kepada Residen. Setelah senjatanya dirampas
mereka dijebloskan di sebuah rumah dan dijaga. Pada keesokan hari raja-raja yang
menyatakan diri takluk didenda dan diambil sumpah setia. Karena mereka tidak
begitu cepat bisa mengumpulkan uang untuk membayar denda maka mereka
dibawa ke Bahal Batu untuk di kemudian hari ditebus oleh keluarganya. Pada hari
keempat

kami

berjalan

ke

Onan

Geang-Geang

tempat

tinggal

mertua

Singamangaraja. Kampung-kampung di sana pun dibakar karena penduduknya


mengungsi. Masih pada hari yang sama kami pergi ke Pintu Bosi yang kampungnya
besar-besar. Di sini pun penduduk mengungsi sehingga kampung-kampung mereka
dibakar. Parik Sabungan, yang dekat dengan Pintu Bosi, menyerah, didenda, dan
[raja-rajanya] dibawa ke Bahal Batu untuk diambil sumpahnya. Perjalanan kami
lewat Lobu Siregar dan pada jam lima sore kami tiba di Bahal Batu. [380]
Ekspedisi telah selesai. Tiada yang merasa lebih lega daripada saya. Namun saya
masih harus tinggal di Bahal Batu selama delapan hari lagi untuk membantu
Residen sebagai penerjemah. Berangsur-angsur tentara kembali, dan tentu lewat
Pearaja untuk singgah di gereja kita. Saya sangat menyesal tidak bisa berada di
rumah membantu istri saya dalam masa yang kacau seperti ini. Namun dengan
bantuan Tuhan mereka semua selamat dan sehat sentosa. Pada hari sesudah kami
tiba diadakan musyawarah umum di Sipoholon. Para raja diberi tahu bahwa wilayah
mereka telah dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda. Mereka diharuskan
bersumpah setia dan diperingatkan bahwa mereka harus mematuhi perintah
Kontrolir. Di Sipoholon, sekitar setengah jam di atas pos penginjil Mohri, dibangun
benteng tempat tinggalnya 80 tentara yang akan menetap di sini. Rumah Kontrolir
Pluggers membangun rumah di dekat Pearaja dalam jarak sekitar 20 menit dari
sini. Seluruh 306 kampung di Silindung telah tunduk pada pemerintah dan kini
mereka sudah mulai membangun jalan ke Sibolga. Untuk itu setiap kampung harus
menyediakan satu orang. Kontrolir adalah orang yang rajin dan cukup diberi
kesempatan untuk menunjukkan kecakapannya karena begitu banyak perselisihan
yang harus diselesaikannya.
Perang sudah berakhir dan kami meneruskan pekerjaan sehari-hari dengan
semangat baru. Hasil dari ekspedisi sangat menguntungkan pemerintah. Boleh

dikatakan seluruh Toba ditaklukkan, dan hanya di Toba Humbang masih diperlukan
beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan di sana. Namun hal
itu tidak terjadi karena pemerintah tidak tertarik akan Toba Humbang. Mereka
terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zending kita pun bagus begitu karena kami
kurang tenaga untuk menempatkan cukup banyak penginjil sehingga kami malahan
bisa didahului Islam. Sekarang kami punya cukup waktu untuk menggarap
Silindung dulu sebelum kami masuk ke Toba dalam waktu beberapa tahun
mendatang.
Pemerintah tidak akan melarang karena orang Toba [381] akan makin dekat
dengan pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus
bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya datang,
kita bisa menuruti petunjuk Tuhan.
Sejak Silindung menjadi wilayah Hindia-Belanda dan perang telah berakhir maka
datanglah

ratusan

orang

Toba

berbondong-bondong

kemari.

Banyak

orang

berimigrasi ke sini termasuk di antaranya mereka yang kehilangan rumah yang


dibakar tentara, dan banyak lagi yang akan datang. Dengan demikian maka injil
pun akan lebih diketahui di Toba Humbang. Sekarang saja, karena keadaan di
Toba, pengaruh kita sudah mulai terasa di sana. Semoga Singamangaraja pun mau
datang untuk menyerah dan tunduk pada pemerintah.
Tidak lama lagi terbukalah lahan yang sangat luas. Tenaga dan dana perlu
digandakan untuk, sebagai contoh, membuka pos penginjilan di Balige karena di
Deli misi Katolik sudah mulai beroperasi, dan mereka sudah menjelajah sampai ke
Bila. Belum tentu mereka langsung ke Balige karena masih berada jauh di utara,
namun semboyan kita harus tetap: Maju! Di Silindung sudah banyak yang
mendaftar mau menjadi Kristen, kian hari kian banyak orang, namun berapa di
antaranya yang bersungguh-sungguh hanya akan diketahui di kemudian hari. Kami
senang bahwa paling tidak mereka bisa mendengar berita yang baik namun dalam
musim pancaroba seperti ini kesungguhan mereka masih perlu dipertanyakan.
Banyak yang datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai
penengah dalam perkara pengadilan. Masalah yang sama yang dulu dihadapi
penginjil di Sipirok kini kami hadapi di sini. Hanya kami di sini lebih beruntung
karena agama Islam belum ada dan agama Kristen sudah berakar di sini. Dapat
diharapkan dalam dasawarsa yang akan datang seluruh Silindung menganut agama
Kristen.

BRMG 1879 (6) 169-170

Surat Penghargaan dari Pemerintah Belanda


Penginjil Nommensen menulis pada 26 Februari:
Dari pihak pemerintah kami menerima dokumen berikut:
Atas nama Gubernur Pantai Barat Sumatra kami ingin mengucapkan terima
kasih atas jasa Tuan-Tuan selama Ekspedisi Militer ke Toba.
Keputusan Pemerintah No. 8 tertanggal 27 Desember tahun yang lalu [1878]
berbunyi sebagaimana berikut: [170]
Melalui Gubernur [Pantai Barat Sumatra] pemerintah mengucapkan terima kasih
kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I.
Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa
yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. Dengan keputusan ini
pemerintah memberi ganti rugi sebesar 1000fl. Jumlah tersebut dapat diambil
setiap saat.
Residen Tapanuli.

BRMG 1882 (7) 202205

Menaklukkan Toba
Setelah mengadakan perjalanan ke Danau Toba para penginjil berniat untuk
menetap dan membuka pos zending di sana. Kemungkinan itu dulu sudah pernah
disinggung oleh penginjil Nommensen dalam laporan tahun 1876.
Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya
pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di
Silindung memainkan peranan cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda
terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan injil di Silindung mendapatkan
perlawanan dari Singamangaraja yang dulu maupun dari Singamangaraja yang
sekarang.

Karena

sudah

kehilangan

sebagian

besar

kekuasaan

dua-duanya

berusaha untuk memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir


para penginjil. Singamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapi

karena ia bersekutu dengan orang Aceh di utara maupun dengan orang Batak Islam
di timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan
demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak
memperluas dan memperkokoh kekuasaan mengingat tindak-tanduk orang Aceh
dan jaringan mereka yang makin hari menjadi makin ketat dan luas.
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu
cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu
diperhatikan butir-butir berikut:
[1.] Secara formal Silindung sudah lama termasuk wilayah kolonial Belanda
walaupun mereka memang jarang sekali melaksanakan pemerintahannya. Karena
status hukum Silindung sebagai wilayah kekuasaan Belanda maka penginjil kita
mendapatkan izin untuk menetap, dan berhak untuk meminta perlindungan
pemerintah. [203]
[2.] Mengingat hubungan Silindung dan Toba yang begitu erat maka upaya
pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan di Silindung hanya dapat dilakukan
dengan sekalian menaklukkan Toba. Hal itu penting karena Toba, yang padat
penduduk, terletak di antara wilayah perkebunan yang subur di pantai timur dan
Tapanuli dengan pelabuhannya yang penting di pantai barat.
[3.] Penaklukan Toba menjadi begitu penting dan tidak dapat diundurkan lagi
karena adanya unsur Aceh. Selain itu kita tidak boleh melupakan bahwa Belanda
sudah lama merencanakan dan mengupayakan penaklukan seluruh bagian utara
pulau Sumatra. Aceh menjadi musuh yang bertahun-tahun sangat merepotkan
mereka, dan malahan sampai sekarang masih sering merepotkan pemerintah. Aceh
di dahulu kala pernah menguasai hampir seluruh kawasan pesisir Sumatra. Orang
Batak juga pernah berada di bawah kekuasaan Aceh dan bagian utara daerah Batak
hingga kini masih berada di bawah pengaruh Aceh. Pada masa kekacauan
menjelang ekspedisi terhadap Toba, orang-orang tua menceritakan bahwa mereka
dengar dari orang tuanya bahwa dahulu mereka membayar upeti pada orang Aceh.
Dalam doa sampai sekarang pun mereka masih menyembah Partuan Soripada di
Atse. Oleh sebab itu maka Belanda harus secara tegas mematahkan tiap upaya
Aceh untuk memperluas pengaruh atau malahan mempersatukan suku-suku yang
ada di pedalaman pulau Sumatra untuk melawan Belanda.
Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting
lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik
Islam, Aceh, maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus
agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan

masuknya agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang di sana


menjadi hampir sirna.
Pada masa kekacauan menjelang perang Toba banyak orang kafir di Silindung
dan di kawasan arah utara dari Silindung mempertimbangkan untuk masuk Islam.
[204] Waktu itulah para penginjil menyadari betapa sedikit mereka peduli pada
kekafirannya

dan

betapa

mudah

mereka

mempertimbangkan

langkah

yang

sedemikian menyesatkan.
Puji Allah hal itu tidak terjadi. Kemenangan Belanda dalam ekspedisi yang amat
cepat dan perluasan kekuasaan mereka hingga ke Danau Toba membawa berkat
kepada zending kita, dan sangat penting dalam tiga hal: 1. Pemerintahan di
Silindung dilaksanakan secara semestinya sehingga para penginjil dapat beroperasi
tanpa ancaman. Pemerintahan Belanda yang ditetapkan di bawah kondisi yang
begitu unik, mestinya di mata penduduk kelihatan seperti pemerintah yang
Kristen atau paling tidak ramah terhadap agama Kristen. Hal itu merupakan faktor
yang begitu menentukan di Silindung yang juga akan berpengaruh di Toba. 2. Hal
yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada
pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah
zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci
orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka.
Namun hal itu tidak terjadi. Berkat tangan Tuhan, demikianlah tulisnya penginjil
Nommensen waktu itu, dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki
rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai
oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang
mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas
kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang,
yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang
Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga
mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa
mereka sendiri bersalah. Kalau kejadian berlanjut sebagaimana sekarang maka di
dalam beberapa tahun terbukalah lahan yang luas bagi zending kita. [205] Kalau
situasi menjadi tenang kembali maka kita bisa masuk, apalagi karena kita dilihat
sebagai pelindung terhadap pemerintah. Mereka melihat bahwa siapa saja yang
menuruti nasihat kami tidak akan menderita, dan tidak perlu khawatir. Mereka
yang menderita salah sendiri karena mereka tidak menerima nasihat kita.
Usahakanlah agar sebanyak-banyaknya penginjil bisa datang ke Toba karena
sekarang masa penginjilan mulai di Toba.
Dengan demikian juga terucap butir ketiga:

3. Akibat perang Toba maka orang makin percaya pada penginjil dan sudah ada
yang minta agar kita datang.

Daftar Pustaka
Altena, Thorsten. 2003. Ein Huflein Christen mitten in der Heidenwelt des dunklen
Erdteils.

Zum

Selbst-

und

Fremdverstndnis

protestantischer

Missionare

im

kolonialen Afrika 18841918. Waxmann. Mnster.


Angerler,

Hans.

Mission,

Kolonialismus

und

Missionierte:

ber

die

deutsche

Batakmission in Sumatra. Beitrge zur historischen Sozialkunde 2 (1993): 53-61.


Aritonang, Jan S. 1988. Sejarah pendidikan Kristen di Tanah Batak: suatu telaah
historis-teologis atas perjumpaan orang Batak dengan zending (kususnya RMG) di
bidang pendidikan, 18611940. BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. BPK
Gunung Mulia. Jakarta.
Bade, Klaus J. Friedrich Fabri und der Imperialismus in der Bismarckzeit: Revolution Depression - Expansion. Osnabrck, 2005.
Fabri, Friedrich. Die Entstehung des Heidenthums und die Aufgabe der Heidenmission.
Barmen, 1859.
Fabri, Friedrich. 1884. Die Bedeutung geordneter politischer Zustnde fr die Mission.
Rede vor der 6. Kontinentalen Missionskonferenz am 20.3.1884 in Bremen.
Allgemeine Missions-Zeitschrift 11. Hal. 97-112
Groot, A. de. 1984. Hermanus Willem Witteveen en zijn Zendingsgemeente te Ermelo.
G.F. Callenbach. Nijkerk.
Jongeling, Maria Cornelia. 1966. Het Zendingsconsulaat in Nederlands-Indi 1906-1942.
Van Loghum Slaterus. Arnhem.
Junghuhn, Franz. Die Battalnder auf Sumatra. 2.Theil: Vlkerkunde. Berlin: G. Reimer,
1847.

Junghuhn, Franz. Die Battalnder auf Sumatra. 1.Theil: Chorographie. Berlin: G.


Reimer, 1847.
Jura, Guido. 2002. Deutsche Spuren in der Kirchen- und Gesellschaftsgeschichte
Namibias:

Eine

Analyse

Emanzipationsprozesses
eigenst!
ndigen

unter

einer

Partnerkirche

ehemals
im

besonderer

Ber!
cksichtigung

kolonialen

Missionskirche

heutigen

Namibia

des

zu

einer

sowie

der

Interessenwahrnehmung der deutschsprachigen Minderheit innerhalb einer eigenen


lutherischen Kirchengemeinschaft. Fakultt fr Sozialwissenschaft. Ruhr-Universit#
t
Bochum. http://www-brs.ub.ruhr-uni-bochum.de/netahtml/HSS/Diss/JuraGuido/diss.pdf
Menzel, Gustav. 1978. Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: Die Rheinische Mission.
Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission. Wuppertal.
Rohden, Ludwig von. 1867. Leitfaden der Weltgeschichte fr die hheren Classen
evangelischer Gymnasien und Realschulen, sowie zum Privatgebrauch fr Lehrer
und fr Gebildete berhaupt. Von Rohdensche Buchhandlung. Lbeck.
Rohden, Ludwig von. 1888. Geschichte der Rheinischen Missions-Gesellschaft. Wiemann.
Barmen.
Schreiner,

Lothar.

Adat

und

Evangelium:

Zur

Bedeutung

der

altvlkischen

Lebensordnungen fr Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra. Vol.


Gtersloh, 1972.
Schubert, Michael. 2003. Der schwarze Fremde: Das Bild des Schwarzafrikaners in der
parlamentarischen und publizistischen Kolonialdiskussion von den 1870er bis in die
1930er Jahre. Franz Steiner Verlag. Stuttgart.
Smith, Anthony D. 1971. Theories of Nationalism. Harper & Row. New York.
Steinmetz, George. 2007. The devils handwriting: precoloniality and the German
colonial state in Quingdao, Samoa, and Southwest Africa. University of Chicago
Press. Chicago.
Warneck, Johannes. D. Ludwig J. Nommensen. Ein Lebensbild 1834 + 1934, WuppertalBarmen 1934, 4. erg. Aufl., 7-17; Wilhelm Landgrebe: Ludwig Nommensen. Kampf
und Sieg eines Sumatra-Missionars, Zeugen des gegenwrtigen Glaubens 77/78,
Gieen und Basel 1963; Gottlob Mundle: Der Gnsejunge von Nordstrand,
Wuppertal-Barmen 1950, 3-10; Erika Hellmann: Ein Mann kann warten, WuppertalBarmen 19582, 6f.

You might also like