You are on page 1of 6

Allah wujud tanpa tempat - 3

Langit adalah kiblat dalam berdoa bukan kerana langit tempat bagi Allah
sebagaimana Kaabah adalah kiblat bagi solat bukan bererti Allah berada didalam
Kaabah. Arsy dan langit adalah makhluk Allah, dimana Allah tidak memerlukan
kepada ciptaanNya. Langit adalah tempat bagi para malaikat Allah dan beberapa
Nabi Allah. Diatas langit ketujuh terdapat surga, Baitul Makmur, air, al-Kursi, al-Lauh
al-Mahfuzh (menurut sesetengah pendapat), al-Qalam al-Ala, dan makhluk lainnya.
Kemudian diatas semua itu terdapat arsy yang merupakan langit-langit bagi surga.
Sedang diatas arsy tertuliskan Inna Rahmati Sabaqat Ghadlabi (Sesungguhnya
rahmatKu mendahului murkaKu).
Berikut ini terdapat beberapa penjelasan ulama Ahlussunnah wal-jamaah bahawasanya langit adalah kiblat dalam berdoa bukan kerana langit tempat bagi Allah:

1. Imam Abu Manshur al-Maturidi rah. menuliskan dalam kitab al-Tauhid, h. 75-76:
Adapun menghadapkan telapak tangan ke arah langit dalam berdoa adalah
perintah ibadah. Dan Allah memerintah para hamba untuk beribadah kepadaNya
dengan jalan apa pun yang Dia kehendaki, juga memerintah mereka untuk
menghadap ke arah mana pun yang Dia kehendaki. Jika seseorang berprasangka
bahawa Allah diarah atas dengan alasan karena seseorang saat berdoa
menghadapkan wajah dan tangannya kearah atas, maka orang semacam ini tidak

berbeza dengan kesesatan orang yang berprasangka bahawa Allah berada diarah
bawah dengan alasan karena seseorang yang sedang sujud menghadapkan
wajahnya ke arah bawah lebih dekat kepada Allah. Orang-orang semacam itu sama
sesatnya dengan yang berkeyakinan bahwa Allah diberbagai penjuru; ditimur atau
dibarat sesuai seseorang menghadap didalam shalatnya. Juga sama sesatnya
dengan yang berkeyakinan Allah di Mekah karena Dia dituju dalam ibadah haji.

2. Imam al-Ghazali rah. menuliskan dalam kitab Ihya Ulumiddin, j. 1, h. 128:


Adapun mengangkat tangan ketika berdoa kepada Allah dengan menghadapkan
telapak tangan kearah langit adalah karena arah langit merupakan kiblat doa.
Dalam pada ini terdapat gambaran bahawa Allah yang kita mintai dalam doa
tersebut adalah Maha pemiliki sifat yang agung, Maha mulia dan Maha perkasa.
Karena Allah atas setiap segala sesuatu Maha menundukan dan Maha menguasai.

3. Imam az-Zabidi rah. dalam menjelaskan perkataan Imam al-Ghazali didalam Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya Ulumiddin, j. 5, h. 34-35 berkata:
Jika dikatakan bahwa Allah ada tanpa arah, maka apakah makna mengangkat
telapak tangan ke arah langit ketika berdoa? Jawapannya: Terdapat dua segi dalam
hal ini sebagaimana dituturkan oleh al-Thurthusi. (1) Bahawa hal tersebut untuk
tujuan ibadah. Seperti halnya menghadap ke arah kabah dalam shalat, atau
meletakan kening di atas bumi saat sujud, padahal Allah Maha Suci dari bertempat
di dalam kabah, juga Maha Suci dari bertempat di tempat sujud. Dengan demikian
langit adalah kiblat dalam berdoa. (2) Bahawa langit adalah tempat darinya turun
rizki, wahyu, rahmat dan berkah. Artinya dari langit turun hujan yang dengannya
bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Langit juga tempat yang agung bagi para
malaikat (al-Mala al-Ala). Bila Allah menentukan suatu perkara maka
disampaikannya kepada para malaikat tersebut dan kemudian mereka sampaikan
kepada penduduk bumi. Demikian pula arah langit adalah tempat diangkatnya
amalan-amalan yang soleh. Sebagaimana dilangit tersebut terdapat beberapa nabi
dan tempat bagi surga -yang berada di atas langit ke tujuh- yang merupakan
puncak harapan. Karena langit itu sebagai tempat bagi hal-hal yang diagungkan
tersebut di atas, termasuk pengetahuan qadla dan qadar, maka titik tumpuan
(kiblat) dalam praktik ibadah diarahkan kepadanya.

Pada bahagian lain didalam kitab yang sama, Imam al-Zabidi rah. berkata: Langit
dikhususkan dalam berdoa agar tangan diarahkan kepadanya karena langit-langit
adalah kiblat dalam berdoa, sebagaimana kaabah dijadikan kiblat bagi orang yang
shalat di dalam shalatnya. Tidak boleh dikatakan bahawa Allah berada diarah
kaabah (Itthaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 5, h. 34-35)

Adapun mengangkat tangan ketika meminta dan berdoa ke arah langit karena ia
adalah kiblat dalam berdoa, sebagaimana kaabah merupakan kiblat shalat dengan
menghadapkan badan dan wajah kepadanya. Yang dituju dalam ibadah shalat dan
yang dipinta dalam berdoa adalah Allah, Dia Maha suci dari bertempat dalam
kaabah dan langit. (Itthaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 104)

4. Ibn Hajar al-Asqalani rah. menuliskan dalam Fath al-Bari Bi Syarh Shahih alBukhari:
Langit adalah kiblat didalam berdoa sebagaimana kaabah merupakan kiblat
didalam shalat (Fath al-Bari, j. 2, h. 233)

5. Syekh Mulla Ali al-Qari rah. menuliskan dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 199,
salah satu kitab yang amat penting dalam memahami risalah al-Fiqh al-Akbar karya
Imam Abu Hanifah rah.:
Langit adalah kiblat dalam berdoa dalam pengertian bahawa ia adalah tempat bagi
turunnya rahmat yang merupakan sebab bagi meraih berbagai macam kenikmatan
dan mencegah berbagai-bagai keburukan. Syekh Abu Muain al-Nasafi rah. dalam
kitab at-Tamhid tentang hal ini menyebutkan bahawa para muhaqqiq telah
menetapkan mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah murni karena
merupakan ibadah.

6. Syaikh Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi rah. menuliskan dalam kitab Isyarat alMaram, h. 198:
Mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit bukan untuk menunjukkan
bahawa Allah berada di arah langit-langit yang tinggi, akan tetapi karena langit
adalah kiblat dalam berdoa. Karena darinya diminta turun berbagai kebaikan dan
rahmat, sebagaimana Allah berfirman: Dan di langit terdapat rizki kalian dan apa
yang dijanjikan kepada kalian. (QS. Al-Dzariyat: 22).
Bersambung...
Coretan lalu

2012 (40)

2011 (50)

2010 (56)
o

December (6)

November (6)

October (8)

September (5)

August (1)

July (12)

Allah wujud tanpa tempat - 10

Allah wujud tanpa tempat - 9

Allah wujud tanpa tempat - 8

Allah wujud tanpa tempat - 7

Allah wujud tanpa tempat - 6

Allah wujud tanpa tempat - 5

Allah wujud tanpa tempat - 4

Allah wujud tanpa tempat - 3

Allah wujud tanpa tempat - 2

Allah wujud tanpa tempat - 1

Kuarantinkan diri - 2

Kuarantinkan diri - 1

253. Mengapa duluan Ar-Rohmaan daripada Ar-Rohiim


Rabu, 29 Februari 20120 komentar

Dalam suroh Al-fatichah

"Dengan menyebut asma Allah maha pngasih lg maha penyanyang"

Mengapa tidak disebut maha penyayang terlebih dahulu.. lalu maha


pengasih ? bukankah apabila seorang hamba telah dsayang maka akn
dkasihi?

Arif Kurniadi >>Yang ane pernah dengr bgini : Arrohman diartikan


sbgai Maha pengasih di dunia dan akherat., Sedangkan Arrohim Maha
penyayangnya Allah khusus d akherat mohon koreksi dan
pencerahanya..

Syaivul Ma'ruv >> waquddima arrahmaan 'ala arrohiim liannahu


khooshun...walihaadza yaa rohmaanuddun,ya liannahu ya'imu
almu,minu wa alkaafiru wa alrohiimu alaakhiroh liannahu yukhoshshsul
mu,min..nihayah azzayn hal 4 n mhn koreksi..!?

Masaji Antoro >>



Lafadz ARRAHMAAN ARRAHIIM adalah sifat musyabbihat yang


bentuknya berfaedah mubalaghoh, lafadz ARRAHMAAN lebih baliigh
(sempurna
maknanya)
ketimbang
lafadz
ARRAHIIM
karena
penambahan huruf pada bentuk kalimat (biasanya) menunjukkan pada
penambahan makna, seperti pada lafadz ( tanpa tasydiid artinya
putus) dan lafadz ( dengan tasydiid artinya menjadi memutuskan....
membuat terputus-putus ).

Lafadz ALLAH didahulukan atas keduanya (arrahmaan dan arrahiim)


karena ALLAH adalah isim dzat sedang keduanya isim sifat, lafadz
ARRAHMAAN didahulukan atas lafadz ARRAHIIM karena lafadz
ARRAHMAAN sifat yang khusus dimiliki oleh Allah karenanya tidak
boleh bagi selain Allah disebut ARRAHMAAN berbeda dengan lafadz
ARRAHIIM.
Iqnaa Li as-Syarbiny I/6

http://cillah-mind.blogspot.com/2010/07/allah-wujud-tanpa-tempat-3.html

You might also like