You are on page 1of 61

Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (I)

Penulis: Syeikh 'Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah


Firqah-Firqah, 20 Jun 2003, 07:06:37

Selalu ada pergelutan antara al- haq dengan al-batil. Dan Allah telah
mengirimkan sekelompok orang yang mempergunakan waktunya untuk
melindungi dan membela Dien ini (iaitu Al Quran dan As Sunnah). Di lain
pihak, ada orang-orang yang mengaku dan merasa bahawa mereka adalah
orang-orang yang mengadakan perbaikan. Padahal Allah telah berfirman
tentang mereka,

"Dan ketika dikatakan pada mereka supaya jangan berbuat kerosakan di


muka bumi ini dengan perbuatannya, mereka berkata 'tapi kami adalah
orang-orang yang mengadakan perbaikan'. Tapi sesungguhnya mereka
adalah pembuat kerosakan namun mereka tidak menyedarinya"
(Al Baqarah 11-12)

Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, karena mereka menganggap


diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan padahal
kenyataannya mereka adalah perosak agama.

Pada abad ke 20, yang merupakan akhir dari kerajaan 'Ustmani, banyak
bermunculan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang mengatas
namakan Islam, yang menyatakan bahawa masuk ke dalam dunia politik
atau mengambil cara-cara politik adalah merupakan jalan atau cara terbaik
guna menjaga martabat Islam dan umat Islam. Namun mereka tidak
menganggap bahawa masalah utama dari turunnya martabat Islam adalah
kelemahan umat Islam. Kelompok-kelompok ini mendasari pemikiran-
pemikirannya dengan berdasarkan pada tekanan-tekanan dan emosional,
bukan dengan ilmu (agama), dan mereka tidak berusaha untuk mencari ilmu
itu. Tingkah laku mereka semrawut, sehingga dengannya tercipta kekacauan.
Usaha dakwah kepada Tauhid, dakwah kepada Al Quran dan As Sunnah
tidaklah diambil dalam manhaj mereka, kecuali bila situasi politik
memperbaiki keadaan umat.

Mereka berkata "simpanlah dulu usaha-usaha dakwah semacam itu di rak-


rak kalian sampai situasi politik kita memperbaikinya".

Padahal berjuta-juta orang menunggu pada dakwah al haq ini. Tapi mereka
hanyalah memprioritikannya dakwah mereka untuk kembali pada khilafah.
Sampai-sampai mereka menggantungkan semua hal dan tidak ada yang
boleh dilakukan sampai khilafah kembali. Sehingga ketika mereka
menyikapi orang-orang kuffar, mereka berkata "biarkan mereka masuk
neraka", kenapa mereka berkata demikian? "Karena orang-orang kuffar itu
telah merebut tanah-tanah kaum Muslimin", menurut mereka.

Padahal dakwahnya Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa salam tidaklah


demikian. Beliau sallallahu 'alaihi wa salam memprioritikannya dakwah
kepada tauhid kepada umat manusia, walaupun nantinya hanya satu orang
yang mengikuti beliau.

Sebenarnya banyak dari musuh-musuh Islam yang menjadi pemimpin-


pemimpin kaum Muslimin (diwarnakan lemahnya pemahaman umat Islam
akan dakwah al haq) , ini seharusnya tidak boleh dilupakan oleh kita. Dan
orang-orang kuffar menyedari hal ini, sehingga mereka mendukung
nasionalisme agama mereka yang membuka jalan atau kesempatan untuk
masuk ke dalam komuniti Muslimin. Dan seharusnya kitalah, Umat Islam,
yang melakukan hal tersebut, iaitu mendakwahi orang-orang kuffar itu
sehingga mereka masuk Islam, yang dengan masuknya ke dalam Islam ini
dapat memasukkan dia ke dalam syurga dan menyelamatkannya dari neraka.
Tapi para "politikus" kita, seperti Hizbut Tahrir dan yang lainnya, tidaklah
menganggap hal ini sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan.

Orang-orang (kelompok-kelompok) itu hanyalah berbicara tentang


konspirasi-konspirasi yang dilakukan barat, invasi kebudayaan, bagaimana
umat Islam diserang oleh kaum kuffar lewat buku-buku, sekolah-sekolah
dan lain-lain. Padahal sebenarnya sudah ada jenis invasi lain yang
mengambil tempat di tengah-tengah Muslimin, yang sudah terjadi mulai
berabad-abad yang lampau sampai sekarang, iaitu Sufisme dan Ilmu Kalam.
Jenis invasi ini membajak agama yang di dalamnya terdapat kesesatan-
kesesatan. Malah sekarang orang-orang mengajarkan kesesatan-kesesatan ini
di sekolah-sekolah Islam, bahkan ada yang menjadi sarjana di bidang ini dan
lain-lain. Maka invasi itu tidak hanya invasi kebudayaan dari barat saja, tapi
kita pun harus mengetahui jenis invasi ini.

Hal lain yang harus kita perhatikan adalah mencari sebab-sebab keruntuhan
umat. Karena keruntuhan umat itu tidaklah terjadi kecuali disebabkan oleh
hal-hal tertentu yang menjadikan kenapa hal ini terjadi.

Tapi orang-orang ini berkata "Tidak ada yang salah padam, ini semua adalah
tanggung jawab orang-orang kuffar sehingga semua ini terjadi, karena
mereka menolak hukum Allah". Padahal jika kita, umat Islam, pun tidak
mematuhi hukum Allah, maka Allah pun mempunyai hukum untuk
menghukum kita.

Di antara kelompok-kelompok yang memakai cara-cara politik itu adalah


Hizbut Tahrir. Mereka, orang-orang Hizbut Tahrir, ini mempunyai ciri-ciri
yang khas dalam setiap pembicaraannya, di antaranya iaitu selalu
mendengung-dengungkan masalah khilafah, Adzab Kubur dan Hadits Ahad
(maksudnya adalah mereka menolak adanya adzab kubur dan hadits ahad).
Itulah ciri-ciri khas dari Hizbut Tahrir.

Mereka mengajarkan bahawa hal tersebut adalah merupakan sesuatu yang


harus menjadi keutamaan. Mereka berkata "jika kamu tidak berusaha untuk
menegakkan khilafah, maka kamu musyrik", apakah mereka berkata
demikian? Ya, karena kamu tidak berusaha untuk menegakkan khilafah!!!.
Lalu apakah kaum Muslimin pada masa kehidupan Rasulullah sallallahu
'alaihi wa salam berada di Mekah dan belum hijrah ke Madinah, mereka itu
musyrik?

Perlu diperhatikan sebelum kita masuk ke dalam permasalahan yang akan


kita bicarakan ini. Hendaknya diingat bahawa hal yang kita lakukan ini
adalah dalam rangka perbaikan diri, terutama pada diri-diri kita sendiri.
Sebab kita memang memerlukan koreksi. Oleh karena itu, hanyalah orang-
orang yang memerlukan pada perbaikan diri akan mendengarkan (membaca)
penjelasan ini, sedangkan orang-orang yang fanatik tidak akan
mendengarkan dan menghiraukannya.

Ketika orang-orang sibuk melakukan bantahan terhadap cuba-cuba Hizbut


Tahrir, ada satu hal yang sering luput untuk diperhatikan dan tidak diketahui
oleh mereka. Iaitu tentang aqidah yang dianuti pendiri Hizbut Tahrir ini.
Pendiri kelompok ini adalah seorang yang beraqidah
asy'ariyah maturidiyah, dan dia menyatakan bahawa orang-
orang asy'ariyah maturidiyah sebagai Ahlut Tauhid wa Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.

Ini adalah salah satu yang harus kita bongkar terlebih dahulu dari kelompok
ini, bukan hanya membahaskan permasalahan-permasalahan mereka dalam
mengingkari hadits ahad dan ahzab kubur atau dakwahnya kepada
penegakan khilafah saja. Mereka mempunyai hal yang lebih sesat dari itu
semua, seperti pemakaian ilmu kalam dalam membahaskan setiap
permasalahan agama. Padahal A'imah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, seperti
Imam Asy Syafi'i dan Imam Abu Hanifah telah membantah ilmu kalam itu.

Mereka menciap orang-orang yang mempelajari ilmu kalam itu sebagai


mubtadi', yang harus dihukum cambuk(menyebat) dan dimasukkan ke
penjara serta ditahdzir.

Pendiri Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani. Dia adalah


merupakan salah satu cucu dari Yusuf bin Isma'il An Nabhani, yang dia
(Yusuf) ini adalah seorang yang sangat berlebihan pada Sufisme. Yusuf
Isma'il mempunyai (mengarang) banyak kitab, di antaranya adalah Jami'
Karamatul Awliya'. Kitab ini di dalamnya berisi banyak cerita-cerita "yang
lucu", salah satunya adalah Ali Al Amali, jika kita membacanya maka kita
akan tertawa sekali gus menangis.

Mereka (pengikut Hizbut Tahrir) menggelari Taqiyuddin sebagai mujtahid


mutlak, Apakah kamu pernah mendengarnya? [ya]. Lalu apakah yang
mereka katakan tentang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa salam? Mereka
katakan bahawa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa salam tidak seharusnya
berijtihad. Apakah kamu pernah mendengar hal ini? Bahawa beliau tidak
seharusnya berijtihad?.

Maka kita katakan pada mereka, siapa yang paling sempurna satu sama lain
yang berhak untuk melakukan ijtihad? Rasulullah sallallahu 'alaihi wa salam
atau Taqiyuddin? Dia (Taqiyuddin) adalah majhul atau tidak dikenal, dia
bukanlah siapa-siapa. Lalu bagaimana hal itu boleh dikatakan?
Apakah kalian berfikir bahawa perbuatan kalian ini tidak akan diketahui?
Allah memelihara agama-Nya dan barang siapa yang melakukan kedustaan
dan kesesatan maka akan disingkapkan kedustaan dan kesesatannya itu dan
dia akan dihukum. Pencuri, bagaimana mungkin seseorang menawarkan
bidaah kepada umat dan menyatakan bahawa bidaah itu adalah sunnah,
apakah dia tidak sedar dan takut akan dihukum? Allah lah yang akan
menghukumnya.

Taqiyuddin lahir di Ijzim, Palestin pada tahun 1909. Kemudian setelah


dewasa, dia belajar Universitas Al Azhar sampai lulus. Setelah dia lulus, dia
pergi ke Lebanon dan Jordan, dan bekerja di universitas Islam sebagai
tenaga pengajar sampai akhirnya dia mendirikan Hizbut Tahrir. Dia wafat
pada tahun 1977. Dia memiliki (menulis) banyak kitab, seperti Risalah Arab
yang di dalamnya terdapat kecenderungan pada nasionalisme, menunjukkan
konsepnya tentang nasionalisme dan lain-lain.

Walaupun dia menyatakan menarik kembali konsepnya itu, namun yang


nyata bagi kami, dia tidak secara tegas menyatakan hal tersebut di kitab-
kitabnya yang terakhir. Karena kitab Risalah Arab merupakan salah satu
kitab pertama yang dia tulis.

Aqidahnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, adalah maturidiyah


yang merupakan sebuah pemahaman sebuah firqah yang dinisbahkan pada
Abu Manshur Al Maturidi, yang memiliki kesesatan yang lebih daripada
Asy'ariyah. Dia menyebut A’imah dari firqah tersebut sebagai "Ahlus
Sunnah wal Jama'ah".

Dalam salah satu tulisannya, yang di dalamnya terdapat pernyataan yang


sebenarnya adalah merupakan imitasi dari perkataannya Ar Razi (seorang
tokoh dari ahlul kalam). Dia berkata bahawa kita tidak boleh menerima Al
Quran sampai terpenuhinya 10 syarat, dan salah satu syaratnya itu adalah Al
Quran itu harus disesuaikan dengan 'aql. Ini merupakan perkataannya Ar
Razi.

Dia juga menulis dalam kitabnya Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132,


yang tulisannya membuktikan akan ke-maturidiyah-annya dan ke-asy'ariyah-
annya. Dia mentakwilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia
ertikan sebagai kekuatan atau kekuasaan.
Padahal kita temukan dalam kitab Syarhul Fiqhul Akbar Abu Hanifah
halaman 33, di situ dikatakan bahawa tidak boleh untuk mentakwilkan
tangan Allah sebagai kekuatan atau kekuasaan. Dan juga dalam kitab Tabyin
Khadibul Muftari halaman 150, di sana terdapat perkataan dari Imam Asy'ari
(Abul Hasan Al Asy'ari) sendiri bahawa tidak boleh menyatakan atau meng-
qiyaskan tangan Allah itu sehingga ertinya adalah kekuatan atau kekuasaan.
Sebab itu adalah perkataannya Muktazilah, salah satu firqah yang paling
sesat.

Jika kita membuka kitab Syarh Ushulul Khomsah Al Mu'tazilah halaman


228, di sana akan ditemukan perkataan salah satu imam dari mu'tazilah iaitu
Al Qadhi 'Abdul Jabbar, yang berkata bahawa manhaj "ahlus sunnah" adalah
meyakini bahawa tangan Allah itu maksudnya adalah kekuasaan atau
kekuatan.

Maka permasalahan inilah yang harus kita bahas terlebih dahulu, janganlah
kita berbicara tentang syubhat-syubhat mereka tentang khilafah, hadits ahad,
atau 'adzab kubur, tapi mari kita bahas tentang at takwil yang mereka
lakukan.

Imam Abu Ja'far Ath Thahawi (penulis kitab Aqidah Thahawiyah)


mengatakan bahawa takwil yang terbaik adalah meninggalkan
takwil dan hanya mencukupkan pada nash (Al Quran dan As
Sunnah) dan apa yang ada (disepakati) oleh Jama'atul Muslimin.
Lalu, bagaimana boleh mereka, tukang takwil, dikatakan sebagai
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah padahal ucapan mereka bertolak
belakang dengan ucapan Imam Ath Thahawi. Dan banyak lagi
kesesatan lainnya.

Bersambung ke Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (II)

(Dikutip dari terjemahan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir, tulisan


Syeikh 'Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah. Url asli
www.salafipublications.com Artikel #GRV0300
Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (II)

Penulis: Syeikh 'Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah


Firqah-Firqah, 20 Jun 2003, 07:07:42

Mereka berkata bahawa khilafah itu harus segera didirikan minima dalam 13
tahun atau 25 tahun. Jika tidak mampu dalam waktu tersebut maka akan
gagal. Padahal telah ada contoh pasti yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah
Wal Jama'ah dan hal ini dapat diketahui dari tingkah laku mereka dalam
melaksanakan sunnah. Ahlus Sunnah tidaklah berkata (mengenai dakwah
kepada Tauhid, dakwah kepada Al Quran dan As Sunnah), "Ini bukanlah
saatnya untuk melakukan dakwah kepada hal tersebut sekarang". Janganlah
kita lupa tentang dakwah kepada Tauhid, sebab dengan hal inilah (tauhid)
kita diciptakan, kita diciptakan untuk mentauhidkan Allah.

Mereka telah membuat kesalahan besar. Mereka mengatakan bahawa


khilafah Islamiyyah itu runtuh pada tahun 1924, di abad ini. Ini adalah
kekeliruan. Sebab Khilafah Islamiyyah itu telah runtuh sejak berabad-abad
yang lalu. Sedangkan takhta 'Utsmani bukanlah Khilafah. Mereka (para
penguasanya) sendiri menyatakan bahawa diri mereka adalah raja, Sultan
(seperti Sultan Abdul Hamid, Sultan 'Abdul Majid). Ini bukanlah Khilafah
Islamiyyah, ini adalah kerajaan biasa.

Kamu tidak akan melihat adanya jejak-jejak Sunnah pada mereka, walaupun
kau bertanya pada mereka "kenapa kami tidak melihat sunnah atas kalian?".
Kebanyakan dari mereka mencukur habis janggutnya. Mereka berkata "Hal
terpenting sekarang adalah usaha untuk menegakkan kembali khilafah,
sedangkan memanjang janggut adalah perkara qusyur (kulit) yang dapat kita
buang". Mereka menganggap bahawa amalan-amalan Sunnah itu seperti
kulit yang dapat kita buang. Lalu Sunnah apakah yang akan mereka
dakwahkan pada kaum Muslimin?

Mereka menjelaskan tentang nash (Al Quran dan Al hadits) dan mereka pun
membuat syubhat atas hal tersebut. Mereka mengatakan, "ini nash yang
Qath’i", "ini maknanya Qath’i" dan lain-lain. Walhasil, mereka membuat
bingung umat ini dengan penjelasan semacam itu. Mereka berbicara dengan
banyak teori, teori politik.

Mereka menghafal banyak teori-teori itu, tetapi mereka tidak menghafal


walaupun hanya 10 hadits atau beberapa ayat dari Al Quran. Malah mereka
membuat syubhat terhadap nash.

Salah seorang dari mereka berkata "setiap nash yang ada dalam Al Quran
dan Al Hadits, maka tidaklah para ulama itu kecuali saling berkhilaf dalam
memahaminya". Apakah kalian pernah mendengar perkataannya ini? Ya,
pada setiap nash. Dan aku (Syeikh Abdurrahman) mendengar sendiri
perkataan ini dikatakan oleh pemimpin-pemimpin mereka, dan Umar Bakri
adalah merupakan salah satunya. Kemudian, aku telah mendengar rakaman
dialog mereka dengan Syeikh Al Albani (rahimahullah) berjudul
Munaqasyah Afraqul Mu'tazilah. Salah seorang dari mereka mengatakan
pada Syeikh perkataan di atas.

Lalu apakah yang dikatakan oleh Syeikh Al Albani pada mereka? Syeikh
berkata "apakah firman Allah itu mengandung keragu-raguan?", maka ketika
mereka mendengar ucapan syeikh, serta merta mereka pun merubah topik
pembicaraan.

Kebiasaan tergesa-gesa pada kelompok ini akan menyebabkan mereka mati


dengan cepat, mereka tidak mempunyai kesabaran dan kebijaksanaan.
Mereka tidak memikirkan bagaimana tahapan dakwah Rasulullah sallallahu
'alaihi wa salam mulai dari awal sampai akhir. Mereka mengambil tahap
akhir sebagai tahap awal. Apa yang akan terjadi bila kalian meminta tahap
akhir menjadi di awal? Apa yang akan terjadi? Kalian akan habis.

Mereka mengadakan perjanjian dan bekerja sama dengan siapa saja, yang
sebenarnya ada di antaranya tidak boleh untuk bekerja sama dengannya,
seperti Syiah dan lain-lain.

Seharusnya mereka memulai dakwahnya dengan hal pertama dan terpenting


(iaitu At Tauhid), maka hal ini lebih arif daripada arif tapi dalam
mengadakan perjanjian-perjanjian dengan golongan-golongan yang Allah
benci.

Dan qadarullah, hizbi ini datang ke Inggeris (dan ke negara lainnya di dunia)
dan menyebarkan banyak fitnah ketika mereka mengenalkan Islam pada
penduduk di sini. Mereka menyebarkan fitnah-fitnah itu di universiti-
universiti, dan lain-lain.

Maka apa hasil yang didapati dari perbuatan mereka itu?

Hasilnya adalah membuka peluang bagi orang-orang kafir untuk menutup


masjid, membubarkan halaqah ilmu dan lain-lain.

Lalu apa yang menjadi tuntutan dari hizb ini?


Mereka tidaklah menuntut akan doktrin-doktrin aqidah dalam dakwahnya.

Mereka mentafsirkan Al Quran dengan disesuaikan nafsunya,


mereka berkata
"Dan tidaklah Allah menciptakan manusia dan jin kecuali…..untuk
menegakkan khilafah dan menegakkan hukum-hukum Islam"
dan
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai
mereka…..menegakkan khilafah".

Seolah-olah Allah lah yang berfirman seperti yang dikatakan oleh mereka
itu. Padahal, Li ya'budun (untuk beribadah pada-Ku), dengan kalimat inilah
kami ingin mendakwahi (kepada tauhid) orang-orang kafir sebelum
terlambat.

Jika ada orang kafir datang kepada mereka, untuk meminta penjelasan
tentang Islam.

Apakah yang akan mereka lakukan?


Apakah mengambil tangannya dan mendakwahinya atau meninggalkannya?

Bagi mereka maka lebih baik meninggalkan orang kafir tersebut. Padahal
bila datang orang-orang kafir kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wa salam,
maka beliau sallallahu 'alaihi wa salam akan mengambil tangannya dan
mendakwahinya sampai dia menjadi Muslim walaupun satu orang saja.
Sebab hal ini akan menyelamatkan dia dari api neraka dan memasukkannya
ke dalam syurga.

Tapi dakwahnya mereka, Hizbut Tahrir, adalah menunda dakwah


kepada Tauhid sampai khilafah tertegak.
Satu bukti yang sangat jelas mengenai "kebenaran" dari sikap mereka yang
tidak mempedulikan akan aqidah, adalah mereka bersegera pergi ke Iran
(ketika terjadi revolusi Iran) dan mereka pun mengusulkan siapa yang akan
menjadi khalifah di sana.

Tahu kah kamu siapa yang mereka usulkan?

Dia adalah Khomeini, mereka meminta Khomeini menjadi


khalifah. Dan hal ini mereka nyatakan dalam surat khabar
mereka, Al Khilafah no.18, Jumaat, 2 Januari 1410 H (1989
M).

Dalam surat khabar ini, kami menemukan sebuah artikel berjudul "Hizbut
Tahrir wal 'Imam' Khomeini". Dalam artikel itu mereka berkata

"Kami pergi ke Iran dan mengusulkan agar Khomeini menjadi khalifah umat
ini".
Jadi dengan umat manakah yang mereka inginkan agar kita, kaum Muslimin,
bekerja sama dan bila tidak bekerja sama maka dihukumkan musyrik?

Lalu siapakah khalifahnya?

Dia adalah Khomeini.

Dalam majalah mereka, Al Wa'ie, mereka mengatakan bahawa karangan


yang berkenaan dengan politik terbesar (terbaik) yang pernah ditulis adalah
Al Hukumah Al Islamiyyah, yang ditulis oleh Khomeini. Menurut mereka,
ini adalah karya terbesarnya Khomeini, sebab dalam karangannya itu dia
menyerukan kepada syariat dan menetapkan syariat (menurut versinya) itu,
dan dia mengatakan bahawa tidak ada timur tidak ada barat, tidak ada
sunni tidak ada syi'i, yang ada adalah Islam. Dia membagi Islam menjadi
dua dekade (?), dan memberikan harapan akan hal tersebut kepada kaum
Muslimin yang berada dalam keputus-asaan.

Mereka (Hizbut Tahrir) berkata "bukan bererti Khomeini itu tidak


mempunyai kesalahan, tapi sekarang ini bukanlah waktunya untuk
membahaskan hal itu, tapi pergunakanlah waktu itu untuk hal lain".
Apakah yang lain itu?

Iaitu untuk menghentamkan kepala-kepala kaum Muslimin dan mendakwahi


mereka pada kemusyrikan.

Mereka mengakui dan berkata "kami telah pergi menemui Khomeini dan
menyerukan padanya agar menjadi khalifah dan Khomeini pun mengatakan
bahawa dia akan memberikan jawapannya pada kita, apakah dia bersedia
atau tidak"
Lalu mereka berkata lagi "kami telah menunggu untuk jawapannya itu,
tetapi kami tidak mendapatkannya (dia tidak memberikan jawaban)".

Dan karena inilah mereka mengkritik penguasa Iran itu. Mereka


menyerukan agar Khomeini menjalankan khilafah berdasarkan pada Al
Quran dan As Sunnah.
Apakah Khomeini menerima Al Quran dan As Sunnah?
Apakah orang-orang ini sedang bergurau senda?
Kenapa mereka tidak minta saja pada Clinton dan menyuruhnya untuk
melakukan hal yang sama!.

Mereka memuji kitabnya, Al Hukumah Al Islamiyyah, padahal di


dalamnya dia mencaci Abu Bakar, Umar, Mu'awiyah dan lainnya.
Dia mencaci ipar laki-lakinya Rasulullah sallallahu 'alaihi wa
salam.

Kenapa hal ini tidak dipermasalahkan oleh mereka (Hizbut Tahrir)?

Dia juga mengatakan bahawa "imam-imam" kami berada pada tingkatan


tertinggi, yang tidak ada nabi ataupun malaikat yang dapat mencapainya (Al
Hukumah Al Islamiyyah, halaman 52).

Bagaimana boleh dia berkata seperti itu?


Bagaimana mungkin imam-imamnya itu lebih baik daripada semua nabi dan
malaikat?

Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang hal yang dipermasalahkan bai Hizbut
Tahrir. Hizbut Tahrir dalam kegiatan dakwahnya tidaklah menyinggung
permasalahan-permasalahan yang dapat membuat "jatuhnya" umat, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Padahal sebenarnya apa yang mereka lakukan itu adalah melawan hukum
Allah. Allah berfirman,

"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai kaum
itu merubahnya (Ar Ra'd 11).

Mereka ingin merubah keadaan tapi tidak ingin umat ini berubah.
Mereka tidak akan mengatakan kepada umat apa yang menyebabkan umat
ini menjadi jatuh dan lemah.

Mereka tidak akan berkata "Kami atau kita umat Islam jatuh karena
ketidakpatuhan pada Allah", "Kamu sudah tidak tunduk lagi pada Allah",
"Kamu tidak lagi menggambarkan nama yang kamu sandang dibahu mu",
"Kamulah yang menyebabkan jatuhnya umat ini", "Ini semua karena dosa-
dosa mu" dan perkataan lainnya.

Mereka tidak mengatakan hal itu, tapi mereka akan mengatakan pada umat
bahawa jatuhnya umat ini karena konspirasi musuh. Mereka tidak
memfokuskan dakwah mereka untuk memperbaiki apa-apa yang telah
dilanggar oleh umat, padahal inilah yang selalu menjadi musuh yang
sebenarnya.

Dan kami pernah bertanya pada mereka, "Allah telah menjanjikan kepada
kita, umat Islam, kejayaan dan kemenangan. Lalu kenapa setelah Dia
memberikan hal itu kemudian menghancurkan kita?
Mereka tidak akan menjawabnya.

Mereka ingin agar kita meloncati tahapan awal dalam dakwah, iaitu tarbiah
dan memulainya dengan khilafah sebagai tahapan yang paling awal. Tapi
mereka tidak akan berhasil, mereka akan gagal. Sebab tahapan awal dalam
berdakwah yang dilakukan oleh para sahabat adalah tarbiah, sebab
membawa nama Islam di pundak kita memerlukan kesabaran dan lain-lain.
Tapi hal yang dekat untuk dilakukan oleh mereka hanyalah untuk
menegakkan khilafah dan tidak berbicara tentang selainnya, seperti
membicarakan dosa dan lain-lain.
Padahal Allah berfirman,

"Jika kalian bersabar dan bertakwa, maka yang demikian itu sungguh
merupakan hal yang patut diutamakan" (Ali Imran 186)

Jika kamu bersabar dan takut pada Allah, maka makar musuh tidaklah akan
membuat mu merugi!!!
Maka apakah kita akan merugi, apa yang akan terjadi pada janji Allah
kemudian bila kita bersabar dan bertakwa pada Allah?
Ini adalah janji Allah, maka apa yang akan terjadi kemudian? Dan Allah
berfirman,

"Sembahlah Aku dan janganlah kamu mempersekutukan Aku dengan apa


pun" (An Nur 55)

Ada dua syarat di sini, iaitu sabar dan takut serta tidak menyekutukan Allah,
jika kita berpegang pada dua hal ini maka kita tidak akan merugi.

Tapi mereka (Hizbut Tahrir) membolehkan seorang yang


musyrik, iaitu Khomeini, menjadi khalifah!!! Seseorang
yang berkata "Ya Ali…dan lain-lainnya yang mengandung
kesyirikan. Benar kah orang-orang ini hanya menyembah
pada Allah saja?
Tapi hal-hal ini bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan bagi mereka,
sebab yang paling penting bagi mereka adalah khilafah. Kalian tidaklah
menerapkan tauhid dalam dakwah mu, setiap kesyirikan adalah bukanlah
masalah bagi mu, khilafah yang penting. Masing-masing dari mereka tidak
faham akan syariah atau mereka mengabaikan hukum Allah. Seharusnya kita
mempelajari bagaimana cara menghadapkan hati-hati kita kepada Pencipta
kita.

Ibnu Abbas radiallahuanhu 'anhu berkata

"Ya Allah, jauhkanlah aku dari setiap bala' yang timbul akibat dosa-dosa".

Dan tidaklah hal ini dapat dicapai kecuali dengan At Taubat. Apa yang
dikatakan oleh Ibnu 'Abbas menunjukkan adanya hukum Allah, tapi
"hukum" Hizbut Tahrir tidaklah menunjukkan adanya hukum Allah.

Mereka tidak keberatan untuk berbicara tentang permasalahan imperialisme.


Ya, Amerika adalah syaitan terbesar di dunia. Kita tidak berpendapat tidak
boleh mengatakan hal itu, tapi kita katakan "berhentilah memakai hal-hal
yang berbau emosional itu dalam berdakwah dan mulailah untuk mengajari
umat ini dengan apa yang harus pertama kali mereka ketahui, iaitu At
Tauhid".

Tapi jika Amerika itu adalah syaitan terbesar, seperti kata mu, lalu kenapa
kalian mengatakan bahawa kita dibolehkan untuk meminta bantuan pada
syaitan-syaitan itu?
Kenapa kalian katakan bahawa meminta bantuan kepada kuffar itu adalah
salah satu dari prinsip "kita"?

Kalian meminta bantuan kepada kuffar untuk melakukan apa?

Untuk menegakkan khilafah, apakah syaitan itu akan membantu kalian


untuk menegakkan khilafah?
Kalian adalah satu-satunya yang berkata bahawa seseorang dibolehkan
untuk melakukan perjanjian damai dengan syaitan-syaitan itu (itu yang
pertama) dan yang lainnya, adalah kamu katakan bahawa kalian berlepas diri
dari hal itu. Lalu kenapa kalian katakan "pertama, salah satu prinsip kami
adalah mencari dukungan kepada kuffar agar mereka memberikan bantuan
kepada kita dalam menegakkan khilafah?

Maka pada tahun 1978, mereka meminta kepada Qaddafi agar membantunya
dalam menegakkan khilafah.

Kemenangan yang mendukung umat ini berbeza dengan kemenangan yang


diraih oleh berbagai macam negara. Perancis memukul mundur Jerman,
Jerman memukul mundur Inggeris, mereka mempunyai sistem sendiri-
sendiri. Tapi kita mempunyai hukum Allah. Kemenangan dalam Islam itu
berhubungan dengan ketundukan, ketaatan, berserah diri kepada Allah dan
inilah unsur-unsur sebenarnya dari kemenangan. Kemenangan inilah yang
dijanjikan oleh Allah, Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, tapi janji-
Nya itu mempunyai syarat-syarat.

Tidak seperti yang ada di orang-orang ini. Sebahagian dari mereka ada yang
menunjukkan pahanya (memperlihatkan auratnya) dan yang lainnya ada
yang tidak solat. Mereka berkata "Ini bukanlah masalah, selama dia berkata
La Ilaha Ilallah", mereka berkata "Baik, kita katakan pada mereka, kau
bersama kami, walaupun kau tidak salat". Dan kami mengetahui beberapa
dari anggota Hizbut Tahrir di Jordan dan negara lainnya, mereka tidak solat.
Tapi mereka katakan bahawa hal itu tidak apa-apa selama orang-orang itu
berteriak untuk menegakkan khilafah. Maka tidak apa-apa kami (Hizbut
Tahrir) bekerja sama dengan mereka. Dan mereka menyatakan bahawa diri-
diri mereka adalah yang paling mengetahui tentang permasalahan politik.

Salah satu bukti dari pekerjaan dan pengetahuan mereka dalam masalah
politik adalah mereka berteriak kepada Saddam Husain (seorang komunis,
yang telah membunuh ribuan Muslim dan melakukan kekejaman pada
Muslim), mereka berkata tentangnya "Subhanallah, dia berjuang melawan
syaitan terbesar, iaitu Amerika, maka kami bersamanya" dan kesesatan-
kesesatan lainnya.

Sekarang kita akan membahaskan beberapa fatwa mereka. Tentang Al


Qadha wal Qadar, mereka katakan bahawa kedua hal itu tidak dijelaskan
dalam Al Quran dan As Sunnah (Ad Dusiyah halaman 1).

Bersambung ke Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (III)

(Dikutip dari terjemahan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir, tulisan


Syeikh 'Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah. Url asli
www.salafipublications.com Artikel #GRV0300)
Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (III)

Jumaat, 20 Jun 2003 - 07:11:31 :


kategori Firqah-Firqah
Penulis: Syeikh 'Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah
.: :.
Padahal Rasulullah sallallahu 'alaihi wa salam bersabda:"kebanyakan dari
umat ku yang mati berdasarkan pada Kitabullah dan Al Qadha wal Qadar dai
Allah adalah karenanya al anfus (dicabutnya nyawa)" (HR. Al Haitsami
dalam Majma'uz Zawa'id 5/6, Ibnu Hajar mensahihkannya dalam Fathul Bari
10/167)

Hizbut Tahrir mengatakan bahawa aqidah Islam yang ada pada Hizbut
Tahrir adalah bersandarkan pada akal dan siyasi (Al Iman halaman 68 dan
Hizbut Tahrir halaman 6).

Maka akal orang-orang ini adalah dasar dari agama. Mereka berkata "kami
mengetahui Allah berdasarkan akal kami". Tapi bertentangan dengan
pernyataan ini, adalah pernyataannya Umar Bakri, bahawa salah satu sebab
perpecahan di kalangan Muslimin adalah ketika sebahagian kaum Muslimin
menggunakan akal dalam membahaskan permasalahan aqidah (Tafsir surat
Al Ma'idah 5/29).

Mereka menjelaskan bahawa khilafah tidak akan tegak dengan berdasarkan


pada akhlaqul karimah, tetapi berdirinya khilafah adalah dengan
pengoreksian terhadap doktrin aqidah dan manhaj yang dibawa atau
dipraktikkan dalam Islam (At Taqatul Hizbi halaman 1).

Dan dikatakan oleh mereka bahawa dakwah pada akhlaqul karimah tidaklah
akan membuat masyarakat menjadi benar dan tidak akan membuat tegaknya
khilafah, tapi masyarakat itu akan tegak kerana adanya koreksi pada doktrin
aqidah dan tidaklah dengan menyerukan pada akhlaqul karimah (Manhaj
Hizbut Tahrir fit Taghyir halaman 26-27).

Maka kita katakan "Masyarakat itu akan tegak dengan keduanya (aqidah dan
akhlaqul karimah), dan Islam menyerukan pada keduanya".
Taqiyuddin mengingkari adanya ikatan emosi pada jiwa manusia, tidak ada
ikatan batin. Dia katakan tidak ada ikatan emosi pada jiwa manusia dalam
ajaran Islam.

Karena pendapatnya inilah, kami melihat Hizbut Tahrir


tidak mempunyai kelemah-lembutan dan akhlaqul karimah
dalam menghadapi umat.
Dia berkata dalam Nizhamul Islam halaman 61 dan Al Fikrul Islami Al
Mu'asyir halaman 202 bahawa mereka-mereka (para ulama Ahlus Sunnah)
yang mengatakan bahawa wanita itu semuanya aurat, maka hal ini adalah
bukti dari keruntuhan, perosakan akhlak, padahal sudah pasti bahawa laki-
laki dan perempuan itu akan bertemu bersama-sama ketika melakukan
transaksi jual-beli.

Lalu dia katakan dalam An Nizham halaman 10 dan 12, bahawa berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahram itu tidak akan merosak akhlak.
Dia mengatakan bahawa bila wanita itu berhijab maka hal itu adalah
keruntuhan dan perosakan akhlak, tapi dia berkata bahawa berjabat tangan
dengan wanita bukan mahram itu tidak merosak akhlak.

Mereka mengatakan bahawa

Hizbut Tahrir adalah merupakan sebuah kelompok yang menguruskan


masalah politik, seluruh kegiatannya adalah berhubungan dengan politik,

Ini yang mereka katakan.

Kegiatan mereka bukan pada hal tarbiah, bukan pula pada memberikan
targhib dan tarhib, namun semuanya hanyalah yang berikatan dengan politik
(Manhaj Hizbut Tahrir Fit Taghyir halaman 28 dan 31, juga dalam Hizbut
Tahrir halaman 25).

Apakah kalian pernah mendengar apa yang mereka katakan itu? Itu yang
mereka nyatakan.

Mereka berkata "Kami membolehkan orang-orang untuk membentuk hizb-


hizb, berdasarkan pada firman Allah,
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia yang menyeru
pada kebaikan dan melarang kejelikan serta beriman kepada Allah" (Ali
Imran 110)

Ini adalah dalil yang mereka pakai, padahal seperti yang mereka katakan,
bahawa kegiatan mereka seluruhnya hanya berkaitan dengan politik!!.

Maka kegiatan politik ini telah dijadikan sebagai aqidah bagi mereka, dan
karena hal inilah mereka melakukan tawar menawar dengan mubtadi' (dan
juga musyrikin) seperti Syiah, mereka mengatakan bahawa bekerja sama
dengan Syiah adalah tidak apa-apa. Dan mereka melakukan hal tersebut
dengan kuffar Yahudi.

Mereka mengatakan dalam majalahnya, Al Wa'ie, nombor 75 halaman 23,


tahun 1993,

“bahawa tidak ada perbezaan antara mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan mereka
telah salah karena mendalilkan hal ini untuk menjelaskan yang berikutnya,
begitu pula Ja'fari dan Zaidi.”

Dan mereka berkata

"dan inilah yang terjadi antara kalangan Sunni dengan Syi'i, yang
sebenarnya ada orang-orang yang berada di belakang perpecahan ini (yang
mempunyai maksud tertentu) dan kami harus memerangi orang-orang itu,
sebab tidak ada perbezaan antara keduanya, dan siapa saja yang melakukan
perbezaan itu maka akan kami lawan".

Orang-orang Hizbut Tahrir sebenarnya mengetahui apa yang dinyatakan


oleh orang-orang Syiah tentang 'Aisyah dan para sahabat, mereka
mendengarnya di Hyde Park (sebuah tempat di Inggeris) dan tetap saja
mereka katakan tidak ada perbezaan antara Sunni dan Syi'i.

Ketika Syiah mencaci maki para sahabat dan mengatakan bahawa para
sahabat telah merubah Al Quran, mencaci maki isteri Rasulullah sallallahu
'alaihi wa salam, ummul mukminin, tapi bagi Hizbut Tahrir ini adalah
masalah kecil!!
Kenapa boleh seperti itu?

Karena berdasarkan pada hal yang paling penting bagi mereka, iaitu
permasalahan khilafah.

Mencaci maki para sahabat, mencaci maki para isteri Rasul, menuduh para
sahabat telah merubah Al Quran adalah hal kecil dibandingkan dengan
permasalahan yang "paling besar",

Apakah itu?

Masalah khilafah.

Itulah yang menyebabkan kenapa mereka mengatakan bahawa kitab yang


terbaik adalah Al Hukumah Al Islamiyyah padahal di dalamnya terdapat
kekufuran dan pernyataan bahawa melawan Sunni adalah merupakan aqidah
bagi Syi'i, karena aqidah syi'i itu cocok dengan aqidahnya mereka.Tapi
Hizbut Tahrir tidak mahu tahu tentang hal itu dan memilih untuk
mengabaikannya.

Oleh karena itu, mereka (Hizbut Tahrir) dapat ditemukan di Qum, tempat di
mana Khomeini hidup. Mereka mengira bahawa di sana dapat ditegakkan
khilafah.

Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, mereka mengatakan bahawa


Allah membolehkan umat Islam untuk mendirikan hizb-hizb, dengan
berdalil dengan surat Ali Imran ayat 110.

Tapi lihat apa yang mereka katakan "Sesungguhnya amar makruf nahi
Munkar tidak bisa dijalankan kecuali sebelumnya telah ditegakkan khilafah
dan hukum-hukum Islam" (Manhaj Hizbut Tahrir Fit Taghyir halaman 21).

Lalu andai amar makruf nahi Munkar itu tidak boleh dijadikan sebagai suatu
cara, kenapa kalian masih menukilkan ayat itu?.

Dan Umar Bakri pun mengatakan hal yang sama pada Tafsirnya Surat Al
Ma'idah 2/233.

Mereka katakan bahawa kegiatan mereka total pada permasalahan politik.


Maka kita katakan pada mereka. Apakah Salafus Shalih tidak pernah
mendengar ayat ini sebelumnya?

Kalaupun mereka (Salafus Shalih) mendengar, apakah mereka mendirikan


kelompok sendiri-sendiri?

Apakah mereka memahami ayat itu seperti pemahaman mu?

Tentu saja tidak, sebaliknya pemahaman mu ini bukanlah dalam rangka


memahami ayat, tapi dalam rangka merosak ayat.

Kami pun mengetahui bahawa kelompok yang bergerak dalam permasalahan


politik bukan hanya Hizbut Tahrir saja, tapi juga ada Ikhwanul Muslimin.
Mereka juga mengatakan boleh untuk membuat kelompok-kelompok dan
mereka pun menukilkan ayat yang sama.

Mereka adalah biang pembuat perpecahan umat. Mereka masing-masing


membuat kelompok, lalu mereka pun berpecah belah dan akhirnya saling
benci satu sama lainnya. Ini adalah suatu pemahaman yang menyelisihkan
Salaf.

Rasulullah berkata bahawa jika ada dua khalifah yang dibai'at, maka salah
satunya harus dibunuh. Tapi mereka katakan bahawa hadits ini ahad.

Siapakah yang memberitahu mu bahawa para sahabat tidak menerima hadits


ahad?

Kita telah menjelaskan pada mereka (Hizbut Tahrir) tentang salahnya


pendapat ini selama bertahun-tahun. Maka berikanlah pada kami, ucapan-
ucapan dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa salam, sahabat, tabi’in dan yang
selainnya bahawa hadits ahad tidak boleh diambil dalam permasalahan
aqidah?

Mereka katakan bahawa haram mengambil hadits ahad


dalam permasalahan aqidah tapi haram meninggalkan
hadits ahad dalam permasalahan ahkam!!
Apakah ini bukan suatu pertentangan?

Maka di sini ada pertanyaan penting yang harus ditujukan pada mereka.
Mereka sering mendengung-dengungkan ayat,

"Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru pada
kebajikan, menyeru yang makruf dan mencegah dari yang Munkar. Mereka
lah orang-orang yang beruntung" (Ali Imran 104)

Lalu bagaimana boleh ayat ditafsirkan dan hendaklah ada segolongan dari
Hizbut Tahrir?

Sekarang kita katakan, apakah umat ini ada sebelum lahirnya Taqiyuddin An
Nabhani?

Tentu saja, umat ini sudah ada sejak zaman Rasulullah sallallahu 'alaihi wa
salam.

Lalu kenapa kita perlu pada Taqiyuddin dan Hizbut Tahrir?

Apakah merupakan suatu kebaikan jika membolehkan membentuk partai-


partai dalam Islam, di dalam umat ini sedangkan kalian melarangnya di
dalam tubuh kalian (di dalam Hizbut Tahrir)?

Dan sungguh menakjubkan orang-orang ini, yang mereka sebenarnya


mendakwahkan pada perpecahan. Mereka berteriak agar umat ini bersatu,
tapi mereka sendiri terpecah-belah.

Mereka seharusnya tidak boleh melakukan hal ini. Jika kalian ingin
agar umat ini bersatu, maka hal yang pertama yang harus kalian
lakukan adalah pergi dan kutuklah hizb kalian (dan
membubarkannya), lalu setelah itu barulah kalian berdakwah untuk
bersatu.

Hal lainnya, adalah mereka selalu mendengung-dengungkan ayat di atas (Ali


Imran 104), tapi apakah mereka terlihat, secara zahir, melakukan amar
makruf nahi Munkar?
Tidak, mereka hanya melakukan hal itu untuk kepentingan diri-diri mereka
dan kelompoknya saja.
Seseorang yang tidak mempunyai sesuatu maka tidak akan dapat
memberikan apa pun. Jika aku tidak mempunyai wang maka tidak dapat
memberikan wang.

Jika mereka (Hizbut Tahrir) tidak mempunyai sunnah, maka sunnah apakah
yang akan mereka berikan pada umat.

Menurut mereka, semua bagian dari dunia ini adalah Darul kufur.
Mereka katakan bahawa tidak ada lagi wilayah Islam saat ini,
sebab semuanya adalah tempat kufur.

Apakah benar mereka berkata seperti ini?


Apakah kalian setuju dengan mereka?

Aku telah membaca tulisan mereka dalam kitab-kitab mereka, mereka


katakan "Tanah yang ditempati Muslimin sekarang adalah Darul kufur,
walaupun orang-orang yang menempatinya Muslim" (Hizbut Tahrir,
halaman 32 dan 103).

Mereka tidak memasukkan Mekah dan Madinah sebagai


wilayah Muslim!

Apakah mereka katakan pada mu kecuali Mekah dan Madinah?

Aku akan memberikan pengalaman peribadi ku, salah seorang dari mereka
berkata pada ku, "semua orang selain yang tinggal di Merkah dan Madinah
adalah bukan Muslim dan wilayah tempat tinggal mereka pun bukanlah
Darul Islam (Ad Daulah Islamiyyah halaman 55, Mitsaqul Ummah halaman
14 dan 44, Manhaj Hizbut Tahrir halaman 10-11).

Dari semua sumber rujukan tersebut dikatakan bahawa semua tempat adalah
Darul kufur dan semua masyarakatnya adalah kufur.

Ini bererti tidak ada Muslimin!!


Salah seorang dari saudara kita bertanya pada salah seorang pemimpin
mereka,
"Apakah ada pada saat ini Darul Islam?",

Dia (pemimpin Hizbut Tahrir) berkata

"Tidak Ada",
lalu saudara kita berkata:

"Tapi aku ingin hijrah"

Dia berkata

"Ini tidaklah mungkin".

Lalu di manakah kemudian Darul hijrah itu?

Apakah Merkah dan Madinah bukan tempat Islam?

Lalu kenapa kalian (Hizbut Tahrir) pergi ke London?

Ada beberapa fatwa yang mereka berikan (Jawab wa sual, 24 rabi'ul awal
1390 dan juga 8 Muharam 1390).

Mereka menjelaskan bahawa laki-laki dibolehkan untuk mencium wanita


non Muslim.

Dan aku bersumpah bahawa mereka menyetujui hal ini.


Salah seorang saudara kita yang baru masuk Islam diberikan penjelasan ini
bahawa dia boleh mencium wanita non Muslim. Mereka berkata bahawa
boleh untuk melihat foto (gambar) wanita telanjang (b****l), mereka
katakan "Ala ini hanyalah gambar". Mereka katakan bahawa itu bukanlah
wanita tapi hanyalah gambar.

Kemudian mereka berkata bahawa dibolehkan untuk menjabat tangan


wanita lainnya, iaitu ketika melakukan bai'at, sebab tidak ada
perbezaan antara wanita dan lelaki dalam hal ini (Al Khilafah halaman
32).
Hal yang ingin saya jelaskan sekarang adalah, aku telah melihat mereka dan
datang ke tempat ku. Dan mereka mengatakan tentang hadits dari 'Aisyah.
'Aisyah berkata "Tidak, Wallahi. Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan
wanita (selain mahram)".

Dan mereka katakan bahawa "Tidak, dia ('Aisyah) telah salah". Aku telah
mendengarnya langsung dari Umar Bakri dan aku mempunyai rakamannya.
Dia katakan bahawa 'Aisyah telah salah, dia salah dalam menyatakan hal
ini".

Maka manakah yang benar, apakah perkataan 'Aisyah atau dia?

Apakah kamu hidup di zaman Rasulullah? Bagaimana mungkin kau boleh


berkata seperti ini. Padahal hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari!!.
Mereka membantah perkataan 'Aisyah dengan perkataannya Ummu 'Athiyah

bahawa Rasulullah memanjangkan tangannya dari luar rumah dan para


wanita memberikan padanya tangan-tangan mereka.

Tapi riwayat Ummu 'Athiyah ini adalah mursal, yang bererti daif. Hal ini
telah dijelaskan oleh An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga
Ibnu Hajar Al Asqalani (FatHul Bari 8/636). Beliau (Ibnu Hajar)
mengatakan bahawa apa yang dikatakan oleh 'Aisyah adalah merupakan
hujah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu 'Athiyah
mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan
dengan para wanita.

Apakah mereka (Hizbut Tahrir) tidaklah merasa cukup dengan hadits


Rasulullah

"Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita". Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban (1597), An Nasa'i (7/149), Ibnu Majah (2874).

Tapi tetap saja hal ini tidak mencukupi mereka.

Apa yang akan aku katakan pada seorang wanita adalah sama dengan yang
akan aku katakan pada ratusan wanita tentang bai'at ini.
Bahawa Rasulullah tidak membai'at wanita kecuali dengan ucapan (bukan
berjabat tangan) (HR. Muttafaq 'alaih),

dan juga perkataan beliau

"Andai kata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi,
maka itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tak halal
baginya" (HR. Al Baihaqi, disahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Ash
Shahihah no.226).

Kendati pun demikian, mereka tetap menyatakan boleh untuk berjabat


tangan dengan wanita yang bukan mahram!!

Maka aku katakan pada mereka, dengan menukilkan ucapan yang sering
mereka dengung-dengungkan pada penguasa,

"Berhukumlah dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah!". Dan kami
katakan pada mereka "(salah satu) Hukum Allah adalah tidak berjabat
tangan dengan wanita bukan mahram, jika kalian tidak berhukum dengan
hukum Allah, maka kalian tidak akan bisa menegakkan hukum Allah".

Dan ini bererti bahawa kita harus bersikap tunduk, patuh dan taat pada
hukum Allah, dan jika kita tidak mendasarkan diri pada hukum Allah, maka
apa yang akan terjadi nantinya, bagaimana kita bisa mendakwahi orang lain,
bagaimana kita bisa mencapai keunggulan dan kepemimpinan. Imam An
Nawawi berkata "jika hal itu terlihat, maka haram untuk menyentuhnya"
(Syarhul Minhaj 6/195)
Kaset pertama berhenti di sini.

(Dikutip dari terjemahan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir, tulisan


Syeikh 'Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah. Url asli

www.salafipublications.com Artikel #GRV0300)


Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir
Khalifah Islamiyyah

Sabtu, 27 Ogos 2005 - 09:50:23


kategori Firqah-Firqah

Penulis: Al-Ustaz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh


.: :.
Ketika kaum Muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan
meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi
Salaful Ummah di dalam mengatasi masalah umat dalam upaya
mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti
ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah Al-Haq yang datang dari
Allah Taala dan Rasul-Nya n serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan.

Sebagaimana firman Allah:

ِّ ‫فَ َما َذا بَ ْع َد ْال َح‬


َّ ‫ق إِالَّ ال‬
‫ضالَ ُل‬

“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)

Dengan cara yang mereka tempuh ini, justeru menghantarkan umat ini
kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana

firman Allah Taala:

‫ق بِ ُك ْم َع ْن َسبِ ْيلِ ِه َذلِ ُك ْم‬ َ ‫اطي ُم ْستَقِ ْي ًما فَاتَّبِع ُْوهُ َوالَ تَتَّبِعُوا ال ُّسبُ َل فَتَفَ َّر‬ ِ ‫َوأَ َّن هَ َذا‬
ِ ‫ص َر‬
‫َوصَّا ُك ْم بِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْو َن‬
“Dan bahawa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain),
karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah Ta’ala pada mu agar kalian
bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Di antara cara-cara sesat yang mereka tempuh antara lain:

1. Penyelesaian masalah umat melalui jalur politik dengan ikut terjun


langsung atau tidak langsung dalam panggung politik dengan berbagai
macam alasan untuk membenarkan tindakan mereka.

Di antara mereka ada yang beralasan bahawa tidak mungkin Daulah


Islamiyyah akan terwujud kecuali dengan cara merebut kekuasaan melalui
jalur politik, iaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan dan
kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan banyaknya dukungan
dan kursi di pemerintahan, syariat Islam boleh diterapkan. Walaupun dalam
pelaksanaannya, mereka rela untuk mengambil dan menerapkan sistem
politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat
dengan Islam.

Mereka sanggup untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif


terhadap lawan politiknya. Bila perlu, mereka pun sanggup untuk
mencampakkan prinsip Islam yang paling utama dalam rangka untuk
meluluskan ambisi mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang
semisalnya.(1) Bahkan tidak jarang mereka pun sanggup untuk berdusta atas
nama Ulama Ahlus Sunnah dengan mencuplik fatwa-fatwa para ulama
tersebut dan mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini lebih
banyak dipraktikkan oleh kelompok Al-Ikhwanul Muslimin.

Sebahagian kelompok lagi beralasan bahawa melalui politik ini akan boleh
direalisasikan amar makruf nahi Munkar kepada penguasa, iaitu dengan
menekan dan memaksa mereka menerapkan hukum syariat Islam dan
meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.

Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan diri’ untuk terjun


langsung ke panggung politik demokrasi seperti halnya kelompok pertama,
namun ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di dalam
melaksanakan aktiviti politiknya. Iaitu melalui berbagai macam didikan
politik yang penuh dengan provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi
dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana digiringnya gerombolan
kambing oleh penggembalanya.

Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan


kritik dan kontrol serta koreksi terhadap penguasa, atau terkadang mereka
mengistilahkannya dengan amar makruf nahi Munkar. Yang ternyata
tindakan mereka tersebut justeru mendatangkan kehinaan bagi kaum
Muslimin serta ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai
peribadi Muslim ataupun sebagai warga negara di banyak negeri. Dengan
ini, semakin pupuslah harapan terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini
lebih banyak dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.

Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik kelompok Al-


Ikhwanul Muslimin ataupun Hizbut Tahrir serta semua pihak yang
menempuh cara mereka,

Tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah


yang berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian
tempuh sepanjang sejarah kelompok kalian.
Di Mesir kalian telah gagal total, bahkan harus ditebus dengan hukuman
mati tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan atau ditembak mati, dan semakin
suramnya nasib dakwah.Di Al-Jazair pun ternyata juga pupus bahkan
berakhir dengan pertumpahan darah dan perpecahan.

Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai Daulah Islamiyyah


yang berhasil kalian dirikan, di mana kalian berhasil dalam Pemilu di negeri
tersebut.
Namun apa yang terjadi setelah itu…?

Wakil Presidennya adalah seorang Nasrani, lebih dari 10 orang menteri di


kabinet adalah Nasrani. Atau mungkin kalian menganggap itu sebagai
kesaksian di panggung politik di negeri Sudan, ketika kalian berhasil
‘mengorbitkan’ salah satu pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang
salah satu tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, iaitu Hasan At-
Turabi. Apakah orang seperti dia yang kalian banggakan, orang yang
berakidah dan berpemikiran sesat?!
Semak salah satu ucapan dia:
“Aku ingin berkata bahawa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian
yang satu, boleh bagi seorang Muslim – sebagaimana boleh pula bagi
seorang Nasrani– untuk mengganti agamanya.”(2)
Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir dengan pernyataan
yang sama. Bagaimana Allah akan memberikan keberhasilan kepada kalian
sementara kalian menempuh cara-cara Khawarij yang telah dikecam keras
oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam dalam sekian banyak hadisnya?

Di mana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut Tahrir—dibandingkan


manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam dalam
menyampaikan nasihat kepada penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari
sahabat ‘Iyadh bin Ghunm:

Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

ُ‫ فَإ ِ ْن قَبِ َل ِم ْنه‬،‫ َولَ ِك ْن يَأْ ُخ ُذ بِيَ ِد ِه فَيَ ْخلُو بِ ِه‬،ً‫ص َح لِ ِذي س ُْلطَا ِن فَالَ يُ ْب ِد ِه َعالَنِيَة‬
َ ‫َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يَ ْن‬
‫ َوإِالَّ قَ ْد أَ َّدى الَّ ِذي َعلَ ْي ِه‬،‫ك‬ َ ‫فَ َذا‬

“Barang siapa yang hendak menasihati seorang penguasa, maka jangan


dilakukan secara terang-terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang
semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan kepadanya secara
peribadi, jika ia (penguasa itu) menerima nasihat tersebut maka itulah yang
diharapkan, namun jika tidak mahu menerimanya maka bererti ia telah
menunaikan kewajipannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi.
Hadits ini disahihkan oleh Al-Imam Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah
hadits no. 1096)

2. Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan atau gerakan
kudeta/revolusi terhadap penguasa yang sah, dengan alasan mereka telah
kafir karena tidak menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktik
kenegaraannya. Kelompok pergerakan ini cenderung menamakan tindakan
ganas dan kudeta yang mereka lakukan dengan nama jihad, yang pada
hakikatnya justeru tindakan tersebut membuat kabur dan tercemarnya nama
harum jihad itu sendiri. Mereka melakukan pengeboman di tempat-tempat
umum sehingga tak pelak lagi warga awam menjadi korban. Bahkan tak
jarang di tengah-tengah mereka didapati sebahagian umat Islam yang tidak
bersalah dan tidak mengerti apa-apa.

Cara-cara seperti ini lebih banyak diperanankan oleh kelompok-kelompok


radikal semacam Jemaah Islamiyyah (JI), demikian juga Usamah bin
Laden salah satu tokoh Khawarij masa kini dengan Al-Qaeda-nya berserta
para pengikutnya dari kalangan pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu
syar’i dan cenderung melandasi sikapnya di atas emosi. Cara-cara yang
mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk pengaruh pemikiran-
pemikiran sesat dari tokoh-tokoh mereka, seperti:

a).Abul A’la Al-Maududi, di mana dia menyatakan:

“…Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-tulisan dan


risalah-risalah kita bahawa tujuan kita yang paling tinggi yang kita
perjuangkan adalah: MENGADAKAN GERAKAN
PENGGULINGAN KEPEMIMPINAN. Dan yang saya maksudkan
dengan itu adalah untuk membersihkan dunia ini dari kekotoran
para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu kita boleh
menegakkan imamah yang baik dan terbimbing. Itulah usaha dan
perjuangan yang bisa menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang
lebih berhasil untuk mencapai keredaan Allah dan mengharapkan
wajah-Nya yang mulia di dunia dan akhirat.”
(Al-Ushusul Akhlaqiyyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 16)

Al-Maududi juga berkata:

“Kalau seseorang ingin membersihkan bumi ini dan menukar


kejahatan dengan kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya
dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan
mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka
untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus mengumpulkan
beberapa unsur (kekuatan) manusia yang Shalih sebanyak
mungkin, kemudian dibentuk (sebagai suatu kekuatan) untuk
merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang
memegangnya dan mengadakan revolusi.”
(Al-Ususul Akhlaqiyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)
b). Sayid Quthb. Pernyataan Sayid Quthb dalam beberapa karyanya yang
mengarahkan dan menggiring umat ini untuk menyikapi lingkungan dan
masyarakat serta pemerintahan Muslim sebagai lingkungan, masyarakat, dan
pemerintahan yang kafir dan jahiliah. Pemikiran ini berhujung kepada
tindakan kudeta dan penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode
penyelesaian masalah umat demi terwujudnya Khilafah Islamiyyah.
Metode berfikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh
mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman
Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain.(3)

Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas di negeri ini, yang
cukup punya saham besar dalam menggiring (membawa) para pemuda
khususnya untuk berpemikiran radikal serta memilih cara-cara kekerasan
untuk mengatasi masalah umat ini dan menggapai angan yang mereka
canangkan.

Maka wajib bagi semua pihak dari kalangan Muslimin


untuk berhati-hati dan tidak terpengaruh buku fitnah
karya tokoh-tokoh Khawarij.

Demikian juga buku-buku kelompok Syiah Rafidhah yang juga syarat


dengan berbagai provokasi kepada umat ini untuk melakukan berbagai aksi
dan tindakan teror terhadap penguasa.

Mudah-mudahan Allah Taala memberikan taufiknya


kepada pemerintah kita agar mereka bisa mencegah
pengedaran buku-buku sesat dan menyesatkan tersebut
di tengah-tengah umat, demi terwujudnya stabilisasi
keamanan umat Islam di negeri ini.
Khilafah Islamiyyah bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita, bahawa banyak dari
kalangan aktivis pergerakan-pergerakan Islam yang menyatakan bahawa
permasalahan Daulah Islamiyyah merupakan permasalahan yang penting,
bahkan terpenting dalam masalah agama dan kehidupan.

Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus diketahui


jawapannya oleh setiap Muslim, iaitu:

Apakah penegakan Daulah Islamiyyah adalah fardu ‘ain (kewajiban atas


setiap peribadi Muslim) yang harus dipusatkan atau dikonsentrasikan
fikiran, waktu, dan tenaga umat ini untuk mewujudkannya?

Kemudian

Benar kah bahawa tujuan utama dakwah para nabi adalah penegakan Daulah
Islamiyyah?

Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, mari kita


semak penjelasan para ulama besar Islam berikut ini.

Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam kitabnya Al-Ahkam As-


Sulthaniyah:

“…Jika telah pasti tentang wajibnya (penegakan) Al-


Imamah (ke pemerintahan/kepemimpinan) maka tingkat
kewajipannya adalah fardu kifayah, seperti kewajiban jihad
dan menuntut ilmu.” Sebelumnya beliau juga berkata: “Al-
Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk melanjutkan
khilafatun nubuwah dalam rangka menjaga agama dan
pengaturan urusan dunia yang penegakannya adalah wajib
secara ijmak’, bagi pihak yang berwenang dalam urusan
tersebut.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)
Imamul Haramain menyatakan bahawa permasalahan Al-Imamah
merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata:

“Maka anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang permasalahan


Al-Imamah bahawasanya ia tergolong permasalahan furu’, tidak lebih
sebatas wasilah (sarana) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama
dan politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajipannya masih
diperselisihkan apakah dalil ‘aqli atau dalil syar’i….
Bagaimanapun, jenis permasalahan yang seperti ini keadaanya, yang masih
diperselisihkan tentang posisi dalil yang mewajibkannya, bagaimana
mungkin boleh dikatakan bahawa masalah Al-Imamah ini merupakan
puncak tujuan agama yang paling hakiki?”

Demikian jawaban dari pertanyaan pertama.


Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita semak penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahawa


permasalahan Al-Imamah merupakan satu tuntutan yang
paling penting dalam hukum Islam dan merupakan
permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah suatu
kedustaan berdasarkan ijmak’ (kesepakatan) kaum
Muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah mahupun dari
kalangan Syiah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut
terkategori sebagai suatu kekufuran, sebab masalah iman
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah permasalahan yang
jauh lebih penting daripada permasalahan Al-Imamah. Hal
ini merupakan permasalahan yang diketahui secara pasti
dalam dienul Islam.”
(Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Kemudian beliau melanjutkan:

“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah


merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib
atas Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini)
kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan
kepada umat ini tentang permasalahan salat, shaum (puasa), zakat, haji, dan
telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Taala serta iman
pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahawa penjelasan tentang Al-
Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang
perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga tentunya Di antara
perkara yang diketahui bahawa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini,
maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan
masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wassalam tentang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih
diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara
Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada
Allah Taala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-
Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para
rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang
perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeza
sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an
akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan
mulia?”
(Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)

Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di


atas, lalu cuba kita bandingkan dengan ucapan Al-Maududi, yang
menyatakan bahawa:

1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan


kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar.

2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-
Imamah (ke pemerintahan) yang Shahihah dan rasyidah.

3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama tugas para nabi.


Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah
berkata:

“Sesungguhnya permasalahan yang terpenting adalah permasalahan yang


dibawa oleh seluruh para nabi –alaihimush shalatu was salaam- iaitu
permasalahan tauhid dan iman, sebagaimana telah Allah simpulkan dalam
firman-Nya:

َ ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِ ْي ُكلِّ أُ َّم ٍة َرس ُْوالً أَ ِن ا ْعبُ ُدوا هللاَ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغ ْو‬
‫ت‬
“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul
(dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan
jauhilah oleh kalian taghut.” (An-Nahl: 36)

‫ك ِم ْن َرس ُْو ٍل إِالَّ نُ ْو ِحي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ الَ إِلَهَ إِالَّ أَنَا فَا ْعبُ ُد ْو ِن‬
َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبل‬

“Tidaklah Kami utus sebelum mu seorang rasul-pun kecuali pasti kami


wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi
kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.” (Al-
Anbiya`: 25)

َ ‫ك لَئِ ْن أَ ْش َر ْك‬
َ ُ‫ت لَيَحْ بَطَ َّن َع َمل‬
‫ك َولَتَ ُك ْونَ َّن ِم َن‬ َ ‫َولَقَ ْد أُ ْو َحي إِلَي‬
َ ِ‫ْك َوإِلَى الَّ ِذي َْن ِم ْن قَ ْبل‬
‫ْال َخا ِس ِري َْن‬
“Sungguh telah kami wahyukan kepada mu dan kepada (para nabi) yang
sebelum mu (bahawa) jika engkau berbuat syirik nescaya akan batal seluruh
amalan dan nescaya engkau akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-
Zumar: 65)

Inilah permasalahan yang terpenting yang kerana Nya terjadi permusuhan


antara para nabi dengan umat mereka, dan kerana Nya ditenggelamkan
pihak-pihak yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak tujuan
agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta
tujuan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah
peribadatan kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya untuk-
Nya…
Sebagaimana firman Allah:

َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل ْن‬


‫س إِالَّ لِيَ ْعبُ ُد ْي ِن‬ «ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

‫ أَالَّ تَ ْعبُ ُدوا إِالَّ هللاَ إِنَّنِي‬.‫ت ِم ْن لَ ُد ْن َح ِكي ٍْم َخبِي ٍْر‬ ْ ‫ ِكتَابٌ أُحْ ِك َم‬،‫الر‬
ْ َ‫ت آيَاتُهُ ثُ َّم فُصِّ ل‬
‫لَ ُك ْم ِم ْنهُ نَ ِذ ْي ٌر َوبَ ِش ْي ٌر‬

“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah kecuali
kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan
dan pembawa khabar gembira kepada mu daripada-Nya.”
(Hud: 1-2)

Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk nasihat bagi seluruh kaum
Muslimin. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semua.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Footnote :

1. Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang mereka yang


menyimpang dalam politik, pembaca bisa membaca kitab Madarikun
Nazhar fi As-Siyasah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab
Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabaat oleh
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam.

2. Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti dinukilkan oleh


Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi
Syaatimir Rasul, hal 12.

3. Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan sangat dikagumi
oleh seorang teroris muda berasal dari Indonesia, bernama Imam Samudra.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul asli
"Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah Islamiyyah,
karya Al-Ustaz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh, url

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=289)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=980
Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir
Pemberontakan
Sabtu, 27 Ogos 2005 - 10:48:21
Kategori Firqah-Firqah
Penulis: Al-Ustaz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
.: :.

Arfajah Al-Asyja‘i Radliyallahu ‘anhu berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

َ ‫صا ُك ْم أَ ْو يُفَ ِّر‬


‫ق‬ َ ‫ق َع‬ َّ ‫ ي ُِر ْي ُد أَ ْن يَّ ُش‬،‫اح ٍد‬
ِ ‫ َوأَ ْم ُر ُك ْم َج ِم ْي ٌع َعلَى َرج ٍُل َو‬،‫َم ْن أَتَا ُك ْم‬
ُ‫ فَا ْقتُلُ ْوه‬،‫َج َما َعتَ ُك ْم‬
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah
berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin
memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jemaah kalian,
maka perangilah/bunuh lah orang tersebut.”

Dalam lafaz lain:

،ٌ‫ َو ِه َي َج ِم ْيع‬،‫ق أَ ْم َر هَ ِذ ِه ْاألُ َّم ِة‬


َ ‫ فَ َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يُفَ ِّر‬.‫ات‬
ٌ َ‫ات َوهَن‬
ٌ َ‫إِنَّهُ َستَ ُك ْو ُن هَن‬
َ ‫ َكائِنًا َم ْن َك‬،‫ْف‬
‫ان‬ ِ ‫فَاضْ ِرب ُْوهُ بِال َّسي‬
“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka barang siapa
yang ingin memecah-belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan
telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, maka penggallah orang
tersebut, siapa pun dia.”

Takhrij Hadits

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya,


Kitab Al-Imarah, Bab Hukmu Man Farraqa Amral Muslimin wa Huwa
Mujtama’ (Hukum orang yang memecah-belah urusan Muslimin dalam
keadaan mereka telah berkumpul/bersatu pada perkara tersebut), no. 1852.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/261, 4/341,
5/23; An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 4020, 4021, 4022 dan Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 4762.

Dalam riwayat An-Nasa`i (no. 4020) ada tambahan:

ُ‫ق ْال َج َما َعةَ يَرْ ُكض‬ َ َ‫فَإِ َّن يَ َد هللاِ َعلَى ْال َج َما َع ِة فَإِ َّن ال َّش ْيط‬
َ َ‫ان َم َع َم ْن ف‬
َ ‫ار‬
“Karena sesungguhnya tangan Allah di atas tangan jemaah dan sungguh
setan berlari bersama orang yang berpisah dari jemaah.”

Makna Hadits

‫صا ُك ْم‬ َّ ‫ي ُِر ْي ُد أَ ْن يَّ ُش‬


َ ‫ق َع‬

(dia ingin memecahkan tongkat kalian) Maknanya ia ingin memecah-belah


jemaah kalian sebagaimana tongkat dibelah-belah. Hal ini merupakan
ungkapan berselisihnya kalimat dan menjauhnya jiwa-jiwa.
(Syarhu Muslim, 13/242)

ُ‫فَا ْقتُلُ ْوه‬


(maka bunuhlah orang tersebut) dalam lafaz lain:

ِ ‫فَاضْ ِرب ُْوهُ بِال َّسي‬


‫ْف‬
(maka penggallah orang itu), tindakan ini dilakukan bila memang perbuatan
jeliknya itu tidak dapat dicegah dan tidak dapat dihentikan kecuali dengan
membunuhnya.
(Syarhu Muslim, 13/242)

َ ‫ائِنًا َم ْن َك‬
َ‫ان‬
(siapa pun dia) sama saja baik dia dari kalangan kerabat Nabi Sallallahu
‘alaihi wassalam atau selain mereka, dengan syarat pimpinan (imam) yang
awal memang pantas menyandang imamah ataupun khilafah. Demikian
dikatakan Al-Qari sebagaimana dinukil dalam ‘Aunul Ma‘bud (13/76).
ٌ َ‫ات َوهَن‬
‫ات‬ ٌ َ‫هَن‬
dalam An-Nihayah (5/278) disebutkan maknanya adalah kerosakan dan
kejelikan. Sedangkan di dalam hadits ini maknanya kata Al-Imam An-
Nawawi rahimahullah adalah fitnah dan perkara-perkara baru. (Syarhu
Muslim, 13/242)

Pentingnya Kepemimpinan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Wajib diketahui bahawa mengangkat pemimpin untuk mengatur urusan


manusia termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan tidak akan tegak
agama dan tidak pula dunia kecuali dengannya. Karena anak Adam tidak
akan sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan ijtimak’ (berkumpul
dan berjemaah), juga disebabkan kebutuhan sebahagian mereka kepada
sebahagian yang lain. Dan ketika mereka berkumpul, tentunya harus ada
yang menjadi pemimpin/ketua mereka, sampai-sampai

Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

‫إِ َذا َخ َر َج ثَالَثَةٌ فِي َسفَ ٍر فَ ْلي َُؤ ِّمرُوا أَ َح َدهُ ْم‬
“Apabila tiga orang keluar dalam satu safar maka hendaklah mereka
menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka (dalam
Safar tersebut).”
(HR. Abu Dawud dari hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah radiallahuanhu
‘anhuma)(1)

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abdullah bin ‘Amr


Radiallahuanhu ‘anhu bahawasanya Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda:

‫ض إِالَّ أَ َّمر ُْوا َعلَ ْي ِه ْم أَ َح َدهُ ْم‬


ِ ْ‫َو الَ يَ ِحلُّ لِثَالَثَ ٍة يَ ُك ْونُ ْو َن بِفَالَ ٍة ِم َن ْاألَر‬
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi (yakni dalam
Safar) kecuali mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai
pemimpin mereka.”(2)
Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan pengangkatan seseorang
sebagai pemimpin dalam perkumpulan yang sedikit dalam Safar yang
ditempuh, sebagai peringatan agar pengangkatan pemimpin ini dilakukan
dalam seluruh jenis perkumpulan. Dan juga Allah mewajibkan amar makruf
nahi mungkar, dan kewajiban ini tidak akan sempurna ditunaikan kecuali
dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian pula seluruh perkara
yang Allah wajibkan seperti jihad, keadilan, penunaian ibadah haji,
pelaksanaan salat Jumaat, hari Ied dan menolong orang yang dizalimi.
Pelaksanaan hukum had juga tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan
dan kepemimpinan, karena itulah diriwayatkan:

ٍ ْ‫ان ِظلُّ هللاِ فِي ْاألَر‬


‫ض‬ ُ َ‫الس َّْلط‬
“Sesungguhnya sultan/penguasa adalah naungan Allah di bumi.” (3)

Sehingga dikatakan juga:

“60 tahun di bawah pimpinan imam/pimpinan yang


jahat/zalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin.”
Dan tentunya pengalaman yang akan menerangkan hal ini.

Karena itulah as-salafush Shalih seperti Al-Fudhail bin ‘'Iyadh, Ahmad bin
Hambal dan selain keduanya menyatakan:

“Seandainya kami memiliki doa yang mustajab nescaya doa tersebut akan
kami tujukan untuk penguasa.”
(As-Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal. 129-130)
Catatan Penting bagi Kita Semua!

Keberadaan daulah Islamiyyah memang sangatlah penting dan bererti bagi


kehidupan beragama kaum Muslimin. Namun yang perlu diperhatikan dan
menjadi catatan penting di sini apakah perkara tersebut menjadi tujuan yang
utama, sebagaimana dinyatakan:

“Tujuan agama yang hakiki adalah menegakkan undang-undang


kepemimpinan yang baik lagi terbimbing”?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:

“Orang yang berkata bahawa masalah imamah adalah tujuan yang paling
penting dan utama dalam hukum-hukum agama dan masalah kaum
Muslimin yang paling mulia, maka dia itu berdusta menurut kesepakatan
kaum Muslimin baik yang sunni ataupun yang syi’i (pengikut agama Syiah,
red). Bahkan ini termasuk kekufuran, karena iman kepada Allah dan Rasul-
Nya lebih penting dan utama daripada masalah imamah. Hal ini adalah
perkara yang dimaklumi secara pasti dari agama Islam. Dan seorang kafir
tidaklah menjadi mukmin sampai ia bersaksi: Laa ilaaha illallah wa anna
Muhammadan rasulullah (bukan karena imamah, dan tentunya hal ini
menunjukkan pentingnya permasalahan iman, pen). Inilah alasan utama
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam memerangi orang-orang kafir.

Beliau Sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

‫اس َحتَّى يَ ْشهَ ُد ْوا أَ ْن الَّ إِلهَ إِالَّ هللاُ َوأَنِّي َرس ُْو ُل هللاِ َويُقِ ْي ُموا‬ َ َّ‫ت أَ ْن أُقَاتِ َل الن‬ ُ ْ‫أُ ِمر‬
‫ص ُم ْوا ِمنِّي ِد َما َءهُ ْم َو أَ ْم َوالَهُ ْم إِالَّ بِ َحقِّهَا‬
َ ‫ك َع‬َ ِ‫ فَإِ َذا فَ َعلُ ْوا َذل‬،َ‫صالَةَ َوي ُْؤتُ ْوا ال َّز َكاة‬َّ ‫ال‬

“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahawa


tidak ada ilah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah, kemudian mereka
menegakkan salat dan membayar zakat. Maka bila mereka melakukan hal itu
terjagalah dari ku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.” (4)

Beliau rahimahullah juga menyatakan:


“Perlu dimaklumi bagi kita semua, apabila didapatkan masalah kaum
Muslimin yang paling mulia dan tujuan yang paling penting dalam agama
ini, tentunya akan disebutkan dalam Kitabullah lebih banyak daripada
perkara selainnya. Dan demikian pula keterangan Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wassalam tentang perkara tersebut, tentunya akan lebih utama dan
lebih banyak daripada keterangan beliau terhadap perkara lainnya.
Sementara kita lihat Al Qur`an penuh dengan penyebutan tauhidullah, nama-
nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, kisah-kisah,
perintah dan larangan, hukum had dan kewajiban-kewajiban. Tidak
demikian halnya dengan masalah imamah. (Maka kalau dikatakan bahawa
masalah imamah itu lebih utama/penting dan lebih mulia daripada yang
lainnya, pen) lalu bagaimana boleh Al Qur`an itu dipenuhi dengan selain
perkara yang lebih penting/utama dan lebih mulia?!”
(Minhajul Anbiya`, 1/21)

Asy-Syaikh Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata meluruskan


kesalahan orang yang mengatakan demikian:

“Bahkan sesungguhnya tujuan agama yang hakiki dan tujuan penciptaan jin
dan manusia serta tujuan diutusnya para rasul serta diturunkannya kitab-
kitab adalah untuk ibadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk
Allah.

Allah Taala berfirman:

َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل ْن‬


‫س إِالَّ لِيَ ْعبُ ُد ْو ِن‬ «ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.”(5)

‫ك ِم ْن َرس ُْو ٍل إِالَّ نُ ْو ِحي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ الَ إِلهَ إِالَّ أَنَا فَا ْعبُ ُد ْو ِن‬
َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبل‬
“Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum mu kecuali Kami
wahyukan kepadanya bahawasanya tidak ada ilah yang patut disembah
kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-Ku.”(6)
‫ أَالَّ تَ ْعبُ ُدوا إِالَّ هللاَ إِنَّنِي‬،‫ت ِم ْن لَ ُد ْن َح ِكي ٍْم َخبِي ٍْر‬ ْ ‫ ِكتاَبٌ أُحْ ِك َم‬،‫الر‬
ْ َ‫ت آيَاتُهُ ثُ َّم فُصِّ ل‬
‫لَ ُك ْم ِم ْنهُ نَ ِذ ْي ٌر َوبَ ِش ْي ٌر‬
“Alif laam raa. (Inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan baik
serta dijelaskan secara terperinci dari sisi Dzat Yang Maha Memiliki
Hikmah lagi Maha Mengetahui/Mengabarkan, agar kalian tidak beribadah
kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi
peringatan dan pembawa khabar gembira dari Allah kepada kalian.”(7)
(Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql, hal. 152)

Demikianlah perkara keimanan ini begitu amat pentingnya agar menjadi


perhatian kita semuanya. Dan jangan seseorang terlalu ghairah mendirikan
daulah Islamiyyah dan menjadikannya sebagai inti dakwahnya kepada umat,
sementara tauhid belum ditegakkan, kesyirikan masih merajalela dan Sunnah
Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam masih dibuang di belakang punggung-
punggung manusia.

Wallahul musta’an.

Pemberontak, Gerombolan Parasit dalam Khilafah


Islamiyyah
Tegaknya daulah Islamiyyah merupakan keinginan setiap yang diibadahi
Muslim yang memiliki ghirah keislaman, agar hanya Allahdan hanya
syariat-Nya yang ditegakkan. Namun kesinambungan dan perjalanan daulah
itu dapat terganggu dengan keberadaan gerombolan-gerombolan pengacau
keamanan yang merongrong kewibawaan penguasa. Tak jarang gerombolan
itu mengadakan aksi pemberontakan di saat mereka merasa memiliki
kekuatan. Ibaratnya gerombolan ini seperti parasit dalam tubuh daulah
Islamiyyah sehingga tidak ada jalan untuk menjaga keutuhan daulah,
kewibawaan penguasa dan mempertahankan persatuan kaum Muslimin
kecuali menumpas parasit tersebut dan memberikan hukuman yang setimpal
kepada mereka sesuai dengan ketetapan syariat Islam.

Larangan Memberontak kepada Pemerintah Muslimin walaupun Zalim


aksi kudeta, penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu
sering kita dengar terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden Fulan
digulingkan dan diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan kudeta
berdarah. Demikian contoh isi beritanya. Dan kudeta seperti ini pun pernah
terjadi di negara kita tidak hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin
mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Namun dengan izin
Allah Taala aksi-aksi pemberontakan tersebut dapat digagalkan atau
disingkirkan.

Akan tetapi sangat disesalkan Di antara kelompok-kelompok para


pemberontak ini ada yang menisbahkan dirinya pada Islam atau agama yang
mulia ini, sementara agama yang mulia ini berlepas diri dari hal tersebut.
Karena agama ini tidak mengajarkan pemberontakan dan tidak ridha
terhadap pemberontakan kepada pemerintah Muslimin.

Wallahul musta’an.

Kelompok-kelompok pemberontak yang berbicara atas nama agama ini


menggembar-gemburkan keinginan mereka ingin membangun negara dalam
negara (yang sah) dan seandainya punya kesempatan mereka akan
menggulingkan pemerintah yang sah. Mereka berteriak-teriak di hadapan
khalayak ingin mendirikan khilafah Islamiyyah, ingin menegakkan syariat
Islam, sementara syariat Islam tersebut tidak ditegakkan terlebih dahulu
pada diri dan keluarga mereka (bahkan juga dalam praktik mereka untuk
meraih khilafah/daulah Islamiyyah -ed).

Sehingga penegakan syariat Islam dan khilafah Islamiyyah yang ingin


mereka lakukan sekader hisapan jempol semata. Mereka membuat huru-
hara, mengacaukan keamanan dan menyudutkan Islam serta kaum
Muslimin.

Aksi bom di berbagai tempat mereka tebarkan atas nama jihad fi sabilillah
melawan kezaliman penguasa, padahal lebih tepat apabila dikatakan mereka
ini adalah gerombolan pemberontak pengacau keamanan dan ketenteraman.
Jalan yang mereka tempuh menyelisihi kebenaran (al-haq), bimbingan dan
petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam . Karena
syariat menetapkan, bila seorang Muslim telah diangkat sebagai pimpinan di
sebuah negeri kaum Muslimin di mana seluruh urusan kaum Muslimin
berada di bawah perintah dan pengaturannya, maka haram untuk
memberontak kepadanya dan haram menggulingkan kekuasaannya
walaupun ia seorang pimpinan yang zalim.
Memberontak dengan bentuk dan model yang bagaimana pun haram
hukumnya, karena adanya hadits-hadits yang berisi larangan memberontak
dan juga karena adanya dampak yang ditimbulkan oleh pemberontakan
tersebut berupa fitnah, tertumpahnya darah, malapetaka dan bencana. Prinsip
tidak memberontak kepada pemerintahan kaum Muslimin merupakan prinsip
yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jemaah. Dan asas ini termasuk asas
Ahlus Sunnah wal Jemaah yang paling pokok yang diselisihkan oleh
kelompok-kelompok sesat dan ahlul ahwa`.
(Fiqhus Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal. 170)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah telah menyebutkan kesepakatan tersebut


dengan ucapan beliau:

“Adapun memberontak kepada penguasa dan memerangi


mereka maka haram menurut kesepakatan kaum Muslimin,
walaupun penguasa itu fasiq zalim.” (Syarhu Muslim,
12/229)

Demikian pula yang dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani


rahimahullah dari Ibnu Baththal rahimahullah, beliau berkata:

“Fuqaha sepakat tentang wajibnya mentaati


sultan/penguasa, jihad bersamanya, dan bahawa
mentaatinya itu lebih baik daripada memberontak
kepadanya, karena akan melindungi tertumpahnya darah
dan menenangkan orang banyak.”

Ibnu Baththal melanjutkan

“Dan mereka tidak mengecualikan dari larangan tersebut kecuali


bila sultan/penguasa itu jatuh ke dalam kekufuran yang nyata,
maka tidak boleh mentaatinya bahkan wajib memeranginya bagi
orang yang memiliki kemampuan.” (Fathul Bari, 13/9)

Hadits Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam dan ucapan Ulama dalam


Masalah Ini
Di antara hadits-hadits yang ada dalam masalah ini dapat kita sebutkan
sebagai berikut:

‘Ubadah ibnu Ash-Shamit Radiallahuanhu ‘anhu berkata:

‫ْرنَا َوأَثَ َرة َعلَ ْينَا‬


ِ ‫ْرنَا َويُس‬ ِ ‫بَايَ ْعنَا َعلَى ال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة فِي َم ْن َش ِطنَا َو َم ْك َر ِهنَا َو ُعس‬
ٌ َ‫ إِالَّ أَ ْن تَ َر ْوا ُك ْفرًا بَ َواحًا ِع ْن َد ُك ْم ِم َن هللاِ فِ ْي ِه بُرْ ه‬،ُ‫از َع ْاألَ ْم َر أَ ْهلَه‬
‫ان‬ ِ َ‫َوأَ ْن الَ نُن‬
“Kami berbai’at untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami suka
ataupun terpaksa, dalam keadaan sulit ataupun lapang, dan dalam keadaan
penguasa menahan hak-hak kami. Dan beliau membai’at kami agar kami
tidak menentang dan menarik/merebut perkara dari pemiliknya
(memberontak pada penguasa) kecuali bila kalian melihat kekufuran yang
nyata dari penguasa tersebut di mana di sisi kalian ada bukti/keterangan
yang nyata (8) dari Allah tentang kekafiran mereka.”
(HR. Al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:

‫ َو َم ْن أَ ْن َك َر‬،‫ئ‬
َ ‫ فَ َم ْن َك ِرهَ فَقَ ْد بَ ِر‬،‫ْرفُ ْو َن َوتُ ْن ِكر ُْو َن‬ ُ
ِ ‫ فَتَع‬،‫إِنَّهُ يُ ْستَ ْع َم ُل َعلَ ْي ُك ْم أ َم َرا ُء‬
‫صلَّوا‬َ ‫ الَ َما‬:‫ أَالَ نُقَاتِلُهُ ْم؟ قَا َل‬:‫ قَالُوا‬.‫ض َي َوتَابَ َع‬ ِ ‫ َولَ ِك ْن َم ْن َر‬،‫فَقَ ْد َسلِ َم‬

“Sungguh akan memimpin kalian para pimpinan yang kalian fahami


perbuatan mereka adalah perbuatan maksiat dan kalian mengingkari
perbuatan tersebut dilakukan. Maka barang siapa yang benci (terhadap
kejahatan/kezaliman pimpinan tersebut) sungguh ia telah berlepas diri dan
barang siapa yang mengingkarinya sungguh ia telah selamat, akan tetapi
siapa yang ridha dan mengikuti (kejahatan penguasa maka orang itu
bersalah).” Para sahabat bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kami
memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh, selama mereka masih
salat.” (HR. Muslim no. 1854)
Ibnu ‘Abbas Radiallahuanhu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi Sallallahu
‘alaihi wassalam:

‫ات‬َ ‫ق ْال َج َما َعةَ ِش ْبرًا فَ َم‬ َ َ‫ فَإِنَّهُ َم ْن ف‬، ْ‫َم ْن َرأَى ِم ْن أَ ِمي ِْره َش ْيئًا يَ ْك َرهُهُ فَ ْليَصْ بِر‬
َ ‫ار‬
ٌ‫ف ِم ْيتَةٌ َجا ِهلِيَّة‬

“Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang ia benci maka


hendaklah ia bersabar karena siapa yang meninggalkan jemaah (kaum
Muslimin di bawah pimpinan pemimpin tersebut) satu jengkal saja lalu ia
meninggal maka matinya itu mati jahiliah.”(9)
(HR. Al-Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)

Anas bin Malik Radiallahuanhu ‘anhu mengatakan: Para pembesar sahabat


Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dengan mengatakan:

‫ فَإِ َّن ْاألَ ْم َر‬،‫ َوالَ تَ ِغ ُّش ْوهُ ْم َوالَ تُ ْب َغض ُْوهُ ْم َواتَّقُوا هللاَ َواصْ بِر ُْوا‬،‫الَ تَ ُسبُّوا أُ َم َرا َء ُك ْم‬
ٌ‫قَ ِريْب‬
“Janganlah kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah
mengkhianati mereka dan janganlah membenci mereka. Bertakwalah kalian
kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya perkara itu dekat.” (HR.
Ibnu Abi ‘Ashim no. 1015 dalam Kitabus Sunnah, disahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah)

Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ashabul hadits


memandang salat Jumaat, salat dua ied dan shalat-shalat lainnya dilakukan
di belakang setiap imam/pimpinan Muslim yang baik ataupun yang
fajir/jahat. Mereka memandang untuk mendoakan taufik dan kebaikan untuk
penguasa serta tidak boleh memberontak, sekalipun para pimpinan tersebut
telah menyimpang dari keadilan dengan berbuat kejahatan, kelaliman dan
kesewenang-wenangan.”
(‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hal. 106)

Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah berkata menyebutkan i‘tiqad


(keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jemaah
“Kita memandang tidak bolehnya memberontak terhadap pimpinan dan
penguasa/pengatur perkara kita, sekalipun mereka itu zalim. Kita tidak boleh
mendoakan kejelikan untuknya dan kita tidak menarik ketaatan kita dari
ketaatan terhadapnya. Kita memandang taat kepada pimpinan merupakan
ketaatan kepada Allah Taala sebagai satu kewajiban, selama mereka tidak
memerintahkan untuk bermaksiat. Dan kita mendoakan kebaikan dan
kelapangan/permaafan untuk mereka.”
(Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, hal. 379)

Al-Aini berkata menerangkan hadits Ibnu ‘Abbas Radiallahuanhu ‘anhu di


atas:

“Yakni hendaklah ia bersabar atas perkara yang dibenci tersebut dan tidak
keluar dari ketaatan kepada penguasa. Karena hal itu akan mencegah
tertumpahnya darah dan menenangkan dari kobaran fitnah, kecuali bila
imam/penguasa tersebut kafir dan menampakkan penyelisihan terhadap
dakwah Islam maka dalam keadaan demikian tidak ada ketaatan kepada
makhluk.”
(‘Umdatul Qari, 24/178; Fiqhus Siyasah Asy-Syar`iyyah hal. 173)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata

“Yang masyhur dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jemaah adalah mereka
memandang tidak boleh keluar memberontak kepada para pemimpin dan
memerangi mereka dengan pedang, sekalipun pada mereka ada kezaliman.
Sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih dari Nabi
Sallallahu ‘alaihi wassalam, karena kerosakan yang ditimbulkan dalam
peperangan dan fitnah lebih besar daripada kerosakan yang dihasilkan
kezaliman mereka tanpa perang dan fitnah.” (Minhajus Sunnah, 3/213).
Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Rasulullah Sallallahu ‘alaihi was-
salam sungguh telah melarang untuk memerangi para penguasa/pimpinan,
padahal beliau mengabarkan bahawa para pimpinan tersebut melakukan
perkara-perkara yang mungkar. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya
mengingkari penguasa dengan menghunuskan pedang (perang) sebagaimana
pandangan kelompok-kelompok yang memerangi penguasa baik dari
kalangan Khawarij, Zaidiyyah mahupun Mu’tazilah.”
(Minhajus Sunnah, 3/214)

Dalam Majmu’ul Fatawa (35/12) beliau juga menyatakan

“Adapun ahlul ilmi wad din dan orang yang Allah berikan kepadanya
keutamaan, mereka tidak memberikan rukhsah (keringanan) kepada seorang
pun dalam perkara yang Allah larang berupa bermaksiat kepada wulatul
umur (pemimpin), menipu mereka dan memberontak terhadap mereka dari
satu sisi pun. Sebagaimana prinsip ini diketahui dari Ahlus Sunnah dan
orang-orang yang berpegang teguh terhadap agama, baik orang-orang yang
terdahulu mahupun yang belakangan.”

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata

“Wajib bagi kaum Muslimin untuk taat kepada wulatul umur dalam perkara
makruf, bukan dalam perkara maksiat. Bila ternyata mereka memerintahkan
kepada maksiat maka tidak boleh ditaati, namun tidak boleh
keluar/memberontak kepada mereka karena perbuatan maksiat mereka
tersebut.

Dan di antara dalilnya adalah sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam:

‫ فَإِ ْن أُ ِم َر‬،‫ْصيَ ٍة‬


ِ ‫ إِالَّ أَ ْن ي ُْؤ َم َر بِ َمع‬،َ‫َعلَى ْال َمرْ ِء ال َّس ْم ُع َوالطَّا َعةُ فِ ْي َما أَ َحبَّ َو َك ِره‬
َ‫صيَ ٍة فَالَ َس ْم َع َوالَ طَا َعة‬ ِ ‫بِ َم ْع‬

“Wajib bagi seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai
dan benci, kecuali ia diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah
berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.”(10)
Juga ketika disebutkan kepada para sahabat tentang para pemimpin yang
mereka fahami perbuatan para pemimpin itu adalah perbuatan maksiat dan
mereka mengingkari perbuatan tersebut, para sahabat bertanya kepada beliau
n: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami apabila kami
menyaksikan perkara tersebut?”

Beliau Sallallahu ‘alaihi wassalam menjawab:

‫أَ ُّد ْوا إِلَ ْي ِه ْم َحقَّهُ ْم َو َسلُوا هللاَ َحقَّ ُك ْم‬

“Tunaikan hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(11)

Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mereka menentang wulatul umur dan
tidak bolehnya mereka keluar memberontak kecuali bila mereka melihat
kekufuran yang nyata yang mereka punya bukti yang nyata dari Allah Taala
tentang kekufuran mereka.

Memberontak kepada wulatul umur (penguasa) itu dilarang tidak lain karena
akan menyebabkan kerosakan yang besar dan kejelikan yang tidak sedikit.
Di antaranya akan terganggu keamanan dan mensia-siakannya hak, tidak
diperolehnya kemudahan untuk mencegah kezaliman orang yang berbuat
zalim dan tidak dapat memberi pertolongan kepada orang yang dizalimi dan
jalan-jalan menjadi tidak aman. Sehingga jelaslah, memberontak terhadap
wulatul umur memberi impak kerosakan dan kejelikan yang besar, terkecuali
bila kaum Muslimin melihat kekufuran yang nyata yang mereka punya bukti
yang tentang kekufuran mereka.

Dalam keadaan seperti ini tidak nyata dari Allah apa-apa mereka melakukan
upaya untuk menggulingkan penguasa tersebut jika memang kaum Muslimin
memiliki kekuatan. Namun bila tidak memiliki kekuatan, mereka tidak boleh
melakukan hal tersebut. Atau bila mereka keluar (memberontak, red) dari
penguasa tersebut akan menyebabkan kejelikan yang lebih besar maka tidak
boleh mereka keluar demi menjaga kemaslahatan umum.
Kaedah syariah yang disepakati menyatakan:

tidak boleh menghilangkan kejelikan dengan mendatangkan apa yang lebih


jelik daripada kejelikan yang sebelumnya, bahkan wajib menolak kejelikan
dengan apa yang memang bisa menghilangkannya atau meringankannya.
Adapun menolak kejelikan dengan kejelikan yang lebih besar tidaklah
dibolehkan dengan kesepakatan kaum Muslimin.”
(Fiqhus Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 263-264, Fatawa Al-’Ulama Al-
Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair hal. 70-71)

Fadhilatusy Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata

“Tidak boleh memberontak kepada pemimpin dan menentang mereka,


terkecuali:
Pertama: ketika mereka kafir dengan kekufuran yang nyata berdasarkan
sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam :

‫إِالَّ أَ ْن تَ َر ْوا ُك ْفرًا بَ َواحًا‬


“kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata…”. (Muttafaqun alaihi)
(12)
Kedua: memiliki ilmu tentang kekafiran mereka, dan ulama-lah dalam hal
ini yang menilainya.

Ketiga: terealisirnya maslahat dalam hal ini dan tertolaknya mafsadat, dan
yang menetapkan yang demikian ini dan yang menilainya juga ahlul ilmi.

Keempat: adanya kemampuan (yang hakiki) yang dimiliki kaum Muslimin


untuk menyingkirkan pemimpin yang kafir itu.
Dengarkanlah wahai kaum Muslimin, nasihat yang sangat berharga dari
beliau rahimahullah

“Umumnya kekuatan dan kemampuan itu berada di tangan


pemerintah, maka aku nasihatkan agar kaum Muslimin
untuk berpegang dengan ilmu dan dakwah dengan hikmah,
serta tidak masuk dalam perkara yang nantinya berisiko
akan berhadapan dengan pemerintah…” (Fatawa
Al-’Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair,
hal. 135-136)

Hukuman bagi Pemberontak


Orang yang keluar dari jemaah kaum Muslimin yang dipimpin oleh
penguasa dari kalangan Muslimin dan memberontak kepada pemerintah
yang sah bererti ia ingin memecah-belah persatuan kaum Muslimin dan
memperhadapkan kaum Muslimin kepada fitnah, bahaya dan kerosakan
yang besar. Sungguh tidak ada alasan baginya untuk berbuat demikian
karena syariat telah menetapkan agar kita senantiasa taat kepada pemimpin
dalam perkara yang makruf, sama saja baik pemimpin itu baik ataupun
jahat/zalim selama ia masih Muslim.

Al-Imam Al-Lalikai rahimahullah berkata menukilkan ucapan Al-Imam


Ahmad bin Hambal rahimahullah

“Siapa yang keluar memberontak terhadap satu pemimpin dari pemimpin-


pemimpin kaum Muslimin sementara manusia telah berkumpul dalam
kepemimpinannya dan mengakui kekhalifahannya dengan cara bagaimana
pun dia memegang jabatan tersebut baik dengan keredaan atau dengan
penguasaan, orang yang memberontak itu bererti telah memecahkan tongkat
persatuan kaum Muslimin dan menyelisihi atsar dari Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wassalam . Bila pemberontak itu mati dalam keadaan berbuat
demikian maka matinya mati jahiliah. Dan tidak halal bagi seorang pun
untuk memerangi sultan dan tidak pula keluar dari ketaatan padanya. Barang
siapa yang melakukannya bererti dia adalah ahlul bidaah, dia tidak berada di
atas As Sunnah dan tidak di atas jalan yang benar.” (Syarhu Ushul I’tiqad
Ahlis Sunnah wal Jemaah, 1/181; Fatawa Al-Ulama Al-Akabir Fima Uhdira
Min Dima` fi Al-Jazair, hal. 28)

Al-Imam As-Sindi berkata

“Penjagaan dan pertolongan Allah akan menyertai kaum Muslimin apabila


mereka bersepakat/bersatu. Maka barang siapa yang ingin memecah-belah
Di antara mereka bererti sungguh ia berkeinginan memalingkan pertolongan
Allah dari mereka.”
(Sunan An-Nasa`i bi Hasyiyah As-Sindi, 7/92)

Fadhilatusy Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata

“Memberontak pada pemerintah, tidaklah dibolehkan secara mutlak. Karena


itulah kami memandang para pemberontak itu atau orang-orang (da’i) yang
mengajak untuk memberontak tersebut, bisa jadi mereka itu musuh Islam
yang menyusup di tengah kaum Muslimin, atau mereka itu Muslimin namun
mereka berada pada puncak kejahilan tentang Islam yang Allah turunkan
kepada hati Muhammad n.”
(Fatawa Al-Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair, hal. 94)

Karena besarnya kesalahan yang diperbuat oleh para pemberontak pengacau


persatuan kaum Muslimin ini, maka syariat memberikan hukuman yang
keras bagi mereka dalam rangka mencegah kerosakan yang mereka
timbulkan.
Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam dalam
sabda beliau di atas:

َ ‫صا ُك ْم أَ ْو يُفَ ِّر‬


‫ق‬ َ ‫ق َع‬ َّ ‫ ي ُِر ْي ُد أَ ْن يَّ ُش‬،‫اح ٍد‬
ِ ‫ َوأَ ْم ُر ُك ْم َج ِم ْي ٌع َعلَى َرج ٍُل َو‬،‫َم ْن أَتَا ُك ْم‬
ُ‫ فَا ْقتُلُ ْوه‬،‫َج َما َعتَ ُك ْم‬
“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah
berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin
memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jemaah kalian,
maka penggallah orang tersebut.”

Dalam lafaz lain:

،ٌ‫ َو ِه َي َج ِم ْيع‬،‫ق أَ ْم َر هَ ِذ ِه ْاألُ َّم ِة‬


َ ‫ فَ َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يُفَ ِّر‬.‫ات‬
ٌ َ‫ات َوهَن‬
ٌ َ‫إِنَّهُ َستَ ُك ْو ُن هَن‬
َ ‫ َكائِنًا َم ْن َك‬،‫ْف‬
‫ان‬ ِ ‫فَاضْ ِرب ُْوهُ بِال َّسي‬

“Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka siapa yang
ingin memecah-belah perkara umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah
berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan maka perangilah/bunuhlah
orang tersebut siapa pun dia.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata

“Dalam hadits ini terdapat perintah untuk memerangi orang yang


keluar/memberontak terhadap imam, atau ia ingin memecah-belah kalimat
(persatuan) kaum Muslimin dan semisalnya dan ia dilarang dari berbuat
demikian. Namun bila ia tidak berhenti maka ia diperangi dan jika
kejelikan/kejahatannya tidak bisa ditolak/dicegah kecuali dengan
membunuhnya maka ia boleh dibunuh.”
(Syarhu Muslim, 13/241)
Demikianlah hukuman bagi perongrong(menyusahkan dan merosakkan)
kedaulatan pemerintah kaum Muslimin yang sah dan pemecah belah
persatuan kaum Muslimin, mereka boleh diperangi dan dibunuh oleh
penguasa untuk menolak dan mencegah kejahatan dan kerosakan yang
ditimbulkannya!

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditanyakan kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah:

“Wahai Fadhilatusy Syeikh, sangat disayangkan di sana ada orang yang


membolehkan keluar (memberontak) dari pemerintah tanpa memperhatikan
ketentuan-ketentuan syariah. Sebenarnya apa manhaj kita dalam
berhubungan dengan penguasa Muslim dan selain Muslim?”

Beliau hafizhahullah menjawab

“Manhaj kita dalam berhubungan dengan penguasa Muslim


adalah mendengar dan taat.

Allah Taala berfirman:

‫يَا أَيًّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُوا أَ ِط ْيعُوا هللاَ َوأَ ِط ْيعُوا ال َّرس ُْو َل َوأُولِي ْاألَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم‬
‫ك َخ ْي ٌر‬ َ ِ‫آلخ ِر َذل‬ِ ‫فِي َش ْي ٍء فَ ُر ًّد ْوهُ إِلَى هللاِ َوال َّرس ُْو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُ ْو َن بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم ْا‬
ً‫َوأَحْ َس ُن تَأْ ِو ْيال‬

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah
kepada Rasulullah dan ulil amri Di antara kalian. Maka jika kalian berselisih
dalam sesuatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika
memang kalian itu beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An-Nisa`: 59)
Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

ِ ‫أُ ْو‬
ْ‫ فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِعش‬،‫ َوإِ ْن تَأ َ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد‬،‫ َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة‬،ِ‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللا‬
‫َّاش ِدي َْن ْال َم ْه ِديِّي َْن ِم ْن‬
ِ ‫ فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِ«ء الر‬،‫اختِالَفا ً َكثِ ْيرًا‬
ْ ‫ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َرى‬
‫بَ ْع ِدي‬

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk


mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak.
Karena sungguh (kelak) orang yang masih hidup Di antara kalian akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang
dengan Sunnah ku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun Al-Mahdiyyun
sepeninggalan ku.”(13)
Hadits ini sangat sesuai dengan ayat di atas (An-Nisa: 59).

Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

َ ‫صى ْاألَ ِمي َْر فَقَ ْد َع‬


‫صانِي‬ َ ‫ َو َم ْن َع‬،‫َم ْن أَطَا َع ْاألَ ِمي َْر فَقَ ْد أَطَا َعنِي‬
“Siapa yang taat kepada pemimpin bererti ia taat kepadaku dan siapa yang
bermaksiat kepada pemimpin bererti ia telah bermaksiat kepada ku.”(14)

Dan hadits-hadits lainnya yang berisi hasungan untuk mendengar dan taat.
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:

َ ‫ب ظَ ْه ُر‬
‫ك‬ َ ‫ُر‬ َ ُ‫ا ْس َم ْع َوأَ ِط ْع َوإِ ْن أُ َخ َذ َمال‬
ِ ‫ك َوض‬
“Dengar dan taatlah sekalipun diambil hartamu dan dipukul
punggungmu.”(15)

Dengan demikian, pemimpin kaum Muslimin wajib ditaati dalam rangka


ketaatan kepada Allah k. Apabila ia memerintahkan kepada maksiat maka
tidak boleh ditaati dalam perkara tersebut, namun dalam perkara selain
maksiat ia harus ditaati.
Adapun dengan pemimpin kafir, maka hal ini berbeda-beda sesuai dengan
perbezaan keadaan. Bila kaum Muslimin punya kekuatan dan punya
kemampuan untuk memeranginya dan menggesernya dari pemerintahan lalu
menggantinya dengan pemimpin yang Muslim, maka hal itu wajib dilakukan
dan termasuk jihad fi sabilillah.

Adapun bila mereka tidak mampu menggesernya maka tidak boleh bagi
mereka untuk menebarkan benih permusuhan dan kebencian dengan
(menyebut-nyebut) kezaliman dan kekafiran si penguasa, karena hal tersebut
justru akan mengembalikan kemudharatan dan kebinasaan kepada kaum
muslimin.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tinggal di Makkah selama 13 tahun


setelah diangkatnya beliau sebagai nabi, sementara Makkah ketika itu
dikuasai orang-orang kafir. Beliau dan orang-orang yang beriman dari
kalangan shahabatnya tidaklah memerangi orang-orang kafir tersebut.
Bahkan pada saat itu mereka dilarang memerangi orang-orang kafir.

Mereka tidaklah diperintah untuk berperang melainkan


setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam berhijrah,
dimana ketika itu beliau telah memiliki daulah dan jamaah
sehingga mereka mampu memerangi orang kafir.

Inilah manhaj Islam.


Dengan demikian bila kaum muslimin di bawah pemerintahan kafir dan
mereka tidak punya kemampuan untuk menggesernya maka mereka
berpegang teguh dengan keislaman mereka dan aqidah mereka, dan mereka
jangan mempertaruhkan diri mereka untuk menghadapi orang-orang kafir.
Karena hal itu akan berakibat kebinasaan bagi mereka dan dakwah Islam di
negeri itu pun akan berakhir. Adapun bila mereka punya kekuatan yang
dengannya mereka mampu untuk berjihad maka mereka berjihad di jalan
Allah menurut ketentuan syar‘iyyah yang ma’ruf.”

(Fiqhus Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal. 287-288)

Footnote :
1. HR. Abu Dawud no. 2608. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam Ash-
Shahihah no. 1322: Sanadnya hasan
2. HR. Ahmad 2/176-177. Hadits ini sebagai syahid (pendukung) hadits di atas, kata Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah: Rijaln-ya (perawinya) tsiqat
(terpercaya) kecuali Ibnu Lahi’ah, dia buruk hafalannya.
3. HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, no. 8/162
4. HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 22
5. QS. Adz-Dzariyat: 56
6. QS. Al-Anbiya: 25
7. QS. Hud: 1
8. Yakni keterangan dari ayat Al Qur`an atau hadits yang shahih yang tidak mungkin
ditakwil, yakni tegas dan jelas. Dari sini dipahami bahwa tidak boleh memberontak
kepada penguasa selama perbuatan mereka masih mungkin untuk ditakwil. (Fathul Bari,
13/10)
9. Keadaan matinya seperyi matinya orang jahiliyyah di atas kesesatan dalam keadaan ia
tidak punya imam/pemimpin yang ditaati karena orang-orang jahiliyyah tidak mengenal
hal itu. Bukan maksudnya di sini orang itu mati kafir, akan tetapi ia mati dalam keadaan
maksiat. (Fathul Bari, 13/9)
10. HR. Al-Bukhari no. 2955 dan Muslim no. 1839
11. HR. Al-Bukhari no. 7052 dan Muslim no. 1843
12. HR. Al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709
13. HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676 dan ia berkata: hadits hasan
shahih. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no.
3851 dan Shahih At-Tirmidzi no. 2157
14. HR. Al-Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835
15. Dalam hadits Hudzaifah Radiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda kepadanya:
‫ فَا ْس َم ْع َوأَ ِط ْع‬،َ‫ك َوأُخَ َذ َمالُك‬ َ ‫ب‬
َ ‫ظ ْه ُر‬ ِ ‫“ ت ْس َم ُع َوتُ ِط ْي ُع لِألَ ِمي ِْر َوإِ ْن ض‬Engkau mendengar dan menaati
َ ‫ُر‬
penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka tetap
mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim no. 1847)

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul asli
"Khilafah, Imamah dan Pemberontakan, karya Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
Al-Atsari, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?
menu=detil&id_online=291)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=981

You might also like