Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Obat adalah senyawa kimia organik yang dapat berinteraksi secara selektif
dengan sistem biologi. Obat dapat digolongkan dengan berbagai cara, misalnya
berdasarkan aksi farmakologisnya atau berdasarkan struktur kimianya. Untuk
kepentingan terapi, obat mungkin lebih mudah jika digolongkan berdasarkan aksi
farmakologisnya. Namun untuk memprediksi suatu reaksi alergi atau idiosinkrasi,
penggolongan obat berdasarkan struktur kimia mungkin akan membantu, karena
obat dengan struktur kimia serupa mungkin menghasilkan reaksi yang hampir
sama. Untuk itu kadang digabung antara penggolongan berdasar aksi farmakologi
dan struktur kimia, contoh obat golongan sulfa, antibiotika golongan makrolida
atau antidepresan trisiklik (Ikawati, 2008).
Untuk dapat menghasilkan efek, obat harus melewati berbagai proses yang
menentukan, yaitu absorpsi, dstribusi, metabolisme, dan eliminasinya, namun
yang terpenting adalah bahwa obat harus dapat mencapai tempat aksinya. Dengan
semakin diketahuinya interaksi obat dan reseptornya pada tingkat molekuler, dan
untuk kepentingan pengembangan penemuan obat baru, maka berkembanglah
penggolongan obat berdasarkan tempat aksinya, yang kemudian bisa dirinci lebih
jauh (Ikawati, 2008).
Ada beberapa tempat yang bisa menjadi target aksi obat, salah satunya
yaitu pada reseptor. Reseptor merupakan target aksi obat yang utama dan paling
banyak. Reseptor didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler yang secara
spesifik dan langsung berikatan dengan ligan (obat, hormon, neurotransmitter)
untuk memicu proses biokimia antara dan di dalam sel yang akhirnya
menimbulkan efek. (Ikawati, 2008)
Berdasarkan transduksi sinyalnya reseptor dapat digolongkan ke dalam
beberapa kelompok, salah satunya yaitu reseptor yang terkait dengan aktivitas
kinase (tyrosine kinase-linked receptor). Reseptor ini merupakan reseptor single
transmembrane (sekali melintasi membrane), yang memiliki ativitas kinase dalam
transduksi signalnya. Contohnya adalah reseptor sitokin, reseptor insulin dan
reseptor growth factor (Ikawati, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu ;
a.
b.
c.
d.
e.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami mengenai reseptor insulin dan contoh obat-obat yang termasuk agonis
dan antagonis reseptor insulin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Reseptor
Reseptor didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler yang secara
agonis adalah suatu ligan yang jika berikatan dengan reseptor dapat menghasilkan
efek, antagonis dapat berikatan dengan reseptor tetapi tidak menghasilkan efek.
Dalam hal ini agonis dikatakan memiliki afinitas (kemampuan berikatan) dengan
reseptor dan efikasi (kemampuan menghasilkan efek). Sedangkan antagonis
memiliki afinitas tetapi tidak memiliki efikasi. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis
atau ligan akan diikuti oleh respons biokimia atau fisiologi yang melibatkan
molekul-molekul pembawa pesan yang dinamakan second messengers (Ikawati,
2008).
Ikatan antara suatu ligan/obat dan reseptornya tergantung pada kesesuaian
antara dua molekul tersebut. Semakin sesuai dan semakin besar afinitasnya, akan
semakin kuat interaksi yang terbentuk. Selain itu, ikatan antara ligan-reseptor juga
memiliki spesifitas, yaitu bahwa suatu ligan dapat mengikat satu tipe reseptor
tertentu. Jika suatu ligan dapat berikatan dengan beberapa tipe reseptor, maka
ligan itu dinyatakan kurang spesifik. Spesifisitas ini dapat bersifat kimiawi atau
biologi. Spesifitas kimiawi artinya adanya perubahan struktur kimia atau
stereoisomerasi saja, dapat menyebabkan perbedaan kekuatan ikatan dengan
reseptor yang pada gilirannya mempengaruhi efek farmakologinya. Sedangkan
spesifisitas biologi artinya efek yang dihasilkan oleh interaksi ligan dan reseptor
yang sama dapat berbeda kekuatannya jika terdapat pada jaringan yang berbeda.
Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau hormone akan diikuti oleh respon
biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul yang dinamakan second
messenger (Ikawati, 2008).
hidup sel, dan modulasi pada metabolisme seluler. Aktivitas yang tidak terkontrol
dari enzim ini, misalnya terjadi mutasi atau overekspresi, dapat menyebabkan
gangguan serius seperti kanker, penyakit inflamasi, dan lain-lain (Ikawati, 2008).
Reseptor tirosin kinase (Tyrosine kinase-linked receptor) merupakan
reseptor membrane sel terbanyak kedua setelah reseptor tergandeng protein G.
Reseptor ini adalah protein trans-membran yang memiliki satu segmen
transmembran, atau dikatakan berbentuk monomer. Keluarga reseptor tirosin
kinase (RTK) memiliki struktur yang mirip. Mereka memiliki satu tyrosine kinase
domain, yang akan memfosforilasi protein pada residu tirosin, satu hormone
binding domain, yaitu tempat ikatan dengan ligan atau hormon, dan satu segmen
karboksil terminal dengan tirosin ganda untuk autofosforilasi (Ikawati, 2008).
Gambaran skematik struktur RTK dapat digambarkan sebagai berikut:
mengaktifkan Raf, suatu tirosin kinase seluler yang selanjutnya akan memicu
serangkaian peristiwa fosforilasi protein yang berurutan yaitu: MEK, ERK, dan
faktor transkripsi. Rangkaian fosforilasi ini disebut kinase cascade.
2.4.
Reseptor Insulin
Insulin merupakan protein kecil (6000 Dalton) yang disekresi oleh sel pankreas, yang terkait erat dengan transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Kurangnya produksi insulin menyebabkan penyakit diabetes melitus yang
dikarakterisir oleh tingginya kadar gula darah. Aksi insulin sendiri sebenarnya
bersifat pleiotropik, yaitu bisa memperantarai berbagai fungsi yang berbeda pada
sel-sel yang berbeda, tidak hanya mengatur kadar gula darah. Insulin menjalankan
aksinya jika berikatan dengan reseptor insulin.
Reseptor insulin termasuk reseptor tirosin kinase, namun tidak sama
dengan RTK lainnya yang berbentuk monomer, reseptor ini berbentuk dimer.
Reseptor insulin terdiri dari 2 subunit dan 2 subunit yang dihubungkan
dengan ikatan disulfida. Rantai berada dibagian ekstraseluler dan merupakan
domain ikatan insulin, sedangkan rantai berada menembus membran.
Pengikatan suatu ligan (insulin) pada subunit reseptornya akan menyebabkan
subunit mengalami autofosforilasi, yang selanjutnya memicu aktivitas katalitik
reseptornya. Terdapat beberapa tempat autofosforilasi pada domain intraseluler
subunit , yang masing-masing akan mengarahkan pada jalur signaling dan fungsi
yang berbeda. Salah protein yang menjadi efektor utama bagi reseptor insulin
adalah insulin receptor substrate 1 atau IRS-1 yang terikat dengan protein Grb2,
suatu protein adaptor memiliki Sh2 domain. Jiak IRS-1 terfosforilasi, maka ia
akan memicu beberapa jalur signaling, yaitu:
1. Jalur IRS/PI3-K (phosphatidylinositol 3-kinase)
Jalur ini mengarah pada beberapa fungsi, antara lain translokasi GLUT-4,
suatu transporter glukosa, dari sitoplasma menuju membran sel, untuk selanjutnya
memfasilitasi transport glukosa masuk ke dalam sel. Tanpa insulin dan aktivasi
reseptornya, GLUT-4 tetap berada di dalam sitoplasmik dan tidak berfungsi untuk
mentranspor glukosa. Jika kadar glukosa turun atau reseptor insulin tidak lagi
teraktivasi, GLUT-4 akan kembali ke sitoplasma. Jalur ini juga mengarahkan pada
sintesis glikogen, protein dan lipid.
2. Jalur Ras/MAPK (mitogen-activated protein kinase), jalur ini
mengarahkan pada pertumbuhan dan proliferasi sel serta ekspresi
gensecar umum.
3. Jalur Cbl/CAP. Jalur ini juga berkontribusi terhadap proses tranlokasi
GLUT-4 ke membran sel.
2.4.1
Glukosa Transporter
Membrane sel yang berstruktur bilayer lipid akan menyebabkan sifat
10
GLUT 1 sehingga sel tersebut mapu memasukkan glukosa ke dalam sel dalam
konsentrasi yang rendah di darah tanpa membutuhkan insulin. Sementara itu
GLUT 4 pada sel adipose dan sel otot membutuhkan insulin dan konsentrasi
glukosa yang tinggi. PI 3-kinase merupakan protein yang penting dalam
translokasi GLUT 4 ke membrane sel pada sel otot dan adipose dan menginduksi
enzim-enzim yang bekerja pada downstream (Wilcox, 2005).
2.4.2 Mekanisme Molecular Uptake Glukosa
GLUT-4 adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel
otot dan sel lemak. Konsentrasi glukosa fisiologis adalah 36-179 mg per desiliter
(2 sampai 10 mmol per liter). Pentingnya GLUT-4 dalam homeostasis glukosa
ditunjukkan melalui penelitian pada tikus di mana satu alel dari GLUT-4 gen
diganggu. Tikus-tikus ini mengalami pengurangan 50 persen konsentrasi GLUT-4
pada otot rangka, jantung, dan sel lemak, dan mereka mengalami resistensi insulin
berat; diabetes berkembang pada setidaknya setengah tikus jantan (Sheperd et al,
1999).
Pada sel otot dan sel lemak normal, GLUT-4 didaur ulang antara membran
plasma dan vesikel penyimpanan intraseluler. GLUT-4 berbeda dari transporter
glukosa lain, yaitu sekitar 90 persen terletak di intrasel saat kondisi tidak ada
rangsang insulin atau rangsangan lain seperti olahraga (Sheperd et al, 1999)
Dengan adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan dari proses daur ulang
ini diubah untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel penyimpanan
intraseluler ke arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada sel
otot,. Efek bersihnya adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke
dalam sel. (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000).
11
12
percobaan kultur sel. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu atau kedua kinase
tersebut adalah mediator kimia dalam proses insulin merangsang translokasi
GLUT-4 in vivo. Isoform atipikal protein kinase C adalah kandidat yang baik:
telah dibuktikan bahwa menghalangi kerja mereka akan melemahkan pergerakan
GLUT-4, sedangkan penelitian di mana aktivasi protein kinase B diblok memiliki
hasil yang bertentangan. Selanjutnya, pada sel otot dari subyek diabetes, pada
konsentrasi insulin fisiologis, stimulasi transpor glukosa terbukti terganggu,
sedangkan aktivasi protein kinase B normal (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000).
Gambar 5. Jalur sinyal insulin dalam metabolisme glukosa di sel otot dan adiposa
2.5.
Transduksi Sinyal Oleh Reseptor Insulin
Ikatan ligan insulin dan reseptor insulin menyebabkan
autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada bagian
13
glukosa.
GLUT-4
14
di
membran
luar
jaringan,
insulin
(second
messenger)
Reseptor insulin dikode oleh gen yang disebut gen IRS 1.
Protein inilah yang berperansebagai second messenger.
Gen IRS 1 ini terletak pada kromosom 2q35 36.1
yangterdiri 2 ekson yang mengandung 64538 basa. Kodon
927 terletak pada ekson 1. Molekulprotein IRS 1 terdiri atas
1242 residu asam amino dengan berat molekul 131.592
kDa.Fungsi gen IRS 1 menyandi sintesis protein IRS 1 yang
diekspresikan secara luas padajaringan yang peka insulin
yaitu otot skelet, hepar, jaringan adiposa dan sel beta
pancreas.
b. Kelainan akibat mutasi gen IRS 1
Kelainan akibat mutasi gen IRS 1 akan menyebabkan
penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Kelainan yang terjadi
berupa polimorfisme G972R gena IRS 1 yaitu terjadi
substitusi antara asam amino glisin (G) menjadi arginin (R),
kedua asam amino tersebut mempunyai struktur muatan
yang
berbeda
sehingga
menyebabkan
perubahan
15
turun
dan
terjadilah
resistensiinsulin
yang
sulfonilurea berikatan dengan reseptornya, saluran ini akan ikut tertutup dan efluk
K+ dihambat. Hal ini menimbulkan depolarisasi membran sel dan pembukaan
voltage-dependent plasma membrane calcium channels sehingga terjadi influk
Ca++. Peningkatan Ca++ sitosolik akan mengaktivasi sistem sitoskeletal yang
bertanggung jawab terhadap translokasi granul-granul ke permukaan sel dan
pelepasan insulin.
16
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Reseptor Insulin
merupakan salah satu contoh dari reseptor Tirosin Kinase. Reseptor insulin
berbentuk dimer, terdiri dari 2 sub unit dan 2 sub unit yg di hubungkan dg
ikatan disulfida. Trandsuksi sinyal pada reseptor ini sama halnya dengan
transduksi sinyal pada Reseptor Tirosin Kinase yaitu Jalur Ras/Raf/MAP kinase
dan Jalur Jak/Stat. obat-obat yang berhubungan dengan reseptor insulin ini adalah
obat-obat antidibates oral seperti golongan sulfunilurea.
3.2.
Saran
Diharapkan diperolehnnya informasi lebih mengenai obat-obat yang
bekerja pada reseptor insulin karena ketebatasan sumber dalam memperoleh info
mengenai mekanisme kerja obat anti diabetes oral di tingkat seluler.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ikawati, Zullies. 2008. Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Syamsudin, Dr. 2013. Farmakologi Molekuler : Mekanisme Kerja Obat pada
Tingkat Molekuler. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Paulus W, Ignatia SM: Glimepiride, 2004, DEXA MEDIA, No. 2, Vol. 17, April Juni 2004.
18