You are on page 1of 57

BAB I

PATOLOGI ANATOMI
1. INFLAMASI

Inflamasi adalah respons terhadap cedera dan infeksi. Ketika proses inflamasi
berlangsung terjadi reaksi vaskuler dimana cairan, elemen - elemen darah,
leukosit, dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi.
Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan dimana tubuh
berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen - agen yang berbahaya pada
tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan.
Respons inflamasi adalah respons fisiologis terhadap kerusakan jaringan.
Tujuan respons inflamasi adalah melindungi, mengisolasi, menonaktifkan dan
mengeluarkan agens penyebab serta jaringan yang rusak sehingga dapat terjadi
pemulihan.

Berbagai penyebab inflamasi terdiri dari:


Mikroorganisme
Agen fisik, seperti suhu yang ekstrim, cedera mekanis, sinar ultraviolet, dan
radiasi ion
Agens kimia (misalnya asam basa)
Antigen yang menstimulasi respons imunologis
Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar yaitu:
Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari beberapa
menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan
protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
Gambaran sistemik pada radang akut berupa leukositosis.
Reaksi inflamasi akut diuraikan dalam serangkaian tahap yang tumpang
tindih antara peningkatan aliran darah, peningkatan pembentukan cairan
jaringan dan migrasi leukosit. Ringkasan peristiwa tersebut terdiri dari:
a. Vasokontriksi terjadi dengan segera, tetapi berlangsung singkat
b. Pelepasan zat kimia inflamasi atau mediator (misanya histamine, dan lain
- lain) oleh jaringan rusak, sel mast, basofil, sitokin dan aktivasi
komplemen. Pelepasan ini menyebabkan vasodilatasi dan hiperemia lokal
karena peningkatan aliran darah ke area tersebut.
c. Pelepsan zat kimia inflamasi juga meningkatkan permeabilitas kapiler
terhadap eksudasi cairan dan protein yang bocor dari darah ke jaringan.
Eksudat membawa pasokan oksigen, bahan bakar dan leukosit ekstra
yang membantu melarutkan setiap toksin mikroba.
Eksudat adalah timbunan cairan ekstravaskuler

yang

memiliki

konsentrasi protein yang tinggi, debris seluler dan memiliki berat jenis
lebih dari 1.020.
d. Leukosit ekstra awalnya neutrofil, lalu monosit (yang menjadi
makrofag), dan limfosit (yang melibatkan patogen) berpindah ke area
inflamasi karena zat kimia inflamasi dan zat kimia yang dilepaskan oleh
mikroorganisme dalam suatu proses yang disebut kemotaksis positif.
Kemotaksis adalah emigrasi leukosit di dalam jaringan menuju tempat
jejas sepanjang gradient kimiawi. Hal ini dapat terjadi dengan stimuli
exogenus agent yaitu produk dari bakteri, dan endogenous agent yaitu
berbagai mediator kimia.
Sementara itu aliran darah yang lebih lambat memungkinkan leukosit
berpindah (ke sisi kapiler)
2

e. Leukosit melekat ke endotel kapiler dan bergerak ke dinding kapiler


menuju area yang rusak melalui proses yang disebut diapedesis.
f. Setelah neutrofil dan kemudian makrofag mencapai area yang telah
rusak, keduanya mulai menyingkirkan mikroorganisme dan jaringan
yang rusak dengan cara fagositosis pus jika terbentuk adalah campuran
dari leukosit yang mati, debris jaringan, mikroorganisme dan eksudat.
Fagositosis ditingkatkan dengan keberadaan immunoglobulin (antibodi)
dan komplemen
g. Tahap respons inflamasi terakhir adalah pembersihan debris oleh

makrofag, sehingga proses pemulihan dapat berlanjut


Inflamasi kronik adalah radang yang berlangsung lebih lama (berhari-hari
sampai bertahun-tahun) dan ditandai terutama adanya limfosit. Inflamasi
Granulomatous merupakan suatu pola inflamasi kronik khusus. Radang
granulomatosa berupa: Tuberculosis, Lepra, Sarcoidosis, Gumma Syphillis.
Keradangan akibat kuman tuberculosa memberikan gambaran spesifik
berupa sel-sel epiteloid (Brooker, 2008).
Tanda - tanda inflamasi
Lima ciri khas dari inflamasi adalah kemerahan, panas, pembengkakan, nyeri
dan hilangnya fungsi. Dua tahap inflamasi adalah tahap vaskuler yang terjadi
10 - 15 menit setelah terjadinya cedera dan tahap lambat. Tahap vaskuler
berkaitan dengan vasodilatasi dan bertambahnya permeabilitas kapiler dimana
substansi darah dan cairan meninggalkan plasma dan menuju tempat cedera.
Tahap lambat terjadi ketika leukosit menginfiltrasi jaringan inflamasi.
Berbagai mediator kimia dilepaskan selama proses inflamasi. Prostaglandin
yang telah berhasil diisolasi dari eksudat pada tempat inflamasi adalah salah
satu diantaranya. Prostaglandin (mediator kimia) mempunyai banyak efeknya,
termasuk diantaranya adalah vasodilatasi, relaksasi otot polos, meningkatnya
permeabilitas kapiler,dan sensitisasi sel - sel syaraf terhadap nyeri (Kee,
2006).
Efek sistemik inflamasi :
- Demam, malaise, anoreksi,
- Laju endap darah yang meningkat (kadar fibrinogen meningkat
-

mudah beraglutinasi)
Leukositosis

Manifestasi lain (misalnya peningkatan nadi, penurunan keringat,

menggigil, anorexia, malaise, somnolence)


- Sepsis
2. NEKROSIS
Nekrosis adalah kematian sel karena adanya system membrane. Kerusakan
membran ini disebabkan adanya aktivitas enzim lisozim. Aktivitas enzim lisozim
dapat terjadi karena adanya kerusakan system membran, oleh factor tertentu yang
mengakibatkan

membran

pembungkus

enzim

lisozimtersebut

mengalami

kebocoran. Kebocoran ini mengakibatkan lisozim tumpah ke sitosol dan akhirnya


mencerna protein - protein baik yang berada pada sitosol maupun protein - protein
penyusun sistem membran dari sel tersebut (Sudiana, 2008).
Nekrosis merupakan jumlah perubahan morfologik yang terjadi setelah
kematian sel dalam jaringan atau organ hidup. Ada dua proses yang mendasari
perubahan morfologik yang dasar, yaitu:
Denaturasi protein , jejas atau asidosis intrasel menyebabkan denaturasi
protein struktur dan protein enzim yang menghambat proteolisis sel sehingga

untuk sementara morfologi sel dipertahankan.


Pencernaan (digestif) enzimatik pada organel dan komponen sitosol lainnya,
baik autolisis (dimana enzim berasal dari sel mati) atau heterolysis (enzim
berasal dari leukosit). Sel mati dicerna dan sering meninggalkan cacat
jaringan yg diisi oleh leukosit imigran dan menimbulkan abses.
Jika proses digestif enzimatik sel lebih dominan pada sel nekrotik akan terjadi
nekrosis lekuefaktif. Jika denaturasi protein lebih dominan akan terjadi
nekrosis koagulatif.
Ada beberapa ciri yang membedakan sel nekrotik berwarna lebih eosinofilik
(merah muda) dan tampak lebih berkilau karena kehilangan glikogen dan
mengalami vakuolisasi serta membrane sel mengalami fregmentasi. Sel
nekrotik dapat menarik garam kalsium; keadaan ini benar terutama untuk sel
lemak yang nekrotik (membentuk fatty soaps). Perubahan nucleus meliputi
piknosis (nukleus kecil serta padat), kariolisis (nukleus yang melarut serta
terlihat kabur) dan karioreksis (nukleus yang terfragmentasi). Pola nekrosis
pada jaringan yang umum meliputi:
- Nekrosis koagulatif merupakan pola yang paling sering ditemukan dan
terutama

didominasi

oleh

denaturasi

protein

dengan

tetap

mempertahankan sel dan kerangka jaringan. Pola ini khas pada kematian

hipoksik dalam semua jaringan kecuali otak. Jaringan nekrotik mengalami


heterolisis (dicerna oleh enzim lisosomal dari leukosit yang menginvasi)
-

atau autolisis (dicerna oleh enzim enzim lisosomnya sendiri).


Nekrosis likuefaktif terjadi ketika heterolysis atau autolysis lebih dominan
daripada denaturasi protein. Daerah yang nekrotik teraba lunak dan terisi
cairan. Tipe nekrosis ini paling sering terlihat pada infeksi bakteri

setempat (abses) dan dalam otak.


Nekrosis kaseosa merupakan ciri khas lesi Tuberculosis. Lesi ini terlihat
secara makroskopis sebagai materi yang lunak, rapuh serta menyerupai
keju, dan secara mikroskopis sebagai materi amorf eosinofilik dengan

debris sel.
Nekrosis lemak terlihat dalam jaringan adipose; aktivasi lipase (misalnya
dari sel pankreas makrofag atau yang jejas) melepaskan asam lemak dari
trigliserida yang kemidian membentuk kompleks dengan kalsium untuk
membentuk sabun. Secara makroskopis terlihat area berwarana putih
seperti kapur (saponifikasi lemak). Secara histologis ditemukan garis sel
yang kabur dan pengendapan kalsium (Mitchel, dkk., 2008).

Perkembangan Jaringan Nekrotik :

timbul respon peradangan


jaringan nekrotik hancur dan hilang

Akibat nekrosis :
-

Kehilangan fungsi : misalnya defisit neurologis


Menjadi fous infeksi, medium pembiakan penyebaran mikroorganisme

tertentu
Perubahan - perubahan sistemik tertentu, misalnya demam, leukositosis
Pengeluaran enzim-enzim yangg dikandungnya ke dalam darah akibat sel

mati dan peningkatan permeabilitas membran.


3. ADAPTASI
Sel merupakan partisipan aktif di lingkungannya, yang secara tetap
menyesuaikan struktur dan fungsinya untuk mengakomodasi tuntutan perubahan
dan stres ekstrasel. Sel cenderung mempertahankan lingkungan segera dan
intraselnya dalam rentang parameter fisiologis yang relatif sempit ketika
mengalami stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi,
mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Respons adaptasi sel terhadap stressor dapat terjadi: atrofi, hipertrofi,


hiperplasia, dan metaplasia. Respons ini bergantung jenis cedera, durasi / aging /
senescence, dan keparahannya.
Atrofi merupakan pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substasi sel
tersebut. Atrofi dapat disebabkan oleh berbagai faktor tergantung pada jenis
atrofi tersebut. Sebelum membahas mengenai penyebab terjadinya, maka
harus diketahui terlebih dahulu jenis-jenis atrofi agar pembahsannya lebih
spesifik. Secara umum, terdapat dua jenis atrofi, yaitu atrofi fisiologis dan
atrofi patologis.
a. Atrofi fisiologis
Atrofi fisiologis merupakan atrofi yang bersifat normal atau alami.
Beberapa organ tubuh dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama
masa perkembangan atau pertumbuhan, dan jika organ tubuh tersebut tidak
menghilang ketika sudah mencapai usia tertentu, maka akan dianggap
sebagai patologik. Contoh dari atrofi fisiologis ini yaitu proses penuaan
(aging process) dimana glandula mammae mengecil setelah laktasi,
penurunan fungsi/produktivitas ovarium dan uterus, kulit menjadi tipis dan
keriput, tulang-tulang menipis dan ringan akaibat resorpsi. Penyebab
proses atrofi ini bervariasi, diantaranya yaitu berkurangnya/hilangnya
stimulus endokrin, involusi akibat menghilangnya rangsan-rangsang
tumbuh (growth stimuli), berkurangnya rangsangan saraf, berkurangnya
perbekalan darah, dan akibat sklerosis arteri. Penyebab-penyebab tersebut
terjadi karena peoses normal penuaan.
b. Atrofi patologis
atrofi patologis merupakan atrofi yang terjadi di luar proses normal/alami.
Secara umum, atrofi patologis dan fisiologis terbagi menjadi lima jenis, yaitu:
Atrofi sinilis
Atrofi senilis terjadi pada semua alat tubuh secara umum, karena atrofi
senilis termasuk dalam atofi umum (general atrophy). Atropi senilis tidak
sepenuhnya merupakan atropi patologis karena proses aging pun masuk ke
dalam kelompok atrofi senilis padahal proses aging merupakan atropi
fisiologis. Contoh atropi senilis yang merupakan proses patologik yaitu
starvation (kelaparan). Starvation atrophy terjadi bila tubuh tidak
mendapat makanan/nutrisi untuk waktu yang lama. Atrofi ini dapat terjadi

pada orang yang sengaja berpuasa dalam jangka waktu yang lama (tanpa
berbuka puasa), orang yang memang tidak mendapat makanan sama sekali
(karena terdampar di laut atau di padang pasir). Orang yang menderita
gangguan pada saluran pencernaan misalnya karena penyempitan
(striktura) esophagus. Pada penderita stiktura esophagus tersebut mungkin
mendapatkan suplai makanan yang cukup, namun makanan tersebut tidak
dapat mencapai lambung dan usus karena makanan akan di semprotkan
keluar kembali. Karena itu, makanan tidak akan sampai ke jaringanjaringan tubuh sehingga terjadilah emasiasi, inanisi, dan badan menjadi
kurus kering.
Atrofi local
Atrofi local dapat terjadi akibat keadaan-keadaan tertentu.
Atrofi inaktivas
Terjadi akibat inaktivitas organ tubuh atau jaringan. Misalnya inaktivitas
otot-otot mengakibatkan otot-otot tersebut mengecil. Atropi otot yang
paling nyata yaitu bila terjadi kelumpuhan otot akibat hilangnya persarafan
seperti yang terjadi pada poliomyelitis. Atrofi inaktivitas disebut juga
sebagi atrofi neurotrofik karena disebabkan oleh hilangnya impuls trofik.
Tulang-tulang pada orang yang karena suatu keadaan terpaksa harus
berbaring lama mengalami atrofi inaktivitas. Akibatnya, tulang-tulang
menjadi berlubang-lubang karena kehilangan kalsiumnya sehingga tidak
dapat menunjang tubuh dengan baik. Sel-sel kelenjar akan rusak apabila
saluran keluarnya tersumbat untuk waktu yang lama. Ini misalnya terjadi
pada pankreas. Jika terjadi sumbatan (occlusion) pada saluran keluar
pancreas, sel-sel asinus pancreas (eksokrin) menjadi atrofik. Namun,
pulau-pulau Langerhans (endokrin) yang membentuk hormon dan
disalurkan ke dalam darah tidak mengalami atrofi.
Atrofi desakan
Atrofi ini terjadi akibat desakan yang terus-menerus atau desakan dalam
waktu yang lama dan yang mengenai suatu alat tubuh atau jaringan. Atrofi
desakan fisiologik terjadi pada gusi akibat desakan gigi yang mau tumbuh
dan dan yang mengenai gigi (pada nak-anak). Atroi desakan patologik
misalnya terjadi pada sternum akibat aneurisma aorta. Pelebaran aorta di

daerah substernal biasanya terjadi akibat sifilis. Karena desakan yang


tinggi dan terus menerus mengakibatkan sternum menipis.
Atrofi desakan ini pun dapat terjadi pada ginjal. Parenkim ginjal dapat
menipis akibat desakan terus-menerus. Ginjal seluruhnya berubah menjadi
kantong berisi air, yang biasanya terjadi akibat obstruksi ureter, yang
biasanya disebabkan oleh batu. Atrofi dapat terjadi pada suatu alat tubuh
kerena menerima desakan suatu tumor didekatnya yang makin lama makin
membesar
Atrofi endokrin
Terjadi pada alat tubuh yang aktivitasnya bergantung pada rangsangan
hoemon tertentu. Atrofi akan terjadi jika suplai hormon yang dibutuhkan
oleh suatu organ tertentu berkurang atau terhenti sama sekali. Hal ini
misalnya dapat terjadi pada penyakit Simmonds. Pada penyakit ini,
hipofisis tidak aktif sehingga mrngakibatkan atrofi pada kelenjar gondok,
adrenal, dan ovarium.
Secara umum, atrofi dapat terjadi karena hal-hal/kondisi berikut:
Kurangnya suplai Oksigen pada klien/seseorang
Hilangnya stimulus/rangsangan saraf
Hilangnya stimulus/rangsangan endokrin
Kekurangan nutrisi
inaktivitas (organ tidak sering digunakan, maka akan mengakibatkan
pengecilan organ tersebut).

Hipertrofi merupakan penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan


ukuran organ. Hipertrofi dapat fisiologik atau patologik dan disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan fungsional atau rangsangan hormonal spesifik.
Hipertrofi dan hiperplasia dapat terjadi bersamaan akibat pembesaran organ
(hipertrofik). Hipertrofi fisiologik masif pada uterus selama kehamilan terjadi
akibat rangsangan estrogen dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos. Sel otot

lurik dapat mengalami hipertrofi saja akibat respon terhadap peningkatan

kebuthan sel.
Hiperplasia merupakan peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan.
Hiperplasia dapat fisiologik atau patologik. Hiperplasia fisiologik misalnya
hiperplasia hormonal (ex. proliferasi epitel kelenjar payudara perempuan pada
masa pubertas dan kehamilan), serta hiperplasia kompensatoris yaitu
hiperplasia yang terjadi saat sebagian jaringan dibuang atau sakit (namun
sifatnya reversible). Hiperplasia patologik biasanya terjadi akibat stimulasi

faktor pertumbuhan atau hormonal yang berlebih.


Metaplasia merupakan perubahan reversibel yaitu pada satu jenis sel dewasa
(epitelial atau mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa lain (Lumongga.
2008).

BAB II
PATOLOGI KLINIK
A. Plebotomi
Plebotomi (bahasa inggris:phlebotomy) berasal dari kata Yunani phleb dan tomia.
Phleb berarti pembuluh darah vena dan tomia berarti mengiris / memotong
(cutting).

Dulu

dikenal

istilah

venasectie

(Bld),

venesection

atau

venisection(Ing).
Sedangkan Plebotomist adalah seorang tenaga medic yang telah mendapat latihan
untuk mengeluarkan dan menampung specimen darah dari pembuluh darah vena,
arteri atau kapiler. Akhir-akhir ini dikenal lagi suatu teknik microcollection.
Tujuan phlebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup
untuk pemeriksaan yang dibutuhkan, dengan memperhatikan pencegahan
interferensi preanalisis, memasukkannya ke dalam tabung yang benar,
memperhatikan keselamatan (safety), dan seminimal mungkin menimbulkan
ketidaknyamanan pada pasien.
Dalam praktek laboratorium klinik, ada 3 macam cara memperoleh darah, yaitu :
1. melalui tusukan vena (venipuncture),
2. tusukan kulit (skinpuncture)
3. tusukan arteri atau nadi.

Pengambilan darah vena


Pada pengambilan darah vena (venipuncture), contoh darah umumnya
diambil dari vena median cubital, pada anterior lengan (sisi dalam lipatan
siku). Vena ini terletak dekat dengan permukaan kulit, cukup besar, dan
tidak ada pasokan saraf besar. Apabila tidak memungkinkan, vena chepalica
atau vena basilica bisa menjadi pilihan berikutnya. Venipuncture pada vena
basilica harus dilakukan dengan hati-hati karena letaknya berdekatan
dengan arteri brachialis dan syaraf median.
Jika vena cephalica dan basilica ternyata tidak bisa digunakan, maka
pengambilan darah dapat dilakukan di vena di daerah pergelangan tangan.
Lakukan pengambilan dengan dengan sangat hati-hati dan menggunakan
jarum yang ukurannya lebih kecil.
Lokasi yang tidak diperbolehkan diambil darah adalah :

10

Lengan pada sisi mastectomy


Daerah edema
Hematoma
Daerah dimana darah sedang ditransfusikan
Daerah bekas luka
Daerah dengan cannula, fistula atau cangkokan vascular
Daerah intra-vena lines Pengambilan darah di daerah ini dapat menyebabkan
darah menjadi lebih encer dan dapat meningkatkan atau menurunkan kadar
zat tertentu.
Ada dua cara dalam pengambilan darah vena, yaitu cara manual dan
cara vakum. Cara manual dilakukan dengan menggunakan alat suntik
(syring), sedangkan cara vakum dengan menggunakan tabung vakum
(vacutainer).
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengambilan
darah vena adalah :
Pemasangan turniket (tali pembendung)
Pemasangan dalam waktu lama dan terlalu keras dapat menyebabkan
hemokonsentrasi (peningkatan nilai hematokrit/PCV dan elemen sel),
peningkatan kadar substrat (protein total, AST, besi, kolesterol, lipid
total).
Melepas turniket sesudah jarum dilepas dapat menyebabkan
hematoma
Jarum dilepaskan sebelum tabung vakum terisi penuh sehingga
mengakibatkan masukknya udara ke dalam tabung dan merusak sel darah
merah.
Penusukan
Penusukan yang tidak sekali kena menyebabkan masuknya cairan
jaringan sehingga dapat mengaktifkan pembekuan. Di samping itu,
penusukan yang berkali-kali juga berpotensi menyebabkan hematoma.
Tusukan jarum yang tidak tepat benar masuk ke dalam vena
menyebabkan darah bocor dengan akibat hematoma
Kulit yang ditusuk masih basah oleh alkohol menyebabkan hemolisis
sampel akibat kontaminasi oleh alcohol, rasa terbakar dan rasa nyeri yang
berlebihan pada pasien ketika dilakukan penusukan.
Alat alat yang dipergunakan untuk pengambilan darah vena :
Spuit

11

Adalah alat yang digunakan untuk pengambilan darah atau pemberian


injeksi intravena dengan volume tertentu. Spuit mempunyai skala yang
dapat digunakan untuk mengukur jumlah darah yang akan diambil,
volume spuit bervariasi dari 1ml, 3ml, 5ml bahkan ada yang sampai 50ml
yang biasanya digunakan untuk pemberian cairan sonde atau syring
pump.

12

Tourniquet

Digunakan untuk pengebat atau pembendung pembuluh darah pada organ


yang

akan

dilakukan

penusukan

plebotomy.

Adapun

tujuan

pembendungan ini adalah untuk fiksasi, pengukuhan vena yang akan


diambil. Dan juga untuk menambah tekanan vena yang akan diambil,
sehingga akan mempermudah proses penyedotan darah kedalam spuit.
Kapas alkohol

Merupakan kapas yang mudah menyerap dan dibasahi dengan antiseptic


berupa etil alkohol. Tujuan penggunaan kapas alkohol adalah untuk
menghilangkan kotoran yang dapat mengganggu pengamatan letak vena
sekaligus mensterilkan area penusukan agar resiko infeksi bisa ditekan.

13

Needle, Wing Needle

Ialah ujung spuit atau jarum yang digunakan untuk pengambilan secara
vakum. Needle ini bersifat non fixed atau mobile sehingga mudah dilepas
dari spuit serta container vacuum. Penggantian needle dimaksudkan
untuk menyesuaikan dengan besarnya vena yang akan diambil atau untuk
kenyamanan pasien yang menghendaki pengambilan dengan jaru kecil.
Vacuum Tube

Tabung vakum pertama kali dipasarkan dengan nama dagang Vacutainer.


Jenis tabung ini berupa tabung reaksi yang hampa udara, terbuat dari kaca
atau plastik. Ketika tabung dilekatkan pada jarum, darah akan mengalir
masuk ke dalam tabung dan berhenti mengalir ketika sejumlah volume
tertentu telah tercapai.
Blood Container
Tabung tempat penampungan darah yang tidak bersifat vakum udara. Ini
biasa digunakan untuk pemeriksaan manual, dan dengan keperluan
tertentu misalnya pembuatan tampungan sendiri untuk efisiensi biaya.
Plester

14

Digunakan untuk fiksasi akhir penutupan luka bekas plebotomi, sehingga


membantu proses penyembuhan luka dan mencegah adanya infeksi akibat

perlukaan atau trauma akibat penusukan.


Pengambilan Darah Kapiler
Pengambilan darah kapiler atau dikenal dengan istilah skinpuncture yang
berarti proses pengambilan sampel darah dengan tusukan kulit. Tempat yang
digunakan untuk pengambilan darah kapiler adalah :
- Ujung jari tangan (fingerstick) atau anak daun telinga.
- Untuk anak kecil dan bayi diambil di tumit (heelstick) pada 1/3 bagian
tepi telapak kaki atau ibu jari kaki.
Lokasi pengambilan tidak boleh menunjukkan adanya gangguan peredaran,
seperti vasokonstriksi (pucat), vasodilatasi (oleh radang, trauma, dsb),
kongesti atau sianosis setempat.
Pengambilan darah kapiler dilakukan untuk tes-tes yang memerlukan sampel
dengan volume kecil, misalnya untuk pemeriksaan kadar glukosa, kadar Hb,
hematokrit (mikrohematokrit) atau analisa gas darah (capillary method).
Prosedur
Siapkan peralatan sampling : lancet steril, kapas alcohol 70%.
Pilih lokasi pengambilan lalu desinfeksi dengan kapas alkohol 70%,
biarkan kering.
Pegang lokasi pengambilan darah supaya tidak bergerak dan tekan sedikit
supaya rasa nyeri berkurang.
Tusuk dengan lancet steril. Tusukan harus dalam sehingga darah tidak
harus diperas-peras keluar. Jangan menusukkan lancet jika ujung jari
masih basah oleh alkohol. Hal ini bukan saja karena darah akan diencerkan
oleh alkohol, tetapi darah juga melebar di atas kulit sehingga susah
ditampung dalam wadah.

15

Setelah darah keluar, buang tetes darah pertama dengan memakai kapas
kering, tetes berikutnya boleh dipakai untuk pemeriksaan.
Pengambilan darah diusahakan tidak terlalu lama dan jangan diperas-peras

untuk mencegah terbentuknya jendalan.


Pengambilan Darah Arteri
Pengambilan darah arteri umumnya menggunakan arteri radialis di
daerah pergelangan tangan. Jika tidak memungkinkan dapat dipilih arteri
brachialis di daerah lengan atau arteri femoralis di lipat paha. Pengambilan
darah harus dilakukan dengan hati-hati dan oleh tenaga terlatih.
Sampel darah arteri umumnya digunakan untuk pemeriksaan analisa gas
darah.
Prosedur
Siapkan peralatan sampling di tempat/ruangan dimana akan dilakukan
sampling.
Pilih bagian arteri radialis.
Pasang tali pembendung (tourniquet) jika diperlukan.
Lakukan palpasi (perabaan) dengan jari tangan untuk memastikan letak
arteri.
Desinfeksi kulit yang akan ditusuk dengan kapas alkohol 70%, biarkan
kering. Kulit yang telah dibersihkan jangan dipegang lagi.
Tekan bagian arteri yang akan ditusuk dengan dua jari tangan lalu
tusukkan jarum di samping bawah jari telunjuk dengan posisi jarum
tegak atau agak miring. Jika tusukan berhasil darah terlihat memasuki
spuit dan mendorong thorak ke atas.
Setelah tercapai volume darah yang dikehendaki, lepaskan/tarik jarum
dan segera letakkan kapas pada tempat tusukan lalu tekan kapas kuatkuat selama 2 menit. Pasang plester pada bagian ini selama 15 menit.

B. Peran Perawat dalam Plebotomy


Di dalam prakteknya, seorang perawat memiliki kewenangan untuk melakukan
tindakan plebotomi, dalam hal ini berarti mengambil, mengumpulkan. Dan
mendistribusikan specimen / sampel.
Prosedur yang dapat dilakukan perawat dalam pengambilan darah vena adalah :
No.
1.

Prosedur
Lakukan penjelasan kepada penderita

Rasional
Mengurangi rasa cemas dan

(tentang apa yang dilakukan terhadap

meningkatkan kerjasama.

16

2.

penderita, kerjasama penderita, sensasi yang

Mencegah hiperventilasi akibat

dirasakan penderita, dsb).

ansietas, yang menimbulkan

Cari daerah yang akan ditusuk (superfisisal,

perubahan sementara pada gas darah.


Meningkatkan kemudahan insersi

cukup besar, lurus, tidak ada peradangan,

jarum.

tidak diiinfus).

Memungkinkan perawat
menempatkan jarum menjadi paralel
dengan vena. Sehingga saat vena
dipungsi, risiko menusuk sampai
tembus ke luar berkurang.
Daerah yang diinfus harus dihindari
karena meningkatkan risiko
bercampurnya cairan infuse dengan
sampel darah yang akan diambil yang
dapat mengakibatkan hasil test tidak
valid.

3.

Letakkan tangan lurus serta ekstensikan

Memungkinkan dilatasi vena sehingga

dengan bantuan tangan kiri operator atau

vena dapat dilihat.

diganjal dengan telapak menghadap ke atas


4.

sambil mengepal.
Lakukan desinfeksi daerah yang akan

Mengurangi risiko bakteri yang berada

ditusuk dengan kapas steril yang telah

di kulit memasuki tempat pungsi.

dibasahi alcohol 70% dan biarkan sampai


5.

6.

kering.
a. Lakukan pembendungan pada daerah

a. Meningkatkan dilatasi vena.

proximal kira-kira 4-5 jari dari tempat

Tourniquet harus menghambat aliran

penusukan agar vena tampak lebih jelas (bila

vena, bukan aliran arteri. Aliran arteri

tourniquet berupa ikatan simpul terbuka dan

yang terhenti mencegah pengisian

arahnya ke atas)

vena.

b. Pembendungan tidak boleh terlalu lama

b. Mencegah hemokonsentrasi dan

(maks. 2 menit, terbaik 1 menit).

Ambil spuit dengan ukuran sesuai jumlah

hematoma.
Memastikan spuit cukup untuk jumlah

darah yang akan diambil, cek jarum dan

darah yang diambil.

karetnya.

Memastikan spuit tidak rusak dan

17

dalam keadaan baik.


7.

Pegang spuit dengan tangan kanan,

Mencegah terlepasnya jarum dari spuit.

kencangkan jarumnya dan dorong penghisap

Mengeluarkan udara dalam spuit

8.

sampai ke ujung depan.


Fiksasi pembuluh darah yang akan ditusuk

Meningkatkan dilatasi vena.

Mencegah bergesernya vena.

9.

dengan ibu jari tangan kiri.


Tusukkan jarum dengan sisi menghadap ke
atas membentuk sudut 15-30 sampai ujung

jarum menjadi paralel dengan vena.

jarum masuk ke dalam vena dan terlihat

Sehingga saat vena dipungsi, risiko

darah dari pangkal jarum.

menusuk vena sampai tembus ke luar

Memungkinkan perawat menempatkan

berkurang.
10.

Fiksasi spuit dengan tangan kiri dengan

Menghindari pergeseran jarum.

11.

membentuk sudut.
Penghisap spuit ditarik pelan-pelan sampai

Memastikan jumlah darah yang diambil


sesuai dengan yang diinginkan.

12.

didapatkan volume darah yang didinginkan.


a. Kepalan tangan dibuka, lepaskan
bendungan.

Mencegah hemokonsentrasi dan

b. Letakkan kapas alcohol 70% di atas

hematoma.

jarum, cabut jarum dengan menekan kapas

Memperlancar aliran darah kembali.

a. Mengurangi aliran balik darah.

menggunakan tangan kanan pada bekas


tusukan selama beberapa menit untuk

b. Mencegah perdarahan.

mencegah perdarahan, plester, tekan dengan


telunjuk dan ibu jari penderita selama 5
13.

menit.
Lepaskan jarum, alirkan darah dalam wadah

Mencegah terjadinya hemolisa.

melalui dindingnya supaya tidak terjadi


14.

hemolisa.
Tuangkan darah ke dalam botol

Mengamankan specimen untuk diantar

penampungan yang volumenya sesuai

ke laboratorium terkait.

(sesuai dengan jenis pemeriksaan yang


15.

diminta).
Jika menggunakan antikoagulan, kocok

Mencegah terjadinya pembekuan

botol beberapa menit agar antikoagulan

darah.

tercampur dengan darah dan tidak terjadi


pembekuan.

18

19

BAB III
RADIOLOGI
A. PRINSIP RADIASI
Dasar- dasar radiologi
Definisi radiologi
Radiologi adalah suatu ilmu tentang penggunaan seumber sinar pengion dan
bukan pengion, gelombang suara dan magnet untuk imaging diagnostic dan
terapi.
Bidang bidang dalam radiologi:
1. Sinar X
Sinar X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan
gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet, tetapi dengan panhjang
gelombang yang sangat pendek. Sinar X bersifat heterogen, panjang
gelombangnya bervariasi dan tidak terlihat. Perbedaan antara sinar X dengan
sinar elektromagnetik lainnya juga terletak pada panjang gelombang, dimana
panjang gelombang sinar x sangat pendek itu, maka sinar x dapat menembus
benda- benda. Panjang gelombang elektromagnetik dinyatakan dalam satuan
angstrom.
1A = 10-8 cm (1 / 100.000.000 cm ). Gelombang yang di pergunakan
dalam dunia kedokteran antara 0, 50 A 0, 125 A. gelombang atau sinar
elektromagnetik terdiri atas, listrik, radio, inframerah, cahaya, ultraviolet,
sinar X, sinar gamma, dan sinar cosmic.
Sifat sifat sinar X
Sinar X mempunyai beberapa sifat fisik, yaitu : daya tembus, pertebaran,
penyerapan, efek fotografik, pendar flour (fluoresensi), ionisasi, dan efek
biologic.
a) Daya tembus
Sinar X dapat menembus bahan, dengan daya tembus sangat besar dan di
gunakan untuk radiografi. Makin tinggi tegangan tabung (besarnya KV)
yang di gunakan, makin besar daya tembusnya, makin rendah berat atom
atau kepadatan suatu benda, makin besar daya tembus sinarnya.
b) Pertebaran
Apabila berkas sinar X melalui suatu bahan atau suatu zat, maka berkas
tersebut akan bertebaran ke segala jurusan, menimbulkan radiasi sekunder
(radiasi hambur) pada bahan / zat yang dilaluinya. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya gambar radiograf dan pada film akan tampak

20

pengaburan kelabu secara menyeluruh . untuk mengurangi akibat radiasi


hambur ini, maka diantara subjek dengan film rontgen di letakkan gird.
Gird terdiri atas potongan potongan timah tipis yang diletaknya sejajar,
masing masing dipisahkan oleh bahan tembus sinar.
c) Penyerapan
Sinar X dalam radiografi diserap oleh bahan atau zat sesuai dengan berat
atom atau kepadatan bahan / zat tersebut. Makin tinggi kepadatannya atau
berat atomnya, makin besar penyerapannya.
d) Efek fotografik
Sinar x dapat menghitamkan emulsi film ( emulsi perak bromida) setelah
diproses secara kimiawi (dibangkitkan) di kamar gelap.
e) Pendar flour (flouresensi)
Sinar x menyebabkan bahan bahan tertentu seperti kalsium tungstat
atau zink sulfide memendarkan cahaya (luminisensi ),bila bahan tersebut
dikenal radiasi sinar x . luminisensi ada 2 jenis yaitu :
Fluorensensi : yaitu akan memendarkan cahaya sewaktu ada radiasi

sinar x saja.
Fosforesensi : pemendaran cahaya akan berlangsung beberapa saat

walaupun radiasi sinar x sudah dimatikan (afterm- glow)


f) Ionisasi
Efek primer sinar x apabila memgenai suatun bahan atau zat akan
menimbulkan ionisasin partikel partikel bahan atau zat tersebut.
g) Efek biologic
Sinar x akan menimbulkan perubahan perubahan biologic pada jaringan.
Efek biologic ini digunakan dalam pengobatan radioterapi.
2. Angiokardiografi
Angiokardiografi berperan sebagai penuntun untyuk tindakan
angioplasty, dan embolisasi yang sifatnya terapeutik. Dengan kateter, stenosis
pembuluh koroner, brakhiosefalik, renal, iliaka, femoropopliteal dan tibial
yang dilebarkan. Selain itu, bahan kemoterapi juga dapat dimasukan secara
selektif untuk memperkecil atau mematikan tumor. Kateter kateter yang
dipakai untuk angioplasty sekarang juga digunakan untuk melebarkan
struktur di ureter, esophagus, lambung dan sebagainya.
3. Digital Substraction Angiography (DSA)
Alat untuk pemeriksaan DSA hamper sama dengan angiokardiografi
tetapi dilengkapi dengan computer. Untuk mendapaykan suatu citra (image)

21

pembuluh darah arteri, cukup dengan menyuntikkan bolus kontras kedalam


vena secara cepat. Cara ini lebih mudah dari pada menyuntikkan di dalam
arteri dan praktis bersiasaf non- invasive. Pencitraan pe,buluh darah yang
diperoleh denagn cara ini tidak begitu tajam disbanding dengan dengan
arteriografi. Karena itu di beberapa pusat radiologi masih dipakai DSA
dengan menyuntikkan kedalam arteri, akan tetapi kontras yang dipakai hanya
sedikit.
4. Ultrasonogarafi (USG)
USG menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi dan tidak
menimbulkan ionisasi seperti sinar x. USG berkembang secara pesat karena
beberapa factor :
Bersifat non invasive
Dapat digunakan untuk melihat pergerakan organ, sama seperti

fluoroskopi.
Sifat jaringan jaringan yang dcitrakan dapat dibedakan.
Alatnya kecil dan dapat dibawa kemana- mana, misalnya kebangsal,
unit gawat darurat, atau kamar bedah untuk pemeriksaan durante

operationem
Pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Berbagai bidang organ dalam tubuh dapat diperiksa
Tenaga listrik yang dipergunakan hanya sedikit
Tidak perlu kamar gelap
Ruangan yang dipergunakan relative kecil dan dinding ya yang di

pergukan tidak perlu diberi proteksi tambahan.


Memungkin tindakan jaringan yang tepat
Peralatan relative murah kalau disbanding dengan alat rontgen
diagnostic khusus, kedokteran nuklir dan tomografi computer, dan alat

magnetic resonance.
5. Magnetic Resonance (MR)
Alat magnetic resonance yang berkaitan dengan radio frekuensi dan
lapangan magnit dapat menghasilakan suatu citra (image) tanpa memakai
radiasi ionisasi. Pencitraan yang diperoleh hamper mirip dengan CT dan tidak
ada bahaya radiasi bagi pasien dan operator. Resolusi pencitraan (image)
semakin lama semakin baik dengan menggunakan teknik teknik tertentu .
pencitraan (image) otak dan medulla spinalis yang sangat menakjubkan.
Jaringa lunak dan otot juga dapat dilihat dengan baik. Sisitem tulang yang

22

sebelumnya diduga tidak dapat diperiksa dengan MR, ternyata denga


pengalaman sekarang sudah dapat dilihat dengan baik. Biaya pemeriksaan
untuk saat ini masih cukup tinggi.
6. Rontgen (R)
Rontgen ialah satuan pemaparan radiasi yang memberikan muatan 2,
58 X 10-4 coulomb per kg udara. Rontgen merupakan satuan nilai penyinaran
sinar x atau sinar , tetapi tidak digunakan untuk sinar , , atau neutron.
Alat pengukurradiasi biasanya dikalibrasi dalam rontgen atau m R
(milirontgen , 1 R = 1000 mR). untuk sinar - dan sinar dengan energy
yang sampai 3 MeV yang melalui air atau jaringan lunak, suatu penyinaran
sebesar 1 R ekivalen dan dosis serap sebesar 0, 93 0, 98 rad.
Pemeriksaan rontgen dapat dibagi menjadi dalam :
Pemeriksaan rontgen dasar
- Pemeriksaan rontgen tanpa kontras seperti pemotretan thoraks , tulang
tulang kepala , tulang tulang dada, tulang tulang belakang, tulang
paanggul, tulang tulang tangan dan kaki.
-

Pemeriksaan rontgen dengan bahan kontras, seperti :


Pemeriksaan esophagus, /oesofagogram / barium swallow
Pemeriksaan lambung duodenum / OMD / barium meal
Pemeriksaan kolon / colon in loop / barium enema
Pemeriksaan traktus urinarius
Pemeriksaan system traktus biliaris
Pemeriksaan rontgen khusus
Termasuk pemeriksaan arteriografi, flebografi, angiokardiografi,
embolisasi, ventrikulografi, dll. Pada pemeriksaan rontgen khusus di
oerlukan alat rontgen yang khusus.
7. Gray (Gy)
1 Gy = 100 rad. Gray merupakan satuan internasional untuk
menyatakan satuan dosis ionisasi. 1 Gy sama dengan 1 joule energy yang
diserap 1 kg bahan dari radiasi pengion. Satuan ini menggantikan satuan
lama, yaitu yad.
8. Becquerel (bq)
Satuan yang dipakai pada aktivitas radioaktif (diambil dari nama
henry Becquerel, penemu radioaktivitas dalam uranium ), yaitu mengukur
laju peluruhan senyawa radioaktif. 1 Bq =

disintegrasi

/3. Satuan ini menggantikan

satuan lama radioaktivitas, yaitu curie (ci ). Becquerel adalah satuan yang

23

sangat kecil untuk digunakan, sehingga dalam radiologi secara luas dipakai
satuan megaBecquerel (MBq) = 106Bq.
9. Curie
Satu curie sama dengan 3, 7 x 1010 disintegrasi atom perdetik. Jadi, 1
Ci = 3,7 x 1010 Bq. Nama curie diambil dari nama marie curie, penemu sifat
radioaktif dalam unsure radium.
10. REM
Dose equevalen (dulu disebut Rem) adalah jumlah radiasi ionisasi
yang menyebabkan pengaruh biologis yang sama dengan 1 rad sinar x dan
sinar . Satuannya sieverts (Sv). 1 Sv = 100 Rem. Dose equevalen (Sv)
=dose (Gy) x QF (Q) Quality factor ini dulu dinyatakan sebagai RBE(
Relative Biological Effectiveness)
Jenis sinar
X ray, ray
Electron
Netron & proton (energy s/d 10 MeV)
Partikel

QF
1
1
10
10

B. KOMPLIKASI RADIASI
Pengaruh radiasi pada organ tubuh manusia dapat bermacam macam
bergantung pada jumlah dosis dan luas lapangan radiasi yang di terima. Komidi
internasional untuk perlindungan terhadap penyinaran menetapkan bahwa pengaruh
sinar x adalah sebagai berikut :
1

Luka permukaan yang sangkal :


Kerusakan kulit (skin damage)
Epilepsy (epilation)
Uku rapuh (brittleness of nails)
Kerusakan hemopoetik :
Limfopeni
Leukopeni
Aneni
Leukemi
Kehilangan respon terhadap daya tahan spesifik.
Induksi keganasan (induction of malignancy)
Leukemi
Karsinoma kulit
Sarcoma
Berkurangnya kemungkinan hidup (reduction of life span )
24

Abserasi genetic (genetic aberrations)


Mutasi gen langsung
Perubahan kromosom (chrosomonal alteration)

25

Efek- efek lainnya (other deleterious effects)


Katarak lentikular
Obesitas
Sterilitas :
- sementara (temporary )
- Tetap (permanent )
Reaksi luka permukaan yang dangkal dapat timbul segera atau setelah
beberapa lama. Reaksi yang segera timbul dapat menyerupai luka
bakar. Dosis maksimal untuk kulit yang masih dapat diberikan tidak
diketahui, tetapi bagi para pekerja yang setiap harinya berhubungan
dengan sinar x diperkirakan dosisnya kurang dari 1R per hari. Radiasi
sinar X yang berlangsung lama (kronis) atau bertahun tahun telah
terbukti dalam menimbulkan karsinoma kulit.

C. PERAN PERAWAT
Pencegahan atau proteksi radiasi
Tujuan proteksi radiasi ialah :
a

Pada pasien : dosis radiasi diberikan harus sekecil mungkin sesuai keharusan

klinis.
Pada personil : dosis radiasinyang di terima yang ditekan serendah mungkin dan
dalam keadaan bagaimanapun juga tidak boleh melebihi dosis maksimum yang
di perkenankan.
Tiga cara pengendalian tingkatan pemaparan radiasi

2
-

Jarak
Ternyata cara ini efektif karena intensitas radiasi di pengaruhi oleh hukum
kuadarat terbalik.
Waktu
Pemaparan dapat diatur dengan waktu melalui berbagai jalan, yaitu :
Membatasi waktu generator dihidupkan
Pembatasan waktu berkas diarahkan keruang tertentu
Pembatasan waktu ruang dipakai.
Bila ternyata dengan jarak dan waktu tidak mencukupi, maka di pakai cara
ketiga di bawah ini.

Perisai
Perisai ini dibuat dari timbale atau beton ,ada 2 jenis perisai, yaitu:

26

Periasi primer, membrri proteksi terhadap radiasi primer (berkas sinar guna ).
Tempat tabung sinar X dan kaca timbal pada tabir fluoroskopi merupakan perisai

primer.
Perisai sekunder, member proteksi terhadap radiasi sekunder ( sinar bocor dan
hambur ). Tabir sarat timbale pada tabir fluoroskopi edan perisai yang dapat
dipindah- pindahkan, merupakan perisai sekunder.

27

BAB IV
FARMAKOLOGI
FARMAKODINAMIKA OBAT
Farmakodinamika obat ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang
mempelajari tentang efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.
Farmakodinamika obat juga mempelajari cara kerja obat , efek obat terhadap fungsi
berbagai organ, dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan struktur organ obat.
Dengan memahami farmakologi diharapkan diketahui bagaimana interaksi
obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons yang terjadi.
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
a. Mekanisme kerja obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan
reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon
khas untuk obat tersebut.
b. Reseptor Obat
c. Transmisi sinyal biologis (Setiawati, 2007).
Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada
sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul
fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi
ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan
reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak
dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor
hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik
dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase,asetilkolinesterase). Namun demikian,
reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan
endogen (hormon dan neurotransmitter).2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini
pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai
ligan).
28

Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek


regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis. Ada obat yang juga berikatan
dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan
menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut
dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan
dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan
jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial
bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut
pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan
reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut
agonis negatif.
Pembagian reseptor fisiologik adalah :
Reseptor enzim mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi
protein efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia
protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia
efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin / treonin kinase, dan guanil siklase
berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim.
Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF),
platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF),
transforming growth factor-beta (TGF-), dan sitokin.
Reseptor kanal ion reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut
dengan istilah ligandgated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal
mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan
ekstraselular sekitar.
Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, -aminobutirat tipe A (GABAA),
glutamat, aspartat, dan glisin.
Reseptor tekait Protein G Protein G merupakan suatu protein regulator
pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari
reseptor di permukaan sel ke protein efektor.
Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2,
fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif
untuk ion Ca2+ dan K+. Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan
mekanisme ini.
29

Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormone hormon peptida lain.
Reseptor faktor transkripsi mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat
daerah pengikatan dengan DNA (DNA binding domain) yang berinteraksi secara
spesifik terhadap genom tertentu untuk mengaktifkan atau menghambat
transkripsi.
Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid
Second Messenger pada sitoplasma dalam transduksi sinyal memungkinkan
terbentuknya caraka kedua (second messenger) yang bertindak sebagai sinyal
lanjutan untuk jalur transduksin sinyal.
Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi
yang rendah.
Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan
melalui proses daur ulang.
Contoh: AMP, siklik GMP, siklik ADP
Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor,
misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan
antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. 2-merkaptoetana
sulfonat (mesna) meniadakan radikal bebas disaluran perkemihan. Obat lain juga
berfungsi sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa bergabung ke dalam sel
sehingga mengganggu fungsi sel dan tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin
yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat antivirus dan kemoterapi untuk kanker.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat

DE fo e sk i s f ay ra m n ga k d o i lmb o e g rn i uk ma n

Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk

pemberian obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati

secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa ( dosis rata-rata) yang cocok
untuk sebagian besar pasien. Dosis rata rata ini dapat menimbulkan efek toksik

untuk beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang
tidak teraupetik.

Bagan di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga


menimbulkan efek farmakologik (respons pasien terhadap obat tertentu).

30

Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat


per oral yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas
ditentukan oleh mutu obat. Faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah
obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan
reseptor. Sementara factor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologis
yang ditimbulkan oleh kadar obat.
Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan tubuh,
atau kombinasi factor factor ini.
Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik ekstrem dibandingkan
dengan golongan usia lain. Semisal, pada neonatus dan bayi prematur fungsi
farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik (misalnya b iotransfrmasi hati,
eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar kulit). Hal ini
menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat
heksaklorofen

topical

pada

neonatus,

misalnya,

menyebabkan

respons

neourotoksisitas akibat belum terbentuknya sawar kulit secara sempurna.


Kloramfenikol dapat menyebabkan sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat

31

oleh hepar masih rendah (glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal
belum berlangsung dengan sempurna.
Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan
penyebab perubahan farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor
(terutama di otak) juga menjadi andil dalam konteks ini. Contohnya adalah
penggunaan isoniazid yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat melemahnya
metabolism

oleh

hepar. Demikian

juga

penggunaan

antikolinergik

dapat

menimbulkan respons konstipasi akibat melemahnya kontraktilitas otot polos.


Kondisi Patologik
Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak
melakukan efek farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran cerna,
hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat. Penyakit
saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya pada pemberian
per oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat dan aliran darah ke
hepar dan ginjal yang akan mengeliminasi obat. Penyakit hepar melemahkan
metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi eksreksi obat aktif maujpun
metabolitnya melalui ginjal.
Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap
obat digoksin, kontrasepsi oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan
waktu transit dalam saluran cerna yang memendek akibat terjadinya motilitas tinggi
(akibat diare), sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.
Faktor Genetik
Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan
faktor genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik
adalah studi tentang variasi respons obat akibat factor genetik. Farmakogenetik perlu
dibedakan dari overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error
of metabolism adalah kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat
tertentu sehingga terjadi akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik
mempelajari tentang adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat.
Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi
biotransformasi

(metabolisme)

obat.

Selain

biotransformasi

(metabolisme),

farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan

ekskresi.

32

Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma


hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit
juga menjadi tempat biotransformasi obat.
Faktor Toleransi
Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian yang
berulang. Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang terjadi
akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat merupakan self
inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi farmakodinamik,
akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat) yang terus menerus
berada di sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-reseptor ini umumnya
menurun di tengah kelimpahan ligan. Jumlah ligan yang berikatan tidak berkurang,
namun sensitiiftas reseptor berkurang sehingga efek farmakologis
yang ditimbulkan juga berkurang.
Faktor Interaksi Obat
Obat dapat berinteraksi dengan zat - zat makanan, zat kimia, bahkan dengan
obat lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang mungkin
menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini. Interaksi yang
menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat antihipertensi, antiasma, dan
antidiabetik yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping;
kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker. Interaksi yang merugikan akan
mendapatkan bahasan yang lebih mendalam.
Interaksi yang dapat terjadi adalah:
Interaksi farmakokinetik jika salah satu obat memengaruhi absorpsi,
distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini dapat
mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun atau justru meningkat.
Akibatnya, toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan efektivitas obat
tersebut.
Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH, sehingga
mengakibatkan kelarutan obat-obat asam (seperti aspirin) menjadi menigkat,
sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini.
Interaksi distrbusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai
sarana transport obat tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya
kompetisi untuk memperebutkan protein plasma.
33

Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat


enzim sitokrom dapat mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat
enzim yang mencegah kerja enzim sitokrom (contohnya: untuk enzim
CYP3A4, sakuinavir, obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV,
seharusnya dimetabolisme oleh enzim ini, namun keberadaan ritonavir secara
bersama-sama menghambat kerja enzim ini sehingga terjadi peningkatan
kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk sakuinavir harus diturunkan untuk
mencegah penumpukan sakuinavir).
Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa menyebabkan
kerusakan ginjal (misalnya: aminoglikosida merusak ginjal, menyebabkan
peningkatan kadar digoksin yang toksik); adanya kompetisi untuk sekresi
aktif di tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin (misal: obat yang dapat
mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat lain yang bersifat basa, dan
meningkatkan ekskresi obat yang bersifat basa ini).
Interaksi farmakodinamik merupakan suatu interaksi antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama.
Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik.
Interaksi

farmakodinamik

ini

biasanya

dapat

diramalkan

(misalnya:

pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan


tekanan darah).
Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor
kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin,
dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang sama.
Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama,
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons.
Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan
tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat
menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat _-bloker
dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu obat yang diubah
oleh kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Kadang-kadang obat secara langsung

34

bersaing untuk reseptor tertentu (misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta
blockers, seperti propranolol) tetapi sering reaksi yang lebih langsung dan
melibatkan gangguan fisiologis mekanisme (Stockley, 2008).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek
yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam
plasma (Setiawati, 2007). Hal ini terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama
atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah
dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat
dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek
farmakologi obat yang dipengaruhi (Fradgley, 2003)
Beberapa mekanisme interaksi obat dengan farmakodinamika mungkin
terjadi bersama-sama, antara lain :

Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara
dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim yang sama dengan efek
farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada
susunan saraf pusat- sebagai contoh, etanol, antihistamin, benzodiazepin
(diazepam,

lorazepam,

prazepam,

estazolam,

bromazepam,

alprazolam),

fenotiazin (klorpromazina, tioridazina, flufenazina, perfenazina, proklorperazina,


trifluoperazina), metildopa, klonidina- dapat meningkatkan efek sedasi.
Semua obat antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet
dan dapat meningkatkan (pada derajat peningkatan yang tidak sama) efek
antikoagulan. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sangat
berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat
kalium (contoh amilorida, triamteren), dan penghambat enzim pengkonversi
angiotensin (contoh kaptopril, enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II
(contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propanolol
(dan pengeblok beta yang lain), keduanya mempunyai efek inotropik negatif,

dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang rentan.


Antagonisme
Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi
yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari

35

satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang
bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok beta (Salbutamol untuk
pengobatan asma dengan propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat
menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretika tiazid dan obat
antidiabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis.
Sebagai contoh, bakterisida seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding
sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar
berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang
berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang menghambat sintesa protein dan

juga pertumbuhan bakteri.


Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek
reseptor yang meliputi sirkulasi kendali di fisiologis dan biokimia. Pengeblok beta
non selektif seperti propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi
hipoglikemi pada pasien diabet yang diobati dengan insulin dengan menghambat
mekanisme kompensasi pemecahan glikogen. Respon kompesasi ini diperantarai
oleh reseptor beta Z namun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang
menimbulkan respon hipoglikemi apabila digunakan bersama dengan insulin.
Lagipula obat-obat pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti takikardia
dan tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemi, efek simpatik
ini lebih penting dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada mekanisme

kompensasi di atas.
Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan
diuretik,

kortikosteroid,

atau

amfoterisina

akan

meningkatkan

resiko

kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia meningkatkan resiko


aritmia ventrikuler dengan beberapa obat antiaritmia seperti sotalol, kuinidin,
prokainamida, dan amiodaron. Penghambat ACE mempunyai efek hemat kalium,
sehingga pemakaiannya bersamaan dengan suplemen kalium atau diuretik hemat
kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya. Loop diuretik dapat
meningkatkan konsentrasi obat-obat yang bersifat nefrotoksik seperti gentamisin
dan sefaloridina dalam ginjal.
36

37

BAB V
MIKROBILOGI DAN PARASITOLOGI
A. BAKTERIOLOGI
Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok raksasa
dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan
uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa
nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan
kloroplas.
Klasifikasi Bakteri
-

Tingkat Genom
Tingkat Sel : Eubacteria dan Arkhaebacteria
Tingkat Morfologi : Coccus, Bacillus, Spiral
Sifat Biokimia

Struktur Bakteri
Bakteri termasuk golongan prokariotika, sehingga struktur nya lebih sederhana
dibandingkan dengan struktur eubakteria kecuali struktur dinding selnya.

Bakteri memiliki struktur :


Nukleus
- diwarnai dengan pewarnaan feulgen ( yang mewarnai molekul DNA )
- tidak memiliki dinding inti/ membrane inti
Sitoplasma
- tidak memiliki mitokondria dan kloroplas
- menyimpan cadangan makanan dalam bentuk granula sitoplasma
- tidak memiliki mikrotubulus
- enzim pengangkut electron terdapat dalam selaput sitoplasma
Membrane sitoplasma
struktur
- Terdapat fosfolipid dan protein , tetepi tidak memiliki sterol kecuali
-

genus Mycoplasma.
Memiliki mesosom (lekukan kedalam ) ditempat-tempat tertentu
1. Septal mesosom : berfungsi dalam pembelahan sel
38

2. Tempat melekatnya kromosom bakteri


fungsi
Permeabilitas dan pengangkutan
Sebagai penghalang permeabilitas ( zat lipofobik tidak masuk
secara pasif)
Sebgai penghubung permeabilitas
Ada protein khusus ( permease ) untuk difusi pasif
Pengangkutan electron dan fosforilasi oksidatif
Terjadi di selaput sitoplasma pengganti fungsi mitokondria
Karena sitokrom dan enzim/ komponen lain dari rantai respirasi
ada disini.

Nomenklatur Bakteri
-

Pemberian nama menggunakan sistim binomial/binomial name Linnaeus

[1753]
Nama terdiri atas genus dan epitheton specificum. Nama genus dimulai

dengan huruf besar dan spesies dengan huruf kecil


Nama genus sedapatnya menerangkan genus tersebut
Kingdom : Prokariota
Divisio
I
: Cyanobacteria
II

: Bacteria

Ordo, berakhiran alesActinomycetales


Familia, akhiran aceae Vibrionaceae
Tribus, akhiran alae Vibrioalea
Genus Vibrio
Spesies Vibrio cholera, V. cholera, VIBRIO CHOLERA
-

Penamaan spesies bakteri ditentukan oleh:


Sifat struktural bentuk, besar, cara pergerakan, reaksi terhadap

pewarnaan Gram, serta sifat koloni


Sifat biokimia dan kebutuhan akan nutrisi, produk-produk akhir

metabolisme, susunan biokimiawi komponen sel dan metabolitnya


Sifat fisiologisnya terhadap oksigen, temperatur, pH dan respon

terhadap antibiotik
Sifat ekologis
Komposisi basa DNA, homologi dan sifat-sifat genetic
Pemberian nama bakteri dapat berdasarkan:
1. Nama penemu Clostridium welchii [Welch]
2. Bentuk Bacillus subtilis [basil]
3. Penyakit Brucella abortus
Perkembangan biologi molekuler klasifikasi berdasarkan genetika
Komposisi basa DNA

39

Homologi sekuens DNA dan rRna


Pola-pola metabolisme stabil yang dikontrol oleh gen
Polimer-polimer pada sel
Struktur organel dan pola regulasinya

MORFOLOGI BAKTERI

1. Bulat/kokus/coccus
-

Bergerombol Staphylococcus
Berantai Streptococcus
Berpasangan Diplococcus
Bertumpuk empat-empat Tetrada
Berkelompok delapan-delapan Sarcina

Staphylococcus

streptococcus

sarcina (berkelompok 8)

Diplococcus

40

2. Batang/Basil/Bacil

Kokobasil/batang pendek gemuk Escherichia

Spt huruf cina Corynebacterium

Batang bengkok Vibrio

Escherichia coli

Vibrio Sp.

Corynobacterium

41

3. Spiral seperti ulir Treponema, Spirochaeta


Protoplast/Sferoplas atau bentuk L, adalah bakteri yang kehilangan
bentuk aslinya, karena sintesis dinding sel yang terganggu secara spontan
ataupun akibat pengaruh obat

Spirochaeta
Pertumbuhan Bakteri
Peningkatan secara teratur jumlah semua komponen suatu organisme.
Substansi yang di perlukan :
1. Air
merupakan pengantar semua bahan gizi yang diperlukan sel dan untuk
membuang semua zat-zat yang diperlukan sel, bagian terbesar protoplasma.
2. Garam-garam anorganik
Diperlukan untuk mempertahankan keadaan koloidal dan tekanan osmotik di
dalam sel, untuk memelihara keseimbangan asam basa, dan berfungsi sebagai
bagian enzim atau sebagai aktivator reaksi enzim.
3. Mineral
Sulfur
Komponen substansi sel. Sebagian besar sulfur sebagai H2S, tetapi
kebanyakan mengambilnya dalam bentuk (SO4) sulfat.
Fosfor - fosfat (PO4)
Diperlukan sebagai komponen asam-asam nukleat dan berupa ko-enzim.
Aktivator enzim
Mg, Fe, K, dan Ca.
4. Sumber nitrogen
Nitrogen mencapai 10% berat kering sel bakteri. Nitrogen yang dipakai oleh
bakteri diambil dalam bentuk NO3, NO2, NH3, N2, dan R-NH2.
5. CO2
Diperlukan dalam proses-proses sintesa dengan timbulnya asimilasi CO2 di
dalam sel.
Kuman autotrof (Litotrof)

42

Kuman yang hanya memerlukan air, garam anorganik dan CO2 sebagai
sumber C bagi pertumbuhannya, mensintesa sebagian besar metabolik
organiknya dari CO2. Energi yang diperlukan diperoleh dari

cahaya/oksidasi bahan-bahan kimia.


Kuman heterotrof (Organotrof)
Memerlukan C dalam bentuk senyawa organik, karbohidrat, untuk
pertumbuhannya. Dalam golongan ini termasuk semua jenis kuman yang
patogen bagi manusia. Energi yang diperlukan diperoleh dari cahaya atau

oksidasi senyawa organik.


6. Faktor pertumbuhan
Substansi ini dimasukkan dalam perbenihan dalam bentuk ekstrak ragi, darah,
vitamin B kompleks, asam amino, purin dan pirimidin.
7. Oksigen (berdasarkan keperluan O2)
Kuman anaerob obligat
Hidup tanpa O2, O2 toksis terhadap golongan kuman ini.
Kuman anaerob aerotoleran
Tidak mati dengan adanya O2.
Kuman anaerob fakultatif
Mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa O2.
Kuman aerob obligat
Tumbuh bila ada O2 dalam jumlah besar.
Kuman mikroaerofilik
Hanya tumbuh baik dalam tekanan O2 yang rendah.
8. Potensial oksidasi-reduksi (Eh)
Merupakan faktor yang menentukan apakah suatu kuman yang dibiakkan
dapat tumbuh atau tidak. Eh kebanyakan perbenihan bila berkontak dengan
udara adalah kurang lebih +0,2 0,4 volt pada pH 7.

43

9. Suhu
Tiap-tiap kuman mempunyai temperatur optimum yaitu dimana kuman
tersebut tumbuh sebaik-baiknya dan batas temperatur dimana pertumbuhan
dapat terjadi.
Berdasarkan batas-batas suhu pertumbuhan :
Psikhrofilik : -5oC sampai 30oC dengan optimum 10oC 20oC.
Mesofilik : 10oC 45oC dengan optimum 20oC 40oC.
Termofilik : 25oC 80oC dengan optimum 50oC 60oC.
10. pH
pH perbenihan juga mempengaruhi pertumbuhan kuman. Kebanyakan kuman
yang patogen mempunyai pH optimum 7,2 7,6.
11. Kekuatan ion dan tekanan osmotik
Bagi kebanyakan kuman sifat-sifat yang dimiliki perbenihan yang biasa
dipergunakan sudah memuaskan, tetapi bagi kuman-kuman yang berasal dari
laut dan yang diadaptasikan terhadap pertumbuhan dalam larutan gula
berkadar tinggi, faktor-faktor tersebut perlu di perhatikan.
Halofilik : kuman yang memerlukan kadar garam tinggi.
Osmofilik : kuman yang memerlukan tekanan osmotik tinggi.
Reproduksi Kuman
Aseksual
Pembelahan
Umumnya kuman berkembang biak secara amitosis dengan
membelahmenjadi dua bagian (binary division). Waktu diantara dua
pembelahan disebut generation time an ini berlainan untuk setiap jenis

kuman, bervariasi antara 20 menit sampai 15 jam.


Pembentukan tunas/cabang
didahului dengan pembentukan tunas yang tumbuh menjadi cabang dan
akhirnya melepaskan diri. Dapat di jumpai pada kuman dari famili
Streptomycetateae.

Pembentukan filamen
Sel mengeluarkan serabut panjang, filamen yang tidak bercabang. Bahan
krommosom kemudian masuk kedalam filamen. Filamen terputus-putus

menjadi beberapa bagian tiap bagian membentuk kuman baru.


Seksual
Reproduksi semacam ini hanya terjadi antara kuman-kuman sejenis dari satu
famili.
44

1. Fase penyesuaian diri (lag phase)


Umumnya berlangsung selama 2 jam. Kuman belum berkembang biak dalam
fase ini, tetapi akrivitas metabolismenya sangat tinggi.
2. Fase pembelahan (logarhytmik phase/exponential phase)
Kuman berkembang biak dengan berlipat dua, jumlah kuman meningkat
secara eksponensial. Untuk kebanyakan kuman fase ini berlangsung 1824jam.
3. Fase stasioner (stationary phase)
dengan meningkatnya jumlah kuman, meningkat juga jumlah hasil
metabolisme yang toksis. Kuman mulai ada yang mati, pembelahan
terhambat. Pada suatu saat terjadi jumlah kuman yang hidup tetap sama.
4. Fase kemunduran/penurunan (period of dicline)
jumlah kuman hidup berkurang dan menurun, keadaan lingkungan menjadi
sangat jelek. Pada beberapa jenis kuman timbul bentuk-bentuk abnormal
(bentuk involusi)
Variabilitas
Suatu spesies kuman dapat mengalami perubahan-perubahan, baik dalam
bentuk maupun dalam sifat-sifat lainnya tergantung pada keadaan sekitarnya.

Mutasi
Perubahan yang ada hubungannya dengan gen, bersifat tetap dan dapat

diturunkan pada keturunannya.


Fluktuasi
Perubahan yang bersifat sementara dalam morfologi dan fisiologi yang

biasanya disebabkan karena keadaan sekitarnya.


Involusi (degenerasi)
Perubahan yang disertai kemunduran sifat-sifat kuman, terdapat pada kumankuman yang sudah terlalu lama disimpan/dipelihara pada perbenihan

artifisial.
Adaptasi
Kuman-kuman berbeda-beda dalam penyesuaian dirinya terhadap keadaan
sekitarnya yang baru.

METABOLISME BAKTERI
Sebelum prosesnya diperlukan energi.biasanya energi yang diambil dari
proses fermentasi,respirasi,dan fotosintesa.jika suatu reaksi menghasilkan enegi

45

disebut eksergonik sedangkan jika reaksi pada saat prosses memerlukan energi
disebut endergonik.
-

Dapat dibagi dalam 2 bagian :


1

Anabolisme/Asimilasi meliputi proses sintesa (pembangunan)

Katabolisme/Desimilasi meliputi proses degradasi (perombakan)


Agar proses ini berlangsung Dibutuhkan ATP yang berasal dari
fermentasi, respirasi & fotosintesa
Bakteri heterotrof mengunakan zat organik sebagai sumber C untuk
mendapatkan energi
Bakteri autotrof membutuhkan C dalam bentuk anorganik, seperti CO2

Enzim-enzim yang berperan:


1

Dehidrogenesa (melancarkan reaksi reduksi oksidasi suatu metabolit)

Flavoprotein (transpor zat H dalam proses respirasi)

Sitokrom (proses respirasi pada bakteri aerob untuk transpor zat H ke O2

Contoh pathogenesis bakteri pathogen


Bakteri pada Saluran Pencernaan
Saluran pencernaan terdapat berbagai penyakit yang dapat terjadi. Salah
satu penyebabnya adalah bakteri. Begitu banyak bakteri yang dapat
menjangkit saluran pencernaan. Maka dari itu akan diperkenalkan bakteribakteri yang terdapat pada saluran pencernaan.
Escherichia coli
(a. Ciri-ciri:
Berbentuk batang, Bakteri gram negative, Tidak memiliki spora,
Memiliki pili, Anaerobik fakultatif, Suhu optimum 37 C, Flagella
peritrikus, Dapat memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan gas,
Patogenik : menyebabkan infeksi saluran kemih
(b. Habitat
Habitat utama Escherichia coli adalah dalam saluran pencernaan
manusia tepatnya di saluran gastrointestinal dan juga pada hewan
berdarah hangat. Bakteri ini termasuk umumnya hidup pada rentang
20-40 derajat C, optimum pada 37 derajat. Total bakteri ini sekitar
0,1% dari total bakteri dalam saluran usus dewasa.
(c. Virulensi dan Infeksi
Penyebab diare dan Gastroenteritis (suatu peradangan pada saluran
usus). Infeksi melalui konsumsi air atau makanan yang tidak bersih.

46

Racunnya dapat menghancurkan sel-sel yang melapisi saluran


pencernaan dan dapat memasuki aliran darah dan berpindah ke ginjal
dan hati. Menyebabkan perdarahan pada usus, yang dapat mematikan
anak-anak dan orang tua. E. coli dapat menyebar ke makanan melalui
konsumsi makanan dengan tangan kotor, khususnya setelah
menggunakan kamar mandi. Solusi untuk penyebaran bakteri ini
adalah mencuci tangan dengan sabun.
Salmonella sp.
(a. Ciri-ciri: Batang gram negative, Terdapat tunggal, Tidak berkapsul,
Tidak membentuk spora, Peritrikus, Aerobik, anaerobik fakultatif,
menyebabkan gastroenteritis
(b. Habitat
Terdapat pada kolam renang yang belum diklorin, jika terkontaminasi
melalui kulit,akan tumbuh dan berkembang pada saluran pencernaan
manusia.
(c. Infeksi
Masuk ke tubuh orang melalui makanan atau minuman yang tercemar
bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan adalah peradangan pada saluran
pencernaan sampai rusaknya dinding usus. Penderita akan mengalami
diare, sari makanan yang masuk dalam tubuh tidak dapat terserap
dengan baik sehingga penderita akan tampak lemah dan kurus. Racun
yang dihasilkan bakteri salmonella menyebabkan kerusakan otak,
organ reproduksi wanita, bahkan yang sedang hamilpun dapat
mengalami keguguran. Satwa yang bisa menularkan bakteri
salmonella ini antara lain primata, iguana, ular, dan burung.
(d. Patogenesis
- Menghasilkan toksin LT.
- Invasi ke sel mukosa usus halus.
- Tanpa berproliferasi dan tidak menghancurkan sel epitel.
- Bakteri ini langsung masuk ke lamina propria yang kemudian
menyebabkan infiltrasi sel-sel radang.
(e. Penularan
Melalui makanan yang erat kaitannya dengan perjamuan makanan.
Terjadi sakit perut yang mendadak. Jadi, melalui kontar makanan
yang terjangkit atau terkontaminasi bakteri.
B. PROTOZOLOGI
47

Protozoa merupakan hewan bersel tunggal, berinti sejati (eukariotik) dan


tidak memiliki dinding sel. Protozoa berasal dari kata protos yang berarti
pertama dan zoom yang berarti hewan sehingga disebut sebagai hewan pertama.
Ukurannya antara 3 1000 mikron dan merupakan organisme mikroskopis
bersifat heterotrof. Tempat hidupnya adalah tempat yang basah yang kaya zat
organik, air tawar atau air laut sebagai zooplakton, beberapa jenis bersifat parasit
dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan ternak.
Protozoa adalah organisme satu sel (sel tunggal), tetapi telah memiliki fungsi
antara lain metabolisme, pergerakan, digesti, respirasi, sekresi, reproduksi,
pertahankan hidup dan lain-lain yang diselenggarakan oleh organela sel.
Struktur umum protozoa tersusun oleh INTI dan SITOPLASMA.
INTI
Inti adalah bagian yang paling penting, karena mengatur berbagai
fungsi hidup dan berperan dalam mengaturan reproduksi. Inti ditemukan di
dalam Sitoplasma (pada bagian Endoplasma). Inti sel terdiri dari berbagai
struktur antara lain : selaput Inti (nuclear membrane), serabut serabut
linin, butir butir kromatin (Chromatine granule) dan kariosum atau plastin.
Umumnya protozoa hanya mempunyai satu inti, akan tetapi kelas Ciliata
mempunyai dua buah inti (makronukleus dan mikronukleus) dan bahkan ada
juga beberapa protozoa yang memiliki banyak inti dan bahkan ada yang
mempunyai inti pelengkap seperti kinetoplas, blefaroplas dan benda
parabasal
SITOPLASMA
Dapat dibedakan menjadi ektoplasma dan endoplasma.
Ektoplasma adalah bagian yang paling luar dari sitoplasma yang
merupakan hialin dan berfungsi untuk melindungi diri (protektif),
melakukan pergerakan (lokomosi) dan mengenal lingkungannya (sensoris).
Selain itu mulut, sitostom, sitofaring , dan dinding kista terbentuk oleh
bagian ektoplasma
Endoplasma adalah bagian dari sitoplasma di sebelah dalam, bersifat
granuler dan mempunyai fungsi : dalam pencernaan makanan dan fungsi
nutrisi lainnya, serta peranan dalam proses reproduksi. Pada endoplasma
ditemukan bermacam macam organela, diantaranya : reticulum

48

endoplasma dan ribosoma, mitokondria, aparat golgi, vakuola kontraktil,


vakuola vakanan, zat cadangan seperti glikogen.
STADIUM
Selama siklus hidupnya beberapa anggota protozoa mempunyai dua
macam stadium, yaitu stadium aktif dikenal dengan tropozoi dan stadium
tidak aktif dikenal dengan Kista. Stadium tropozoit, protozoa bisa bergerak
(menggunakan alat gerak tergantung jenisnya), tumbuh dan memperbanyak
diri, tetapi tidak tahan (peka) terhadap berbagai pengaruh lingkungan
dibandingkan bentuk kista.
Stadium kista, protozoa mengbungkus dirinya dengan dinding yang
tebal sehingga tidak dapat bergerak, tidak tumbuh dan tidak memperbanyak
diri, tetapi tahan (resisten) terhadap berbagai pengaruh lingkungan seperti
temperatur tinggi, kekeringan atau kelembaban tinggi, bahan bahan kimia
dan yang lainnya.
PERGERAKAN
Protozoa parasitik umumnya bergerak menggunakan : flagela, ,
selaput undulasi, silia, pseudopodia dan cara bergerak lainnya dengan :
membengkok, memilin, meluncur, mengombak permukaan tubuh bagian
luar yang memungkinkan untuk bergerak, menggelinding, melecut (meliuk)
a. Flagela (Bulu Cambuk), adalah organel yang menyerupai
cambuk. Pada beberapa spesies flagela dapat berlanjut
sepanjang badan kearah belakang, melekat sepanjang badan
atau hanya pada beberapa tempat tertentu saja dan
membentuk membran beralun (undulating membrane)
b. Silia (Rambut getar), mirip dengan flagela, tetapi ukurannya
sangat kecil dan pendek, umumnya tersusun berjajar sehingga
mirip seperti bulu mata, mengelilingi seluruh permukaan
tubuh.
c. Pseudopodia (Kaki Semu), gerakan yang dilakukan dengan
menonjolkan bagian ektoplasma. Merupakan alat gerak
sementara

yang

dapat

dibentuk

dan

ditarik

apabila

dibutuhkan.
REPRODUKSI (Perbanyakan diri)
Mengatur semua fungsi penting kehidupan protozoa, selain itu juga
berperan dalam reproduksi (perbanyakan diri). Hanya bentuk tropozoit yang
49

mampu memperbanyak diri, sedangkan bentuk kista, protozoa dalam


keadaan statis. Reproduksi protozoa dapat dibedakan menjadi : Aseksual
dan Seksual.
REPRODUKSI

ASEKSUAL,

protozoa

mengadakan

multiplikasi

(perbanyakan) dengan cara: Pembelahan sederhana, Pembelahan Berlipat


Ganda,dan Perbanyakan dengan Penguncupan
d. Perbanyakan dengan Pembelahan Sederhana (simple binary
fission) atau pembelahan biner (Binary fission), dimana tiap
individu membelah menajdi dua secara (longitudinal) pada
flagelata dan (transversal) pada siliata dan Amoeboid. Mula
mula inti membelah menjadi dua, kemudian baru diikuti oleh
pemisahan sitoplasma.
e. Perbanyakan
dengan

Pembelahan

Berlipat

Ganda

(Skizogoni), pada awalnya inti akan membelah beberapa


kali

(berulang

ulang),

kemudian

sitoplasma

akan

mengelilingi setiap inti yang membelah, sehingga pada


akhirnya akan terbentuk beberapa individu baru. Sel yang
sedang membelah disebut SKIZONT atau MERONT,
GAMON dan SEGMENTER dan hasil pembelahan setiap
selnya disebut Merozoit.
f. Perbanyakan dengan Penguncupan

(Budding)

atau

pembentukan tunas : bisa dibedakan mejadi penguncupannya


di luar (Ekterna) dikenal dengan Ektogeni, sedangkan
penguncupan di dalam (Interna = Endogen) dikenal dengan
Endogeni.
Ektogeni, akan terbentuk individu baru pada ektoplasma, kemudian
memisahkan diri dan tumbuh menjadi individu baru.
Bila terbentuk dua sel disebut ektodigeni dan apabila lebih disebut
ektopoligeni.
Endogeni, akan terbentuk individu baru di dalam endoplasma,
kemudian akan keluar dengan cara merusak ektoplasma. Jika hanya
terbentuk dua sel disebut Endodiogeni dan apabila lebih disebut
endopoligeni.

50

REPRODUKSI SEKSUAL
Pada protozoa parasitik hanya terjadi KONJUGASI dan SYNGAMY
g. KONJUGASI, (umumnya ditemukan pada Siliata), dua
individu bertemu secara temporer (sementara) dan bersatu
pada

satu

sisi

sepanjang

bagian

dari

tubuhnya.

Makronukleusnya bergenerasi, sedangkan Mikronukleusnya


membelah beberapa kali dan satu dari pronuklei haploid yang
dihasilkan menyeberang dari satu konjugan ke konjugan yang
lain. Konjugan konjugan itu lalu berpisah dan terjadi
reorganisasi inti.
h. SYNGAMY (Singami),

dua

gamet

(mikrogamet

dan

Makrogamet) bersatu untuk membentuk zigot, di dalam Sigot


nantinya akan terbentuk Sporozoit.
Klasifikasi Protozoa
Kelas Rizopoda
Merupakan golongan protozoa yang memiliki pseudopodi sebagai alat
motorik. Terdapat beberapa genus, antara lain :
i. Genus Entamoeba
Memiliki beberapa spesies yaitu : Entamoeba histolytica, Entamoeba coli,
dan Entamoeba ginggivalis.
Morfologi
Memiliki tiga bentuk, yaitu trofozoit, prekista, dan kista (Entamoeba
histolytica, Entamoeba coli), Entamoeba ginggivalis berbentuk trofozoit.
Trofozoit merupakan bentuk invasive dan umumnya terdapat di usus besar
(di jaringan mukosa dan submukosa), kista berada di lumen usus.
Patogenesis :
Primer
Penderita mengalami amebiasis intestinal. Organ yang diserangnya
terutama bagian sekum dan bagian lain yang sangat bergantung pada
resistensi hospes, virulensi dari strain ameba, kondisi lumen usus
(infeksi / tidaknya dinding usus), kondisi makanan (jika makanan
banyak mengandung karbohidrat, ameba menjadi pathogen), dan
keadaan flora normal usus.
Pada keadaan lanjut, proses ini dapat sampai ke submukosa dan dari
sini ameba masuk ke sirkulasi darah, yang selanjutnya akan timbul
lesi ekstra-intestinal.
Sekunder
51

Terjadi pada amebiasis ekstra-intestinal. Proses ekstra-intestinal


dapat terjadi akibat penyebaran parasit secara hematogen. Organ
yang sering terkena adalah hati yang menimbulkan amebic hepatic
dan selanjutnya menimnulkan abses hepatikum.
Proses amebiasis ekstra-intestinal, dapat terjadi hal hal berikut :
j. Amebiasis hati
k. Amebiasis kulit
l. Amebiasis paru
m. Amebiasis pleura kanan
n. Diafragma akan terkena apabila abses hati kanan pecah
o. Rongga peritoneum terkena apabila abses hati kanan pecah dan
menyerang bagian rongga peritonium
p. Amebiasis serebral
q. Abses limpa
Gejala Klinis
Amebic diare : diare yang sering, berisi mukosa dan darah (jumlah feses
sedikit), kadang dapat terjadi obstipasi
Amebic disenteri : defekasi sering, demam, tenesmus, feses terdiri dari sel
mukosa dan darah
Ameba apendisitis : proses akut / kronis, tanpa demam, pemberian AB tidak
efektif, kontraindikasi dilakukan operasi.
Amebic pada sekum dan kolon ascendant : menimbulkan peradangan.
Amebic granuloma : karena penebalan dinding kolon akibat amebiasis kronis.
Biasanya terjadi di sekum sampai rectum.
Amebic abses : nyeri pada epigastrum kanan, jalan membungkuk, demam,
malaise, ada ikterus.
Amebic kulit : kulit tampak kemerahan, ekskresi berwarna coklat kehijauan.
Amebiasis vagina : ada fluor albus, ulkus pada labia mayora.
Pengobatan
Metronidazole
Dewasa : 2 x 1 gram, selama 3 5 hari atau 3 x 750 mg selama 5 10

hari.
Anak anak : 50 mg/kg/ BB/hari selama 5 10 hari.
Nimorazol
Dewasa : 2 gram/hari selama 5 hari (amebiasis usus)
Anak anak : 30 40 mg/kg BB/hari selama 5 hari (amebiasis usus).
Ornidazol
Dewasa : 2 x 1 gram/hari selama 3 hari
Anak anak : 50 mg/kg BB/hari selama 3 hari.
Tinidazol
2 gram (dosis tunggal) selama 2 3 hari
Seknidazol

52

Dewasa : 3 x 500 mg selama 3 hari (amebiasis usus)


Anak anak : 25 mg/kg BB selama 3 hari
Dehidroemiten dihidroksida (DH Emetin 30)
1 1,5 mg/kg BB/hari injeksi
Clefamid
3 x 500mg selama 10 20 hari
r. Genus Endolimax
Memiliki spesies yaitu : endolimax nana
Ciri ciri utama mempunyai ukuran 6 12 mikron, rata ratanya
berukuran 8 mikron. Endoplasma bergranula,dan nucleus tidak dapat
dibedakan. Mempunyai tiga bentu stadium yaitu trofozoit, prekista, dan
kista.
s. Genus Iodomoeba
Memiliki spesies yaitu : Iodomoeba butschii
Memiliki ukuran 6 20 mikron. Endoplasma bergranula,dan nucleus tidak
dapat dibedakan. Mempunyai tiga bentu stadium yaitu trofozoit, prekista,
dan kista.
t. Genus Dientamoeba
Spesiesnya Dientamoeba fragilis
Mempunyai ukuran 6 18 mikron. Ektoplasmanya jernih, dan nucleus
kelihatan tidak begitu jelas.

Kelas Ciliata
Merupakan protozoa yang memiliki silia, salah satu spesiesnya adalah
Balantidium coli.
Balantidium coli, merupakan protozoa usus manusia terbesar dan satu
satunya yang merupakan pathogen, menimbulkan balantidiasis atau ciliate
dysenteri. B. coli dalam siklus hidupnya memiliki 2 stadium, yaitu stadium
trofozoit dan kista.
Siklus Hidup :
u. Trofozoit, berbentuk lonjong berukuran 60 70 x 40 50 m.
Tubuh tertutup silia pendek, kecuali di daerah mulut yang
bersilia lebih panjang. Bagian anterior terdapat cekungan
yang dinamakan peristom dan terdapat mulut (sitostom), tidak
memiliki usus. Bagian posterior memiliki anus. Terdapat 2 inti
yang terdiri dari makronukleus dan mikronukleus. Terdapat
juga vakuola makanan yang berisi sisa makanan, bakteri,
leukosit, eritrosit, dll dan vakuola kontraktil (cv).

53

v. Kista berbentuk bulat, ukurannya 50 60 , dindingnya 2


lapis,

sitoplasmanya

bergranul,

terdapat

makro

dan

mikronukleus serta sebuah badan refraktil.


Trofozoit hidup dalam mukosa dan submukosa usus besar, terutama di
daerah sekum bagian terminal. Trofozoit tidak dapat hidup lama di luar
badan, tetapi kista tetap hidup selama beberapa minggu. Kista yang dapat
hidup diluar badan adalah bentuk infektif. Apabila tertelan oleh hospes
baru, dinding kista hancur dan trofozoit yang dilepaskan masuk ke
dinding usus dan memperbanyak diri.
Stadium kista dan trofozoit dapat berlangsung di dalam satu jenis hospes.
Hospes alami adalah babi, sedangkan manusia merupakan hospes
insidentil. Kista infektif yang tertelan akan berubah menjadi bentuk
trofozoit da dalam usus besar. Didalam lumen usus atau submukosa usus,
trofozoit tumbuh dan memperbanyak diri (multiplikasi). Jika lingkungan
usus kurang sesuai, trofozoit berubah menjadi kista.
Reproduksi berlangsung secara binary transverse fission (belah diri
melintang) yaitu trofozoit melakukan pembelahan diri dan secara
konjugasi, 2 trofozoit membentuk kista bersama, dan kemudian bertukar
materi dari inti dan berpisah kembali menjadi 2 trofozoit baru.
Patologi dan Gejala Klinis
Pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis dan infeksi pada
manusia terjadi karena kista infektif tertelan bersama air atau makanan yang
telah tercemar feses babi atau penderita lainnya. Pada usus besar
menimbulkan ulserasi sehingga timbul perdarahan dan pembentukan lendir di
feses penderita.
Mukosa dan submukosa usus diinvasi oleh jasad yang memperbanyak
diri. Invasi berhasil dengan bantuan fermen fermen sitolitik dan
penerobosan secara mekanik. Parasit memperbanyak diri dengan membentuk
sarang dan abses kecil yang kemudian pecah menjadi ulkus.
Banyak infeksi berlangsung tanpa gejla dan prognosisnya bergantung
pada hebatnya infeksi serta terhadap terapi.

54

Pengobatan
Obat obatan
diiodohidroksikinolin

yang

sering

(diiodokin),

digunakan
sediaan

adalah
arsen

dari

golongan

(karbarson),

dan

oksitetrasiklin.
Kelas Mastighopora
Kelas Sporozoa
Kelas Nematoda
Kelas cestoda
Kelas trematoda

55

Daftar Referensi
Dinas Gould dan Chiristine Brooker, 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat.
Jakarta : EGC
Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman
Praktek Laboratorium yang Benar (Good Laboratory Practice), Cetakan
ke-3, Jakarta.
Gunawan, SG, Setyabudi, R, Nafrialdi, Ellysabeth (Editor). 2007. Farmakologi dan
Terapi Ed.5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
http://www.scribd.com/doc/40213883/Cara-Pengambilan-Sampel-Darah-Vena
diakses pada 19 Juli 2013
http://ml.scribd.com/doc/99863544/MAKALAH-FLEBOTOMI Diakses pada 19
Juli 2013
ikma10fkmua.files.wordpress.com/.../inflamasi-akut-dan-kronik-s1-fkm-... diakses
pada 19 Juli 2013
Joyce LeFever Kee, 2007.Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, Edisi
6, Jakarta : EGC.
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta: Salemba
Medika
Muslim, H.M. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta
Nurachmah, Elly & Ratna S. Sudarsono. 2005. Buku Saku Prosedur Keperawatan
Medikal-Bedah. EGC : Jakarta.
Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes Radiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22896/4/Chapter%20II.pdf diakses pada
19 Juli 2013
Supriana, N. Terapi Radiasi. 2008. http: //www.radioterapi-cm.org/index.php?
lang=ina&to=mnu_120 diakses pada 18 Juli 2013
Tambayong, J. 2002. Farmakologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika

56

57

You might also like