You are on page 1of 15

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No.

1 (2015) 25-39

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMUKIMAN


KUMUH DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Siti Nursyamsiyah1, M. Thoha B Sampurna Jaya2, Samsul Bakri2
1

Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung


2
Dosen Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung

Abstract: Identification of slum areas needs to be carried out not only in municipality or metropoitan
city, but also in all regencies (municipal city/ regency). Identification is intended to detect the exact
location of slum areas which is then used to formulate solution programs. In identifying the slum areas, a
set of criteria are used to determine if a particular area can be labelled as slum or not. The criteria are
broadly categorized into physical components and some additional components. The method of slum area
labelling was undertaken by applying comprehensive analysis method where assessment was carried out
by scoring the aforementioned criteria.Through research carried out in Bandar Lampung, the result
showed that among 30 villages, consisting of 20 non-coastal area villages and 10 in coastal areas, the
highest degree of slum areas was found in Teluk Betung Village (3,17) and the lowest one was found in
Tanjung Senang (1,44). Coastal areas are generally slummier than non-coastal ones. Through quantitatif
(analysis ordinal regression), with minitab 16.0 it was found that there were five variables which have
caused high degree of slums ( = 10 %) i.e; population density, land suitability, clean water public,
green open space, and poor rate, with P value for i.e: 0,018, 0,038, 0,100, and 0,056. While variables
education rate, road condition, number of family members, and criminality rate havent caused degrre of
slums with P value i.e : 0,817, 0,875, 0,706, and 0.369.
Keywords: criteria of slum, degree, slum areas, identification

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota secara umum adalah tempat
bermukimnya warga kota , tempat bekerja,
tempat kegiatan dalam bidang ekonomi,
pemerintahan dan lain-lain. Kota adalah suatu
sistem jaringan
kehidupan manusia yang
ditandai dengan kepadatan yang tinggi, dan
diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang
heterogen dan coraknya yang materialistik atau
dapat diartikan sebagai bentang budaya yang
ditimbulkan oleh unsure-unsur alami dan
nonalami dengan gejala-gejala pemusatan
penduduk yang cukup besar dengan corak
kehidupan yang bersifat heterogen dan
materalistik dibandingkan dengan daerah
belakangnya (Bintarto, 1983). Perkembangan
kota yang dinamis membawa berbagai macam
dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu
sendiri. Perkembangan pusat kota yang
merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi
daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa
pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik
dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar
wilayah kota, sehingga menyebabkan pula
tingginya arus urbanisasi. Kepadatan penduduk

akan meningkat dan tentu akan menimbulkan


berbagai dampak, baik positif maupun dampak
negatif.
Salah satu dampak yang terjadi adalah
timbulnya permukiman kumuh di kawasan
perkotaan. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat
merupakan kawasan perkotaan dan pedesaan,
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan
kumuh menurut kamus besar bahasa Indonesia
diartikan sebagai kotor atau tercemar.
Predikat kota dengan nilai terjelek
menurut hasil penilaian kementrian Lingkungan
Hidup pada tahun 2012, tentu membuat
Pemerintah Kota Bandar Lampung
harus
mencari akar permasalahan kenapa mendapatkan
predikat tersebut. Salah satu penyebab penilaian
tersebut tentunya disebabkan adanya beberapa
kawasan permukiman kumuh di kota Bandar
Lampung. Menurut Dinas Bina Marga dan
Permukiman Kota Bandarlampung Tahun 2007
kawasan permukiman kumuh ada di 24
Kelurahan, yang tersebar di 8 Kecamatan. Oleh
karena perkembangan kota yang semakin pesat
tentu permukiman kumuh semakin meningkat,

25

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

menurut Danisworo dalam Khomarudin, bahwa


tumbuhnya permukiman-permukiman spontan
dan permukiman kumuh merupakan bagian yang
terpisahkan dari proses urbanisasi. Sehingga
Penelitian tentang Permukiman Kumuh di Kota
Bandar Lampung sangat penting, sehingga
perencanaan wilayah dan penataan ruang Kota
Bandar Lampung dapat lebih terarah, terutama
dalam
hal
mengantisipasi
permasalahan
permukiman kumuh.
Sebaran Kawasan Kumuh yang pada
tahun 2007 mencapai 24 Kelurahan (Dinas
Permukiman dan Bina Marga,2007), tentunya
aktivitas permukiman kumuh tersebut akan
semakin meningkat dan meluas di Kota Bandar
Lampung, menimbulkan berbagai permasalahan
bagi penataan ruang di wilayah ini dan penataan
ruang kota Bandar Lampung secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan
dikemukakan beberapa rumusan masalah,
sebagai berikut :
1) Kekumuhan wilayah permukiman ditinjau dari
aspek fisik, yang terlihat dari
a. Pemanfaatan
daerah
sungai
oleh
masyarakat untuk kegiatan ekonomi, yang
menjadikan terganggunya fungsi sungai
secara maksimal.
b. Tidak adanya jarak antar bangunan yang
mengakibatkan rumah tidak sehat.
c. Kumuhnya permukiman akibat aktivitas
wilayah
yang
berlebihan,
sehingga
menyebabkan lingkungan hunian menjadi
tidak sehat dan tidak nyaman untuk
ditinggali
d. Tidak berfungsinya saluran drainase kota di
wilayah tersebut secara optimal.
e. Sampah dan limbah akibat aktivitas warga
yang tidak dikelola dengan baik,
menyebabkan pemandangan yang kotor.
f. Kurangnya sarana prasarana juga kurang
terpeliharanya sarana dan prasarana ( jalan
lingkungan, tempat sampah, MCK umum ).
2) Terlalu padatnya jumlah penduduk, yang
kurang seimbang dengan daya tampung ruang
hunian dan penataan ruang yang kurang tepat.
Dengan
memperhatikan
kondisi
permasalahan di atas, maka perlu diadakan suatu
penelitian untuk mengetahui : faktor apa saja
yang menyebabkan kekumuhan di wilayah Kota
Bandar Lampung ?
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah
(1) Untuk mengetahui perbedaan Tingkat
Kekumuhan di wilayah penelitian.
(2) Untuk Mengetahui persebaran kondisi
permukiman kumuh di wilayah penelitian

(3) Untuk mengetahui Faktor - Faktor yang


secara nyata menyebabkan kekumuhan di
Daerah Penelitian
METODE PENELITIAN
Dalam pelaksanaan studi terdiri dari
beberapa tahapan proses penelitian antara lain
tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan
tahap
analisis.
Tahapan
kegiatan
ini
dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang
dibutuhkan,
pelaksanaan
analisis
yang
digunakan, hingga akhirnya mendapatkan hasil
atau output yang diinginkan sesuai tujuan studi.
Tahap Persiapan
Tahapan
ini
dilakukan
untuk
mendapatkan data-data yang lengkap guna
mendukung penyusunan studi ini dan masih
bersifat data sekunder. Untuk menghasilkan data
yang lengkap dan akurat, aspek yang perlu
diperhatikan adalah dengan melihat/mengamati
permasalahan yang terjadi di daerah studi. Untuk
mendapatkan data-data yang akurat tersebut
dilakukan persiapan, antara lain:
1. Perumusan masalah, tujuan, dan sasaran
studi
Program studi diangkat berdasarkan kondisi
lingkungan
dan
aktivitas
kawasan
permukiman yang berada di wilayah Kota
Bandar Lampung. Berkaitan dengan kondisi
kawasan tersebut maka dalam studi ini
diharapkan mampu menemukan faktor
penyebab kekumuhan lingkungan kawasan
permukiman kumuh yang berada di Kota
Bandar Lampung.
2. Penentuan Lokasi Studi
Lokasi studi yang diangkat dalam studi ini
adalah Kota Bandar Lampung yang
memiliki 126 Kelurahan (BPS, 2013)
dengan pengambilan sampel 30 Kelurahan,
10 Kelurahan mewakili wilayah pesisir dan
20 Kelurahan mewakili non pesisir.
3. Inventarisasi data-data yang ada, yaitu
berupa data studi yang pernah dilakukan.
Tahap ini berguna sebagai gambaran
tentang studi yang akan dilaksanakan
sekaligus juga untuk menyusun strategi
pengumpulan data dan informasi untuk
tujuan studi ini.
4. Pengumpulan studi pustaka yang berkaitan
dengan penelitian ini untuk mempermudah
dalam pembuatan
metodologi serta
pemahaman terhadap permasalahan yang
diambil.
5. Penyusunan teknis pelaksanaan survai
Kegiatan ini meliputi perumusan teknis
pengumpulan data, teknik sampling, jumlah

26

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

dan
sasaran
penyebaran
kuesioner,
rancangan pelaksanaan observasi serta
format kuesioner.
Penentuan Jumlah Sampel
Studi ini menggunakan teknik penarikan
sampel untuk bahan studi dengan alasan bahwa
peneliti tidak mungkin untuk mengamati seluruh
anggota
populasi.
Menurut
Sumaatmaja
(1988:54)
mengatakan
bahwa
sampel
merupakan bagian dari populasi yang bersifat
mewakili populasi yang bersangkutan . Dan
menurut
Suharsimi
Arikunto
(1987)
mengemukakan bahwa penarikan sampel
tergantung pada:
1) Kemampuan penelitian dilihat dari segi
waktu, tenaga dan biaya.
2) Sempit dan Luasnya pengamatan dari setiap
subjek karena hal ini menyangkut banyak
sedikitnya data.
3) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh
peneliti.
Mengenai besarnya sampel menurut Tika
(2005 : 25) mengatakan bahwa sampai saat ini
belum ada ketentuan yang jelas tentang besaran
minimal sampel yang dapat diambil dan dapat
mewakili suatu populasi yang akan diteliti.
Kendati demikian, dalam teori sampling
dikatakan bahwa sampel terkecil dan dapat
mewakili distribusi normal adalah 30. Untuk itu
dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive
Sampling sehingga diambil 30 kelurahan dari
126 kelurahan yang ada di Kota Bandar
Lampung. Adapun rincian karateristik kelurahan
yang terpilih sebagai sampel adalah 10 kelurahan
pesisir dan 20 kelurahan non pesisir.
1. Tahap Pengumpulan Data
Data merupakan gambaran tentang suatu
keadaan atau persoalan yang dikaitkan dengan
tempat dan waktu, yang merupakan dasar suatu
perencanaan dan merupakan alat bantu dalam
pengambilan keputusan. Masalah, tujuan, dan
hipotesa penelitian, untuk sampai pada suatu
kesimpulan harus didukung oleh data-data yang
relevan. Relevansi data dengan variabel-variabel
penelitian didasari oleh metode pendekatan
masalah yang relevan (Sumaatmaja, 1998:104).
Pada suatu proses penelitian, tahapan
pengumpulan data merupakan tahapan yang
harus direncanakan untuk mendapatkan suatu
hasil yang optimal yang sesuai dengan tujuan
dan sasaran penelitian pada proses-proses
selanjutnya.
Sumber-sumber
data
yang
dibutuhkan guna penyusunan studi ini adalah:
a. Data Sekunder
Sumber sekunder merupakan sumber
data yang berasal dari instansi yang terkait

dengan studi untuk mendapatkan data-data yang


dibutuhkan untuk kegiatan analisis. Di samping
itu, data sekunder lainnya adalah studi literatur
untuk mendapatkan literatur yang berkaitan
dengan studi. Teknik pengumpulan data
sekunder dilakukan melalui survei ke beberapa
instansi pemerintah yang diharapkan dapat
menjadi sumber data, yaitu:
1) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Bandar Lampung
2) Kantor Lingkungan Hidup Kota Bandar
Lampung
3) Badan Pertanahan Nasional Kota Bandar
Lampung
4) Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar
Lampung
5) Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung
Waktu pengumpulan data sekunder disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di lapangan.
b. Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui survai primer
yang dilakukan melalui
pengamatan langsung (observasi) di wilayah
studi dan wawancara atau pertanyaan kepada
para masyarakat.
Teknik Pengumpulan Data Primer :
1) Pengamatan Visual
Pengamatan ini dilakukan dalam identifikasi
tingkat kepustakaan dan kebutuhan
pengembangan kawasan studi
2) Rekaman Visual
Rekaman kondisi eksisting dengan foto atau
sketsa-sketsa dalam upaya merekam data-data
kondisi lapangan.
3) Penyerapan Aspirasi Melalui Kuisioner
Langsung
Penyerapan
aspirasi
dilakukan
untuk
memperoleh informasi permasalahan dan potensi
kawasan saat ini serta untuk menggali kawasan
kondisi lingkungan di lapangan. Dengan
demikian diharapkan bahwa studi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan kompilasi data
yang didapatkan dari instansi terkait dan
masukan dari kondisi sebenarnya di lapangan
sehingga data yang diperoleh secara keseluruhan
menjadi lebih akurat.
2. Tahap Pengolahan dan Penyajian Data
Apabila pengumpulan data sudah
dilakukan, maka data yang sudah terkumpul
harus diolah dan dianalisis. Prosedur pengolahan
data yang akan dilakukan dalam analisis kegiatan
studi adalah sebagai berikut (Soehartono, 1995).
a. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan setelah
kegiatan pengumpulan data sekunder selesai.
Teknik pengumpulan data ini dapat digunakan

27

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

sebagai penunjang studi dalam tahap analisis


sesuai kebutuhan data. Dalam pengolahan data
ada beberapa hal yang harus dikerjakan yaitu:
1) Editing, yaitu meneliti/memilih kembali
kelengkapan dan kebenaran atas data yang
dibutuhkan.
2) Koding, yaitu dengan mengklasifikasikan
frekuensi
data
dalam
masing-masing
kelompok/kategori sesuai dengan kebutuhan
dalam analisis yaitu dengan pengkodean data
agar data lebih mudah dicari.
3) Tabulasi, yaitu dengan mengelompokkan data
untuk mempermudah proses analisis.
4) Klasifikasi, yaitu data yang dipilah
berdasarkan berdasarkan kebutuhan analisis
yang akan dikerjakan.
5) Analisis, yaitu perhitungan data berdasarkan
data yang ada dan model analisis yang sudah
dikembangkan berdasarkan maksud dan
tujuan studi yang sudah disusun.
b. Teknik Penyajian Data
Setelah data diolah dan diklasifikasi, kemudian
disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu seperti
berupa tabel diagram, gambar, dll, untuk
mempermudah
dalam
pembacaan
dan
pemahaman.
3. Tahap Analisis
Pada tahap analisis ini akan dijelaskan mengenai
prinsip dasar analisis yang akan digunakan.
Teknik analisis yang dipakai sebagai upaya
dalam pencapaian tujuan studi adalah Analisis
Deskriptif Kualitatif, dengan melihat tingkat
kekumuhan dan analisis kuantitatif dengan
analisis Regresi ordinal. Metode ini dapat
diartikan sebagai usaha untuk mengukur tingkat
pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen. Kemudian dicari makna hubungan
variabel independen terhadap variabel dependen
dengan uji signifikansi.
a. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif ( Sugiyono 2006: 21)
yaitu untuk menganalisis gejala atau fakta
dengan mengolah dan menginterpretasikan data
berupa pendapat serta data-data yang bersifat non
angka yang terdapat pada masa sekarang di
daerah
penelitian.
Hasilnya
berupa
pengkatagorian dengan presentase.
P = f/n X 100 %
P = nilai presentase
n = jumlah data keseluruhan
F = Frekuensi munculnya data
Untuk mempermudah dalam penafsiran dan
penyimpulan, maka digunakan parameter yang
dikemukakan oleh Arikunto (1996:57) dimana :
0 % ditafsirkan tidak ada
1-24 % sebagian kecil
25 49 % hampir setengahnya
50 % setengah

51- 74 sebagian besar


75 99% hampir seluruhnya
100 % seluruhnya
Untuk menghitung nilai tingkat
kekumuhan digunakan rumus berikut (Dirjen
Perumahan dan Pemukiman 2002, dengan
modifikasi pengkatagorian):

TK = ( nk X bobot)
Keterangan
TK = Tingkat Kekumuhan
nk = Nilai Kekumuhan diperoleh dari nilai
masing-masing indikator
bobot = persentase untuk masing masing
indikator yang telah ditetapkan
Nilai TK adalah 1 tk 5 dengan kriteria di
daerah penelitian sebagai berikut:
TK < 2,40 = Tidak Kumuh
2,40 TK 2,70 = Agak Kumuh
TK > 2,70 = Kumuh
Berikut adalah indikator indikator dan
pembobotan dari dirjen Perumahan dan
pemukiman yang digunakan dalam penentuan
tingkat kekumuhan yaitu:
a. Kondisi Bangunan
1) Tingkat
kualitas
bangunan
yaitu
persentase banyaknya bangunan rumah
yang tidak permanen dalam suatu
lingkungan kawasan
2) Tingkat Kepadatan bangunan yaitu
jumlah unit bangunan persatuan luas
(Ha) dalam suatu lingkungan kawasan
3) Tingkat kelayakan bangunan yaitu
persentase banyaknya bangunan rumah
yang tidak layak atau sehat dalam
penggunaan material seperti dinding,
plafon dan lantai.
4) Tingkat penggunaan luas bangunan yaitu
rata-rata luas ruangan yang dipergunakan
oleh penduduk
5) Kesesuaian Lahan yaitu persentase
perbandingan antara jumlah rumah yang
dibangun di atas tanah yang bukan
sebagai perumahan dengan jumlah
rumuh yang dibangun pada tanah yang
diperuntukan bagi perumahan yang
sesuai RUTR.
6) Status penguasaan bangunan yaitu
persentase status kepemilikan dan
penggunaan bangunan.
7) Frekuensi bencana kebakaran yaitu
banyaknya kejadian kebakaran pada
suatu kawasan tiap tahunnya
8) Frekuensi
bencana
banjir
yaitu
banyaknya bencana banjir pada suatu
kawasan dalam satu tahun
b. Kondisi Sarana dan Prasarana

28

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

1) Tingkat Pelayanan air bersih yaitu


persentase jumlah Kepala Keluarga (KK)
yang tidak mendapat pelayanan PDAM
baik yang berasal dari kran Rumah
Tangga maupun Kran Umum dalam
suatu wilayah
2) Kondisi sanitasi lingkungan yaitu
persentase jumlah KK yang tidak
menggunakan fasilitas jamban keluarga
atau jamban umum
3) Kondisi persampahan yaitu jumlah KK
yang
tidak
mendapat
pelayanan
pengangkutan sampah oleh Pemda,
Swasta atau Swadaya.
4) Kondisi saluran air hujan atau drainase
yang tidak layak dalam suatu wilayah
5) Kondisi jalan yaitu persentase jalan yang
rusak dibandingkan dengan panjang jalan
seluruhnya dalam suatu wilayah
6) Ruang Terbuka yaitu persentase luas
ruang terbuka dalam satu wilayah
c. Kondisi Sosial Ekonomi
1) Tingkat Kemiskinan yaitu Persentase
jumlah keluarga miskin dalam katagori
pra sejahtera dan keluarga sejahtera I
dalam suatu wilayah
2) Tingkat Pendapatan yaitu persentase
jumlah penduduk usia produktif dengan
pendapatan
3) Tingkat Pendidikan yaitu persentase
jumlah penduduk yang menamatkan
pendidikan dasar 9 tahun
4) Tingkat Kerawanan Keamanan yaitu
jumlah kejadian tindak kriminal dalam

suatu wilayah yang terjadi dalam kurun


satu tahun
d. Kependudukan
1) Tingkat Kepadatan Penduduk yaitu
perbandingan jumlah penduduk dengan
luas wilayah dalam satuan hektar
2) Rata-rata anggota Rumah Tangga yaitu
rata-rata banyaknya anggota keluarga
dalam tiap-tiap KK
3) Jumlah KK per rumah yaitu jumlah KK
tiap satu rumah
4) Tingkat pertumbuhan penduduk yaitu
pertambahan penduduk tiap tahun pada
satu wilayah yang dilihat dari jumlah
penduduk awal tahun dan akhir tahun
tiap 100 penduduk
5) Angka Kematian Kasar yaitu jumlah
kematian pada tahun tertentu tiap 1000
penduduk
6) Status gizi yaitu jumlah balita yang
berada dibawah garis merah akibat
menderita kekurangan gizi
7) Angka Kesakitan Malaria yaitu jumlah
penduduk yang menderita penyakit
malaria dalam satu tahun
8) Angka Kesakitan diare yaitu jumlah
penduduk yang menderita penyakit diare
dalam satu tahun
9) Angka Kesakitan demam berdarah yaitu
jumlah penduduk yang menderita
penyakit demam berdarah dalam satu
tahun.
Analisis ini dilakukan untuk menentukan tingkat
kekumuhan dengan ketentuan sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Kekumuhan


NILAI
KRITERIA
0
Tidak Kumuh
1
Agak Kumuh
2
Kumuh
Sumber: diadaptasi dari dirjen perumahan dan pemukiman dengan modifikasi

Sedangkan tabel
parameter dari penilaian
mengenai tingkat kekumuhan pada permukiman
kumuh terdapat dalam lampiran.
b. Analisis Kuantitatif (Uji Hipotesis)
Uji Hipotesis menggunakan Analisis
Regresi, dengan pemodelan regresi ordinal.
Adapun variabel yang digunakan, simbol dalam
pemodelan adalah sebagai berikut:
Variabel Respon
Variabel respon dalam penelitian ini adalah
tingkat kekumuhan dalam wilayah kelurahan.
Variabel respon sering juga disebut variabel

terikat, sesuai dengan tujuan penelitian ini


variabel respon ( Y ) dalam penelitian ini adalah
status kekumuhan yang dikatagorikan dalam tiga
katagori sebagai berikut:
- tidak kumuh = 0, dengan kriteria TK < 2,40
- agak kumuh = 1, dengan kriteria 2,40 TK
2,70
- kumuh = 2, dengan kriteria TK > 2,70
Variabel Prediktor
Variabel prediktor ( X ) yang digunakan
pada penelitian ini terdiri dari variabel yang
berkaitan dengan kependudukan, sosial ekonomi,
sarana prasarana dan Fisik wilayah

Tabel 2. Variabel yang berkaitan dengan Kependudukan, Sosial Ekonomi, Sarana Prasarana, dan Fisik

29

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

wilayah
Variabel
Kependudukan
Kepadatan Penduduk [PDTP]

Jumlah Anggota Rumah Tangga [RART]

Sosial Ekonomi
Tingkat Pendidikan [TPDIK]

Tingkat Kerawanan Keamanan [TKMAN]

Tingkat Kemiskinan [TKIN]


Sarana dan Prasarana
Pelayanan Air Bersih [PYSIH]

Kondisi Jalan [JLN]

Ruang Terbuka [RT]

Fisik
Kesesuaian Lahan [LT]

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam bab hasil dan pembahasan ini,
dapat diungkapkan kondisi kota Bandar
Lampung secara makro, dimana dari 30
kelurahan yang diteliti terungkap bagaimana
karaterisik dan faktor-faktor yang secara nyata
menyebabkan terciptanya kekumuhan di Kota
Bandar Lampung pada umumnya dan di daerah
penelitian pada khususnya.
Karateristik Permukiman di Daerah
Penelitian
1. Karateristik Hunian Daerah Penelitian
a. Kualitas Bangunan dan kelayakan bangunan
Hasil analisis data pada penelitian
diperoleh hasil bahwa kualitas dan
kelayakan bangunan di wilayah pesisir
hampir seluruhnya
bangunan yang tidak
permanen, yaitu sebesar 90 % katagori 4 (
51-70 %), sisanya 10 % katagori 3 ( 31- 50
% ). Sementara di wilayah non pesisir hanya
sebesar 60 % katagori 4, 35 % katagori 3
dan ada yang masuk katagori 2 sebesar 5 %.

Katagori

=1, jika kepadatan < 100 jiwa/ha


=2, jika kepadatan 100 -200 jiwa/ha
=3, jika kepadatan > 200 jiwa/ha
=1, jika jml anggota RT < 5 org
=2, jika jml anggota RT 5- 6 org
=3, jika jml anggota RT > 6 org
=1, jika jml tamat pendidikan dasar < 5 %
=2, jika jml tamat pendidikan dasar 5- 10%
=3, jika jml tamat pendidikan dasar > 10 %
=1, jika 0 kali kejahatan/th
=2, jika 1-3 kali kejahatan/th
=3, jika 4- 6 kali kejahatan/ th
=4, jika > 6 kali kejahatan/th
=1, jika tingkat kemiskinan < 35 %
=2, jika tingkat kemiskinan > 35 %
=1, jika jml kk tdk terlayani air bersih < 30 %
=2, jika jml kk tdk terlayani air bersih 30 50 %
=3, jika jml kk tdk terlayani air bersih > 50 %
=1, jika jln rusak < 10 %
=2, jika jln rusak 11 50 %
=3, jika jln rusak > 50 %
=1, jika ruang terbuka > 10 %luas wilayah
=2, jika ruang terbuka 5 - 10% luas wilayah
=3, jika ruang terbuka < 5% luas wilayah
=1, jika tanah tdk sesuai RUTR < 10 %
=2, jika tanah tdk sesuai RUTR 11- 30 %
=3, jika tanah tdk sesuai RUTR > 30 %

Untuk Kelayakan bangunan di


wilayah pesisir hampir seluruhnya katagori 2
( 11- 30 % ) yaitu sebesar 80%, sementara di
wilayah non pesisir didominasi oleh katagori
3 (31- 50%) sebesar 65 %. Kondisi ini
dimungkinkan karena di wilayah pesisir
sering terjadi genangan air sehingga mereka
cenderung
untuk
memakai
material
bangunan seperti dinding, plafon dan lantai
yang lebih kuat dibandingkan dengan yang
ada di wilayah non pesisir.
b. Tingkat Kepadatan Bangunan
Bangunan-bangunan
di
daerah
penelitian
menunjukan
variasi
tiap-tiap
kelurahan, untuk daerah padat penduduk dan
pusat kota seperti teluk betung memiliki
kepadatan bangunan katagori 4 yaitu antara 151
200 unit/ ha, namun untuk daerah yang
kepadatan penduduknya kecil dan tidak masuk
dalam kawasan ataupun perdagangan dan
industri seperti kelurahan panjang utara, maka
kepadatan bangunan dikatagorikan 1 sampai 2
dengan kepadatan kurang dari 50 unit/Ha atau
paling padat 100 unit/ Ha.

30

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

c. Kesesuaian Lahan dan Status Kepemilikan


Penggunaan Bangunan
Legalitas dan status kepemilikan ini akan
berpengaruh terhadap kualitas lingkungan
permukiman, pada umumnya untuk legalitas
biasanya yang illegal terjadi di sekitar bantaran
sungai, tepi rel kereta api seperti di kelurahan
Gunung Sari dan Srengsem. Di bawah ini dapat
diilustrasikan kondisi legalitas dan status
kepemilikan di daerah penelitian.

Hasil penelitian ini, yang mempunyai frekuensi


banjir sering di antaranya Kelurahan Way
Lunik, Teluk Betung dan daerah dataran rendah
lainnya. Sedangkan untuk daerah yang masuk
ke dataran yang agak tinggi seperti Kelurahan
Gunung Sari banjir tidak terjadi karena air
limpasan hujan pasti turun ke daerah yang lebih
rendah.

Frekuensi Kebakaran dan Frekuensi Kebanjiran


Frekuensi kebakaran dan frekuensi
kebanjiran juga merupakan indikator suatu
kawasan diakatorikan kumuh atau tidak. Pada
umumnya jika kepadatan bangunan suatu
wilayah cukup padat, kemungkinan terjadinya
kebakaran lebih besar dibandingkan dengan
kawasan yang tidak memiliki kepadatan
bangunan yang padat, demikian juga sering
tidaknya
suatu kawasan
banjir
dapat
menunjukan bahwa kawasan yang sering banjir
di daerah itu banyak saluran yang tersumbat
diakibatkan banyak sampah yang menumpuk
dan
menyebabkan
meluapnya
air
ke
permukiman apabila musih hujan tiba. Dari

a. Kondisi Ekonomi
(1) Tingkat Pendapatan
Menurut hasil survei dan pengamatan
yang dilakukan di daerah penelitian tingkat
pendapatan rata-rata di daerah penelitian,
diperoleh hasil ternyata wilayah non pesisir
lebih variatif dibandingkan wilayah pesisir, di
wilayah pesisir ada 3 katagori di wilayah non
pesisir ada 4 katagori, namun ada kesamaan di
kedua wilayah, dimana tingkat pendapatan
sebagian besar katagori 3 (16 25 %), Untuk
lebih jelasnya tingkat pendapatan untuk masingmasing katagori di kedua wilayah dapat dilihat
pada tabel 2. sebagai berikut:

2. Karateristik Penghuni Daerah Penelitian

Tabel 3. Prosentase Tingkat Pendapatan Di Daerah Penelitian


Tingkat Pendapatan
Wilayah Pesisir
Wilayah Non Pesisir
Lebih besar 35 %
0,00
5,00
26 35 %
16 25 %
6 15 %
Kurang dari 6 %
Sumber : Analisis Data ,2015
(2) Tingkat Kemiskinan
Dari hasil penelitian yang diperoleh di
daerah
penelitian
ternyata
sangat
memprihatinkan, karena hampir seluruh
kelurahan memiliki tingkat kemiskinan lebih
dari 35 %, hanya ada 2 kelurahan yang tingkat
kemiskinannya dibawah 35 %, yaitu kelurahan

30,00
50,00
20,00
0,00

15,00
65,00
15,00
5,00

Tanjung Seneng dan kelurahan Way Kandis.


Hal ini mengidentifikasi bahwa sebagian besar
Rumah Tangga di Kota Bandar Lampung masih
dikatagorikan keluarga pra sejahtera atau
keluarga sejahtera I. Lebih Jelasnya Tingkat
Kemiskinan di Daerah Penelitian dapat dilihat
pada tabel 4.

Tabel 4. Tingkat Kemiskinan di Daerah Penelitian

No.

1
2
3
4
5
6
7
8

Nama Kelurahan

Panjang Selatan
Panjang Utara
Srengsem
Way Lunik
Karang Maritim
Kota Karang
Keteguhan
Sukamaju

Wilayah

Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir

Tingkat Kemiskinan (%)

56,65
47,78
64,72
76,49
52,92
53,79
49,44
54,67

31

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Teluk Betung
Pesawahan
Labuhan Ratu
Kampung Baru
Kedaton
Surabaya
Panengahan
Kemiling Permai
Gedong Air
Gunung Sari
Tanjung Seneng
Way Kandis
Pasir Gintung
Kaliawi
Gotong Royong
Palapa
Kelapa Tiga
Durian Payung
Rajabasa
Rajabasa Jaya
Gedong Meneng
Rajabasa Raya

Pesisir
Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir

58,36
69,71
46,61
63,75
40,06
56,36
45,05
44,31
50,08
53,95
28,77
34,56
60,41
55,93
55,66
62,14
57,72
76,77
55,51
53,97
48,40
52,00

Sumber : Analisis Data 2015


b. Kondisi Sosial
(1) Tingkat Kerawanan Keamanan
Umumnya tingkat kerawanan berada pada
katagori 3 (3-4 kali/th) di wilayah pesisir, dan
katagori 2 (1-2 kali/th) di wilayah non pesisir.
Kondisi lingkungan seperti ini dapat dikatakan
relatif aman, dan menunjukan bahwa di wilayah
pesisir lebih rawan dibandingkan wilayah non
pesisir. Pada umumnya kejahatan yang ada
adalah pencurian, sedangkan konflik antar warga
cenderung tidak terjadi, karena adanya hubungan
kekerabatan yang erat antar warga atau berasal
dari daerah yang sama. Hal ini juga disebabkan
oleh persamaan latar belakang sosial budaya dan
ekonomi antar penduduk, sehingga tidak terjadi
kecemburuan sosial di masyarakat.
(2) Tingkat Pendidikan Penduduk
Tingkat pendidikan penduduk wilayah
non pesisir yang dikatagorikan tamat pendidikan
dasar 9 tahun sangat kecil yaitu katagori 2 (1- 5
%) saja, sedangkan di wilayah pesisir ternyata
cukup besar yaitu sebagian besar katagori 3 (6
10 %), berarti masih ada 6 -10% penduduk
wilayah pesisir belum dapat pendidikan dasar 9
tahun.
Rendahnya
tingkat
pendapatan,
menyebabkan faktor pendidikan tidak menjadi
prioritas utama dalam keluarga. Dengan
demikian penilaian dari aspek pendidikan
terhadap masyarakat di daerah penelitian
terdapat lebih dari 5% penduduk tidak
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun.
c. Kondisi Kependudukan
(1) Tingkat Kepadatan Penduduk
Secara tingkat kepadatan, menunjukan
bahwa Kota Bandar Lampung secara menyeluruh

masih memiliki cukup lahan untuk dapat


menampung jumlah penduduk yang ada. Hal ini
terlihat dari hasil penelitian yang memiliki
kepadatan penduduk lebih dari 250 jiwa/ Ha
hanya kelurahan Kota Karang , Gotong Royong
dan kelurahan Teluk Betung. Sedangkan
Kelurahan lain memiliki kepadatan penduduk
kurang dari 150 jiwa/Ha.
(2) Jumlah Anggota Rumah Tangga
Rumah umumnya dihuni oleh 4 6 orang
(63,6%) dan lebih dari 6 orang (27,3%) yang
terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Jumlah
Rumah Tangga yang terdapat di daerah
penelitian, umumnya tiap rumah di huni oleh
satu keluarga dengan jumlah anak rata-rata 2 4
orang, sehingga jumlah anggota keluarga tidak
lebih dari 10 orang. Sedangkan jumlah Kepala
keluarga dalam satu rumah umumnya hanya
terdapat 1 keluarga dalam satu rumah. Adapun
warga pendatang yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan penduduk setempat,
umumnya membangun sendiri rumah mereka di
sekitar perumahan yang ada. Hal ini
menyebabkan
ketidakteraturan
lingkungan,
rumah yang tidak tertata, berupa lorong tikus,
tanpa jalan, dan tanpa garis sempadan bangunan.
(3) Laju Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data jumlah penduduk pada
Tahun 2011 dan tahun 2012 diketahui bahwa
kecenderungan
pertambahan
penduduk
bertambah rata-rata 2,5% per tahun. Hal ini
nampak dari semakin padatnya permukiman di
sekitar tepian sungai dan area sungai.
Kecenderungan ini menyebabkan semakin tidak
tertatanya
lingkungan
permukiman
dan

32

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

perumahan di sebagian besar daerah penelitian,


sehingga diperlukan penataan permukiman dan
ketersediaan sarana dan prasarana permukiman
yang layak. Antisipasi Pemda setempat
diharapkan dapat dilakukan sebagai upaya untuk
memberikan permukiman yang layak bagi
masyarakat di daerah penelitian khususnya dan
di Kota Bandar Lampung pada umumnya.
(4) Angka Status Gizi Balita
Keterbatasan
ekonomi,
kondisi
lingkungan dan bangunan yang tidak layak,
menyebabkan rendahnya status gizi balita pada
lokasi. Berdasarkan penilaian status gizi balita,
terdapat 10 30% balita berada di bawah garis
merah dengan kondisi sosial ekonomi rendah.
Kondisi tersebut hingga saat ini belum
mengalami perubahan signifikan, masalah
ekonomi masih menjadi penyebab rendahnya
status gizi balita.
(5) Angka Kesakitan dan Kematian
Penyakit yang banyak diderita oleh
penduduk di daerah penelitian adalah diare yang
sebagian besar diderita oleh anak-anak. Salah
satu penyebab dari penyakit tersebut adalah
kondisi lingkungan; kondisi sarana dan prasarana
lingkungan yang tidak layak, antara lain
b. Kondisi Sanitasi Lingkungan
Dari
kondisi
sanitasi
lingkungan,
penelitian ini hanya melihat dari segi pemakaian
jamban keluarga. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa wilayah pesisir sanitasi
lingkungannya lebih buruk daripada wilayah non
pesisir, tidak ada katagori 1 ( < 10 % ) yang
belum memakai jamban, sedangkan di wilayah
non pesisir ada sebesar 15 % masuk katagori 1.
Hal ini kemungkinan disebabkan juga adanya
kebiasaan penduduk di wilayah pesisir yang
membuang kotoran di air laut.
c. Kondisi Persampahan
Kondisi pelayanan persampahan di
wilayah pesisir cenderung lebih buruk, karena
dari hasil penelitian terlihat bahwa ada sebesar
60 % yang masuk katagori 3 (31-50 %), di
wilayah non pesisir hanya 25 %, sementara
wilayah pesisir juga tidak ada yang masuk
katagori 1, di wilayah non pesisir ada sebesar
15% yang termasuk katagori 1. Tidak adanya
armada
angkutan
sampah dan
tempat
pembuangan sampah sementara yang memadai
menyebabkan penduduk lebih memilih cara yang
mudah dilakukan dan tempat yang mudah
dijangkau. Dari cara membuang sampah
penduduk, dapat dikatakan bahwa sebagaian
besar (51- 70 %) penduduk membuang sampah
di tempat yang bukan peruntukannya.
d. Kondisi Saluran Air Hujan / drainase
Umumnya kualitas drainase lingkungan di
daerah penelitian kurang baik, yaitu sekitar 11

pelayanan air bersih, sanitasi lingkungan,


persampahan dan saluran air. Upaya perbaikan
sarana & prasana lingkungan yang telah
dilaksanakan belum efektif akibat kurangnya
kesadaran masyarakat untuk memelihara dan
menjaga kebersihan lingkungan, serta sarana &
prasarana lingkungan menjadi kendala utama
dalam perbaikan lingkungan.
3. Karateristik Sarana Prasarana
a. Tingkat Pelayanan Air Bersih
Berdasarkan data dari BPS, pelayanan air
bersih sebagian besar penduduk tidak terlayani
PDAM, mereka ada yang menggunakan sumur
gali ataupun dengan pelayanan air bersih umum,
seperti yang terjadi di Desa Srengsem
Kecamatan Panjang. Di daerah penelitian
sebagian besar penduduk belum memperoleh air
bersih dari saluran PAM sebesar 60 % katagori 5
( > 70 % ) terutama yang bermukim di wilayah
pesisir, namun bagi penduduk yang bermukim di
wilayah non pesisir 50 % katagori 5. Hal ini
menunjukkan pelayanan air bersih di wilayah
non pesisir masih lebih baik dibandingkan
wilayah pesisir.
s.d 30 persen drainase buruk, namun secara
keseluruhan wilayah pesisir lebih buruk dari
wilayah non pesisir, dimana wilayah non pesisir
masih memiliki drainase buruk kurang dari 10
persen sebesar 15 %, sedangkan wilayah pesisir
tidak ada Kelurahan yang drainase buruknya
lebih kecil dari 10 persen. Hal ini tampak dari
visualisasi yang dilakukan di lapangan. ( Gambar
1).

Gambar 1. Kondisi sanitasi/ wc buruk


e. Kondisi Jalan
Terdapat kesamaan antara wilayah pesisir
dan wilayah non pesisir 90% jalan lingkungan
dan jalan setapak yang memiliki kondisi yang
baik dan hanya 10% lahan yang belum terlayani
jalan, dengan pola letak jalan dan perumahan
yang belum tertata dengan baik. Dengan
demikian dapat dikatakankan hanya sebagian

33

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

kecil kelurahan di daerah peneltian yang belum


terlayani jalan.
f. Kondisi Ruang Terbuka
Tapak ruang terbuka di daerah penelitian,
umumnya merupakan lahan tidak terurus yang
ditumbuhi tanaman liar, yang juga dijadikan
sebagai tempat pembuangan sampah. Untuk
permukiman wilayah pesisir setengah ( 50 % )
hanya terdapat 5-7,5 % ruang terbuka, sehingga
penduduk tidak dapat memanfaatkan pekarangan
rumahnya untuk menanam tanaman. Di kawasan
tepian sungai hanya nampak tanah kosong yang
dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah
dan menambatkan perahu, Sedangkan di daerah
non pesisir ternyata lebih kecil persentase ruang
terbukanya yaitu 2,5 -5,0 % sebesar 60 persen.
Secara keseluruhan hasil penelitian
menunjukan bahwa di daerah penelitian tingkat

kekumuhan dikatagorikan sebagian agak kumuh


sebesar 10 kelurahan dan kumuh sebesar 10
kelurahan, sedangkan yang dikatagorikan tidak
kumuh sebesar 10 kelurahan. Di daerah pesisir
seluruh kelurahan di daerah penelitian
dikatagorikan kumuh dan agak kumuh,
sementara di daerah non pesisir ada beberapa
variasi, hal ini menunjukan bahwa secara
deskriptif anggapan sebagian besar masyarakat
yang mengatakan bahwa wilayah pesisir
cenderung lebih kumuh dibandingkan wilayah
non pesisir terbukti pada hasil penelitian ini.
Untuk lebih jelasnya persebaran tingkat
kekumuhan di daerah penelitian dapat dilihat
pada tabel 4. Persebaran Tingkat Kekumuhan di
Daerah Penelitian.

Tabel 5. Persebaran Tingkat Kekumuhan di Daerah Penelitian

No.

Nama Kelurahan

Wilayah

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Panjang Selatan
Panjang Utara
Srengsem
Way Lunik
Karang Maritim
Kota Karang
Keteguhan
Sukamaju
Teluk Betung
Pesawahan
Labuhan Ratu
Kampung Baru
Kedaton
Surabaya
Panengahan
Kemiling Permai
Gedong Air
Gunung Sari
Tanjung Seneng
Way Kandis
Pasir Gintung
Kaliawi
Gotong Royong
Palapa
Kelapa Tiga
Durian Payung
Rajabasa
Rajabasa Jaya
Gedong Meneng
Rajabasa Raya

Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir
Non Pesisir

Tingkat Kekumuhan

Kumuh (2,84)
Kumuh (2,93)
Agak Kumuh (2,56)
Kumuh (2,74)
Agak Kumuh (2,63)
Kumuh (3,06)
Kumuh (2,72)
Kumuh (2,71)
Kumuh (3,17)
Agak Kumuh (2,60)
Agak Kumuh (2,54)
Tidak Kumuh (2,12)
Tidak Kumuh (2,20)
Tidak Kumuh (2,13)
Tidak Kumuh (2,13)
Agak Kumuh (2,40)
Tidak Kumuh (2,25)
Kumuh (2,94)
Tidak Kumuh (1,44)
Tidak Kumuh (2,19)
Agak Kumuh (2,55)
Kumuh (2,89)
Kumuh (2,77)
Agak Kumuh (2,65)
Agak Kumuh (2,70)
Agak Kumuh (2,60)
Agak Kumuh (2,46)
Tidak Kumuh (2,22)
Tidak Kumuh (2,37)
Tidak Kumuh (2,20)

Sumber: Analisis Data, 2015

34

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

Berdasarkan hasil analisis Regresi


Logistik Ordinal, dapat ditabulasikan sebagai
berikut:

Faktor-faktor yang menyebabkan


permukiman kumuh di daerah penelitian

Tabel 6. Kesimpulan Hasil Analisis Regresi Logistik Ordinal


Predictor

Coef

Const (1)
-39,3247
Const (2)
-35,0000
Kependudukan
Kepadatan
2,54223
Penduduk [PDTP]
Jumlah Anggota 0,286159
Rumah
Tangga
[RART]
Sosial Ekonomi
Tingkat
-0,463545
Pendidikan
[TPDIK]
Tingkat
0,904406
Kerawanan
Keamanan
[TKMAN]
Tingkat
5,33320
Kemiskinan
[TKIN]
Sarana
dan
Prasarana
Pelayanan
Air 3,99117
Bersih [PYSIH]
Kondisi
Jalan -0,204113
[JLN]
Ruang
Terbuka 4,08552
[RT]
Fisik
Keseuaian Lahan 3,22812
[LT]
Sumber: Analisis Data, 2015

SE Coef

Odds
Ratio

lower

upper

Keterangan

13,9336
13,1668

-2,82
-2,66

0,005
0,008

1,07197

2,37

0,018

12,71

1,55

103,88

berpengaruh

0,75815

0,38

0,706

1,33

0,30

5,88

Tdak
berpengaruh

2,00459

-0,23

0,817

0,63

0,01

31,99

Tidak
Berpengaruh

1,00653

0,90

0,369

2,47

0,34

17,76

Tidak
Berpengaruh

2,79171

1,91

0,056

207,10

0,87

49258,93

Berpengaruh

1,63526

2,44

0,015

54,12

2,19

1334,38

Berpengaruh

1,29543

-0,16

0,875

0,82

0,06

10,33

2,48619

1,64

0,100

59,47

0,46

7772,70

Tidak
Berpengaruh
Berpengaruh

1,55503

2,08

0,038

25,23

1,20

531,62

Berpengaruh

Dari tabel hasil regresi logistik ordinal


menunjukkan bahwa Ho ditolak apabila nilai
signifikansi
semua
parameter
variabel
independen yang masuk model lebih kecil dari
= 10 %, artinya paling tidak ada satu parameter
variabel independen tidak sama dengan nol.
Variabel yang signifikan secara bersama-sama
mempengaruhi tingkat kekumuhan adalah ada
kepadatan penduduk
[PDTP],
Tingkat
Kemiskinan
[TKIN],
pelayanan air bersih [PYSIH], ruang terbuka
[RT], dan Keseuaian Lahan [LT].
Berdasarkan hasil analisis tersebut ,
Coef 2 = 1,07197 odds ratio = 12,7, P value =
0,018, makna dari hasil tersebut adalah bahwa
tingkat kepadatan penduduk berpengaruh positif

3), maka tingkat kekumuhan mengalami


peningkatan sebesar 12,71 kali semula.
Berdasarkan teori pertumbuhan penduduk, hal
ini sangat dimungkinkan terjadi karena jika
penduduk semakin bertambah, maka kebutuhan
hidup baik papan, sandang maupun kebutuhan
fasilitas lain semakin meningkat juga, dan jika
daya dukung lingkungan sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan penduduk maka tentu
kondisi ketidakkumuhan akan terjadi, sehingga
dapat meningkatkan pertumbuhan permukimanpermukiman kumuh, seperti terlihat di
kelurahan teluk betung sebagai berikut.

( P = 0,018 ). Dalam hal ini jika nanti kelurahan


yang kepadatan penduduknya Jarang (katagori
1) berkembang menjadi berkepadatan sedang
(katagori 2) atau yang sekarang berkepadatan
sedang berkembang menjadi padat ( katagori

35

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lainlain.


4. Kebutuhan Penghargaan. Contoh pujian,
piagam, tanda jasa, hadiah dan banyak
lagi yang lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi diri. Aktualisasi
diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk
bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat
dan minatnya.

Gambar 2. Contoh kondisi perumahan di


kelurahan teluk betung
Untuk variabel tingkat kemiskinan [TKIN] nilai
coef = 2,79171, odds ratio = 207,10 dan P value
= 0,056, ini bermakna bahwa tingkat
kemiskinan berpengaruh secara positif (P =
0,056). Dalam hal ini jika kelurahan yang
mempunyai tingkat kemiskinan pada katagori 1
berkembang menjadi katagori 2, maka tingkat
kekumuhan meningkat menjadi 207,10 kali
semula. Hal ini sesuai dengan teori kemiskinan
Abraham Maslow dengan piramida kebutuhan
manusia. Menurut Abraham Maslow manusia
mempunyai lima kelompok kebutuhan . Kelima
kelompok kebutuhan tersebut disusunnya
berbentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga
hirarki kebutuhan. Susunannya mulai dari yang
paling penting hingga yang tidak penting dan
dari yang mudah hingga yang sulit untuk
dicapai atau didapat. Oleh sebab itu motivasi
manusia kata Malow sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan mendasar yang perlu terlebih dahulu
dipenuhi. Untuk dapat merasakan nikmat suatu
tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu
kebutuhan yang berada pada tingkat di
bawahnya. Maka teori ini sering juga disebut
sebagai Piramida Maslow. Adapun urutan
kelima kelompok kebutuhan itu seperti berikut:

Meskipun banyak kritik tentang teori


ini, namun secara umum mengandung
fakta dalam kebanyakan kehidupan
manusia. Dan Maslow sendiri dalam tahuntahun terakhirnya merevisi teorinya tersebut
(Stephen R.Covey dalam bukunya First Things
First). Katanya, Maslow mengakui bahwa
aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi
namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu
self transcendence yaitu hidup itu mempunyai
suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya.
Mungkin yang dimaksud Maslow adalah
kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama.
Sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan
spiritual.
Variabel Pelayanan Air Bersih [PYSIH]
( 3 coef = 1, 63526), Odds Ratio = 54,12 dan P
value = 0,015 bermakna bahwa jika suatu
kelurahan persentase pelayanan air bersih tidak
terlayani meningkat dari katagori 1 menjadi
katagori 2, dan dari katagori 2 menjadi katagori
3, maka tingkat kekumuhan kelurahan tersebut
akan meningkat sebesar 54, 12 kali semula.
Kondisi ini sangat wajar karena air bersih
merupakan kebutuhan vital untuk memenuhi
kebutuhan manusia, jika kondisi air bersih di
suatu tempat sangat minim maka tentu
permukiman tersebut sangat jauh dari harapan
untuk tidak menjadi permukiman kumuh. Hal
ini menunjukan betapa pentingnya program
pelayanan sarana air bersih harus senantiasa
ditingkatkan oleh pemerintah agar masyarakat
dapat hidup sehat dan tidak kumuh.

1. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah :


Sandang / pakaian, pangan / makanan,
papan / rumah, dan kebutuhan biologis
seperti buang air besar, buang air kecil,
bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan.
Contoh seperti bebas dari penjajahan,
bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit,
bebas dari teror, dan lain sebagainya
3. Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah :
memiliki teman, memiliki keluarga,

36

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

Odd ratio Kesesuaian Lahan [LT]


sebesar 25, 23 artinya jika legalitas tanah
berkembang dari katagori 1 menjadi katagori 2,
dari katagori 2 menjadi katagori 3, maka tingkat
kekumuhan akan meningkat 25,23 kali dari
semula.
Pada
umumnya
tanah
untuk
permukiman yang tidak sesuai dengan RUTR
adalah di tepi rel kereta api, di bantaran sungai
dan di dekat tegangan tinggi.

Gambar 3. Contoh kondisi pelayanan air


bersih di kelurahan Srengsem
Variabel Ruang Terbuka [RT] meskipun
dengan tingkatsignifikansi 90 % ( P value =
0,100 ), namun dengan odd ratio sebesar 25, 23
menunjukan pengaruh yang berarti besar,
karena jika ruang terbuka dari katagori 1
menjadi katagori 2, atau dari katagori 2 menjadi
3, maka tingkat kekumuhan akan meningkat
59,47 kali semula. Hal ini menunjukkan
pentingnya penghijuan di wilayah kota,
sehingga tidak semua lahan menjadi bangunanbangunan seluruhnya.
Meskipun kadang
terlihat ruang terbuka yang ada menjadi
pembuangan sampah bagi orang-orang yang
berprilaku buruk. Hal ini terlihat lebih jelas
pada visualisasi sebagai berikut.

Gambar 4. Ruang terbuka yang kadang


disalahgunakan untuk membuang sampah

SIMPULAN DAN REKOMENDASI


Simpulan
1. Ada perbedaan yang nyata tingkat
kekumuhan antara wilayah pesisir dan
wilayah non pesisir, dimana wilayah

Gambar 5. Perumahan yang ada di tepi rel


kereta api
Sedangkan untuk variabel tingkat
pendidikan, kondisi jalan, rata-rata anggota
rumah tangga, dan tingkat kerawanan keamanan
ternyata dari hasil analisis regresi ordinal nilai P
( P value ) lebih besar dari 10 persen sehingga
dapat dikatakan tidak berpengaruh secara
sifnifikan terhadap tingkat kekumuhan di daerah
penelitian. Hal ini dimungkinkan karena tingkat
pendidikan di wilayah pada umumnya seragam
tidak ada perbedaan yang mencolok. Demikian
juga ketiga variabel yang lain, meskipun
memiliki pengaruh tetapi tidak nyata, karena
baik kondisi jalan, tingkat kerawanan dan ratarata anggota rumah tangga juga kebanyakan
tidak mempunyai variasi antara masing-masing
wilyah
di
daerah
penelitian.

pesisir rata-rata tingkat kekumuhannya


lebih tinggi daripada wilayah non pesisir.
2. Persebaran tingkat kekumuhan di wilayah
non pesisir lebih bervariasi, ada yang di
katagorikan tidak kumuh, agak kumuh ,
dan ada yang dikatagorikan kumuh,
Sedangkan di wilayah pesisir hanya ada
dua katagori yaitu kumuh dan agak kumuh.

37

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

3. Sembilan faktor prediktor yang diuji


pengaruhnya terhadap tingkat kekumuhan
di daerah penelitian, ternyata yang secara
signifikan
berpengaruh
besar
meningkatkan tingkat kekumuhan adalah
tingkat kepadatan penduduk, tingkat
kemiskinan, legalitas tanah dan pelayanan
air bersih, serta ruang terbuka. Adapun
faktor
tingkat
pendidikan,
tingkat
kerawanan keamanan, kondisi jalan, dan
rata-rata anggota rumah tangga tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat
kekumuhan.
Rekomendasi
1. Bagi Pemerintah
a. Perlu dilakukan program pemberdayaan
mayarakat untuk peningkatan kualitas
permukiman di seluruh wilayah kota
Bandar Lampung, baik di wilayah pesisir
maupun non pesisir.
b. Penyediaan sarana prasarana, terutama
pelayanan air bersih perlu ditingkatkan di
seluruh wilayah kota baik di wilayah
pesisir maupun di wilayah non pesisir.
c. Kebijakan tata ruang wilayah harus
memiliki ketegasan dan perencanaan
yang matang, sehingga legalitas tanah,
benar-benar membuat warga aman dan
nyaman bertempat tinggal. Hal ini akan
dapat
meningkatkan
penataan
permukiman kota yang lebih baik.
d. Peningkatan Pemberdayaan masyarakat
dalam
pengerahan
kebersihan
lingkungan.
2. Bagi Masyarakat
a. Pemuka/tokoh masyarakat setempat
perlu mendorong masyarakatnya untuk
melakukan program swadaya masyarakat
dalam hal kebersihan lingkungan
permukiman di masing-masing wilayah
tempat tinggalnya.
b. Mendukung program pemerintah yang
berkaitan dengan pemeliharaan dan
peningkatan kualitas lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Ina H., 2013, Kajian tentang Konsep
Keberlanjutan pada Beberapa Kota Baru
dan Permukiman Berskala Besar, Jurnal
PWK Unisba
Amri,Nurmaida, 2013, Karateristik Lingkungan
Permukiman Kumuh Tepian Sungai
Kecamatan Lolaka, Sulawesi Tenggara,
Jurnal Jupiter Volume XII No.1

Bintarto,
1983,
Urbanisasi
dan
Permasalahannya, Ghalia, Yogyakarta
Burhanuddin, 2010, Karateristik Teritorialitas
Ruang pada Permukiman Padat di
Perkotaan, Jurnal ruang Volume 2
Nomor 1
Deputi Pengembangan Kawasan, 2012, Buku
Panduan
Penanganan
lingkungan
perumahan dan permukiman kumuh
berbasis kawasan TA 2013, Kementrian
Perumahan Rakyat Republik Indonesia,
Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum, 2008, Penataan
ruang wilayah, DPU, Jakarta
Ekaputra, Yohanes D., Pengaruh Aktivitas
Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pada
Sistem Permukiman Nelayan (Kajian
Kawasan
Nelayan
TasikAgung
Kabupaten Rembang)
Haryanto, Asep, 2013, Strategi Penanganan
Kawasan Kumuh sebagai Upaya
Menciptakan Lingkungan Perumahan
dan Permukiman yang sehat, Jurnal
PWK Unisba
Iskandar, Johan, 2014, Manusia dan
Lingkungan
dengan
berbagai
permasalahan, Graha Ilmu, Yogyakarta
Khomarudin
M.1997,
Menelusuri
Pembangunan
Perumahan
dan
Permukiman, Yayasan Real Estate
Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta
Lestari, Forina, 2006, Identifikasi Tingkat
Kerentanan Masyarakat Permukiman
Kumuh Perkotaan melalui Pendekatan
Suistanable Urban
Livelihood (SUL) (Studi Kasus : Kelurahan
Taman Sari, Bandung ).
Lestari Indah D. dan Sugiri, Agus, 2013, Peran
Badan Keswadayaan Masyarakat dalam
Penanganan Permukiman Kumuh di
Podosugih, Kota Pekalongan. Jurnal
Teknik PWK Volume 2 Nomor I
Makarao, M.T., 2011, Aspek-aspek Hukum
Lingkungan, Indeks, Jakarta
Muchsin dan koeswahyono, 2008, Aspek
Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan
Tanah dan Penataan Ruang, PT Sinar
Grafika, Jakarta
Priyatno, Duwi, 2010, Teknik Mudah dan
Cepat melakukan analisis data penelitian
dengan SPSS, Penerbit Gaya Media,
Yogyakarta
Rohadi, Tasdiyanto Dr., 2011, Budaya
Lingkungan Akar Masalah dan Solusi
Krisis Lingkungan, Ecologia Press,
Yogyakarta
Small, Christopher, Global Analysis of Urban
Population Distribution and The

38

Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 1 (2015) 25-39

Physical Environment,
Columbia
University, Columbia
Soemirat, Juli, 2011 (edisi revisi), Kesehatan
Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Soemarwoto, Otto, 1997 (edisi revisi), Ekologi,
Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
Djambatan, Jakarta.

Supriyatno.Budi, Manajemen Tata Ruang,


2009, CV Media Berlian, Jakarta
Surtiani, E.E, 2006, Faktor-faktor yang
mempengaruhi terciptanya kawasan
permukiman kumuh di kawasan pusat
Kota ( Studi Kasus: Kawasan Pancuran,
Salatiga ), Tesis Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro , Semarang.

39

You might also like