You are on page 1of 95

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

HUBUNGAN PENGGUNAAN KELAMBU BERINSEKTISIDA DENGAN KEJADIAN MALARIA DI


KABUPATEN HALMAHERA TIMUR
A. Arsunan Arsin1 , Muhammad Nasir2, Rasdi Nawi 1
Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2
Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Timur

ABSTRACT
Province of North Maluku is still one area that has a very high malaria endemicity, the number of
clinical malaria in 2008 was 20,875 cases, with the Annual Malaria Incidence (AMI) 37.5% o. One method
of eradication of malaria vectors is the use of insecticide-treated nets. This study aims to determine the
relations of the use of insecticide-treated nets with the incidence of malaria.The study was analytical
observastion using a cross sectional study. The study was conducted in East Halmahera regency from Mart
to May 2011. The number of sampel was 200 respondents. The data were analyzed bivariately using chi
square and multivariately by using logistic regression. The results of the studi indicate that 31 (15,5%) of
the respondents using bed nets have malaria positive. The use of insecticide-treated nets in which X 2 =
9.604 and p = 0.002, frequency of use in which X 2 = 56.664 and p = 0.000 and the treatment of insecticidetreated nets in which X2 = 6.580 and p = 0.010 associated with the incidence of malaria, time of the use of
bed nets in which X2 = 0.003 and p = 0.956 and materials in which X 2 = 0.198 and p = 0.656 were not
related to the incidence of malaria. The frequency of the use of bed nets is the variable which has a strong
correlation with the incidence of malaria in East Halmahera Regency. This study suggested that each
family use insecticide-treated nets to reduce the incidence of malaria.
Key words: malaria, insecticide-treated nets
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit parasit yang terjadi di daerah tropis dan subtropis di dunia. Sebanyak 500
juta kasus malaria terjadi setiap tahun, dan satu juta orang, kebanyakan anak-anak meninggal karena
malaria. Sekitar 2,37 milyar orang (35% dari populasi dunia) tinggal di daerah berisiko penularan
Plasmodium falciparum (Guerra, dkk., 2008).
Kawasan Timur Indonesia dilaporkan memiliki kasus malaria tertinggi antara lain provinsi Papua,
NTT, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian
dilakukan melalui program pemberantasan malaria. Program ini meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat
dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang ditujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria
(Masse, dkk., 2009).
Propinsi Maluku Utara (2009) memiliki endemisitas malaria yang sangat tinggi, jumlah penderita
malaria klinis tahun 2008 sebanyak 20.875 kasus, dengan Annual Malaria Insidens (AMI) 37,5%.
Sebanyak 20.273 kasus (97,12%) klinis didiagnosis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis
maupun dengan Rapid Diagnostic Test (RDT).Dari hasil pemeriksaan diagnosa tersebut 7.315 kasus (35%)
adalah positif malaria dengan jumlah dan jenis plasmodium yang ditemukan antara lain Plasmodium vivax
3.193 (43,65%), Plasmodium falciparum 2.979 (40,72%), Plasmodium malariae 27 (0,37%) dan mix 1.116
(15.26%). Jumlah kematian karena malaria 28 orang.
Salah satu cara yang digunakan untuk pemberantasan vektor malaria dengan tujuan menekan
populasi vektor sehingga tidak berperan lagi dalam penularan malaria adalah menggunakan kelambu celup
insektisida atau Insecticide Treated Net (ITN) yang cukup efektif sebagai proteksi diri terhadap gigitan
nyamuk serta mampu mencegah penularan malaria (Hakim, dkk., 2006).
Penggunaan kelambu insektisida memberikan perlindungan individu yang signifikan, tetapi efek
langsung dan tidak langsung kelambu insektisida dan kelambu tidak berinsektida terhadap penularan
malaria masih sedikit dipahami (Gonosiu, dkk., 2008). Efektifitas kelambu berinsektisida tergantung dari
kontak langsung dengan nyamuk. Saat ini monitoring dan evaluasi program kelambu berinsektisida hanya
terfokus pada kasakitan dan kematian manusia, namun kurang memperhatikan entomologi setempat. Tanpa
mengetahui dinamika spesis vektor setempat dan responnya terhadap kelambu insektisida, maka akan sulit
untuk memperkirakan hasilnya secara klinis (Gu, dkk., 2009). Tujuan penelitian ini adalah tntuk
mengetahui efektifitas penggunaan kelambu berinsektisida terhadap kejadian malaria.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah peneitian yang bersifat observasional analitik dengan menggunakan desain
studi Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Halmahera Timur.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

169

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

JURNAL

INDONESI A

Populasidan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua masyarakat dalam wilayah kabupaten Halmahera Timur yang
menerima kelambu berinsektisida. Sampel adalah semua masyarakat yang terpilih sesuai dengan ketentuan
sampel yaitu bayi, balita, ibu hamil dan masyarakat miskin, yang bersedia untuk menjadi objek penelitian
ini dan berdomisili di Kabupaten Halmahera Timur dan menggunakan kelambu berinsektisida. Besar
sampel dalam penelitian ini adalah 200 yang diperoleh secara Sampling Purposive.
Analisis Data
Pengolahan data yang dilakukan meliputi editing, coding, entry dan cleaning. Analisis data yang
dilakukan untuk penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Tampilan data
kategorik berupa frekuensi dan persentase dan analisis bivariat menggunakan odds ratio dan multivariat
dengan regresi berganda logistic yang diolah dengan program SPSS.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menderita malaria proporsi paling tinggi
pada kelompok umur 15-19 tahun yaitu 20,0%, dan paling rendah pada kelompok umur 1014 tahun yaitu
11,1%. proporsi lebih tinggi pada laki-laki yaitu 16,9%, dibandingkan dengan perempuan yaitu 14,7%.
Proporsi paling tinggi pada tingkat pendidikan SD yaitu 19,6%, dan paling rendah pada tingkat
pendidikan perguruan tinggi 0,0% (Tabel 1).
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011

Kejadian Malaria
Tidak
%
n
%

5
5
1
3
2
15

15,2
14,7
11,1
20,0
15,4
15,6

28
29
8
12
11
81

84,8
85,3
88,9
80,0
84,6
84,4

33
34
9
15
13
96

16,5
17,0
4,5
7,5
6,5
48,0

12
19

16,9
14,7

59
110

83,1
85,3

71
129

35,5
64,5

9
11
3
8
0

13,6
19,6
10,3
17,1
0,0

57
45
26
39
2

86,4
80,4
89,7
82,9
100,0

66
56
29
47
2

33,0
28,0
14,5
23,5
1,0

18
9
0
1
0
0
3
0

17,6
14,1
0,0
16,7
0,0
0,0
18,8
0,0

84
55
2
5
3
4
13
3

82,4
85,9
100,0
83,3
100,0
100,0
81,2
100,0

102
64
2
6
3
4
16
3

51,0
32,0
1,0
3,0
1,5
2,0
8,0
1,5

Karakteristik Responden
Kelompok Umur (tahun)
0-4
5-9
10 - 14
15 - 19
20 - 24
25
Jenis kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SLTP
SLTA
PT
Pekerjaan
Tidak Bekerja
Petani
Nelayan
Pedagang
Buruh
URT
Pelajar
Lain-lain
Data Primer

Ya

Jumlah

Tabel 2 menunjukkan bahwa umumnya responden telah menggunakan kelambu berinsektisida


dengan memasukkan bagian bawah kelambu ke bawah kasur (risiko rendah) sebanyak 193 orang (96,5%),
menggunakan kelambu berinsektisida pada pukul 21.00 keatas (risiko tinggi) sebanyak 162 orang (81,0%),
selalu menggunakan kelambu berinsektisida (risiko rendah) sebanyak 186 orang (93,0%), tidak merawat
kelambu berinsektisida (risiko tinggi) sebanyak 119 orang (59,5%), kelambu yang digunakan berbahan
polyester 183 orang (91,5%). Responden yang menderita malaria sebanyak 31 orang (15,5%) sedangkan
yang tidak menderita malaria sebanyak 169 orang (84,5%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

170

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 2 Distribusi Variabel Penelitian di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011


Kelambu Berinsektisida
Penggunaan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Waktu Penggunaan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Frekuensi Penggunaan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Perawatan Kelambu
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Bahan Kelambu
Polyester
Katun
Kejadian Malaria
Ya
Tidak
Data Primer

Frekuensi

7
193

3,5
96,5

162
38

81,0
19,0

14
186

7,0
93,0

81
119

40,5
59,5

183
17

91,5
8,5

31
169

15,5
84,5

Tabel 3 menunjukkan bahwa responden yang menderita malaria lebih banyak menggunakan
kelambu berinsektisida dengan tidak memasukaan ujung bawah kelambu ke bawah kasur lebih banyak
menderita malaria yaitu 4 orang (57,1%), menggunakan kelambu berinsektisida diatas pukul 21.00 (risiko
tinggi) yaitu 25 orang (15,4%), kadang menggunakan kelambu berinsektisida (risiko tinggi) yaitu 12 orang
(85,7%), tidak merawat kelambu berinsektisida 19 orang (23,5%), dan menggunakan bahan kelambu
berinsektisida dari polyester 29 orang (15,8%). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh penggunaan
dan frekuensi penggunaan dan perawatan kelambu berinsektisida berhubungan dengan kejadian malaria
(p<0,05), sedangkan waktu penggunaan dan bahan kelambu berinsektisida tidak berhubungan dengan
kejadian malaria (p>0,05).
Tabel 3 Hubungan Penggunaan, Waktu, Frekuensi, Perawatan Dan Bahan Kelambu Berinsektisida
Dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011

Kelambu Berinsektisida
n
Penggunaan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Waktu Penggunaan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Frekuensi Penggunaan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Perawatan Kelambu
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Bahan Kelambu
Polyester
Katun
Data Primer

Kejadian Malaria
Ya
Tidak
%
n
%

Jumlah
n

4
27

57,1
14,0

3
166

42,9
86,0

7
193

3,5
96,5

0,012

25
6

15,4
15,8

137
32

84,6
84,2

162
38

81,0
19,0

0,956

12
19

85,7
10,2

2
167

14,3
89,8

14
186

7,0
93,0

0,000

19
12

23,5
10,1

62
107

76,5
89,9

81
119

40,5
59,5

0,010

29
2

15,8
11,8

154
15

84,2
88,2

183
17

91,5
8,5

1,000

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada langkah pertama dari 3 variabel yang memenuhi syarat untuk
uji multivariat, variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria yaitu frekuensi pengunaan kelambu
berinsektisida (p=0,000) dengan nilai wald 21,09. Pada tahap kedua variabel perawatan kelambu
dikeluarkan dari analisis. Pada tahap ini variabel yang berpengaruh adalah cara penggunaan dan frekuensi
penggunaan kelambu berinsektisida (p<0,05). Diantara kedua variabel ini variabel yang paling
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

171

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah frekuensi penggunaan kelambu berinsektisida dengan nilai
wald = 23,3.
Tabel 4 Variabel yang Paling Berpengaruh terhadap Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera
Timur Tahun 2011
Kejadian Malaria
Langkah 1
Cara Penggunaan Kelambu
Frekuensi Penggunaan
Perawatan Kelambu
Constant
Langkah 2
Cara Penggunaan Kelambu
Frekuensi Penggunaan
Constant

Wald

Sig,

Exp(B)

1,811
3,749
,657
-9,874

3,812
21,098
1,925
16,027

0,051
0,000
0,165
0,000

6,116
42,494
1,929
0,000

1,911
3,913
-9,379

4,289
23,353
14,978

0,038
0,000
0,000

6,760
50,072
0,000

Data Primer
PEMBAHASAN
Kelambu memberi perlindungan terhadap nyamuk, lalat dan serangga lainnya termasuk penyakit
yang disebabkan oleh serangga-serangga tersebut, seperti, malaria dan filariasis. Responden yang
menggunakan kelambu berinsektisida dengan tidak memasukkan ujung kelambu bawah ke bawah kasur
atau tikar lebih banyak menderita malaria yaitu 4 orang (57,1%), dibanding tidak menderita malaria
sebanyak 3 orang (42,9%).
Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,021, yang berarti ada hubungan antara penggunaan
kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat sudah tinggi
untuk menggunakan kelambu sudah menurunkan insidensi kejadian malaria. Telah diketahui bahwa
penggunaan kelambu insektisida memberikan perlindungan individu yang signifikan, tetapi efek langsung
dan tidak langsung kelambu insektisida dan kelambu tidak berinsektida terhadap penularan malaria pada
masyarakat luas masih sedikit dipahami (Gonosiu, dkk., 2008).
Daya bunuh residu insektisida berbagai dosis pada kelambu celup tehadap kematian Culex
quinquefasciatus sebesar 70% pada dosis rendah 0,01 ml/m 2 dan membunuh 90-100% pada dosis tinggi
0,04 ml/m2(7) Sebuah penelitian yang dilakukan di Flores Timur menunjukkan bahwa penggunaan kelambu
yang ditambahkan insektisida permetrin 0,20 g/m 2 mampu mengurangi insiden malaria dan filariasis selama
5 bulan penggunaan dari 25,70% ke 21,95% untuk malaria dan dari 4,20% ke 2,44% untuk filariasis
(Wikipedia, 2009).
Suatu penelitian yang dilakukan di Ghana bagian utara menunjukkan bahwa risiko kematian pada
anak yang tidak menggunakan kelambu insektisida meningkat 6,7% dibandingkan dengan yang
menggunakan kelambu berinsektisida (Eisele, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya
responden menggunakan kelambu berinsektisida pada pukul 21.00 keatas (risiko tinggi) sebanyak 162
orang (81,0%) sedangkan responden yang menggunakan kelambu berinsektisida mulai sebelum pukul
21.00 (risiko rendah) sebanyak 38 orang (19,0%).
Responden yang menggunakan kelambu berinsektisida diatas pukul 21.00 (risiko tinggi) lebih
banyak menderita malaria yaitu 25 orang (15,4%), dibanding tidak menderita malaria sebanyak 137 orang
(84,6%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,956. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara waktu penggunaan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria.
Suatu penelitian menemukan bahwa nyamuk Anopheles aconitus biasanya aktif mengigit pada
waktu malam hari, hampir 80% dari vektor ini bisa dijumpai diluar rumah penduduk antara jam 18.00
-22.00. Nyamuk jenis aconitus ini hanya mencari darah didalam rumah penduduk. Setelah itu biasanya
langsung keluar. Anopheles sundaicus aktif menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara pukul
22.00 - 01.00 dini hari. Pada waktu malam hari nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mencari darah,
hinggap didinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah. Vektor Anopheles maculatus betina
lebih sering mengisap darah binatang daripada darah manusia. Vektor jenis ini aktif mencari darah pada
malam hari antara pukul 21.00 hingga 03.00. Nyamuk Anopheles barbirostris lebih sering menggigit
manusia daripada binatang. Jenis nyamuk ini biasanya mencari darah pada waktu malam hingga dini hari
berkisar antara pukul 23.00 -05.00. Frekuensi mencari darah tiap tiga hari sekali (Hiswani, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden selalu menggunakan kelambu
berinsektisida (risiko rendah) sebanyak 186 orang (93,0%) sedangkan responden yang kadangkadang
menggunakan kelambu berinsektisida (risiko tinggi) sebanyak 14 orang (7,0%). Responden yang kadang
menggunakan kelambu berinsektisida (risiko tinggi) lebih banyak menderita malaria yaitu 12 orang
(85,7%), dibanding tidak menderita malaria sebanyak 2 orang (14,3%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p =
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

172

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi penggunaan kelambu berinsektisida
dengan kejadian malaria.
Efektifitas kelambu berinsektisida tergantung dari kontak langsung dengan nyamuk sehingga dapat
membunuh atau menghalaunya. Saat ini monitoring dan evaluasi program kelambu berinsektisida hanya
terfokus pada kesakitan dan kematian manusia, namun kurang memperhatikan entomologi setempat. Tanpa
mengetahui dinamika spesis vektor setempat dan responnya terhadap kelambu insektisida, maka akan sulit
untuk memperkirakan hasilnya secara klinis (Gu, dkk., 2009).
Kelambu sebaiknya digunakan ketika mau tidur malam atau siang. Frekuensi penggunaan kelambu
berinsektisida sangat membantu mengurangi populasi nyamuk, karena pada saat kelambu tersebut
dibentangkan insektisida yang melekat pada serat-sarat kelambu akan mengeluarkan bau insektisida
sehingga dapat mengurangi populasi nyamuk di dalam rumah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan kelambu secara terus menerus antara
8-9 kali sebagai perlindungan dari gigitan nyamuk diperoleh rata-rata 25% (Suharjo, 2003). Penelitian yang
menyatakan analisis hubungan antara pemakaian kelambu dengan kejadian malaria (p = 0,017). Dalam uji
tersebut diperoleh Odds Ratio 2,4 dengan confidence interval (CI) 95 % = 1,226 4,845, dengan kata lain
responden yang mempunyai kebiasaan tidur tidak memakai kelambu mempunyai risiko terkena malaria 2,4
kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai kebiasaan tidur memakai kelambu
(Erdinal, 2006).
Efektifitas kelambu juga sangat dipengaruhi oleh perawatan kelambu yang baik dan benar.
Perawatan yang salah dapat membuat kelambu menjadi cepat rusak atau efektifitas kelambu akan
berkurang. Untuk menghindari masuknya nyamuk, kondisi kelambu harus dijaga supaya tidak ada bagian
yang robek karena akan membuat nyamuk dapat masuk ke dalam kelambu.
Agar kelambu yang digunakan dapat memberikan efektifitas yang cukup lama, maka dibutuhkan
perawatan khusus terhadap kelambu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden tidak
merawat kelambu berinsektisida (risiko tinggi) sebanyak 119 orang (59,5%) sedangkan responden yang
merawat kelambu berinsektisida (risiko rendah ) sebanyak 81 orang (40,5%).
Hasil uji statistik diperoleh nilai 0 = 0,010. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
perawatan penggunaan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Perawatan kelambu yang dapat
dilakukan yaitu dicuci dengan air dingin ditambah sabun lalu dikeringkan di tempat yang teduh. Pencucian
kelambu dapat dilakukan 4 kali selama setahun dengan interval waktu pencucian 3 bulan sekali. Sebaiknya
pada saat mencuci kelambu agar tidak disikat, karena dapat merusak serat dari kelambu tersebut sehingga
mudah robek.
Namun pencucuian ini akan mengakibatkan kandungan pesitisida pada kelambu akan berkurang
sehingga tidak efektif untuk membunuh nyamuk. Oleh karena itu industri kemudian mengembangkan
kelambu yang dapat ditambahkan insektisida sehingga bertahan lama. Masih menggunakan insektisida
piretroid tetapi diikat dengan bahan kimia tertentu, kelambu ini tahan dicuci hingga 20 kali sehingga dapat
digunakan selama tiga tahun atau lebih. Walau memungkinkan dilewati udara, jumlah udara yang dapat
lewat kelambu berkurang dari pada tidak menggunakannya. Akibatnya tidur di bawah kelambu dapat
merasa lebih panas dibanding tanpa kelambu, terutama di daerah tropis yang tidak dilengkapi AC.
Kelambu insektisida juga dapat dicuci beberapa kali untuk membersihkan dari debu-debu yang
menempel. Pencucian kelambu sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan. Bila sering dicuci maka insektisida
yang melekap pada kelambu akan larut bersama air. Untuk mengeringkan kelambu, sebaiknya dilakukan
dengan cara dijemur di tempat yang teduh yang tidak terkena sinar matahari langsung, karena sebagian
insektisida akan menguap pada suhu tertentu.
Penelitian yang dilakukan di Flores Timur menunjukkan bahwa penggunaan kelambu yang
ditambahkan insektisida permetrin 0,20 g/m2 mampu mengurangi insiden malaria dan filariasis selama 5
bulan penggunaan dari 25,70% menjadi 21,95% untuk malaria dan dari 4,20% menjadi 2,44% untuk
filariasis. Akan tetapi insektisida pada kelambu ini biasanya tidak bertahan lama karena akan hilang setelah
enam kali pencucian dan perlu ditambahkan insektisida kembali.
Hasil penelitian yang menyatakan kelambu celup insektisida permethrin tanpa dicampur bahan
perekat, sudah tidak efektif terhadap nyamuk setelah dicuci lima kali. Kelambu yang dicelup bahan perekat
acrylic dan arthatrin tidak efektif setelah dicuci 20 kali (Hakim, dkk., 2006).
Penelitian yang menyatakan waktu untuk dapat membunuh nyamuk lebih besar atau sama dengan
70% setelah aplikasi untuk kelambu yang proses pengeringannya selama 12 minggu, dibanding yang proses
pengeringannya selama 6 minggu (Suwasono, dkk., 2003).
Jenis kelambu Olyset net berbahan polyester, sedangkan jenis permanet berbahan katun, kedua
jenis insektisida tersebut menggunakan bahan insektisida permetrin 2%. Insektisida yang digunakan pada
kelambu aman bagi manusia dan telah digunakan di banyak negara.
Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai kelambu yang dapat dipoles dengan insektisida
yaitu polyester, katun dan plastic. Bahan aktif insektisida K-Otab termasuk golongan bahan kimia piretroid
dengan komposisi Delmethrin 25% merupakan insektisida yang digunakan untuk memoles kelambu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden mengunakan kelambu berbahan polyester sebanyak
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

173

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

183 orang (91,5%) sedangkan responden yang menggunakan kelambu berbahan katun sebanyak 17 orang
(8,5%).
Responden yang menggunakan bahan kelambu berinsektisida dari polyester lebih banyak tidak
menderita malaria yaitu 154 orang (84,2%), dibanding menderita malaria sebanyak 29 orang (15,8%). Hasil
uji statistik diperoleh nilai p = 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara bahan
kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria.
Jenis bahan kelambu berinsektisida tidak ada berhubungan yang bermakna dengan kejadian
malaria, artinya efektifitas kelambu berinsektisida tidak tergantung dari jenis bahan yang digunakan, tetapi
ditentukan oleh jenis zat insektisida yang terkandung di dalamnya.
Bahan yang biasa dipakai untuk kelambu adalah nilon, polyester, katun dan politen. Politen jarang
digunakan karena mudah terbakar sehingga kurang aman bagi penggunanya. Kelambu celup permethrin
dari bahan polyester dan nilon mempunyai daya bunuh nyamuk yang lebih tinggi dibandingkan dari katun
yang diberi dosis yang sama. Umumnya kelambu berwarna putih, tapi warna lain kadang-kadang lebih
disukai terutama warna-warna yang tidak cepat kotor (Harminarti, 2008).
KESIMPULAN dan SARAN
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa cara penggunaan, frekuensi penggunaan dan perawatan
kelambu berinsektisida berhubungan dengan dengan kejadian malaria (p<0,05), sedangkan waktu
penggunaan dan bahan kelambu tidak berhubungan dengan kejadian malaria (p>0,05).
Diisarankan kepada masyarakat agar kelambu digunakan setiap akan tidur terutama pada malam hari
agar tidak tergigit nyamuk, setiap keluarga perlu diberi pengertian pentingnya menggunakan kelambu untuk
menurunkan insidensi malaria, kelambu yang telah dicuci berulang kali perlu diberi pestisida lagi agar
fungsi untuk membunuh nyamuk tidak berkurang, dan Pemerintah hendaknya memberikan bantuan
kelambu pada daerah endemik malaria disesuaikan dengan kondisi geografi.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara, 2009. Profil Malaria Propinsi Maluku Utara tahun 2008. Bidang
PP-PL Dinkes.Propinsi Maluku Utara, Ternate.
Eisele, T.P., 2010. Protective Efficacy of Interventions fp Preventing Malaria Mptality in Children in
Plasmodium falciparum Endemic Areas. International Journal of Epidemiology.
(http://creativecommons.pg), diakses tanggal 12 Januari 2011).
Erdinal, dkk., 2006. Faktp-faktp yang berhubungan dengan Kejadia Malaria di Kecamatan Kampar Kiri
Tengah, Kabupaten Kampar. Makara Kesehatan Vol 10. (http://www.fkm.undip.ac.id), diakses 12
Januari 2011.
Guerra, C.A., dkk, 2008. The Limits and Intensity of Plasmodium falciparum Transmission: Implications fp
Malaria
Gonosiu, L., 2008. Spatial Effect of Mosquito Bednets on Child Mptality. BMC Public Health.
(http://biomedcentral.com). Diakses tanggal 13 Januari 2011.
Gu, W., dkk., 2009. Predicting the Impact of Insecticide-Treated Bed Nets on Malaria Transmission: the
Devil is in the Detail. Malaria Journal. (http://www.malariajournal.com.), diakses tanggal 11
Januari 2011
Hakim, L., dkk, 2006. Efikasi Kelambu Celup Insektisida yang Dicampur Acrylic dan Arthatrin terhadap
Nyamuk Anopheles sundaicus. Loka Litbang P2B2 Depkes RI, Ciamis.
Harminarti, N., 2008. Kelambu Celup Permetrin. Majalah Kedokteran Andalas
Hiswani, 2004. Gambaran penyaklt dan vektp malaria di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. (http://www.repositpy.usu.ac.id), diakses 14 Januari 2011.
Masse A., dkk, 2009. Distribusi dan Penggunaan Kelambu Berinsektisida di Kota Tidpe Kepulauan.
Wpking Paper Series. Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.
Suwasono, H., dkk, 2003. Uji Efikasi Kelambu Celup Insektisida Berbahan Aktif Alphacypermethrin
terhadap Vektp Parasit Culex quiquefasciatus. Jurnal Ekologi Kesehatan.Vol 3.
Wikipedia, 2007. Kelambu Insektisida. (http://www.wikipedia.com) diakses 5 Januari 2011.
Suharjo, dkk, 2003. Perilaku Masyarakat dalam Menggunakan Kelambu Celup di Daerah Endemik
Malaria, MimikaTimur , Irian Jaya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 2.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

174

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

FAKTOR RISIKO TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NAMLEA


KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU TAHUN 2007 2009
A.

Zulkifli Abdullah1, Arman Abbas2, Rasdi Nawi1

Konsentrasi Epidemiologi Program Pascasarjana FKM Unhas, Makassar


2
Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Maluku
ABSTRACT

Lung tuberculosis is a public health problem in developing countries including Indonesia. In Buru
Regency, the Case Datection Rate (CDR) TB BTA positive in 2005 was 21% and increased to 27% and 28%
in 2006 and 2007 respectively. At the Namlea Public Health Center the CDR TB BTA positive in 2006 was
37% and increased to 42% in 2007. The aim of the study was to discover the risk factors of ventilation
width, rooms, density of occupants, income, smoking behavior, nutritional status, household contacts, and
duration of household contacts. The study was analitycal observation using a case control study. The
number of samples was 204 people selected by simple random sampling. The samples were divided into 68
cases and 136 controls. Matching using age and initial data was done by using TB 03 UPK and regency.
The data were analyzed by using SPSS version 13.The result of the study indicate that the ventilation width
(OR=0,91; 0,49-1,66; 95%CI) and rooms (OR=0,82; 0,27-2,43; 95%CI) are protective factors of lung TB.
The density of house occupants (OR=3,01; 1,62-5,58; 95%CI), income (OR=1,34; 0,75-2,14; 95%CI),
smoking behavior (OR=2,48; 1,36-4,50; 95% CI), nutritional status (OR=2,16; 1,08-4,32; 95%CI),
household contacts (OR=3,05; 1,67-5,59; 95%CI) and duration of household contacts (OR=4,50; 2,39
8,31; 95%CI) are risk factors of lung TB. The most dominant variable affecting the lung TB incidence is
duration of household contacts (Exp(B)=5,018; 1,477-17,050; 95%CI). It is suggested that comprehensive
sosialization about healthy house, empowerment of community for healthy life, improvement of family
nutrition and active surveillance of lung TB is necessary.
Key words : lung TB, risk factors
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang saat
ini dikenal sebagai penyakit menular yang sangat infeksius. Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah
lama dikenal didunia dan merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan di negara-negara
berkembang (Depkes RI, 2008).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah penderita TB
menempati urutan nomor 3 terbanyak di dunia sebanyak 583.000 penderita setelah India sebanyak 2 juta dan
Cina sebanyak 1,5 juta (Hiswani, 2004)). Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, TB Paru merupakan penyakit penyebab kematian urutan ke-3 yaitu sekitar 10% setelah
kardiovaskuler (19%) dan penyakit saluran pernafasan (16%) dan merupakan penyebab kematian utama
golongan penyakit Infeksi (Depkes RI, 2005)
Secara umum, sampai dengan tahun 2005 cakupan penemuan kasus baru(CDR) TB Paru BTA
positif di Provinsi Maluku sebesar 41% dengan angka kesembuhan 68,3%. Penemuan kasus tertinggi berada
di Kota Ambon yaitu CDR > 70% (Subdin P2M PL, 2007).
Situasi TB di Kabupaten Buru menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan. Menurut
laporan Sub Bidang P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Buru yang tercatat pada Profil Sub Dinas P2M, angka
penemuan kasus (CDR) TB BTA positif pada tahun 2005 adalah 21% dan meningkat menjadi 27 % dan 28
% pada tahun 2006 dan 2007. Namun, pada tahun 2008 CDR TB menunjukkan penurunan yaitu hanya
19%. Kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru TB BTA postif di Kabupaten Buru sejak
tahun 2004 sampai tahun 2006 tidak diikuti dengan peningkatan angka kesembuhan (Cure Rate / CR).
CR TB di Kabupaten Buru sejak tahun 2005 sampai 2008 berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan
penurunan. Jika pada tahun 2005, CR TB Paru hanya 21%, maka pada tahun 2006 meningkat perlahan
menjadi 44% yang kemudian turun secara signifikan menjadi 31% (Subdin P2M, 2008).
Evaluasi yang dilakukan terhadap pelaksanaan program P2 TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka penemuan kasus TB BTA positif pada tahun 2006 dan 2007.
Pada tahun 2006, CDR TB BTA positif 37% meningkat menjadi 42% pada tahun 2007. Angka kesembuhan
(CR) TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea menunjukkan penurunan pada tahun 2006 dan 2007. Jika pada
tahun 2006 CR TB 65%, maka pada tahun 2007 menurun menjadi 42% (Subdin P2M, 2008).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

175

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Upaya penanggulangan TB terus dilakukan terutama pada wilayah yang dikategorikan sebagai
wilayah dengan tingkat penemuan kasus aktif (Active Case Finding) yang tinggi. Upaya penanggulangan
dimulai dari penemuan, pengobatan sampai rehabilitasi penderita TB. Insidensi kasus TB pada suatu wilayah
merupakan indikator untuk menilai keberhasilan pengobatan TB di masyarakat. Banyak faktor yang
berkontribusi terhadap rendah maupun tingginya angka insidens tersebut. Faktor-faktor ini baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kejadian TB bahkan dapat menjadi faktor risiko TB.
Faktor-faktor ini penting untuk diketahui sebagai informasi yang baik dalam menentukan tindakan intervensi
selanjutnya. Penelitian ini bertujuan ntuk menganalisis faktor risiko TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea
Kabupaten Buru Provinsi Maluku.
BAHAN dan METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasi analitik dengan desain Case Control
Study dengan mengidentifikasi penderita TB paru BTA positif dan bukan penderita TB Paru yang datang
berobat di Puskesmas Namlea. Setelah itu, dilakukan penelusuran secara retrospektif untuk mengetahui
faktor risiko yang diduga sebagai penyebab kejadian TB Paru Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Namlea, Provinsi Maluku. Alasan pemilihan wilayah kerja Puskesmas Namlea adalah selain
merupakan ibukota Kabupaten, Puskesmas Namlea mempunyai angka penemuan kasus baru TB yang tinggi
bila dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas yang lain. Selain itu, penelitian tentang faktor risiko
kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea masih sangat minim, bahkan belum pernah dilakukan
sebelumnya.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh pengunjung Puskesmas Namlea pada yang datang, berobat dan terdaftar
pada register rawat jalan Puskesmas Namlea periode waktu tahun 2007 sampai dengan triwulan II Tahun
2009. Sampel dibagi dalam dua kelompok sampel, yaitu kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus
yaitu pengunjung puskesmas Namlea yang datang, berobat dan berdasarkan hasil pemeriksaan sputum di
laboratorium serta diagnosa dokter adalah penderita TB BTA (+). Sedangkan kelompok kontrol dalam
penelitian ini adalah suspek TB yang diperiksa sputumnya tapi hasil pemeriksaan sputum dilaboratorium
adalah BTA (-). Untuk menghindari bias seleksi pada sampel didalam penelitian ini, maka dibuat kriteria
sampel pada kelompok kasus maupun kontrol didalam penelitian ini yaitu; 1) berdomisili di kecamatan
Namlea, 2) berumur lebih dari 15 tahun, 3) mempunyai alamat yang jelas, 4) bersedia untuk diwawancarai
dan diikutkan sebagai sampel dalam penelitian.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat. Pada analisis bivariat dihitung
besar nilai OR dan kemaknaannya (CI=95%). Analisis multivariat dilakukan dengan memasukkan variabel
yang bermakna secara statistik (OR>1 dan Lower Upper limit tidak mencakup nilai 1). Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabel analisis bivariat disertai narasi.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik responden
Penelitian faktor risiko TB Paru ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Namlea Kecamatan
Namlea Kabupaten Buru Propinsi Maluku pada bulan september sampai dengan November 2009. Jumlah
sampel sebanyak 204 yang terdiri dari 68 kasus yaitu penderita TB BTA (+) dan Rontgen (+) dan 136
kontrol yaitu suspek TB Paru. Data kasus dan kontrol diperoleh dari formulir TB.03 Kabupaten dan TB.03
UPK di Puskesmas.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa dari seluruh responden banyak berasal dari Desa Namlea
yaitu sebanyak 81 orang (39,7%) dan paling sedikit berasal dari Desa Waimiting yaitu sebanyak 6 orang
(2,9%). Dai seluruh responden, banyak yang berada pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebanyak 48
orang (23,5%) dan paling sedikit berada pada golongan umur >70 tahun sebanyak 3 orang (1,5%). Dari segi
jenis kelamin, secara umum lebih banyak responden yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 113
orang (55,4%) dibanding responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 91 orang (44,6%). Banyak
responden yang merupakan penduduk asli yang berasal Buru yaitu sebanyak 90 orang (44,1%) dan paling
sedikit adalah suku Banjar yaitu hanya 1 orang (0,5%). Pendidikan terakhir responden bervariasi, namun
banyak responden yang menamatkan pendidikan terakhirnya hanya pada tingkat SD / SR saja, yaitu
sebanyak 66 orang (32,4%) dan paling sedikit hanya sampai melanjutkan pendidikan terakhirnya ke jenjang
Diploma 3 atau Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 9 orang (4,4%). Dari segi pekerjaan, banyak responden
yang tidak atau belum bekerja yaitu sebanyak 89 orang (43,6%) dan hanya 1 orang saja (5,9%) yang bekerja
sebagai buruh. Responden yang digolongkan sebagai tidak atau belum bekerja disini adalah Ibu Rumah
Tangga (IRT), anak sekolah, mahasiswa, dan lansia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

176

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku Tahun 2007-2009
No
1.

Karakteristik Responden
Desa Asal
Namlea
Lala
Karang Jaya
Ubung
Jikumerasa
Sawa
Waimiting
Waeperang
Siahoni
Jamilu
Sanleko
2.
Kelompok Umur (thn)
11 20
21 30
31 40
41 50
51 60
61 70
> 70
3.
Jenis Kelamin
Laki Laki
Perempuan
4.
Suku
Buru
Ambon
Sula
Jawa
Bugis
Buton
Toraja
Banjar
5.
Pendidikan Terakhir
Tidak Sekolah
SD / SR
SMP
SMA
D3 / Perguruan Tinggi
6.
Pekerjaan
Tidak/Belum bekerja
Swasta
Pegawai Honorer
PNS
Petani
Buruh
Lainnya
Data Primer

Jumlah (n=204)

81
9
10
24
11
18
6
14
11
12
8

39,7
4,4
4,9
11,8
5,4
8,8
2,9
6,9
5,4
5,9
3,9

15
36
39
36
48
27
3

7,4
17,6
19,1
17,6
23,5
13,2
1,5

113
91

55,4
44,6

90
18
17
17
8
49
4
1

44,1
8,8
8,3
8,3
3,9
24,0
2,0
0,5

11
66
58
60
9

5,4
32,4
28,4
29,4
4,4

89
26
5
22
49
1
12

43,6
12,7
2,5
10,8
24,0
0,5
5,9

Variabel penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8 variabel penelitian, ada 5 variabel yang menjadi faktor
risiko TB Paru yang signifikan. Selain mempunyai nilai OR > 1, nilai batas bawah (lower limit) dan batas
bawah (upper limit) pada Confidence Interval (CI) 95% tidak mencakup nilai 1. Kelima variabel tersebut
antara lain tingkat kepadatan hunian (OR=3,01; 1,62-5,58), perilaku merokok (OR=2,48; 1,36-4,50), status
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

177

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

gizi (OR=2,16; 1,08 4,32), kontak serumah (3,05; 1,67-5,59) dan lamanya kontak serumah OR=4,50; 2,398,31). Selain faktor risiko TB Paru yang signifikan, dari tabel 2 juga terlihat ada variabel yang menjadi
faktor risiko TB Paru namun tidak signifikan yaitu variabel pendapatan keluarga. Besar nilai OR untuk
pendapatan keluarga adalah 1,34 dan nilai LL-UL = 0,75 2,14. Karena pada nilai batas bawah dan atas
mencakup nilai 1 maka dikatakan bahwa pendapatan keluarga merupakan faktor risiko yang tidak signifikan
terhadap kejadian TB Paru (Tabel 2).
Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Penelitian Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku Tahun 2007 - 2009
Kejadian TB Paru (n=204)
Kasus (n=68)
Kontrol (n=136)
n
%
n
%

Analisis Statistik

Luas ventilasi rumah


Risiko Tinggi ( <10% luas lantai )
Risiko Rendah ( >10% luas lantai )

42
26

61,8
38,2

87
49

64,0
36,0

OR = 0,91
LL UL 95%CI =
0,49 1,66

Kamarisasi
Risiko Tinggi ( tidak ada kamar )
Risiko Rendah ( ada kamar )

5
63

7,4
92,6

12
124

8,8
91,2

OR = 0,82
LL UL 95% CI
= 0,27 2,43

47
21

69,1
30,9

58
78

42,6
57,4

OR = 3,01
LL UL 95% CI
= 1,62 5,58

38
30

55,9
44,1

66
70

48,5
51,5

OR = 1,34
LL UL 95% CI
= 0,75 2,14

Perilaku Merokok
Risiko Tinggi ( merokok )
Risiko Rendah ( tidak merokok )

38
30

55,9
44,1

46
90

33,8
66,2

OR = 2,48
LL UL 95% CI
= 1,36 4,50

Status Gizi
Risiko Tinggi ( IMT < 18,5 )
Risiko Rendah ( IMT > 18,5 )

20
48

29,4
70,6

22
114

16,2
83,8

OR = 2,16
LL UL 95% CI
= 1,08 4,32

43
25

63,2
36,8

49
87

36,0
64,0

OR = 3,05
LL UL 95% CI
= 1,67 5,59

40
28

58,8
41,2

33
103

24,3
75,7

OR = 4,50
LL UL 95% CI
= 2,39 8,31

Variabel Penelitian
1.

1.

2.

Tingkat Kepadatan Hunian


Risiko Tinggi ( <10 m2 per penghuni )
Risiko Rendah ( >10 m2 per penghuni

)
3.

Pendapatan Keluarga
Risiko Tinggi ( < UMR / Rp.
700.000,- )
Risiko Rendah ( >UMR / Rp.
700.000,- )
4.

5.

6.

Kontak Serumah
Risiko Tinggi ( ada riwayat kontak )
Risiko Rendah ( tidak ada riwayat
kontak)
7.

Lamanya Kontak Serumah


Risiko Tinggi ( > 6 bulan )
Risiko Rendah ( < 6 bulan )

Data Primer
Dari tabel 2 juga ditemukan dua buah variabel yang bukan merupakan faktor risiko TB tetapi
sebagai faktor protektif terhadap kejadian TB Paru. Kedua variabel tersebut adalah luas ventilasi rumah
(OR=0,91; 0,49 1,66) dan kamarisasi (OR=0,82; 0,27 2,43). Kedua variabel ini mempunyai nilai OR
yang kuarng dari 1. Akan tetapi, jika dilihat dari nilai batas bawah dan atas yang diperoleh, diketahui
bahwa kedua variabel ini menjadi faktor protektif yang tidak signifikan terhadap kejadian TB Paru karena
mencakup nilai 1.
Analisis Multivariat
Dari hasil analisis secara bivariat, diperoleh variabel bebas yang merupakan faktor risiko TB Paru
(OR> 1 dan tidak ada nilai 1 diantara Lower dan Upper Limit) di wilayah kerja Puskesmas Namlea yaitu
kepadatan hunian rumah, perilaku merokok, status gizi, kontak serumah dan lamanya kontak serumah. Hasil
analisis multivariat dapat dilihat pada tabel 3. Dari tabel 3 diketahui bahwa dari kelima faktor risiko TB,
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

178

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

faktor risiko lama kontak serumah merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian TB di
wilayah kerja puskesmas Namlea dengan nilai Exp.(B)=5,08 (1,477-17,050; 95%CI). Logaritma natural
odds ratio kejadian TB Paru adalah :
Logit TB Paru = -4,402 + 0,774 (kepadatan hunian) + 0,775 (perilaku merokok) + 0,523 (status gizi)
0,478 (kontak serumah) + 1,613 (lama kontak).
Interpretasi dari persamaan logistik TB paru diatas yaitu, pada suatu kondisi dimana tidak ada
pengaruh faktor risiko kepadatan hunian (E1), perilaku merokok (E2), status gizi (E3), kontak serumah (E4)
dan lama kontak (E5), serta dengan memperhatikan nilai konstanta yang negatif berati tanpa ada pengaruh
faktor risiko tersebut, risiko kejadian TB akan menurun sebesar 4,402 kali. Semakin besar nilai pada variabel
independen, maka semakin besar pula risiko untuk menderita TB.
Tabel 3 Analisis multivariat faktor risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Namlea Kabupaten
Buru Provinsi Maluku tahun 2007 2009
Variabel Bebas
Kepadatan hunian
Perilaku Merokok
Status Gizi
Kontak Serumah
Lama Kontak
Constan
Data Primer

Sig.

Exp.(B)

,774
.775
.523
-.478
1,613
-4.402

.024
.021
.188
.445
.010
.000

2.168
2.170
1.687
.620
5.018
.012

95 % C.I. for EXP (B)


Lower
Upper
1.106
4.250
1.124
4.187
.775
3.673
.182
2.112
1.477
17.050

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden yang mempunyai luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan justru jumlahnya lebih banyak yang tidak menderita TB Paru dibandingkan yang
menderita TB Paru. Sebaliknya, responden yang justru memiliki ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
lebih banyak yang menderita TB Paru (lihat tabel 2). Sejalan dengan hasil penelitian Achmadi (2005) bahwa
ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TB dan
kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk
memasukkan cahaya ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan
genteng kaca, maka ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut persaratan ventilasi yang baik adalah
10% dari luas lantai.
Hasil analisis bivariat menunjukkan luas ventilasi rumah (OR=0,91; 0,49-1,66; 95% CI) sebagai
faktor protektif yang tidak signifikan terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amiluddin (2009) yang menyatakan
bahwa ventilasi merupakan faktor risiko TB Paru. Orang yang mempunyai ventilasi tidak memenuhi syarat
kesehatan berisiko 3,06 kali untuk menderita TB Paru bila dibandingkan dengan yang memenuhi syarat
kesehatan8. Penelitian yang dilakukan oleh Supriyono tahun 2003 di Ciampea, Jawa Barat menemukan
bahwa ventilasi merupakan faktor risiko TB Paru.Penduduk yang tinggal pada rumah dengan ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 5,2 untuk menderita TB dibandingkan dengan penduduk
berventilasi memenuhi syarat kesehatan (Achmadi, 2005).
Kondisi rumah tanpa kamarisasi yang baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan akan
memudahkan penularan penyakit didalam rumah terutama penyakit saluran pernafasan dan penyakitpenyakit lain yang menyebar lewat udara. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ruangan yang memisahkan
antara penghuni yang terkena penyakit dengan penghuni lainnya, jika kebetulan dalam rumah tersebut ada
anggota keluarga yang menderita penyakit (Achmadi, 2005). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
kamarisasi (OR=0,82; 0,27- 2,43; 95% CI) sebagai faktor protektif yang tidak signifikan terhadap kejadian
TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hasnawati pada tahun 2006 di Kendari yang menemukan bahwa kamarisasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan menimbulkan peluang terjadinya TB paru sebesar 8,56 kali (Hasnawati, 2006). Penelitian
yang dilakukan oleh Sugiharto tahun 2004 menemukan bahwa kamarisasi merupakan faktor risiko TB Paru.
Nilai OR yang didapatkan adalah 3,16 (Sugiharto, 2004).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah (OR=3,01; 1,62- 5,58; 95% CI)
merupakan faktor risiko TB Paru signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Risiko terjadinya TB Paru
pada orang yang tinggal di rumah yang padat 3,01 kali lebih besar bila dibandingkan orang yang tinggal di
rumah yang tidak padat.Pada uji regresi logistik, diperoleh kepadatan penghuni rumah merupakan faktor
risiko kejadian TB yang signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea (Exp(B)=2,168; 1,06-4,259; 95%
CI). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyono tahun 2003.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

179

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Penelitian yang dilakukan di Ciampea, Jawa Barat ini menunjukkan bahwa risiko untuk mendapatkan TB 1,3
kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan
(Achmadi, 2005). Padatnya penghuni pada rumah responden disebabkan karena sebagian besar penduduk di
wilayah kecamatan Namlea masih menganut sistem kekerabatan yang cukup tinggi. Hal ini membuat banyak
rumah yang memiliki lebih dari 1 kepala keluarga. Orang yang telah menikah namun belum mempunyai
pekerjaan tetap dan kemampuan ekonomi yang menunjang maka mereka masih tetap tinggal di rumah orang
tuanya sampai mereka mempunyai kemampuan sendiri untuk menata hidupnya.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pendapatan keluarga (OR=1,34; 0,75-2,14; 95% CI)
merupakan sebagai faktor risiko TB Paru yang tidak signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang.G.J yang menyimpulkan bahwa faktor
risiko non biologik seperti pendapatan merupakan faktor risiko TB. Menurutnya, penduduk dengan tingkat
pendapatan yang rendah mempunyai risiko 2,096 kali untuk menderita TB bila dibandingkan dengan
penduduk dengan tingkat pendapatan lebih baik (Amiluddin, 2009).
Selain karena perbedaan nilai proporsi, ditemukannya pendapatan sebagai faktor risiko TB yang
tidak signifikan pada penelitian ini disebabkan karena pendapatan merupakan penyebab tidak langsung
terhadap kejadian TB Paru. Masih banyak variabel perantara lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian
TB Paru yaitu daya beli, ketersediaan pangan, konsumsi rumah tangga, status gizi dan daya tahan tubuh.
Variabel variabel ini akan berinteraksi dengan variabel lain seperti rendahnya akses pelayanan kesehatan
dan pengetahuan kesehatan yang kurang memadai sehingga akan menjadi suatu keadaan rentan terhadap
kejadian suatu penyakit. Menurut Achmadi (2005).
Asap rokok menigkatkan tahanan pelan nafas (Airway resistance), akibatnya pembuluh darah di paruparu mudah bocor, juga merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan menurunkan respons terhadap
antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru, tidak ada pendeteksiannya (Harminarti,
2008). Penelitian ini menunjukkan bahwa perokok lebih banyak ditemukan pada penderita TB (55,9%).
Sedangkan pada suspek TB lebih banyak yang tidak merokok bila dibandingkan dengan yang merokok
(66,2%). Pada penderita TB (kasus), banyak yang mempunyai kebiasaan merokok sebelum mereka
didiagnosa menderita TB Paru. Pada perbandingan proporsi, diketahui bahwa responden yang merokok juga
lebih banyak yang menderita TB dibandingkan yang tidak menderita TB, sebaliknya responden yang tidak
merokok lebih banyak yang tidak menderita TB.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perilaku merokok (OR=2,48; 1,36-4,50; 95% CI) merupakan
faktor risiko TB Paru yang signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Risiko kejadian TB Paru pada
perokok 2,48 kali lebih besar bila dibandingkan orang yang tidak merokok. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arivothai pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa perokok usia dini
15-20 tahun merupakan faktor risiko TB, dengan OR = 3,18 (1,15-8,77; 95%CI). Penelitian yang dilakukan
Amiluddin (2009) menunjukkan bahwa perokok berisiko 4,034 kali untuk menderita TB Paru dibandingkan
yang bukan perokok. Seorang perokok yang terpapar dengan faktor risiko TB Paru akan semakin mudah
menjadi sakit TB Paru. Kuman TB yang masuk melalui pernafasan akan dengan mudahnya sampai ke paruparu dan berkembang biak menjadi lebih banyak di dalam paru-paru. Paru-paru yang rusak akibat komponen
rokok menjadi pintu masuk yang sangat mudah untuk Mycobacterium dan memperbanyak diri (Yoga, 200).
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang diindikasikan oleh berat
badan dan tinggi badan. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh
keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang
didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Razak, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Suhardi,dkk tahun 2006 di Kota Salatiga, mendapatkan risiko
terjadinya penyakit TB paru pada Balita yang mempunyai status gizi kurang adalah 11,7 kali lebih besar
dibandingkan dengan balita yang mempunyai status gizi yang lebih baik (Suhardi, dkk., 2006) . Amiluddin
tahun 2009 juga menyimpulkan bahwa status gizi juga merupakan faktor risiko TB Paru dengan nilai
OR=19,4 (Amiluddin, 2009).
Berdasarkan penelitian faktor risiko TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea, ditemukan banyak
penderita TB yang justru mempunyai status gizi baik (IMT > 18,5). Dari 68 penderita TB, 48 orang (70,6%)
mempunyai IMT yang dikategorikan sebagai status gizi yang baik. Dari hasil wawancara dengan petugas TB
puskesmas dan wasor TB Kabupaten diketahui bahwa banyak penderita TB yang datang dan memeriksakan
dahak SPS di UPK adalah mereka dengan berat badan diatas rata-rata. Hasil validasi dilapangan juga
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang datang memeriksakan dahak SPS di Puskesmas Namlea
justru memberikan hasil BTA (+). Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas Namlea menjadi penyakit fenomena gunung es. Orang yang terlihat sehat, belum tentu tidak
menderita TB Paru. Ini mengindiksikan bahwa tingkat penularan TB Paru dimasyarakat juga sudah sangat
tinggi.
Kejadian TB terkait erat dengan riwayat kontak, baik kontak serumah maupun bukan kontak
serumah. Meningkatnya jumlah kasus TB di Indonesia tiap tahunnya memberikan isyarat bahwa TB
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Pelaksanaan program pengendalian TB di
Indonesia di lapangan selama ini hanya berorientasi pada penemuan dan pengobatan penderita. Padahal,
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

180

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

penderita TB dengan BTA positif mempunyai potensi untuk menularkan bakteri kepada kontak sekitarnya,
baik kontak serumah maupun kontak diluar rumah atau masyarakat luas (Gusti, 2003).
Hubungan antara lamanya kontak dengan penderita TB terhadap kejadian TB telah banyak
dilakukan. Lamanya kontak merupakan faktor yang berengaruh terhadap kejadian TB. Berdasarkan hasil
penelitian, ditemukan bahwa responden yang mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB Paru
> 6 bulan lebih banyak yang menderita TB dibandingkan yang tidak menderita TB. Sebaliknya, responden
yang riwayat kontak serumahnya < 6 bulan lebih banyak yang tidak menderita TB dibandingkan yang
menderita TB.
KESIMPULAN DAN SARAN
Luas ventilasi rumah dan kamarisasi bukan merupakan faktor risiko kejadian TB Paru tetapi
sebagai faktor protektif. Sedangkan kepadatan penghuni rumah, kebiasaan merokok, status gizi, kontak
serumah dan lamanya kontak serumah merupakan faktor risiko TB Paru. Pendapatan keluarga merupakan
faktor risiko TB Paru yang tidak signifikan. Lamanya kontak serumah merupakan faktor risiko paling
berpengaruh terhadap kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Untuk itu, perlunya sosialisasi
kompehensif tentang rumah sehat, pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat, peningkatan Upaya
Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK), dan surveilans aktif TB Paru melalui pemeriksaan kontak serumah
penderita TB Paru BTA (+).
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Kompas : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Amiluddin, 2009. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kecamatan Tamalatea Kabupaten Jeneponto Tahun
2006 2008, Tesis Program Pascasarjana, Univrsitas Hasanuddin, Makassar, Tidak dipublkasikan.
Asyikin, A. 2009. Hubungan Kondisi Perumahan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten
Bombana, Januari 2003 Juni 2008, Tesis Program Pascasarjana, Univrsitas Hasanuddin,
Makassar, Tidak dipublkasikan.
Departemen Kesehatan. 2002. Pedoman Nasioanl Penanggulangan Tuberkulosis, cetakan ke-8, Jakarta
Departemen Kesehatan. 2005. Survei Prevalensi TB di Indonesia, Balitbangkes, Jakarta.
Departemen Kesehatan. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2 cetakan kedua,
DepKes RI, Jakarta
Gusti, A. 2003. Kekerapan Tuberkulosis Paru Pada Pasangan Suami Istri Penderita TB Paru Yang Berobat
di Bagian Paru RSUP. H. Adam Malik (online),( http://www.library.usu.ac.id, diakses 29 Juni 2009)
Hasnawati, 2006. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kendari, Tesis Program Pascasarjana, Univrsitas
Hasanuddin, Makassar, Tidak dipublkasikan.
Hiswani, 2004. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan
Masyarakat (online), (http://www.library.usu.ac.id, diakses 29 Juni 2009)
Lameshow,dkk 1997. Besar Sampel Dalam Peneitian Kesehatan. Editor : Hari Kusnanto,dkk. Gadjah Mada
University Press, Jogjakarta
Nani, R, 2003. Tuberculosis Infections in Infants and Children Who Have Contact With Positive Sputum
Adult Tuberculosis (online), (http://www.library.usu.ac.id/downloadftm/fkm/-nanirony, diakses 29
Juni 2009)
Razak, A. 2009. Faktor Risiko Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari, Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2008 Tesis program pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar,
Tidak dipublikasikan.
Rungu, L. 2002. Analisis Beberapa Faktor Risiko Kejadian TB Paru di Wilayah Kota Samarinda. Tesis
Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak dipublikasikan.
Samsugito,I, 2005. Analisis Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di RS. A. Wahab. Sjahranie
Samarinda Tahun 2005. Tesis Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak
dipublikasikan.
Subdin P2M PL. 2007. Renstra Penanggulangan TB Provinsi Maluku Tahun 2007 2010, Dinas Kesehatan
Provinsi Maluku, Ambon
Subdin P2M. 2008. Profil Subdin P2M PL Dinkes Kabupaten Buru Tahun 2007, Namlea
Sugiharto, 2004. Kepadatan Hunian Kamar Tidur Terhadap Kejadian TB Paru.
Suhardi, dkk, 2006. Hubungan Faktor Risiko Kondisi Rumah Tangga Terhadap Kejadian TB Paru Pada
Balita di wilayah Kota Salatiga (online), (http://www.digilib.usu.ac.id, diakses 29 Juni 2009)
Supariasa, N dkk. 2001. Penilaian Status Gizi, EGC: Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Suswani, A. 2007. Faktor Risiko TB Paru di Kabupaten Bulukumba Tahun 2007 Tesis Program
Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak dipublikasikan.
Wijayanti, S dkk. 2002. Deteksi Individu Kontak Serumah Pada Infeksi Tuberkulosis Siswa SD di
Kotamadya Jogjakarta, Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, vol 34 No. 2, 2002
Yoga, 2000. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Laboratorium Mikrobiologi RSUP
Persahabatan/WHO Collaborating Centre for Tuberculosis, Jakarta.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

181

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

EFEK PELAKSANAAN INDOOR RESIDUAL SPRAYING (IRS) TERHADAP PENURUNAN


MONTHLY PARASITE INCIDENCE (MoPI) DI DESA PARIA KECAMATAN
POLEANG TENGAH KABUPATEN BOMBANA TAHUN 2013
Andi Ira Angraeny Rahman1, A. Arsunan Arsin2, Hasanuddin Ishak3
1

Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara


Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2

ABSTRACT
Indoor Residual Spraying (IRS) is an ineffective effort to control malaria endemic areas to break
the chain of transmission of malaria. The research aimed to determine the effect of the implementation of
Indoor Residual Spraying (IRS) to decrease Monthly Parasite Incidence (MoPI). This type of research is
quasi-experimental with pretest and posttest using comparison groups (The nonrandomized control group
pretest posttest design) with a sample of 1,068 residents and houses as many as 235 homes in the sampling
technique exchaustive sampling. The data was collected through observation, MBS and IRS records and
interviews with the retrieval and examination of blood clots using RDT and microscopic. Statistical analysis
with chi-square test (Mc Nemar) and calculation MoPI. The results showed that there was no significant
difference in the pretest phase (before the intervention) between the treatment and comparison against MoPI
reduction (p = 1.000). There is a significant difference in the posttest phase (after the intervention) between
the treatment group and the comparison to the decline MoPI (p = 0.001). There is a significant effect of
treatment group at pretest and posttest comparisons against MoPI reduction (p = 0.001). No significant
effect on the comparison group at pretest and posttest phases MoPI to decrease (p = 0.8). Concluded that no
effect of the implementation of Indoor Residual Spraying (IRS) to decrease Monthly Parasite Incidence
(MoPI). The IRS can be expected implementation of the program routine intervention development
especially malaria endemic areas to prevent the spread of malaria.
Keywords: Indoor Residual Spraying, Monthly Parasite
PENDAHULUAN
Malaria adalah salah satu penyakit menular yang penularannya melalui gigitan nayamuk Anopheles
betina. Malaria disebabkan protozoa obligat intraseluler dari genus plasmodia family plasmodiidae. Penyakit
malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut
merupakan tempat yang sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang (Arsin , 2012).
WHO (2011) melaporkan bahwa terdapat 225 juta kasus malaria dengan estimasi kematian sekitar
655.000 dan pada tahun 2009 diperkirakan 781.000 orang meninggal akibat penyakit malaria. Setiap
tahunnya 600 juta penderita baru malaria dilaporkan dari seluruh dunia, terutama anak-anak dan ibu hamil
dengan angka kematian lebih dari 3 juta jiwa, sebagian besar adalah anak-anak balita yang berumur dibawah
lima tahun (Okeke dkk., 2010; Pavli dkk., 2010). Kasus dan kematian malaria ditemukan di Afrika dan
beberapa negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah serta Eropa (Protopopof dkk., 2007; Syafruddin dkk.,
2009; Omar dkk., 2009). Penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria hampir setengah dari
keseluruhan penduduk di dunia yaitu sekitar 43%, terutama negara-negara berpenghasilan rendah (Adam
dkk., 2008)
Di Indonesia tahun 2011 terdapat 374 kabupaten endemis malaria dengan jumlah kasus malaria
sebanyak 256.592 orang dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sampel darahnya dengan
tingkat kejadian tahunan atau Annual Parasite Incidence (API) 1,75 per 1000 penduduk (Kemenkes RI,
2012).
Salah satu upaya pemberantasan malaria menjadi bagian integral dari pembangunan nasional yaitu
pengendalian vektor melalui penyemprotan rumah atau Indoor Residual Spraying (IRS) dengan
menempelkan racun serangga tertentu dengan jumlah (dosis) yang telah ditentukan secara merata pada
permukaan dinding rumah yang disemprot efektif untuk memutuskan mata rantai penularan malaria (Mabaso
dkk., 2004; Sibanda dkk., 2011; Hamusse dkk., 2012). Hal ini telah dibuktikan dengan hasil penelitiandi
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

182

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Sub-Saharan Africa yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan sebelum dan sesudah
penyemprotan IRS, yaitu mereduksi kejadian malaria sebesar 85% (p<0,001) Smith dkk (2008).
Penyemprotan rumah dengan insektisida (IRS) sudah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, salah
satunya yaitu di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Kabupaten
Purworejo melakukan program penyemprotan (IRS) pada 3.134 rumah, dimana IRS di sembilan desa
tersebut diestimasi akan melindungi sedikitnya 12.152 jiwa penduduk dari gigitan nyamuk Anopheles
(Dinkes Purworejo, 2010).
Di Kecamatan Poleang Tengah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara, API tahun 2011 yaitu
12,93 per 1000 penduduk dan Desa Paria itu sendiri API 9,24 per 1000 penduduk di tahun 2012 (Dinkes
Bombana, 2012). Oleh karena itu dibutuhkan suatu kajian dan upaya untuk melakukan pengendalian
malaria, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pelaksanaan Indoor Residual Spraying (IRS)
terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI) sebelum dan sesudah penyemprotan IRS.
BAHAN DAN METODE
Rancangan Penelitian dan Lokasi Penelitian
Jenis Penelitian adalah quasi eksperimen dengan rancangan sebelum dan sesudah intervensi
menggunakan kelompok pembanding (The Nonrandomized control group pretest posttest design). Penelitian
dilakukan di Desa Paria Kecamatan Poleang Tengah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh penduduk dan rumah penduduk yang berada di wilayah Desa
Paria Kecamatan Poleang Tengah. Sampel penelitian sebanyak 1.068 orang dan 235 rumah dengan tekinik
penarikan sampel secara exchaustive sampling, dimana sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 2 dusun
kelompok perlakuan yang terdiri dari 655 responden dan 153 rumah serta 2 dusun kelompok pembanding
terdiri dari 413 responden dan 82 rumah.
Analisis Data
Data karakteristik sampel diolah dengan menggunakan SPSS 20 untuk memperoleh gambaran
umum dengan pemaparan secara deskriptif variabel penelitian dan analisis bivariat dengan uji chi square
(Mc Nemar) untuk melihat adanya pengaruh perbedaan kejadian malaria atau Monthly Parasite Incidence
(MoPI) sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi Indoor Residual Spraying (IRS). Perhitungan
dengan rumus MoPI untuk untuk melihat apakah ada efek intervensi setelah pelaksanaan Indoor Residual
Spraying (IRS) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI) dengan cara membandingkan MoPI
sebelum dilakukannya intervensi IRS dan MoPI setelah dilakukan intervensi IRS. Perhitungan Monthly
Parasite Incidence (MoPI) yaitu dengan rumus berikut :
Jumlah Malaria Positif di suatu wilayah
dalam kurun 1 bulan
MoPI =

x 1000
Jumlah penduduk Berisiko di wilayah yg sama

HASIL
Karaketristik Responden
Gambar 1 menunjukkan distribusi responden berdasarkan kelompok umur, baik pada kelompok
perlakuan maupun kelomjpok pembanding tertinggi pada kelompok umur dewasa muda (18-39 tahun)
masing-masing sebanyak 228 responden (34,8%) dan 175 responden (42,4%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

183

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

42.4

45
40

34.8

35
30
25
0-11 Bln
20

21.2
1-4 Thn

18-39 Thn
14.8

11.1

15

40-56 Thn
18.1
10.4

6.9

10
5

19.9
5-12 Thn
13-17Thn

5.3

>56 Thn

5.3

0.8

Perlakuan

Pembanding

Gambar 1. Persentase Responden berdasarkan Kelompok Umur Desa Paria (Februari-April 2013)
Tabel 1 menunjukkan perbandingan kejadian malaria (positif malaria) pada pengukuran pretest dan
posttest berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki masing-masing sebanyak 28 responden (5,7%) dan 23
responden (4,7%), sedangkan pada responden perempuan yang positif malaria pengukuran pretest dan
posttest yaitu masing-masing sebanyak 21 responden (3,6%) dan 7 responden (1,2%).
Tabel 1 Distribusi perbandingan kejadian malaria tahap pretest dan posttest berdasarkan jenis
kelamin
Pretest
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah

Positif
n
28
21
49

%
5,7
3,6
4,6

Posttest
Negatif

n
462
557
1019

%
94,3
96,4
95,4

Positif
n
%
23
4,7
7
1,2
30
2,8

Negatif
n
%
467
95,3
578
98,8
1038
97,2

Data Primer
Karakteristik Rumah
Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi perbandingan kejadian malaria (positif malaria) pengukuran
pretest dan posttest berdasarkan jenis rumah yaitu tertinggi pada jenis rumah permanen sebanyak 20
responden (66,7%) pada pengukuran pretest dan 6 responden (66,7%) pada pengukuran posttest.
Tabel 2 Distribusi perbandingan kejadian malaria tahap pretest dan posttest berdasarkan jenis rumah

Pengukuran
Pretest
Posttest
Jumlah

Permanen
n
20
6
26

%
66,7
66,7
66,7

Jenis Rumah
Semin
Permanen
n
%
7
23,3
2
22,2
9
23,1

Panggung
n
3
1
4

%
10
11,1
10,2

Jumlah
n
30
9
39

%
100
100
100

Data Primer
Analisis Bivariat
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 655 responden pada kelompok perlakuan terdapat 30 responden
yang positif malaria pada pengukuran pretest (sebelum intervensi IRS) dan menurun menjadi 9 responden
yang positif malaria pada tahap posttest (sesudah intervensi IRS), dimana persentase positif malaria dari
pretest ke posttest yaitu sebesar 16,7% sedangkan persentase yang negatif malaria sebesar 83,3%.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 (p< 0,05) menunjukkan ada pengaruh signifikan
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

184

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi IRS terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence
(MoPI).
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan perbandingan pretest dan posttest
perlakuan (intervensi)
Posttest
Diagnosa
Positif
Negatif

Pretest
Jumlah

n
5
4
9

Positif
%
16,7
0,6
1,4

Negatif
n
%
25
83,3
621
99,4
646
98,6

pada kelompok

Jumlah
n
30
625
655

%
100
100
100

0,001

Data Primer
Tabel 4

Distribusi responden berdasarkan perbandingan pretest dan posttest pada kelompok


pembanding (tanpa intervensi)

Diagnosa
Positif
Negatif

Pretest
Jumlah

Posttest
Positif
Negatif
n
%
n
%
4
21,1
15
78,9
17
4,3
377
95,7
21
5,1
392
94,9

Jumlah
n
19
394
413

Nilai p

%
100
100
100

0,8

Data Primer
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 413 responden pada kelompok pembanding terdapat 19 responden
yang positif malaria pada pengukuran pretest dan mengalami peningkatan pada pengukuran posttest menjadi
21 responden yang positif malaria. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,8 (p> 0,05)
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan pada pretest dengan posttest pada kelompok
pembanding (tanpa intervensi) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI).
Nilai MoPI kelompok perlakuan yaitu 41,44 per 1000 penduduk pada pengukuran pretest dan 12,43
per 1000 penduduk pada pengukuran posttest, sedangkan pada kelompok pembanding, nilai MoPI
pengukuran pretest sebesar 40,77 per seribu penduduk dan 45,06 per seribu penduduk pada pengukuran
posttest.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan pada kelompok perlakuan (intervensi) ada pengaruh yang signifikan
sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi Indoor Residual Spraying (IRS) terhadap penurunan
Monthly Parasite Incidence (MoPI) (nilai p = 0,001). Sedangkan pada kelompok pembanding (tanpa
intervensi) menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara pretest dan posttest terhadap penurunan
Monthly Parasite Incidence (MoPI) (nilai p = 0,8). Penelitian ini sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang
menyatakan bahwa ada hubungan signifikan sebelum dan sesudah IRS dilakukan, yaitu dapat mereduksi
kejadian malaria pada semua desa yang disemprot sebesar 62% (p<0,001) (Hamusse dkk., 2012) dan
penelitian yang dilakukan di Kenya yang menyatakan bahwa intervensi penyemprotan dengan metode IRS
dapat mereduksi kejadian malaria sebesar 64% dengan nilai signifikan p<0,001 (Zhou dkk., 2010).
Hasil perhitungan Monthly Parasite Incidence (MoPI) menunjukkan bahwa dengan adanya
pengendalian vektor Anopheles untuk memutus mata rantai penularan malaria melalui penyemprotan dinding
rumah atau Indoor Residual Sraying (IRS) secara efektif dapat menurunkan Monthly Parasite Incidence
(MoPI). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharp dkk (2007) dan Kigozi dkk
(2012).
Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan
insektisida atau IRS (Indoors Residual Spraying) (Lengeler dkk., 2003; Conteh dkk, 2004; Guessan, 2006).
Menurut WHO (2006) vector control masih merupakan upaya terbaik untuk mencegah penularan malaria
dan merupakan salah satu dari elemen teknik dasar dari Global Malaria Control Strategy dan penyemprotan
insektisida residu dalam rumah (IRS) untuk mencegah penularan malaria merupakan rekomendasi WHO
karena dapat menurunkan penyebaran malaria dengan memutus mata rantai penularan malaria. Indoor
Residual Spraying (IRS) dapat digunakan sebagai awal dalam mengembangkan intervensi untuk
pengendalian malaria dan dalam upaya penurunan angka kesakitan malaria (Kleinschmidt dkk., 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

185

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik, ada pengaruh sebelum (pretest) dan sesudah (posttest)
pelaksanaan intervesi IRS pada kelompok perlakuan terhadap penurunan nilai MoPI, sedangkan pada
kelompok pembanding (tanpa intervensi IRS) menunjukkan tidak ada pengaruh pada pengukuran pretest dan
posttest terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI). Maka dapat disimpulkan bahwa ada efek
pelaksanaan Indoor Residual Spraying (IRS) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI).
Perlunya program rutin pelaksanaan Mass Blood Survey (MBS) untuk penemuan kasus malaria secara aktif
dan upaya pengendalian vektor di daerah-daerah endemis malaria dengan penyemprotan Indoor Residual
Spraying (IRS) enam bulan sekali yang disinergiskan dengan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
malaria lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adam I., Elmardi K.A. & Malik E.M. (2008). Predictors of antimalarial treatment failure in an area of
unstable malaria transmission in eastern Sudan. Elsevier Journal Transactions of the Royal Society
of Tropical Medicine and Hygiene,103: 21-24.
Arsin, A. Arsunan. (2012). Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi.
Makassar:
Masagena Press.
Conteh L., Sharp B.L., Streat E., Barreto A. & Konar S. (2004). The cost and cost-effectiveness of malaria
vector control by residual insecticide house-spraying in southern Mozambique: a rural and urban
analysis. Tropical Medicine and International Health Journal 2004, 9(1):125132.
Dinas Kesehatan Bombana. (2012). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana Tahun 2010. Bombana
Sulawesi Tenggara.
Dinas Kesehatan Purworejo. (2010). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo Tahun 2010. Purwerojo.
Guessan R. (2006). Insecticide treated nets and indoor residual spraying are no longer effective against the
malaria vector mosquito Anopheles gambiae in an area of pyrethroid resistance in Benin, West
Africa. Emerging Infectious Diseases Journal, 434 :1-31.
Hamusse S.D., Balcha T.T. & Belachew T. (2012). The Impact Of Indoor Residual
Spraying
On Malaria Incidence In East Shoa Zone, Ethiopia. Glob Health
Action
Journal
2012, 5(11619):1-8.
Kementerian Kesehatan R.I. (2012). Riskesdas Data Malaria Tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan
R.I.
Kigozi R., Baxi S.M., Gasasira A., Sserwanga A., Kakeeto S. & Nasr S., dkk. (2012). Indoor Residual
Spraying Of Insecticide and Malaria Morbidity In
A High Transmission Intensity Area Of
Uganda. Plos One Journal, 7(8): 1-7.
Kleinschmidt I., Torrez M., Schwabe C., Vente L.B., Seocharan I. & Jituboh D., dkk.
(2007).
Factor
Influencing The Effectiveness Of Malaria Control In
Bioko Island, Equatorial Guinea.
The American Society Of Tropical Medicine And Hygiene Journal, 76(6):10271032.
Lengeler C. & Sharp B. (2003). Indoor Residual Spraying and Insecticide-Treated
Nets.
Swiss
Tropical Institute, Medical Research Council South Africa,
Global Health Council :16-24.
Mabaso M.L., Sharp B. & Lengeler C. (2004). Historical Review of Malarial
Control in Southern African
with Emphasis on the Use of Indoor Residual
House-Spraying. Tropical Medicine and
International Health Journal,
9(8) : 846856.
Okeke T. & Okeibunor J. (2010). Ruralurban differences in health-seeking for the
treatment
of childhood malaria in South-East Nigeria. Elsevier Journal
Health Policy, 95 (2010):
6268.
Omar I.A., Eligail A.M., Ashban R.M. & Shah A.H (2009). Effect Of Falciparum
Malaria
Infection On Blood Cholesterol And Platelets. Journal Of Saudi
Chemical Society ,
14:83-89.
Pavli A. & Maltezou H.C. (2010). Malaria and travellers visiting friends and relatives. Elsevier Journal
Travel Medicine and Infectious Disease, 20:1-8.
Protopopoff N., Herp M.V., Maes P., Reid T., Baza D. & DAlessandro U., dkk. (2007). Vector Control in a
Malaria Epidemic Occurring within a Complex
Emergency Situation in Burundi: a case
study. Malaria Journal 2007,
Biomed Central, 6(93):1-9.
Sharp B.L., Ridl F.C., Govender D., Kuklinski J. & Kleinschmidt I. (2007).
Malaria Vector Control By
Indoor Residual Insecticide Spraying On The
Tropical Island Of Bioko, Equatorial Guinea.
Malaria Journal Biomed Central 2007, 6(52):1-6.
Sibanda M.M., Focke W.W., Labuschagne F.J., Moyo L., Nhlapo N.S. & Maity A.,
dkk
(2011).
Degradation Of Insecticides Used For Indoor Spraying In
Malaria Control And Possible
Solutions. Malaria Journal Biomed Central, 10(307):1-12.
Smith. R.J. & Musekwa S.D. (2008). Determining Effective Spraying Periods to
Control
Malaria
via Indoor Residual Spraying in Sub-Saharan Africa.
Journal of Applied Mathematics and
Decision Sciences, Volume 2008:1-19.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

186

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Syafruddin D., Krisin., Asih. P., Sekartuti., Dewi R.M. & Coutrier F., dkk. (2009).
Seasonal
prevalence of malaria in West Sumba district,
Indonesia. Malaria
Journal
2009, Biomed Central, 8(8):1-8.
World Health Organization (WHO). (2006). Indoor Residual Spraying: Use of Indoor Residual Spraying
for Scaling Up Global Malaria Control and Elimination. WHO/HTM/MAL/ 2006.1112:110.
World Health Organization (WHO). (2011). Malaria Fact sheet N94. WHO Media
Centre
Journal, WHO/HTM/GMP/2011.4.,pp. 1146.
Zhou G., Githeko A.K., Minakawa N. & Yan G. (2010). Community-Wide Benefits Of Targeted Indoor
Residual Spray For Malaria Control In The Western Kenya Highland. Malaria Journal, Biomed
Central , 9(67):1-9.

FAKTOR RISIKO KEJADIAN ARTHRITIS GOUT DI KOTA


MASOHI KABUPATEN MALUKU TENGAH
Bellytra Talarima
ABSTRACT
Teh Arthritis Gout incidence rate in Masohi town of Central Maluku regency is 54 people based on
the data from the general hospital in Masohi. The aim of study was to find out the risk factor in the
incidence of arthritis gout in Masohi town of Central Maluku regency. The study was analytic observation
using a control case study. The number of respondents was 196 people consisted of 98 cases and 98 control.
The data were analyzed by using odds ratio (OR) and multiple logistic regression. The results of the study
indicate that the risk factors in the incidence of arthritis gout are hypertension (OR = 2.20 CI 95%; 1.243.90), central obesity (OR = 3.04 CI 95%; 1.66-5.55), alcoholic comsumption (OR = 2.28 CI 95%; 1.294.05), purine food consumption (OR = 5.14 CI 95% 2.80-9.44), gout history in family (OR = 3.10 CI 95%;
1.73-5.55), and soft drink consumption (OR = 1.33 CI 95%; 0.72-2.45). The multivariate analysis indicates
that the most dominant factor affecting the incidence of arthritis gout is purine food consumption (p =
0.000). Since the consumption of purine food is the most dominant factor affecting the incidence of arthritis
gout, diet pattern is necessary for the patients.
Key woeds : arthritis gout. Central obesity, purine content food, history of arthritis gout.
PENDAHULUAN
Arthritis gout merupakan jenis penyakit reumatik berhubungan dengan gangguan kinetik asam urat
yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah diatas
normal, secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat diserum yang melewati
ambang batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu 2 standar deviasi hasil laboratorium pada
populasi normal namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7 mg/dl pada pria dan
>6 mg/dl pada perempuan. Hiperurisemia dapat terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

187

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

(overproduction), penurunan ekskresi asam urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya (Hidayat,
2009).
Prevalensi gout dan hiperurisemia di masyarakat dan berbagai kepustakaan baratsangat bervariasi
diperkirakan 2.3%-17.6%, sedangkan kejadian gout 0.16-1.36%. Di USA pada tahun 1999, adalah 41 per
1.000, laju prevalensi tahunan dari gout dan hiperurisemia meningkat terutama pada manula, di Inggris
prevalensi gout adalah 1,4% atau 14 per 1000 pada tahun 1999. Ratio laki-laki dibandingkan perempuan
adalah 36:1. (Wallace, 2004), di Cina pada tahun 2006, Nan dkk, mendapatkan prevalensi hiperusiemia
sebesar 25,3% dan gout sebesar 0,36% pada orang dewasa usia 20-74 tahun.
Besarnya angka kejadian arthritis gout pada masyarakat di Indonesia belum ada data yang pasti,
mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku sangat mungkin memiliki angka kejadian yang lebih
berfariasi. Pada study hiperurisemia di rumah sakit akan ditemukan angka prevalensi yang lebih tinggi antara
17-28% karena pengaruh penyakit dan obat-obatan yang diminum penderita. Penderita arthritis gout pada
penduduk di jawa tengah adalah sebesar 24,3% pada laki-laki dan 11,7% pada perempuan, penelitian
lapangan yang dilakukan terhadap penduduk Denpasar, Bali mendapat prevalensi arthritis gout sebesar
18,2% (Hensen dkk, 2007).
Kabupaten Maluku tengah pada tahun 2009 ditemukan penderita gout mencapai 132 orang.
Sedangkan untuk kota Masohi jumlah penderita gout adalah 54 orang berdasarkan data Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Masohi, bertolak dari uraian tersebut maka sangat penting artinya untuk mengetahui faktor
risiko kejadian arthritis gout dimasyarakat secara khusus di Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah.
Sehingga dengan adanya informasi tentang faktor risiko arthritis gout, upaya-upaya pengendalian penyakit
dapat dilaksanakan secara tepat dan cepat.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Desai penelitian ini adalah studi case control. Penelitian ini dilakukan di kota Masohi Kabupaten
Maluku Tengah yang terdiri dari 5 kelurahan (Kelurahan Namasina, Namaelo, Ampera, Lesane
dan,Letwaru).
Populasi dan Sampel
pencuplikan sampel dilakukan dengan cara non-probabilistik yaitu pencuplikan proporsif, dengan
kriteria sampel : penderita beusia >30 tahun, terdiagnose menderita arthritis gout (pada buku status
penderita), memiliki data pemeriksaan laboratorium lengkap (pemeriksaan urine acid), dan berdomesili di
kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah, dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Pada
penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 196 dengan perbandingan 1:1 yang memenuhi kriteria inklusi,
dengan Matching umur.
Analisis Data
Data dianalisis secara univariat, bivariat, stratifikasi, dan analisis multivariate dengan uji logistic
regresi berganda, =0.05 dan 95 % Confidence Intrval.
HASIL PENELITIAN
Analisis Univariat
Berdasarkan hasil uji univariat didapatkan penderita arthritis gout rata-rata umur diatas 40 tahun
dengan jumlah terbanyak pada kelompok umur 50-59 tahun, hal ini dimungkinkan karena terjadinya proses
penyimpangan metabolisme yang umumnya berkaitan dengan faktor usia, dimana usia diatas 40 tahun atau
manula beresiko besar terkena asam urat, penelitian membuktikan bahwa usia memberikan pengaruh yang
besar terhadap kejadian penyakit arthriti gout dimana mereka yang berusia antara 40 dan 50 tahun rentang
terkena gout.

Kelompok Umur Responden


80
60
40
20
0

laki-laki

perempuan

Grafik 1 Distribusi Menurut Kelompok Umur


Dari 98 penderita arthritis gout, yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 59 orang (60.2%), dan
perempuan sebanyak 39 orang (39.8%), hal ini dimungkingkan karena beberapa hasil penelitian

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

188

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

membuktikan bahwa rasio antara laki-laki dan perempuan yang menderita arthritis lebih banyak pada pria,
disebabkan pria tidak memiliki hormon estrogen yang dapat membantu pengeluaran asam urat lewat urine.

Jenis Kelamin Responden


80
60
40
20
0

Kasus

Kontrol

Grafik 2 Distribusi Arthritis Gout Menurut Jenis Kelamin


Analisis Bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan sebagai penilaian awal untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen secara sendiri - sendiri bila nilai hubungan antara masing masing variabel
berada pada tingkat kemaknaan p < 0,05 ini menunjukan perlunya variabel tersebut dipertimbangkan untuk
diikutsertakan pada analisis multivariat.
Tabel 1 Analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen
Variabel Bebas

OR

Hipertensi
Obesitas sentral
Minum softdrink
Minum alkohol
Konsumsi zat purin
Riwayat gout
Data Primer

2.02
3.04
1.33
2.28
5.14
3.10

CI 95%
LL
UL
1.24
3.90
1.66
5.55
0.72
2.45
1.29
4.05
2.80
9.44
1.73
5.55

p
0.01
0.00
0.43
0.00
0.00
0.00

Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa yang merupakan faktor risiko kejadian arthritis gout
masing-masing adalah hipertensi (OR=2.02; CI 95% 1.24-3.90; p<0.01), Obesitas Sentral (OR=3.04; CI
95% 1.66-5.55; p<0.00). Minum alkohol (OR= 2.28; CI 95% 1.29-4.05; p<0.00), Konsumsi zat purin
(OR=5.14; CI 95% 2.80-9.44; p<0.00), riwayat gout (OR=3.10; CI 95% 1.73-5.55; p<0.00), sedangkan
minum softdrink nilai p = 0.43 berarti tidak bermakna. Interpertasi nilai Odds Ratio (OR) = 1.33, maka
minum softdrink merupakan faktor risiko kejadian, dengan tingkat kepercayaan (Cl) 95% yaitu 0.72 2.45.
Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka variabel minum softdrink dianggap mempunyai
pengaruh yang lemah terhadap kejadian arthritis gout.
Analisis Stratifikasi
Analisis stratifikasi dilakukan untuk melihat pengaruh obesitas sentral dan riwayat keluarga dengan
kejadian arthritis gout distratifikasi menurut hipertensi.
Tabel 2 Hasil analisis startifikasi terhadap besar risiko kejadian arthritis gout distratifikasi menurut
hipertensi.
Variabel Bebas

OR
1
3.14
2.44

2
3.00
3.25

cOR

OR
M-H
3.08
2.79

Obesitas Sentral
3.04
0.00
Riwayat gout
3.10
0.00
Data Primer
OR : Odds Ratio, cOR : crude Odds Ratio, OR M-H : Odds Ratio Mantel-Haenzsel, p : Signifikansi.
Berdasarkan uji startifikasi didapatkan nilai p value yang di uji dengan Chi Square Mantel-Haenzsel
< 0.05, OR crude = OR M-H (OR crude = 3.041 sama dengan OR M-H = 3.080), dengan demikian dapat
dijelaskan bahwa variabel hipertensi bukan merupakan perancu yang meningkatkan hubungan obesitas
sentral dengan kejadian arthritis gout. sedangkan riwayat gout diperoleh nilai p value yang di uji dengan
Chi Square Mantel-Haenzsel < 0.05, OR crude = OR M-H (OR crude = 3.103 tidak sama dengan OR M-H =
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

189

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

2.789), dengan selisi perbedaan 10%, dengan demikian dapat dijelaskan bahwa variabel hipertensi
merupakan perancu yang dapat meningkatkan hubungan riwayat gout dengan kejadian arthritis gout.
Analisis Multivariat
Analisis multivariat yang dilakukan bertujuan untuk melihat dan mengetahui variabel mana yang
paling berpengaruh diantara variabel-variabel independen dengan kejadian arthritis gout. Pada analisis
multivariat dengan logistik regresi, dari 5 variabel yang mempunyai nilai p < 0.25, diperoleh 3 variabel
yang signifikan hasil keseluruhan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis regresi logistik berganda
Variabel
Bebas

Hipertensi
0.551
Obesitas
1.001
sentral
Minum alkohol
0.605
Konsumsi zat purin
1.438
Riwayat gout
1.047
Konstanta
-6.794
Data Primer
OR : Odds Ratio, LL : Lower Limit, UP : Upper Limit, p : Signifikansi.

OR

0.107
0.005

1.734
2.272

0.079
0.000
0.002
0.000

1.832
4.214
2.850
0.001

OR
LL
0.88
1.35

UL
3.38
5.48

0.93
2.15
1.45

3.60
8.24
5.60

PEMBAHASAN
Hubungan Hipertensi dengan dengan Kejadian Arthritis Gout.
Penilaian hiperetensi dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, dengan menggunakan alat tensi kemudian dibagi menjadi 2
kategori yaitu hipertensi (risiko tinggi) dan tidak hiperetensi (risiko rendah). Hipertensi pada penelitian ini
secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout.
Hipertensi dapat disebabkan oleh asupan natrium yang berlebihan, terutama dalam bentuk natrium
klorida, pengaruh hiperentsi terhadap kejadian arthritis gout dapat terjadi akibat penurunan aliran darah renal
yang disebabkan oleh hipertensi akibatnya aliran darah ke glomerulus menjadi berkurang. Akibat lebih lanjut
terjadi peningkatan reabsorbsi asam urat di tubuli, sehingga tubuh mengalami hiperirusemia (peningkatan
asam urat dalam darah melebihi batas normal) (Budianti, 2008), Selain itu hipertensi menjadi salah satu
faktor risiko gout karena diduga obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh pasien dapat mempengaruhi
metabolisme lemak, akibatnya terjadi gangguan pada ekskresi asam urat yang menyebabkan berkurangnya
pengeluaran asam urat melalui urin (Hidayat 2009). Gout adalah salah satu penyakit yang dapat menyertai
dan timbul bersamaan dengan penyakit hipertensi. Adanya endapan kristal urat pada ginjal yang membentuk
batu ginjal dapat menurunkan fungsi ginjal dan memperberat kelainan yang disebabkan oleh hipertensi,
Sebanyak 50% kasus hipertensi yang tidak diobati akan mengalami hiperurisemia (Kertia 2009).
Hubungan antara hipertensi dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa studi epidemiologis,
dianataranya studi yang dilakukan oleh Cohen R.Scott, et.al, 2008, memberi bukti bahwa hiperetensi
menjadi faktor risko terhadap kejadian arthritis gout dengan (OR = 2,080 CI95% 1.040-0.130, p=0,001), dan
penelitian yang dilakukan oleh Maupe, 2009 menunjukan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko terhadap
kejadian arthritis gout dengan nilai (OR = 2.30 CI 95% 1.13-469 p=0.020).
Hubungan Obesitas Sentral dengan dengan Kejadian Arthritis Gout.
Penilaian obesitas sentral dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan ukuran
lingkar perut, Bila ukuran lingkar perut pada wanita 80 cm dan laki-laki 90 cm, dengan menggunakan
pita meter, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu Obesitas sentral (risiko tinggi) dan bukan obesitas
sentral (risiko rendah). Obesitas sentral pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko
terhadap kejadian arthritis gout
Pada obesitas terutama obesitas sentral terjadi peningkatan koenzim A untuk asam lemak rantai
panjang. Koenzim ini berkaitan erat dengan sindrom resistensi insulin. Adanya resistensi insulin akan
menyebabkan tingginya koenzim A sehingga mengakibatkan terhambatnya kerja adenosin nukleotida
translokator (ANT) akibatnya adenosin ekstrasel akan meningkat. Peningkatan adenosin ekstrasel ini akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat serum melalui terbentuknya asam urat dari adenosin
tersebut (Wisesa dkk 2006).
Hubungan antara obesitas sentral dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa studi
epidemiologis, diantaranya studi yang dilakukan oleh Ching 2003, menemukan bahwa obesitas sentral
menjadi faktor risiko arthritis gout pada laki-laki di Taiwan dan penelitian yang dilakuakn oleh Wisesa, dkk

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

190

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

2009, menemukan bahwa obesitas sentral berhubungan dengan kejadian hiperurisemia dengan nilai (OR =
5.44 ; CI 95% 1.584-18,714, p=0.007), pada penduduk suku Bali asli.
Hubungan Minum Softdrink dengan dengan Kejadian Arthritis Gout.
Penilaian kebiasan minum softdrink dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan
rata rata skor sampel, Bila skor yang diperoleh dari hasil observasi rata-rata skor sampel dan bila skor
yang diperoleh dari hasil observasi < rata-rata skor sampel, dengan menggunakan tabel food frekuensi,
kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah.
Uji statistik diperoleh nilai p = 0.43 berarti tidak bermakna. Interpertasi nilai nilai Odds Ratio (OR) =
1.33, maka minum softdrink merupakan faktor risiko kejadaian arthritis gout, dengan tingkat kepercayaan
(Cl) 95% yaitu 0.72 2.45. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka kebiasaan minum
softdrink secara statistik memberikan pengaruh yang lemah terhadap kejadian arthritis gout.
Penelitian yang dilakukan oleh Choi,et.al 2007, menganalisis hubungan antara asupan gula yang
bersumber dari minuman berkarbonasi dan makanan kaya fruktosa, menemukan bahwa terjadi peningkatan
risiko gout berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi minuman berkarbonasi, dibandingkan dengan
pria yang mengkonsumsi kurang dari satu porsi minuman berkarbonasi dalam sebulan, mereka yang
mengkonsumsi antara 5-6 porsi minuman berkarbonasi dalam seminggu memiliki tingkat risiko 29% lebih
tinggi terserang gout, mereka yang mengkonsumsi dua porsi atau lebih minuman berkarbonasi dalam sehari,
secara signifikan memiliki tingkat risiko 85% lebih tinggi untuk terserang gout.
Hubungan antara kebiasaan minum softdrink dengan Arthritis Gout ini berbeda dari beberapa studi
epidemiologis, diantaranya studi yang dilakukan oleh Gao,et.al, 2007, menemukan bahwa Mereka yang
berada pada kuartil ke-4 dengan tingkat konsumsi gula manis yang tinggi memiliki kadar asam urat darah
yang tinggi p=0.001
Hubungan Minum Alkohol dengan dengan Kejadian Arthritis Gout.
Penilaian kebiasan minum alkohol dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan
rata rata skor sampel, Bila skor yang diperoleh dari hasil observasi rata-rata skor sampel dan bila skor
yang diperoleh dari hasil observasi < rata-rata skor sampel, dengan menggunakan tabel food frekuensi,
kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah.
Minum alkohol pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian
arthritis gout
Konsumsi alkohol sangat terkait dengan kejadian gout. Isi etanol dan purin dalam minuman
beralkohol dapat menjelaskan hubungan dengan hyperurisemia dan asam urat. Sebagai contoh, bir
dilaporkan memiliki kandungan guanosin tinggi dari ragi dan fermentasi barley. Suatu mekanisme yang
mungkin untuk asosiasi asupan alkohol dengan gout meliputi kelebihan produksi asam laktat dan asam
lemak, yang mempengaruhi nilai pH cairan tubuh dan mengubah ekskresi ginjal terhadap asam urat. Selain
itu, overproduksi nukleotida terjadi setelah injeksi etanol, dan satu penelitian di Jepang menunjukkan bahwa
efek ini terjadi melalui satu gangguna metoabolisme ATP (Ching et.al. 2003).
Hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi alkohol dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa
studi epidemiologis dianataranya studi yang dilakukan oleh Sharpe, 2000 et.al, menujukan bahawa pada
mereka yang peminum berat memiliki risiko menderita arthritis gout dengan nilai RR = 6, dan studi yang
dilakukan oleh Menurut Zhang et.al 2006, menunjukan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat memicu
terjadinya gout berulang kurang dari 24 jam.
1. Hubungan Konsumsi Makan Yang mengandung Zat Purin dengan Kejadian Arthritis Gout.
Penilaian kebiasan makan makanan yang mengandung zat purin dalam penelitian ini dilakukan
melalui pengukuran berdasarkan rata rata skor sampel, Bila skor yang diperoleh dari hasil observasi ratarata skor sampel dan bila skor yang diperoleh dari hasil observasi < rata-rata skor sampel, dengan
menggunakan tabel food frekuensi, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah.
Konsumsi zat purin pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap
kejadian arthritis gout
Purin adalah molekul di dalam sel yang berbentuk nukleotida. Pada bahan pangan, purin terdapat
dalam asam nukleat berupa nukleoprotein. Enzim pencernaan membebaskan asam nukleat ini dari
nukleoprotein. Selanjutnya, asam nukleat tersebut dipecah lagi menjadi mononukleotida. Mononukleotida
dihidrolisis menjadi nukleosida yang secara langsung dapat diserap oleh tubuh dan sebagian dipecah lebih
lanjut menjadi purin dan pirimidin. Purin lalu teroksidasi menjadi asam urat (Uripi dalam Budianti, 2008)
Hubungan antara kebiasaan makan makanan yang mengadung zat purin dengan Arthritis Gout ini
didukung oleh beberapa studi epidemiologis diantaranya studi yang dilakukan oleh Choi,et.al, 2005

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

191

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Konsumsi makanan kaya zat purin yang terkandung dalam binatang laut memberikan pengaruh yang sangat
besar bagi peningkatan asam urat dalam darah.
Hubungan Riwayat Gout dengan Kejadian Arthritis Gout.
Penilaian riwayat gout dalam kelurga pada penelitian ini dilakukan berdasarkan pengakuan responden
tentang ada tidaknya anggota keluarga yaitu kakek, nenek, ayahdan ibu, yang menderita arthritis gout,
kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah.
Riwayat gout pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian
arthritis gout. Pada kasus gout primer,selain ketiadaan enzim hypoxanthine guanine phosporibosyl
transperase (HGPRT) yang menyebabkan bertambahnya sintesa purin, ada juga pengaruh faktor genetik
yang dapat menyebabkan gangguan pada penyimpanan glikogen atau defisiensi enzim pencernaan. Hal ini
yang menyebabkan tubuh lebih banyak menghasilkan senyawa laktat atau trigliserida yang berkompetisi
dengan asam urat untuk dibuang oleh ginjal (Yang Qiong,et.al,2008.), selain itu Kurangnya pengeluaran
asam urat disebabkan oleh beberapa faktor diantarannya: Familial juvenile gouty nephropathy atau suatu
penyakit keturunan yang jarang dijumpai oleh infusiensi ginjal yang progresif. Penderita ini sangat sedikit
mengeluarkan asam urat dari ginjal (biasanya hanya 4%), Insufisiensi ginjal atau gagal ginjal (Smart,2010).
McArdle, et.al 2009, Penaruh gen GLUT9 terhadap terjadinya asam urat Gen GLUP9 memberikan
kontribusi secara signifikan bagi terjadinya asam urat (95% interval keyakinan: 0,31-0,63,p=0,004).
KESIMPULAN dan SARAN
Hipertensi, obesitas sentral, minum alkohol, konsumsi makan yang mengandung zat purin, riwayat
kelurga dan minum softdrink merupakan faktor risiko kejadian arthritis gout, namun minum softdrink secara
statistik memberikan pengaruh yang lemah terhadap kejadian arthritis gout, dan variabel konsumsi makan
yang mengandung zat purin yang paling berpengaruh terhadap kejadian arthritis gout. Perlu adanya
sosialisasi tentang pencegahan arthritis gout pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Budianti Alfinda. 2008. Status Gizi dan Riwayat Kesehatan Sebagai Determinan Hiperurisemia. Program
Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Ching Lyu, Li. Et.al. 2003. A Case-Control Study of the Assocation of Diet and Obesity with Gout in Taiwan.
American Journal Clinical Nutrition. Vol 78:690-701.
Choi, HK, et.al, 2005. Intake of Purine-Rich Foods, Protein, and Dairy roducts and Relationship to Serum
Levels of Uric Acid, American College of Rheumatology Journal. Vol.52. No. 283289
Choi, HK, et.al. 2007. Soft drinks, fructose consumption, and the risk of gout in men. Vol 39449-819271
Cohen.D. Scott, 2008. Association of Incident Gout and Mortality in DialysisPatients, Journal of the
American Society of Nephrology, Vol.10, 1046-6673.
Gao Xiang, et.al. 2007, Intake of Added Sugar and Sugar-Sweetened Drink and Serum Uric Acid
Concentration in US Men and Women, Journal of the American Heart Assocatio. Vol. 50. No: 306312.
Hense, dkk, 2007. Hubungan Konsumsi Purin Dengan Hiperurisemia Pada Suku Bali Di Daerah
Pariwisata Pedesaan. Bagian/SMF ilmu penyakit dalam FK Unud/RS Sanglah.
Hidayat Rudy, 2009. Gout dan Hiperurisemia. devisi reumathology departemen ilmu penyakit dalam
fakultas kedokteran universitas Indonesia RSUPNCM, Jakarta. Vol.22, no.1
Kertia Nyoman, 2009. Asam Urat. Penerbit B First, Yogyakarta
Maupe, 2009. Risk Factor In The Incidence of Arthritis Gout In Outpa Tients At The DR. Wahidin
Sudirohusodo General Hospital In Makassar In 2007-2008.
McArdle, F. Patrick. A common non-synonymous variant in GLUT9 is a determinant of serum uric acid
levels in Old Order Amish. Journal arthritis rheumatic. Vol 58: 2874-2881.
Sharpe, R. Cholin, 2000, A case-control study of alcohol consumption and drinking behavior in patients with
acute gout, Can Med Assoc Journal, VOL. 131.
Wallace, KL. et.al. 2004, Increasing Prevalence of Gout and Hyperuricemia Over 10 Years Among Older
Adults in A Managed Care Populatian. Journal of Rheumatology. Vol 31:1582-1587.
Wisesa I. B. Ngrurah. dkk, 2009. Hubungan Antara Kosentrasi Asam Urat Serum Dengan Resistensi Insulin
Pada Penduduk Suku Bali Asli di Dusun Tenganan Pegringsingan Karangasem. Jurnal Penyakit
Dalam. Vol 10: No.2
Yang Qiong,et.al,2008. Association of three genetic loci with urin acid concentration and rick of gout: a
genome-wide association study. ProQuest Biology Journal. Vol. 372.No. 1953-1961
Zhang, Yuqing. 2006. Alcohol Consumption as a Trigger of Recurrent Gout Attacks. The American Journal
of Medicine. Vol 119, No.9

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

192

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

FAKTOR PEMANFAATAN PELAYANAN VCT HIV PADA IBU HAMIL PESERTA ANC DI
BEBERAPA PUSKESMAS KOTA MAKASSAR
Dina Mariana1, Ridwan Amiruddin1, Darmawansyah2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Transmission of Human Immunodeficiency Virus (HIV) from mother to baby at this time increased
with increasing HIV-infected women. This study aims to analyze the factors associated with the utilization of
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

193

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

VCT services in pregnant women in ANC attendees Several Makassar Health Center 2013. The research was
conducted in three health centers in the city of Makassar in Jumpandang Baru health center, Kassi-Kassi
health center, and Jongaya health center. The study design was a cross sectional study. Sample of 230
respondents, where pdata conducted by interview using a questionnaire. Bivariate statistical tests using Chi
square test (2) at a significance level of p <0.05 and confidence interval (CI) 95%, stratification using
Hanszel Mantel test and multivariate analysis using logistic regression. The results showed that factors
related to HIV VCT service utilization among pregnant women is a standard implementation of the ANC (p
= 0.004, RP1, 54, 95% CI: 0.072 to 0.387), knowledge about HIV, HIV VCT and PMTCT (p = 0.018, RP1,
282, 95% CI: 1.044 to 1.576), and the support of her husband and family (p = 0.002, RP 1.391, 95% CI:
1.137 to 1.701). The factors that are not related to the attitude towards HIV VCT service utilization (p =
0.859, RP 0.981, 95% CI: 0.795 to 1.210), and access to health care (p = 0.752, RP 0.820, 95% CI: 0.204 to
3.292). ANC service standards and support of her husband and family is the most influential variable on
HIV VCT service utilization in pregnant women. Suggested increasing knowledge and awareness about the
importance of service standards officers ANC, as well as increased knowledge about HIV / AIDS, VCT and
PMTCT in pregnant women.
Keywords: utilization factor, HIV VCT, ANC
PENDAHULUAN
Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari ibu ke bayi saat ini semakin meningkat seiring
meningkatnya perempuan yang terinfeksi HIV. Penularan secara vertikal dari ibu ke anak diestimasikan
sebesar 91% kasus di sub Sahara Afrika. Sebagian besar infeksi baru berasal dari penularan di dalam rahim,
saat melahirkan, post partum sebagai hasil menyusui (UNAIDS dalam Belachew, et.al., 2012). Penularan
HIV secara vertikal dari ibu ke bayi tercatat lebih dari 90% dari kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) pada anak di Ethiopia, hal ini disebabkan karena penyerapan program Prevention of Mother to Child
Transmission (PMCT) masih rendah di negara ini. Pada tahun 2007, sekitar 75.420 ibu hamil positif HIV
dan diperkirakan 14.146 kelahiran positif HIV (Moges dan Amberbir, 2011).
Meningkatnya proporsi kasus AIDS pada perempuan ini menunjukkan epidemi AIDS di Indonesia
makin meningkat dan dipastikan akan meningkatkan jumlah bayi terinfeksi HIV di masyarakat. Di Sulawesi
Selatan khususnya Kota Makassar, jumlah ibu hamil yang terinveksi HIV tahun 2011 sebesar 15,5% kasus
dan pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 9,5% kasus ibu hamil yang terinfeksi HIV dari yang
mengikuti Voluntary Counselling and Testing (VCT) (Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013).
VCT HIV dapat menjadi bagian integral dalam perawatan antenatal dari program pencegahan HIV dan
perawatan di banyak negara salah satunya di sub Sahara Afrika. Studi yang dilakukan di antara 270 wanita
hamil di Navrongo distrik utara Ghana bahwa penggunaan obat Antiretroviral (ARV) secara efektif dapat
mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Obat yang ditemukan dapat digunakan bila serostatus ibu hamil
telah diketahui (Baiden, et.al, 2005). VCT selama antenatal merupakan pintu masuk pada pelayanan
pencegahan melalui ibu ke anaknya. Negara-negara yang telah memasukkan program PMTCT secara
komphrehensif terbukti secara nyata dapat menurunkan angka HIV pada bayi dan anak kecil. Di Indonesia,
data tentang keikutsertaan ibu hamil untuk VCT ditempat pelayanan ANC belum ada yang akurat.
Program VCT telah dilaksanakan oleh beberapa instansi kesehatan masyarakat khususnya untuk
penjangkauan dan memperluas akses layanan PMTCT di Kota Makassar. Selain itu, pelaksanaan standar
ANC telah diintegrasikan dengan layanan VCT HIV pada klinik KIA di 6 Rumah Sakit (RS) dan 3
Puskesmas (PKM) di Kota Makassar sejak tahun 2006. Walaupun jumlah kumulatif ibu hamil yang
mengikuti VCT di Kota Makassar mengalami peningkatan dari tahun 2011 (1.819 orang) sampai tahun 2012
(2.931 orang), namun beberapa puskesmas dan rumah sakit yang menyediakan layanan VCT menunjukan
data pemanfaatan VCT HIV pada ibu hamil masih rendah. Data pemanfaatan VCT HIV pada ibu hamil yang
tertinggi di sarana pelayanan kesehatan yang menyediakan layanan VCT pada tahun 2012 adalah RS
Wahidin Sudirohusodo (33,3%), PKM Jumpandang Baru (31%), RS Pelamonia (17,3%), RS Dadi (8%), RS
Daya (6,5%). Data pemanfaatan VCT HIV ibu hamil yang terendah di RS Bayangakara (0%), PKM Kassikassi (0,1%), PKM Makkasau (0,3%), RS Labuang Baji (0,6%), dan PKM Jongaya (3%).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ibu hamil memanfaatkan layanan VCT berdasarkan teori
yang ada yaitu faktor demografi, struktur sosial, akses terhadap layanan kesehatan, status kesehatan
berdasarkan persepsi individu (Syafitri, 2012). Hasil studi di Kabupaten Merauke menunjukan bahwa ibu
hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar berpeluang 3,4 kali untuk mengikuti VCT HIV
(Kartiningsih, 2008). Ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS memiliki
peluang 2 kali lebih mungkin untuk memanfaatkan VCT (Moges dan Amberbir, 2011). Sikap yang lebih
positif pada ibu hamil akan memudahkan penyerapan layanan VCT HIV di Cina. Dukungan positif dari
suami lebih cenderung untuk menerima tes HIV pada ibu hamil (Semrau, et.al., 2005). VCT HIV sangat
rendah pada ibu hamil yang sulit mengakses pelayanan ANC yang tersedia layanan PMTCT (Karamagi,
et.al., 2005).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

194

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Masih rendahnya pemanfaatan layananan VCT HIV maka diperlukan penelitian lebih jauh mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan VCT pada ibu hamil peserta ANC di
beberapa puskesmas Kota Makassar terutama faktor pelaksanaan standar pelayanan ANC, pengetahuan
tentang HIV/AIDS, VCT, dan PMTCT, sikap, dukungan suami dan keluarga, serta akses pelayanan
kesehatan.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Jumpandang Baru, Puskesmas Kassi-Kassi, dan Puskesmas
Jongaya Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi
observasional dengan desain studi potong lintang (cross sectional study), yang merupakan suatu pengamatan
epidemiologis untuk menentukan besar hubungan antara paparan (variabel bebas) dengan efek (variabel
terikat) dengan melakukan ukuran sesaat atau mengumpulkan data paparan dan efek secara bersamaan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh sasaran ibu hamil yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Jumpandang Baru, Puskesmas Kassi-Kassi, dan Puskesmas Jongaya selama tahun 2012 yaitu sebesar 3.609
ibu hamil. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil yang mendapatkan pelayanan ANC di 3
puskesmas tersebut dan ditentukan berdasarkan kriteria inklusi ibu hamil mempunyai buku KIA/ KMS,
berasal dari wilayah penelitian, ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC > 2 kali, tidak berstatus
HIV/AIDS positif, dan setuju mengikuti penelitian ini (informed consent).
Pengumpulan Data
Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner yang dilakukan oleh peneliti dibantu oleh
beberapa enumerator. Pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada
informan dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan program STATA. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara dua variabel digunakan uji chi square. analisis stratifikasi digunakan untuk
mengetahui adanya confounding. Analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling dominan
berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan VCT digunakan uji regresi berganda logistik.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden yang menjadi sampel pada penelitian ini. Distribusi
kejadian TB paru berdasarkan kelompok umur responden cukup variatif dimana yang tertinggi adalah
responden berumur antara 21 25 tahun sebanyak 79 responden (34%) yang merupakan kelompok usia
produktif secara reproduksi, dan terendah ditemukan pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 2 responden
(0,9%) yang merupakan kelompok umur yang secara reproduksi sangat berisiko terhadap kesakitan dan
kematian ibu. Tingkat pendidikan responden dapat dikatakan cukup tinggi, dimana sebagian besar responden
memiliki tingkat pendidikan tamat SMA yaitu sebanyak 112 responden (48,7%). Walaupun demikian kondisi
tingkat pendidikan rendahpun masih ada, tidak sekolah sebanyak 21 responden (9,1%) dan tamat SD
sebanyak 38 responden (25,7%). Sedangkan yang menamatkan jenjang perguruan tinggi hanya sebanyak 13
responden (5,6%). Persentase responden yang bekerja jauh lebih rendah, yakni hanya 28 responden (12%)
dibanding yang tidak bekerja sebanyak 202 responden (88%). Persentase responden yang berkunjung ke
tempat pelayanan kesehatan sebanyak 4 kali atau lebih sebanyak 143 responden (62%), jauh lebih besar
dibanding dengan kunjungan ke pelayanan kesehatan kurang dari 4 kali yaitu sebanyak 87 responden (39%).

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Umum Responden di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun
2013
Karakteristik Umum Responden
Kelompok Umur (Tahun)
16 20
21 25
26 30
31 35
36 40
> 40
Tingkat Pendidikan

34
79
63
37
15
2

14,8
34,3
27,4
16,1
6,5
0,9

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

195

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Pekerjaan
Bekerja
Tidak Bekerja
Kunjungan ANC
<4
4
Data Primer

INDONESI A

21
38
46
112
13

9,1
16,5
20,0
48,7
5,6

28
202

12,2
87,8

87
143

37,8
62,2

Variabel Penelitian
Tabel 2 Distribusi Variabel Penelitian di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013
Variabel Penelitian
Pemanfaatan Pelayanan VCT
Memanfaatkan
Tidak Memanfaatkan
Standar pelayanan ANC
Sesuai Standar
Tidak Sesuai Standar
Pengetahuan tentang HIV/AIDS, VCT HIV, dan PMTCT
Cukup
Kurang
Sikap terhadap Pemanfaatan Layanan VCT HIV
Positif
Negatif
Dukungan Suami dan Keluarga
Positif
Negatif
Akses Pelayanan Kesehatan
1 jam
> 1 jam
Data Primer

90
140

39,1%
60,9

47
183

20,4
79,6

126
104

54,8
45,2

132
98

57,4
43,6

137
93

59,6
40,4

228
2

97,8
2,2

Tabel 2 menunjukkan variabel dalam penelitian ini yang terdiri dari variabel terikat (pemanfaatan
VCT HIV pada ibu hamil) dan variabel bebas (pelaksanaan standar ANC, pengetahuan, sikap, dukungan, dan
akses pelayanan kesehatan). Persentase responden yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT HIV lebih
banyak dibandingan dengan yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV yaitu sebesar 61% sedangkan yang
memanfaatkan pelayanan VCT HIV hanya 39%. Dari seluruh responden yang berkunjung ke puskesmas
untuk mendapatkan pelayanan ANC, ternyata yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar hanya 47
responden (20%) dan sebagian besar responden memperoleh pelayanan ANC tidak sesuai standar yaitu 183
responden (80%). Perbedaan persentase antara ibu hamil dengan pengetahuan HIV/AIDS cukup dan
kurang adalah sebesar 9,6%, lebih banyak yang berpengetahuan cukup sebanyak 126 responden (54,8%)
daripada kurang sebanyak 104 responden (45,2%). Sebagian besar responden memiliki sikap baik (positif)
tentang pemanfaatan pelayanan VCT HIV yaitu sebanyak 132 responden (57,4%) sedangkan responden
yang memiliki keyakinan (negatif) sebanyak 98 responden (42,61%). Responden yang memiliki dukungan
positif dalam memanfaatan Pelayanan VCT HIV lebih banyak dibandingkan dengan responden yang
memiliki dukungan negatif yaitu sebesar 137 responden (59,6%), sedangkan responden yang memiliki
keyakinan (negatif) sebanyak 93 responden (40,4%). Sebanyak 228 responden (99%) bertempat tinggal di
daerah yang mudah diakses (waktu tempuh 1 jam) jauh lebih banyak dibanding responden bertempat
tinggal di daerah yang sulit diakses (waktu tempuh > 1 jam) yaitu 2 responden (1%).
Hasil Analisis
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 90 responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV sebagian
besar responden yaitu 63 responden (34,4%) mendapat pelayanan ANC tidak sesuai standar sedangkan yang
mendapat pelayanan ANC sesuai standar hanya sebanyak 27 responden (57,5%). Hasil analisis statistik
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

196

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

dengan chi-square diperoleh nilai


p = 0,004 (p < 0,05), artinya ada hubungan antara pelaksanaan standar
ANC dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Nilai RP 1,54 atau nilai RP lebih
dari 1 pada CI 95% (0,072 0,387) tidak mencakup nilai 1, sehingga ibu hamil yang mendapat pelayanan
ANC sesuai standar berpeluang 1,54 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil
yang mendapatkan pelayanan ANC tidak sesui standar.
Tabel 3.

Hubungan Beberapa terhadap Pemanfaatan Layanan VCT HIV pada Ibu Hamil Peserta
ANC di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013

Variabel

Pemanfaatan Pelayanan VCT


HIV
Ya
Tidak
n
%
n
%

Pelaksanaan Standar ANC


Sesuai Standar
27
57,5
20
Tidak Sesuai Standar
63
34,4
120
Pengetahuan HIV/AIDS, VCT HIV, dan PMTCT
Cukup
58
46,0
68
Kurang
32
30,8
72
Sikap
Positif
51
38,6
81
Negatif
39
40,0
59
Dukungan Suami dan Keluarga
Positif
65
47,5
72
Negatif
25
26,9
68
Askes Pelayanan Kesehatan
1 Jam (Mudah diakses)
89
39,0
139
> 1 jam (Sulit diakses)
1
50,0
1
Data Primer

RP

CI 95%

0,004

1,540

0,072 0,387

0,018

1,282

1,044 1,576

61,4
60,0

0,859

0,981

0,795 1,210

52,5
73,1

0,002

1,391

1,137 1,701

61,0
50,0

0,752

0,820

0,204 3,292

42,5
65,6
54,0
69,2

Responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV terdapat 58 responden (46,0%) yang memiliki
pengetahuan cukup sedangkan yang memiliki pengetahuan yang kurang hanya sebanyak 32 responden
(30,8%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,018 (p < 0,05), artinya ada hubungan
antara pengetahuan tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu
hamil peserta ANC. Nilai RP 1,282 atau nilai RP lebih dari 1 pada CI 95% (1,044 1,576) tidak mencakup
1, sehingga ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT
berpeluang 1,282 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang memiliki
pengetahuan yang kurang.
Responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV terdapat 51 responden (38,6%) yang memiliki
sikap positif sedangkan yang sikap negatif hanya sebanyak 39 responden (40,0%). Hasil analisis statistik
dengan chi-square diperoleh p = 0,859 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara sikap dengan
pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC di beberapa puskesmas kota makassar tahun
2013. Nilai RP 0,981 atau nilai RP kurang dari 1 pada CI 95% (0,795 1,210) mencakup nilai 1, sehingga
dianggap sebagai variabel penghambat terhadap pemanfaatan layanan VCT HIV.
Responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV sebagian besar responden yaitu 65 responden
(47,5%) memiliki dukungan positif sedangkan yang memiliki dukungan negatif hanya sebanyak 25
responden (26,9%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05), artinya
ada hubungan antara dukungan suami dan keluarga dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil
peserta ANC. Nilai RP 1,391 atau nilai RP lebih dari 1 pada CI 95% (1,137 1,701) tidak mencakup 1,
sehingga ibu hamil yang mendapat dukungan positif dari suami dan keluarga berpeluang 1,391 kali untuk
memanfaatkan pelayanan VCT HIV.
Responden yang memiliki akses pelayanan kesehatan 1 jam (yankes mudah diakses) terdapat 139
responden (61%) yang tidak memanfaatkan layanan VCT HIV sedangkan responden yang memanfaatkan
layanan VCT HIV hanya sebanyak 89 responden (39%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh
nilai p = 0,752 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan
layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Nilai RP 0,82 atau nilai RP kurang dari 1 pada CI 95%
(0,795 1,210) mencakup nilai 1, sehingga dianggap sebagai variabel penghambat terhadap pemanfaatan
pelayanan VCT HIV.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa probabilitas pemanfaatkan pelayanan VCT HIV pada
ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar, dan mendapat dukungan positif dari suami dan
keluarga adalah 75,4% (P = 0,754 dengan nilai y = 1,122) dengan formula P = 1/(1+exp-y) (Tabel 4).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

197

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Berganda Logistik Risiko Faktor Pemanfaatan Pelayanan VCT HIV
HIV pada Ibu Hamil Peserta ANC di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013
Variabel Penelitian

Coef

Standar Pelayanan ANC


Dukungan Suami dan
Keluarga
Constant
Y = 1,122
P = 0,754
Data Primer

OR

0,8242907

2,42

0,8107265

2,75

95% CI

LL

UL

2,280

1,169771

4,444972

2,249

1,262794

4,007335

0,016
0,006

-0,5124439

Hasil analisis stratifikasi diperoleh nilai OR Crude = 2,571 dan nilai OR MH = 2,253. Selisih
perbedaan tersebut mencapai 12,4%. Terdapat perbedaan antara nilai OR Crude dengan OR MH dengan
selisih perbedaan mencapai 10% 20%, sehingga variabel dukungan suami dan keluarga merupakan
variabel confounding terhadap standar pelayanan ANC dengan pemanfaatan layanan VCT HIV (Tabel 5).
Tabel 5

Hasil Analisis Stratifikasi Berdasarkan Variabel Dukungan Suami dan Keluarga

Variabel
Pemanfaatan
Layanan VCT HIV
Data Primer

ORc

M-H
combined

95% CI

Koef.
Confounding
(>10%)

Homogeneity
test
(p<0,05)

2,571

2,253

1,159 4,376

12,4%

0,503

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menemukan adanya hubungan antara variabel pelaksanaan ANC sesuai standar
dengan pemanfaatan konseling dan tes HIV pada ibu hamil, dimana ibu hamil yang mendapat pelayanan
ANC sesuai standar berpeluang 1,54 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil
yang mendapatkan pelayanan ANC tidak sesuai standar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Ekanem dan Gbadegesin (2004) yang menemukan bahwa ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai
standar termasuk didalamnya mencakup pemberian penyuluhan tentang pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayi dan ditawari konseling dan tes HIV berkeinginan untuk ikut VCT sebesar 96,1%.
Pelaksanaan ANC sesuai standar dapat berimplikasi terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada
ibu hamil, hal ini disebabkan karena beberapa item kegiatan dalam pelaksanaan ANC sesuai standar
termasuk didalamnya mencakup pemberian penyuluhan tentang HIVAIDS, pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi,dan VCT dapat berefek pada penerimaan ibu hamil untuk ikut memanfaatan pelayanan VCT jika
ditawari untuk konseling dan tes HIV.
Hasil analisis multivariat menemukan bahwa pelaksanaan standar ANC merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC di beberapa puskesmas
Kota Makassar tahun 2013 sehingga implementasi pelaksanaan standar ANC dengan konseling dan tes HIV
merupakan peluang penting dalam usaha-usaha mengurangi transmisi dari ibu ke bayi. Ketersediaan
konseling dan tes HIV pada saat ANC memberikan kesempatan kepada ibu hamil untuk menilai risiko
mereka selama kehamilan.
Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan, bidan telah
mengetahui akan adanya standar pelayanan ANC dan mengaku telah menerapan pelayanan ANC sesuai
standar dari pusat, namun pengakuan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan dilapangan karena
berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa ibu hamil yang memanfaatan pelayanan ANC, dari analisis
univariat ditemukan sebagian ibu hamil yang mengaku belum mendapatan penyuluhan HIVAIDS sebesar
66,96%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelayanan ANC yang oleh bidan sepenuhnya belum dilakukan
sesuai standar dalam setiap pelayanannya.
Hasil penelitian ini menemukan variabel pengetahuan tentang HIV, VCT HIV, dan PMTCT memiliki
hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV, dimana ibu hamil yang memiliki
Pengetahuan yang cukup tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT berpeluang 1,282 kali untuk memanfaatkan
pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang kurang. Hasil yang sama
ditujukkan oleh Moges dan Amberbir (2011), yang menunjukkan bahwa ibu hamil yang memiliki
pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS memiliki peluang 2 kali lebih mungkin untuk memanfaatkan
VCT. Hal yang sama juga ditujukan pada penelitian Ekanem dan Gbadegesin (2004), mayoritas responden
dalam penelitiannya 89,9% mempunyai pengetahuan sangat baik tentang HIV dan hampir semua wanita
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

198

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

bersedia untuk VCT pada kehamilan terutama jika itu akan membantu mencegah penularan HIV kepada bayi
mereka.
Pengetahuan yang rendah menyebabkan ibu hamil lebih cenderung tidak memanfaatkan pelayanan
VCT, didukung dengan tingkat pendidikan yang juga rendah semakin membatasi seseorang untuk bisa
menyerap informasi yang bisa didapat jika ibu hamil menyempatkan diri mencari informasi tentang HIV.
Menurut Addo (2005), pengetahuan umum tentang HIV seperti jalur utama transmisi, secara signifikan
(p = 0,002) berhubungan dengan tingkat pendidikan. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan lebih dari
sembilan tahun, mempunyai pengetahuan lebih baik tentang PMTCT dibandingkan ibu tidak berpendidikan
atau memiliki pendidikan dasar.
Hasil penelitian yang lain yang dilakukan di India juga menunjukkan bahwa adanya sikap negatif ibu
hamil untuk VCT mencakup 84% berpikir bahwa ibu merugikan bayi, berpikir 78% dia bukan ibu yang baik
97% ibu hamil tidak menganggap diri mereka memiliki risiko HIV dan hanya 57% telah dites HIV.
Meskipun, 85% perempuan menyatakan kesediaan mereka untuk diuji, namun mereka takut akan stigma
negatif dari lingkungan keluarga mereka jika mereka positif HIV (Rogerst, et.al., 2012). Sikap ibu hamil
untuk pemanfaatan layanan VCT sangat terkait dengan kekhawatiran mereka tentang kerahasiaan dan
pengungkapan status HIV jika hasilnya positif serta takut reaksi negatif dari suami mereka, responden tua,
dan masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi dukungan
dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV, dimana ibu hamil yang mendapat Dukungan positif dari suami
dan keluarga berpeluang 1,391 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang
mendapat dukungan negatif dari suami dan keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Semrau,
et.al. (2005) yang menemukan bahwa ibu hamil yang mendapat mendapat dukungan positif dari suami atau
pasangannya lebih cenderung untuk menerima tes HIV sebesar 96%. Keadaan lingkungan keluarga yang
tidak mendukung akan mempengaruhi ibu dalam memanfaatkan layanan VCT. Keputusan wanita yang
dipengaruhi oleh pasangan dan keluarga sangat berpengaruh terhadap ibu hamil untuk ikut VCT. Ibu dengan
sosial budaya yang sangat bergantung pada suami dan keluarga, cenderung akan menolak untuk ikut VCT
dengan alasan meminta persetujuan pasangan/suami atau keluarga.
Dukungan suami dan keluarga mempengaruhi hubungan standar pelayanan ANC terhadap
pemanfaatan pelayanan VCT HIV. Dengan adanya dukungan positif dari suami dan keluarga dan pelayanan
ANC sesuai standar, akan membantu peningkatan pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil. Hasil
analisis stratifikasi dengan uji Mantel Hanszel diperoleh selisih perbedaan OR Crude dan OR MH mencapai
12,4%. Selisih perbedaan ini mencapai 10% 20% sehingga variabel dukungan suami dan keluarga
merupakan variabel confounding terhadap hubungan standar pelayanan ANC dengan pemanfaatan pelayanan
VCT HIV.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan
dengan pemanfaatan VCT HIV. Artinya, ibu hamil yang tinggal di daerah yang sulit diakses dan yang mudah
diakses tidak mempengaruhi ibu hamil dalam memanfaatkan pelayanan konseling dan tes HIV. Hasil ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kartiningsih (2008) yang juga menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara jarak tempat tinggal responden dengan keikutsertaan ibu hamil untuk konseling dan tes
HIV di Kabupaten Merauke, Papua. Penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Karamagi, et.al.
(2005) yang memperoleh data bahwa konseling dan tes HIV sangat rendah pada ibu hamil yang sulit
mengakses pelayanan ANC yang tersedia layanan PMTCT.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pelaksanaan standar ANC,
pengetahuan tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT, dan dukungan suami dan keluarga terhadap pemanfaatan
pelayanan VCT HIV pada ibu hamil. Tidak ada hubungan antara sikap dan akses pelayanan kesehatan
terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil. Hasil uji multivariat menunjukkan variabel
standar pelayanan ANC dan dukungan suami dan keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap pemanfaatkan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Hasil uji stratifikasi menunjukkan
dukungan suami dan keluarga merupakan variabel confounding hubungan antara pelaksanaan standar ANC
dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV. Disarankan meningkatkan pengetahuan dan kepedulian petugas
tentang pentingnya standar ANC pelayanan VCT HIV pada ibu hamil serta peningkatan pengetahuan tentang
HIV/AIDS, VCT dan PMTCT pada ibu hamil ibu hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Addo, V.N. (2005). Pregnant Womens Knowledge of and Attitudes to HIV testing at Komfo Anokye
Teaching Hospital, Kumasi. Ghana Med J, 39 (2): 50-4.
Baiden, et.al. (2005). Review of Antenatal Linked Voluntary Counseling And Hiv Testing In Sub-Saharan
Africa: Lessons and Options For Ghana. Ghana Medical Journal Vol.39, No.1 March 2005

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

199

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Belachew, et.al. (2012). Factors Affecting Acceptance of HIV Counsel-ing & Testing Among Antenatal Care
Atten-dants: With Emphasis on Role of Male Partners. International Journal of Scientific &
Engineering Research Volume 3, Issue 4.
Dinas Kesehatan Kota Makassar. (2013). Profil Kesehatan Kota Makassar. Makassar : Dinas Kesehatan
Kota Makassar.
Ekanem, E. E. & Gbadegesin, A. (2004). Voluntary Counselling and Testing (VCT) for Human
Immunodeficiency Virus: A Study on acceptability by Nigerian Women Attending Antenatal Clinics.
Afr J Repor Health, 8 (2):91 100.
Karamagi, C.AS., Tumwine, J.K., Tylleskar, T. & Heggenhougen, K. (2006). Antenatal HIV Testing in Rural
Eastren Uganda in 2003: Incomplete Rollout of the Prevention of Mother-to-Child transmission of
HIV Program. BMC Int Health Hum Rights, 6 (6):1-10.
Kartiningsih, Titik. (2008). Hubungan Pelaksanaan Standar Pelayanan Antenatal Dengan Keikutsertaan Ibu
Hamil Untuk Konseling dan Tes HIV Di Kabupaten Merauke. Tesis. Yogyakarta : Program Pasca
Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Moges and Amberbir. 2011. Factors Associated With Readiness To Vct Service Utilization Among Pregnant
Women Attending Antenatal Clinics In Northwestern Ethiopia: A Health Belief Model Approach.
thiop J Health Sci. Vol. 21.
Rogerst, et.al. (2006). HIV-Related Knowledge, Attitudes, Perceived Benefits, and Risks of HIV Testing
Among Pregnant Women in Rural Southern India. Mary Ann Liebert Publisher: Volume 20 Issue 11.
Syafitri, Leni. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan PITC bagi Tahanan
dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Berisiko Tinggi HIV/AIDS di Poliklinik Rutan Klas I
Cipinang Tahun 2012.
Semrau, et.al. (2005). Women in couples antenatal HIV counseling and testing are not more likely to report
adverse social events. NIH Public Access Author Manuscript. 19(6): 603609

DETERMINAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MONGOLATO


KECAMATAN TELAGA KABUPATEN GORONTALO
Hafni Van Gobel 1, Masni 2, A. Arsunan Arsin 3
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

200

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

JURNAL

INDONESI A

Politeknik Kesehatan Gorontalo


Bagian Biostatistik Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
3
Konsentrasi Epidemiologi Fakultas kesehatan Masyarakat,
ABSTRACT

The aim of the research was to acknowledge of knowledge, parity, employment status,
breastfeeding couseling, breast care, early initiation of breastfeeding and husbands support on the exlusive
breastfeeding. The research was conducted in the work region of Mongolato Community Health center.
Telaga District, Gorontalo city in 2013. The research design was a cross sectional , by interviewing 193
breastfeeding mothers as respondents. Sampel analyzed with chi-square test, continued with logistic
regression. The result of the research indicated that knowledge (p = 0.006), parity (p = 0.006 employment
status (p=0,002), breastfeeding counseling(p=0,013),breast care (p=0,042), early initiation of breastfeeding
(p = 0.019) and husband support (p = 0.000), were significantly associated with exclusive
breastfeeding.Conclusion, Husband support , knowledge and parity were determinants of exclusive
breastfeeding.
Keywords: exclusive breastfeeding, parity, counseling, care, initiation.
PENDAHULUAN
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, terutama pada bulan-bulan pertama
hidupnya. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan menyediakan energi yang diperlukan oleh
bayi. ASI juga mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat manusia
ataupun susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, dan lain-lainnya. Selain itu program peningkatan ASI
ekslusif merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah dalam hal pencapaian Millenium Development
Goals (Depkes RI, 2011).
Upaya peningkatan penggunaan ASI juga telah disepakati secara global. melalui komitmen
Internasional pada pertemuan di Italia yang melahirkan Deklarasi Innocenti, salah satu bahasan dalam
pertemuan ini adalah kesehatan anak dan hubungannya dengan ASI. Di dalam deklarasi tersebut disepakati
perlunya kampanye ASI melalui pekan ASI sedunia yang diadakan setiap minggu pertama bulan Agustus
(World Breast-Feeding Week) yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat tentang pentingnya ASI agar
para ibu menyusui bayinya. Disamping Deklarasi Innocenti tersebut WHO (World Health Organization) dan
UNICEF (United Nation Childrens Fund) pada September 1991 melalui Konferensi Puncak untuk anak
menetapkan bahwa untuk mencapai status kesehatan ibu dan anak yang optimal, semua wanita harus dapat
memberikan ASI sampai bayi berusia 4-6 bulan (menyusui secara eksklusif), memberikan makanan
pendamping ASI tepat pada waktunya, dan terus memberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun. Berdasarkan
data pemberian ASI sudah cukup tinggi, namun ASI eksklusif masih tetap rendah. Swedia yang merupakan
negara yang cukup tinggi angka ibu menyusuinya, dari 95% ibu yang menyusui bayinya ternyata hanya
55% yang memberikan ASI eksklusif sampai 6 bulan. Di Bolivia, pemberian ASI eksklusif sampai usia 4
bulan sekitar 50%, dengan 13,6% bayi masih diberikan ASI eksklusif sampai usia 6-9 bulan (Mexitalia,
2003). Penelitian Guillain, dkk. (2012), menemukan adanya perbedaan antara temperamen bayi usia 3 bulan
yang hanya mendapat ASI saja dengan yang mendapat ASI dan susu atau campuran. Hasil penelitian
Qureshi, dkk. (2010) menemukan bahwa praktek pemberian ASI Esklusif menurun pada ibu bekerja, wanita
usia muda, ibu dengan pendidikan rendah, dan ibu dengan paritas kurang dari 5. Sebelumnya Tarka, dkk.
(2001) menemukan bahwa faktor yang memengaruhi keberhasilan pemberian ASI Esklusif pada 3 bulan
pertama kelahiran adalah sumber daya ibu, sikap terhadap pemberian Asi dan dukungan dari masyarakat.
Di Indonesia, secara Nasional cakupan pemberian ASI ekslusif berfluktuasi dan cenderung
menurun 3 tahun terakhir. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007
persentase cakupan ASI sebesar 95,2% tetapi rata-rata pemberian ASI ekslusif hanya mencapai 3 bulan,
sedangkan hasil Riskesda tahun 2010 bayi yang menyusui ekslusif hanya 15,3%. Angka ini masih jauh di
bawah angka ASI ekslusif global yang juga rendah yaitu sebesar 32,6 % (Depkes RI, 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo (2011) pemberian
ASI ekslusif mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 37,43 % dan tahun 2011 meningkat
menjadi 49,5 %. Cakupan ASI ekslusif untuk Kabupaten Gorontalo tahun 2011 sebesar 56,4%.
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor determinan
pemberian ASI Esklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mongolato Kecamatan Telaga Kabupaten
Gorontalo.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian Observasional analitik
dengan rancangan Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan diwilayah kerja Puskesmas Mongolato
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

201

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Kecamatan Talaga Kabupaten Gorontalo, pada minggu kedua bulan Desember tahun 2012 sampai dengan
minggu kedua bulan Februari tahun 2013.
Populasi dan sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu menyusui pada Wilayah kerja Puskesmas
Mongolato Kabupaten Gorontalo periode Januari sampai dengan Desember 2012, dengan jumlah sampel

193 . Penarikan dilakukan dengan cara (simple random sampling) dengan mengacu pada daftar sampel

(sampling frame) dengan kriteria sampel yaitu (1) Ibu yang mempunyai bayi berumur antara 6 sampai 12
bulan dan berstatus menyusui, (2) Berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Mongolato Kecamatan Talaga
Kabupaten Gorontalo periode Januari sampai dengan Desember 2012, dan (3) Bersedia menjadi responden
dan menandatangani inform concent.
Pengumpulan data dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah, wawancara terpimpin pada
ibu menyusui, sesuai dengan kuesioner yang telah disusun. Pengolahan data dilakukan secara manual dan
elektronik dengan menggunakan kalkulator dan komputer. Analisis menggunakan program SPSS 18.00 for
Windows.Uji independensi Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara 2 variabel kategorik. Uji
regresi logistik berganda dilakukan dengan mempergunakan data dari pengaruh faktor determinan.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik sampel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur responden 20-34 tahun adalah kelompok
umur dengan frekuensi terbesar (32,7%), sedangkan kelompok umur <19 tahun adalah kelompok umur
dengan frekuensi terkecil (3,6%). Tingkat pendidikan responden dengan frekuensi terbesar adalah
pendidikan SMA (36,3%), dan frekuensi kelompok pendidikan terkecil adalah perguruan tinggi (11,4%),
Frekuensi responden tidak bekerja (62,2%) sedangkan frekuensi ibu menyusui yang bekerja( 37,8%.),
Frekuensi umur anak 6 11 bulan dengan persentase tertinggi (91,2%), sedangkan frekuensi umur anak 1924 bulan dengan persentastase terkecil (0,5%).
Tabel 1
Karakteristik responden penelitian
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah (n)
< - 19
7
20 24
63
25 29
57
30 34
29
35 39
19
40 - >
18
Total
193
Tingkat pendidikan
SD
40
SMP
61
SMA
70
Perguruan Tinggi
22
Jumlah
193
Status Pekerjaan
Bekerja
73
Tidak bekerja
120
Jumlah
193
Umur Anak (Bulan)
6 - 11
176
12 18
16
19 - 24
1
Jumlah
193
Data Primer

%
3,6
32,7
29,5
15,0
9,9
9,3
100,0
20,7
31,6
36,3
11,4
100,0
37,8
62,2
100,0
91,2
8,3
0,5
100,0

Uji chi-square determinan ASI eksklusif


Berdasarkan hasil Uji Chi-Square menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan
pemberian ASI esklusif (p=0,006), paritas berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,006), status
pekerjaan berhubungan dengan pemberian ASI esklusif (p=0,002), konseling ASI berhubungan dengan
pemberian ASI esklusif (p=0,013), perawatan payudara berhubungan dengan pemberian ASI esklusif
(p=0,042), inisiasi menyusu dini berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,019), dukungan suami
berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif (p=0,000) (tabel 2).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

202

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 2 Hasil uji chi-square Determinan Pemberian ASI Eksklusif


Pemberian ASI
Esklusif
Non Esklusif
n
%
n
%

Determinan
Pengetahuan
Cukup
Kurang
Paritas
Baik
Kurang
Status pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
Konseling ASI
Ada
Tidak ada
Perawatan
payudara
Ada
Tidak ada
Inisiasi menyusu
dini
Ada
Tidak ada
Dukungan suami
Cukup
Kurang
Data Primer

Jumlah
n

Hasil Uji : Chi-Square


X
p
Phi
2

47
3

30,1
8,1

109
34

69,9
91,0

156
37

100
100

7,555

0,006

0,198

41
9

32,3
13,6

86
57

67,7
86,4

127
66

100
100

7,867

0,006

0,202

98
45

81,7
38,4

22
28

18,3
61,6

120
73

100
100

9,480

0,002

0,222

4
46

10,3
29,9

35
108

89,7
70,1

39
154

100
100

6,237

0,013

0,180

6
44

14,0
29,3

37
106

86,0
70,7

43
150

100
100

4,118

0,042

0,146

5
45

11,9
29,8

37
106

88,1
70,2

42
151

100
100

5,483

0,019

0,169

25
25

53,2
17,1

22
121

46,8
82,9

47
146

100
100

24,096

0,000

0,353

Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil uji regressi linier berganda logistik, yang dinilai melalui tingkat signifikansi
(Sig.) dan Wald bahwa dukungan Suami, memperlihatkan nilai Wald=19,160 dengan p=0,000 memberi arti
bahwa apabila ibu mendapatkan dukungan suami maka berpeluang untuk memberikan ASI Esklusif pada
bayinya sebesar 19,16 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapatkan dukungan suami.
Pengetahuan, memperlihatkan nilai dengan p=0,017 memberi arti bahwa apabila ibu mempunyai
pengetahuan cukup, berpeluang memberi ASI Esklusif pada bayinya sebesar 5,74 kali dibandingkan dengan
ibu yang mempunyai pengetahuan kurang. Paritas memperlihatkan nilai Wald=4,602 dengan p=0,032
memberi arti bahwa ibu dengan paritas lebih dari satu berpeluang untuk memberikan ASI esklusif pada
bayinya sebesar 4,60 kali dibandingkan dengan ibu paritas satu. Inisiasi menyusui dini memperlihatkan
nilai yang tidak signifikan (Wald=2,972) (p=0,085). Perawatan payudara, memperlihatkan nilai yang tidak
signifikan dengan nilai Wald=0,016 dengan p=0,901. Status pekerjaan memperlihatkan nilai yang tidak
signifikan (Wald=1,837) dengan p=0,175. Konseling ASI, memperlihatkan nilai yang tidak signifikan
dengan nilai Wald=1,259 dengan p=0,262. Dari hasil analisis ditemukan tiga variabel yaitu; dukungan
suami, pengetahuan dan paritas, merupakan determinan pemberian ASI esklusif .
Tabel 3

Hasil uji regresi logistik Determinan Pemberian ASI Esklusif


VARIABEL

Dukungan
Pengetahuan
Paritas
Inisiasi menyusu dini
Perawatan payudara
Status pekerjaan
Konseling ASI
Data Primer

Wald

DF

OR

-1,840
1,705
0,975
1,078
0,073
1,546
0,741

19,160
5,748
4,602
2,972
0,016
1,837
1,259

1
1
1
1
1
1
1

0,000
0,017
0,032
0,085
0,901
0,175
0,262

0,159
5,500
2,652
2,940
0,930
1,726
2,098

PEMBAHASAN

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

203

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang berpengetahuan cukup, memberikan ASI Esklusif pada
bayinya dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang (p=0,006) sehingga disimpulkan
bahwa pengetahuan berhubungan signifikan dengan pemberian ASI Esklusif. Hasil uji regresi logistik
didapatkan pengetahuan berpengaruh terhadap pemberian ASI Esklusif Wald =5,748 (p= 0,017). Ibu yang
mempunyai pengetahuan cukup, berpeluang untuk memberikan ASI esklusif pada bayi sebesar 5,74
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang. Sejalan dengan penelitian Listyaningsih
(2008) dalam penelitiannya menemukan ada hubungan bermakna antara pengetahuan laktasi ibu pada waktu
hamil dengan pemberian ASI Esklusif. Leia, dkk. (2004), menemukan adanya pengaruh pengetahuan dan
perilaku pemberian ASI pada ibu menyusui di pedesaan Jamaica. Menurut Carlson (2008) banyak faktor
yang menyebabkan pemberian ASI ekslusif tidak terlaksana dengan baik, salah satunya adalah kesalahan
pada tata laksana laktasi yang menyebabkan penurunan produksi ASI (sindrom ASI kurang) dan sebagian
besar ibu yang tidak menyusui bayinya bukan karena gangguan fisik, melainkan lebih banyak karena ibu
tidak tahu tentang tata laksana laktasi. Dalam wawancara pada sebagian ibu menyusui mengatakan
mengetahui tentang pentingnya pemberian ASI Esklusif melalui petugas kesehatan tempat pemeriksaan
antenatal, sebagian melalui teman, namun sebagian ibu tidak mendapatkan informasi yang mendalam
tentang pentingnya pemberian ASI Esklusif, mengingat pentingnya hal tersebut selayaknya petugas
kesehatan harus terus memberikan pemahaman yang terkait dengan pengetahuan ASI Esklusif.
Paritas ibu terkait dengan pengalaman ibu dalam melahirkan. Persalinan yang paling aman bagi ibu
adalah yang kedua dan ketiga, sedangkan persalinan ketiga dan seterusnya secara dramatis menurunkan
kesehatan ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu dengan paritas lebih dari satu memberikan ASI
Esklusif pada bayinya dibandingkan dengan ibu dengan paritas satu (p=0,006) sehingga disimpulkan paritas
berhubungan signifikan dengan pemberian ASI Esklusif. Hasil uji regresi logistik didapatkan ibu dengan
paritas lebih dari satu memberikan ASI Esklusif pada bayinya Wald=4,602 (p=0,032), sehingga disimpulkan
bahwa ibu dengan paritas lebih dari satu berpeluang memberikan ASI Esklusif pada bayinya sebesar 4,60
kali dibandingkan dengan ibu dengan paritas satu. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lestari, dkk. (2010) bahwa mayoritas ibu yang menyusui bayi yang merupakan anak pertama memiliki
proses menyusu yang tidak efektif dibandingkan dengan ibu yang menyusui bayinya merupakan anak ketiga
dan keempat. Artinya paritas berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui. Penelitian Wulandari (2007)
menyatakan bahwa pengalaman memegang peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan terhadap tata
laksana laktasi. Pengalaman seorang ibu dalam hal ini dilihat dari jumlah anak yang dilahirkan. Ibu yang
melahirkan anak lebih dari satu kali cenderung untuk memberikan ASI kepada bayinya. Dalam wawancara
pada sebagian ibu diperoleh informasi bahwa ibu yang berparitas satu (pertama kali melahirkan) cenderung
untuk tidak memberikan ASI esklusif dengan berbagai faktor penyebab antara lain, merasa kurang percaya
diri, ASI tidak keluar, bayi rewel dan dukungan negatif dari orang tua dan suami.
Dukungan Suami Dengan Pemberian ASI Esklusif sangat erat kaitannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan dukungan suami cukup memberikan ASI Esklusif pada bayinya
dibandingkan dengan ibu yang mendapatkan dukungan suami kurang.Hasil uji chi-square memperlihatkan
nilai (p=0,000) sehingga disimpulkan bahwa dukungan suami berhubungan signifikan dengan pemberian
ASI Esklusif Hasil uji regresi logistik memperlihatkan nilai Wald=19,160 (p=0,000),nilai ini
memperlihatkan signifikansi yang sangat besar dimana ibu menyusui yang mendapatkan dukungan suami
yang cukup berpeluang memberikan ASI Esklusif pada bayinya sebesar 19,160 kali dibandingkan dengan
ibu menyusui yang mendapat dukungan yang kurang.
Sejalan dengan penelitian Rokhanawati (2009)menemukan bahwa dukungan sosial suami
mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Malau (2010) menemukan
ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dan kemauan ibu memberikan ASI eksklusif dengan
kekuatan hubungan sedang (r=0,38), yang berarti semakin besar dukungan suami maka semakin besar
kemauan ibu memberikan ASI eksklusif. Olayemi, dkk. (2007), menemukan bahwa dukungan suami
meningkat secara signifikant terhadap lama pemberian ASI (OR 0,94%), penelitian yang sama pernah
dilakukan oleh Jenny, dkk. (2003) terhadap nenek-nenek diAsia selatan dan menemukan adanya pengaruh
yang signifikan terhadap dukungan menyusui.Penelitian ini juga menemukan bahwa konseling ASI, inisiasi
menyusu dini, status pekerjaan ibu dan perawatan payudara tidak memberikan kontribusi terhadap
pemberian ASI esklusif
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan, paritas,
inisiasi menyusu dini, dukungan suami, status pekerjaan, perawatan payudara dan konseling ASI dengan
pemberian ASI eksklusif. Dukungan suami, pengetahuan, dan paritas memberikan kontribusi dalam
pemberian ASI eksklusif. Perlu ada desakan yang kuat dari berbagai komponen dalam menjalankan
kebijakan ASI Esklusif, melalui monitoring dan evaluasi sebagai upaya penguatan implementasi di
masyarakat.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

204

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

DAFTAR PUSTAKA
Carlson. (2008). Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk Mahasiswa Kebidanan. Penerbit: EGC Jakarta.
Depkes. (2011). Gizi dan kesehatan Ibu dan Anak. (online). Diakses Tanggal 29 September 2012.
http://www Gizikia.depkes.go.id/archives/658.
Depkes, R.I, (2005). Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu
( ASI) Pekerja wanita. (online). Di akses 4 November 2012. Pusat kesehatan Kerja Dep.Kes R.I.
Guillain, dkk. (2012). Breastfeeding And Infant Temperament At Age Three Months (online) Di akses 3
November 2012. 7(1).e29326 doi:101371.journal ,pone,0029326.
Ingram,et,al. (2003). South Asian Grandmothers Influence On Breastfeeding In Bristol. (Online). Diakses 2
Maret 2013. http://www.sciencedirect.com.
Leia, M., dkk. (2010). Breastfeeding Attitude Of Finnish Parents During Pregnancy. (online). Diakses 2
maret 2013. http://www.biomed-central.com/1471-2393/10/79
Lestari, dkk. (2012). Motivasi ibu bekerja dalam memberikan ASI ekslusif di PT Dewhirts mens wear
Indonesia. Skripsi FKM UNIV Padjajaran Bandung.
Listyaningsih. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Laktasi Dengan Perawatan Payudara. Di
Kelurahan
Ranggen
Kabupaten
demak.
(online).
Diakses
3
maret
2013.
http://Jurnal.unimus.ac.id/index.php/jur-bid/556.
Malau. ( 2010). Hubungan Dukungan Suami dan Kemauan Ibu Memberikan ASI Eksklusif di Puskesmas
Teladan Medan. Di akses 12 Januari 2013 (repository.usu.ac.id,)
Mexitalia. (2003). Prevalence of Exlusive Breasfeeding in Bangladesh Assosiation with Diarhoea and Acute
respiratory Infection : Diakses 12 November 2012.Result of the Multiple indicator cluster survey
2003. Journal of Health, Population and Nutrition 25(2):195-204.
Olayemi, O., dkk. (2007). The influence of social support on the duration of breast-feeding among antenatal
patients in ibadan. Journal of obstetrics & gynaecology. (online). diakses 4 maret 2013.
http://informahealthcare.com
Profil Dinas Kesehatan provinsi Gorontalo. 2011
Qureshi, dkk. (2011).Using Community Volunteers To Promote Exlusive Breastfeeding In Sokoto State
Nigeria,(online),diakses
5
November
2012
http://www.panafricanmed.journal.com/content/article/10.
Roesli. (2005). Mengenal ASI Eksklusif, Trubus Agriwidya, Jakarta, hal. 2-47.
Rokhanawati, Dewi. (2009). Dukungan sosial suami dan perilaku pemberian ASI Esklusif Di Kabupaten
Bantul Yogyakarta. (online). diakses 3 Maret 2013. (www.google .com)
Tarka, dkk. (2001). Faktor Related To Succesfull Breastfeeding By First Time Mothers When The Child Is
Three Months old (online) diakses 12 November 2012. journal Of Advanced Nursing.Vol 29.
Wulandari. (2007). Hubungan Pengalama Ibu Menyusui Dengan Praktik PemberianAsi. (online). Diakses 4
Maret 2013. Repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/1140.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

205

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

DETERMINAN STATUS GIZI ANAK BALITA KELUARGA NELAYAN DI WILAYAH


PUSKESMAS TILOTE KABUPATEN GORONTALO
TAHUN 2010
Imran Tumenggung1, A. Zulkifli Abdullah2, Ridwan Amiruddin2
Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT
The lack of nutrient in children below five years old can cause disorder in growth and development.
This has become a national health problem. The aim of the study was to find out determinants which
correlate with nutritional status of children below five years old of the fisherman family at the Tilote Public
Health Center in Gorontalo regency. The study was a cross sectional study which was conducted from
August to October 2010. The number of samples was 200 children below five years old selected by simple
random sampling. The data were analyzed by using bivariate and multivariate analysis. The results of
bivariate analysis indicate that nutritional status (height/age) of children below five years old correlates
with mothers education (p = 0.004), knowledge (p = 0.000), upbringing pattern (p = 0.000), energy
consumption (p = 0.003), protein consumption (p = 0.032), and infectious disease (p = 0.016). Bivariate
analysis indicate that nutritional status (weight/height) correlates with mothers education (p = 0.004),
knowledge (p = 0.000), upbringing pattern (p = 0.009), energy consumption (p = 0.000), and infectious
disease (p = 0.000). The multivariate analysis indicates that knowledge of mother is the most dominant
factor correlating with the nutritional status of children below five years old based on height/age (p =
0.000; Wald = 47.556), and so is infectious disease based on weight/height (p = 0.001; Wald = 12.037).
Necessary efforts to improve maternal nutrition knowledge as well as efforts to prevent and control
infectious diseases in children under five from a family of fishermen.
Key words: nutritional status, children below five years old, fisherman family.
PENDAHULUAN
Masalah gizi kurang pada anak balita merupakan masalah kesehatan secara nasional. Kondisi ini
juga merupakan masalah global terutama di negara-negara berkembang (De Onis & Blossner, 2003; Muller
& Krawinkel, 2005), di mana kejadiannya berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi, pendidikan, tingkat
pengetahuan, tingkat kecukupan energi dan protein, dan adanya penyakit infeksi (Siswono, 2007;
Wirandoko, 2007). Data Departemen Kesehatan RI tahun 2004 menunjukkan sekitar 5 juta (27,5%) anak
balita terancam kekurangan gizi; 3,5 juta (19,2%) anak balita menderita gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%) anak
balita menderita gizi buruk (Taslim, 2007). Data tersebut sejatinya hanyalah fenomena gunung es, artinya
yang terjadi sesungguhnya jauh lebih parah dan lebih memprihatinkan (Mulia, 2007).
Penderita gizi dapat dipolakan kepada dua kelompok : penderita gizi kurang dan penderita gizi
buruk. Penderita gizi buruk mudah dikenali karena terlihat secara kasat mata dari kondisi tubuh anak : sakit,
kurus, perut buncit atau badan membengkak dan lemah. Sebaliknya, penderita gizi kurang tidak mudah
diketahui atau dikenali oleh masyarakat umum. Akibatnya, meskipun jumlahnya lebih banyak, namun
mereka kurang mendapat perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Penderita gizi
kurang sangat berpotensi menjadi penderita gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya-upaya pemulihan dan
pengobatan secara tepat. Jika problem ini tidak ditangani secara serius, akan berdampak terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak yang akan menghasilkan suatu generasi dengan kualitas sumber daya
manusia yang rendah (Geller, 2003; Zere & McIntyre, 2003, Mulia, 2007).
Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah
pangan di tingkat keluarga, juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola
hidup sehat (Muller & Krawinkel, 2005, Taslim 2007). Data-data yang ada menunjukkan secara jelas bahwa
kondisi pendidikan orang tua anak balita gizi kurang dan gizi buruk sangat rendah (Wirandoko, 2007).
Rendahnya tingkat pendidikan berdampak pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
masalah pangan, gizi dan kesehatan. Kondisi seperti ini berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat,
khususnya kelompok miskin dalam hal konsumsi pangan yang tidak memenuhi kecukupan gizi. Perubahan
pola konsumsi pangan merupakan salah satu dampak yang menonjol pada masyarakat miskin sebagai akibat
penurunan daya beli (Muljati & Budiman, 2002). Penelitian Li, dkk. (1999) di daerah pedesaan kaum
minoritas di China menggambarkan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya ketersediaan
makanan menjadi penyebab timbulnya masalah kekurangan gizi. Zere dan McIntyre (2003) di Afrika Selatan
menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari kondisi sosial ekonomi keluarga terhadap terjadinya
kurang gizi pada anak. Di Aceh, ditemukan 454 anak balita gizi buruk akibat konflik dan tsunami (Taslim,
2007). Pengaruh konflik terhadap masalah gizi juga ditemukan di Chiapas, Mexico (Sanchez-Perez, dkk.,
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

206

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

2007), Mozambique, Sudan dan Afghanistan (Manary & Solomons, 2009). Analisis statistik pada 137 negara
berkembang menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur pertanian merupakan determinan penting terhadap
kejadian malnutrisi pada anak-anak (Apodaca, 2008).
Penelitian menunjukkan bahwa status gizi anak sangat ditentukan oleh keadaan gizi dan
kesehatannya saat ia masih bayi yaitu saat ia berusia 0-12 bulan. Pemberian ASI saja sejak lahir hingga bayi
berusia 6 bulan telah dikonfirmasi oleh berbagai studi di seluruh dunia sebagai investasi penting dan tidak
boleh terlewatkan jika ingin memperbaiki keadaan gizi balita secara umum (Februhartanty, 2009). Hidayat
(2006) menemukan adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian kurang gizi pada
anak balita keluarga nelayan di Kabupaten Luwu.
Kurang energi dan protein merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita.
Orisinal dan Supriatna yang dikutip dari Susianto (2008), melaporkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara konsumsi energi dan protein dengan status gizi. Kurang energi dan protein disebabkan
oleh masukan (intake) energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini
akan lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare dan penyakit infeksi lainnya (Tarigan, 2003).
Penyakit infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, terutama pada kelompok
anak-anak (Pudjiadi, 1993; Scrimshaw, 2003). Zakaria, dkk. (2004) dalam penelitian di Kabupaten Pangkep
menemukan adanya hubungan antara tingkat pendapatan, penyakit infeksi dan umur terhadap prevalensi
KEP pada anak balita berdasarkan indikator BB/U. Diare dan infeksi pernapasan yang berulang berkaitan
dengan bentuk tubuh yang lebih pendek dalam masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Interaksi
antara infeksi dan gizi di dalam tubuh seseorang dikemukakan sebagai suatu peristiwa sinergistik; selama
terjadinya infeksi, status gizi akan menurun dan dengan menurunnya status gizi, orang tersebut menjadi
kurang resisten terhadap infeksi (Manary & Solomons, 2009).
Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari bagaimana gambaran masalah
gizi kurang energi dan protein (KEP) pada anak balita keluarga nelayan di daerah pesisir danau Limboto
Kabupaten Gorontalo, dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Puskesmas Tilote. Data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Gorontalo tahun 2009, dari sejumlah 31.250 anak balita yang ditimbang terdapat
1.194 orang (5,8%) penderita KEP berdasarkan indeks BB/TB. Wilayah Puskesmas Tilote dengan prevalensi
tertinggi, yaitu penderita KEP sebanyak 118 anak balita (19,5%) dari sejumlah 606 anak balita yang
ditimbang, meningkat jika dibandingkan dengan prevalensi KEP tahun 2008 yaitu 8,1 % (103 anak balita
dari 1274 anak balita yang ditimbang). Prevalensi anak balita gizi kurang ini juga lebih tinggi dari rata-rata
provinsi Gorontalo yaitu 17,2% maupun data nasional yaitu 13,0% (Riskesdas 2007). Sebagian besar anak
balita KEP di wilayah Puskesmas Tilote berasal dari keluarga nelayan yaitu sebanyak 87 anak balita (73,7%)
(Profil Puskesmas Tilote, 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan status gizi kurang pada anak balita dari keluarga nelayan di Puskesmas Tilote
Kabupaten Gorontalo tahun 2010.
BAHAN dan METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan
Cross Sectional Study. Pada studi ini, unit analisis adalah individu. Lokasi penelitian adalah desa-desa di
pesisir danau Limboto di wilayah kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo, di mana rata-rata
penduduknya bekerja sebagai nelayan.
Populasi dan Sampel
Populasi umum dalam penelitian ini adalah semua anak balita yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo tahun 2010. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua anak
balita dari keluarga nelayan yang berasal dari desa-desa di wilayah kerja Puskesmas Tilote Kabupaten
Gorontalo tahun 2010. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan Simple Random Sampling.
Instrumen dan Pengumpulan Data
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan berupa kuesioner. timbangan
berat badan balita (dacin), pengukur tinggi badan balita (mikrotoise) dan alat tulis dan kertas, buku catatan,
kalkulator, dan komputer. Data Primer diperoleh melalui pengukuran antropometri dan daftar pertanyaan
(kuesioner) yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tujuan penelitian yang dilakukan. Kemudian
pertanyaan tersebut ditanyakan kepada responden. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Tilote, Dinas
Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Kantor Camat, Kantor Desa, dan instansi lain yang berhubungan dengan
kebutuhan data penellitian ini.
Analisis Data
Analisis karakteristik umum variabel dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara
mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian dengan melihat sebaran frekuensinya.
Pada tahap ini dilakukan analisis sebaran karakteristik umum responden yang dianggap terkait dengan status
gizi anak balita. Status gizi diukur secara antropometri dengan menggunakan indeks TB/U dan BB/TB,
berdasarkan standar WHO-NCHS. Konsumsi makanan diperoleh dengan metode recall 24 jam selama 2 hari
yang dirata-ratakan dan diolah dengan program Nutri-2008.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

207

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Anak Balita
Pada tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa dari 200 anak balita yang menjadi sampel penelitian
sebagian besar perempuan yaitu sebanyak 107 orang (53.5%). Berdasarkan kategori kelompok umur, terlihat
bahwa distribusi dengan frekuensi terbanyak adalah kelompok umur 48 59 bulan yaitu sebanyak 55 orang
(27,5%) dan paling sedikit adalah kelompok umur 36 - 47 bulan yaitu sebanyak 44 orang (22%).
Tabel 1 Distribusi Anak Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur terhadap Status Gizi (TB/U) di
Wilayah Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010

Karakteristik Anak Balita


Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Jumlah
Umur
12 23 bulan
24 35 bulan
36 47 bulan
48 59 bulan
Jumlah
Data Primer

Status Gizi (TB/U)


Normal
Tidak Normal
n
%
n
%

Jumlah
n

61
40
101

30,5
20,0
50,5

46
53
99

23,0
26,5
49,5

107
93
200

53,5
46,5
100,0

36
15
20
30
101

18,0
7,5
10,0
15,0
50,5

14
36
24
25
99

7,0
18,0
12,0
12,5
49,5

50
51
44
55
200

25,0
25,5
22,0
27,5
100,0

Pada tabel 1, distribusi anak balita berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa perempuan dengan
status gizi normal (TB/U) sebanyak 61 orang (31%), lebih banyak dari perempuan dengan status gizi tidak
normal (pendek) sebanyak 46 orang (23%). Kondisi ini berbeda dengan anak balita laki-laki yang normal
berjumlah 40 orang (20%), lebih sedikit dibandingkan yang tidak normal (pendek) sebanyak 53 orang
(26,5%).
Pada tabel 1 juga terlihat bahwa distribusi anak balita berdasarkan kelompok umur terhadap status
gizi (TB/U), bahwa kelompok umur dengan status gizi normal lebih banyak pada kelompok umur 12-23
bulan (36 orang) dan kelompok umur 48-59 bulan (30 orang), sedangkan kelompok umur yang memiliki
jumlah anak balita dengan status gizi tidak normal (pendek) lebih banyak pada kelompok umur 24-35 bulan
(36 orang).
Tabel 2 Distribusi Anak Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur terhadap Status Gizi (BB/TB)
di Wilayah Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010
Karakteristik Anak Balita

Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Jumlah
Umur
12 23 bulan
24 35 bulan
36 47 bulan
48 59 bulan
Jumlah
Data Primer

Status Gizi (BB/TB)


Normal
Tidak Normal
n
%
n
%

Jumlah
n

75
78
153

37,5
39,0
76,5

32
15
47

16,0
7,5
23,5

107
93
200

53,5
46,5
100,0

33
37
31
52
153

16,5
18,5
15,5
26,0
76,5

17
14
13
3
47

8,5
7,0
6,5
1,5
23,5

50
51
44
55
200

25,0
25,5
22,0
27,5
100,0

Pada tabel 2, distribusi jenis kelamin anak balita terhadap status gizi (BB/TB) terlihat bahwa baik
laki-laki maupun perempuan sebagian besar berstatus gizi normal, yaitu laki-laki 75 orang (37,1%) dan
perempuan 78 orang (39%). Sedangkan distribusi umur terhadap status gizi (BB/TB) terlihat bahwa pada
semua kelompok umur jumlah anak balita yang memiliki status gizi normal lebih banyak dibandingkan anak
balita dengan status gizi yang tidak normal, di mana terbanyak adalah pada kelompok umur 48-59 bulan
yaitu sebanyak 52 orang (26%).
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

208

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 3 Hasil analisis bivariat terhadap variabel independen dengan variabel status gizi anak balita
berdasarkan TB/U dan BB/TB di wilayah Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun
2010
p

Variabel Independen

TB/U
0.004
0.000
0.914
0.543
0.756
0.000
0.003
0.032
0.016

Pendidikan Ibu
Pengetahuan Ibu
Jumlah Anak
Pendapatan Keluarga
ASI Eksklusif
Pola Asuh
Konsumsi Energi
Konsumsi Protein
Penyakit Infeksi
Data Primer

BB/TB
0.000
0.000
0.204
0.659
0.970
0.001
0.002
0.021
0.000

Tabel 3 menggambarkan hasil analisis hubungan antara masing-masing variabel independen dengan
status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, terlihat bahwa variabel pendidikan ibu,
pengetahuan ibu, pola asuh, konsumsi energi, konsumsi protein, dan penyakit infeksi berhubungan dengan
status gizi berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB (nilai p<0,05).
Analisis Multivariat
Analisis multivariat menggunakan metode analisis regresi logistik yang bertujuan melihat hubungan
masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat serta melihat besarnya hubungan variabel bebas
tersebut terhadap variabel terikat. Adapun variabel yang dimasukkan kedalam pemodelan multivariat setelah
terlebih dahulu diuji dengan Chi-Square dengan nilai p < 0,250. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
enam dari sembilan variabel memenuhi syarat dimasukkan kedalam pemodelan multivariat karena hasil ChiSquare menunjukkan nilai p < 0,250 yaitu: pendidikan, pengetahuan, pola asuh, konsumsi energi, konsumsi
protein, dan penyakit infeksi Tabel 4.
Tabel 4 Hasil uji regresi logistic variabel yang berhubungan dengan Status Gizi Balita (TB/U) di
Wilayah Kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010
Tahap
Step 1

Step 2

Step 3

Step 4

Step 5

Variabel
Pendidikan
Pengetahuan
Pola_Asuh
Energi
Protein
Infeksi
Constant
Pendidikan
Pengetahuan
Pola_Asuh
Protein
Infeksi
Constant
Pendidikan
Pengetahuan
Pola_Asuh
Protein
Constant
Pengetahuan
Pola_Asuh
Protein
Constant
Pengetahuan
Pola_Asuh
Constant

Sig.
-0,450
2,845
1,671
-0,220
-0,425
0,226
-5,328
-0,452
2,822
1,644
-0,478
0,211
-5,542
-0,427
2,844
1,646
-0,439
-5,383
2,718
1,584
-0,385
-5,938
2,637
1,529
-6,397

Wald
0,360
0,000
0,000
0,730
0,390
0,571
0,000
0,358
0,000
0,000
0,310
0,596
0,000
0,381
0,000
0,000
0,345
0,000
0,000
0,000
0,401
0,000
0,000
0,000
0,000

Exp(B)

0,837
41,977
16,649
0,119
0,738
0,321
15,768
0,845
42,477
16,805
1,029
0,282
21,075
0,768
43,460
16,892
0,892
21,501
46,270
16,313
0,706
35,936
47,566
15,801
56,463

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

0,638
17,209
5,316
0,802
0,654
1,254
0,005
0,636
16,811
5,177
0,620
1,234
0,004
0,653
17,188
5,187
0,645
0,005
15,153
4,874
0,680
0,003
13,966
4,612
0,002

209

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Data Primer
PEMBAHASAN
Status gizi anak balita pada penelitian ini diinterpretasikan menggunakan 2 indeks pengukuran
antropometri yaitu status gizi berdasarkan indeks antropometri Tinggi Badan berdasarkan Umur (TB/U) dan
Berat Badan menurut Umur (BB/TB) dan mengacu pada standar pengukuran WHO-NCHS.
Pengukuran antropometri dimaksud untuk dua tujuan. Pertama, monitoring perkembangan
pertumbuhan pada dua atau lebih titik waktu. Tujuannnya agar menemukan pola pertumbuhan dan dapat
digunakan untuk penetapan strategi KIE. Kedua, sebagai Nutritional Assessment, yaitu untuk menemukan
deskripsi status gizi dan faktor penyebabnya. Nutritional assessment dapat digunakan untuk mengevaluasi
perkembangan status gizi kelompok untuk melihat dampak dari suatu tindakan intervensi.
Prevalensi anak balita berstatus gizi pendek berdasarkan indeks TB/U di wilayah kerja Puskesmas
Tilote Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu sebesar 36.8% bahkan lebih tinggi dari
prevalensi di provinsi Gorontalo yaitu sebesar 39.9% (Riskesdas, 2007). Indikator TB/U menggambarkan
status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene
dan sanitasi yang kurang baik. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping
memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi
(Supariasa, dkk, 2002).
Selain mengindikasikan masalah gizi yang bersifat akut, indikator BB/TB juga dapat digunakan
sebagai indikator kegemukan. Dalam hal ini berat badan anak melebihi proporsi normal terhadap tinggi
badannya. Kegemukan ini dapat terjadi sebagai akibat dari pola makan yang kurang baik atau karena
keturunan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada usia dini dapat berakibat pada rentannya terhadap
berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa (Barker, 2003).
Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk
adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi balita sangat kurus
secara nasional masih cukup tinggi yaitu 6,2%. Terdapat 12 provinsi yang memiliki prevalensi balita sangat
kurus di bawah angka prevalensi nasional. Ke 12 provinsi tersebut adalah: Bangka Belitung, Kepulauan
Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua (Riskesdas, 2007)
Tingkat pengetahuan gizi ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang
hal yang berhubungan dengan gizi (zat-zat gizi, MP-ASI, pengolahan makanan, dan frekuensi makan) yang
diukur melalui nilai yang diperoleh ibu (selaku responden) dari daftar pertanyaan/kuesioner.
Sebagian besar responden yaitu sebesar 51.0% memiliki tingkat pengetahuan gizi yang kurang.
Dari 102 responden yang berpengetahuan kurang, 80.4% memiliki anak dengan status gizi TB/U pendek,
35,6% memiliki anak dengan status gizi BB/TB tidak normal (kurus dan kurus sekali). Hal ini sejalan
dengan beberapa penelitian sebelumnya oleh Hidayat (2005), Ahmad (2007), Wirandoko (2007) dan Almin
(2009) yang menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita.
Kecukupan pangan di tingkat rumah tangga belum tentu menjamin perbaikan status gizi setiap
individu anggotanya apabila tidak disertai dengan pengetahuan dan kemampuan mengelola makanan yang
bergizi, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan bahan makanan dan cara pemberian
makanan pada anak meskipun bahan makanan sudah tersedia.
Pendapatan keluarga dalam penelitian ini didapatkan dari penghasilan perbulan yang diperoleh
kepala keluarga dan/atau anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga tersebut yang dinilai dalam bentuk
uang, dibandingkan dengan standar UMR (Upah Minimum Regional) Propinsi Gorontalo tahun 2010 sebesar
Rp. 710.000,- . Sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan yang kurang (< nilai UMR) yaitu
sebanyak 60.5%. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pendapatan
keluarga dengan status gizi berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB. Ini disebabkan oleh status gizi balita
merupakan variabel bergantung pada banyak faktor baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pendapatan keluarga hanyalah salah satu faktor tidak langsung yang berhubungan dengan status gizi balita.
Penelitian ini tidak sejalan dengan Suriana, 2006 yang menyimpulkan adanya hubungan bermakna antara
pendapatan keluarga dengan status gizi balita, tapi sejalan dengan penelitian Almin, 2009 yang juga
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antar kedua variabel tersebut. Namun demikian, terlihat
pada data hasil penelitian bahwa proporsi terbanyak pada keluarga dengan pendapatan kurang adalah status
gizi pendek berdasarkan indeks TB/U yaitu 62 keluarga (51,2%). Sebanyak 21,7% keluarga yang
berpendapatan kurang memiliki anak dengan status gizi (BB/TB) tidak normal (kurus dan kurus sekali).
Soekirman (1991) menyatakan bahwa pendapatan riil suatu rumah tangga merupakan salah satu faktor yang
menentukan konsumsi makanan keluarga. Disamping itu konsumsi makanan keluarga sangat dipengaruhi
oleh harga pangan dan bukan pangan.
Jumlah anak dikategorikan berdasarkan standar NKKBS yaitu sedikit bila kurang dari atau sama
dengan 2, dan banyak jika jumlah anak lebih dari 2. Jumlah anggota keluarga besar mempengaruhi distribusi
makanan terhadap anggota keluarga, terutama pada keluarga miskin yang terbatas kemampuannya dalam
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

210

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

penyediaan makanan. Umumnya responden memiliki anak sedikit ( 2 anak) yaitu 126 responden (63,0%)
dan hanya 74 responden (37.0%) yang memiliki anak lebih dari 2 orang. Di antara responden yang memiliki
anak sedikit tersebar merata baik pada responden yang memiliki anak balita dengan status gizi normal
maupun status gizi pendek (TB/U). Hasil analisis bivariat mendapatkan hasil bahwa variabel jumlah anak
tidak berhubungan dengan status gizi anak balita baik berdasarkan indeks TB/U maupun BB/TB. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Palloan, 2005 dan Suriana 2006 yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak balita.
Pemberian ASI eksklusif sebagaimana program pemerintah melalui kementrian kesehatan adalah
pemberian ASI saja kepada bayi hingga usia 6 bulan. ASI mengandung semua zat gizi untuk pertumbuhan
dan perkembangan bayi. Selain itu ASI juga mengandung zat antibodi yang dapat melindungi bayi dari
serangan berbagai penyakit, serta mengandung enzim yang membantu dicernanya ASI secara sempurna oleh
tubuh bayi.
Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang diperkenalkan makanan dan/atau minuman lain sebelum
usia 6 bulan, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terserang penyakit (terutama diare dan batuk/pilek)
sehingga jika terjadi berulang-ulang maka bayi akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang
kurang optimal. Demikian pula, status gizi anak sangat ditentukan oleh keadaan gizi dan kesehatannya saat
ia masih bayi yaitu saat ia berusia 0-12 bulan. Pemberian ASI saja sejak lahir hingga bayi berusia 6 bulan
telah dikonfirmasi oleh berbagai studi di seluruh dunia sebagai investasi penting dan tidak boleh
terlewatkan jika ingin memperbaiki keadaan gizi balita secara umum (Februhartanty, 2009).
Secara teori, beberapa hasil penelitian mendukung adanya hubungan yang signifikan antara
pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak balita, diantaranya adalah penelitian Hidayat (2006) di
Kabupaten Luwu. Namun pada penelitian ini tidaklah demikian. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya
hubungan antara ASI eksklusif dengan status gizi balita berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB. Hal ini dapat
dipahami sebab cakupan ASI eksklusif di lokasi penelitian ini yang sangat rendah yaitu hanya 4.5% saja.
Selain itu sampel penelitian ini adalah Anak Balita yang berusia 12 59 bulan yang rata-rata tidak menyusui
lagi, dan kondisi status gizinya sudah banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti penyakit infeksi,
pola konsumsi, pola asuh, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu dari anak balita tersebut.
Konsumsi energi dan protein diperoleh dengan membandingkan data hasil recall 24 jam dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) sesuai golongan umur. Dikategorikan cukup jika memenuhi AKG dan
kurang jika tidak memenuhi kriteria cukup.
Status gizi dipengaruhi secara langsung oleh dua hal yaitu asupan zat gizi dan penyakit infeksi.
Mayoritas anak balita di lokasi penelitian memiliki tingkat konsumsi Energi dan Protein yang kurang, yakni
85.5% sampel memiliki konsumsi energi kurang, dan 73.0% memiliki konsumsi protein kurang. Dari hasil
penelitian ini diperoleh bahwa konsumsi energi berhubungan dengan status gizi berdasarkan indeks TB/U
dan BB/TB. Pada status gizi berdasarkan indeks TB/U, konsumsi energi memberikan kontribusi sebesar
20.9% sedangkan pada status gizi BB/TB memberikan kontribusi sebesar 21,5%.
Konsumsi protein berhubungan secara signifikan dengan status gizi TB/U dan memberi kontribusi
sebesar 15.2%, demikian juga dengan status gizi BB/TB berhubungan secara signifikan dan memberikan
kontribusi sebesar 16,5%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Suriana (2006) dan Ahmad (2007) di Kendari yang menyatakan adanya hubungan antara konsumsi energi
dan protein dalam makanan dengan status gizi anak balita. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak
menghitung asupan energi dan protein yang berasal dari ASI terhadap anak balita yang masih menyusui,
padahal diketahui bahwa ASI juga merupakan sumber energi dan protein makanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Determinan yang berhubungan dengan status gizi anak balita dari keluarga nelayan adalah
pendidikan, pengetahuan, pola asuh, konsumsi energi, konsumsi protein dan penyakit infeksi (p < 0,250).
Perlunya pelaksanaan program perbaikan gizi keluarga maupun program penanggulangan masalah gizi,
peran serta masyarakat (kader kesehatan, tokoh masyarakat, dasawisma, dll), maupun lintas sektor terkait
(pemerintah kecamatan dan desa, dinas pertanian dan perikanan).
DAFTAR PUSTAKA
Almin, 2009; Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang Pada
Anak Balita Usia 24-59
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli
Kota Kendari Tahun 2008, Tesis tidak
diterbitkan, Unhas
Makassar.
Apodaca, C., 2008; Preventing Child Malnutrition: Health and Agriculture as Determinants of Child
Malnutrition, Journal of Children and Poverty, 14, http//www.informaworld.com/, diakses Juli
2009.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007; Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Nasional, Balitbangkes, Jakarta.
Barker, D., 2003; Coronary Heart Disease, http//www.thebarkertheory.org/, diakses November 2010.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

211

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

De Onis, M., Blossner, M., 2003; The WHO Database on Child Growth and Malnutrition : methodology and
applications, International Journal of Epidemiology, 32; http//ijc.oxfordjournals.org/, diakses Juni
2010.
Februhartanty, J., 2009; ASI Dari Ayah Untuk Ibu dan Bayi, Semesta Media, Jakarta.
Geller, B., 2003; Malnutrition and Cognition in Children, http://psychiatry.jwatch.org/, diakses Juni 2010.
Hidayat, S., 2006; Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang pada Anak Balita dari
Keluarga Nelayan di Wilayah Kerja Puskesmas Belopa Kabupaten Luwu Tahun 2006, Tesis tidak
diterbitkan, Unhas Makassar.
Manary, MJ., Solomons, NW., 2009; Aspek Kesehatan Masyarakat pada Gizi Kurang, dalam Buku Gizi
Kesehatan Masyarakat (terjemahan Hartono, A.), EGC, Jakarta.
Mulia, S.M., Gizi, Masyarakat Berkualitas dan Pencapaian MDGs, http://www.icrp-online.org/, diakses Mei
2010.
Muljati, S., Budiman, B., 2002; Pola Pengeluaran Per-bulan pada Rumah Tangga yang Memiliki Balita
Gizi Kurang dan Dampaknya Terhadap Konsumsi Zat Gizi, Jurnal Kedokteran Yarsi, 10 (3),
Jakarta.
Muller, O., Krawinkel. M., 2005; Malnutrition and Health in Developing Countries, Can. Med. Assoc. J.,
173(3); http://www.cmaj.ca/, diakses Mei 2010.
Puskesmas Tilote, 2009; Profil Puskesmas Tilote.
Sanchez-Perez, HJ., Hernan, MA., Rios-Gonzalez, A., Arana-Cedeno, M., Navarro, A., Ford, D., Micek,
MA., Brentlinger, P., 2007; Malnutrition Among Children Younger Than 5 Years-Old in Conflict
Zones of Chiapas, Mexico, American Journal of Public Health, 97 (2),
http://articlerender.fcgi.htm/, diakses Mei 2010.
Scrimshaw, NS., 2003; Historical Concepts of Interactions, Synergism and Antagonism between Nutrition
and Infection, The Journal of Nutrition, 133 (3), http://jn.nutrition.org/, diakses Mei 2010.
Siswono, 2007; Upaya Mengatasi Masalah Kelaparan dan Kurang Gizi, http://www.gizi.net/, diakses Juni
2010.
Soekirman. 1991. Dampak Pembangunan Terhadap Keadaan Gizi Masyarakat. Gizi Indonesia, vol: xvi.
Supariasa, I.D.N., Bakri, B., Fajar, I., 2002; Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta.
Tarigan, I.U., 2003; Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Umur 6-36 Bulan Sebelum
dan Saat Krisis Ekonomi di Jawa Tengah, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 31, No.1, Jakarta.
Taslim, N.A., 2007; Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan ?,
http://www.gizi.net/, diakses Mei 2010.
Wirandoko, I.H., 2007; Determinan Status Gizi Anak Usia 2-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogosari
Wetan, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang Tahun 2007, http://www.scribd.com/, diakses
Mei 2010.
Yakub, N., Bahar, B., Citrakesumasari, 2004; Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Bayi Usia 4-12
Bulan di Desa Lero Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2003, MKMI,
1 (1), Unhas Makassar.
Zakaria, Hadju, V., Syam, A., 2005; Faktor-faktor Determinan Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) pada
Anak Umur 6-35 Bulan di Kabupaten Pangkep, MKMI, 2 (1), Unhas Makassar.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

212

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN UNMET NEED KB PASANGAN


USIA SUBUR TERHADAP KEHAMILAN YANG TIDAK DIINGINKAN
Lisdiyanti Usman1, Masni2, A. Arsunan Arsin3
1
Politeknik Kesehatan Gorontalo
2
Bagian Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Unmet need forfamily planning isthe needforairEFAKBbutthis need(not wantany more
childrenorwant to spacethe nextpregnancy) is not metanddo notuse any contraception. Research Thisaims to
determine theincidence ofunmetfamily planningrelationshipwithan unwanted pregnancy. This research
isanalyticsurveywithcross-sectionalresearch
design.
Largesample141respondentsthatEFAisnotusing
contraceptivesanddo notwant to get pregnant, stratifieldtakenbyrandom samplingandusingsecondary
datafrom theBKKBN. Data analysis was performedwithChi-square test, Pearsoncorrelationandmultiple
linear regressionmethodsLogistics. The results showed incidence of unmet need for family planning more in
women between the ages of 15 -49 years. Based on the educational aspects, education levels are more
common in educated EFA high school, for the husband's income, 47.5% EFA enough income. As for the
failure of contraceptive unmet need more events than those who fail to successfully use contraceptives, and
the number of children more found in thegroup thathas many children. Unmet need forfamily planningevent
riskis very influential onunwanted pregnancywith p valueof 0.001.Unmet need forfamily planningis
concludedthat theeffect onunintended pregnancy. ExpectedonEFAto want tousefamily planningto
preventrapidpopulation growth.
Keywords :EFA, UnmetNeedKB, UnwantedPregnancy
PENDAHULUAN
Unmet need menurut BKKBN adalah kebutuhan Pasangan usia subur untuk ber KB tetapi
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Kebutuhan tersebut adalah tidak ingin anak lagi atau ingin menjarangkan
kehamilan berikutnya tetapi PUS tidak memakai alat kontrasepsi (Emi Hedrina, 2011). Hasil penelitian di
Ethiopia pada tahun 2000 sampai 2005 menjelaskan bahwa dari responden sebanyak 2.133 wanita yang
sudah menikah usia 15-49 tahun, yang mengalami unmet need KB meningkat dari 35,1% pada tahun 2000
menjadi 37,4% pada tahun 2005. Umur, usia kawin, jumlah anak hidup, tempat tinggal, pendidikan,
pengetahuan tentang keluarga berencana, status pekerjaan responden sebagai faktor signifikan yang
mempengaruhi tejadinya unmet needKB (Asefa dkk, 2000). Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa
dari356 responden, ada 98 responden mengalami kehamilanyangtidak diinginkan, dan 76% darikehamilan
yang tidak diinginkan disebabkan karena tidak menggunakan alat kontrasepsi(Bongaarts,2009).
Program KB di Indonesia telah diakui secara nasional dan internasional sebagai salah satu program
yang telah berhasil menurunkan angka fertilitas secara nyata. Hasil survey SDKI 2003, Total Fertility Rate (
TFR ) sebesar 2,4 menurun menjadi 2,3 pada SDKI 2007. Namun bukan berarti masalah kependudukan di
Indonesia selesai, akan tetapi program tersebut diupayakan tetap dipertahankan. Salah satu masalah dalam
pengelolaan program KB yaitu masih tingginya angka unmet need KB di Indonesia. Jumlah PUS yang ingin
menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak ber KB meningkat dari 8,6% SDKI
2003 menjadi 9,1 % SDKI 2007, dimana diharapkan pada akhir tahun 2014 dapat diturunkan menjadi
sebesar 5% (Sudarianto, 2010).
Di provinsi Gorontalo, terdapat jumlah pasangan usia subur sebanyak 211,607 %, dimana PUS
bukan peserta KB berjumlah 15,44 %, PUS bukan peserta KB yang hamil 16,06 %, PUS bukan peserta KB
yang ingin anak segera 33,35 %, PUS bukan peserta KB yang ingin menunda anak 25,75 %, PUS bukan
peserta KB yang tidak ingin anak lagi 24,85 %. Untuk wilayah kota Gorontalo, jumlah pasangan usia subur
32.509 orang, dimana pasangan usia subur peserta KB aktif berjumlah 29.541 orang, sedangkan PUS yang
bukan peserta KB 2968 orang, jumlah yang hamil 498 orang, yang ingin anak segera 1015 orang ,yang ingin
menunda anak 558 orang, dan yang tidak ingin anak lagi 897 orang. Jumlah PUS di kota Tengah 3956 orang,
dimana jumlah peserta KB aktif 3429 orang, Pus yang bukan peserta KB aktif 527 orang, yang hamil 78
orang, tidak ingin anak lagi 107 orang, yang ingin menunda anak 54 orang. Jumlah unmet need di kecamatan
kota Tengah 239 orang di masing- masing kelurahan sebagai berikut untuk kelurahan wumialo jumlah

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

213

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

unmet need57 orang, kelurahan Dulalowo 34 orang, kelurahan Dulalowo Timur 47 orang, kelurahan Liluwo
35 orang, kelurahan Pulubala 41 orang, dan kelurahan Paguyaman 25 orang.
Unmet need KB juga menyebabkan seseorang melakukan aborsi khususnya pada anak remaja.
Karena mereka beranggapan masih terlalu dini untuk menjadi seorang ibu. Dan karena waktunya belum
tepat maka janin tersebut digugurkan baik secara sengaja ataupun spontan (anonimity, 2013). Dengan
demikian, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan unmet need KB pada PUS dengan kehamilan
yang tidak diinginkan.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo provinsi Gorontalo Pada
tanggal 27 Desember 2012 hingga 27 Januari 2013.
Desain dan Variabel Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Besar
sampel sebanyak 141 responden, diambil dengan cara stratifield random samplingdenganmenggunakan data
primer dan sekunder dari BKKBN. Peneliti melakukan pengukuran pada variabel independen dan dependen.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh pasangan usia subur berdasarkan data BKKBN pada tahun 2012 dan
diperoleh sampel sebanyak 141 respondendengan menggunakan tekhnik pengambilan sampel secara
stratifield random sampling.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dengan melakukan wawancara secara langsung pada responden,
sedangkan data sekunder dengan cara mengumpulkan data dariBKKBN kota dan BKKBN provinsi tahun
2012. Data yang ada dicatat dalam lembar observasi sesuai variabel yang dibutuhkan.
Analisis Data
Analisis data menggunakan program SPSS 18.00 for Windows. Untuk mengetahui hubungan antara
umur, pendidikan, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi, dan jumlah anak dengan kejadian unmet need KB
digunakan analisis chi square. Selanjutnya untuk menilai hubungan kejadian unmet need KB pada pasangan
usia subur dengan kehamilan yang tidak diinginkan digunakan analisis multivariat regresi logistic ganda.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Sampel
Tabel 1, menunjukkan hasil analisis univariat dimana jenis pekerjaan suami tertinggi adalah PNS
dengan persentase 37,6%, dan terendah buruh dengan persentase 29,8%. Sedangkan untuk pekerjaan istri
tertinggi adalah PNS dengan persentase 67,4%, sedangkan yang terendah adalah swasta dengan persentase
7%. Untuk distribusi PUS berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa jenis pendidikan suami
tertinggi adalah tamat SLTP dengan persentase 34,0 % dan terendah adalah tamat SMU dengan persentase
11,3 %. Sedangkan pendidikan istri yang tertinggi adalah tamat SLTP dengan persentase 36,9%, dan
terendah adalah tamat SMU dengan persentase 22%.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

214

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 1 Karakteristik Responden


Jenis Variabel

Kasus

Kontrol
%

Jumlah
%

PNS
Pegawai Swasta
Petani
URT
Buruh

53
0
46
0
42

37,6
0
32,6
0
29,8

95
1
17
28
0

67,4
7
12,1
19,0
0

148
1
63
28
42

105
7
44,7
19,9
29,8

Tamat PT
Tamat SMU
Tamat SLTP
Tamat SD

39
16
48
38

27,7
11,3
34
27

35
22
52
32

24,8
15,6
36,9
22,7

74
38
100
70

52,5
26,9
70,9
49,7

Pekerjaan

Pendidikan

Data Primer
Hasil Analisis Bivariat
Untuk mengetahui peranan masing-masing variabel independen dan variabel dependen, dilakukan
analisis bivariat melalui tabulasi silang.Pada analisis ini didapat nilaichi square Interval masing-masing
variabel seperti pada tabel 2. Hasil uji statistik antara umur denganunmet need KB didapat nilai p = 0,010
dan nilai Phi sebesar0,218. Hasil ini menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian unmet need
KB. Dari nilai Phi didapatkan bahwa umur muda (15-49 tahun)berisiko 21.8 kali lebih besar mengalami
kejadian unmet need KB dibandingkan dengan umur yang lebih dari 49 tahun. Untuk mengetahui hubungan
pendidikan dengan kejadian unmet need KB, dilakukan analisis chi square . Hasil uji statistik didapatkan
besarnya hubungan antara pendidikan dengan kejadian unmet need KB (nilai Phi = -0,016, hubungan
korelasi moderat). Oleh karena nilai p =0,847 dan nilai phi negatif, maka terdapat hubungan negatif antara
pendidikan dengan kejadian unmet need KB, berarti semakin rendah pendidikanPUS maka semakin banyak
yang mengalami kejadianunmet need KB.
Hasil uji statistik antara pendapatan suami dengan kejadian unmet need KB didapat nilai p = 0,044
dan nilai phi sebesar 0,211 dengan hasil ini menunjukkan bahwa suami yang berpendapatan cukup memberi
kontribusi 21.1 kali lebih besar terhadap kejadian unmet need dibandingkan yang berpendapatan kurang.
Hasil uji statistik antara kegagalan alat kontrasepsi dengan unmet need KB didapat nilai p = 0,001 dan nilai
Phi sebesar 27,9 %. Hasil ini menunjukkan terjadi hubungan yang sangat signifikan antara kegagalan alat
kontrasepsi dengan kejadian unmet need KB. Begitu juga antarajumlah anak dengan kejadian unmet need
KB dimana nilai p = 0,031 dan nilai phi sebesar 0,182 atau 18,2 %.
Hasil uji statistik antara unmet need KB dengan kehamilan yang tidak diinginkan di dapat nilai p =
0,002 dan nilai phi sebesar 25,7%. Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian unmet need KBberisiko25,7 kali
lebih besar terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.
Tabel 2 Analisis bivariat variabel independen dan variabel dependen
Faktor
Umur dengan unmet need
- 15-49
- >49

X
6,694

p
0,010

Phi
0,218

Pendidikan dengan unmet need


- cukup
- kurang

0,037

0,847

-0,016

Pendapatan dengan unmet need


- cukup
- kurang

6,268

0,044

0,211

Kegagalan Kontrasepsi
- gagal
- berhasil

10,981

0,001

0,279

Jumlah Anak

4,668

0,031

0,182

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

215

JURNAL
-

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

banyak
sedikit

Data Primer
Analisis Multivariat
Untuk menganalisis faktor mana yang paling berhubungan setelah dianalisis dengan variabel lain
yang secara statistik bermakna pada analisis bivariat. Tabel 3 menunjukkan bahwa ke empat variabel ini
memiliki hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), tetapi risiko kegagalan alat kontrasepsi mengalami
kejadian unmet need KB 2,75 kali lebih besar dibandingkan variabel umur, pendapatan, dan jumlah anak
( Phi = 0,279, dengan nilai wald = 10,772).
Tabel 3 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda
Faktor
Umur dengan unmet need
- 15-49
- >49

X
6,694

p
0,010

phi
0,218

Pendapatan dengan unmet need


- cukup
- kurang

6,268

0,044

0,211

Kegagalan Kontrasepsi
- gagal
- berhasil

10,981

0,001

0,279

Jumlah Anak
- banyak
- sedikit

4,668

0,031

0,182

Data Primer
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kelompok umur antara 15-49 tahun ,didapatkan nilai p=0,010
(p< 0,05), berarti terdapat hubungan signifikan antara umur dengan kejadian unmet need KB. pada
kelompok pendapatan suami yang cukup, didapatkan nilai p=0,044 (p<0,05), berarti terdapat hubungan
signifikan antara pendapatan suami dengan kejadian unmet need KB. pada kelompok kegagalan alat
kontrasepsi dengan yang pernah mengalami kegagalan sebelumnya dengan nilai p=0,001 (p<0.05), berarti
kegagalan sebelumnya memiliki hubungan signifikan dengan kejadian unmet need KB. Risiko kejadian
unmet need KB pada yang mengalami kegagalan sebelumnya lebih besar pada yang pernah gagal
dibandingkan yang berhasil.pada jumlah anak yang banyak dengan nilai p= 0,031 (p<0,05), berarti jumlah
anak banyak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian unmet need KB. Jumlah anak banyak
memberi kontribusi 18,2% terjadinya kejadian unmet need KB.Untuk mengidentifikasi faktor risiko
kejadianunmet need KB dengan memasukkan secara bersamaan variabel yang bermakna dan dilakukan
melalui analisis multivariat yaitu analisis regresi logistik ganda.

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terlihat bahwa ada beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi
kejadian unmet need KB yaitu umur, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya dan jumlah anak.
Unmet need KB dapat menyebabkan pertambahan jumlah penduduk dengan pesat. Peningkatan kualitas
layanan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan prevalensi unmet need KB. Dalam
memenuhi kebutuhannya, PUS sering mengalami hambatan dalam pemanfaatan layanan KB sehingga akses
mereka terbatas, bahkan tertutup sama sekali. Hal ini mengakibatkan mereka tidak menggunakan alat
kontrasepsi, padahal sebenarnya mereka membutuhkan.Hal ini sejalan dengan penelitian Stephenson dan
Hendrik (2004), yang menyatakan bahwa secara umum terdapat 5 faktor yang memegang peranan penting
yaitu pertama faktor administratif, faktor kognitif, faktor ekonomi, faktor psikososial, dan faktor
karakteristik KB. Pada penelitian yang dilakukan di Ethiopia dimana hasil penelitiannya menunjukkan

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

216

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

bahwa umur berhubungan dengan kejadian unmet needKB dimana ditemukan nilai p= 0,001 dan yang unmet
need pada kelompok umur < 25 tahun yaitu 26,3% (Almaz, dkk, 1993).
Pendapatan suami banyak mempengaruhi pola kegiatan dan pola pikir termasuk kesempatan untuk
memanfaatkan potensi dan fasilitas yang tersedia guna memenuhi kebutuhan hidupnya.Data pengeluaran
konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat, walaupun
diakui banyak kelemahan karena dapat memberikan informasi tentang pendapatan yang under estimate
(Sirojudin, 2002), Alasannya pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak harus selalu sama dengan jumlah
pendapatan yang diterima. Pendapatan yang cukup membuat seseorang mampu untuk memenuhi kebutuhan
lainnya.kemampuan ekonomi sangat mempengaruhi akses seseorang dalam memanfaatkan layanan
kesehatan.Mereka yang berasal dari rumah tangga dengan pendapatan tinggi dan menengah, memiliki skor
pendapatan lebih sedikit dibanding dengan pendapatan kurang. Terdapat sekitar 2,7 % wanita yang
menyatakan tidak menggunakan alat kontrasepsi karena biaya layanan tidak terjangkau oleh pendapatan
pasangan usia subur tersebut (Gusti A, 2006).
Hasil penelitian pada Demografi Iran dan Survei Kesehatan yang dilakukan pada tahun 2000,
menunjukkan bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk keluarga berencana bervariasi dari 3,6% di kota
Teheran dan 31,3% di daerah pedesaan di Sistan dan Balouchestan (selatan timur Iran). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Berhane dkk (1999), dimana terdapat pengaruh yang secara tidak langsung (indirect
eject) variabel ekonomi terhadap unmet need melalui variabel akses pelayanan, untuk pedesaan sekitar -0,35.
Dengan demikian di pedesaan, total pengaruh variabel ekonomi terhadap unmet need sebesar -0,89. Di
perkotaan besar indirect eject adalah -0,13 (WHO, 2005).
Hasil analisis multivariat pada variabel kegagalan sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan alat
kontrasepsi sebelumnya sangat berpengaruh terhadap terjadinya unmet need KB. Hal ini sejalan dengan
penelitian Gusti A, (2006), yang menemukan bahwa pada tahun 2004, lebih dari 75 % responden
menyatakan pernah menggunakan salah satu metode kontrasepsi dan dari persentase tersebut, 34 %
melaporkan pernah memakai lebih dari satu jenis alat kontrasepsi dengan penggunaan paling lama 63 bulan
atau 5 tahun. Disamping itu, ada beberapa yang pernah menggunakan empat jenis alat kontrasepsi.Dari
kondisi tersebut, mereka yang sudah pernah menggunakan alat kontrasepsi dan merasakan gangguan atau
kegagalan, maka mereka tidak bersedia lagi menggunakannya. Penelitian lain yang mendukung adalah
penelitian yang dilakukan oleh tim pakar Universitas Washington yang membandingkan metode kontrasepsi
jangka panjang dan jangka pendek. Metode kontrasepsi LARC yang mencakup IUD dan susuk KB yang
mengeluarkan hormon. Penelitian yang melibatkan perempuan berusia antara 14-45 tahun yang aktif
berhubungan seks tetapi tidak ingin hamil menunjukkan dari 334 sampel, yang hamil karena disebabkan
kegagalan sebelumnya ada 156 sampel (Copas, 1998).
Jumlah anak juga berhubungan dengankejadian unmet need KB dimana diperoleh hasil nilai p =
0,031 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2010), dimana diperoleh nilai
sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan antara jumlah anak dengan kriteria banyak yang unmet need KB
sebesar 34,2% dan terdapat hubungan antara jumlah anak hidup dengan unmet need KB.
Berdasarkan analisis regresi, dapat kita lihat bahwa unmet need KB dengan variabel umur,
pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya dan jumlah anak secara bersama-sama berpengaruh
terhadap unmet need KB yang dapat menyebabkan kejadian kehamilan yang tidak diinginkan.Hal ini
menunjukkan bahwa faktor kejadian unmet need KB sebagai faktor independen tidak dapat berdiri sendiri
dalam mempengaruhi kejadian kehamilan yang tidak diinginkan. Ibu yang mengalami kejadian unmet need
KB dapat mempengaruhi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga ibu yang unmet need KB
bisa saja mendapatkan anak yang tidak diinginkan sehingga besar kemungkinan dia akan melakukan aborsi
(WB, 2001)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kejadian unmet need KB berhubungan dengankehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu variabel
umur, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya, jumlah anak merupakan variabel yang dapat
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

217

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

meningkatkan terjadinya kejadian unmet need KB yang dapat berisiko terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu, perlu adanya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukatif) oleh petugas
kesehatan kepada semua pasangan usia subur untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Almaz Terefe and C.O. Larsen.(1993), Modern contraception use in Ethiopia; does Involving husbands
make a difference? America journal of public health, vol. 83, No. 11, pp.15-67, Washington Dc.
Asefa, M., Drewett, R. and Tessema, F.(2000). a birth cohort study in southwest Ethiopia to identify factors
associated with infant mortality that is a menable for interventions. Ethiopian journal of health
development 14 (2), 161-168
Anonim.(2013), Population report, why family planning matters, vol. XXVII,number 2, series J. number 49,
July 1999, diakses http: www.Aol.com/astanar/smith.html.13 January 2013.
Berhane, Y., Mekonnen E., Zerihun, M., and G. Assefa(1999), perception of fertility regulation in remote
community, Southern Ethiopia.Ethiopian journal of health development, 13 (3), 217-222.
Bongaarts J and S.W. Sinding.(2009), A respon to critics of family planning programs international
perspectives on sexual and reproductive health vol 35,No 1.
Copas,J.B(1998), Binnary Regression Models for Contaminated Data journal of Royal statistical
association, B 50 (2), 220-265.
Gusti A. (2006). faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap prevalensi unmet need di Provinsi
Bali,vol 11 no 2.
Hedrina Emi. (2011). Factor determinan unmet need suatu studi di kelurahan kayau kubu kecamatan Guguk
panjang kota Bukit Tinggi, http://pasca.unand.ac.id, diakses 17 Desember 2012.
Sirodjudin H. (2002).faktor-faktor yang berhubungan dengan unmet need KB. http://www.digilib.ui.ac.id,
diakses 10 November 2012.
Stephenson, R., and M. Hennick.(2004),barrier to family planning service use among the urban poor in
Pakistan Asia pacific population journal 19 (2).
Sudarianto, (2010), kepedulian terhadap unmet need KB di provinsi Sulawesi Selatan, http://www.dinkessulsel.go.id.Diakses 20 Desember 2012.
WHO, Maternal mortality in (2005), estimates developed by WHO, UNICEF, UNFPA and the world bank
Geneva.
World Bank (WB) (2001), womens Empowering women the Ethiopian womens development initiatives
project, Geneva

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

218

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN DI BLUD RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI


SULAWESI SELATAN
Maesanti Saada1, Ridwan Amiruddin2, Asiah Hamzah3
1
2

Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


Konsentrasi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin

ABSTRACT
LBW is not handled properly can cause problems in all organs of the baby's body systems.
Incidence of LBW in South East Sulawesi Province BLUD RSU in 2008 babies born with low birth weight
recorded 191 people (12.08%), 35 people died (18.3%), from 1581 deliveries, in 2009 the number of low
birth weight increased by 13.03% from 2071 deliveries, cases of LBW in 2010 was recorded at 14.05% of
1259 deliveries, while in the period from January to May 2011 recorded 35 people (6.9%) from 506
deliveries. This type of research is the design of case-control observational study. The case is the mother
who gave birth to LBW babies were recorded in the book of registers Southeast Sulawesi Provincial Hospital
Midwifery BLUD, whereas control is the mother who gave birth to LBW babies was not recorded in the book
of registers and Midwifery BLUD RSU Southeast Sulawesi Province. With a total sample of 204 people.
Analysis of the data used are the Odds Ratio and Logistic Regression The results showed that the Economic
family (OR = 3.96, 95% CI = 2.1 -. 7.3). History of illness during pregnancy (OR = 4.85, 95% CI = 2.5 -.
9.1). Age less than 20 years and over 34 years of age (OR = 11.21, 95% CI = 5.6 to 22.2). Parity 1 and
parity> 4 (OR = 3.34, 95% CI = 1.8 to 6.1). Spacing of <2 years (OR = 3.26, 95% CI = 1.7 to 6.0).
Placental weight <400 grams (OR = 9.94, 95% CI = 4.9 to 19.9). The quality of antenatal care is less well
(OR = 4.72, 95% CI = 2.5 to 8.9). Teratogenic materials (OR = 9.0, 95% CI = 4.5 to 17.6). Habits of the
mother (OR = 6.926, 95% CI = 3.6 to 13.2). The results of multivariate analysis proved that the teratogenic
material is the most dominant variable risk for LBW with a value of Exp (B) = 11.099.
Key words: LBW, Risk Factors
PENDAHULUAN
Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang dilahirkan dengan berat kurang dari 2500
gram atau kurang dari 5,5 pon. Secara umum BBLR dibagi menjadi dua yaitu : bayi prematur dan bayi kecil
untuk masa kehamilan. Bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) merupakan masalah kesehatan yang
sering dialami pada sebahagian masyarakat yang ditandai dengan berat lahir kurang dari 2500 gram.
Angka mortalitas bayi bervariasi pada tiap-tiap Negara, angka mortalitas terendah pada tahun 1991
terdapat di Jepang (4,4/1.000 kelahiran hidup), dan Skandinavia (5,6-6,1/1.000), angka mortalitas sedang di
Amerika Serikat (8,9/1.000), dan angka mortalitas tertinggi di Negara-negara yang berkembang (3050/1.000). Riskesda 2007, mendata berat bayi baru lahir dalam 12 bualn terakhir. Dari bayi yang diketahui
berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir, 11,5% lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram
atau BBLR. Sedangkan persentase BBLR hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003
menunjukkan 7,6% bayi lahir dengan BBLR (DepKes RI, 2008).
Data profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa pada tahun 2009
kejadian BBLR mencapai 95 kasus atau meningkat 0.3 persen dari tahun 2008, yang mana kasus yang
terjadi hanya 84 kasus (DinKes Provinsi Sutra, 2009). Studi pendahuluan di RSU Provinsi Sulawesi
Tenggara, diperoleh data persalinan pada tahun 2008 bayi yang lahir dengan BBLR tercatat 191 orang
(12,08%), meninggal 35 orang (18,3%), dari 1581 persalinan, tahun 2009 jumlah BBLR mengalami
peningkatan sebesar 13,03% dari 2071 persalinan, tahun 2010 tercatat kasus BBLR sebesar 14,05% dari
1259 persalinan, sedangkan pada periode Januari-Mei 2011 tercatat 35 orang (6,9%) dari 506 persalinan.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

219

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko (pendapatan keluarga, umur ibu, riwayat
penyakit, jarak kelahiran, berat plasenta, bahan teratogenik, paritas, kebiasaan ibu) kejadian BBLR di RSU
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011.
METODE PENELITIAN
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan menggunakan rancangan case
control. Populasi adalah semua ibu yang melahirkan bayi dalam kurun waktu tahun 2010 - 2011 di RSU
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Populasi dan Sampel
Sampel kasus adalah ibu yang melahirkan bayi BBLR, sedangkan sampel control adalah ibu yang
melahirkan bayi normal dan memiliki data yang lengkap tentang identitas diri dan tercatat dalam rekam
medik di ruang Nifas RSU Provinsi Sultra selama penelitian (3 bulan ). Kontrol adalah 68 dan control 136 (1
: 2) maka besar sampel dalam penelitian ini adalah 204. Penentuan sampel dilakukan dengan cara Purposive
Sampling.
Analisis Data
Analisis data dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0 untuk mengetahui hubungan
antara varibel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat dilakukan pada variabel yang telah dikategorikan
dengan menggunakan uji chi square (X2), menggunakan = 0,05 dan 95% Confidence Interval (CI).
HASIL
Tabel 1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan, jenis pekerjaan, di BLUD Rumah Sakit
Umum Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011
Variabel
n
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Jenis Pekerjaan
IRT
PNS
Swasta
Petani
Mahasiswa
Data Primer

Kasus
%

Kontrol

Jumlah

12
21
29
6

17,6
30,9
42,6
8,8

24
42
58
12

17,6
30,9
42,6
8,8

36
63
87
18

17,6
30,9
42,6
8,8

40
13
8
5
2

58,8
19,1
11,8
7,4
2,9

62
34
16
20
4

45,6
25,0
11,8
14,7
2,9

102
47
24
25
6

50,0
23,0
11,8
12,3
2,9

Tabel 2 Risiko Kejadian BBLR berdasarkan Pendapatan Keluarga, Riwayat Penyakit, Umur, Paritas,
Jarak Kelahiran, Berat Plasenta, Pelayanan ANC, Bahan teratogenik, Kebiasaan Ibu Di
BLUD RSU Provinsi Sultra Tahun 2011

Variabel
Pendapatan Keluarga
Risiko tinggi
Risiko rendah
Riwayat Penyakit
Risiko tinggi
Risiko rendah
Umur
Risiko tinggi
Risiko rendah
Paritas
Risiko tinggi
Risiko rendah
Jarak Kelahiran
Risiko tinggi
Risiko rendah

Kejadian BBLR
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR

Nilai OR CI 95%
p value
CI
p value

44
24

64,7
35,3

43
93

31,6
68,4

3,96

2,1-7,3

0,000

48
20

70,6
29,4

45
91

33,1
66,9

4,85

2,5-9,1

0,000

50
18

73,5
26,5

27
109

19,9
80,1

11,2

5,6-22,2

0,000

39
29

57,4
42,6

39
97

28,7
71,3

3,34

1,8-6,1

0,000

45
23

66,2
33,8

51
85

37,5
62,5

3,26

1,7-6,0

0,000

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

220

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Berat Plasenta
Risiko tinggi
54
79,4
38
27,9
9,94
4,9-19,9
0,000
Risiko rendah
14
20,6
98
72,1
Pelayanan ANC
Risiko tinggi
49
72,1
48
35,3
4,72
2,5-8,9
0,000
Risiko rendah
19
27,9
88
64,7
Bahan Teratogenik
Risiko tinggi
51
75,0
34
25,0
9,0
4,5-17,6
0,000
Risiko rendah
17
25,0
102
75,0
Kebiasaan Ibu
Risiko tinggi
48
70,6
35
25,7
6,92
3,6-13,2
0,000
Risiko rendah
20
29,4
101
74,3
Data Primer
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden kasus sebanyak 68 dan kontrol
sebanyak 136 kasus. Responden yang berpendidikan SMA yang paling banyak yaitu sebanyak 87 responden
(42,6%) sedangkan pendidikan paling renbdah adalah perguruan tinggi sebanyak 18 responden atau sekitar
8,8%. Untuk jenis pekerjaan responden yang paling banyak adalah IRT sebanyak 102 (50%) (Tabel 1).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa kelompok kasus berisiko tinggi kejadian BBLR berdasarkan
pendapatan keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, berat plasenta, pelayanan anc, bahan
teratogenik, kebiasaan ibu. Sebaliknya kelompok kontrol berisiko rendah kejadian BBLR berdasarkan
pendapatan keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, berat plasenta, pelayanan anc, bahan
teratogenik, kebiasaan ibu (Tabel 2)
Analisis Multivariat
Tabel 3 Variabel Yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian BBLR di BLUD Rumah Sakit Umum
Provinsi Sultra Tahun 2011
Variabel
Ekonomi keluarga
Riwayat penyakit
Umur
Paritas
Jarak kelahiram
BBP
ANC
Bahan teratogenik
Kebiasaan ibu
Constant
Data Primer

S.E

Wald

0,817
0,882
2.141
0.773
1.177
2.011
1.455
2.407
1.372
-18.591

0.532
0.526
0.539
0.544
0.541
0.585
0.561
0.559
0.551
2.904

2.365
2.810
15.771
2.019
4.733
11.806
6.722
18.522
6.201
40.991

df
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Sig.
0.124
0.094
0.000
0.155
0.030
0.001
0.010
0.000
0.013
0.000

Exp (B)
2.265
2.415
8.509
2.166
3.243
7.474
4.283
11.099
3.944
0.000

CI 95%
Lower Upper
0.799
6.419
0.861
6.772
2.958
24.480
0.746
6.294
1.124
9.362
2.373
23.541
1.426
12.865
3.709
33.215
1.339
11.614

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 8 variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam uji
multivariat, variabel yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR berdasarkan analisis bivariat adalah
ekonomi keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, BBL, pelayanan ANC, bahan teratogenik
dan kebiasaan ibu, didapatkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah bahan
teratogenik dengan nilai OR = 11,099.
Model persamaan yang terbentuk dari hasil uji logistik regresi adalah sebagai berikut:
Logit BBLR = - 18,591 + 0,817 (ekonomi keluarga) + 0,882 (riwayat penyakit) + 2.141 (umur) + 0,773
(paritas) + 1.177 (jarak kelahiran) + 2,011 (BBL) + 1.455 (ANC) + 2,407 (bahan teratogenik) + 1.372
(kebiasaan ibu).
PEMBAHASAN
Besar risiko pendapatan keluarga terhadap kejadian BBLR
Ekonomi keluarga dapat menunjukkan gambaran kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
gizi ibu selama hamil yang berperan dalam pertumbuhan janin. Keadaan sosial ekonomi sangat berperan
terhadap timbulnya prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
disebabkan keadaan gizi yang kurang baik dan periksa hamil.\
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 3,96 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 2,1 7,3. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai status
ekonomi keluarga rendah merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu dengan status ekonomi

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

221

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

keluarga rendah (< 930.000) memiliki risiko 3,96 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan
ibu yang mempunyai status ekonomi keluarga tinggi ( 930.000).
Besar risiko riwayat kesehatan terhadap kejadian BBLR
Penyakit yang diderita ibu selama hamil tentu akan sangat berhubungan dengan kejadian BBLR.
Penyebabnya adalah kurangnya asupan zat nutrisi ke bayi yang dikandungnya. Pada penelitian ini masalah
yang dominan dialami oleh ibu saat hamil adalah emesis gravidarum/hiperemesis.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 4,85 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 2,5 9,1. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai
riwayat penyakit saat hamil merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai
riwayat penyakit memiliki risiko 4,85 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang
tidak mempunyai riwayat penyakit.
Besar risiko umur terhadap kejadian BBLR
Prognosa kehamilan sangat ditentukan oleh usia seseorang. Umur yang terlalu muda atau
kurang dari 17 tahun dan umur yang terlalu lanjut lebih dari 34 tahun merupakan kehamilan risiko tinggi.
Kehamilan pada usia muda merupakan faktor risiko hal ini disebabkan belum matangnya organ
reproduksi untuk hamil (endometrium belum sempurna) sedangkan pada umur diatas 35 tahun endometrium
yang kurang subur serta memperbesar kemungkinan untuk menderita kelainan kongenital, sehingga dapat
berakibat terhadap kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin yang sedang dikandung.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 11,21 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 5,6 22,2. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai umur
<20 - >35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai umur <20 >35 tahun memiliki risiko 11,21 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang
berumur 20-35 tahun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian data SDKI Indonesia bahwa umur ibu yang kurang
dari 20 tahun berisiko 1,5 kali lebih besar melahirkan BBLR. Demikian pula pendapat Hassan el.al (1985)
bahwa angka prematuritas terendah pada umur antara 20 sampai 35 tahun. Menurut Cassandy (2001),
melahirkan pada umur kurang dari 20 merupakan faktor risiko terjadinya.
Besar risiko paritas terhadap kejadian BBLR
Paritas adalah jumlah anak yang dikandung dan dilahirkan oleh ibu. Paritas primipara yaitu wanita
yang pernah melahirkan bayi dengan berat janin diatas 2500 gram pada umur kehamilan 37 sampai 42
minggu. Mereka mempunyai risiko 1,32 kali lebih besar untuk terjadi BBLR. Paritas yang berisiko
melahirkan BBLR adalah paritas 0 yaitu bila ibu pertama kali hamil dan paritas lebih dari empat. Hal ini
dapat berpengaruh pada kehamilan karena terlalu sering melahirkan dapat mempengaruhi kondisi rahim ibu
pada Ibu yang pertama kali hamil.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 3,34 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 1,8 6,1. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai paritas
1 atau 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai paritas 1 atau
4 kali memiliki risiko 3,34 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang mempunyai
paritas 2-3 kali.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian-penelitian di RSU Margono Purwokerto dan di
Sukabumi karena pada paritas 1 dan lebih dari 4 jumlahnya sama pada kelompok BBLR dan kelompok
BBLN.
Besar risiko jarak kelahiran terhadap kejadian BBLR
Jarak kelahiran adalah waktu sejak ibu hamil sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak
kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih
dan pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal, namun sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi
janin yang dikandung.
Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berpengaruh pada kehamilan berikutnya karena kondisi rahim
ibu untuk hamil kembali sebelum jarak kehamilan sebelumnya kurang dari 2 tahun. Selain itu ibu juga secara
psikologis belum siap untuk hamil kembali karena anak yang sebelumnya masih memerlukan perhatian dari
ibu, sehingga jika ibu hamil kembali perhatian ibu tidak lagi fokus kepada anak namun juga pada
kehamilannya.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 3,26 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 1,7 6,0. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai jarak
kelahiran < 2 tahun merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai jarak
kelahiran < 2 tahun memiliki risiko 3,34 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu
yang mempunyai jarak kelahiran 2 tahun.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Joeharno (2008), bahwa jarak kelahiran
merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan jarak kelahiran rapat berisiko 2 kali untuk
melahirkan bayi dengan BBLR. Karena proses pengembalian kondisi setelah persalinan tidak hanya
selesai setelah nifas berakhir, akan tetapi membutuhkan waktu yang lebih panjang sehingga dibutuhkan

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

222

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

rentang waktu yang cukup bagi organorgan tubuh untuk dibebani dengan proses kehamilan dan persalinan
lagi (Kusmiyati Y dkk, 2008).
Besar risiko besar dan berat plasenta terhadap kejadian BBLR
Pada pertumbuhan intra uteri normal, pertambahan berat plasenta sejalan dengan pertambahan berat
janin. Berat lahir memiliki hubungan dengan berat plasenta. Hal ini disebabkan karena aliran darah uterus
yang melakukan transfer oksigen dan nutrisi melalui plesenta dapat berubah. Disfungsi plasenta ini dapat
berakibat pada pertumbahan janin.
Pertumbuhan janin yang memadai diperlukan zat-zat makanan yang adekuat, dimana peranan
plasenta besar artinya dalam transfer makanan tersebut. Pertumbuhan janin yang paling pesat terjadi pada
stadium akhir kehamilan, plasenta bukan sekedar organ untuk transport makanan yang sederhana, tetapi juga
mampu menseleksi zat-zat makanan yang masuk dan proses lain atau resistensi sebelum mencapai janin.
Suplai zat-zat makanan kejanin yang sedang tumbuh tergantung pada jumlah darah ibu yang mengalir ke
plasenta dan zat-zat makanan yang diangkutnya. Efisiensi plasenta dalam mengkonsentrasikan, mensintesis
dan transport zat-zat makanan menentukan suplai makanan ke janin. Karbohidrat merupakan sumber utama
bagi janin dan ini diperoleh secara kontinue dari transfer glukosa darah ibu melalui plasenta.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 9,94 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 4,9 19,9. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai besar
dan berat plasenta < 400 gram merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai
besar dan berat plasenta < 400 gram memiliki risiko 9,94 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding
dengan ibu yang mempunyai besar dan berat plasenta < 400 gram.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ridwan Amiruddin (2007) yang menyatakan bahwa
berat plasenta merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR.
Besar risiko pelayanan ANC terhadap kejadian BBLR
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa
kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan kebidanan, pemeriksaan laboratorium atas indikasi tertentu serta indikasi dasar dan khusus.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 4,72 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 2,5 8,9. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai
pelayanan ANC < 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai
pelayanan ANC < 4 kali memiliki risiko 4,72 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu
yang mempunyai pelayanan ANC 4 kali.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kasriani (2009) yang
mengatakan bahwa antenatal care < 4 kali berisiko 9,7 kali dibandingkan ibu yang mempunyai antenatal care
>= 4 kali terhadap kejadian BBLR.
Besar risiko bahan teratogenik terhadap kejadian BBLR
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang terpapar
asap rokok maupun asap yang berasal dari pembakaran saat hamil. Hal ini menunjukkan bahwa paparan
bahan teratogenik saaat hamil menyumbangkan angka yang cukup besar terhadap kejadian BBLR.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 9,0 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 4,5 17,6. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai
keterpaparan terhadap bahan teratogenik merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang
mempunyai keterpaparan terhadap bahan teratogenik memiliki risiko 9,0 kali lebih besar untuk melahirkan
BBLR dibanding dengan ibu yang tidak mempunyai keterpaparan terhadap bahan teratogenik.
Sejalan dengan penelitian Monintja dan Hakimi (2004) menyatakan bahwa kebiasaan merokok,
minum obat-obatan, alkohol dan narkotika selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya bayi BLR.
Besar risiko kebiasaan ibu terhadap kejadian BBLR
Perbedaan kejadian BBLR pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan dan pola
makan yang telah dianut oleh masing-masing suku bangsa tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada
kondisi gizi ibu yang kemudian berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan janin.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 6,92 pada tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 3,6 13,2. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai
kebiasaan buruk merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai kebiasaan
buruk memiliki risiko 6,92 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang tidak
mempunyai kebiasaan buruk.
KESIMPULAN DAN SARAN
Faktor risiko kejadian BBLR adalah ekonomi keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak
kelahiran, BBL, pelayanan ANC, bahan teratogenik dan kebiasaan ibu, didapatkan variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah bahan teratogenik dengan nilai OR = 11,099. Olehnya itu,
perlunya pemberian informasi tentang faktor-faktor risiko BBLR, meningkatkan kemampuan penanganan
ibu hamil yang berisiko, Meningkatkan upaya sistem rujukan medis.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

223

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

DAFTAR PUSTAKA
B Kotch J. Maternal and Child Health : Program, Problem and Policy in Public Health. Aspen Publishers
Inc, Maryland. 1997
Bappenas. Angka Kematian Ibu. Jakarta. 2007
Hastono P, S. Analisis Data. Jakarta : FKM Universitas Indonesia. 2003
Hermiyanti S. Kesehatan Neonatal Indonesia. Jakarta : Lokakarya Nasional Kesehatan Neonatal. 2005
Hivre dan Ganatra. Determinant of Low Birth Weight; a Community Based Prospective Cohort Study, Indian
Pediatric. 1994; vol 31 (10 ) : 1221 1225
Hurlock E. Perkembangan Anak. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2002
Ichkovics J. Group Prenatal Care and Preterm Birth Weight : Result from a Matched Cohort study at Public
Clinics. Departments of Epidemiology and Public Health and obstetrics and gynecology. Yale
University. 2003
Istiarti T. Kaitan antara Kemiskinan dan Kesehatan. Yogyakarta :Media Pressindo. 2000
Lemeshow S. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan., Yogyakarta : UGM Press . 1997
Leveno. Prenatal Care and Low Birth Weight Infant. Jurnal Obstetric and Gynecology. 1995; Vol 66 (5)
Mainase J. Hubungan Faktor Ibu Hamil dengan Terjadinya Bayi Lahir Rendah di RSUD Dr M Haulussy
Ambon Maluku Surabaya : MIKM Universitas Airlangga. 2007
Mainne D, James McCathy. Maternal Mortality : Guidelines for Monitoring Program 2nd Ed June. New
York, N.Y, 10017. USA. United Children Fund, 1996
Manuaba I B.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Penerbit
EGC buku kedokteran. 1998
Mc Kenzie J. Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar. Jakarta : Penerbit EGC. 2007
Nur Nasry Noor, 2008. Pengantar Epidemiologi, EGC, Jakarta
Pantiawati I, 2010, Bayi Dengan BBLR. Nuha Medika. Yogyakarta
POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, Jakarta : FK UI. 1991
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 1999
Prawirohardjo S. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 2002
Ridwan A, Analisis Risiko Pajanan Asap Rokok Terhadap BBL di RSU Fatimah Makassar. 2005
Riwidikdo H. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Penerbit Mitra Cendekia. 2007
Rosemary F. Hubungan Layanan Antenatal dengan Kejadian BBLR di Kabupaten Bogor Prop Jawa Barat
Tahun 2007. Jakarta : PS IKM UI. 1997
Saraswati E. Faktor Kesehatan Reproduksi Ibu Hamil Dan Hubungannya Dengan Kejadian Bayi Berat
Lahir Rendah di Kota Sukabumi Tahun 2005 2006. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 1
No 3. 2006
Sarwani D. Beberapa Faktor yang berhubungan dengan BBLR (Studi Kasus di RS Margono Soekarjo
Purwokerto), Purwokerto : PSKM Unsoed . 2006
Sastroasmoro S. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto. 2000
Sitohang N. Asuhan Keperawatan pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah. Medan : P.S Ilmu Keperawatan,
FK Universitas Sumatra Utara. 2004
Sutanto M. Target Kesehatan dalam Tujuan Pembangunan Millenium. WHO Indonesia. 2005
Sutjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta :Buku Kedokteran EGC. 1995
Syafiq A ,Sandra Fikawati, Kepemilikan Buku KIA dan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta : FKM
UI. 2007
Trisnani W. Beberapa Faktor Maternal dan Sosial Ekonomi yang berhubungan dengan BBLR (Studi Kasus
di RSUD Batang), Semarang : FKM Undip. 2000
Yakubavich, Hana Shohan. Maternal Education as A Modifier of the Association Betwen Low Birth Weight
and Infant Mortality. International Journal of Epidemiology, 1998 ; XVII ;2
Yustina W C. Beberapa Faktor Risiko yang berhubungan dengan BBLR di RSUD Kabupaten Temanggung,
Semarang : FKM Undip. 1995

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

224

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

PENGARUH CERAMAH DAN DEMONSTRASI TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN


COMPUTER VISION SYNNDROME PADA SISWA SMKN KABUPATEN PANGKEP
Maryam Latief1, Ridwan Amiruddin2, Masni3
1
Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep
2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Biostatistik/ KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Lecture and demonstration methods are effective in changing behavior as measured by knowledge
and attitudes. This study aims to determine the effect of a lecture and demonstration methods to improve the
students' knowledge and attitude in preventing computer vision syndrome (CVS) at SMKN I Bungoro, SMKN
I Minasate'ne, and SMKN I Mandalle Pangkep District. This research was a quasi experimental with
nonrandomized control group pretest-posttest design. The study sample were 75 students of class I and
computer engineering department selected by purposive sampling. Data obtained from the questionnaire
questions. The effect of the lecture and demonstration methods analyze by a paired t test, unpaired t test and
One-Way ANOVA. The results showed that of the 75 respondents were selected as sample 56% were male
and the average age of all groups was 15 years. There is a significant difference of knowledge and attitude
scores between lecture groups, demonstration group, and the control group at the post-test (p = 0.000).
There is the effect of the lecture and demonstration method to increase knowledge score (p = 0.000) and
attitude score (p = 0.000) about CVS. Lecture method is more effective than demontration method in
increasing knowledge score while the demonstration method is more effective than lecture method in
improving the attitude score. Concluded that there was the effect of a lecture and demonstration methode of
the knowledge and attitudes in the prevention of CVS. Researchers recommend a replication study using a
lecture and demonstration or by combining both methods to be more effective in measuring improvments of
knowledge and attitudes about CVS.
Keywords: lecture, demonstration, knowledge, attitude, computer vision syndrome
PENDAHULUAN
Penggunaan komputer di berbagai sektor mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Aplikasi
komputer yang semakin komplit dan menarik berdampak pada meningkatnya durasi pemakaian. Nilai
tambah berupa efisiensi, kemudahan, kecepatan, ketersediaan dan validitas mendorong untuk semakin
berlomba memanfaatkan teknologi komputer dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang
hiburan dan edukasi (Amali, 2008). Jumlah pengguna komputer mencapai sekitar 1 milyar pada tahun 2010
sebagai akibat dari peningkatan jumlah pengguna baru di negara berkembang seperti Cina, India dan Rusia
(Amalia, dkk., 2010 dan Bhanderi, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Egbhokare dan Akwukwuma
di Benin Tahun 2005 menunjukkan bahwa anak remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di depan
internet dengan aktivitas utama mengirim email (100%), bermain game (84,78%) dan browsing (61,41%)
(Edema, dkk., 2010).
Meningkatnya interaksi dengan perangkat komputer di satu sisi menggembirakan karena
memberikan nilai-nilai efisiensi dan efektifitas tetapi di sisi lain akan merugikan kesehatan baik secara fisik
maupun psikologis (Murtopo, 2005). Dampak kesehatan tersebut sebagaimana yang dilaporkan pada
beberapa hasil penelitian antara lain: gangguan visual dan muskuloskeletal (Das, dkk., 2010, Dehghani, dkk.,
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

225

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

2008), computer vision syndrom (Ihemedu, dkk., 2010), stres (Sharma, dkk., 2006), dan sakit kepala
(Megwas dkk., 2009).
American Optometric Association mendefinisikan Computer Vision Syndrome (CVS) sebagai
kombinasi mata dan masalah visual terkait dengan penggunaan komputer (Rosenfield, 2011). Data dari
sejumlah penelitian menunjukkan bahwa masalah penglihatan terjadi 70%-90% pada populasi pengguna
komputer (Affandi, 2005, Sharma, dkk., 2006, Talwar, dkk., 2009, Das, dkk., 2010, Shrestha, dkk., 2011).
Bausch and Lomb melaporkan hampir 60 juta orang mengalami masalah penglihatan karena pekerjaan yang
menggunakan komputer dan satu juta kasus baru dilaporkan setiap tahunnya. Survei yang dilakukan oleh
optometris menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta pemeriksaan mata pertahun di Amerika Serikat dilakukan
untuk masalah penglihatan karena penggunaan komputer (Affandi, 2005).
Penglihatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan
termasuk dalam proses pendidikan. Penglihatan juga merupakan jalur informasi utama, gangguan kesehatan
mata pada anak usia sekolah akan sangat mempengaruhi kemampuan menyerap materi pembelajaran dan
berkurangnya potensi untuk meningkatkan kecerdasan. Keberadaan komputer di SMKN I Bungoro, SMKN I
Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep sangat membantu dalam proses pembelajaran dan
dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran. Sebagai institusi pendidikan yang materi pembelajarannya
banyak terkait dengan pemakaian komputer, maka diperlukan pendidikan kesehatan tentang efek
penggunaan komputer.
Pemilihan metode pendidikan yang tepat akan berpengaruh pada efektifitas hasil yang akan dicapai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ceramah dan demonstrasi efektif dalam merubah perilaku yang
diukur melalui perubahan pengetahuan dan sikap siswa. Penelitian Azeem, dkk. (2011) di Fayoum
University, Mesir menunjukkan bahwa metode ceramah dengan durasi satu jam berhasil meningkatkan skor
pengetahuan dan sikap responden secara signifikan dengan nilai p masing-masing sebesar 0.001. Penelitian
Goldstain, dkk. (2006) menunjukkan bahwa metode demonstrasi menggunakan media video berhasil
meningkatkan pengetahuan dan sikap penderita low vision terhadap terapi yang dijalaninya (p = 0,001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap
pengetahuan dan sikap siswa dalam pencegahan computer vision syndrome di SMKN I Bungoro, SMKN I
Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Eksperimen Semu (Quasi eksperiment) dengan rancangan
Nonrandomized Control Group Pretest Posttest Design. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri I
Bungoro, SMKN I Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep. Pemilihan lokasi penelitian
berdasarkan pertimbangan bahwa belum pernah diadakan pendidikan kesehatan terkait efek penggunaan
komputer pada ketiga sekolah tersebut dan ketiga sekolah tersebut merupakan sekolah negeri yang terletak
di kecamatan berbeda sehingga intervensi yang diberikan lebih dapat dikontrol.
Populasi dan sampel
Populasi penelitian adalah siswa kelas I Jurusan Teknik Komputer dan jaringan yang terdaftar di SMK
Negeri I Bungoro, SMKN I Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep sebanyak 230 siswa.
Sampel penelitian sebanyak 75 siswa kelas I Jurusan Teknik komputer dan Jaringan yang dipilih secara
purposive sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu: siswa yang duduk di kelas 1, Jurusan Teknik
Komputer dan Jaringan dan bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan
penelitian.
Analisis data
Data diolah dan dianilisis di komputer menggunakan program SPSS for Windows 20. Analisis pengaruh
metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap skor pengetahuan dan sikap dilakukan melalui uji t
berpasangan, uji t tidak berpasangan dan uji One-Way Anova karena data berdistribusi normal baik pada
kelompok ceramah, kelompok demonstrasi maupun kelompok kontrol.
HASIL
Karakteristik sampel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 75 responden yang terpilih sebagai sampel 56%
diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan rata-rata berumur 15 tahun.
Pengaruh metode ceramah terhadap pengetahuan
Tabel 1 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden
sebelum dan setelah pelaksanaan metode ceramah (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik menggunakan uji
tidak berpasangan antara kelompok ceramah dan kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan
signifikan rata-rata skor pengetahuan responden pada saat pre test (p = 0,214 > 0,05) sedangkan pada saat
post test didapatkan ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan pada kedua kelompok tersebut (p =
0,000 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap pengetahuan
responden tentang CVS.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

226

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 1. Skor pengetahuan responden pada kelompok ceramah


Nilai Statistik
Mean
SD
SE
p value
Data Primer

Skor pengetahuan
Pre test
7,20
1,683
0,337

Post test
13,32
1,435
0,287
0,000

Pengaruh metode ceramah terhadap sikap


Tabel 2 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden sebelum dan
setelah pelaksanaan metode ceramah (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik menggunakan uji t tidak
berpasangan antara kelompok ceramah dan kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan signifikan
rata-rata skor sikap responden pada saat pre test (p = 0,930 > 0,05) sedangkan pada saat post test didapatkan
ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap pada kedua kelompok penelitian nilai (p = 0,000 < 0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap sikap responden tentang CVS.
Tabel 2. Skor sikap responden pada kelompok ceramah
Nilai Statistik
Mean
SD
SE
p value
Data Primer

Skor sikap
Pre test
7,48
1,939
0,388

Post test
11,04
1,947
0,389
0,000

Pengaruh metode demonstrasi terhadap pengetahuan


Tabel 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden
sebelum dan setelah pelaksanaan metode demonstrasi (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik pada saat pre test
didapatkan nilai p = 0,014 < 0,05 dan pada saat post test nilai p = 0,000 < 0,05 yang menunjukkan bahwa
ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden antara kelompok demonstrasi dan kelompok
kontrol baik pada saat pre test maupun post test. Skor pengetahuan pada kelompok metode demonstrasi
meningkat sebesar 48,9% setelah intervensi sedangkan pada kelompok kontrol hanya 7,3% sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap pengetahuan responden tentang CVS.
Tabel 3. Skor pengetahuan responden pada kelompok demonstrasi
Nilai Statistik
Mean
SD
SE
p value
Data Primer

Skor pengetahuan
Pre test
7,92
1,956
0,391

Post test
11,80
2,102
0,420
0,000

Pengaruh metode demonstrasi terhadap pengetahuan


Tabel 4 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden sebelum dan
setelah pelaksanaan metode demonstrasi (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik menggunakan uji tidak
berpasangan antara kelompok demonstrasi dan kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan signifikan
rata-rata skor sikap responden pada saat pre test (p = 0,234 > 0,05) sedangkan pada saat post test didapatkan
ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap pada kedua kelompok penelitian nilai (p = 0,000 < 0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode demonstrasi terhadap sikap responden tentang
CVS.
Tabel 4. Skor sikap responden pada kelompok demonstrasi
Nilai Statistik

Skor sikap
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

227

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Pre test
6,84
2,173
0,435

Mean
SD
SE
p value
Data Primer

Post test
11,32
1,725
0,345
0,000

Perbandingan pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap pengetahuan


Analisis perbedaan skor pengetahuan tentang CVS antara responden yang mendapat metode
ceramah dan metode demonstrasi menggunakan uji t tidak berpasangan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p
= 0,004 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden
setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian. Peningkatan skor pengetahuan responden
lebih tinggi pada kelompok ceramah yaitu 85% (7,20 menjadi 13,32) dibanding kelompok demonstrasi
yang hanya sebesar 48,9% (7,92 menjadi 11,80) pada saat post test.
Perbandingan pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap sikap
Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,593 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok
penelitian. Meskipun tidak ada perbedaan secara signifikan namun peningkatan rata-rata skor sikap
responden lebih tinggi pada kelompok demonstrasi yaitu 65,5% (6,84 menjadi 11,32) dibanding kelompok
ceramah yang hanya sebesar 47,6% (7,48 menjadi 11,04). Perbandingan peningkatan skor pengetahuan dan
skor sikap responden dapat dilihat pada gambar 1.

85.0
Ceramah 48.9

65.5
47.6
Demonstrasi

100
50
0
Pengetahuan

sikap

Gambar 1. Peningkatan Skor pengetahuan dan skor sikap Responden


PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap peningkatan skor
pengetahuan dan skor sikap responden tentang CVS setelah intervensi dengan nilai p masing-masing sebesar
0,000 < 0,05. Peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap pada kelompok ceramah dibandingkan pula
dengan hasil post test kelompok kontrol (tanpa intervensi). Hal ini berguna untuk mengetahui apakah
perubahan skor pengetahuan dan skor sikap responden betul-betul karena metode ceramah yang diterima
responden. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan dan
skor sikap responden antara kelompok ceramah dan kelompok kontrol (p = 0,000) setelah intervensi,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap skor pengetahuan dan skor sikap
responden tentang CVS.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

228

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap responden setelah mendapatkan pendidikan
kesehatan metode ceramah sesuai dengan teori pendidikan dan perilaku kesehatan. A Joint Committee on
Terminology in Health Education of United States menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah
pengalaman belajar yang bertujuan untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku yang ada
hubungannya dengan kesehatan perorangan ataupun kelompok (Machfoedz, dkk., 2009). Penelitian ini
diarahkan pada tahap edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, merubah sikap serta
mengarahkan kepada perilaku penggunaan komputer yang sehat dalam rangka pencegahan CVS.
Penelitian Toama, dkk. (2012) pada pengguna komputer di Alexandria menemukan bahwa
pendidikan kesehatan melalui pemberian pedoman ergonomis penggunaan komputer secara signifikan
meningkatkan pengetahuan responden tentang cara penggunaan komputer yang aman dari 33,70% menjadi
85,40%. Penggunaan komputer secara ergonomis pada penelitian ini juga dimasukkan dalam materi ceramah
dengan bantuan media pembelajaran.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Azeem, dkk. (2011) di Fayoum University, Mesir
yang menunjukkan bahwa metode ceramah dengan durasi satu jam berhasil meningkatkan skor pengetahuan
responden secara signifikan (p = 0.001). Hasil penelitian Nederifar, dkk. (2008) di Iran juga menunjukkan
bahwa ada perbedaan signifikan skor pengetahuan responden setelah mendapatkan metode ceramah (8,1
menjadi 12,27).
Metode ceramah dalam penelitian ini berhasil meningkatkan skor sikap responden secara
signifikan. Hal ini tidak terlepas dari penguasaan materi dan penggunaan alat bantu semaksimal mungkin
oleh pemateri. Meskipun ceramah merupakan metode yang tradisional dan sering dianggap sebagai metode
yang membosankan, namun hal ini diatasi dengan penggunaan media slide dengan warna dan gambar yang
menarik serta bahasa yang mudah dimengerti, hal ini terlihat dari antusias peserta dalam mengikuti materi.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahmoodabad, dkk. (2008) juga menunjukkan adanya peningkatan
skor sikap secara signifikan (p = 0,001) dalam pencegahan Brucellosis pada siswa SMA di Iran setelah
mendapatkan metode ceramah dan media slide. Penelitian lain yang dilakukan di Mesir juga memperlihatkan
hal yang sama dimana skor sikap responden meningkat pula secara signifikan (p = 0.001) setelah metode
ceramah dengan durasi satu jam (Azeem, dkk., 2011).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada pengaruh metode demonstrasi terhadap
peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap responden tentang CVS setelah intervensi dengan nilai p
masing-masing sebesar 0,000 < 0,05. Perbandingan hasil post test antara kelompok demonstrasi dan
kelompok kontrol juga menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan dan skor
sikap antara kedua kelompok tersebut pada saat pelaksanaan post test (p = 0,000).
Meningkatnya skor pengetahuan dan skor sikap responden setelah mendapatkan metode
demonstrasi tidak terlepas dari kelebihan metode ini. Melalui metode demontrasi, verbalisme dapat dihindari
karena peserta langsung memperhatikan bahan pelajaran/ materi yang dijelaskan, proses pembelajaran lebih
menarik, sebab siswa tidak hanya mendengar tetapi juga melihat peristiwa yang terjadi, dengan pengamatan
secara langsung maka peserta dapat membandingkan antara teori dan kenyataan sehingga mereka akan
meyakini kebenaran materi yang disampaikan.
Efektifitas metode demontrasi menggunakan video juga terlihat pada penelitian Goldstain, dkk.
(2006) dimana terjadi peningkatan pengetahuan penderita low vision terhadap terapi yang dijalaninya setelah
intervensi (p = 0,001). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Jahan, dkk. (2009) di Iran dimana
penggunaan media audio visual menggunakan film juga meningkatkan skor rata-rata pengetahuan secara
signifikan (p=0,003). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Wibawa (2007) yang menunjukkan
bahwa penggunaan metode demonstrasi berhasil memberikan perbaikan sikap positif siswa terhadap
penyakit DBD sebesar 29,68%.
Rata-rata skor pengetahuan responden antara kelompok yang mendapatkan metode ceramah dengan
metode demonstrasi pada penelitian ini berbeda secara signifikan (p = 0,004). Peningkatan rata-rata skor
pengetahuan responden pada kelompok ceramah lebih tinggi (85%) dibanding kelompok demonstrasi
(48,9%), namun tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden pada kedua kelompok tersebut
baik pada saat pre test (p = 0,277) maupun post test (p = 0,593). Meskipun demikian, kedua kelompok ini
mengalami peningkatan skor sikap setelah intervensi. Peningkatan rata-rata skor sikap responden pada
kelompok demonstrasi lebih tinggi (65,5%) dibanding kelompok ceramah (47,6%).
Penyampaian ceramah dengan bantuan slide menggunakan bahasa dan gambar yang menarik
diharapkan dapat merangsang visual dan auditori peserta, sehingga secara kinestik mereka mau terlibat
langsung pada saat diskusi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Stegeman and Zydney (2010) yang
melakukan kajian literatur dari berbagai penelitian yang menggunakan multimedia. Mereka menyimpulkan
bahwa penggunaan multimedia bermanfaat dalam melengkapi gaya mengajar tradisional (Roberts, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang, dkk. (2006) untuk melihat efektivitas video interaktif
terhadap pembelajaran yang dibandingkan dengan metode ceramah menunjukkan bahwa media video secara
signifikan lebih bermakna dalam menarik minat belajar siswa (p = 0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Sulastri (2012) di SMAN 9 Balikpapan yang menunjukkan bahwa ada perbedaan skor sikap pada

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

229

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

kedua kelompok penelitian dimana kelompok yang menggunakan video rerata sikapnya (33,46) lebih besar
dibanding yang tanpa video (25,94).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah dan demonstrasi terhadap pengetahuan
dan sikap dalam pencegahan CVS. Peneliti merekomendasikan adanya replikasi penelitian menggunakan
metode ceramah dan metode demonstrasi tentang CVS atau dengan mengkombinasikan kedua metode
tersebut agar lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang CVS.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi E.S. (2005). Sindrom Penglihatan Komputer (Computer Vision Syndrome). Majalah Kedokteran
Indonesia, 3: 297-300.
Amali L.N. (2008). Pendekatan Ergonomi Untuk Mengurangi Gangguan Kesehatan Akibat Penggunaan
Komputer. Jurnal Teknik, 2: 207-219.
Amalia, H., Suardana, G.G. dan Artini, W. (2010). Accomodative Insufficiency as Cause of Asthenopia in
Computer-Using Students. Universa Medica, 29 (2): 78-82.
Azeem S.T. A., Elsayed E.T., Sherbiny N.A.E.K & Ahmed L.A.E. (2011). Promotion of knowledge and
attitude towards premarital care: An interventional study among medical student in Fayoum
University. Journal of Public Health and Epidemiology, 3(3): 121-128.
Bhanderi, D.J., Choudhary, S. and Doshi, V.G. (2008). A Community-Based Study of Asthenopia in
Computer Operators. Indian Journal Ophthalmology, 56 (1): 5155.
Das, B. and Ghosh, T. (2010). Assesment of Ergonomical and Occupational Health Related Problems among
VDT Workers of West Bengal, India. Asian Journal of Medical Sciences, 1: 26-31.
Dehghani A., Tavakoli M., Akhlaghi M., Naderi A. & Eslami F. (2008). Prevalence of Ocular Sympton and
Sign among Professional Computer Users in Asfhan, Iran. JRMS, 13 (6): 303-307.
Edema O.T. & Akwukwuma. (2010). Asthenopia and Use of Glasses among Visual Display Terminal (VDT)
Users. Int. Journal. Trop. Med, 5 (2): 16-19.
Goldstein R.B., Dugan E., Trachtenberg F. & Peli E. (2006). The Impact of a Video Intervention on the Use
of Low Vision Assistive Devices. Boston: Harvard Medical School.
Ihemedu C.O. & Omolase C.O. (2010). The Level of Awareness and Utilization of Computer Shields among
Computer Users in a Nigerian Community. Asian Journal of Medical Science, 1: 49-52.
Jahan R., Ghaffari, Tavakoli R. & Rafati. (2009). The Impact of Group Discussion and Film on Promoting
Knowledge and Attitudes about HIV/AIDS in Medical University Students: A Comparing Study.
World Applied Sciences Journal, 6 (7): 961-965.
Machfoedz I. & Suryani E. (2009). Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan. Yogyakarta:
Fitramaya.
Megwas A.U. & Agusboshim R.C. (2009). Visual Symptoms among Non-Presbyopic Video Display
Terminal (VDT) Operators in Owweri, Nigeria. JNOA, 15: 33-36.
Mahmoodabad S.S.M., Barkhordari A., Nabizadeh M. & Ayatollahi J. (2008). The Effect of Health
Education on Knowledge, Attitude and Practice (KAP) of High School Students' Towards
Brucellosis in Yazd. World Applied Sciences Journal, 5 (4): 522-524.
Murtopo I. & Sarimurni. (2005). Pengaruh Radiasi Layar Komputer Terhadap Kemampuan Daya Akomodasi
Mata Mahasiswa Pengguna Komputer Di Universitas Muhamadiyah Surakarta. Jurnal Penelitian
Sains dan Teknologi, 2: 153-163.
Naderifar, Akbarizadeh, & Bayat. (2008). The impact of lecturing and video playing methods (lecturing and
video playing) on the knowledge of third grade male students about prevention of accidents and
injuries in Zahedan. Journal of Jahrom University of Medical Sciences, 9. (4): 41-47.
Roberts A. (2012). Beyond the Lecture: Interactive Strategies in the Health Profession Education
Curriculum. Journal of Career and Technical Education, 27 (1): 48-55.
Rosenfield. (2011). Computer Vision Syndrome: A Review of Ocular Causes and Potential Treatments. OPO
The Journal of The Collage of Ophthometrists, 31: 502515.
Sharma A.K., Khera S. & Khandekar J. (2006). Computer Related Health Problems among Information
Technology Proffesionals in Dehli. Indian Journal of Community Medicine, 31 (1): 36-38.
Shrestha G. S., Mohamed F.N. & Shah D.N. (2011). Visual Problems among Video Display Terminal (VDT)
Users in Nepal. Journal Optom, 4 (2): 56-62.
Sulastri, Thaha R.M. & Russeng S.S. (2012). Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Video dalam
Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri
di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012 (Tesis). Makassar: Universitas Hasanuddin.
Talwar R., Kapoor R., Puri K., Bansal K. & Singh, S. (2009). A Study of Visual and Musculoskeletal Health
Disorders among Computer Proffesionals in NCR Delhi. Indian Journal Community Med, 34(4):
326328.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

230

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Toama Z., Mohamed A.A., & Hussein N.K.A. (2012). Impact of a Guideline Application on the Prevention
of Occupational Overuse Syndrome for Computer Users. Journal of American Science, 8 (2): 265282
Wibawa C. (2007). Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi dengan Pemutaran Video Tentang
Pemberantasan DBD Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Anak SD di Kecamatan
Wedarijaksa Kabupaten Pati. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 2: 115-129.
Zhang D., Zhou L., Briggs R.O. & Nunamaker J.F. (2006). Instructional video in e-learning: Assessing the
Impact of Interactive Video on Learning Effectiveness. Elsevier. Information & Management, 43:
1527.

DETERMINAN KEJADIAN KELAHIRAN BAYI PREMATUR DI RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH PROF. DR. H. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO
Mira Astri Koniyo, Buraerah H. Abd. Hakim, A. Arsunan Arsin,
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Gorontalo, Bagian Kesehatan Reproduksi Dan
Keluarga Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRACT
The premature babies born are indicative of the occurrence of impaired growth and development of the baby
during pregnancy, which is motivated by a variety of factors, for example the deficiency nutrient and stress
of pregnancy is an important risk factor that impacts directly and indirectly to producedcathecol amines
(adrenaline and noradrenaline) that trigger uterine contractions which could potentially lead to premature
birth.This study aimed to determine the risk of the local cultural values, utilization of antenatal care services
(ANC), a history of infectious diseases, maternal nutritional status, cigarette smoke exposure on preterm
birth in the General Hospital Prof. DR. H. Aloei Saboe Gorontalo City, Gorontalo Province. The study
design was a "Case Control Study", the unit of observation is the case of the mothers who gave birth to
infants aged less than 37 weeks, by the number of 93 mothers, taken as purposive, and control was the
mothers gave birth to a full term by the number of 93 mothers, were taken by simple random sample. Data
analysis was performed using univariate, bivariate, and multivariate with logistic regression. The results
found variable (local cultural values, OR = 2.3; Utilization of ANC OR = 2.8, OR = 5.6 history of infection,
nutritional status of pregnant women OR = 4.4; cigarette smoke exposure OR = 3.9, with a significance
value of each p <0.05) higher risk of premature birth. Conclusion: All variables as determinants, 3
variables (history of infection, maternal nutritional status, exposure to cigarette smoke) gives risk to preterm
delivery and a history of infectious diseases is a major determinant premature birth.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

231

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Keywords: Premature birth; culture in nutritional status; utilization of ANC; history of infection,
exposure to cigarette smoke.
PENDAHULUAN
Kelahiran prematur adalah bentuk kelahiran abnormal yang ditandai dengan umur kehamilan
antara 20 minggu sampai dengan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dari hari pertama haid terakhir.
Kelahiran prematur ini merupakan indikasi terhadap rendahnya kualitas pelayanan rumah sakit. Menurut
( CDC, 2007) memberi kontribusi 5 15 % terhadap angka kematian bayi. Target Millennium
Development Goals (MDGs) ke 4 adalah menurunkan angka kematian bayi menjadi 2/3 dalam kurun waktu
1990-2015 menjadi 23% per 1000 kelahiran hidup, (SDKI, 2007 dalam Profil Data Kesehatan Indonesia,
2011). Kelahiran prematur berawal dari terjadinya gangguan pada masa kehamilan utamanya pada system
sirkulasi foeto maternal yang memberi dampak terjadinya defisiensi bahan nutrient. Selanjutnya stress yang
berkepanjangan yang dialami ibu selama masa kehamilan sebagai pemicu dan memperberat mekanisme
nutrisi dari ibu ke bayi serta mempengaruhi plasenta dan kontraksi rahim sehingga terjadi kelahiran
prematur.
Tujuan penting dari kehamilan ibu adalah menjalani proses kehamilan dengan baik tanpa masalah
kesehatan yang akan mempengaruhi status kesehatan ibu serta pertumbuhan dan perkembangan janin secara
maksimal. Apabila ibu mengalami kelahiran prematur maka bayi mempunyai kesulitan untuk beradaptasi
dengan kehidupan diluar rahim sebagai akibat ketidakmatangan sistem organ tubuhnya. Masalah lain adalah
perkembangan neurologi yang terganggu seperti gangguan intelektual, retardasi mental, kelainan perilaku
dan hiperaktif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan (Chiara, N dalam Wardayati 2012),
Bayi prematur dengan usia kehamilan < dari 32 minggu berisiko tiga kali menderita masalah kejiwaan ketika
semakin besar. Bayi prematur 2 kali berpotensi mengalami skizofrebua dan bentuk psikosis, risiko depresi
berat dan gangguan makan 2,9 sampai 3,5 kali lebih tinggi. Peningkatan risiko gangguan mental pada anak
yang lahir prematur disebabkan oleh perubahan dalam perkembangan otak. Akibat dari hal tersebut
selanjutnya memberikan kontribusi terhadap kejadian kematian bayi. Stress yang berkepanjangan pada ibu
selama masa kehamilannya juga akan menimbulkan kematian ibu.
Pada tingkat dunia rata-rata tingkat kelahiran prematur di 65 negara meningkat dari 7,5 % dengan
jumlah kelahiran prematur sebesar 2 juta kasus menjadi 8,6 persen dengan total 2,2 juta kasus kelahiran
prematur. Dinegara sedang berkembang angka kejadian kelahiran premature masih jauh lebih tinggi, di india
30%, Afrika Selatan 15%, Sudan 31% dan Malaysia 10%. Di Indonesia tercatat pada tahun 2009 memiliki
angka kelahiran prematur berkisar antara 10 - 20 % dan termasuk dalam peringkat kelima negara terbesar
dari kelahiran prematur, juga merupakan penyebab utama kematian dibidang perinatologi. (Wijayanegara,
2009). Berdasarkan data persalinan prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Gorontalo, dari bulan
Januari sampai dengan Desember 2012 tercatat sebanyak 93 kasus prematur dari 1210 persalinan normal
atau sekitar 13 % (Medical Record RSUD Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, 2012). Hal ini
diperkirakan akan terus meningkat pada masa yang akan datang dan akan berdampak pada kualitas sumber
daya manusia.
Penyebab kejadian kelahiran prematur disebabkan oleh faktor ibu adalah gangguan autoimun dan
infeksi yang meningkatkan risiko persalinan prematur. Hasil penelitian oleh Luong, (2010) bahwa kelahiran
prematur terjadi pada 4,1% vaginal douching secara signifikan terkait dengan bakteri vaginosis beresiko
pada usia kehamilan 32-34 minggu. Faktor sosial ekonomi terkait dengan nutrisi ibu selama kehamilan dari
hasil penelitian bahwa cukup pasokan nutrisi adalah faktor lingkungan yang paling penting yang
mempengaruhi hasil kehamilan. Kekurangan gizi pada ibu dapat berkontribusi pada peningkatan insidensi
kelahiran prematur dan pertumbuhan retardasi janin serta peningkatan resiko kematian ibu dan morbiditas.
Faktor gaya hidup yaitu, ibu hamil perokok memiliki peluang mengalami kelahiran prematur lebih besar.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh (Amiruddin. R, 2006), menunjukkan ibu-ibu yang terpapar rokok baik
itu ibu sendiri yang merokok maupun terpapar orang lain selama hamil memiliki kemungkinan 2,313 kali
lebih besar mengalami persalinan prematur dibandingkan dengan ibu yang pada saat hamil tidak terpapar
rokok. Ibu hamil yang terpapar rokok berpeluang melahirkan bayi premature 43,6 %.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kejadian kelahiran prematur masih
tinggi, serta pentingnya mengetahui penyebab lain yang memungkinkan risiko terjadinya kelahiran
prematur, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat besar risiko nilai budaya lokal,
pemanfaatan pelayanan ANC, riwayat infeksi, status gizi, dan keterpaparan asap rokok terhadap kelahiran
prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian menggunakan desain case control study. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Lokasi penelitian tersebut adalah satu-satunya
Rumah Sakit rujukan di wilayah Provinsi Gorontalo dan secara geografis sangat strategis karena terletak di

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

232

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

tengah kota yang menghubungkan kota Gorontalo dan kabupaten lain sehingga dapat dijangkau oleh semua
jenis kendaraan darat.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah
Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontao, Provinsi Gorontalo. Sampel sebanyak 186 yang terdiri dari :
kelompok kasus 93 ibu melahirkan prematur, yang diambil secara purposive dan kelompok kontrol 93 ibu
yang melahirkan normal, diambil secara simple random sampling
Analisis Data.
Data karakteristik, variabel dependen dan variabel independen diolah dengan menggunakan SPSS
For Windows 18. Untuk mengetahui faktor risiko kejadian kelahiran bayi prematur di Rumah Sakit Umum
Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo digunakan uji univariat, bivariat dan
multivariat.
HASIL
Hasil penelitian menemukan jumlah total responden 186 ibu yang melahirkan bayi prematur yang
terdiri dari : 93 ibu yang melahirkan bayi prematur sebagai kelompok kasus dan 93 ibu yang melahirkan
bayi normal sebagai kelompok kontrol. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Ibu Melahirkan Berdasarkan Kejadian Kelahiran Prematur di RSUD Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo tahun 2012
Variabel
Kasus
Kontrol
Jumlah

n
93
93
186

%
50,0
50,0
100

Data Primer
Hasil penelitian menemukan kelompok umur terendah umur < - 19 tahun dan 20-24 tahun masingmasing 7,5% sedangkan umur tertinggi antara 25 29 tahun 31,2%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
2. Hasil penelitian menemukan jenis pekerjaan Ibu sebagai URT yang terbesar 47,8 %, sedangkan yang
paling sedikit Buruh/karyawan 9,1%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian
menemukan pendidikan tertinggi SMA 45,7 %. Sedangkan pendidikan terendah SD 1,6 %. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Distribusi karakteristik umum ibu melahirkan di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo Provinsi Gorontalo Tahun 2012
Variabel
Kelompok Umur
< - 19
20 24
25 29
30 34
35 39
40 - >
Jumlah
Jenis Pekerjaan
URT
PNS/POLRI
Wiraswasta
Karyawan
Jumlah
Tingkat Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
D III
Perguruan Tinggi

Jumlah
n

Persen
%

14
14
58
41
34
25
186

7,5
7,5
31,2
22,0
18,3
13,4
100,0

89
60
20
17
186

47,8
32,3
10,8
9,1
100,0

3
28
85
59
11

1,6
15,1
45,7
31,7
5,9

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

233

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

Jumlah
Data Primer

INDONESI A

186

100,0

Hasil penelitian menemukan nilai budaya lokal memberi risiko 2,3 kali secara signifikan ( p <
0,05) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan
pemanfaatan ANC memberi risiko 2,8 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan riwayat infeksi selama kehamilan memberi
risiko 5,6 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya pada tabel 3. Hasil
penelitian menemukan status gizi ibu memberi risiko 4,4 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap
kelahiran prematur. Lebih jelasnya pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan keterpaparan asap rokok
memberi risiko 3,9 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya pada tabel
3.
Tabel 3 Hasil Analisis Multivariat Determinan Terhadap Kelahiran Bayi Prematur di RSUD Prof. Dr.
H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo Tahun 2012
Variabel
Nilai budaya local
Pemanfaatan pelayanan ANC
Riwayat penyakit infeksi
Status gizi ibu hamil
Keterpaparan asap rokok
Data Primer

P
0,020
0,008
0,003
0,000
0,002

OR
2,3
2,8
5,6
4,4
3,9

95% C.I
1,143-4,689
1,301-5,815
1,818-17,422
2,038,9,646
1,632-9,279

PEMBAHASAN
Penelitian ini terfokus pada penilaian faktor risiko yaitu nilai budaya lokal, pemanfaatan ANC,
riwayat infeksi, status gizi ibu hamil dan keterpaparan asap rokok terhadap kejadian kelahiran prematur.
Secara teoritis bahwa semua variabel memberi risiko terhadap kejadian kelahiran bayi prematur, dan setelah
dilakukan analisis semua variabel terbukti memberikan risiko secara signifikan terhadap kelahiran
prematur. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel merupakan variabel mandiri yang memiliki pengaruh
yang kuat dan semua variabel saling mempengaruhi terhadap kejadian kelahiran prematur.
Risiko nilai budaya lokal dengan kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu yang
menganut nilai budaya lokal memberi risiko 2,3 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur
dibandingkan dengan yang tidak menganut nilai budaya lokal. Budaya lokal yang dianut dalam penelitian ini
yaitu kepercayaan masyarakat Gorontalo bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi buah nenas akan terjadi
kelahiran pada kehamilan belum cukup bulan, karena hal itu maka tidak lazim bagi ibu hamil untuk
mengkonsumsi buah nenas. Menurut (Evans et. Al, 2009), nenas mengandung enzim bromealin yang
menstimulasi pengaruh pengeluaran prostaglandin yang menyebabkan stimulasi kontraksi uterus.
Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan (Katno, dkk, 2009), yang menyatakan bahwa konsumsi
buah nenas yang terlalu banyak bertanggung jawab terhadap kelahiran preterm, dikarenakan kandungan
enzim bromealin dapat merangsang terjadinya kontraksi secara dini. Menurut (Evans et. al, 2009), nenas
mengandung enzim bromealin yang menstimulasi pengaruh pengeluaran prostaglandin yang menyebabkan
stimulasi kontraksi uterus. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Puspitasari, Y,
2010), yang menyatakan konsumsi nenas merupakan faktor risiko kontraksi uterus ibu bersalin dengan nilai
5,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi. Hasil uji laboratorium tentang pengaruh
pemberian ekstrak buah nenas terhadap aktivitas kontraksi uterus hewan coba seperti marmot yang
dianggap mendekati sel tubuh manusia, juga memperlihatkan hasil yang signifikan, penelitian yang
dilakukan oleh (Muzzamman, 2009) dikatakan bahwa semakin meningkat jumlah pemberian ekstrak buah
nenas maka akan semakin meningkat aktivitas otot uterus hewan coba. Pemahaman tentang nilai budaya
tersebut cukup berperan dalam menentukan seorang ibu mengenai berbagai tata cara pemeliharaan
kehamilan, serta larangan-larangan tertentu khususnya yang bersangkut paut dengan masalah makanan serta
adat istiadat lainnya yang cenderung merugikan kesehatan ibu, yang dianggap mempengaruhi kelahiran
prematur.
Risiko pemanfaatan ANC terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu yang
tidak memanfatkan ANC memberi risiko 2,8 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur
dibandingkan dengan yang memanfaatkan pelayanan ANC. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak
memanfaatkan pelayanan ANC tidak dapat mendeteksi secara dini masalah kesehatan yang terjadi selama
kehamilan, tidak mengetahui perkembangan janin dalam kandungan, serta tidak mendapatkan infomasi
penting yang berhubungan dengan kehamilannya terutama upaya pencegahan stress ibu, yang akan
berdampak terhadap kelahiran prematur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suezanne T.
ORR, et.al, 2007), menemukan adanya risiko yang signifikan kecemasan ibu hamil dengan skor 5-6 terhadap
kelahiran prematur dibandingkan dengan skor 3. Menurut syaifudin (2001), mengklasifikasikan ibu hamil
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

234

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

dalam status risiko ringan, sedang dan berat tidak bisa dijadikan patokan lagi, karena semua ibu hamil
beresiko tinggi, walaupun dalam kehamilan berjalan normal, namun dalam persalinan bisa terjadi komplikasi
tanpa diprediksi sebelumnya, oleh karena itu setiap ibu hamil harus memeriksa diri secara teratur dan
mendapatkan pelayanan ANC yang optimal. Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh (Kramer. MS,
et.al, 2012), menemukan bahwa gizi ibu yang buruk berhubungan dengan gangguan pertumbuhan janin. Ibu
dan janin dengan gizi kurang dapat mengalami stress dan berakhir dengan persalinan prematur.
Risiko riwayat infeksi terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu yang
mempunyai riwayat infeksi memberi risiko 5,6 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur
dibandingkan dengan yang tidak mengalami riwayat infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa keterpaparan
infeksi pada masa kehamilan akan berdampak fatal selain bagi ibu juga bagi janin yang dikandungnya,
akibat dari berbagai mikroorganisme yang masuk ketubuh ibu akan masuk melalui pembuluh darah ke
plasenta yang akan di teruskan kepada janin. Janin yang terinfeksi menimbulkan gangguan pertumbuhan
yang menyebabkan kelahiran prematur. Berdasarkan teori penyakit infeksi (Bakterial vaginosis,
Trikomoniasis, TBC, Malaria) merupakan penyakit yang dapat menembus barier plasenta dan
mengakibatkan gangguan sirkulasi foetomaternal sebagai akibatnya terjadinya gangguan suplai nutrisi pada
janin yang berakibat terjadinya defisiensi nutrient dengan akibat lanjut terjadinya kelahiran prematur. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian bahwa wanita dengan bakteriuria tanpa gejala mempunyai risiko
persalinan prematur lebih tinggi daripada wanita tanpa bakteriuria. Hasil penelitian yang ditemukan oleh
(G.G.G Donders et.al, 2009) bahwa ibu hamil dengan Candida Trachomatis lebih besar kemungkinan
terjadinya kelahiran prematur (27%) meskipun hubungannya tidak terlalu jelas dengan RR=2,0, CI 95 %
sedangkan Nicesseria Gonorhoe jelas hubungannya dengan kelahiran prematur yakni RR=6,0. CI 95%
(<0,05).
Risiko status gizi ibu terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu dengan status
gizi kurang memberi risiko 4,4 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan
status gizi baik. Zat gizi merupakan zat yang terkandung dalam makanan yang diperlukan tubuh untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal bagi organ-organ tubuh. Kehamilan
menyebabkan meningkatnya metabolisme energi dan zat gizi, peningkatan ini diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin, besarnya perubahan metabolisme tubuh pada ibu akibat dari
fisiologis proses kehamilan sehingga kekurangan zat gizi yangdiperlukan pada saat hamil dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. Hal ini sejalan dengan Hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Theresa O Scholl et.al, 2012) bahwa ibu dengan anemia memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan
antara status gizi dengan kelahiran prematur p = 0.02. Teori yang mendukung menurut (Rosso dalam
Amiruddin , 2006), menjelaskan bahwa malnutrisi pada ibu ditemukan berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan fungsi plasenta, ukuran plasenta yang kecil dan kandungan DNA yang tereduksi. Hal ini menunjukkan
bahwa ukuran plasenta kecil maka transfer zat gizi untuk janin rendah akibatnya pertumbuhan janin
terhambat sehingga mengakibatkan kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah.
Risiko keterpaparan asap rokok terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan bahwa
keterpaparan asap rokok memberi risiko 3,9 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur
dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok. Hal ini menunjukkan bahwa rokok merupakan zat
yang berbahaya bagi kesehatan khususnya ibu hamil yang akan berdampak baik bagi ibu maupun janin.
Hasil penelitian yang mendukung yaitu menurut (Amiruddin R, 2006) bahwa ibu hamil yang terpapar asap
rokok 2,334 kali lebih besar melahirkan bayi prematur. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat
diasumsikan bahwa ibu hamil yang terpapar asap rokok baik secara aktif maupun pasif dapat menyebabkan
bayi terlahir dengan berat badan kurang. Racun nikotin yang terkandung dalam rokok dapat menghambat
proses aliran darah dari ibu kepada janin, akibatnya perkembangan bayi menjadi terlambat. Kondisi ini
berjalan terus hingga memasuki masa persalinan, dan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan kurang
dari 2500 gram. Selain itu, bayi juga dapat lahir prematur atau lahir dalam usia yang belum matang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis
peneltian, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang
menganut budaya lokal sebesar 2,3 kali disbanding dengan ibu yang tidak menganut budaya lokal, besar
risiko kejadian kelahiran prematur pada ibu yang tidak memanfaatkan pelayanan ante natal care (ANC) 2,8
kali dibanding dengan ibu yang memanfaatkan pelayanan ANC, besar risiko kejadian kelahiran bayi
prematur pada ibu yang mengalami riwayat infeksi 5,6 kali dibanding dengan ibu yang tidak mengalami
riwayat infeksi, besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang status gizi kurang 4,4 kali
dibanding dengan ibu yang status gizi baik, besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang
terpapar asap rokok 3,9 kali dibanding dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok.
Pentingnya memperhatikan asupan makanan yang bergizi untuk pemeliharaan kesehatan bagi ibu
dan perkembangan janin sesuai kebutuhan dan tidak mengkonsumsi nenas secara berlebihan, perlu dilakukan
sosialisasi tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan ante natal care untuk mengetahui lebih dini masalah

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

235

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

kesehatan pada masa kehamilan baik bagi ibu maupun janin khususnya adanya gejala infeksi, perlu adanya
penyuluhan secara intensif tentang bahaya rokok.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Ridwan, (2006), Risiko Asap Rokok dan Obat-obatan Terhadap Kelahiran Prematur di RS. ST.
Fatimah Makassar, Jurnal Medika Nusantara Jurusan Epidemiologi, Fakultas Kesmas, Universitas
Hasanudin
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), (2007), Briths: Final data for 2005,
http://www.cdc.gov/nchs/data/nvsr 56/nvsr 56_06.pdf ( acces 13 march,2008 )
Donders. GGG, et .al, (2012), The Association of Gonorrhea and Syphilis with premature birth and low
birthweight, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed diakses Sept 2012
Evans, et al. (2009). Postdates Pregnancy and Complementary Nursing. Journal BMC and Pregnancy and
Childbirth. Diakses dari http://www.biomedcentral.com/137223543/4/29
diunduh pada 15
Desember 2012
Katno & Pramono, (2009). Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Jurnal
Farmakologi
Indonesia.
Diakses
dari
http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat
%20tradisional.pdf diunduh pada 21 Desember 2012
Kramer MS, (2012), Determinants of low birth wight : Methodological assessment and metaanalysis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3322602 Bull World Health Organ 1987;65:663-737 diunduh
18November 2012.
Me Linh loung, et al,( 2010), Vaginal Douching, Bacterial Vaginosis and Spontaneus preterm birth,
University Montreal, oc http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed. diakses Sept 2012
Muzzamman, (2009), Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Nanas terhadap Kontraksi Uterus Marmut Betina.
Jurnal
Farmakologi
Indonesia.Edisi
3.
Di
Akses
dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_158_Kebidanan.pdf diunduh 21 Desember 2012
Profil Kesehatan Indonesia, (2011), diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
RSUD.Prof.Dr. H. Aloei Saboe, (2012), Profil Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe
Scholl. O. Theresa, et. al, (2012), Anemia vs Iron Deficiency: Increased risk of preterm delivery in a
prospective study, The Journal of Clinical Nutrition, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed.
Diunduh 21 Desember 2012
Suezanne. T. ORR, et. al, (2007), Maternal Prenatal Pregnancy-Related Anxiety and Spontaneous Pretarm
Birth
In
Baltimore,
Maryland.
Psychosomatic
Medicine
69.566-570,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed. Diunduh 21 Desember 2012
Syaifuddin, (2011), Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
Wardayati. K, (2012), Lahir Prematur Mental Terganggu, http://www.intisari-online.com/read/lahirprematur-mental-terganggu
Wijayanegara, Hidayat., (2009), Prematuritas, cetakan pertama, Bandung, PT. Refika
Yanti. P, (2010), Pengaruh Konsumsi Buah Nenas Oleh Ibu Hamil Terhadap Kontraksi Uterus Ibu Bersalin
Di Kota Padang Sumatera Barat, http://nsyantiblog.blogspot.com/2010/10/penelitian-nanas.html,
Diunduh 13 Januari 2013
FAKTOR DETERMINAN KEGAGALAN PEMBERIAN ASI DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS LIMBOTO BARAT KABUPATEN GORONTALO
Mohammad Ardiansyah, H. M. Tahir Abdullah, A. Arsunan Arsin
Bidang pelayanan kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara,
BagianBiostatistik/KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRACT
Failure to give breastfeeding konsokuensi directly or indirectly to the growth and development of
infants, which could potentially cause nutrient deficiency materials during the first 6 months of baby's life
and in the event of long-term impacts such as impaired growth and development of brain cells that lead to
decreased IQ points and these conditions pose a threat to the quality of human resources in the future. This
study aims to determine the influence of the determinant factors (failure based on knowledge of
breastfeeding mother, maternal employment status, breastfeeding counseling, husband support, cultural
values, promotion of infant formula, and the baby's ability to suckle) in West Limboto Public Health Center
Gorontalo Regency Gorontalo Province. The study design was a cross sectional study, the observation unit
nursing mothers with infants aged 0-12 months, purposively drawn from the study population of 250
respondents. Dlakukan data analysis in univariate, bivariate, and survival analysis by the method of one
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

236

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

minus the survival function. The results showed a variable determinant of 7, 4 variables: maternal
employment status (p = 0.041), husband's support (p = 0.001), cultural values (p = 0.000) and the baby's
ability to suckle
(p = 0.025) were significantly associated with p <0.05 on breastfeeding failure. The
Conclusions is this study found maternal employment status, support the husband, and the baby's ability to
suckle is variable determinant of breastfeeding failure, the value of culture as the main determinant.
Keywords: breastfeeding failure; maternal employment status; husbands support; the babys ability to
suckle; cultural values.
PENDAHULUAN
Dalam pembangunan bangsa, peningkatan kualitas manusia harus dimulai sedini mungkin yaitu
sejak masih bayi. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas manusia
adalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. Pemberian ASI berarti memberikan zat-zat gizi yang bernilai
gizi tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat-zat
kekebalan terhadap beberapa penyakit dan mewujudkan ikatan emosional antara ibu dan bayinya (Depkes,
2005).
Pemberian ASI Ekslusif atau menyusui ekslusif adalah hanya menyusui bayi dan tidak memberi
bayi makanan atau minuman lain, termasuk air putih, kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes;
ASI perah juga diperbolehkan, yang dilakukan sampai bayi berumur 6 bulan (Depkes, 2005). Untuk
mendukung pemberian ASI eksklusif di Indonesia, pemerintah membuat Undang-undang Kesehatan Nomor
36 Tahun 2009 yang didalamnya terdapat beberapa pasal yang mengatur khusus tentang pemberian ASI
eksklusif. Pada pasal 128 ayat 1 disebutkan bahwa Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif
sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Dalam penjelasan Undang-undang
Kesehatan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemberian air susu ibu eksklusif adalah
pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun
dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan
kebutuhan bayi. Indikasi medis dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan
memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis. Dalam
pelaksanaannya kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2012 yang menyebutkan
bahwa ASI eksklusif diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan
dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Pengaturan pemberian ASI eksklusif ini
dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan hak bayi mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai
dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya, memberikan
perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, dan meningkatkan peran dan
dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui program perbaikan gizi masyarakat telah
menargetkan cakupan ASI eksklusif 6 bulan sebesar 80%. Namun demikian, angka ini sangat sulit untuk
dicapai, bahkan tren pravelensi ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 bahwa tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat rendah
yaitu 15,3% yang berarti menunjukkan tingkat kegagalan pemberian ASI eksklusif di Indonesia mencapai
84,7%. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat ASI eksklusif sangat penting bagi tumbuh kembang bayi.
Penelitian yang dilakukan oleh Avianti, (2006), menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif secara klinis
berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, yang dapat dilihat dari kejadian anak tinggi badan pendek
meningkat 98% pada anak-anak yang tidak mendapat ASI eksklusif. Bahkan kegagalan pemberian ASI
eksklusif berpotensi menimbulkan defisiensi bahan nutrien selama 6 bulan pertama kehidupan bayi. Apabila
terjadi dalam waktu lama memberikan dampak berupa gangguan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel
otak yang berujung pada menurunnya IQ point dan kondisi ini memberi ancaman terhadap kualitas sumber
daya manusia dimasa yang akan datang. Grantham, et al., (2009), setiap kelahiran BBLR yang merupakan
manifestasi dari defisiensi nutrien menurunkan IQ point sebesar 5 point, dan apabila berlangsung lebih lama
diperkirakan akan mengalami penurunan lebih drastis. Selain itu pemberian ASI ekslusif dapat bermanfaat
mengurangi kejadian infeksi saluran pernapasan. Fauzi, (2008), dalam tesisnya menyebutkan bahwa
kejadian infeksi saluran pernapasan lebih besar pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif. Hal yang
sama diungkapkan oleh Adhania, (2008) bahwa durasi pemberian ASI usia 0-3 bulan pada ibu bekerja
berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan pada anak usia 0-2 tahun. Pemberian ASI eksklusif
juga bermanfaat untuk mengurangi kejadian diare bagi bayi, sebagaimana dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wijayanti, (2010) di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta menyebutkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi umur
0-6 bulan.
Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa kurangnya atau tidak diberikannya ASI pada bayi dapat
memberikan dampak buruk, baik dampak fisiologis, psikologis sampai kondisi terburuk pada bayi yaitu
kematian pada bayi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Edmon, dkk., (2006) menunjukkan bahwa 16%

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

237

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

kematian bayi baru lahir seharusnya dapat diselamatkan dengan pemberian ASI pada hari pertama dan
meningkat 22% jika menyusui dimulai pada 1 jam pertama setelah melahirkan.
Di Kabupaten Gorontalo, kegagalan pemberian ASI eksklusif berdasarkan profil kesehatan Provinsi
Gorontalo tahun 2010 adalah 83,03%. Bahkan mengalami peninggian kegagalan di tahun 2011 menjadi
86,0% berdasarkan rekapan data Dinas Kesehatan kabupaten Gorontalo tahun 2011.
Dari data tersebut menunjukkan angka kegagalan pemberian ASI eksklusif masih tinggi di
Kabupaten Gorontalo, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui faktor determinan
kegagalan pemberian ASI berdasarkan pengetahuan ibu, status pekerjaan ibu, konseling ASI, dukungan
suami, nilai budaya, promosi susu formula, dan kemampuan bayi menyusu di wilayah kerja Puskesmas
Limboto Barat Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian menggunakan desain crossectional study. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas
Limboto Barat Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu menyusui yang memiliki bayi berumur 0 - 12 bulan
sebanyak 250 responden, yang diambil dengan menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu sampel
diambil dari ibu menyusui yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung terhadap responden
dengan berpedoman pada kuesioner yang telah tersedia yang memuat pertanyaan-pertanyaan maupun
pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk menggali informasi mengenai variabel-variabel yang akan
dianalisis pada penelitian ini yang erat kaitannya dengan kejadian kegagalan pemberian ASI. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan selama pengumpulan data primer adalah melakukan wawancara langsung
dengan responden dengan berpedoman pada kuesioner yang telah tersedia baik responden di rumah masingmasing.
Analisa Data
Data karakteristik, variabel dependen dan variabel independen diolah dengan menggunakan SPSS
For Windows 18. Untuk mengetahui faktor determinan kegagalan pemberian ASI di wilayah kerja
Puskesmas Limboto Barat Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo digunakan
uji bivariat.
HASIL
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden yang terlibat pada penelitian ini adalah
250 ibu menyusui, dengan menilai beberapa karakteristik umum atau data umum ibu menyusui yang
dianggap memberi konstribusi terhadap kegagalan pemberian ASI. Berdasarkan kelompok umur ibu
menyusui, kelompok umur 25- 29 tahun adalah kelompok umur dengan frekuensi terbesar yakni 34,0%.
Kelompok umur kurang dari 19 tahun adalah kempok umur dengan persentase sedikit yakni 3,6%. Mayoritas
berpendidikan tamat sekolah dasar sampai dengan Perguruan tinggi, Sedangkan yang tidak sekolah hanya
3,6%. Mayoritas ibu menyusui adalah tidak bekerja yakni 78,0%, dan yang paling sedikit adalah wiraswasta
yakni 5,2%. Berdasarkan suku bangsa dari ibu menyusui yang mendiami wilayah kerja Puskesmas Limboto
Barat adalah mayoritas suku Gorontalo sebesar 66,0%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Distribusi karakteristik umum ibu menyusui di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat
Kabupaten Gorontalo Tahun 2012
Variabel
Kelompok Umur
< - 19
20 24
25 29
30 34
35 - >
Jenis Pekerjaan
PNS/Peg.Swasta
Wiraswasta
Tidak Bekerja
Lainnya
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah

Jumlah
n

Persen
%

9
72
85
53
31

3,6
28,8
34,0
21,2
12,4

17
13
195
25

6,8
5,2
78,0
10,0

3,6

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

238

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Suku Bangsa
Gorontalo
Jawa Tondano
Data Primer

98
25
88
30

39,2
10,0
35,2
12,0

165
85

66,0
34,0

Hasil penelitian yang berdasarkan pola lamanya pemberian ASI diperoleh data bahwa bayi yang
mengalami kegagalan dalam pemberian ASI pada bulan pertama sebanyak 114 orang dengan proporsi 46%.
Sementara bayi yang bertahan mendapatkan ASI pada bulan pertama adalah 54%. Proporsi bayi yang
mendapatkan ASI sampai umur 4 bulan meningkat kegagalannya menjadi 56%. Sedangkan setengah dari
bayi mengalami kegagalan pemberian ASI pada bulan ketiga dengan proporsi sebesar 9%. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Pola lamanya pemberian ASI di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Kabupaten
Gorontalo Tahun 2012

Interval Waktu
Mulai
0
1
2
3
4
5
6
Data Primer

Jumlah yang
dimasukkan
menurut interval

Jumlah yang
mengalami
kegagalan

Proporsi
gagal

250
250
136
125
114
50
37

0
114
11
11
64
13
37

0,00
0,46
0,08
0,09
0,56
0,26
1,00

Proporsi
tidak
gagal
1,00
0,54
0,92
0,91
0,44
0,74
0,00

Proporsi yang
bertahan hidup
pada akhir
interval
1,00
0,54
0,50
0,46
0,20
0,15
0,00

Median

3,00

Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode cox proportional Hazard
diperoleh informasi bahwa dari 7 variabel yang dimasukkan secara simultan ternyata hanya 4 variabel yang
berhubungan secara signifikan dengan nilai p < 0,05 terhadap kegagalan pemberian ASI yaitu status
pekerjaan ibu (p=0.041), dukungan suami (p=0.001), nilai budaya (p=0.000) dan kemampuan bayi menyusu
(p=0.025). Variabel yang paling menentukan kegagalan pemberian ASI adalah variabel nilai budaya dengan
nilai p= 0,000 dan wald 17,343. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa status pekerjaan ibu, dukungan suami, nilai budaya dan
kemampuan bayi menyusu berpengaruh secara bermakna terhadap kegagalan pemberian ASI. Dan dari ke
empat variabel itu terdapat determinan utama yang menentukan kegagalan ASI yakni nilai budaya. Dari hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa proporsi terjadinya kegagalan pemberian ASI terhadap ibu yang
bekerja didalam rumah pada usia bayi 4 bulan adalah 51%. Sedangkan proporsi terjadinya kegagalan
pemberian ASI terhadap ibu yang bekerja diluar rumah pada usia bayi 4 bulan adalah 69%. Hasil uji statistik
ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara status pekerjaan ibu terhadap kegagalan pemberian ASI
(p=0,041). Selanjutnya dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan dukungan
suami mengalami peluang kegagalan pemberian ASI terjadi pada usia bayi 4 bulan dengan proporsi 51%,
sedangkan pada ibu yang tidak mendapatkan dukungan suami adalah 88%. Sementara pada usia bayi 5 bulan
peluang kegagalan pemberian ASI pada ibu yang mendapatkan dukungan suami sebesar 23%, sedangkan
pada ibu yang tidak mendapatkan dukungan suami adalah 100% bahkan tidak mencapai usia bayi 6 bulan.
Hasil uji statistik ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara dukungan suami terhadap kegagalan
pemberian ASI (p=0,001). Dalam hal nilai budaya, penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi terjadinya
kegagalan pemberian ASI terhadap ibu yang yang menganut nilai budaya yang merugikan pemberian ASI
pada usia bayi 1 bulan adalah 72% serta pada usia bayi 4 dan 5 bulan adalah 77% dan 71%. Hasil uji
statistik ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara nilai budaya terhadap kegagalan pemberian ASI
(p=0,000). Disamping itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi terjadinya kegagalan pemberian
ASI menurut kemampuan bayi menyusu pada bayi yang tidak mempunyai kemampuan menyusu yang baik
adalah 87% pada usia 4 bulan dan 60% pada usia 5 bulan. Hasil uji statistik ditemukan adanya pengaruh
yang signifikan antara nilai budaya terhadap kegagalan pemberian ASI (p=0,025).
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

239

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Hasil penelitian diatas sesuai berbagai hasil penelitian sebelumnya seperti penelitian secara studi
kualitatif dari Dwi, (2006) di Desa Batusari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak bahwa penyebab
kegagalan pemberian ASI eksklusif adalah motivasi dan sikap ibu, prioritas program ASI eksklusif,
penghasilan keluarga, pengaruh orang terdekat, pengaruh tenaga kesehatan, kondisi kesehatan ibu, kondisi
bayi, promosi susu formula, dan kebiasaan yang keliru. Selain itu, menurut Afifah, (2007) dalam studi
kualitatifnya di Kota Semarang menyimpulkan bahwa kurangnya pengetahuan subjek tentang ASI eksklusif
dan adanya ideologi makanan yang non-eksklusif, sehingga tidak muncul motivasi yang kuat dari subjek
untuk memberikan ASI eksklusif pada bayinya merupakan faktor pendorong gagalnya pemberian ASI
eksklusif. Kurangnya penyuluhan atau pengarahan tentang ASI eksklusif dari Posyandu, Puskesmas, dan
fasilitas rawat gabung di rumah sakit yang tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagai faktor pemungkin
gagalnya pemberian ASI eksklusif. Selanjutnya, sebagai faktor penguat gagalnya pemberian ASI eksklusif
adalah anjuran dukun bayi untuk memberikan madu dan susu formula sebagai prelakteal, serta kuatnya
pengaruh nenek dalam pengasuhan bayi secara bukan ASI eksklusif. Sedangkan sebagai faktor penghambat
pemberian ASI eksklusif adalah keyakinan dan praktek yang keliru tentang makanan bayi, promosi susu
formula yang sangat gencar, dan masalah kesehatan ibu dan bayi. Hal yang sama dikemukakan oleh Rizky,
(2008) dalam studi kualitatifnya di Desa Kertijayan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalangon bahwa
faktor-faktor yang berhubungan dengan kegagalan pemberian ASI eksklusif meliputi kurangnya
pengetahuan, tidak adanya motivasi subyek mengenai pemberian ASI eksklusif, tidak adanya penyuluhan
dari petugas kesehatan mengenai ASI Eksklusif, tidak adanya fasilitas rawat gabung di rumah sakit, adanya
pengaruh ibu dari subyek serta dukun bayi, kebiasaan yang keliru, promosi susu formula melalui petugas
kesehatan, masalah kesehatan ibu dan bayi.
Secara teoritis diketahui bahwa Ibu yang bekerja di luar rumah akan sangat kesulitan membagi
waktu untuk memberikan ASInya kepada bayi yang masih sangat membutuhkan. Dengan bekerja, waktu ibu
bersama bayinya menjadi terbatas, sehingga ASI tidak bisa diberikan secara langsung sewaktu-waktu atau
sesuai keinginan bayi. Disamping itu produksi ASI ibu bekerja memang akan berkurang, hal ini antara lain
karena tanpa disadari ibu mengalami stress akibat berada jauh dari sang buah hati. Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa ibu yang bekerja diluar rumah lebih berisiko terjadinya kegagalan
pemberian ASI eksklusif, diantaranya adalah Hasil penelitian dari Mardeyanti, (2007) di Yokyakarta
menyebutkan bahwa proporsi ibu yang tidak patuh memberikan ASI eksklusif pada ibu yang bekerja diluar
rumah adalah 60%. Bahkan dari hasil penelitian oleh Puji, (2008) di Kelurahan Tamamaung Kota Makassar
mengungkapkan bahwa tingkat kegagalan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang bekerja diluar rumah
sebesar 100%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Setyowati, (2008) di Desa Tubokarto, Pracimantoro,
Wonogiri menunujukkan bahwa ada hubungan signifikan antara status pekerjaan ibu dengan pemberian MPASI dini pada bayi usia 0-6 bulan. Selain itu dari hasil penelitian oleh Badriah, (2008) di Rumah Sakit
Kabupaten Kuningan Jawa Barat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan
dengan pola menyusui eksklusif, dimana ibu yang tidak bekerja mempunyai kesempatan lebih besar
memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan bekerja. Selanjutnya oleh Oktavia, dkk., (2008) yang
melakukan penelitian di Kecamatan Kota Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan dimana kelompok ibu yang
tidak bekerja lebih lama memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dibandingkan kelompok ibu yang
bekerja.
Begitu pula dalam hal dukungan suami sangatlah dibutuhkan bagi seorang ibu dalam pemberian
ASI eksklusif. Suami sudah sepatutnya mendukung praktek pemberian ASI. Suami sebagai kepala keluarga
berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman. Adapun bentuk dukungan
suami yang dapat diberikan sehubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah dukungan informasi tentang
manfaat ASI, dukungan penilaian tentang kebaikan ASI dibandingkan air susu sapi, dukungan instrumental
berupa pertolongan praktis dan kongkrit terhadap pemberian ASI eksklusif, serta dukungan emosional
berupa dorongan untuk selalu memberikan ASI eksklusif. Beberapa penelitian sebelumnya yang
menjelaskan bahwa dukungan suami berperan dalam menekan tingkat kegagalan pemberian ASI eksklusif,
diantaranya seperti hasil penelitian oleh Februhartanty, (2008) di daerah urban Jakarta menyimpulkan bahwa
keterlibatan suami dalam mencari informasi mengenai pemberian ASI diketahui sebagai faktor yang paling
berpengaruh terhadap praktek inisiasi menyusui dini. Sedangkan keterlibatan suami dalam pembuatan
keputusan mengenai cara pemberian makan bayi saat ini serta adanya sikap yang positif terhadap kehidupan
rumah tangganya adalah dua faktor yang mempengaruhi praktek pemberian ASI eksklusif. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Rokhanawati, (2009) di Kabupaten Bantul Yogyakarta menunjukkan bahwa
dukungan sosial suami mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku pemberian ASI eksklusif.
Begitu pula dari hasil penelitian dari Malau, (2010) di Puskesmas Teladan Medan menemukan bahwa
semakin besar dukungan suami maka semakin besar kemauan ibu memberikan ASI eksklusif. Demikian
halnya hasil penelitian dari Syahruni, (2012) di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar menyebutkan bahwa
dukungan suami merupakan faktor determinan yang paling dominan mempengaruhi pemberian ASI
eksklusif. Hal yang sama diungkapkan oleh Sari, (2012) dalam hasil penelitiannya di Desa Plososari
Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto bahwa terdapat pengaruh dukungan suami dengan motivasi
pemberian ASI eksklusif pada ibu menyusui.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

240

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Selanjutnya dalam hal nilai budaya di tengah masyarakat dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan
kepercayaan. Terdapat berbagai kebiasaan yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif diantaranya
adalah seperti kebiasaan membuang kolostrom, karena kolostrom dengan warnanya kekuning-kuningan
dianggap kotor. Demikian halnya dengan kebiasaan memberikan ASI diselingi atau ditambah minuman
atau makanan lain pada waktu bayi berusia beberapa hari. Begitu pula pada kebiasaan memberikan makanan
padat/sereal pada bayi sebelum usia 6 bulan agar bayi cepat kenyang dan tidak rewel. Dalam hal
kepercayaan, terdapat beberapa kepercayaan di tengah masyarakat yang merugikan program pemberian ASI
eksklusif diantaranya adalah kepercayaan untuk memberikan cairan manis ketika bayi lahir sebagai salah
satu cara dalam agama, padahal dalam ajaran agama tidak terdapat anjuran seperti itu (Delimayany, 2012).
Hasil penelitian yg dilakukan oleh Semenic, et al., (2008) pada wanita kanada, menemukan adanya faktor
demografi dan faktor psikologi yang mempengaruhi lamanya pemberian ASI eksklusif.
Salah satu bagian dari proses pemberian ASI eksklusif yang efektif adalah interaksi yang terjadi
selama proses menyusu termasuk bagaimana ASI bisa di transfer secara cukup untuk memenuhi kebutuhan
bayi. Bayi yang sehat mempunyai 3 refleks intrinsik, yang diperlukan untuk berhasil menyusu yaitu refleks
mencari, refleks mengisap, dan refleks menelan. Frekuensi penyusuan 10 + 3 kali perhari selama 2 minggu
pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup. Berdasarkan hal ini
direkomendasikan pada periode awal setelah melahirkan dilakukan penyusuan paling sedikit 8 kali perhari.
Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara
(Proverawati, 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan
hipotesis penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa status pekerjaan ibu (p=0.041), dukungan suami
(p=0.001), nilai budaya (p=0.000) dan kemampuan bayi menyusu (p=0.025) merupakan variabel yang
berhubungan secara signifikan dengan nilai p < 0,05 terhadap kegagalan pemberian ASI. Variabel yang
paling menentukan kegagalan pemberian ASI adalah variabel nilai budaya dengan nilai p= 0,000 dan wald
17,343.
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan yaitu bagi
Dinas Kesehatan agar dapat melakukan penyuluhan pemberian ASI eksklusif secara intensif baik untuk ibu
menyusui maupun kepada para suami guna meningkatkan dukungan suami dalam pemberian ASI eksklusif
pada masa akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Adhania. (2008). Hubungan Durasi Pemberian ASI Ibu Bekerja Terhadap Kejadian ISPA Pada Anak
Baduta (Bawah Dua Tahun) Di Kecamatan Bambanglipuro Bantul. Pascasarjana FK UGM.
Yokyakarta.
Afifah. (2007). Faktor Yang Berperan Dalam Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif (Studi Kualitatif
di Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun 2007). (online) Pascasarjana UNDIP. Semarang.
(http:eprints.undip.ac.id/. diakses 7 oktober 2012).
Avianti. (2006). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Status Gizi Berdasarkan Tinggi Badan
Menurut Umur Pada Anak Umur 2 Tahun Di Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah.
Pascasarjana UGM. Yokyakarta.
Badria. (2008). Dukungan Penolong Persalinan Dalam Inisiasi Menyusu Dini Dengan pola Menyusu
Eksklusif Sampai Bayi Umur Empat Bulan Di RUmah Sakit Wilayah Kabupaten Kuningan Jawa
Barat. Pascasarjana FK UGM. Yogyakarta.
Delimayany. (2012). Sosial Budaya Dengan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Status Kesehatan Bayi.
(online). (http://delimayany.wordpress.com/diakses 18 Desember 2012)
Depkes RI. (2005). Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan Pemberian ASI Pekerja Wanita.
Pusat Kesker Depkes RI. (www.google.co.id. diakses 8 oktober 2012).
Dwi. (2006). Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Yang Tidak bekerja
(Studi kualitatif Di Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Tahun 2006). (online).
(http://eprints.uns.ac.id/. diakses 23 oktober 2012)
Edmon. et al., (2006). Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal Mortality. (online).
American Academy of pediatrics. (http://pediatrics.appublication.org/. diakses 9 oktober 2012).
Februhartanty. (2008). Peran Ayah Dalam Optimalisasi Praktek Pemberian ASI: Sebuah Studi Di Daerah
Urban Jakarta. FK UI. Jakarta.
Fauzia. (2008). Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pada Usia 6-23 Bulan Di
Puskesmas Muara Enim Kabupaten Muara Enim. Pascasarjana FK UGM. Yokyakarta.
Grantham. et al., (2009). Effect of health and nutritional on cognitive and behavioral development in child in
first the year of life (part 1). Food and Nutritional Bulletin. 20(1): 53-75
Hikmawati. (2008). Faktor-Faktor Resiko Kegagalan Pemberian ASI Selama Dua Bulan (Studi Kasus Pada
Bayi Umur 3-6 Bulan Di Kabupaten Banyumas). Pascasarjana UNDIP. Semarang.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

241

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI. (http://litbang.depkes.go.id/. diakses 8 oktober 2012).
Malau. (2010). Hubungan Dukungan Suami dan Kemauan Ibu Memberikan ASI Eksklusif Di Puskesmas
Teladan Medan. (online) Fakultas Keperawatan USU. Medan.(http://repository.usu.ac.di/. diakses 8
oktober 2012).
Mardeyanti. (2007). Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kepatuhan Ibu Memberikan ASI Eksklusif DI
RSUP DR. Sardjito Yokyakarta. Pascasarjana FK UGM. Yokyakarta.
Oktofia.dkk., (2008). Kajian Lama Pemberian ASI Eksklusif Pada Kelompok Ibu Bekerja dan Tidak bekerja
Di Kecamatan Kota Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2008. Jurusan Gizi Kesmas FKM
Undana
Proverawati dan Asfuah. (2009). Buku Ajar Gizi dan Kebidanan. Nuha Medika: Yogyakarta.
Puji. (2011). Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif Kelurahan Tamamaung Kota
Makassar.
(online)
Media
Gizi
Pangan.
Vol.XI.
Edisi
1.
(http://jurnalmediagizipangan.filesd.wordpress.com/. diakses 8 oktober 2012).
Rizqi. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif (Studi
Kualitatif di Desa Keretuijayan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). (Online) Prodi Ilmu
Gizi FK UNDIP. Semarang. (http://eprints.uns.ac.id/. diakses 8 oktober 2012).
Rokhanawaty. (2009). Dukungan Sosial Suami dan Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Di kabupaten Bantul
Yogyakarta. (http: //chnrl.org/mch/tesis/ diakses 9 November 2012).
Sari. (2012). Pengaruh Dukungan Suami Terhadap Upaya Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui Di
Desa Plososaro Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto. (online). FKM UNAIR.
(http://adln.fkm.unair.ac.id/ diakses 9 November 2012)
Semenic. et al., (2008). Predictors of the Duration of Exclusive Breastfeeding Among First Time Mothers.
(online). (http://onlinebrary.wiley.com/ diakses 9 November 2012)
Setyowati. (2007). Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Pemberian MP ASI Dini Pada Bayi Usia 0-6
Bulan di Desa Tubokarto. Pracimantoro. wonogiri.
Syahruni. (2012). Analisis Faktor Determinan Pemberian ASI Eksklusif Di Wilayah kerja Puskesmas
Jumpandang Baru kecamatan Tallo Kota Makassar Tahun 2012. Pascasarjana UNHAS. Makassar.
Wijayanti. (2010). Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif Dengan Angka Kejadian Diare Pada Bayi
Umur 0-6 Bulan Di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta. (online). FK UNS.
Surakarta. (http://eprints.uns.ac.id/. diakses 23 oktober 2012).

ANALISIS HUBUNGAN DAN PEMETAAN SEBARAN TB PARU DI KOTA AMBON


Riki Wiryawan Samson1, A.Arsunan Arsin2, Muh.Syafar3
1
Bagian P2PL Dinas Kesehatan Kota Ambon
2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Tuberculosis is an infectious disease caused by mycobacterium tuberculosis and most often
manifests in the lungs. Mikrobaterium is transmitted through droplets in the air. so that a person with TB is
the cause of transmission of tuberculosis in the surrounding population. Environmental factors is one of the
factors that associated with TB. This study aims to analyze the relationship between ventilation, residential
density, history of contact, distance of health centers, and location of residence. Mapping the distribution of
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

242

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

TB in Ambon. This research is observational analytic with cross sectional design study. Population of this
study was a case of TB in 2012 and 2013 in Ambon. Sampel is TB patients who seeking treatment at least 2
months and recorded in the register TB clinic in health care in Ambon by purposive sampling technique.
Total sample of 198 people consisting of 117 smear positive and 81 smear negative. Data was collected
through questionnaires and observation. Mapping is done using digital maps and GPS. Bivariate analysis
using Chi-square test to assess the correlation between exposure to pulmonary TB. Hereinafter performed
multivariate analysis to assess the most influential factor. The results showed only residential density
associated with pulmonary tuberculosis in the city of Ambon (p = 0,01). Whereas ventilation (p = 0.843),
history of contact (p = 0.163), distance health centers (p = 0.226) and location of residence (p = 1.000) was
not associated with pulmonary tuberculosis. Mapping the spread of TB in the district most Sirimau the 82
cases (48 smear positive, 34 smear negative) and the least in the District of South Letimur the 6 cases (2
smear positive, smear negative 4). Concluded that residential density associated with pulmonary TB disease
in the city of Ambon. It is advisable to pay attention to the health aspects in building or renovating homes.
Keywords: tuberculosis (TB), environment, mapping, GIS
PENDAHULUAN
Sejak pertama kali ditemukan di Mesir sekitar 2500-1000 tahun SM, hingga saat ini tuberkulosis
(TB) masih menjadi masalah kesehatan bagi seluruh dunia.TB merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Mikrobaterium ini
ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita TB merupakan sumber penyebab
penularan tuberkulosis pada populasi sekitarnya. WHO menyatakan bahwa ada 22 negara yang termasuk
dalam High Burden Countries (Sholehah, dkk.,2008). TB paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk
dunia. Setiap tahun terdapat 8,8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka kematian tuberkulosis
paru 3 juta orang setiap tahunnya. Insiden TB di dunia sebesar 137 kasus per 100.000 penduduk. Lalu
mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 128 per 100.000 penduduk (WHO, 2011).
Menurut laporan WHO tahun 2010 dalam Global Tuberculosis Control Report, Indonesia menduduki
peringkat kelima penderita TB terbanyak setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (Rosiana, Mareta,
Anggie, 2010). Angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak
244/100.000 penduduk. Pada tahun 2009 jumlah kematian akibat TB paru sekitar 91.369 dengan angka
insidensi kasus TB paru BTA (+) sekitar 102/100.000 penduduk. Di Maluku, jumlah suspek TB pada tahun
2009 mencapai 123 per 100.000 pendudukan. Angka penjaringan ini merupakan angka penjaringan terendah
dibandingkan provinsi-provinsi lain (Riskesdas, 2010). Dari data Dinas Kesehatan Kota, pada tahun 2011
jumlah kasus TB yang terlapor sebanyak 555 kasus. Hingga triwulan tiga tahun 2012 ada 495 jumlah kasus
baru TB paru.
Faktor lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang erat hubungannya dengan penyakit TB
paru. Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana
lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani (Keman, Soedjajadi, 2005). Faktor lingkungan
rumah seperti ventilasi, kepadatan hunian, lokasi tempat tinggal, kontak serumah dan jarak pelayanan
kesehatan Dari hasil penelitian menunjukkan ventilasi merupakan faktor risiko kejadian TB paru (OR=4,84).
Kepadatan hunian adalah banyaknya jumlah penghuni rumah dibagi luas rumah. Hasil penelitian
menunjukkan kepadatan hunian dalam rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru dengan nilai OR
1,87 (Nugroho 2009). Penelitian di Distrik Dili (2010) menunjukkan bahwa variabel yang paling kuat adalah
hubungannya dengan TB paru adalah kontak dengan penderita TB paru dengan nilai signifikansi 0.004 dan
OR =3.577 (Angela Maria, 2010).
Sarana pelayanan kesehatan juga berhubungan dengan upaya penemuan dan keberhasilan
penanggulangan TB paru. Salah satunya yaitu jarak puskesmas. Penelitian yang dilakukan oleh Ruswanto
Bambang didapatkan 61,4% penderita TB paru di Pekalongan bertempat tinggal < 3 Km dari puskesmas
Tetapi secara statistik diperoleh hasil yang tidak signifikan (Ruswanto Bambang, 2010).
Lokasi tempat tinggal juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru. Lokasi
penelitian menyangkut ketinggian, suhu dan kelembaban. Menurut Depkes RI, Mycobacterium Tuberculosis
dapat tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 0C. Dari penelitian yang dilakukan di Pekalongan diperoleh
hasil 77,1% pasien TB tinggal di daerah dengan ketinggian <150 meter dan 22,9% di daerah > 150 meter..
Tetapi secara statistik ketinggian bukan merupakan faktor risiko kejadian TB. Penelitian lain yang dilakukan
di Sentani diperoleh hasil 52% pasien TB tinggal di daerah dataran rendah.
Pengolahan data TB paru di Kota Ambon masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik.
Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk
pemetaan. Identifikasi rantai penularan TB paru bisa dilakukan hingga tingkat individual tidak hanya
agregat. Identifikasi lokasi penderita tuberkulosis paru sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan
karena dalam register TB terdapat informasi yang dibutuhkan untuk dipetakan. Pemetaan adalah salah satu
cara pendataan dalam upaya untuk manajemen lingkungan dan merupakan bagian dari pengelolaan penyakit

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

243

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

berbasis wilayah (Achmadi,2005). Pemetaan merupakan suatu analisis data penyakit secara geografis yang
terkait dengan kependudukan, persebaran, dan lingkungan.
Salah satu aplikasi untuk membuat pemetaan yang sering digunakan yaitu Sistem Informasi
Geografis (SIG). SIG adalah sistem informasi yang dirancang untuk mengerjakan data spasial atau data
geografis dengan cepat sesuai dengan yang diharapkan (Sandy, 2009). Pemetaan sebaran TB paru di Kota
Ambon berupa titik/point dengan mengambil titik koordinat dari rumah responden dengan menggunakan
Global Possitioning System (GPS). Dalam bidang kesehatan, penerapan SIG telah banyak digunakan
khususya pada penyakit TB paru. SIG mampu mengidentifikasi transmisi TB paru dan dapat menentukan
target skrining serta mengontrol penyebarannya (Moonan P., 2004). Metode SIG jika dikombinasikan
dengan teknik kualitatif dapat meningkatkan pengetahuan tentang potensial penularan TB di komunitas dan
dapat dijadikan petunjuk program intervensi (Murray J., 2009).
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini ingin menganalsis hubungan antara faktor ventilasi,
kepadatan hunian, riwayat kontak, jarak puskesmas dan lokasi tempat tinggal terhadap penyakit TB paru dan
membuat pemetaan sebaran TB paru di Kota Ambon.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross
sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Ambon Provinsi Maluku.
Populasi dan sampel
Populasi pada penelitian ini adalah kasus TB paru Tahun 2012 dan 2013 di seluruh puskesmas Kota
Ambon. Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi yaitu pasien TB paru yang telah berobat
minimal 2 bulan dan tercatat pada register TB puskesmas.
Metode pengumpulan data
Data primer berupa karateristik responden dan kondisi lingkungan rumah pasien TB paru yang
akan dianalisis diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Titik-titik koordinat
lokasi kasus TB paru dengan menggunakan GPS.
Analisis data
Data diolah dan dianilisis di komputer menggunakan program SPSS 18,0. Analisis data
menggunakan uji Chi Square untuk menilai hubungan faktor ventilasi, kepadatan hunian, riwayat kontak,
jarak puskesmas dan lokasi tempat tinggal dengan penyakit TB paru dan selanjutnya dilakukan analisis
multivariat dengan uji logistik regresi untuk menilai variabel yang paling berpengaruh.
HASIL
Karateristik sampel
Tabel 1 menunjukkan bahwa, berdasarkan jenis kelamin jumlah laki-laki yang menderita TB paru
sebanyak 119 orang dan perempuan sebanyak 79 orang. laki-laki yang BTA positif sebanyak 57,1% (68
orang) sedangkan perempuan sebanyak 62% (49 orang). Jumlah responden terbanyak yaitu terdapat pada
kelompok umur 25-34 tahun ebanyak 50 orang dengan jumlah BTA positif sebesar 76% (38 orang).
Sedangkan jumlah responden yang paling sedikit yaitu pada kelompok umur > 65 tahun sebanyak 25 kasus
dimana ada 48% (12 orang) yang menderita TB paru BTA positif. Ada paling 82 responden dengan
pendidikan SMA/sederajat dengan jumlah BTA positif sebesar 64,6% (53 orang) dan yang paling sedikit
yaitu responden yang tidak sekolah sebanyak 4 orang dengan jumlah BTA positif sebanyak 25% (1orang).

Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan jenis kelamin, umur dan pendidikan

Karateristik responden
Jenis Kelamin
Laki laki
Perempuan
Jumlah
Umur (tahun)
15-24
25-34

Hasil SPS
BTA +
BTA n
%
n
%

Jumlah
n

68
49
117

57,1
62
59,1

51
30
81

42,9
38
40,9

119
79
198

100,0
100,0
100,0

22
38

64,7
76,0

12
12

35,3
24,0

34
50

100,0
100,0

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

244

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

35-44
45-54
55-64
> 65
Jumlah

14
17
14
12
117

48,2
58,6
45,1
48,0
59,1

15
12
17
13
81

51,7
41,4
54,8
52,0
40,9

29
29
31
25
198

100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

Tidak sekolah
SD
SMP
SMA/sederajat
Diploma/PT
Jumlah

1
19
29
53
15
117

25,0
43,2
65,9
64,6
65,2
59,1

3
26
15
29
8
81

75,0
56,8
34,1
35,4
34,8
40,9

4
45
44
82
23
198

100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

Pendidikan

Data Primer
\
Tabel 2 Jumlah responden berdasarkan kecamatan

Kecamatan

Hasil SPS
BTA +
BTA n
%
n
%

Jumlah
n

Nusaniwe

29

64,4

16

35,6

45

100,0

Sirimau

48

58,5

34

41,5

82

100,0

Baguala

19

54,3

16

45,7

35

100,0

Leitimur Selatan

33,3

66,7

100,0

Teluk Ambon
Jumlah

19

63,3

11

36,7

30

100,0

117

59,1

81

40,9

198

100,0

Data Primer
Tabel 2 menunjukkan dari 5 kecamatan, Kecamatan Sirimau merupakan kecamatan yang jumlah
kasus TB paru paling banyak yaitu sebanyak 82 kasus dengan BTA positif sebesar 58,5% (48 orang).
Sedangkan Kecamatan Leitimur Selatan merupakan kecamatan dengan jumlah kasus TB paru yang paling
sedikit yaitu hanya 6 orang
dengan jumlah BTA positif sebanyak 2 orang ( 33,3%). Kecamatan
Nusaniwe dengan 45 kasus (64,5% BTA positif). Kecamatan Baguala ada 35 kasus (54,3% BTA positif).
Sedangkan untuk Kecamatan Teluk Ambon ada 30 penderita TB paru (63,3% BTA positif).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

245

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Gambar 1. Peta sebaran TB paru BTA positif di Kota Ambon

Gambar2. Peta sebaran TB paru BTA negatif di Kota Ambon

Gambar 1 menunjukkan sebaran TB paru dengan BTA positif. Jumlah yang paling banyak yaitu di
Kecamatan Sirimau sebanyak 48 orang dan jumlah paling sedikit di Kecamatan Leitimu Selatan dengan 2
orang. sedangkan gambar 2, menunjukkan sebaran TB paru dengan BTA negatif. Jumlah yang paling banyak
yaitu di Kecamatan Sirimau sebanyak 34orang dan jumlah paling sedikit di Kecamatan Leitimu Selatan
dengan 4 orang.

Hubungan Ventilasi, Kepadatan Hunian, Riwayat kontak, Jarak puskesmas dan Lokasi tempat tinggal
dengan TB Paru
Tabel 3 Hubungan Ventilasi, Kepadatan Hunian, Riwayat kontak, Jarak puskesmas dan Lokasi
tempat tinggal dengan TB Paru
Hasil
BTA +

Variabel
Ventilasi
Baik
Buruk
Jumlah
Kepadatan hunian
Baik
Buruk
Jumlah
Riwayat kontak
Ada
Tidak ada
Jumlah
Jarak puskesmas
< 3 km

Uji statistik
(p)

Jumlah

BTA -

65
52
117

60,2
57,8
59,1

43
38
81

39,8
42,2
40,9

108
90
198

100
100
100

0,843

76
41
117

67,3
48,2
59,1

37
44
81

32,7
51,8
40,9

113
85
198

100
100
100

0,011

33
84

68,8
56

15
66

31,2
44

48
150

100
100

25

69,4

11

30,6

36

100

0,163
0,226

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

246

JURNAL
> 3 km
Jumlah
Lokasi Tempat Tinggal
Dataran rendah/pesisir
Dataran tinggi/pegunungan
Jumlah
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

92
117

56,8
59,1

70
81

43,2
40,9

162
198

100
100

29
88
117

59,2
59,1
59,1

20
61
81

40,8
41
40,9

49
149
198

100
100
100

1,000

Tabel 3 menunjukkan bahwa ventilasi, riwayat kontak, jarak puskesmas dan lokasi tempat tinggal
tidak berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon (p > 0,05) sedangkan faktor kepadatan hunian (p =
0,011) berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon (p < 0,05).
Analisis Multivariat
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil uji regresi logistik terhadap 3 variabel yang memenuhi syarat
(p<0,25), variabel riwayat kontak dan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB paru di Kota
Ambon.
Tabel 4 Hasil uji regresi logistik variabel independen yang berhubungan secara bermakna dengan TB
paru

Variabel
Riwayat Kontak
Kepadatan Hunian
Jarak Puskesmas
Constant
Data Primer

B
-0,727
0,943
0,735
-1,229

S.E.
0,370
0,309
0,415
0,421

Sig.
0,049
0,002
0,076
0,004

Exp ()
0,483
2,567
2,085
0,293

PEMBAHASAN
Kecamatan Sirimau dan Nusaniwe memiliki jumlah pasien TB paru lebih banyak dibandingkan
dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Hal ini disebabkan Kecamatan Sirimau dan Nusaniwe berada dekat
dengan pusat kota. Tingginya penularan TB di pusat kota disebabkan aktifitas dan mobilitas penduduk
terutama perkantoran yang memungkinkan untuk terjadi kontak dengan penderita TB lainnya (Edziyie
Regina, 2007). Jumlah penduduk di kedua kecamatan ini juga paling banyak yaitu 147.976 jiwa di Sirimau
dan 94.943 di Nusaniwe. Banyaknya jumlah puskesmas juga menjadi penyebab tingginya penyakit TB paru
di kedua kecamatan ini (Sirimau ada 8 puskesmas dan Nusaniwe ada 6 puskesmas).
Jumlah laki-laki yang menderita TB paru lebih banyak dibandingkan perempuan disebabkan adanya
kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol pada laki-laki. Rokok dapat merusak sel yang
berfungsi memakan bakteri pengganggu sehingga menurunkan respon terhadap antigen. Bila benda asing
masuk ke paru-paru maka tidak terdeteksi (PPTI, 2009). Sedangkan menurut Lonnroth (2008), konsumsi
alkohol yan berlebihan dapat menurunkan daya tahan tubuh sebab menurunnya fungsi limfosit T dan B
(Diandini, Roestam, Yunus, 2009). Dari segi pekerjaan banyaknya kasus pada IRT disebabkan ibu
merupakan orang yang paling dekat dengan semua anggota keluarga (Musadad Anwar, 2006).
Ventilasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penularan TB paru, ventilasi
berfungsi untuk mengeluarkan udara yang tercemar dan sebagai tempat masuknya sinar matahari yang dapat
mengencerkan konsentrasi kuman penyakit (Adnani Hariza, Mahastuti Asih, 2006). Hasil uji statistik
menujukkan ventilasi tidak berhubungan dengan TB paru di Ambon. Hal ini disebabkan kondisi daerah Kota
Ambon yang terdiri dari pantai dan dataran tinggi sehingga konstruksi rumah dibuat agar sirkulasi udara
yang masuk dan keluar rumah baik dan juga masih kurangnya debu-dedu jalan sehingga ventilasi rumah
tidak ditutup dan sesuai dengan fungsinya.
Kepadatan hunian mempengaruhi penularan penyakit, khususnya penyakit yang menular melalui
udara termasuk TB paru. Semakin banyak penghuni di dalam satu rumah maka semakin mudah dan cepat
penularan penyakit. Pada penelitian ini kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB paru di Ambon.
Masih kuatnya sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Kota Ambon sehingga masih banyak
didapatkan di dalam rumah ada lebih dari satu kepala keluarga. Kota Ambon merupakan ibukota dari
Provinsi Maluku sehingga tingginya mobilisasi penduduk yang masuk ke Ambon untuk melanjutkan
pendidikan atau mencari pekerjaan dan mereka tinggal dengan keluarga ataupun kerabat yang ada di Kota
Ambon. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Riwayat kontak serumah dengan penderita TB memungkinkan untuk tertular TB paru lebih besar
dibandingkan yang tidak memiliki kontak serumah. Tetapi pada penelitian ini riwayat kontak tidak
berhubungan dengan TB paru. Aktifitas di luar rumah memungkinkan seseorang untuk kontak dengan
penderita TB paru khususnya ditempat tempat umum yang memiliki potensi sebagai tempat transmisi TB
paru seperti cafe, mall, kantor, rumah sakit maupun tempat-tempat ibadah. Penenlitian yang dilakukan
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

247

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Murray menyimpulkan bahwa adanya tempat-tempat umum yang menjadi tempat transmisi seperti cafe atau
bar, tempat ibadah dan klinik (Murray, dkk., 2009). Selain itu, terkadang responden merasa malu untuk
mengungkapkan jika ada penderita TB paru sebelumnya karena penyakit TB paru masih memiliki stigma
yang buruk dalam masyarakat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Susilowati Tuti (2010) yang
menunjukkan bahwa tinggal serumah dengan pasien TB paru > 6 bulan tidak berhubungan dengan kejadian
TB paru di Magelang. Penelitiaan yang dilakukan Ekowati Retnaningsih, Yulian, Yahya, (2010)
menyimpulkan bahwa infeksi TB paru pada kontak serumah berhubungan dengan tingkat pendidikan dan
kepadatan hunian.
Dalam program penanggulangan TB paru, jarak puskesmas berhubungan dengan penjaringan pasien
TB paru serta keberhasilan pengobatan. Jarak puskesmas tidak berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon
disebabkan banyaknya puskesmas yang ada di Ambon (22 puskesmas) sehingga penderita menggunakan
puskesmas yang tedekat dengan tempat tinggal walaupun berada diluar wilayah kerja puskesmas.
Kota Ambon secara geografis terdiri dari dataran tinggi/pegunungan dan dataran rendah/pesisir.
Lokasi tempat tinggal mempengaruhi kelembaban serta suhu udara. Kuman TB berkembang biak di daerah
yang kelembabannya tinggi. Pada penelitian ini lokasi tempat tinggal tidak berhubungan dengan TB paru di
Kota Ambon sebab kepadatan penduduk di daerah pegunungan lebih rendah dibandingkan dengan dataran
rendah dan pesisir. Dari data diperoleh jumlah kasus TB paling banyak ditemukan di wilayah Nusamiwe,
Sirimau dan Teluk Ambon. Ketiga wilayah ini merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnnya adalah
dataran rendah dan pesisir. Wilayah pegunungan hanya terdapat di daerah Gunung Nona dan wilayah
Kacamatan Leitimur Selatan. Penelitian di Sentani, Papua menunjukkan bahwa TB paru sebagian besar di
daerah yang ketinggian wilayahnya rendah,rawa dan pesisir (Ayomi C., Setiani O., Joko Tri, 2012).
KESIMPULAN DAN SARAN
Disimpulkan bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon. Sebaran TB
paru paling banyak di Kecamatan Sirimau. Diharapkan untuk lebih memperhatikan kesehatan lingkungan
khususnya lingkungan rumah. Penggunaan analisis masalah berbasis wilayah lebih ditingkatakan dengan
didukung data-data yang lebih lengkap dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Adnani Hariza, Mahastuti Asih, 2006. Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Karangmojo II Kab. Gunungkidul Tahun 2003-2006. Jurnal Kesehatan Surya
Medika Yogyakarta
Angela, Maria. 2010. Analisi Spasial dan Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Pari di Distrik Dili Tahun
2010. Jurnal ekologi kesehatan, (http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod) diakses 15 Desember 2012.
Ayomi C., Setiani O., Joko Tri, 2012. Faktor Risiko Keadaan Fisik Rumah dan Karateristik Wilayah
Terhadap Kejadian TB di Wilayah Kerja Puskesmas Sentani Kabupaten Jayapura Propinsi Papua.
(http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/.../3762) diakses 13 Desember 2012.
Diandini, Roestam, Yunus. 2009. Pengaruh Pekerjaan Dengan Pejanan Debu Silika terhadap Risiko TB Paru.
Jurnal Kedokteran UI Jakarta.
Edziyie Regina, 2007. Identification Of High Risk Tuberculosis Populations In Tarrant Country Using GIS
Techniques. BMJ open 2007;3:e000765.
Ekowati, Retnaningsih, Yulian, Yahya, 2010. Model Prediksi Faktor Risiko Infeksi TB Paru Kontak Serumah
Untuk Perencanaan Program Kabupaten OKU, Sumatera Selatan. Jurnal Pembangunan Manusia
Vol.4.No.12. diakses 11 Februari 2013.
Keman, Soedjajadi, 2005. Kesehtan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.2.No.1:29-42. Diakses 11 Februari 2013
Moonan, P., 2004. Using Geographic Information Systems to Identify Areas of Tuberculosis Transmission
and Incidence. International Journal of Health Geographics, 3: 23. Diakses 10 Februari 2013.
Murray,J., 2009. A Multidisciplinary Method to Map Potential Tuberculosis Transmission Hot Spots in High
Burden Communities. International Journal of Health Geographics. diakses 13 Desember 2012
Musadad, Anwar. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Penularan TB Paru Kontak Serumah.
(http// jurnal ekologi. Kesehatan.. diakses 13 Mei 2013)
Nugroho, Agung. 2010. Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial. Tesis. Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rosiana, Mareta, Anggie, 2012. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru. Unnes Journal of Public Health. Diakses 10 Mei 2013.
WHO.
2011.
Global
Tuberculosis
Control,
WHO
Report
2011.
(http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241564380_eng.pdf, diakses 13 Desember 2012
Sholehah, dkk.,2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya TB Pada Anak di Wilayah Kerja
Puskesmas Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu. AI ulum vol.35 No.2. 30-33. Diakses 7
Februari 2013.
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

248

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN KEJADIAN


PENINGKATAN BERAT BADAN PADA WANITA PASANGAN USIA SUBUR DI PUSKESMAS
TAMALANREA MAKASSAR TAHUN 2012
Suryanti Tukiman1, Dian Sidik A1, Jumriani Ansar1
1

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


ABSTRACT

Data from the Health Departement of Makassar in 2010, the largest percentage of users of
contraception used by couples of childbearing age is a hormonal contraceptive that successive injections,
pills, and implants. The number and percentage of contraceptive injections KB activation was 155 439
(44.0%), pill 118 884 (33.6%), implant 39 946 (11.3%), Intra Uterine Device (IUD) 30 425 (8.61%), 20 401
condoms (5.77%), MOW 10 795 (3.05%), and MOP 2418 (0.68%). Weight gain is one of uncontrolled risk
factors for heart disease, diabetes mellitus, hypertension caused by hormone content contained in hormonal
contraceptives. This study aims to determine factors related to hormonal contraceptive use with the
incidence of weight gain in women of childbearing age in Health Center of Tamalanrea Makassar 2012.
This study uses a cross sectional study design. This study sample is acceptor hormonal contraceptive users
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

249

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

who recorded the age at first use of contraception and weight the data prior to use contraception. Method of
sampling using the method of Simple Random Sampling with 129 samples. Data were analyzed by Chi
Square test and phi coefficient with 0.05. The results of this study indicate that there is a relationship
between the type of hormonal contraceptive with the incidence of weight gain with = 0.028 and = 0.015,
there is a relationship between duration of use of hormonal contraceptives with increased incidence of
weight gain with = 0.000 and = 0.357, there was a connection between the regularity of use of hormonal
contraceptives the incidence of weight gain = 0.000 and = 0441, and there is no relationship between
age of first use of hormonal contraceptives with the occurrence of weight gain with = 0.424. This study
suggests need for intensive counseling about the effects of hormonal contraceptive use for both acceptors at
clinics or in community with the involvement of relevant elements across sectors.
.
Key words : hormonal contraception, increased body weight, women childbearing age
PENDAHULUAN
Salah satu masalah terpenting yang dihadapi oleh negara berkembang, seperti di Indonesia yaitu
ledakan penduduk. Ledakan penduduk mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat hal ini karena
minimnya pengetahuan serta pola budaya pada masyarakat setempat. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut pemerintah Indonesia telah menerapkan program Keluarga Berencana (KB) yang dimulai sejak
tahun 1968 dengan mendirikan LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) yang kemudian dalam
perkembangannya menjadi BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Gerakan Keluarga
Berencana Nasional bertujuan untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk dan juga untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (Ekawati, 2010)
Program keluarga berencana mengalami perkembangan pesat seiring dengan kemajuan ilmu dan
tekhnologi baik ditinjau dari sudut tujuan, ruang lingkup geografi, pendekatan, cara operasional, dan
dampaknya terhadap pencegahan kelahiran, seiring dengan itu pula tingkat pertumbuhan penduduk akan
turut berpengaruh (Wiknjosastro, dkk., 2007).
Indonesia dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 240 juta jiwa merupakan Negara ke-empat
terbesar didunia setelah Cina, India, dan Amerika. Besarnya jumlah penduduk ini terkait dengan tingginya
angka pertumbuhan penduduk Indonesia di masa lalu yang utamanya dipengaruhi oleh tingkat kelahiran.
Meskipun tingkat kelahiran sudah dapat diturunkan namun secara absolut penduduk Indonesia akan terus
bertambah. Pertumbuhan rata-rata nasional dari tahun 2000 hingga 2010 adalah 1,49% (BPS, 2010).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Pelaporan dan Statistik Nasional bahwa jumlah
Pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 2004 secara nasional tercatat sebanyak 38.783.315 pasangan.
Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan jumlah PUS sebanyak 7.183.362 pasangan, disusul
Provinsi Jawa Timur sebanyak 7.178.007 pasangan, sedangkan Provinsi Irian Jaya Barat menempati posisi
terakhir dengan jumlah PUS sebanyak 93.747 pasangan (Dinkes Kota Makassar, 2010).
Jumlah dan persentase KB aktif per mix kontrasepsi sampai Bulan Desember tahun 2010 adalah
kontrasepsi suntikan 155.439 (44,0%), pil 118.884 (33,6%), implant 39.946 (11,3%), Intra Uterine Device
(IUD) 30.425 (8,61%), kondom 20.401 (5,77%), Medis Operatif Wanita 10.795 (3,05%), dan Medis Operatif
Pria 2.418 (0,68%). Untuk tahun 2010 persentase terbesar pengguna alat kontrasepsi yang banyak digunakan
oleh pasangan usia subur adalah alat kontrasepsi hormonal yaitu berturut-turut suntikan, pil, dan implant
(Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2010).
Menurut hasil rekapitulasi data tahun 2010 Puskesmas Tamalanrea Kota Makassar, jumlah pasangan
usia subur mencapai 4438 pasangan. Dengan pengguna kontrasepsi terbanyak yakni kontrasepsi suntikan
sebanyak 616 orang (64,9%), pil 192 orang (20,2%), implant 62 orang (6,54%), kondom 51 orang (5,37%),
Intra Uterine Device (IUD) 27 orang (2,84%), dan tidak ada yang menggunakan kontrasepsi Medis Operatif
Wanita dan Medis Operatif Pria. Sementara tahun 2011, terjadi peningkatan penggunaan kontrasepsi dari
948 akseptor menjadi 1.379 akseptor. Dengan pengguna kontrasepsi terbanyak yakni kontrasepsi suntikan
sebanyak 842 orang (61,1%), pil 402 orang (29,2%), implant 42 orang (3,05%), kondom 70 orang (5,08%),
Intra Uterine Device (IUD) 23 orang (1,67%), dan tidak ada yang menggunakan kontrasepsi Medis Operatif
Wanita dan Medis Operatif Pria (Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2011). Dapat disimpulkan bahwa tahun
2010 dan 2011 persentase terbesar pengguna alat kontrasepsi yang banyak digunakan oleh pasangan usia
subur adalah alat kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan kontrasepsi non hormonal.
Walaupun tingkat kelahiran dapat ditekan dalam mengatasi laju pertumbuhan penduduk, namun tidak
dapat dihindari timbulnya dampak lain akibat penggunaan alat kontrasepsi khususnya penggunaan alat
kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu tertentu yang dapat menimbulkan berbagai efek samping, salah
satunya adalah perubahan berat badan (Maria, 2006).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petugas kesehatan bagian KIA dan KB Puskesmas
Tamalanrea, mengatakan bahwa kenaikan berat badan merupakan salah satu efek samping yang sering
dikeluhkan para akseptor KB pengguna kontrasepsi hormonal, selain itu juga Puskesmas Tamalanrea
merupakan Puskesmas ketiga tertinggi pengguna kontrasepsi hormonal yang ada di Kota Makassar.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

250

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Peningkatan berat badan yang tidak terkontrol merupakan sesuatu yang ditakuti akseptor karena
struktur tubuh menjadi jelek, tidak menarik dan menjadi faktor risiko timbulnya penyakit jantung, diabetes
mellitus, hipertensi dan batu empedu yang disebabkan oleh kandungan hormon yang terdapat dalam
kontrasepsi hormonal. Melihat masalah yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti tertarik memilih judul
ini karena, kenaikan berat badan merupakan keluhan yang mengganggu para wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal. Sebagai langkah awal dari riset ini perlu dilakukan studi pendahuluan dan identifikasi
untuk mendapatkan gambaran adanya hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan
peningkatan berat badan.

BAHAN DAN METODE


Rancangan dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional Study
yaitu suatu rancangan penelitian yang mempelajari dinamika korelasi dan asosiasi antara variabel
independen (penggunaan kontrasepsi hormonal, lama penggunaan/pemakaian, keteraturan penggunaan dan
umur mulai menggunakan kontrasepsi hormonal) dengan variabel dependen (kejadian peningkatan berat
badan) pada saat yang bersamaan (point time approach).Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja
Puskesmas Tamalanrea Makassar. Waktu pengumpulan data dimulai tanggal 20 Februari - 20 Maret 2012.
Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah semua akseptor keluarga berencana yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal aktif di Wilayah Kerja Puskesmas Tamalanrea Makasssar sebesar
203 akseptor. Pemilihan sampel menggunakan metode Simple Random Sampling.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yakni data primer (wawancara langsung kepada
responden yang menjadi sampel) dan data sekunder yang berasal dari Puskesmas Tamalanrea dan Dinas
Kesehatan Kota Makassar.
Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program SPSS
melalui editing, coding, entry, cleaning serta analisis data dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa paling banyak responden berumur 26 - 30 tahun yaitu sebanyak 39
orang (30.2%) dan yang paling sedikit responden berumur 46 - 50 tahun yaitu 1 orang (0.8%). Sebanyak 57
orang (44.2%) berpendidikan setingkat SLTP dan terdapat 3 orang (2.3%) berpendidikan hanya sampai
setingkat SD. Sebagian besar pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga atau tidak bekerja yaitu
sebanyak 93 orang (72.1%) dan 3 orang (2.3%) yang bekerja sebagai buruh/tukang cuci.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

251

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun


2012
Karakteristik Responden
Kelompok Umur
16 20
21 25
26 30
31 35
36 40
41 45
46 50
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Tamat Akademi / PT
Pekerjaan
Tidak Bekerja/IRT
Pedagang/Wiraswasta
Buruh/Tukang Cuci
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pegawai Swasta
Jumlah
Data Primer

15
32
39
19
20
3
1

11.6
24.8
30.2
14.7
15.5
2.3
0.8

3
57
45
24

2.3
44.2
34.9
18.6

93
19
3
10
4
129

72.1
14.7
2.3
7.8
3.1
100.0

Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen.
Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak mengalami
peningkatan berat badan yaitu kontrasepsi pil sebanyak 38 orang (90.5%), dan yang paling sedikit
mengalami peningkatan berat badan adalah kontrasepsi implant yaitu sebanyak 8 orang (88.9%). Hasil
analisis uji chi-square didapatkan nilai p (0.028) < nilai (0.05), dengan demikian maka Ho di tolak atau
dapat disimpulkan bahwa Ada hubungan antara jenis kontrasepsi hormonal yang digunakan dengan
kejadian peningkatan berat badan. Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi (0.015) atau hubungan lemah,
sehingga dapat dikatakan bahwa jenis kontrasepsi hormonal memberikan kontribusi sebesar 1.5 % terhadap
kejadian peningkatan berat badan.
Tabel 2 Hubungan Jenis Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Peningkatan
Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012

Jenis Kontrasepsi
Pil
Suntik
Implant
Jumlah

Kejadian Peningkatan Berat


Badan
Tdk
Meningkat
Meningkat
n
%
n
%
38
90.5
4
9.5
70
89.7
8
10.3
8
88.9
1
11.1
116
89.9
13
10.1

Berat Badan Di

42
78
9
129

100.0
100.0
100.0
100.0

Uji
Statistik

p = 0.028
=0.015

Data Primer
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemakaian alat kontrasepsi hormonal yang paling banyak mengalami
peningkatan berat badan yaitu lama pemakaian dengan jangka waktu 1 tahun (lama) sebanyak 99 orang
(95.2%) dibandingkan dengan lama pemakaian kontrasepsi dalam jangka waktu < 1 tahun (tidak lama) yaitu
sebanyak 17 orang (68.0%). Hasil analisis uji chi-square didapatkan nilai p (0.000) < nilai (0.05), dengan
demikian maka Ho di tolak atau dapat disimpulkan bahwa Ada hubungan antara lama pemakaian
kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

252

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

(0.357) atau hubungan sedang, sehingga dapat dikatakan bahwa lama pemakaian kontrasepsi hormonal
memberikan kontribusi sebesar 35.7 % terhadap kejadian peningkatan berat badan.

Tabel 3 Hubungan Lama Penggunaan/Pemakaian Kontrasepsi Dengan Kejadian Peningkatan Berat


Badan Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012

Lama Pemakaian
Lama
Tidak Lama
Jumlah
Data Primer

Kejadian Peningkatan Berat


Badan
Tdk
Meningkat
Meningkat
n
%
n
%
99
95.2
5
4.8
17
68.0
8
32.0
116
89.9
13
10.1

Uji Statistik

104
25
129

100.0
100.0
100.0

p = 0.000
=0.357

Tabel 4 menunjukkan bahwa yang paling banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu
responden yang menggunakan kontrasepsi secara teratur sebanyak 108 orang (94.7%) dibandingkan dengan
responden yang menggunakan kontrasepsi secara tidak teratur sebanyak 8 orang (53.3%). Hasil analisis uji
chi-square didapatkan nilai p (0.000) < nilai (0.05), dengan demikian maka Ho di tolak atau dapat
disimpulkan bahwa Ada hubungan antara keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian
peningkatan berat badan. Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi (0.441) atau hubungan sedang, sehingga
dapat dikatakan bahwa keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal memberikan kontribusi sebesar 44.1
% terhadap kejadian peningkatan berat badan.
Tabel 4 Hubungan Keteraturan Pemakain Kontrasepsi Dengan Kejadian Peningkatan Berat Badan
Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012

Keteraturan Pemakaian
Teratur
Tidak Teratur
Jumlah

Kejadian Peningkatan Berat


Badan
Tdk
Meningkat
Meningkat
n
%
n
%
108
94.7
6
5.3
8
53.3
7
46.7
116
89.9
13
10.1

Uji Statistik

114
15
129

100.0
100.0
100.0

p = 0.000
=0.441

Data Primer
Tabel 5 menunjukkan bahwa paling banyak yang mengalami peningkatan berat badan saat umur
pertama kali menggunakan kontrasepsi hormonal yaitu umur < 35 tahun (aman) sebanyak 99 orang (90.8%)
dibandingkan dengan umur 35 tahun (tidak aman) sebanyak 17 orang (85.0%). Hasil analisis uji chisquare didapatkan nilai p (0.424) > nilai (0.05), dengan demikian maka Ha di tolak atau dapat disimpulkan
bahwa Tidak ada hubungan antara umur pertama kali menggunkan kontrasepsi hormonal dengan kejadian
peningkatan berat badan.
Tabel 5 Hubungan Umur Pertama Kali Dengan Kejadian Peningkatan Berat Badan Di Puskesmas
Tamalanrea Makassar Tahun 2012

Umur Pertama Kali


Tidak Aman
Aman
Jumlah

Kejadian Peningkatan Berat


Badan
Tdk
Meningkat
Meningkat
n
%
n
%
17
85.0
3
15.0
99
90.8
10
9.2
116
89.9
13
10.1

Uji Statistik

20
109
129

100.0
100.0
100.0

p = 0.424

Data Primer

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

253

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

PEMBAHASAN
Jenis Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untk mencegah terjadinya
kehamilan dimana bahan bakunya mengandung preparat estrogen dan progesteron. Salah satu efek samping
dari penggunaan kontrasepsi hormonal baik pil, suntikan dan implant adalah terjadinya perubahan berat
badan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak mengalami
peningkatan berat badan yaitu pil sebanyak 38 orang (90.5%), dan yang paling sedikit mengalami
peningkatan berat badan adalah jenis kontrasepsi implant yaitu sebanyak 8 orang (88.9%). Hal ini
disebabkan karena kandungan dari hormon estrogen dan progesteron yang terdapat pada kontrasepsi pil,
dimana hormon estrogen menyebabkan retensi cairan dan oedema, sedangkan progesterone mempermudah
penumpukan karbohidrat dan gula menjadi lemak dan merangsang nafsu makan serta menurunkan aktifitas
fisik, akibatnya pemakaian kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan bertambah berat badan. Umumnya
pertambahan berat badan tidak terlalu besar, untuk jenis kontrasepsi pil bervariasi antara 1 kg - 5 kg.
Sedangkan jenis kontrasepsi suntikan dan implant biasanya terjadi kenaikan atau penurunan berat badan 1-2
kg.
Penelitian ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Gallo, dkk (2004) bahwa ada hubungan
antara jenis kontrasepsi pil yang digunakan dengan kenaikan berat badan. Survei yang dilakukan di Amerika
ini menemukan bahwa 20% wanita menghentikan penggunaan kontrasepsi pil (oral) disebabkan karena
kenaikan berat badan. Selain itu, pada penelitian lain yang dilakukan oleh Berenson dan Mahbubur (2009)
menemukan bahwa berat badan secara signifikan meningkat saat menggunkan DMPA.
Lama Penggunaan/Pemakaian
Menurut Hartanto, dampak lain akibat penggunaan alat kontrasepsi khususnya penggunaan alat
kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan berbagai efek samping, salah satunya
adalah perubahan berat badan. Umumnya pertambahan berat badan bervariasi antara 1 kg sampai 5 kg dalam
tahun pertama.
Hasil penelitian diketahui bahwa paling banyak yang mengalami peningkatan berat badan yaitu
dengan lama pemakaian kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu 1 tahun (lama) sebanyak 99 orang
(95.2%) dibandingkan dengan pemakaian kontrasepsi dalam jangka waktu < 1 tahun (tidak lama) sebanyak
17 orang (68.0%). Hal ini menunjukkan perubahan berat badan akseptor meningkat sesuai dengan
bertambahnya lama pemakaian. Namun peningkatan berat badan akseptor dengan lama pemakaian
kontrasepsi tidak sepenuhnya disebabkan karena pemakaian kontrasepsi yang digunakan sekarang
melainkan juga disebabkan oleh pemakaian kontrasepsi hormonal yang sebelumnya digunakan oleh
akseptor.
Hasil analisis statistik dengan uji chi-square didapatkan ada hubungan antara lama pemakaian
kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dari Hartanto, 2010 yang menyatakan bahwa pada
penggunaan pil, wanita sebagian mengalami perubahan berat badan karena adanya retensi cairan dari
progestin atau estrogen yang mengakibatkan bertambahnya lemak sub kutan terutma pada pinggul, paha, dan
payudara, ini tampak setelah beberapa bulan mengkonsumsi pil. Sementara hipotesis para ahli mengatakan
bahwa DMPA merangsang pusat pengendali nafsu makan di hipotalamus yang menyebabkan akseptor
makan lebih banyak dari biasanya sehingga mengakibatkan pertambahan berat badan. Selain itu, penelitian
oleh spesialis obstetric dan ginekologi Prof Biran. A di Jakarta juga menyataan bahwa berat badan pemakai
pil KB naik akibat pola makan yang berubah.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putu Melayu di Kec. Wara
Kab. Luwu tahun 2000 dalam Samsiana, 2001, bahwa ada pengaruh bermakna antara lama pemakaian
kontrasepsi hormonal terhadap perubahan berat badan akseptor (signifikan 0.019 < 0.05) dengan besar
hubungan (r = 0.125) dan besar pengaruh (r2 = 0.016) yang berarti 1.6% perubahan berat badan akseptor
dipengaruhi oleh lamanya pemakaian kontrasepsi hormonal dan sisanya ditentukan oleh faktor lain. Selain
itu Pada penelitian lain yang dilakukan Maria, dkk (2006) menyebutkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara lamanya pemakaian kontrasepsi hormonal dengan perubahan berat badan dimana nilai x2
hitung yang diperoleh sebesar 29.1 > x2 tabel = 3.84.
Keteraturan Penggunaan Kontrasepsi
Keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dapat memicu terjadinya peningkatan berat badan.
Hal ini disebabkan karena dengan mengkonsumsi salah satu dari jenis kontrasepsi hormonal (pil, suntikan,
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

254

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

dan implant) berarti tubuh menerima hormon setiap hari, dengan demikian terjadilah peningkatan hormon
progesteron dan esterogen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak yang mengalami peningkatan berat badan
yaitu responden yang menggunakan kontrasepsi secara teratur yaitu sebanyak 108 orang (94.7%)
dibandingkan dengan responden yang menggunakan kontrasepsi secara tidak teratur sebanyak 8 orang
(53.3%). Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Winkjosastro (2005), dimana daya guna
kontrasepsi terdiri dari daya guna teoritis atau fisiologik (Teoritical Effectiveness), bahwa daya guna teoritis
merupakan kemampuan suatu cara kontrasepsi bila dipakai dengan tepat, sesuai dengan instruksi dan tanpa
kelalaian.
Dapat disimpulkan bahwa wanita pasangan usia subur yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas
Tamalanrea Makassar Tahun 2012, sebagian besar sudah teratur menggunakan kontrasepsi hormonal
khususnya jenis kontrasepsi implant sebesar 100% dibandingkan dengan kontrasepsi hormonal lainnya yaitu
pil sebesar 90.5% dan suntik sebesar 85.9%. Sesuai hasil wawancara keteraturan responden dalam
penggunaan kontrasepsi implant dikarenakan jenis kontrasepsi hormonal ini walaupun mahal dan
memerlukan perlukaan kecil saat pemasangan namun jangka waktu pemakaian kontrasepsi ini lebih lama
digunakan dibandingkan dengan pemakaian untuk jenis kontrasepsi pil dan suntikan.
Sesuai dengan Grafik 3 menunjukkan bahwa berat badan ibu sebelum menggunakan kontrasepsi
hormonal sebagian besar antara 45 49 kg yaitu sebesar 34.1% dan berat badan ibu sesudah menggunakan
kontrasepsi hormonal sebagian besar antara 50 54 kg yaitu sebesar 30.2%. Hal ini disebabkan karena
kandungan hormon pada kontrasepsi hormonal yaitu hormone estrogen dan progesterone yang dapat
merangsang pusat pengendali nafsu makan di hipotalamus yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak
dari biasanya.
Hasil analisis statistik dengan uji chi-square diketahui bahwa ada hubungan antara keteraturan
penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rika (2008), bahwa ada hubungan
yang signifikan antara keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan peningkatan berat badan pada
wanita pasangan usia subur yang berada di RW. 07 Kelurahan Grogol Kecamatan Limo Kodya Depok
dengan taraf signifikansi sebesar 0.000 (p < 0.005). Jika dilihat dari nilai OR, disimpulkan bahwa responden
yang menggunakan kontrasepsi hormonal secara teratur mempunyai kecenderungan yaitu berat badan
meningkat sebesar 9.7 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak teratur menggunakan
kontrasepsi hormonal, ini diakibatkan oleh kandungan hormon estrogen dan progesteron yang terdapat
dalam kontrasepsi hormonal.
Umur Mulai Mengggunakan Kontrasepsi Hormonal
Berdasarkan data dari New York Metropolitan Life Insurounce dalam Samsiana (2001)
menunjukkan bahwa pada obesitas kelompok umur 40 69 Tahun terbesar ditemukan angka kematian 36%
lebih besar daripada rata-rata wanita. Dan apabila disertai dengan pemakaian kontrasepsi hormonal dimana
diketahui bahwa pemakaian kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan nafsu makan yang disebabkan efek
androgenik dari progestin, selain itu dapat pula menyebabkan terjadinya retensi cairan sehingga berat badan
responden yang diukur mengalami perubahan yang dapat disebabkan oleh peningkatan secara fisiologis
akibat umur atau karena pemakaian kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu tertentu atau terjadi karena
kedua faktor tersebut secara bersama menyebabkan perubahan berat badan.
Hasil penelitian didapatkan bahwa paling banyak responden dengan umur < 35 tahun (aman) yang
mengalami kejadian peningkatan berat badan yaitu sebanyak 99 orang (90.8%) dibandingkan responden
dengan umur 35 tahun (tidak aman) yang mengalami kejadian peningkatan berat badan sebanyak 17 orang
(85.0%). Hal ini berarti bahwa pertambahan umur akseptor KB hormonal berbanding terbalik dengan
pertambahan berat badannya, dikarenakan adanya faktor lain seperti kebiasaan pola makan atau asupan gizi
dan aktivitas fisik yang dilakukan oleh akseptor.
Hasil analisis statistik dengan uji chi-square diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur
pertama kali penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Hasil penelitian
ini bertentangan dengan teori yang disebutkan oleh Speroff dan Darney (2004) dalam Maria (2006) yang
menyatakan bahwa sebagian besar wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal baik itu kontrasepsi pil
maupun suntikan mengalami peningkatan berat badan seiring meningkatnya usia mereka. Hal tersebut bisa
saja terjadi mengingat bahwa setiap kejadian suatu masalah kesehatan turut dipengaruhi oleh faktor orang
per orang, lingkungan dimana dia berada ataupun faktor lainnya. Dengan demikian dari hasil penelitian ini,
maka umur belum dapat dijadikan alasan sebagai faktor terjadinya perubahan berat badan pada akseptor
pengguna kontrasepsi hormonal. Namun, Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria,
dkk Tahun 2006 menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur pertama kali dengan
perubahan berat badan pada akseptor yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal, dimana diperoleh nilai
x2 hitung sebesar 0.045 < x2 tabel = 3.84.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

255

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

KESIMPULAN dan SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tamalanrea mengenai
hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan, maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara penggunaan jenis kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan implant)
dengan kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya penggunaan jenis
kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan implant) merupakan faktor penentu terjadinya peningkatan berat
badan. Ada hubungan antara lama pemakaian kontrasepsi hormonal 1 tahun dengan kejadian peningkatan
berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya lama pemakaian kontrasepsi hormonal 1 tahun
merupakan faktor penentu terjadinya peningkatan berat badan. Ada hubungan antara keteraturan penggunaan
kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya
keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal merupakan faktor penentu terjadinya peningkatan berat
badan. Tidak ada hubungan antara umur pertama kali ( 35 tahun) penggunaan kontrasepsi hormonal dengan
kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya umur pertama kali ( 35 tahun)
penggunaan kontrasepsi hormonal bukan faktor penentu terjadinya peningkatan berat badan.
Diharapkan bagi akseptor yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan implant)
yang telah mengetahui adanya efek samping dari pemakaian kontrasepsi tersebut sebaiknya berkonsultasi
lebih lanjut pada petugas kesehatan untuk beralih ke pemakaian kontrasepsi lain yang lebih aman seperti
AKDR yang tidak mengandung progestin dan estrogen.
DAFTAR PUSTAKA
Berenson, Abbey B dan Mahbubur R., 2009. Changes in weight, total fat, percent body fat, and centraltoperipheral fat ratio associated with injectable and oral contraceptive use. Department of
Obstetrics and Gynecology and the Center for Interdisciplinary Research in Womens Health,
University of Texas Medical Branch, Galveston, Texas, 200(3), hal 329.e1329.e8. [Online].
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2853746/pdf/nihms-174322.pdf
[Diakses
10
Oktober 2011].
BPS, 2010. Statistik Indonesia Statistical Pocketbook of Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik Azwar,
S. 2009. Sikap Manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Dinkes Kota Makassar, 2010. Laporan Keluarga Berencana (KB) Kota Makassar sampai Bulan Desember
Ekawati, Desi., 2010. Pengaruh KB Suntik DMPA Terhadap Peningkatan Berat Badan di BPS Siti
Syamsiyah Wonokarto Wonogiri. [Online]. http://eprints.uns.ac.id/134/1/167050309201010281.pdf.
Gallo, M, D Grines, dkk., 2004. Combination EstrogenProgestin Contraceptives and Body Weight:
Systematic Review of Randomized Controlled Trials. The American College of Obstetricians and
Gynecologists,
103
(2),
hal.
359-373.
[Online].
https://www.acog.org/from_home/publications/green_journal/2004/v103n2p359.pdf [Diakses 9
Oktober 2011].
Hartanto, Hanafi., 2010. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Cet.7. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Maria S, dkk. 2006. Jurnal Tentang Dampak Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal Terhadap Perubahan
Berat
Badan
Pada
Akseptor
Keluarga
Berencana.
hal.
51-58.
[Online].
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21075058.pdf [Diakses 11 Oktober 2011].
Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2010. Hasil Rekapitulasi Laporan Pelayanan KB sampai Bulan Desember,
Makassar.
Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2011. Hasil Rekapitulasi Laporan Pelayanan KB sampai Bulan
Desember, Makassar.
Sutami dan Hardjito, Koekoeh., 2010. Analisis Perbedaan Berat Badan Sebelum dan Sesudah
Menggunakan Alat Kontrasepsi Implant Lebih Dari 5 Tahun. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara
Forikes,
1
(3),
hal.
181-186.
[Online].
http://static.schoolrack.com/files/100398/295416/volume1_nomor3.pdf [Diakses 11 Oktober 2011].
Saifuddin, A.B dan Affandi. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Edisi 1. Jakarta: Yayasan
Bina Saewono Prawirahardjo.
Samsiana. 2001. Studi Perubahan Berat Badan Akseptor KB Hormonal dan Faktor Yang Mempengaruhinya
Di Puseksmas Barebbo Kec. Barebbo Kab. Bone. Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Wane, Sarah, Jannique and W Brown., 2010. Determinants of Weight Gain in Young Women: A Review of the
Literature. Journal Of Womens Health, 19 (7), hal. 1327-1340. [Online].
https://raiderwriter.engl.ttu.edu/SupplementalFiles/LitReview2.pdf [Diakses 9 Oktober 2011].
Wiknjosastro, Hanifa, dkk. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

256

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAJANAN KARBON MONOKSIDA (CO)


TERHADAP KADAR KARBOKSI HEMOGLOBIN (COHb) PETUGAS PARKIR TERTUTUP
(INDOOR) DI MAKASSAR TRADE CENTER (MTC)
1

Trianta Wati1, A.Arsunan Arsin2, Anwar Daud3


Alumni Program Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT

Carbon monoxide gas is colorless, tasteless, odorless, non-irritating, difficult to detect, toxic gas
that can cause respiratory distress and death (silent killer),carbon monoxide exposure in the workplace is
the most commonly experienced effects on workers (IAPA, 2008). The research aims to analyze the
relationship between risk factor exposure of carbon monoxide (CO) with levels of carboxy-hemoglobin
(COHb) in indoor parking officer at MTC Karebosi Makassar. This type of research is observational
analytic with cross sectional study design. Population and study sample is the entire parking officer who
worked in the indoor parking area at Makassar Trade Center (MTC) with a total of 101 parking officer by
exchaustive sampling techniques. Collecting data through interviews with questionnaires and observation.
COHb levels in blood obtained through a parking officer based laboratory test results using a
spectrophotometer. Bivariate analysis using Chi - Square to assess the association of risk factors exposure
carbon monoxide (CO) on levels of carboxy-hemoglobin (COHb) and then performed a multivariate
analysis to assess the most influential variables. The results showed that age, month of working and
nutritional status are not associated with COHb levels of indoor parking officer at MTC Karebosi Makassar
(p> 0.05), while smoking status (p = 0.001) and levels of CO in air (p = 0.031) associated with COHb levels
of covered parking officer at MTC Karebosi Makassar. Smoking status is the most influential factor to the
increased levels of COHb. Concluded that smoking status and levels of CO in the air associated with COHb
levels of indoor parking officer at MTC Karebosi Makassar. Management and control of the air duct system
on a regular basis in the indoor parking area is recommended to do in risk factor controlling air pollution
by carbon monoxide.
Keywords: karbon monoxide (CO), carboxy hemoglobin (COHb), indoor parking officer
PENDAHULUAN
Industrial Accident Prevention Association, 2008 mendefinisikan karbon monoksida adalah gas
tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak menyebabkan iritasi, mudah terbakar dan merupakan gas
beracun. Sifat yang sulit untuk dideteksi ini menjadikan karbon monoksida dikenal sebagai silent killer.
Dampak yang paling sering karena karbon monoksida adalah pada pekerja yang terkena paparan karbon
monoksida di tempat kerja. Konsentrasi tinggi karbon monoksida dalam darah seseorang dalam hitungan
menit dapat menyebabkan distress pernapasan dan kematian (Selvia, 2011; Wu. L, 2005).
Departemen Kesehatan Inggris Raya memperkirakan bahwa terdapat sekitar 4000 orang / tahun
yang didiagnosis dengan keracunan karbon monoksida (CO) dan angka ini tidak termasuk mereka yang
diagnosis yang tidak terjawab (Clarke, 2012). Keracunan karbon monoksida di Amerika Serikat masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan rata rata kunjungan ke unit gawat darurat adalah sekitar
50.000 kunjungan / tahun. Keracunan karbon monoksida ini dikaitkan dengan kejadian cuaca buruk dan
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

257

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

pemadaman listrik, sehingga masyarakat banyak menggunakan generator berbahan bakar minyak bumi
(Gulati, 2009).
Data dari beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang kadar COHb menunjukkan bahwa umur,
masa kerja, jam kerja dan kebiasaan merokok berpengaruh terhadap tingkat COHb dalam darah (Clarke
dkk., 2012; Muslimin, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mansyur (2008) secara makro
kualitas udara ambien Kota Makassar parameter karbon monoksida (CO) selama kurun waktu 2001 -2005
yang diukur pada lima lokasi yaitu perwakilan Pusat Kota (lapangan karebosi dan depan Stadion
Mattoangin); perwakilan Kawasan Pemukiman (Panaikang); perwakilan kegiatan Jasa dan Pendidikan (Jalan
Urip Sumoharjo) dan perwakilan kegiatan Perdagangan (Pasar Sentral dan Pasar Pannampu); perwakilan
kawasan industri (depan PT. Berdikari dan Kawasan Industri Makassar (KIMA)). Hasil pengukuran yang
diperoleh berdasarkan parameter pencemar karbon monoksida (CO) dengan baku mutu 24 jam = 150
g/Nm3 adalah tertinggi walaupun belum melampaui baku mutu (PP 41 / 1999). Di pasar Pannampu (4496
g/Nm3) dan jalan Urip Sumoharjo (4457 g/Nm3) serta terendah dilapangan Karebosi (1646 g/Nm3) yang
disebabkan oleh lalu lintas yang padat atau berasal dari kendaraan dan pemukiman padat. Secara
keseluruhan, emisi gas buang kendaraan dan kualitas udara ambien di Kota Makassar secara langsung saling
mempengaruhi, karena semakin tinggi tingkat emisi gas buang kendaraan dalam jumlah kumulatif di jalan
raya akan mempengaruhi kualitas udara secara keseluruhan (Mansyur, 2008). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa polusi udara di luar ruangan dan dalam ruangan adalah sama bahkan lebih tinggi karena
sebagian besar waktu seseorang dihabiskan di dalam ruangan (Franklin, 2007; Sofuoglu dkk., 2011; Sousa. S
dkk, 2012; Fullerton dkk., 2009).
Salah satu pusat perbelanjaan di kota Makassar yang banyak dikunjungi masyarakat adalah
Makassar Trade Center (MTC) dimana pusat perbelanjaan ini menggunakan sistem perparkiran tertutup
dengan daya tampung kendaraan lebih kurang 850 unit untuk kendaraan roda empat dan 600 unit kendaraan
roda dua dengan memaksimalkan basement sebanyak dua lantai.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian pada tempat parkir indoor
(parkir tertutup) MTC di kota Makassar dengan tujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko
pemajanan karbon monoksida (CO) dengan kadar karboksi hemoglobin (COHb) petugas parkir tertutup di
MTC Karebosi Kota Makassar yang diharapkan dapat di jadikan sebagai acuan untuk mempertimbangkan
aspek lingkungan dalam pembuatan tempat parkir indoor (parkir tertutup) di Kota Makassar.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional study.
Penelitian ini dilaksanakan di Area Parkir Tertutup (Indoor) Makassar Trade Center (MTC) Kota Makassar.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Petugas Parkir yang bekerja di area parkir tertutup
Makassar Trade Center (MTC). Sampel dalam penelitian ini adalah petugas parkir tertutup Makassar Trade
Center (MTC) yang berjumlah 101 petugas, bersedia menjadi responden dan menandatangani formulir
persetujuan penelitian.
Analisis data
Data diolah dan dianilisis di komputer menggunakan program SPSS for Windows 20. Analisis data
menggunakan uji Chi Square untuk menilai hubungan faktor risiko pemajanan karbon monoksida (CO)
terhadap kadar karboksi hemoglobin (COHb) dan selanjutnya dilakukan analisis multivariat dengan uji
logistik regresi untuk menilai variabel yang paling berpengaruh.
HASIL
Karakteristik sampel
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden 66,3% (67 orang)
berjenis kelamin perempuan namun dari 21 responden yang memiliki kadar COHb tidak memenuhi syarat
sebanyak 50% (17 orang) berjenis kelamin laki laki dan hanya 6% (4 orang) yang berjenis kelamin
perempuan. Pendidikan terakhir sebagian besar responden 99% (100 orang) adalah SMA dan dari 21
responden yang memiliki kadar COHb tidak memenuhi syarat sebesar 100% (21 orang) memiliki latar
belakang pendidikan tamat SMA (Sekolah Menengah Atas).
Tabel 1 Karakteristik Responden berdasarkan jenis kelamin dan pendidikan terhadap kadar COHb

Jenis Kelamin

Kadar COHb
Tidak Memenuhi
Memenuhi
Syarat
Syarat
n
%
n
%

Jumlah
n

Jenis Kelamin
Laki laki

17

50,0

17

50,0

34

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

100,0

258

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Perempuan
Jumlah

4
21

6,0
20,8

63
80

94,0
79,2

67
101

100,0
100,0

SMA
Perguruan Tinggi
Jumlah

21
0
21

21,0
0,0
20,8

79
1
80

79,0
100,0
79,2

100
1
101

100,0
100,0
100,0

Pendidikan

Data Primer
Semua responden bekerja selama 8 jam/hari selama enam hari kerja dengan kumulatif jam kerja
dalam satu minggu adalah 48 jam/minggu. Dari 101 responden, sebesar 14,9% (15 orang) yang merokok,
dari 15 yang merokok, 77,3% (11 orang) masuk kategori perokok ringan. Adapun usia saat pertama kali
menjadi perokok aktif yang terbanyak berada pada umur di atas 15 tahun yaitu sebesar 80% (12 orang)
dengan jenis rokok yang dihisap oleh semua responden adalah rokok filter putih.
Kadar CO di Udara
Pengukuran kadar CO di udara dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada waktu pagi hari pukul 07.30
09.00 WITA sebagai keterwakilan kadar CO udara untuk pagi hari pada saat aktifitas perparkiran basement
1, 2 dan Karebosi Link dimulai dan juga waktu kerja awal shift 1, setelah itu pengukuran kedua dilakukan
pada pukul 14.30 15.30 WITA sebagai keterwakilan kadar CO udara pada saat pergantian shift 1 ke shift 2
dan pengukuran ketiga dilakukan pada pukul 22.30 23.30 WITA sebagai keterwakilan waktu akhir shift 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata rata kadar karbon monoksida di udara pada parkiran basement 1, 2 dan
Karebosi link untuk pengukuran malam hari dan pagi hari masih berada di bawah Nilai Ambang Batas yaitu
dibawah 29 mg/m3. Pada pengukuran udara yang dilakukan di siang hari pukul 14.30 15.30 WITA , rata
rata konsentrasi CO untuk basement 1 dan 2 masih berada dibawah Nilai Ambang Batas dan untuk
perparkiran Karebosi Link, rata rata kadar CO udara berada di atas Nilai Ambang batas yaitu 31,2 mg/m3.
Tabel 2. Distribusi kadar CO di Udara berdasarkan tempat dan waktu pengukuran
Konsentrasi CO (mg/m3)
Pagi
Siang
Malam
0,264
21,582
0,264
0,176
21,055
0,176
0,088
11,495
0,088
0,967
21,462
0,088
0,264
24,923
0,088
0,352
20,103
0,141
0,088
21,703
0,088
1,143
22,231
0,088
1,582
23,989
0,088
1,231
22,022
0,088
1,407
21,934
0,088
1,090
22,376
0,088
0,088
25,527
0,352
0,088
25,791
0,088

Lokasi
Basement 2

Department
Depan Lift
Depan Ruang Genset
Depan PT. Smart
Bagian Tengan

Rata-rata
Basement 1

Samping Carrefour
Samping Mushollah
Pos Tiket Carrefour
Depan Ruang Genset
Bagian Tengah

Rata-rata
Karebosi Link

Pintu Keluar Mobil


Depan Pusat Perawatan
Mobil
Blok H35
Blok K18
Blok K09

0,176
0,264
0,352
0,194

Rata-rata
Data Primer

32,484
37,451
34,747
31,200

0,088
0,088
0,088
0,141

Tabel 3. Distribusi kadar COHb berdasarkan usia, lama kerja, status gizi, staus merokok dan kadar
CO di Udara

Variabel

Usia
30 44 Tahun
15 29 Tahun

Kadar COHb
Tidak
Memenuhi
Memenuhi
Syarat
Syarat
n
%
N
%

5
16

13
88

Jumlah

Uji statistik
(p)

%
0,137

38,5
18,2

8
72

61,5
81,8

100,0
100,0

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

259

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Jumlah
21
20,8
80
79,2
101
100,0
Lama Kerja
18 Bulan
13
25,5
38
74,5
51
100,0
0,352
<18 Bulan
8
16,0
42
84,0
50
100,0
Jumlah
21
20,8
80
79,2
101
100,0
Status Gzi
Gizi Kurang
7
30,4
16
69,6
23
100,0
0,243
Gizi Normal
14
17,9
64
82,1
78
100,0
Jumlah
21
20,8
80
79,2
101
100,0
Status Merokok
Perokok
12
80,0
3
20,0
15
100,0
0,001
Bukan Perokok
9
10,5
77
89,5
86
100,0
Jumlah
21
20,8
80
79,2
101
100,0
Kadar CO di Udara
Melebihi NAB
11
35,5
20
64,5
31
100,0
0,031
Sesuai NAB
10
14,3
60
85,7
70
100,0
Jumlah
21
20,8
80
79,2
101
100,0
Data Primer
Tabel 3 menunjukkan bahwa Usia, Lama Bekerja dan Status Gizi tidak berhubungan dengan kadar
COHb petugas parkir tertutup di MTC Karebosi Kota Makassar (p > 0,05) sedangkan Status Merokok (p =
0,001) dan Kadar CO di Udara (p = 0,031) berhubungan dengan kadar COHb petugas parkir tertutup di
MTC Karebosi Kota Makassar.
Analisis Multivariat
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil analisis multivariat dengan menggunakan Uji Regresi
Logistik terhadap empat variabel, hanya variabel status merokok berhubungan dengan kadar COHb dengan
nilai Wald (20,609, sig. = 0,001). Persamaan regresi logistik model akhir adalah sebagai berikut : Y = 2,843 + 3,515 (rokok)
Tabel 4 Hasil uji regresi variabel independen yang berhubungan secara bermakna dengan
peningkatan kadar COHb responden

Variabel
Usia
Status Gizi
Status Merokok
Konsentrasi CO di Udara
Constant

B
1,047
0,863
3,515
0,788
-2,843

Wald

Sig.

Exp
()

1,623
1,525
20,60
9
1,481
27,96
5

0,203
0,217
0,001

2,850
2,369
33,599

0,224
0,001

2,200
0,058

95% CI for Exp


()
Lower
Upper
0,569
14,282
0,603
9,314
7,368 153,217
0,618

7,832

Data Primer
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa dari 101 responden sebanyak 21 responden yang memiliki
kadar COHb tidak memenuhi syarat dengan sebanyak 50% berjenis kelamin laki laki. Hal ini
menunjukkan bahwa laki laki lebih berisiko karena lebih banyak memiliki faktor risiko berupa perilaku
merokok dan lebih aktif bersinggungan dengan pengaturan kendaraan di tempat parkir.
Usia berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas suatu zat, semakin tua
usia seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di dalam tubuh akan semakin berkurang. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan usia dengan kadar COHb, nilai p > 0,05 (0,137). Tidak ada
hubungan yang bermakna antara usia terhadap kadar COHb dalam darah responden dapat disebabkan jarak
usia responden tidak terlalu jauh atau terdapat variasi yang kecil pada usia responden yaitu sebagian besar
berada pada usia 15 29 tahun. Hal lainnya yang mempengaruhi adalah secara keseluruhan usia responden
berada pada usia muda yaitu berada dibawah 40 tahun, pada usia ini fungsi fungsi organ dalam tubuh dan
fungsi- fungsi enzim untuk menetralisir racun masih berada dalam kemampuan fungsi metabolisme yang
maksimal dan belum mengalami penurunan fungsi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Clarke, dkk (2012) di Inggris yang melakukan skrining keterpaparan karbon monoksida, pada setiap variabel
kelompok umur terhadap peningkatan kadar COHb tidak ada hubungan yang signifikan. Selain itu penelitian

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

260

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

yang dilakukan oleh Weaver, dkk (2007) di Salt Lake City, Utah juga tidak menyatakan tidak ada hubungan
yang signifikan untuk umur dibawah 36 Tahun (p = 0,45) terhadap keracunan CO dan level COHb.
Lama bekerja sangat berhubungan dengan estimasi dimulainya keterpajanan dan efek yang
ditimbulkan akibat keterpajanan tersebut (Ezzati, 2004). Dari 21 responden yang memiliki kadar COHb
tidak memenuhi syarat diperoleh sebanyak 13 orang (25,5%) memiliki lama kerja lebih besar sama dengan
18 bulan (diatas 1 tahun 6 bulan) dan sebanyak 8 orang memiliki lama kerja lebih kecil dari 18 bulan
(dibawah 1 Tahun 6 bulan). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama bekerja
dengan Kadar COHb, nilai p > 0,05 (0,352). Hal ini sesuai dengan Badan POM RI (2010) yang menyatakan
bahwa karbon monoksida bukan merupakan racun yang bersifat kumulatif atau karsinogenik. Meskipun
karbon monoksida bukan merupakan racun yang kumulatif, paparan kronik rendah hingga sedang dapat
menimbulkan serangan pengambilan oksigen berulang dan efek resultan termasuk kerusakan kardiovaskuler
atau sistem saraf pusat.
Status gizi yang kurang atau buruk akan berpengaruh terhadap kemampuan tubuh untuk mengganti
jaringan yang mati akibat terpapar CO di dalam darah. Asupan nutrisi juga diperlukan dalam rangka
pembentukan sel sel darah merah (hemoglobin), pembentukan hemoglobin membutuhkan suplai protein
yang kuat dalam bentuk asam amino. Uji statistik variabel status gizi terhadap kadar COHb diperoleh nilai p
= 0,243 yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi terhadap kadar COHb
responden. Penelitian yang dilakukan Ekpenyong, dkk (2012) tentang Body Mass Index (BMI) terhadap
keterpaparan polusi udara CO pada pekerja pelayanan masyarakat, pengendara kendaraan bermotor pribadi
dan supir taksi di Kota Uyo, Nigeria Utara didapatkan nilai p = 0,480 yang berarti tidak ada hubungan yang
bermakna antara keterpaparan CO terhadap BMI.
Merokok menjadi salah satu sumber karbon monoksida bagi perokok itu sendiri dan bagi orang lain
disekitarnya. Dalam asap rokok terkandung sejumlah senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh diantaranya
nikotin, tar dan karbon monoksida. Rokok merupakan sumber polusi udara yang paling besar pada ruang
tertutup (Nazaroff, 2004; Mueller, 2011). Sebanyak 15 orang responden (14,9 %) adalah perokok
aktif,dari 15 orang responden tersebut semuanya berjenis kelamin laki laki dan sebanyak 4 orang
responden (26,7 %) kategori perokok sedang (10 20 batang/hari) dan 11 orang responden (73,3 %) kategori
perokok ringan (< 10 batang/hari). Sebanyak 12 responden (80%) memulai sebagai perokok aktif pada usia
di atas 15 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara status merokok terhadap
kadar COHb darah responden p = 0,001. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Clarke, dkk
(2012) yang menunjukkan kadar COHb perokok lebih tinggi dibanding kadar COHb bukan perokok (p
0,05). Pada hasil analisis multivariat, merokok merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kadar
COHb responden dengan probabilitas 66,19% pada perokok aktif dan 5,50% pada bukan perokok. Besarnya
pengaruh asap rokok bagi kadar COHb karena dalam asap rokok terkandung karbon monoksida (CO)
dengan konsentrasi lebih dari 20000 ppm, yang apabila dihisap maka konsentrasi tersebut terencerkan
menjadi 400 500 ppm. Konsentrasi CO yang tinggi dalam asap rokok tersebut yang mengakibatkan kadar
COHb di dalam darah meningkat (Fardiaz, 1992). Kemampuan karbon monoksida untuk mengikat
hemoglobin pada asap rokok adalah sebesar 245 kali dibandingkan oksigen (Light dkk, 2007)
Karbon monoksida yang ada di udara dan terhirup akan diikat oleh hemoglobin dan menjadi COHb
(Issa,dkk, 2010). Pada konsentrasi tertentu, karbon monoksida di udara dan konsentrasi COHb dalam darah
akan mencapai keadaan setimbang (ekuilibrium) dalam beberapa waktu tertentu. Konsentrasi ekuilibrium
COHb tersebut akan tetap dipertahankan dalam darah selama konsentrasi karbon monoksida di udara
sekelilingnya tidak mengalami perubahan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil uji statistik, untuk kadar CO
Udara terhadap kadar COHb diperoleh nilai p = 0,031 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara
kadar CO Udara terhadap kadar COHb petugas. Hal ini sejalan dengan peneltian yang dilakukan oleh
Muslimin (2005) yang menyatakan bahwa konsentrasi karbon monoksida di udara memiliki hubungan yang
linier dengan konsentrasi CO dalam darah petugas. Kadar COHb tidak berhubungan dengan ganguan
kesehatan yang dirasakan oleh responden (p > 0,05) hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Selvia (2011) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar COHb dengan gangguan kesehatan
berupa kapasitas vital paru. Kadar CO udara yang sebagian besar masih berada dibawah NAB apabila
dihubungkan dengan kadar COHb yang sebagian besar responden masih memenuhi syarat terhadap
gangguan kesehatan yang dirasakan oleh responden diperoleh hasil sebagian besar responden merasakan
pusing (54,5%), mengantuk (38,6 %) dan lemah / lelah (23%). Kadar COHb dan kadar CO udara yang
sebagian besar responden masih memenuhi syarat namun juga tetap merasakan beberapa gangguan
kesehatan dapat terjadi apabila dilihat dari lama jam kerja responden yang secara keseluruhan telah melebihi
ketentuan yaitu berada diatas 40 jam/minggu. Hal lain yang juga dapat menjadi penyebab adalah dalam
penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap gas gas pencemar udara yang lain yang biasanya juga
menyertai dalam pembuangan gas emisi kendaraan berupa CO 2 (karbon dioksida), timbal, NOx, dan PM10
(Partikulat Matter). Padahal pemaparan oleh gas gas tersebut juga dapat menimbulkan efek gangguan
kesehatan dengan gejala umum yang sama.
KESIMPULAN DAN SARAN
Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

261

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Disimpulkan bahwa status merokok dan kadar CO di udara berhubungan dengan kadar COHb
petugas parkir tertutup di MTC Karebosi Kota Makassar. Pengelolaan dan pengontrolan secara berkala
sistem saluran udara di areal parkir tertutup dianjurkan untuk dilakukan dalam upaya pengendalian faktor
risiko polusi udara karbon monoksida.
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI (2010). Karbon Monoksida. Sentra Informasi Keracunan Nasional (SiKer Nas) BPOM,
Jakarta.
Clarke, dkk (2012). Screening for Carbon Monoxide Exposure in Selected Patient Groups Attending Rural
and Urban Emergency Departments in England: A Prospective Observational Study. BMJ Open
2012;2:e000877.
Ekpenyong, dkk (2012). Urban City Transportation Mode and Respiratory Health Effect of Air Pollution: A
Cross-Sectional Study Among Transit and Non-transit Workers in Nigeria. BMJ Open
2012;2:e001253.
Marisol Concha-Barrientos, Deborah Imel Nelson, Timothy Driscoll, N. Kyle Steenland, Laura Punnett,
Marilyn
A.
Fingerhut
(2004)
Selected
occupational
risk
factors..
www.who.int/publications/2004/9241580348_eng_vol.2_pdf. Diakses tanggal 30 April 2013.
Fardiaz, S (1992). Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
D G Fullerton,1,2 S Semple,3 F Kalambo,1 A Suseno,1,2 R Malamba,1 G Henderson (2009). Biomass fuel
use and indoor air pollution in homes in Malawi. Occup Environ Med 2009;66:777783.
doi:10.1136/oem.2008.045013
Franklin PJ (2007). Indoor air quality and respiratory health of children. Paediatric Respiratory Journal
2007, 8:281286.
Gulati, dkk (2009). Carbon Monoxide Epidemic Among Immigrant Populations: King County, Washington,
American Journal of Public Health September 2009, Vol 99, No. 9
Jaqueline S Issa, Tania M O Abe, Alexandre C Pereira, Maria Cristina Megid, Cristina E Shimabukuro, Luis
Sergio O Valentin, dkk (2010). The effect of Sao Paulos smoke-free legislation on carbon
monoxide concentration in hospitality venues and their workers. Tobacco Control Journal
2011;20:156e162. doi:10.1136/tc.2010.037614
Light A., Grass C., Pursley D., Krause J (2007). Carboxyhemoglobin Levels in Smokers vs. Non-Smokers in
a Smoking Environment. Respiraroty Care Journal 2007; 52(11): 1576.
Lingyun Wu, Rui Wang (2005). Carbon Monoxide:Endogenous Production,Physiological Functions, and
Pharmacological Applications. pharmrev.aspetjournals.org
Mansyur, Umar (2008). Model Pengelolaan Transportasi Angkutan Umum Penumpang Non Bus
Berkelanjutan Kota Makassar; IPB, Bogor.
Muslimin (2005). Analisis Faktor faktor yang Berhubungan dengang Konsentrasi Karbon Monoksida
(CO) dalam Darah Petugas DLLAJ dengan Kejadian Nyeri Kepala di Kota Makassar. Tesis,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar.
Daniel Mueller, Stefanie Uibel, Markus Braun, Doris Klingelhoefer, Masaya Takemura, David A Groneberg
(2011). Tobacco smoke particles and indoor air quality (ToPIQ) - the protocol of a new study.
Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2011, 6:35
Nazaroff WW, Singer BC (2004). Inhalation of hazardous air pollutants from environmental tobacco smoke
in US residences. J Expo Anal Environ Epidemiol 2004, 14:S71-S77.
Selvia, Indah Rahmawati, Joko Mulyanto (2011). Hubungan kadar hbco dengan kapasitas vital paru
pedagang di terminal bus purwokerto. Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011
Sofuoglu SC, Aslanb G, Inal F, Sofuoglu A (2011) An assessment of indoor air concentrations and health
risks of volatile organic compounds in three primary schools. Int J Hyg Environ Health 2011,
214:3646.
Sofia I V Sousa, Catarina Ferraz, Maria C M Alvim-Ferraz, Luisa G Vaz, Agostinho J Marques, Fernando G
Martins (2012). Indoor air pollution on nurseries and primary schools: impact on childhood
asthma study protocol. BMC Public Health 2012, 12:435
Weaver, dkk (2007). Carbon Monoxide Poisoning Risk Factors for Cognitive Sequelae and the Role of
Hyperbaric Oxygen. American journal of respiratory and critical care medicine vol 176 2007

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

262

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

263

You might also like