You are on page 1of 5

Pembenihan udang vanname Litopeneaus vannamei di hatchery BAPPL-STP

Serang
Hatchery vannanei shrimp Litopeneaus vannamei in BAPPL-STP Serang
Achmad Irfandy, Dhieka Prasetyo, Dita Elviena, Muhamad Fajrin, Nelvan Subayu,
Pertiwi Retno Lestari, Retno Fitrianingsih, Satria Dewantara, Tsauqi Hudaya Arfian,
Wakhidatus Soliha.
Program Studi Teknologi Akuakultur, Jurusan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan,
Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta 2016

ABSTRACT
Vannamei shrimp is a shrimp native of West Pacific Coast of Latin America, was introduced in Tahiti in the early
1970s to study the potential of the area. Then the development of intensive cultivation in Hawaii, the north - west
Pacific coast, the east coast of the Atlantic (South Carolina), Gulf of Mexico (Texas), Belize, Nicaragua, Colombia,
Venezuela, and Brazil in the late 1970s and before 1980. vannamei shrimp introduced in Asia for research purposes
in the year 1978 - 1979 and for commercial activities in the 1990s. Settling countries - Asian countries are as
follows: Mainland China, 1988; Taiwan, 1995; Vietnam, 2000; Indonesia, in 2001, Thailand, 1998; Malaysia, 2001;
India, in 2001, the Philippines, 1997; Pacific Islands, 1972 (Briggs et al. 2004).In Indonesia, at least there are about
419 282 ha of brackish water ponds and about 913 000 hectares of land for cultivation of other potential. Surely this
can be a contributing factor and trigger the development of shrimp farming industry in line with the development of
science in Indonesia, Asia and even the world community in general (Southeast Asian Fisheries Development
Center (SEAFDEC), 2005).The purpose of the practice of these skills is to know the technique, the factors
supporting and inhibiting factors (constraints) in the shrimp hatchery vanname. Practice this skill implemented in
Backyard Vanname Administration Fisheries Training Courses - Fisheries High School, Serang. On February 1 to
March 12, 2016. The working method used in the practice of this expertise is descriptive and data collection
techniques include primary data and secondary data. Data were collected by observation and study of heritage.

ABSTRAK
Udang vannamei merupakan udang asli dari Pantai Pasifik Barat Amerika Latin, diperkenalkan di Tahiti pada awal
tahun 1970 untuk penelitian potensi wilayah. Kemudian pengembangan budidaya yang intensif di Hawaii, utara barat pantai Pasifik, pantai timur Atlantik (South Carolina), Teluk Meksiko (Texas), Belize, Nikaragua, Kolombia,
Venezuela, dan Brazil di akhir tahun 1970an dan sebelum 1980. Udang vannamei diperkenalkan di Asia untuk
tujuan penelitian pada tahun 1978 - 1979 dan untuk kegiatan komersial pada tahun 1990an. Perkenalan negara negara Asia adalah sebagai berikut : Daratan China, 1988; Taiwan, 1995; Vietnam, 2000; Indonesia, 2001, Thailand,
1998; Malaysia, 2001; India, 2001, Filipina, 1997; Kepulauan Pasifik, 1972 (Briggs et al. 2004).
Di Indonesia setidaknya terdapat sekitar 419.282 Ha tambak air payau dan sekitar 913.000 Ha lahan lainya yang
potensial untuk budidaya. Tentunya hal ini dapat menjadi faktor pendukung dan pemicu perkembangan industri
budidaya udang yang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan baik di Indonesia, Asia bahkan masyarakat
dunia secara umum (Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), 2005).
Tujuan dari praktek keahlian ini adalah untuk mengetahui teknik, faktor pendukung dan faktor penghambat
(kendala) dalam pembenihan udang vanname. Praktek keahlian ini dilaksanakan di Backyard Vanname Bagian
Administrasi Praktek Perikanan Lapangan Sekolah Tinggi Perikanan, Serang. Pada tanggal 1 Februari sampai 12
Maret 2016. Metode kerja yang digunakan dalam praktek keahlian ini adalah metode deskriptif dan teknik
pengambilan data meliputi data primer dan data sekunder. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dan
studi pusaka.

Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, 2016

Page 1

PENDAHULUAN
Kegiatan budidaya udang di Indonesia sudah lama
dilakukan oleh masyarakat pembudidaya yaitu sekitar
periode 80-an, dari mulai penerapan teknologi yang
sangat sederhana hingga penerapan teknologi
intensif.
Teknologi ini berkembang karena
permintaan konsumsi yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun baik pasar dalam negeri maupun luar
negeri, sehingga menuntut peningkatan produki
udang (Farchan, 2006).
Tahun 1996 produksi udang yang
sebelumnya terus meningkat cenderung menurun.
Penurunan produksi disebabkan karena timbulnya
berbagai macam penyakit (terutama white spot dan
vibriosis)
(Subaidah dkk., 2009). Upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan produksi Dengan
mengusahakan benih udang yang tahan terhadap
penyakit, cepat tumbuh dan mampu diterima pasar.
Udang putih Amerika Litopenaeus vannamei
merupakan salah satu pilihan jenis udang yang dapat
dibudidayakan di Indonesia, selain udang windu
(Litopenaeus monodon). Udang vanname masuk ke
Indonesia pada tahun 2001. Pada Mei 2002,
pemerintah memberikan izin kepada dua perusahaan
swasta untuk mengimpor induk udang vanname
sebanyak 2.000 ekor. Selain itu, juga mengimpor
300.000 ekor dari Amerika Latin (Amri & Kanna,
2008).
Udang vanname (Litopenaeus vannamei)
merupakan solusi alternatif dalam memperkaya dan
menambah produksi udang budidaya. Kelebihan jenis
udang ini adalah lebih resisten terhadappenyakit dan
kualitas lingkungan yang rendah. Udang vanname
yang sering disebut udang putih tumbuh pada
salinitas 5 g/l hingga 35 g/l pada kisaran suhu 24320C. kadar oksigen 4 mg/l, pH air 7-8,5 (Subaidah
dkk., 2009). Udang vanname juga toleran terhadap
kepadatan yang tinggi yaitu lebih dari 70 ekor/m2,
dan udang vanname mampu tumbuh baik dengan
pakan berprotein rendah.
Ketersediaan benih (benur) yang bermutu
merupakan satu diantara faktor penentu keberhasilan
budidaya udang di tambak. Tambak udang di
Indonesia diperkirakan memiliki areal seluas 300.000
Ha, dari jumlah tersebut sekitar 3.500 Ha dikelola
secara intensif dengan padat penebaran tinggi yakni
400.000-600.000 benur/Ha/musim. Benur dari alam
hanya dapat memenuhi 20% dari total kebutuhan
tambak udang, sedangkan 80% kekurangannya
diharapkan dari produksi benur hatchery (Sugama,
1993 dalam Wardiningsih, 1999).
Kendala dalam kegiatan pembenihan adalah
kurang stok induk udang yang berkualitas, makanan
yang kurang cocok, teknik pemeliharaan larva dan

Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, 2016

pengelolaan yang belum memadai, hal ini


menyebabkan produksi benih yang kualitasnya masih
rendah. Salah satu upaya untuk mendapatkan benur
berkualitas baik yaitu selalu mengupayakan agar
media
pembenihan
selalu
optimal
untuk
pemeliharaan larva, misalnya dengan melakukan
pengelolaan air media larva, pengelolaan pakan dan
pengendalian penyakit sebaik mungkin.

METODE PRAKTEK
Praktek ini dilaksanakan di Backyard Udang BAPPLSTP Serang, Banten. Pada Tanggal 1 Februari sampai
12 Maret 2016. Metode pengumpulan data yang
dilakukan dalam kegiatan praktek keahlian adalah
Data Primer dan Data Sekunder, Serta dalam analisis
data dilakukan secara deskripti dan kuantitatif.
Pengolahan data dilakukan dengan cara Tabulating,
Editing, dan Analiting.

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Persiapan wadah dan Media Pemeliharaan
Backyard pembenihan udang vanname BAPPL-STP
Serang memiliki 4 unit bak pemeliharaan dengan
kapasitas masing-masing 12 m3. Bak pemeliharaan
udang vanname terbuat dari semen (bak beton).
Berbentuk persegi panjang dengan dimensi ukuran
bak 2,1 m x 4,7 m x 1,2 m, sehingga volume bak
pemeliharaan adalah 11,8 m3. Sedangkan volume air
yang digunakan untuk pemeliharaan adalah 7 m3.
Volume yang digunakan tidak terlalu dalam
dikarenakan agar sinar matahari dapat menembus air
hingga dasar, serta bagian sudut-sudut baknya tidak
terdapat titik mati. Bak pemeliharaan larva dibuat
tumpul pada ujungnya untuk menhindari penempelan
pada kotoran dan mempermudah sirkulasi air.
4.2 Penebaran Nauplii
Penebaran nauplii udang vanname dilakukan pada
malam hari pukul 19.00-19.40 WIB. Aklimatisasi
dilakukan cukup lama hal ini dikarenakan terlalu jauh
perbedaan salinitas antara kantong dengan bak
pemeriharaan larva. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyatan Haliman dan Adijaya (2005) yang
mengatakan sebaiknya penebaran dilakukan pada
pagi atau sore hari dengan tujuan agar nauplii yang
ditebar tidak stress dan tidak mengalami kematian
massal.
Nauplii yang ditebar ialah stadia Nauplii 4
(N4). Nauplii tersebut diperoleh dengan membeli dari
PT. Syaqua Lampung.
Untuk mengetahui salinitas dan temperatur
pada kantong nauplii dan bak pemeliharaan maka
dilakukan pengecekan kualitas air. Setelah udara
dalam kantong mengembun dan salinitas, suhu, dan

Page 2

pH diketahui maka lakukan secara perlahan percikanpercikan air agar larva dapat beradaptasi dengan baik
dengan perbedaan salinitas yang ada didalam kantong
dengan yang berada dibak pemeliharaan, serta diberi
aerasi di dalam kantong agar suplai oksigen terus ada.
Menurut, Sutadi (1993) untuk penurunan kadar
garam sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 1530 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak
pemeliharaan sudah sama dengan air media pada
kantong packing nauplii maka proses aklimatisasi
salinitas dianggap sudah selesai.
4.3 Pengelolaan Pakan
Menurut Cahyaningsih (2006). Pada stadia
naupliius (mulai saat tebar sampai 3 hari) larva masih
belum diberi pakan, karena dalam tubuhnya masih
mempunyai persediaan makanan yaitu kantong
kuning telur. Tetapi setelah naupliius berkembang
menjadi zoea, larva mulai membutuhkan makanan,
terutama makanan yang melayang-layang dalam air.
4.4 Pengelolaan Air
Kualitas air adalah suatu upaya memanipulasi
kondisi lingkungan sehingga mereka berada dalam
kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan
pertumbuhan udang. Pengelolaan kualitas air dalam
bak pemeliharaan larva bertujuan agar kondisi
lingkungan media tetap terjaga dan dalam keadaan
optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan larva.
Sehingga larva udang mampu tubuh dan
berkembang. Kegiatan yang dilakukan dalam
pengelolaan air ini adalah pengamatan parameter
kualitas air.
Pengukuran parameter kualitas air bertujuan
untuk menentukan tindakan apa yang harus
dilakukan jika kualitas air dalam keadaan tidak
kondusif atau tidak sesuai dengan kehidupan larva
udang. Parameter kualitas air yang diukur adalah
parameter fisika, yaitu temperatur, pH, dan salinitas.
Sedangkan parameter kimia yaitu DO, CO2 dan
alkalinitas.

4.5 Pertumbuhan
4.5.1 Pengamatan perkembangan larva
Pengamatan perkembangan larva bertujuan
untuk mengamati perkembangan larva, mengetahui
perubahan stadianya, serta mengetahui estimasi
populasi larva. Monitoring perkembangan larva
meliputi pengamatan perkembangan stadia larva dan
kegiatan sampling populasi.
Setelah menetas larva akan berkembang
menjadi 3 stadia yaitu naupliius, zoea, mysis. Selama
stadia naupliius larva masih memanfaatkan nutrisi

Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, 2016

dari yolk egg yang dibawanya, dan setelah moulting


menjadi zoea baru mencari makanan dari luar berupa
mikroalga. Setelah zoea berubah menjadi mysis,
larva berubah dari herbivora menjadi karnivora, yaitu
dengan memakan zooplankton.
Stadia mysis
kemudian berakhir dan menginjak stadia post larva,
stadia ini sudah menyerupai udang muda dalam hal
makanan maupun tingkah lakunya. Pada stadia larva
bersifat planktonik, setelah post larva bersifat bentik.
Larva akan berpindah tempat dari laut terbuka
bermigrasi ke arah pantai dan estuari sampai menjadi
dewasa (Farchan, 2006).
4.5.2. Sampling Populasi Larva
Sampling populasi larva merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi dari
suatu bak pemeliharaan. Sehingga kita bisa
mengetahui SR yang akan kita capai. Sampling
dilaksanakan pada saat malam hari pada kondisi
lingkungan gelap, dengan cara mematikan seluruh
lampu sorot yang ada dan tunggu beberapa menit
agar larva menyebar merata di badan air.
Pengambilan titik smpel berjumlah empat titik, yaitu
pada setiap sudut bak. Pengambilan sampel
menggunakan beaker glass 1 liter, kemudian dihitung
berapa jumlah larva yang terbawa di dalamnya.
4.6
Pengendalian Hama dan Penyakit
Dalam masa pemeliharaan larva udang vanname di
hatchery BAPPL-STP Serang pada bak B terdapat
jamur merah (Sirolpidium) di bagian dasar bak.
Jamur Sirolpidium diduga timbul karena sisa dari
bahan pakan dan hasil metabolisme, selain itu karena
atap fiber glass bocor sehingga pada saat turun
hujan,air hujan masuk kedalam bakpemeliharaan dan
menyebabkan tumbuhnya jamur didasar bak. Koloni
dari jamur Sirolpidium terlihat pada dinding dan
dasar bak yang berwarna merah.
Pada saat tumbuh jamur, diberi perlakuan
yaitu pemberian treflan dengan dosis 0,02 mg/l yang
berfungsi sebagai fungisida. Pemberian treflan
dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu volume
air pada bak kemudian lakukan penghitungan dosis.
Selanjutnya treflan dilarutkan kedalam air tawar
untuk selanjutnya ditebarkan kedalam bak
pemeliharaan.
4.7
Panen dan Pasca Panen
4.7.1 Persiapan Panen
Persiapan panen dimulai dari dengan cara
mengeluarkan air dan memidahkan larva.Berdasarkan
SNI 01-7252 (2006) larva udang vanname yang
berkualitas memiliki ciri yaitu warna tubuh

Page 3

transparan, isi usus tidak terputus, gerakan berenang


aktif dengan kepala yang mengarah kebawah.
Waktu pemanenan dilakukan pada pagi hari
sampai sore hari tergantung banyaknya benur dan
waktu pengiriman benur udang bila di jual ke tempat
lain. Sebelum melakukan kegiatan panen ada
beberapa
hal yang harus di persiapkan demi
kelancaran kegiatan panen. Yaitu ;Persiapan alat
panen seperti seser benur, selang air, saringan
tampungan benur, baskom, bak penampungan benur,
bak penampungan air, Basket, plastik packing,
gayung, dan cantingan benur. Kemudian setelah alat
yang dibutuhkan telah tersedia pemasangan peralatan
panen.
4.7.2 Cara Pemanenan
Pemanenan
dilakukan
dengan
cara
mengurangi air dibak pemeliharaan larva sebanyak
75% menggunakan selang dan pipa yang dilubangi
serta dilapisi waring agar benur tidak ikut terbuang
bersamaan dengan pengurangan air. Kemudian
membuka pipa paralon pada bak tersebut yang di
tempat pengeluaran airnya telah di pasang hapa untuk
menampung benur, kemudian benur diambil
menggunakan saringan seser dan selanjutnya
dipindahkan keadalam wadah ember atau baskom
lalu dipindahkan ke dalam wadah berupa bak fiber
besar yg telah diisi air bersih. Selanjutnya, diambil
lagi menggunakan gayung pakan dan dihitung jumlah
populasi yang tersisa menggunakan sendok penakar.
Panen siklus ke 2 dilakukan pada saat PL 14 dan PL
15. Pemanenan benur dapat dilihat pada gambar 35.
4.8 Analisa Usaha
4.8.1 Deskripsi Usaha BAPPL-STP SERANG
Usaha Budidaya Pembenihan Udang
dilakukan di Hatchery BAPPL-STP Serang dengan
volume bak pemeliharaan larva 12 m3/ bak.
1.) volume lahan
: 7 m3
Siklus 1
: 4 bak
Siklus 2
: 2 bak
2.) Padat penebaran
:
Siklus 1
: 83.000 ekor/m2 (dalam
satu bak pemeliharaan)
Siklus 2
: 62.500 ekor/m2 (dalam
satu bak pemeliharaan)
3.) Jumlah nauplii
:
Siklus 1
: 2.675.200 ekor
Siklus 2
: 1.000.000 ekor
4.) SR
:
Siklus 1
: 37,87%
Siklus 2
: 44,57%

Siklus 1
bak pemeliharaan
Siklus 2
bak pemeliharaan
6.) Kebutuhan pakan
Siklus 1
Siklus 2
Total
7.) Harga jual udang

Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, 2016

: 445.717 ekor dalam 2


:
: 13.726,4 gram
: 4.526,2 gram
: 18.252,6 gram
: Rp.45/ekor

Biaya tetap yang dikeluarkan pada saat


pemeliharaan larva udang vanname adalah biaya
penyusutan yaitu sebesar Rp. 8.711.732,00
1.) Penerimaan
Siklus 1 : 1.013.234 ekor x Rp. 45,00 = Rp.
45.595.530,00
Siklus 2 : 445.717 ekor x Rp. 45,00 = Rp.
20.057.265,00
Total penerimaan adalah Rp. 45.595.530,00 + Rp.
20.057.265,00 = Rp. 65.652.795,00
2. Analisa laba/ rugi
Penerimaan (biaya tetap + biaya operasional)
Rp. 65.652.795,00 (Rp. 8.711.732,00+
Rp.24.669.521,00)
Rp.65.652.795,00 (Rp.33.381.253,00)
Rp. 32.271.542,00
Jadi, keuntungan yang didapatkan dalam prodoksi
udang vanname selama dua siklus adalah sebesar Rp.
32.271.542,00
2.) Benefit Cost Ratio (B/C)
B/C =
=

Total Pe eri aa

Rp.

Total Biaya
.
.
,

Rp.

= 1,96
Berdasarkan hasil perhitungan R/C maka
usaha pemeliharaan larva udang vanname dinyatakan
layak karena nilai R/C lebih dari 1 yaitu 1,96. Berarti
setiap biaya produksi yang dikeluarkan sebesar 1
rupiah maka diperoleh keuntungan sebesar Rp. 0,96
3.) Payback Period (PP)
PP=

Total I vestasi
Keu tu ga
=

5.) Hasil panen :

: 1.013.234 ekor dalam 4

1 Tahun

Rp.52.072.000 ,00
Rp.32.271.542,00

(1 tahun)

= 1, 6 tahun atau 19 bulan

Page 4

Hasil analisis ini menggambarkan bahwa


seluruh modal investasi pada pemeliharaan larva
udang vanname akan kembali dalam kurun waktu 1,6
tahun.
4.) Break Event Point (BEP)

BiayaTetap

BEP (Rp) =

=
=

BiayaTidakTetap
Pe eri aa

Rp. 8.711.732,00
Rp.24.669.521,00

1-(Rp. 65.652.795,00)
Rp. .
.
,
Rp. .

- ,

= Rp.13.828.146,00
Artinya, titik impas pada pemeliharaan
larva udang vanname akan dicapai pada saat
pendapatan sebesar Rp.13.828.146,00
BEP
=

(Unit)

Biaya Tetap

Harga Satuan-(

Biaya Tidak Tetap


)
Total Produksi

Rp. .

Rp.

2. Masalah yang terjadi pada pemeliharaan larva


udang vanname yaitu jamur merah (Sirolpidium)
yang menyerang pada bagian dasar wadah
budidaya. Jamur ini diduga timbul akibat sisa
pakan dan hasil metabolisme larva udang, selain
itu karena atap fiber glass bocor pada saat hujan
sehingga menyebabkan tumbuhnya jamur di dasar
bak pemeliharaan. Penanganan jamur ini yaitu
dengan pemberian treflan dengan dosis 0,02 mg/l
yang dilarutkan kedalam air untuk selanjutnya
ditebarkan kedalam bakpemeliharaan.
3. Dari penghitungan analisa usaha selama 2 siklus,
pada pemeliharaan larva udang vanname yang
dilakukan di BAPPL-STP Serang mendapatkan
keuntungan sebesar Rp. 32.271.542,00 dengan
B/C Ratio sebesar 1, 96 yang artinya layak karena
B/C Ratio >1.
4. Teknik kultur yang dilakukan pada pakan alami
yaitu kultur skala lab, kultur skala massal, serta
kultur
alami
artemia
dengan
hidrasi
menggunakan air laut dan aerasi.

Rp.
.

,
.

.
.

,
ekor

Rp. 8.711.732,00
(Rp. 45,00-16,9)
Rp. 8.711.732,00
28,1

= 310.026 ekor
Artinya titik impas pada pemeliharaan larva udang
vanname ini dicapai pada produksi sebanyak 310.026
ekor.

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktek
keahlian ini yaitu :
1. Kegiatan yang dilakukan dalam pembenihan
udang vanname meliputi; tahap persiapan wadah,
penebaran
nauplli,
pengelolaan
pakan,
pengelolaan kualitas air, pengamatan kondisi dan
perkembangan larva dan panen dan pascapanen.

Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, 2016

Page 5

You might also like