You are on page 1of 14

Laporan Kasus : Meningoensefalitis Tuberkulosis

BAB I
PENDAHULUAN
I. DEFINISI
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut
dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. Meningoensefalitis
tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh
Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan
kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.1,2
II. EPIDEMIOLOGI
Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan
terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara
tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan
meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat
prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat
sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000 diantaranya meningitis TB.2,3
III. PATOLOGI
Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak.
Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous.
Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara
mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN),
leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu
peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan
lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini
merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen
pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan
serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat
akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada
parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus
merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang
ditimbulkan dari kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena

akan menekan angka kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah menjadi
jaringan ikat hialin dan lapisan intima akan mengalami fibrosis. 4
IV. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat aerob yang
secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, membutuhkan waktu
sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan menyebar. Seperti semua jenis infeksi
TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel infektif. Tiap droplet mengandung beberapa
organisme yang dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam
ruang alveolar dan makrofag dari sirkulasi. Pada 2 4 minggu pertama tak ada respons imun
untuk menghambat replikasi mikobakteri, maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh
menembus paru, hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian akan
dibentuk respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan makrofag yang
mengandung basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah dibunuh,
limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk suatu fokus perkejuan. Fokus ini akan
diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila fokus terlalu
besar maka akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus tersebut, namun
mikorobakteria yang masih hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi kembali. Jika
pertahanan tubuh rendah maka fokus tersebut akan semakin membesar dan encer karena
terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah, fokus
infeksi primer tersebut akan mudah ruptur dan menyebabkan TB ekstra paru yang dapat
menjadi TB milier dan dapat menyerang meningen.4-9
V. MANIFESTASI KLINIS
Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak kalangan
yang menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan prognosis. Penderita
dengan stadium pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang tidak khas karena tanpa
disertai dengan gejala dan tanda neurologis. Sedangkan penderita dengan stadium kedua
(intermediet) telah menunjukkan gejala iritasi meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf
kranial namun tak ada defek kerusakan lain serta tidak ada penurunan kesadaran. Pada
stadium tiga, penderita mengalami kerusakan neurologis yang besar, stupor, dan koma.
Penyakit ini lebih samar pada penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat pernah
mengalami penyakit TB biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan
derajat klinis. Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku
seperti apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal
penyakit, hanya pada 10% sampai 15% pasien. 9

VI. DIAGNOSIS
Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang hebat
yang diikuti dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit kepala, muntah,
penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, pusing, cara berjalan tak
stabil, iritabilitas kehilangan kesadaran, kurang berespons, kejang, kelemahan otot, demensia
berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku
kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan
Computer Tomography beserta pungsi lumbal (bila tidak ada tanda edema otak).
Kemungkinan ensefalitis harus dipikirkan pada penderita dengan panas dan disertai dengan
perubahan status mental, gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba menjadi
abnormal. Dilihat dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran
ruangan subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya
saat korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang
maka akan menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah yang
terpapar dengan dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau
trombosis yang selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada CT scan
kepala penderita dengan meningitis kronik yang berat akan ditemukan gambaran
hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada fisura hemisfer serebri.
Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan peningkatan densitas pada
sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta menghilangnya kecembungan sulkus. Pada
pemeriksaan foto roentgen dada, jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan
bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks
sampai adanya kalsifikasi. Tes tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena
jarang menunjukkan hasil yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB

tidak bereaksi pada tes tuberkulin, faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena
adanya malnutrisi, imunosupresi, debilitasi, dan imunosupresi umum karena penyakit
sistemik. 5,6
Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita
dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan
dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena
jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan
serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan
meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan
terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB
yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan pelikel ,
yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel
proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai
50%, pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang
tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4

VII. PENANGANAN
Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat obat
harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk mengeliminasi
basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan serebrospinal maka

tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran molekul, kemampuan berikatan
dengan protein, dan keadaan meningitisnya. Keterlambatan dalam pemberian terapi pada
penderita dengan meningitis bakterial dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Selain
itu perlu dilakukan pengawasan terhadap toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap
hitung jenis darah dan fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai meningitis pada
gambaran CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pemeriksan
kultur CSS dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduat obat antituberkulosis
dapat diberikan selama 9 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE / 7-10 RH. Pemberian
kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu untuk menurunkan gejala
sisa neurologis. 4,8
Tabel 2. Penetrasi obat antimikobakterium dalam CSS 9
Kisaran konsentrasi puncak rata rata (microgram/ml)

VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis.
Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of
Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya tekanan
intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran molekul
proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi aliran
serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen selular
otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema vasogenik
(peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi intermediet terdiri atas efusi
subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik adalah
memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik. 5,7
BAB 2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : A.P.
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan : tamat SMP
Agama : Kristen protestan
Pekerjaan : tidak bekerja
MRS : 31 Agustus 2008
Tanggal periksa : 3 September 2009
ANAMNESIS
(Anamnesis diberikan oleh orangtua penderita)
Keluhan utama: Penurunan kesadaran
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Penurunan kesadaran disertai dialami penderita sejak 2 hari sejak masuk rumah sakit,
terjadi tiba-tiba setelah penderita kejang. Saat kejang kaki dan tangan penderita menyentak
nyentak, mata mendelik ke atas, mulut keluar air liur berbusa, kejang berlangsung selama
kurang lebih 5 menit, setelah kejang berhenti penderita tidak sadar, selama kurang lebih 10
menit kemudian penderita kejang lagi dan seterusnya sampai kira-kira 7 kali dan diantara
kejang penderita tetap tidak sadar. Kejang awalnya hanya pada tangan dan kaki kiri dan
kemudian kejang pada kedua tangan dan kaki penderita.
Panas dialami penderita sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi pada
perabaan, panas terus menerus, turun dengan obat penurun panas namun tidak sampai normal
lalu naik kembali, sebelumnya pernah mengalami panas namun tidak terlalu tinggi. muntah
tidak ada.
Riwayat sakit kepala dialami penderita sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu, sakit pada
bagian depan menjalar sampai ke tengkuk hingga terasa tegang, seperti ditusuk tusuk, hilang
timbul, sedikit membaik dengan istirahat. Dalam 3 bulan terakhir penderita mengeluhkan hal
yang sama namun lebih berat sampai penderita berteriak kesakitan dan ingin muntah, muntah
tidak ada. Pusing tidak ada. Penglihatan kabur atau ganda tidak ada. Tidak ada kebiasaan
minum alkohol. tidak ada kebiasaan minum atau suntik obat obatan.
Riwayat trauma : jatuh dari tangga 8 bulan yang lalu, penderita tetap sadar. Saat ini kejang
masih ada, terakhir tadi pagi sebanyak 1x.
BAB : lancar, tidak mencret, tidak ada darah
BAK : terpasang kateter
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Penderita pernah mengalami kejang pada 5 bulan yang lalu saat masih tinggal di Papua.

Kejang 2x. Pada saat kejang, anggota gerak bagian kiri lurus dan kaku, mata mendelik ke
atas, tidak keluar air liur berbusa dari mulut, lama kejang kurang lebih 3 menit, setelah kejang
penderita tidak sadar selama 10 menit dan kembali sadar terutama bila diberikan kapas
dengan alkohol atau minyak kayu putih di hidungnya. Setelah penderita sadar, ibunya
kemudian membawa penderita ke puskesmas terdekat dan diberi obat kejang (ibu penderita
lupa nama obatnya) dan diberikan rujukan ke RS, karena tidak ada sanak keluarga dan tidak
memiliki biaya maka ibu penderita tidak bisa langsung membawa penderita ke RS dan
menunggu 3 bulan baru bisa pergi ke RS setelah penderita mengalami kejang sebanyak 5 kali.
Riwayat penurunan berat badan dialami penderita. Riwayat batuk batuk lama dialami
penderita (Nenek penderita menderita batuk batuk lama dan berobat 6 bulan), diare lebih dari
1 bulan disangkal, berkeringat malam disangkal, pengobatan selama 6 bulan disangkal,
penyakit jantung, liver, ginjal, disangkal oleh penderita.
RIWAYAT KEBIASAAN
Penderita tidak memiliki kebiasaan minum alkohol
RIWAYAT KELUARGA
Hanya penderita yang sakit seperti ini.
PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Semi Koma
Tanda vital : TD 120/70 mmHg, N 100 x/m, R 18 x/m, SB 38,9C
Warna kulit : Semi Koma
Edema : (-)
Pupil kanan/kiri : Bulat, isokor, diameter 4 mm. RC /, RCTL /
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/Lidah : Beslag (-)
Gigi : Karies dentis (-)
Kerongkongan : Trakea letak tengah
Leher : Pembesaran KGB (+)
Dada : Simetris kiri = kanan
Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, bising (-)
Paru-paru : Ronkhi -/-, wheezing -/Perut : Datar, lemas, BU (+) normal
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Kelamin : Inflamasi (-)

Tangan : Akral hangat


Kaki : Akral hangat
Status Neurologis
GCS : E3M4V1
Pupil kanan/kiri : Bulat, isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL /
TRM : Kaku kuduk (+), Laseque (+), Kernig (+)
Saraf saraf Kranialis: Kesan hemiparesis (-)
Status motorik :
Kekuatan Otot : kesan hemiparesis kanan (-)
Tonus Otot : n+1/ n+1
Refleks Fisiologis: : +/+
Refleks Patologis: Babinski -/-, Oppenheimer -/-, chaddock -/Status sensorik : Sensibilitas sulit di evaluasi
Status otonom : BAB biasa, BAK terpasang kateter
Pemeriksaan Penunjang:
3-9-2008
Hemoglobin : 14,7 gr/dL
Leukosit : 14.900 /mm3
Trombosit : 178.000 /mm3
GDS : 80 mg/dl
4-9-2008
Hb : 13,91 gr/dL PCV : 41,9 /mm3
Eritrosit : 4. 8. 106 /mm3 MCHC : 33,19 /mm3
Leukosit : 8.240 /mm3 PLT : 149.000 /mm3
Ureum : 19,2 mg/dl Kreatinin : 0,6 mg/dl
GDS : 186 mg/dl SGOT : 29,3 U/l
SGOT : 22,8 U/l Albumin : 3,68 gr/dl
11 9 2008
Hemoglobin : 11,6 gr/dL
PCV : 36,2 /mm3
Eritrosit : 4.35. 106 /mm3
Leukosit : 8.600 /mm3
Trombosit : 222.000 /mm3
Ureum : 36 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Asam Urat : 3.4 mg/dl

Bilirubin tot : 0,4 mg/dl


Bilirubin direk : 0,1 mg/dl
SGOT/SGPT : 54/55 U/l
Hasil Brain CT : Kesan iskemik serebral daerah genu dan krus posterior kapsula interna
sinistra serta basal ganglia didekatnya dan nukleus kaudatus sinistra.
Hasil Foto toraks : Jantung dan paru kesan normal
Hasil kimia darah : Na : 133 meq/l K : 4,0 meq/l Cl : 112 meq/l
GDS : 90 mg/dl LED : 80/110 granulosit : 76%
Pemeriksaan BTA 3x : (-)
Urinalisis : Epitel 1-2/lbp Kristal : Eritrosit : - bilirubuin : Leukosit : + glukosa : Analisis Feses Tidak ditemukan kelainan
Konsul Rehabilitasi Medik
Lumbal Pungsi : Keluarga belum setuju dilakukan lumbal pungsi
Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan
meningeal
Diagnosis Etiologis : Suspek Tuberkulosis
Diagnosis Topis : Meningoensefalitis
Diagnosis Patologi :
Terapi
2-4 L/mPasang O2
IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1 : 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit
Diazepam 10 mg IV jika kejang
Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit
Cefoperazone 2 x 1 gr IV (Skin Test)
o Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg (sampai 2 bulan fase intensif dan 7 bulan fase
intermiten).
o Rifampisin tab 1 x 600 mg (sampai 2 bulan fase intensif dan 7 bulan fase intermiten)
o Pirazinamid tab 4 x 250 mg (sampai 2 bulan)
o Etambutol tab 2 x 500 mg (sampai 2 bulan)
o Metilprednisolon 3 x 125 mg (selama 3 minggu, tapering off)
Citicolin 2 x 250 mg IV
Sistenol 3 x 1 tablet via NGT bila panas
Ranitidin 21 amp IV
Diet Tinggi kalori tinggi protein

Pasang NGT, kateter, Takar urin, Balance cairan


FOLLOW UP
5 8 September 2008
S : Penurunan kesadaran (+), Panas (+), Kejang (-)
O : TD : 110/60 mmHg, N : 104x/m, R : 22 x/m, SB : 38,6C
GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL /
TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+)
Saraf Kranialis : Kesan hemiparesis (-)
Kekuatan Otot : Kesan hemiparesis dekstra
Tonus Otot : n+1/n+1
Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa
meningoensefalitis suspek TB
2-4 L/mP : O2 100%
IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1: 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit
Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit
Cefoperazone 2 x 1 gr IV
Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg
Pirazinamid tab 4 x 250 mg
Etambutol tab 2 x 500 mg
Rifampisin tab 1 x 600 mg
Metilprednisolon 3 x 125 mg
Citicolin 2 x 250 mg IV
Metilprednisolon 3 x 125 mg
Sistenol 1 tablet via NGT bila panas
Ranitidin 2150 mg IV
9 September 2008
S : Penurunan kesadaran, Panas Menurun, Kejang (-)
O : TD : 130/90 mmHg, N : 104x/m, R : 26 x/m, SB : 37,7C
GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 3 mm, RC +/+, RCTL +/+
TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+)
Saraf Kranialis : kesan hemiparesis (-)
Kekuatan Otot : kesan hemiparesis (-)
Tonus Otot : n+1 / n+1
Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa

meningoensefalitis suspek TB
P : O2 2-4 L/m
IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1: 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit
Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit
Cefoperazone 2 x 1 gr IV
Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg
Pirazinamid tab 4 x 250 mg
Etambutol tab 2 x 500 mg
Rifampisin tab 1 x 600 mg
Metilprednisolon 3 x 125 mg
Citicolin 2 x 250 mg IV
Metilprednisolon 3 x 125 mg
Ranitidin 2150 mg IV
Sistenol 1 tablet bila panas
10 11 September 2008
S : Penurunan kesadaran, panas (-), kejang (-)
O : TD : 130/80 mmHg, N : 92x/m, R : 22 x/m, SB : 37,1C
GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL /
TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+)
Saraf-saraf Kranialis : kesan hemiparesis (-)
Kekuatan Otot : kesan hemiparesis dekstra
Tonus Otot : n+1 / n+1
Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa
meningoensefalitis suspek TB
2-4 Liter / mP : O2 100%
IVFD RL : NaCl 0,9% : D5% : 1 : 1 : 1
14 gtt/mIVFD Clivimix
Fenitoin 1 ampul dalam NaCl 0,9 % 50 cc drips
Cefoperazone 2 x 1 gr IV
Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg
Pirazinamid tab 4 x 250 mg
Etambutol tab 2 x 500 mg
Rifampisin tab 1 x 600 mg
Metilprednisolon 3 x 125 mg

Citicolin 2 x 250 mg IV
Metilprednisolon 3 x 125 mg
Ranitidin 2150 mg IV
BAB III
DISKUSI
Diagnosis meningoensefalitis didapatkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan penderita mengalami panas, penurunan kesadaran, kejang. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan bahwa pada penderita meningoensefalitis mengalami suatu gejala
kombinasi dari gejala meningitis dan ensefalitis seperti panas, kejang, penurunan kesadaran.
1 Diketahui penyebab tuberkulosis karena penderita memiliki riwayat batuk batuk lama,
penurunan berat badan, dan memiliki riwayat kontak dengan penderita TB. Gejala gejala
yang dialami penderita telah terjadi sejak lama (kronis). Meningoensefalitis kronis dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyebab, penyebab yang sering ditemukan adalah TB.9
Pada pemeriksaan fisik penderita ditemukan adanya tanda rangsangan meningeal seperti kaku
kuduk, pemeriksaan laseque dan kernig yang positif. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
bahwa pada meningitis akan ditemukan tanda rangsangan meningeal yang disebabkan oleh
peregangan membran yang membungkus otak dan korda spinalis (meningen) yang
terinflamasi.4
Pada hasil laboratorium penderita didapatkan peningkatan LED. Menurut kepustakaan, LED
sering meningkat pada TB namun LED yang normal tidak menyingkirkan TB, namun
pemeriksaan LED kurang spesifik sebagai indikator adanya TB.10
Peradangan pada meningitis TB mengenai pembuluh darah sekitarnya yang kemudian ikut
meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin.
Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya
lumen pembuluh darah dan menyebabkan iskemia serebral.9 Pada penderita ini, gambaran
CT scan ditemukan kesan iskemik serebral daerah genu dan krus posterior kapsula interna
sinistra serta basal ganglia didekatnya dan nukleus kaudatus sinistra.
Pada kasus meningitis TB, foto roentgen dada jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati
dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks
sampai adanya kalsifikasi.5,6 Pada penderita ini, gambaran jantung dan paru kesan normal.
Namun gambaran CT scan kepala dan foto toraks saja belum bisa dijadikan pedoman untuk
menegakkan diagnosis TB, diagnosis TB ditegakkan dengan melakukan analisis cairan
serebrospinal dengan cara pungsi lumbal.3,4 Sebenarnya pada penderita telah dilakukan
edukasi untuk analisis cairan serebrospinal dengan pungsi spinal namun keluarga belum
setuju dikarenakan ibu penderita menunggu persetujuan suaminya yang sedang dalam

perjalanan.
Penanganan darurat pada penderita ini adalah mencegah kerusakan neuron dengan
mempertahankan jalan napas dan pemberian oksigen saturasi 100% disertai dengan
pemberian obat anti kejang. Tindakan selanjutnya yang harus kita lakukan adalah
pemeriksaan tekanan darah, monitoring EKG dan pernafasan, pemeriksaan secara teratur
suhu tubuh, selanjutnya baru dilakukan anamnesa dan pemeriksaan neurologis. Obat anti
epilepsi ada beberapa macam seperti golongan benzodiazepin, fenitoin/ fosfofenitoin,
barbiturat, propofol dan lain lain. Bila penderita kejang maka diberikan diazepam dan untuk
maintenance cukup diberikan fenitoin drips. Pemberian infus NaCl 0,9% dengan tetesan
lambat untuk mencegah edema serebri karena lonjakan kadar natrium yang terlalu cepat 4,
pada penderita ini infus NaCl 0,9% 14 tetes/menit, pemberian 50 ml glukosa IV jika
didapatkan adanya hipoglikemia pada penderita ini GDS : 80 mg/l sehingga cukup dengan
pemberian D5% drips. Selanjutnya dimulai rencana pengobatan untuk TB, yakni dengan
menggunakan INH (isoniazid), rifampisin, pirazinamid, etambutol dan streptomisin selama 2
bulan (fase intensif) dan 7 10 bulan selanjutnya diberikan rifampisin dan isoniazid, disertai
dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu
tapering off untuk mengurangi gejala sisa neurologis. 10
Jika penderita tersangka tuberkulosis mengalami sakit berat dengan sputum BTA 3x negatif
dan foto toraks tidak mungkin, maka dilakukan terapi dengan antibiotik untuk penyebab
bakterial dan ditambah dengan anti TB. Sesudah 3 4 minggu dilakukan pemeriksaan ulang
sputum BTA, bila positif maka diterapi sebagai tuberkulosis, namun jika negatif maka perlu
dilihat perkembangan penderita, jika penderita tidak membaik atau memburuk maka harus
dicari diagnosis lain, jika penderita membaik tapi keluhan menetap maka selesaikan terapi
TB, jika penderita menjadi sehat, hentikan pengobatan.11 Pada penderita ini, diagnosis
tuberkulosis sulit ditegakkan karena belum dilakukan analisis CSS, dengan BTA 3x negatif
dan foto toraks kesan normal, diberikan terapi awal antibiotik sefoperazone (sulbactam)
disertai dengan obat anti tuberkulosis. Dalam perjalanan penyakitnya penderita mengalami
perbaikan gejala (panas menurun, kejang tidak ada,jumlah leukosit yang menjadi normal)
sehingga pengobatan dengan anti tuberkulosis diselesaikan.
Prognosis penderita tergantung pada usia, tahapan klinis, adanya defisit neurologis saraf
kranial, adanya SIADH, EEG abnormal, GCS. saat penderita didiagnosis dan diterapi.
Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya.10 Pada penderita ini datang
berobat dalam keadaan stadium lanjut (akhir) dimana prognosis adalah dubia et malam.
Sekitar 50% penderita dengan menigoensefalitis TB meninggal dan 15% masih bisa hidup
dengan gangguan neurologis yang permanen, sementara 35% sembuh dengan gejala sisa
neurologis yang minimal.12

DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga.
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000. h.11
2. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in : http://www.emedicine.com
3. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical
Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004.
4. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine. 2009. available
in :http://www.medscapeemedicine.com/meningitis.
5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania. 2006.
6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
7. Anonyme. Meningitis. 2010. Available in : http://www.wikipedia.com
8. Van de beek, D. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with Bacterial
Meningitis. NEJM.2004.
9. Scheld, M. Infection of the Central Nervous System third edition. Lippincot William and
Wilkins. 2004.h.443.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. 2006. h. 53.
11. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. Clinical Tuberculosis 2th edition. IUATLD.
MacMillan Education Ltd. London. 2002. h. 160.
12. Ravighone M, OBrien R. Tuberculosis. Dalam : Harrisons Principles of Internal
Medicine Edisi 16. New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 1014.
About these ads

You might also like