Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam
karya sastra di Asia Tenggara. Istilah Indonesia sendiri mempunyai ari yang
saling melengkapi terutama dalam cangkupan geografi dan sejarah politik di
wilayah tersebut. Pada tahun 1930 muncul polemik kebudayaan tentang
kesadaran sejarah kebudayaan atau konsep kesastraan indonesia, antara
tokohtokoh adalah : Sultan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka,
M.Amir, Ki Hajar Dewantara, Adinegara dan lainlain. Sejarah sastra
Indonesia dibagi menjadi beberapa periode atau periodesasi sastra
Indonesia dibagi menjadi 4 yaitu : Masa Pertumbuhan dan Kebangkitan
tahun 19001945, Masa Revolusi atau Pergolakan tahun 19451965, Masa
Pemapanan tahun 1965-1998, Masa Pembebasan tahun 19982000.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Kenapa dapat dikatakan Masa Pemapanan Sastra Indonesia tahun 1965
1998?
2. Apa saja Penerbitan yang muncul pada Masa Pemapanan tahun 1965
1998?
3. Sebutkan tokoh-tokoh dan karyanya yang muncul pada Masa Pemapanan
tahun19651998?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui Kenapa dapat dikatakan Masa Pemapanan Sastra
Indonesia tahun 19651998.
2. Untuk mengetahui Apa saja Penerbitan yang muncul pada Masa
Pemapanan tahun 19651998.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dan karyanya yang muncul pada Masa
Pemapanan tahun19651998.
BAB II
PEMBAHASAN
1. MASA PEMAPANAN (19651998)
Dapat mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 19651998 dengan
alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai aspek kehidupan sosial,
ekonomi, politik, pers, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga
dibidang sastra. Pada masa itu ilmu sastra Indonesia tampak semakin
mapan difakultas sastra, penelitian makin marak dimana-mana dan
penerbitan berlimpah ruah. Memang ada juga pembatasan dan penekanan
disasa-sini, tetapi secara keseluruhan berkembang mapan.
2. MAJALAH HORIZON
Pada bulan juli 1966 mulailah kegiatan budaya berupa penerbitan majalah
horizon di bawah pimpinan Mochtar Lubis,sedangkan redaksinya adalah H.B
Jasin, Zaini, Taufiq Ismail, Soe Hok Djin, dan D.S Moeldjanto. Penerbitnya
adalah Yayasan Indonesia yang didirikan pada 31 mei 1966, visinya adalah
mengembalikan krisis budaya yang telah terjadi selama belasan tahun
dengan harapan tumbuhnya semangat baru untuk memperjuangkan
demokrasi dan martabat manusia Indonesia. Nama Horizon berarti kaki
langit atau cakrawala. Majalah ini mengutamakan sastra dengan kesadaran
penuh bahwa bidang sastra berkedudukan strategi sebagai pendorong
kreasivitas pemikiran, baik individu maupun antarbangsa. Artikel penting
pada awal terbitnya Horizon adalah deklarasi angkatan 66 oleh H.b jassin
yang di muat Horizon nomor 2,agustus 1966,dengan judul angkaatan 66:
bangkitnya satu generasi dan kemudian merupakan pengantar antropologi
prosa dan puisi berjudul angkatan 66: prosa dan puisi susunan H.B Jassin
yang diterbitkan pertama kali oleh gunug agung 1968. Gagasan tersebut
menjadi popular dan menjad ipolemik yang marak,baik di horizon maupun di
penerbit yang lain.
Ada beberapa hal yang menarik tentang angkatan 66 yaitu:
Istilah angkatan dipakai dengan pengertian tumpang tindih dengan
generasi dan periode
Ada dua pihak yang berkepentingan dengan angkatanya itu para
pengarang dengan subjektivitas masing-masing dan penelaah atau peneliti
yang seharusnya lebih objektif.
Angkatan 66 dalam sastra Indonesia sudah terlanjur popular sehingga
benar-salahnya terabaikan.
3. PusatBahasa
Berbicara tentang sejarah perkembangan sastra Indonesia pastilah tidak bias mengabaikan
peranan dan sumbangan lembaga pemerintah yang saat ini bernama Pusat Bahasa, yaitu
pelaksanan tugas di bidang penelitian dan pengembangan bahasa yang berada di bawah Menteri
Pendidikan Nasional. Namanya pernah popular dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa yang merupakan kelanjutan sebuah instansi kecil bernama Lembaga Bahasa pada tahun
1950-an. Kantornya yang terbilang sederhana (untuk ukuran Jakarta) beralamat di Jalan
Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur, bertetangga dengan kampus Universitas
Negeri Jakarta yang dahulu bernama IKIP Negeri Jakarta. Di kampus itulah dahulu Berjaya
Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) yang kemudian berkampus di Depok dengan nama
Fakultas Emu Budaya Universitas Indonesia.
Pada tahun 1947 Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia di bawah
Departement van Onderwijs en Wetens chappen (Kementerian Pengajaran, Kesenian, dan
Ilmu Pengetahuan) membentuk lembaga kegiatan ilmiah kebahasaan dan kebudayaan
bernama Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO). Lembaga tersebut memiliki
tiga bagian, yaitu (1) Bagian Ilmu Kebudayaan pimpinan Prof. Dr. G.J. Held, (2) Bagian
Ilmu Bahasa dan Kesusastraan pimpinan Prof. Dr. C. Hooykaas, dan (3) Bagian
Leksikografi pimpinan W.J.S. Poerwadarminta. Tugasnya adalah meneliti dan menyalin
naskah lontar danYayasan Kirtya Liefrink van der Tuuk, Museum SonoBudoyo,
danYayasan Matthes di Makassar.
Setelah pengakuan kedaulatan, pada tahun 1952 lembaga tersebut digabung dengan Balai
Bahasa yang telah dibentuk Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwan
disemasa berkedudukan di Yogyakarta, tepatnya pada Maret 1948
Gabungan ITCO dan Balai Bahasa itu menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya, dan pada 1
Juni 1959 diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang berkedudukan
langsung di bawah Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Perubahan
terjad ipada 3 November 1966 berupa pembentukan Direktorat Bahasa dan Kesusastraan,
kemudian pada 27 Mei 1969 diubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional, pada 1 April
1975 menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan sejak 24 Januari 2000
bernama Pusat Bahasa. Adapun fungsinya adalah merumuskan kebijakan Menteri dan
kebijakan teknis di bidang penelitian dan pengembangan bahasa, melaksanakan
penelitian dan pengembangan bahasa serta membina unit pelaksana teknis di daerah.
Prof. Dr. P.A. Husein Djaja diningrat (Lembaga Bahasa dan Budaya, 1957-1959),
Prof. Dr. P.A. Husein Djaja diningrat (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, 1959-1960),
Dra. Sri Wulan Rudjiati Muljadi (Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, 1966-1969),
Prof. Dr. Anton M. Moeliono (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1984-1989),
Penting juga dicatat bahwa selama kurun waktu antara tahun 1977-1998 telah dihasilkan
472 topik penelitian kebahasaan dan 182 topik penelitian kesastraan, sedangkan
penelitian bahasa daerah meliputi 241 bahasa daerah se-Indonesia dengan hasil 1.647
topik penelitian.
Di sampingitu, tercatat juga penerbitan sekitar 370 judul penyusunan dan pembakuan
kamus, dan penerjemahan 67 judul buku yang sebagian merupakan hasil kerjasama
dengan Indonesian Linguistics Development Project (ILDEP).
4. Fakultas Sastra
Pada awal dekade 1970-an nama Fakultas Sastra di Indonesia boleh dikatakan belum populer,
kecuali Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) yang berkampus di Rawamangun, Jakarta,
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (FSK UGM) di kampus Bulaksumur,
Yogyakarta, dan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran yang berkampus di Jalan Dipati Ukur,
Bandung.
Pada masa itu lulusan (alumni) FSUI, seperti M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen S.
Oemarjati, B. Rangkuti, sudah dikenal sebagai pakar sastra Indonesia, bahkan sudah menerbitkan
buku kritik sastra melalui penerbit Gunung Agung. PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra
Indonesia Perguruan Tinggi se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) digagas dan
dirintis oleh M. Sudjati (Fakultas Sastra Budaya Undip), Sudaryanto (Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM), Syaf E. Sulaiman (FKSS IKIP Negeri Yogyakarta), dan R.I. Mulyanto
(Fakultas Sastra UNS Surakarta). Berlangsungnya PIBSI setiap tahun jelas merupakan prestasi
tersendiri karena merupakan bukti semangat yang tak kunjung padam di kalangan para dosen
sastra, sedangkan mute atau kualitasnya hams dipandang sebagai proses yang berkepanjangan.
Sementara itu, seminar di luar agenda Hiski dan PIBSI sepanjang tahun 1980-1990-an cukup
banyak. Di Jakarta ada Melani Budianta. Maman S. Mahayana, Ibnu Wahyudi, dan Sunu
Wasomo.
Di Yogyakarta ada Faruk, Sugihastuti, Suminto A. Sayuti. Suwardi Endraswara dan Jabrohim. Di
Semarang ada Nurdien H. Kistanto, Mudjahirin Tohir, Rustono, Redyanto Noor; di Surabaya ada
Setyo Yuwana Sudikan; di Malang ada Wahyudi Siswanto; di Jember Ayu Sutarto; di Denpasar
Nyoman Kutha Ratna; di Pontianak ada Chairil Effendi, sedangkan di Padang harus dicatat
Harris Effendi Tahar, Ivan Adilla, dan Hasanuddin W.S.
5. Sastra Indonesia di Mancannegara
Sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman yang semakin jauh dari semangat jajahmenjajah maka tampaklah pertumbuhan pusat-pusat pengkajian kebudayaan Indonesia di mancaNegara: Cina, Korea, jerman, dan lain-lain. Kegiatan mereka dapat dipandang sebagai pendorong
dan pemacu perkembangan studi sastra di Indonesia. Artinya, kalau di luar negeri pun
berkembang stadisastra Indonesia, seharusnya perkembangan di dalam negeri semakin mapan.
6. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tidak mungkin ditinggalkan dalam pembicaraan sastra Indonesia
yang pada tahun 1970-an boleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 3 Juni 1968, terdiri atas
25 orang seniman-budayawan terkemuka. Tujuannya adalah murumuskan konsep pembangunan
budaya yang memberi ruang gerak leluasa bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa.
Sementara itu, Hadiah Sastra untuk buku sastra (novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan
esai) yang dinilaiterbaik pada tahun yang bersangkutan telah menikmati juga oleh sejumlah
sastrawan, antara lain tercatat sebagai berikut:
7. Sastra popular
Sastra popular adalah sastra yang popular pada masanya dan banyak pembacanya, khususnya
pembaca dikalangan remaja. Sastra popular tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara
intens. Sebab jika demikian, sastra popular akan menjadi berat dan berubah menjadi sastra serius
(Nurgiantoro, 1998:18). Sebutan sastra popular mulai merebak setelah tahun 70-an. Sering pula
sastra yang terbit setelah itu dan mempunyai fungsi hiburan belaka, walaupun bermutu kurang
baik, tetap dinamakan sebagai sastra popular atau sastra pop (Kayam, 1981: 82).
Sastra popular adalah semacam sastra yang dikategorikan sebagai sastrahi buran dan komersial.
Kategori hiburan dan komersial ini disangkutkan pada selera orang banyak.
Karya sastra Habiburrahman dapat dikatakan sastra popular islam karena mengandung
nilai-nilai keislaman yang kental.
Ketika
Cinta
Berbuah
Surga(MQS
Publishing,2005),Pudarnya
Pesona
Cleopatra(Republika, 2005), Ayat-Ayat Cinta(Republika-Basmala, 2004), Diatas Sajadah
Cinta (telah disinetronkan Trans TV, 2004),Ketika Cinta Bertasbih (Republika-Basmala,
2007),Ketika Cinta Bertasbih 2 (Republika-Basmala, 2007) dan Dalam Mihrab Cinta
(Republika-Basmala, 2007).
BAB III
KESIMPULAN
Masa pemapanan tahun 1965-1998 karena pada tahun tersebut terjadi pemapanan berbagai aspek
kependudukan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pers dan pendidikan yang berdampak pada
bidang sastra. Hal tersebut dibuktikan bahwa sastra Indonesia tampak mapan diberbagai fakultas
sastra, penerbitan berlimpah dimana-mana dan maraknya penelitian meskipun ada pembatasan
dan penekanan dalam menciptakan karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA