You are on page 1of 15

Rabu, 04 Maret 2015

Fungsi Bahasa dalam Komunikasi


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa amat penting dalam mobilitas sosial dan kehidupan manusia.
Bahasa sebagai alat untuk mewujudkan pikiran tentang fakta dan realitas yang
direpresentasikan dengan simbol bunyi bahasa. Dengan bahasa seorang bayi
menangis untuk mengekspresikan dahaga, atau perlunya ganti diaper.
Dengan bahasa, seorang filsuf menemukan ekspresi atau nama untuk
merujuk sebuah konsep.
Istilah tentang definisi, proposisi, hipotesis, aksioma, verifikasi, dan
sebagainya sebagai penamaan terhadap konsep-konsep itu sendiri adalah
langkah pertama untuk membangun pengetahuan. Kata adalah simbol lisan
atau tulis bagi benda atau konsep yang disebut referent sebagai objek kata.
Karena berkomunikasi menggunakan bahasa untuk merujuk pada
referent (rujukan), maka simbol itu harus permanen. Jika tidak, komunikasi
menjadi berantakan. Bila tidak dituliskan, bahasa akan kehilangan sifat
permanennya, sehingga rujukan bisa hilang. Karena itu, bahasa tulis menjadi
penting sebagai perekam peradaban manusia.
Sejumlah fungsi bahasa yang mendukung dokumentasi peradaban
manusia. Dalam literatur linguistik mengenal berbagai fungsi bahasa dengan
istilah yang kadang berbeda. Namun, intinya sama bahwa bahasa
mendokumentasikan peradaban.
Titus, dkk (1979) dalam Rasjidi (1984), setidaknya mengemukakan
beberapa fungsi bahasa diantaranya fungsi kognitif, fungsi emotif, fungsi
imperatif, fungsi seremonial, dan fungsi metalingual. Selain fungsi bahasa
yang dikemukakan itu, kita juga dapat mengetahui beberapa fungsi-fungsi
bahasa lainnya.
Sedangkan Hymes (1974) dalam Kushartanti (2005) menyebutkan
adanya unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Unsurunsur
itu,
meliputi setting
and

scene(latar), participants (peserta), ends (hasil), act


sequence(amanat), key (cara), instrumentalities (sarana), norms (norma),
dan genres (jenis).
Tampak bahwa apa yang dikemukakan itu, mengenai aturan sosial
berbahasa dan sebenarnya tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam
pemakaian bahasa saja, tetapi juga menyangkut fungsi bahasa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana fungsi bahasa dalam komunikasi?
2. Bagaimana kedudukan kohesi dan koherensi dalam wacana?

dirumuskan

C. Tujuan
Adapaun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti kegiatan perkuliahan pada
Mata Kuliah Analisis Wacana di Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi
Linguistik Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
2. Sebagai bahan diskusi untuk mendalami lebih komprehensif bidang ilmu
linguistik khususnya kajian Analisis Wacana.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Bahasa
Sebelum membahas tentang fungsi-fungsi bahasa dalam komunikasi,
ada baiknya kita mengetahui dahulu pengertian bahasa itu sendiri. Di dalam
masyarakat, kata bahasa sering dipergunakan dalam pelbagai konteks dengan
pelbagai macam makna, seperti bahasa bunga, bahasa diplomasi, bahasa
militer, dan sebagainya. Lalu apakah bahasa itu?

Bagi linguistik-ilmu yang khusus mempelajari bahasa-yang dimaksud


dengan bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk
dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja
sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat bahasa itu adalah
pemahaman terhadap bahasa itu sendiri sebagai alat komunikasi yang terbaik
dimiliki seseorang sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk
lainnya.
B. Fungsi-Fungsi Bahasa
Berbicara mengenai fungsi penggunaan bahasa dalam komunikasi dapat
diidentifikasi. Fungsi bahasa dalam komunikasi bisa dijabarkan berdasarkan
tanggapan atau respon mitra tutur.
Dalam peristiwa komunikasi, bahasa dapat menampilkan fungsi yang
beragam. Namun secara umum, bahasa dapat digunakan untuk
mengekspresikan emosi, menginformasikan suatu fakta, memengaruhi orang
lain, bercerita, mengobrol, dan sejenisnya. Masing-masing fungsi bahasa itu
dapat secara langsung dihubungkan dengan salah satu komponen dalam
komunikasi.
Fungsi-fungsi bahasa yang dimaksud yaitu:
1. Fungsi Ekspresif
Fungsi ekspresif adalah bahasa yang didayagunakan untuk meluapkan atau
menyampaikan ekspresi si penutur kepada diri sendiri atau khalayak ramai
dengan maksud dan tujuan tertentu. Fungsi bahasa ini biasanya digunakan
untuk mengekspresikan emosi, keinginan, kebahagiaan, kesedihan,
penyampai pesan.
Contoh: - Aduh perutku mual!
- Ya, ampun, dia lucu sekali!
- Waw, enak sekali rasa kue pelangi ini!
Contoh-contoh tuturan tersebut, pemakaian fungsi ekspresif
mengungkapkan ekspresi rasa sakit dan rasa kagum.
2. Fungsi Direktif

Fungsi direktif berorientasi pada penerima pesan. Dalam hal ini, bahasa
dapat digunakan untuk memengaruhi orang lain. Baik dari segi emosi,
perasaan, maupun tingkah laku. Selain itu, bahasa juga dapat digunakan
untuk memberi keterangan, mengundang, memerintah, memesan,
mengingatkan, mengancam, dan lainnya.
Contoh: - Ayo, berangkat!
-Silahkan makan
-Bantu saya mendorong meja ini.
Fungsi direktif pada contoh di atas terlihat pada kata kerja yang
memiliki makna perintah.

3. Fungsi Informasional
Fungsi ini berfokus pada makna dan dapat dipergunakan untuk
menginformasikan sesuatu. Misalnya, melaporkan, mendeskripsikan,
menjelaskan, dan menginformasikan sesuatu. Contoh:
Saat ini, kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia.
Kucing yang garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucingtrah atau
galur mumi (pure breed), seperti persiam, siam, manx, sphinx. Kucing seperti
ini biasanya dibiakkan di tempat pemeliharaan hewan resmi.
4. Fungsi Metalingual
Fungsi ini berfokus pada kode dan digunakan untuk menyatakan sesuatu
tentang bahasa. Contoh:
Bahan bakar fosil di antaranya adalah minyak bumi, gas alam, dan batu bara.
Bila dibakar, maka akan menghasilkan SO2 dan NOx sebagai penyebab utama
keasaman dalam air hujan. Penghasil SO2 dan NOx terbesar adalah
pembangkit tenaga listrik dan industri yang menggunakan batu bara sebagai
bahan bakar.
Pada contoh di atas, unsur lambang bahasanya yaitu SO2 dan NOx. SO2
untuk melambangkan sulfur oksida, dan NOx untuk menyebut nitrogen
oksida. Kedua lambang itu mengacu pada zat yang banyak dihasilkan dalam
pembakaran. Artinya, kode bahasa ini digunakan untuk melambangkan kode
yang lain.

5. Fungsi Interaksional
Fungsi interaksional, yakni penggunaan bahasa yang memiliki hubungan
timbal balik atau interaksi antara penyapa dan yang disapa atau pesapa.
Fungsi bahasa ini biasa ditemukan dalam percakapan sehari-hari. Contohnya
secara lisan adalah debat, wawancara, diskusi, dan lain-lain. Sementara,
dalam wacana tulis ada surat menyurat, chatting, dan lain-lain. Contoh:
Buruh 1: Kami di sini sudah memberikan yang terbaik dan semaksimal
mungkin pada perusahaan ini. Jadi, sudah sewajarnya kamu melakukan hal
seperti ini, Pak. Bukannya ada dalam undang-undang tenaga kerja bahwa
pekerja berhak mengajukan beberapa permintaan ke tempat dia bekerja jika
dia sudah melakukan sesuatu yang sangat maksimal.

Buruh 2: Betul sekalian, bukan tanpa dasar hukum yang tidak jelas dan
alasan yang tidak masuk akal kami berada di sini. Kami juga membawa datadata bahwa perusahaan ini, dari bulan ke bulan income-nya semakin
meningkat 15% dari bulan sebelumnya.
Perwakilan perusahaan: Tunggu, tapi sadarkah kalian melakukan hal ini
pada jam kerja? Bukannya melakukan konfirmasi melalui jalur birokrasi pada
perusahaan saja, itu, khan, lebih dewasa dan elegan. Tidak membuat suasana
menjadi kacau dan perusahaan merugi. Saya juga selaku direktur perusahaan
ini telah membuat beberapa kebijakan dengan membuat tunjangan anak dan
istri kepada kalian semua, dan mendaftarkan semua serikat pekerja kepada
Jamsostek. Pihak manajemen perusahaan cenderung tidak pernah
memangkas upah kalian yang menurut kami sudah sesuai UMR (Upah
Minimum Regional) di kota ini.
6. Fungsi Kontekstual
Fungsi kontekstual bahasa berfokus pada konteks pemakaian bahasa. Fungsi
tersebut berpedoman bahwa suatu ujaran harus dipahami dengan
mempertimbangkan konteksnya. Dengan alasan bahwa suatu ujaran yang
sama akan berbeda maknanya apabila berada dalam konteks yang berbeda
pula. Salah satu alat bantu untuk menafsirkan berdasarkan konteks adalah
dengan
mempertimbangkan
penanda-penanda
kohesi
dan
acuan (reference) yang digunakan dalam situasi komunikasi.
Contoh: - Ini apa?

-Letakkan di situ.
Acuan kata ini bisa bergantung pada konteks. Dan kita bisa mengetahui
acuannya jika mendengarkan tuturan secara utuh. Begitupun dengan acuan
kata di situ, Ini atau di situ bisa jadi sebuah objek, sebuah tempat atau
lainnya.
7. Fungsi Puitik
Fungsi bahasa berorientasi pada kode dan makna secara simultan. Artinya,
kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat mewakili makna yang
hendak disampaikan si penutur. Biasanya, tuturan akan menimbulkan nilai
rasa seni yang unik, menggelitik, berbau metapora, dan lain-lain.
Contoh: - Tua-tua Keladi, makin tua makin jadi.
Bentuk ujaran ini lebih menekankan kode kebahasaan dan makna
sekaligus. Mengingat setiap penutur bahasa Indonesia yang mempunyai
kemampuan yang memadai akan memahami arti ujaran itu meski makna
ujaran tidak berhubungan dengan bentuk ujaran. Kata-kata yang dipilih
tersebut hanya mempertimbangkan rima atau persamaan bunyi semata, dan
bukan kepada makna dari kata-katanya.
C. Konsep Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi dalam wacana merupakan salah satu unsur
pembangun wacana selain tema, konteks, unsur bahasa, dan maksud. Kohesi
adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain
dalam wacana, sehingga tercipta pengertian yang baik (Djajasudarma, 1994:
47).
Kohesi adalah pertautan makna, sedangkan koherensi adalah
keruntutan makna. Kohesi harus dibedakan pada tingkat wacana (proposisi)
dan teks (bentuk). Koherensi hanya pada tingkat wacana. Koherensi
ditentukan oleh kerangka acuan wacana.
1. Konsep Kohesi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga
merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987:
96). Pengetahuan strata dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan

pemahaman tentang wacana. Wacana bernar-benar bersifat kohesif apabila


terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks (James dalam
Tarigan,
1987: 97).
Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur
(kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki
keterkaitan yang padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi adalah aspek
internal dari struktur wacana. Tarigan (1987: 96) menambahkan bahwa
penelitian terhadap unsur kohesi adalah bagian dari kajian tentang aspek
formal bahasa, dengan organisasi dan struktur kewacanaanya yang
berkonsentrasi
pada
dan
bersifat
sintaksis gramatikal.
Wacana yang baik dan utuh adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat
kohesif. Hanya melalui hubungan yang kohesif, maka ketergantungannya
pada unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif khusus yang bersifat lingualformal. Selanjutnya, Halliday (1976: 4) mengemukakan bahwa unsur-unsur
kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi
leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference (referensi),
substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi),
sedangkan
unsur-unsur
kohesi
leksikal
terdiri
atas
reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi).
Referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang
berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata
atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan dalam Mulyana,
2005: 133). Dalam konteks wacana, penunjukan terbagi atas dua jenis yaitu
penunjukan eksoforik (di luar teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks).
Dalam aspek referensi, terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronomina (kata
ganti
orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya).
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur
bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Proses substitusi
merupakan hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan
makna. Elipsis (penghilangan) adalah proses penghilangan kata atau satuansatuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan itu dapat
diperkirakan ujudnya dari konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984: 40).
Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang

berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata


dengan
kata,
frasa
dengan
frasa,
klausa
dengan
klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya Kridalaksana,
1984:105 dan Tarigan, 1987:101).
Kohesi leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana
untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya
aspek-aspek leksikal diantaranya adalah untuk mendapatkan efek intensitas
makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.

2. Konsep Koherensi dalam Wacana


Brown dan Yule (1986: 224) menegaskan bahwa koherensi berarti
kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan.
Dalam stuktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya
untuk menata pertalian batinantara proposisi yang satu dengan lainnya untuk
mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh
adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur secara semantik.
Hubungan tersebut kadang kala terjadi dengan alat batu kohesi, namun
kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi, secara keseluruhan
hubungan
makna
yang
bersifat
koheren
menjadi
bagian dari organisasi semantis.

Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks saja


(secara formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca atau pendengar
dalam menghubung-hubungkan makna dan menginterpretasikan suatu
bentuk wacana yang diterimanya. Jadi, kebermaknaan unsur koherensi
terletak pada kelengkapannya yang serasi antara teks dengan pemahaman
penutur atau pembaca (Brown, 1986:224).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan
gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi

secara implisit karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan


interpretasi. Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi
wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara
kalimat bagian yang satu dengan kalimat lainnya secara semantis memiliki
hubungan makna. Kajian mengenai koherensi dalam tataran analisis wacana
merupakan hal mendasar dan relatif paling penting karena permasalahan
pokok dalam analisis wacana adalah bagaimana mengungkapkan hubunganhubungan yang rasional dan kaidah-kaidah tentang cara terbentuknya
tuturan-tuturan yang koheren.
Suatu rangkaian kalimat dituntut bersifat gramatikal sekaligus
berhubungan secara logis dan kontekstual. Dengan demikian analisis wacana
juga merupakan analisis keruntutan dan kelogisan berfikir. Jadi, koherensi
adalah kepaduan antarbagian secara batiniah. Bagian-bagian yang disebut
proporsi
tersebut
membentuk
jalinan
semantik
sehingga
tersusun kesatuan makna yang utuh.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan terdahulu, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam peristiwa komunikasi, bahasa dapat menampilkan fungsi yang
beragam, seperti fungsi ekspresi, direktif, informasional, metalingual,
interaksional, kontekstual, dan puitik. Namun secara umum, bahasa dapat
digunakan untuk mengekspresikan emosi, menginformasikan suatu fakta,
memengaruhi orang lain, bercerita, mengobrol, dan sejenisnya.
2. Bahwa hakekat bahasa itu adalah pemahaman terhadap bahasa itu sendiri
sebagai alat komunikasi yang terbaik dimiliki seseorang sebagai pembeda
antara manusia dengan makhluk lainnya.
3. Bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu
dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan

atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa
komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses
komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara
tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa.
4. Bahwa istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks
yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi
merupakan salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam
sebuah teks koherensi lebih penting. Koherensi adalah kepaduan gagasan
antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk
membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang
mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis).
Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan
atau gagasan yang sejajar(coordinative) dan subordinatif. Penataan
koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun
B. Saran
Dari uraian di atas, beberapa hal dapat menjadi saran berikut:
1. Bahwa analisis wacana terus berkembang, dan makin diminati terutama
karena mengkaji data bahasa secara utuh yang digunakan dalam komunikasi,
baik komunikasi lisan maupun tulis. Karenanya, wawasan penganalisis
wacana atas bidang linguistik yang lain, seperti sintaksis, semantik, pragmatik,
dan sosiolinguistik amat diperlukan.
2. Bahwa perkembangan analisis wacana menunjukkan babakan baru pada
analisis wacana kritis (critical discourse analaysis), yang dapat dijadikan
penyampaian kritik terhadap penguasa negara sebagai pengguna bahasa.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Cetakan Ke2). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Brown dan Yule. 1986. Discourse Analaysis. Cambrigde: Cambrigde University
Press.
Kushartanti,
dkk.
2005. Pesona
Bahasa;
Langkah
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Awal

Memahami

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa.Ende: Nusa Indah.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik (Edisi Kedua). Jakarta: Erlangga.
http://www.bimbie.com/2013/21/2.

Share|
Site Search :
Search

RANTEDODA COMUNITY FORUM


Menna Menna Mappogau Kapia'an Dilalanna Lino,
Na Suruga Taiting Nalolongang
Iya Napappasangang Tobara bara'
Salama' Siang Tapalang!!
Rabu, Desember 7, 2016
1.9.139.245
Hari ini : 2
Minggu ini :12

Bulan ini : 22
Total : 6034
Share|
Site Search :
Search

KARAKTER BAHASA PUISI


Good
Rabu,
-

afternoon
Desember
Karakter

7,

Tapalang!!
2016

bahasa

puisi

Bahasa puisi berbeda dengan bahasa keilmuan. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui sifatnya,
bahasa puisi bersifat ekspressif, sugestif, asosiatif dan magis.
Bahasa puisi bersifat ekspresif maksudnya setiap bunyi yang dipilih, setiap kata yang
dipilih dan setiap metafora yang dipergunakan harus berfungsi bagi kepentingan ekspresi,
mampu memperjelas gambaran dan mampu menimbulkan kesan yang kuat. Setiap unsur bahasa
yang dipilih atau dipergunakan harus membawakan nada, rasa, dan pengalaman penyairnya.
Sugestif, maksudnya bahasa puisi bersifat menyarankan dan mempengaruhi pembaca
atau pendengarnyasecara menyenangkan dan tidak terasa memaksa. Karena sifat inilah puisi
dapat terkesan sangat kuat dalam diri penikmatnya.
Asosiatif maksudnya bahasa puisi mampu membangkitkan fikiran dan perasaan yang
merembet, tetapi masih berkisar di seputar makna konvensionalnya atau makna konotatifnya
yang sudah lazim. Dengan demikian bahasa puisi memiliki kegandaan tafsir,
bahasa puisi bersifat magis maksudnya bahwa bahasa puisi seolah olah mempunyai suatu
kekuatan didalamnya, sehingga tampak magis dan bercahaya.
Puisi memiliki kegandaan tafsir disebabkan oleh bahasa puisi yang penuh symbol atau
perlambangan pribadi. Dalam puisi masalah makna kata yang bersifat konvensional sering
terdesak dan penyair memilih kata kata yang paling dengan rasa dan intuisi yang dialaminya,
penyair mempergunakan lambang lambang khusus sesuai dengan suasana pada saat timbul
dorongan untuk menvipta saat itu.
Penyimpangan bahasa dalam puisi
Penyimpangan bahasa pada puisi merupakan hal yang biasa, seringkali penyimpangan itu justru
menjadi ciri suatu angkatan atau periode dalam sastra. Penyimpangan itu antara lain meliputi :
penyimpangan leksikal, pengyimpangan semantic, penyimpangan fonologis, penyimpangan
morfologis, penyimpangan sintaksis, penyimpangan dialek,penyimpangan register,

penyimpangan historis dan penyimpangan grafologis.


Suatu bentuk dalam puisi dipandang sebagai penyimpangan leksikal jika bentuk itu mengalami
penyimpangan makna secara leksikal. Hal ini ditandai oleh adanya proses morfologis yang
belum umum atau masih problematic, kata bentukan baru atau neologisme dan bentuk kata yang
tanpa makna atau tak ada dalam kamus. Misalnya keder, ngloyor, lelluka.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan semantic jika bentuk atau struktur itu tidak
menunjuk pada makna denotative, melaingkan makna konotatif. Penyimpangan semantic terjadi
dalam hubungan struktur kalimat, yaitu jika terdapat penggabungan kata yang secara akal tidak
dapat diterima. Akan tetapi hal tersebut dapat ditemukan maknanya berdasarkan criteria lain.
Yaitu makna yang bersifat tambahan, contoh : kata sungai bagi orang orang jawa memiliki
pengertian yang berlainan dengan orang yang berasal dari Saudi Arabia.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan fonologis jika bentuk itu tidak memiliki makna
konvensional sebagai mana kata pada umumnya. Bentuk itu tercipta karena penyair
mementingkan rima. Bentuk tersebut oleh penyair dipandang sebagai kata, namun bentuk itu
tidak dijumpai dalam kamus contoh: ditinda, melayah, menggigir.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan morfologis jika bentuk tersebut tidak umum
pemakaiannya. Ketidakumuman itu disebabkan pembentukannya menyalahi aturan atau masih
problematic. Termasuk dalam penyimpangan ini adalah kata kata yang berupa bentukan baru dan
penghilangan apik. Contoh : mangkal, nangis, nungsep, ngurun.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan sitaksis jika struktur tersebut tidak umum
pemakaiannya dalam berbahasa secara normative formal. Ketidak umuman itu sering
menimbulkan ambiguitas struktur dan makna. Misalnya penyair tidak menggunakan huruf
capital pada awal kalimat dan tanda titik pada akhir kalimat.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan dialek jika bentuk yang digunakan berupa dialek
atau slang, baik yang bersifat regional, usia, maupun social. Bentuk dialek juga mencakup
bentuk dari bahasa lain atau bahasa daerah. Yang banyak dipergunakan dalam bahasa Indonesia
yang bersifat nonstandard. Misalnya, kepradah, pamrih, ompong ringkih dan glamour.
Penyimpangan register erat kaitannya dengan penyimpangan dialek, namun yang
dipermasalahkan adalah situasi pemakaiannya, atau bagaimana dan kapan suatu bentuk linguistic
dipergunakan dalam tindak berbahasa. Dalam register dipermasalahkan banyaknya variasi
menurut pemakaiannya maupun pemakainya. Register disebut pula sebagai dialek pers.
Berdasarkan hal itu, register meliputi ragam ilmiah pers, periklanan,keagamaan,da lain lain.
Disamping itu juga, termasuk sifat nada pengungkapan bahasa dalam suatu wacana, apakah
bentuk kolokial atau formal, pribadi atau umum, dan sebagainya.
Penyimpangan historis berkaitan dengan pemakaian kata kata archais. Jadi, suatu bentuk
dikatakan sebagai penyimpangan historis jika kata atau archais dipakai dalam puisi modern.
Misalnya jenawi, biluir, dewangga, dan bahana.
Penyimpanan grafologis mempermasalahkan penulisan bentuk dan struktur linguistic, baik
menyangkut penulisan huruf, kata, frase maupun kalimat. Suatu bentuk dipandang sebagai
penyimpangan grafologis jika bentuk atau struktur penulisannya tidak sesuai dengan ketentuan
atau kaidah yang berlaku.
- Sintaksis dalam puisi
Kalimat dalam puisi sering mengabaikan kaidah sintaksis. Pola sintaksis dalam puisi dapat runtut
seperti dalam prosa, namun tidak jarang pula penyair menyusun pola yang lain seperti sintaksis
dalam prosa. Waluyo mengatakan bahwa penafsiran makna itu mungkin hanya dalam konsep

fikiran saja karena kita terbiasa menghadapi wacana yang dibangun dalam kesatuan sintaksis.
Pola sintaksis puisi juga mempunyai fungsi semantic seperti dalam bahasa sehari hari.
Kesatuan sintaksis dalam puisi dapat dibicarakan melalui baris dan bait. Sebuah baris mewakili
kesatuan gagasan penyair dan jika dibangun bersama sama baris baris lain membangun kesatuan
yang lebih besar. Bait puisi pada hakikatnya identik dengan sebuah paragraph dalam prosa.
Pada sebuah puisi terdapat satu baris yang merupakan kunci gagasan, pada sebuah puisi terdapat
satu atau beberapa bait yang merupakan klimaks gagasan penyair itu.
- Teknik penulisan baris baris dalam puisi
Puisi terdiri dari baris baris puisi, baris baris tersebut bersama sama membangun sebuah bait bait
puisi. Bait bait puisi itu membangun kesatuan makna.
Baris baris puisi debedakan dengan baris baris prosa karena setiap baris puisi menunjukkan
adanya enjambemen, yakni kesenyapan yang menunjukkan bahwa setiap baris puisi
mengungkapkan kesatuan makan yang belum tentu harus menjadi bagian dari kesatuan makna
baris berikutnya.
Waluyo mengatakan bahwa enjambemen memberikan corak puisi berbeda dari bentuk karya
sastra lainnya. Kesenyapan dalam baris baris menunjukkan adanya sebuah baris yang nampaknya
seperti bagian dari kalimat atau bagian dari suatu kesatuan sintaksis itu mungkin merupakan
bentuk kesatuan makna yang lebih luas dari satu kalimat utuh. Oleh karena itu, sebuah bait
berbicara yang lebih luas dari kesatuan kesatuan sintaksis yang bisasanya dimiliki oleh sebuah
prosa.
- Sturktur batin puisi
Struktur batin puisi oleh Richards disebut sebagai hakikat puisi. Menurut waluyo struktur batin
mencakup tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat.
Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.
Tema adalah suatu yang menjadi fikiran pengarang. Sesuatu yang menjadi pikiran tersebut dasar
bagi puisi yang dicipta bermacam macam, meliputi berbagai macam permasalahan hidup.
Permasalahan itu oleh penyair disusun dengan baik dan ditambah dengan ide, gagasan, cita cita,
atau pendirian penyair. Dengan demikian, didalam tema selain sesuatu yang difikirkan penyair
juga terbayang pandangan hidup penyair atau bagaimana penyair melihat permasalahan yang
difikirkannya.
Penyair tidak pernah menyebut apa tema puisi yang ditulisnya. Untuk mengetahui tema sebuah
puisi, kita harus membaca keseluruhan puisi tersebut dengan cermat. Kita harus menyadari
bahwa tema puisi berhubungan dengan penyairnya dengan konsep konsepnya yang
terimajinasikan.
Perasaan penyair ikut terekspresikan dalam puisi. Oleh karena itu, sebuah tema yang sama akan
menghasilkan puisi yang berbeda jika suasana perasaan penyair yang mencipta puisi itu berbeda.
Contoh : dalam puisi puisi WS Rendra dan Toto Sudarto Bachtiar yang sama sama menampilkan
kehidupan pengemis atau gelandangan. Toto sudarto menghadapi gadis kecil berkaleng kecil
adapun WS rendra bersikap sebaliknya, ia berperasaan benci dan bersikap memandang rendah
para pengemis karena dalam pandangannya pengemis tidak berusaha keras untuk menopang
kehidupannya. Sikap yang sama dengan sikap Rendra tampak pula pada puisi Khairil Anwar
Nada adalah sikap penyair kepada pembaca dalam menulis puisi, penyair bisa jadi bersikap
menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bisa jadi pula ia bersikap lugas, hanya
menceritakan sesuatu kepada pembaca. Bahkan, ada pula penyair yang hanya bersikap main

main saja seperti banyak dijumpai pada puisi puisi mbeling.


Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi, ini berarti sebuah puisi akan
membawa akibat psikologis kepada pembacanya. Akibat psikologis ini terjadi karena nada yang
dituangkan penyair dalam puisi
Amanat atau tujuan adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Waluyo
mengatakan bahwa amanat tersirat dibalik kata kata yang disusun, dan juga berada dibalik tama
yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada
dalam fikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberika.
Amanat harus dibedakan dengan tema. Dalam puisi, tema berkaitan dengan arti, sedangkan
amanat berkaitan dengan makna karya sastra. Arti puisi bersifat lugas, objektif, dan khusus.
Makna puisi bersifat kias, subjektif, dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep
seseorang dan situasi, tempat penyair mengimajinasikan puisinya.

Wapsite Mobile | Naruto Download Japan Anime | Music Game Applications |


WapMaster Service
www.rayarken.xtgem.com
http://rayark

Created by:
[Ray_Arken] Copyright 2011 - 2016
Rantedoda Community Forum

You might also like