Professional Documents
Culture Documents
Pengembangan
Teknologi Produksi
ii
KATA PENGANTAR
Terdapat enam tantangan pembangunan kehutanan yang
kita hadapi saat ini, yaitu: degradasi hutan, bencana alam dan
lingkungan, pemanasan global, share sektor kehutanan terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional, desentralisasi sektor kehutanan,
dan kontribusi kehutanan dalam hal food, water scarcity, energy, and
medicine. Namun, kita masih melihat ada peluang yang merupakan
sebuah anugerah bagi bangsa kita, yang bila dibudidayakan dan
dikelola secara serius akan dapat menjawab paling tidak lima dari
enam tantangan tadi. Anu-gerah yang juga merupakan peluang
usaha sektor kehutanan dari jenis HHBK ini bernama gaharu.
Ide dan gagasan membangun hutan tanaman gaharu juga
menarik untuk kita kaji bersama. Kalau selama ini perusahaanperusahaan HTI telah eksis dengan komoditi-komoditi kayu seperti
mangium, sengon, mahoni, dan jenis tumbuhan penghasil kayu
lainnya, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mengembangkan
hutan tanaman penghasil gaharu apabila secara finansial menjajikan
dan memungkinkan setelah dianalisis kelayakan usahanya.
Pengembangan usaha budidaya tanaman HHBK unggulan akan
berhasil dengan baik apabila didukung oleh semua stakeholder yang
berkepentingan, baik Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen
Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan petani.
Disampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi hingga
terbitnya buku ini.
Jakarta,
Nopember 2010
iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................. v
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU
Sulistyo A. Siran ......................................................................................................................................1
aftar Isi
D
vi
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN
GAHARU
Sulistyo A. Siran
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu sebuah nama komoditi hasil hutan non kayu yang saat ini
menjadi perbincangan banyak kalangan. Dalam kehidupan seharihari telah dikenal pepatah sudah gaharu cendana pula. Pepatah
ini mengindikasikan bahwa sebenarnya komonditi gaharu sudah
dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah
bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang
lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah
populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini
muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum,
yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya.
Dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat
unik. Gaharu sebenarnya sebuah produk yang berbentuk gumpalan
padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum
yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang
(misalnya: Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan
fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu
tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu.
Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah
digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan, maupun masyarakat
ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil
kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam
hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung
gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka
jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram
saja. Oleh karena itu dapat dibayangkan kalau pencari gaharu
mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau
bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang.
Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon
pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun.
Indikasi menurunnya pupulasi pohon penghasil gaharu
ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan
dan Sumatera dari tahun ke tahun, di mana realisasi produksi
gaharu pada dekade 80an pernah mencapai ribuan ton dengan
kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot
drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang
bervariasi.
Guna menghindari agar tumbuhan jenis gaharu di alam tidak
punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan
untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ
(di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun
upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada
usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan
hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan
LSM konservasi. Sementara masyarakat secara luas enggan untuk
melakukan budidaya pohon penghasil gaharu karena memang
tidak memberikan keuntungan apa-apa.
Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi
andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa
produksi gaharu. Dengan teknologi inokulasi maka produksi
gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur
pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan
produksi gaharu dimaksud (yang kegiatannya terdiri dari kegiatan
di bagian hulu sampai hilir) selanjutnya akan berdampak pada
peningkatan penerimaan oleh masyarakat petani, pengusaha
sehingga tidak terjadi salah tebang pada pohon yang tidak berisi
gaharu. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu
antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon
kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat
benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu
kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan
ciri-ciri tersebut maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon
dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur
coklat kehitaman pada batang menunjukkan adanya kandungan
gaharu. Untuk lebih meyakinkan biasanya serpihan kayu tadi
selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/
aroma wangi khas gaharu.
C. Pengolahan Gaharu
Sampai saat ini produk gaharu yang berasal dari alam umumnya
dipasarkan dalam bentuk bongkahan namun ada pula dalam
bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu
dapat dilakukan dengan dua sistem yaitu sistem kukus dan tekanan
uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta Rp 750.000/tolak (1
tolak = 12 cc).
Lokasi
Super
Tanggung
Kacangan
Teri
Teri A
Teri B
Teri C
Teri kulit A
Teri kulit B
Cincangan
1.
Samarinda Super
king
Super A
Super AB
Kacangan A
Kacangan B
Kacangan C
2.
Muara
Kaman
Sudokan
Serbuk
3.
Kota
Bangun
Super A
Super B
Kacangan A
Kacangan B
Serbuk
4.
Muara
Wahau
Super A
Super B
Teri A
Teri B
Kemedangan
Kemedangan A
Kemedangan B
Kemedangan
community
Klasifikasi
Kriteria
1.
Super
2.
Tanggung
3.
Kacangan
4.
Teri
5.
Kemedangan
6.
Cincangan
5.
6.
Teri Kulit A
Teri Kulit B
Kemedangan A
Kemedangan B
Kemedangan C
Suloan
300.000,250.000,100.000,75.000,50.000,25.000,-
10
No
Klasifikasi
mutu
Kesetaraan
dengan
standar mutu
di pasaran
Warna
Kandungan damar
wangi
Bau/aroma
(dibakar)
A.
Gubal
1.
Mutu Utama
Super
Hitam merata
Tinggi
Kuat
2.
Mutu I
Super AB
Hitam kecoklatan
Cukup
Kuat
3.
Mutu II
Sabah Super
Hitam kecoklatan
Sedang
Agak kuat
B.
Kemedangan
1.
Mutu I
Tanggung A
Coklat kehitaman
Tinggi
Agak kuat
2.
Mutu II
Sabah I
Coklat bergaris
hitam
Cukup
Agak kuat
3.
Mutu III
Tanggung AB
Coklat bergaris
putih tipis
Sedang
Agak kuat
4.
Mutu IV
Tanggung C
Kecoklatan
bergaris putih
tipis
Sedang
Agak kuat
5.
Mutu V
Kemedangan I
Kecoklatan
bergaris putih
lebar
Sedang
Agak kuat
6.
Mutu VI
Kemedangan
II
Kurang
Kurang kuat
7.
Mutu VII
Kemedangan
III
Putih keabuabuan
Kurang
Kurang kuat
C.
Abu gaharu
1.
Mutu Utama
Cincangan
Hitam
Tinggi
Kuat
2.
Mutu I
Sedang
Sedang
3.
Mutu II
Kurang
Kurang
11
Pedagang
Pengumpul
Pedagang
Besar
Pemungut
Pemungut
Terikat
Pedagang
Perantara
12
Pedagang
Pengumpul
Pedagang
Besar
Pemungut
Pemungut
Terikat
Pedagang
Perantara
PEMASARAN GAHARU
Dalam dunia perdagangan gaharu, baik di Indonesia maupun
di luar negeri, gaharu menjadi komoditi primadona dan memiliki
nilai komersial yang cukup tinggi sehingga banyak diburu oleh
konsumen. Gaharu yang diperdagangkan di Indonesia terdiri dari
tiga jenis, yaitu: gaharu dari Sumatera dan Kalimantan dengan
jenis Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa, gaharu dari Papua,
Sulawesi dan Maluku lebih dikenal dengan nama Aquilaria filaria,
sedangkan jenis gaharu Gyrinops lebih banyak diproduksi dari Nusa
Tenggara. Apabila diperhatikan maka perdagangan gaharu hasil
alam di Indonesia dari dulu hingga saat ini lebih banyak bertumpu
pada peyebaran secara ekologis jenis-jenis gaharu tersebut.
Pemasaran gaharu yang merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Konvensi Perdagangan
Internasional tentang jenis flora dan fauna liar yang terancam punah
(CITES). Oleh karena itu maka secara umum pemanfaatan gaharu
harus mengikuti tahapan dan aturan-aturannya, yaitu: penentuan
kuota, pengambilan dari alam atau hasil budidaya (penangkaran),
pengangkutan untuk peredaran dalam negeri dan pengangkutan
untuk pemasaran luar negeri.
13
14
15
Kalimantan
Papua
Sulawesi
Maluku
Riau
Sumatera
Surabaya
Sumatera
Jakarta
NTT
NTB
17
A. Malaccensis
A. filaria
Gyrinops
2007
30.000 (K)
23.709 (R)
76.000 (K)
76.000 (R)
24.000 (K)
8.000 (R)
2008
30.000 (K)
30.000 (R)
65.000 (K)
65.000 (R)
25.000 (K)
25.000 (K)
2009
173.250 (K)
74.890 (R)
455.000(K)
326.882(R)
18
Hongkong
India
Prancis
Malaysia
Taiwan
China
UK
Saudi
Arabia
Kwait
Oman
Japan
Qatar
UAE
SINGAPORE
Indonesia
Bahrain
Iraq
Iran
Middle
East
Riyadh
Afrika
19
20
21
Bioinduction : 15 locations
Gambar 11. Penyebaran plot inokulasi pembentukan gaharu
(gambar bintang warna kuning)
22
Kualitas
3 bulan
6 bulan
9 bulan
1 tahun
2 tahun
3 tahun
Kemedangan
Kemedangan B
Kemedangan A
teri
kacangan
tanggung
23
24
25
> US $ 800
26
Harga (Rp)
3 bulan
50.000
6 bulan
200.000
9 bulan
750.000
1 tahun
1.000.000
Harga (Rp)
2 tahun
2.500.000
3 tahun
4 tahun
Hasil
rekayasa
Kualitas
Super
Hasil alam 1
Tanggung
Hasil alam 2
Kacangan
Hasil alam 3
Teri
Hasil alam 4
Kemedangan
10
Tahun
27
Azulene
Komponen
Kimia
Tahun
28
PENUTUP
Dengan ditemukannya teknologi inokulasi pembentukan
gaharu, terbukalah peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan
gaharu yang dimulai dari subsistem hulu (penyiapan lahan,
penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan
hama dan penyakit), subsistem tengah (penyuntikan, penyediaan
inokulan, peralatan inokulasi, dan pengamanan), subsistem hilir
(pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran), subsistem
pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema kredit
dan asuransi).
Ketiga subsistem tersebut di atas memerlukan investasi yang
cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan
penerimaan asli daerah yang cukup signifikan.
Untuk dapat mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, maka
seluruh sektor harus memainkan peran sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan
integrasi yang baik di antara seluruh komponen masyarakat dan
pemerintah, maka produk gaharu akan menjadi produk andalan
dimasa depan.
29
30
31
32
Aspek PRODUKSI
33
PENGEMBANGAN GAHARU
DI SUMATERA
Mucharromah
Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman
Universitas Bengkulu
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai
ekonomi sangat tinggi dibanding produk kehutanan lainnya,
sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan
gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga
kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam pohon
penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam pengembangan
gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan sasaran ideal yang
dapat melipatgandakan peran dan fungsi program tersebut. Dari
segi keberadaan material bibitnya lokasi sekitar hutan memiliki
jumlah tegakan gaharu alam terbanyak, mengingat buah pohon
ini bersifat rekalsitran, sehingga tidak menyebar jauh, kecuali
dengan campur tangan manusia. Dari segi kesiapan masyarakat,
pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah
mengenal gaharu, sebagian bahkan pernah menjadi pengumpul,
sehingga pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung
pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai.
Dari aspek keamanan lingkungan dan keragaman hayati,
pengembangan gaharu di sekitar hutan juga akan membantu
pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan, mengingat
35
Aspek PRODUKSI
36
37
Aspek PRODUKSI
38
39
Aspek PRODUKSI
c. mutu kedua.
Namun pembedaan kelas kualitas tersebut secara detil
sangat sulit dilakukan sehingga pada prakteknya hingga saat ini
konsumenlah yang menentukan tingkat mutu produk dan harga
gaharu. Hal ini merupakan anomali dari kondisi perdagangan
komoditi lainnya, di mana pemilik barang merupakan penentu
harga. Namun dengan tingkat keahlian sortasi, standar kualitas
gaharu dan harganya akan lebih terjamin. Untuk itu pelatihan SDM
dalam teknik monitoring perkembangan pembentukan gaharu dan
kontrol kualitasnya sangat penting dilakukan.
Saat ini sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah
diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik
inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah makin
efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu
yang dilakukan beberapa bulan lalu di Provinsi Bengkulu, proses
pembentukan gaharu telah semakin cepat terjadi. Pada 6 bulan
setelah inokulasi telah dicapai produk kualitas kemedangan TGB
dan TGA, yang biasanya baru dapat dicapai pada 12-18 bulan setelah
inokulasi, meskipun sebagian besar masih berada pada mutu TGC
(Mucharromah et al., 2008).
Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi ini sangat
prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu yang
pohon penghasilnya telah mulai banyak dibudidayakan di Sumatera
dan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian pengembangan
gaharu siap dilaksanakan, tidak hanya di sekitar wilayah hutan
tetapi bahkan hingga ke halaman rumah dan perkantoran serta
sekolah, seperti yang telah dilakukan di Kota Bengkulu dan
sekitarnya. Namun pengembangan gaharu di sekitar wilayah
hutan kemungkinan akan jauh lebih efisien proses produksinya, di
samping lebih besar manfaatnya bagi pengamanan lingkungan dan
pemberdayaan serta pemakmuran masyarakat.
40
41
Aspek PRODUKSI
42
43
Aspek PRODUKSI
44
45
Aspek PRODUKSI
46
PENUTUP
1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang sangat
besar, tidak hanya karena menghasilkan produk bernilai
ekonomi yang sangat tinggi, yang berpotensi sangat besar untuk
pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, tetapi juga
karena upaya ini memerlukan investasi teknologi dan modal
yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh karenanya
pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan perencanaan
yang sangat matang dari setiap tahapan prosesnya sehingga
dapat berjalan dan meningkatkan kemandirian masyarakat
di wilayah sekitar hutan. Hal ini sangat penting dilakukan,
tidak hanya untuk menjamin peningkatan dan kesinambungan
produksi gaharu, tetapi juga untuk melindungi hutan dan
keragaman hayati yang ada di sekitarnya serta meningkatkan
kapasitas hutan dalam menanggulangi potensi bahaya bencana
alam yang disebabkan oleh longsor, banjir, kekeringan, polusi,
dan beragam kerusakan lingkungan lainnya.
2. Untuk lebih mengefisienkan proses produksi dan menekan
pembiayaan maka program pengembangan gaharu perlu
dilakukan dengan mengadopsi model yang paling efisien
dan praktis, sehingga keberhasilannya akan lebih terjamin.
Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat proses
pembentukan gaharu tidak berjalan secara otomatis pada
tanaman yang tumbuh sehat, sebagaimana produk pertanian
atau perkebunan dan kehutanan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academic Press, New York.
Anonim. 1995. Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Kemedangan
pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan pada Temu
Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995. Jakarta.
47
Aspek PRODUKSI
48
49
Aspek PRODUKSI
3 tahun
1 batang
20 kg/batang (Kelas BC);
30 kg/batang (Kemedangan)
50 kg/batang
60 kg
100 kg/batang
Uraian
Harga/unit
(Rp000)
Unit
Pembelian batang/tanah
Btg
100
100
Pengadaan inokulan
Btg
5.000
5.000
Pembelian peralatan
Set
90
90
Stressing agent
Btg
1.500
1.500
Btg
200
200
Tenaga kerja
Btg
600
600
Pemeliharaan/perawatan
Thn
12
36
Operasi lainnya
Btg
300
300
Beban operasional
Total
A.1.
7.826
Btg
50
50
Angkut ke gudang
Btg
50
50
Pembersihan gaharu
50
Kg
25
1.250
Packing
50
Kg
Total
A.2.
B.
100
1.450
50
Kg
250
Penjualan
50
Kg
10
500
Retribusi
50
Kg
250
Pengurusan surat-surat
Btg
Umum lainnya
50
Kg
0,5
25
Total
1.031
10.307
Proyeksi penghasilan
Penjualan kelas BC
60
Kg
2.000
Penjualan powder
100
Kg
Beban zakat/pajak
D.
Proyeksi keuntungan
120.000
500
120.500
5%
50
Total cost
(Rp000)
QTY
6.025
104.168
No
A.
Uraian
Harga/
unit
(Rp000)
Total
cost
(Rp000)
ha
15.000
15.000
Surat*
4.000
QTY
Unit
1
1
B.
4.000
19.000
Unit
2.000
2.000
Unit
1.000
1.000
Sarana komunikasi
Unit
2.000
2.000
1.000
1.000
Sarana lainnya
A+B
C
C.1.
Total
6.000
25.000
Beban operasi
Penanaman pohon baru
Land clearing
ha
1.000
1.000
Pembelian bibit
1.000
Btg
5.000
Pembuatan lubang
1.000
Btg
1.000
1.000
Btg
0,5
500
Pemupukan
1.000
Btg
5.000
ha
24.000
24.000
36.500
Beban inokulasi
Pengadaan inokulan
1.000
Btg
20
Pembelian peralatan
Set
3.000
3.000
Stressing agent
1.000
Btg
10
10.000
Tenaga kerja
1.000
Btg
5.000
Pemelihaaan/perawatan
1.000
Btg
10
10.000
1.000
Btg
Operasi lainnya
Total
20.000
1.000
49.000
51
Aspek PRODUKSI
QTY
Unit
Harga/
unit
(Rp000)
Total
cost
(Rp000)
Penebangan
1.000
Btg
5.000
Angkut ke gudang
1.000
Btg
5.000
Pembersihan gaharu
2.000
Kg
10
20.000
2.000
Kg
No
C.3.
Uraian
Beban panen & pasca panen
Packing
Total
C.4.
2.000
Kg
10.000
Penjualan
2.000
Kg
10
20.000
Retribusi
2.000
Kg
20
40.000
Umum lainnya
2.000
Kg
0,5
71.000
190.500
2.000
Kg
5%
Proyeksi keuntungan
52
1.000
Total
Proyeksi penghasilan
Penjualan kelas C
E
4.000
34.000
2.000
4.000.000
4.000.000
200.000
3.609.500
2
KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL
INOKULASI Fusarium sp. PADA
Aquilaria microcarpa
Eka Novriyanti
Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok
PENDAHULUAN
Gaharu adalah komoditas hasil hutan non-kayu yang bernilai
ekonomi tinggi dengan harga pasar bervariasi tergantung
kualitasnya, mulai dari 300 ribu rupiah hingga 25 juta rupiah
untuk kualitas double super. Produk ini dihasilkan beberapa spesies
penghasil gaharu dalam famili Thymeleaceae. Indonesia yang
merupakan salah satu pemasok gaharu terbesar memiliki kekayaan
jenis penghasil gaharu tertinggi di dunia, yaitu 27 spesies dari 8
genus dan 3 famili yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku,
dan Irian (Sumarna, 2005).
Gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang
disebut memiliki scent of God, meskipun pengunaan produk ini
sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja.
Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan,
incense, dan parfum (Barden et al., 2000). Incense gaharu digunakan
dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagaman,
sebagai pengharum ruangan sembayang serta benda-benda rohani
seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, dalam
bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesik dan anti
53
Aspek PRODUKSI
54
masih memerlukan pemikiran dan terus melakukan penelitianpenelitian lanjutan yang akan membuka satu demi satu kebenaran
yang saat ini masih belum terungkap.
55
Aspek PRODUKSI
56
57
Aspek PRODUKSI
Keterangan
Ambrettolide
Ambrox
Valerolactone
Ketoisophorone
Maltol
Indole
Isolongifolen
58
Komponen
Keterangan
Limonene
Cadinene
Dumasin
Benzylacetone
Azulene
59
Aspek PRODUKSI
Hasil analisis py-GCMS juga menunjukkan adanya senyawasenyawa yang pada beberapa hasil penelitian lain disebutkan
sebagai senyawa pertahananan. Beberapa di antara komponen ini
bahkan juga memiliki karakter wangi yang diketahui merupakan
konstituen minyak esensial dan digunakan secara komersil dalam
industri parfum dan pengharum seperti vanillin, eugenol (Cowan,
1999; Rhodes, 2008; Koeduka et al., 2006), senyawa 4H-pyran-4-one
dan derivatnya (Abrishami et a., 2002; Rho et al., 2007; Fotouhi et
al., 2008), benzoic acid (NBCI, PubChem Compound, 2008), derivat
cyclopentane (Wikipedia Onlie, 2008), syringal-dehyde (Pedroso et
al., 2008), dumasin (ChemYQ, 2008), dan elimicin (Rossi et al., 2007).
Eugenol serta isoeugenol digunakan dalam produksi vanilin
yang merupakan bahan penting dalam industri wewangian (Cowan,
1999). Eugenol, isoeugenol, metileugenol, dan isometileugenol
merupakan empat senyawa fenilpropanoid dari 12 senyawa volatil
yang diketahui menyebabkan wangi yang manis pada Clarkia
breweri (Rhodes, 2008). Sedangkan koniferil alkohol merupakan
intermediet dalam biosintetis eugenol dan isoeugenol (Cowan,
1999), dan guaiakol merupakan intermediet dalam pembuatan
eugenol dan vanilin (Li dan Rosazza, 2000).
Senyawa asetosiringon juga tercatat pada semua gaharu hasil
inokulasi kelima daerah asal isolat dalam penelitian ini, di mana
senyawa ini merupakan fenolik yang dihasilkan tanaman sebagai
respon alami terhadap pelukaan (Sheikholeslam dan Weeks, 1986).
Dalam Hua (2001) disebutkan bahwa konsentrasi asetosiringon
meningkat 10 kali lipat ketika suatu jaringan aktif tanaman dilukai.
Asetosiringon merupakan bioaktif dalam interaksi tanamanmikroba yang mempercepat pendeteksian kehadiran patogen
oleh tanaman di mana konsentrasi senyawa ini meningkat dalam
tanaman seiring dengan meningkatnya konsentrasi mikroba (Baker
et al., 2004).
60
Keterangan
Eugenol
Koniferil
alkohol
Guaiakol
Katekol dan
pirogalol
Veratrol
KESIMPULAN
1. Hasil inokulasi Fusarium sp. pada batang Aquilaria microcarpa
dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan
besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap
masing-masinng sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu
yang terbentuk.
2. Pada gaharu rekayasa hasil inokulasi Fusarium sp. pada A.
microcarpa ditemukan beberapa komponen senyawa yang sudah
diidentifikasi merupakan konstituen gaharu dan beberapa
senyawa lain yang memiliki karakter odorant dan secara
komersil digunakan dalam industri perfumery dan flavoring.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abrishami, F, R. Teimuri-Mofrad, Y. Bayat, A. Shahrisa. 2002.
Synthesis of Some Aldoxime Derivatives of 4H-Pyran-4-ones.
Molecules 7: 239244.
Azah, M. A. N., Y. S. Chang, J. Mailina, A. A. Said, J. A. Majid, S.
S. Husni, H. N. Hasnida, Y. N. Yasmin. 2008. Comparison of
Chemical Profiles of Selected Gaharu Oils from Peninsular
Malayia. The Malaysian Journal of Analytical Sciences 12 (2):
338-340.
Baker, C. J., B. D. Whitaker, N. M. Mock, C. Rice, D. P. Robert, K. L.
Deahl, A. A. Averyanov. 2004. Stimulatory Effect of Acetosyringone on Plant/Pathogen Recognition. http://www.ars.usda.
gov/research/publications/publications. htm. [20 Juni 2008].
Barden, A., N. A. Anak, T. Mulliken, M. Song. 2000. Heart of the
Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for
Aquilaria malaccensis. www.traffic.org. [22 Mei 2007].
Blake, S. 2004 Medicinal Plant Constituents. http://www.
naturalhealthwizards. com/MedicinalPlantConstituents.pdf.
[21 Juni 2008].
Blanchette, R. A. 2006. Sustainable Agarwood Production in Aquilaria
Trees. www.therainforestproject.net. [2 Februari 2007].
Bunke, E. J, D. Schatkowski. 1997. Isolongifolanol Derivates, their
Production and their Use. United State Patent. http://www.
freepatentsonline.com [31 Desember 2008].
63
Aspek PRODUKSI
64
65
Aspek PRODUKSI
66
Bo
5 cm
Kt
20 cm
5 cm
Me
20 cm
5 cm
Mu
20 cm
5 cm
20 cm
0,09
0,06
0,49
0,07
0,09
0,08
0,08
0,10
0,09
0,08
0,06
0,21
4-METHYL-2,5DIMETHOXYBENZALDEHYDE
4,35
2,37
3,66
1,52
4,65
1,45
4,42
4,60
Benzaldehyde, 2,4-dihydroxy
0,42
0,30
0,25
Benzaldehyde,
2,4-dimethoxy- (CAS)
2,4-Dimethoxybenzaldehyde
0,22
0,11
Benzaldehyde,
3,4-dihydroxy- (CAS)
3,4-Dihydroxybenzaldehyde
0,32
0,29
0,26
0,24
0,28
Benzaldehyde,
3-hydroxy- (CAS)
m-Hydroxybenzaldehyde
0,37
0,39
0,29
0,36
Benzaldehyde,
4-[[4-(acetyloxy)-3,5dimethoxyphenyl]methoxy]3-methoxy
0,37
0,54
0,48
0,43
0,23
0,44
1,2-benzenedicarboxylic acid,
diisooctyl ester (CAS) Isooctyl
phthalate
0,07
0,12
0,24
0,41
0,53
0,04
0,04
0,05
2,5-DIMETHOXY-4ETHYLBENZALDEHYDE
2-Hydroxy-4methylbenzaldehyde
4-Ethoxy-3methoxybenzaldehyde
67
Aspek PRODUKSI
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
0,15
4H-1-Benzopyran-4-one,
2-(3,4-dihydroxyphenyl)-7-(.
beta.-D-glucopyranosyl)
0,05
0,18
4H-1-Benzopyran-4-one,
5,7-dihydroxy-2-methyl- (CAS)
2-Methyl-5,7-dihydroxy
0,06
0,36
0,34
4H-1-Benzopyran-4-one,
6-dihydroxy-2-methyl- (CAS)
6-Hydroxy-2-methylchromone
0,46
2-Coumaranone
0,28
.gamma.-Eudesmol
0,04
Hexadecanoic acid,
2-(octadecyloxy)-, tetradecyl
ester (CAS) TETRADECYL
0,03
0,05
2,4-Hexadienedioic acid,
3,4-diethyl-, dimethyl ester,
(Z,Z)- (CAS) CIS.CIS.D
0,69
0,85
2,4-Hexadienedioic acid,
3-methyl-4-propyl-, dimethyl
ester, (Z,E)- (CAS)
0,12
0,16
0,09
0,17
.alpha.-humulene
0,11
1-Naphthalenol,
1,2,3,4-tetrahydro- (CAS)
1-Tetralol
0,07
1-Ethynyl-3,4-dihydro-2naphthalenecarbadehyde
0,08
2,94
3,37
2,74
3,67
3,11
3,05
4,22
2,83
0,25
0,33
0,33
0,40
0,24
0,42
0,40
0,22
0,25
Benzenepropanoic acid,
methyl ester (CAS) Methyl
hydrocinnamate
68
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
Propanoic acid,
3-(2-propynyloxy)-, ethyl ester
(CAS) ETHYL 3-PROPARGYL
0,28
0,24
0.12
1,31
1,02
0,60
0,44
0,04
CYCLOPENTANEPROPANOIC
ACID, 1-ACETYL-2,2DIMETHYL-, METHYL
3,86
4,25
0,12
2,74
3,4,5,6,7,8-HEXAHYDRO-2HCHROMENE
0,20
1,2,3,4,4A,5,6,8A-OCTAHYDRONAPHTHALENE
0,58
8,95
9,49
16,30
9,95
6,59
13,30
Jumlah
12,28
10,61
12,89
8,27
8,62
10,96
0,14
0,17
0,17
0,21
0,19
0,29
0,14
0,27
0,66
0,18
0,22
0,20
0,12
0,15
0,15
0,17
5,57
4,99
3,55
4,26
6,94
3,84
5,87
6,17
0,50
0,58
0,66
0,67
0,56
0,38
0,49
0,65
ACETOVANILLONE
1,03
0,49
0,46
0,74
0,83
1,2-Benzenediol (CAS)
Pyrocathecol
2,20
0,66
0,58
0,20
1,17
0,19
0,66
0,79
0,28
69
Aspek PRODUKSI
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
3-Methoxy-pyrocathecol
1,43
1,69
1,06
2,01
1,13
1,37
1,70
1,14
4-METHYL CATHECOL
1,90
0,46
0,19
0,24
0,18
0,27
0,30
0,71
0,18
0,45
0,31
0,57
0,11
1,57
1,92
1,82
2,08
1,82
2,19
1,36
0,18
0,23
0,13
0,15
0,11
0,22
0,12
0,14
0,39
0,52
0,40
0,35
0,34
0,35
0,50
0,35
0,89
1,07
0,87
0,36
13,37
11,43
10,28
14,18
11,63
11,31
13,40
11,54
12,40
12,23
11,47
12,47
2,39
2H-Pyran-2-one,
6-ethyltetrahydro- (CAS)
6-ETHYL-.DELTA.VALEROLACTONE
0,14
Oxacycloheptadec-8-en-2-one
(CAS) Ambrettolide
0,05
0,82
0,52
0,64
Oxacycloheptadecan-2-one
(CAS) Dihydroambrettolide
0,06
0,64
0,16
0,03
0,24
0,07
Benzoic acid,
3,4,5-trimethoxy-, methyl ester
(CAS) 3,4,5-Trimethoxybenzoic
Benzoic acid,
4-(methylamino)Benzoic acid, 4-ethenyl-,
methyl ester (CAS) METHYL
4-VINYLBENZOATE
70
.beta.-bisabolene
2-Butanone (CAS) Mehtyl ethyl
ketone
Butyric acid, m-nitrophenyl
ester (CAS) m-Nitrophenyl
butyrate
Carveol, dihydro-, cis-
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
0,51
0,78
0,66
0,98
0,53
1,23
0,55
1,66
2,31
0,09
0,85
0,76
0,61
Cholestane-3,6,7-triol,
(3.beta.,5.alpha.,6.beta.,7.
beta.)- (CAS)
0,07
0,03
Citronellyl acetate
0,20
.beta.-Cyclocitral
0,24
Cyclopentanone,
dimethylhydrazone
(CAS) Cyclopentanone
dimethylhydrazone
0,26
4,95
6,45
0,65
3,93
4,99
4,17
4,38
4,93
0,32
0,33
1,93
0,70
1,61
TRANS-ISOELEMICIN
0,04
Ethanone,
1-(2,5-dihydroxyphenyl)(CAS) Quinacetophenone
0,42
0,28
0,98
1,14
1,25
1,45
1,30
0,71
1,38
0,84
0,12
0,22
0,22
1,67
5-BUTYL-2-VALERYLFURAN
0,33
2(3H)-Furanone,
3-acetyldihydro- (CAS)
2-acetylbutyrolactone
0,20
Cyclopropyl carbinol
Cyclopentanone (CAS)
Dumasin
1-Eicosanol (CAS) n-Eicosanol
71
Aspek PRODUKSI
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
0,18
0,09
0,09
2(3H)-Furanone,
5-hexyldihydro- (CAS)
4-decanolide
0,93
2-Furancarboxaldehyde (CAS)
Furfural
0,60
0,31
0,56
0,28
0,74
0,56
0,40
0,75
2-Furanmethanol (CAS)
Furfuryl alcohol
0,54
0,54
0,26
0,70
1,09
0,98
0,54
1,03
0,13
0,23
0,35
0,63
0,25
0,30
0,55
0,14
0,11
0,06
3-Hexenoic acid
0,21
0,64
0,77
0,65
0,51
0,18
0,48
6-Nitro-5-hydroxy-1,2dimethylindole
0,03
0,04
0,02
0,59
0,36
Ionol 2
0,03
0,71
0,39
0,38
0,69
.GAMMA.HEXALACTONE
0,65
0,66
0,76
3,5-Dihydrodecanoic acid.
delta.-lactone
0,31
0,09
Muskolactone
0,21
72
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
0,70
5,7-dimethoxy-2-methylindan1-one
0,04
0,04
Lineolone
0,13
0,11
p-Menthane-2-one-1,3,3-d3
(CAS)
0,89
2,6,6-TRIDEUTERIO-OMENTHONE
0,19
0,22
0,20
NEROLIDOL ISOMER
0,15
0,21
2,5-Norbornanediol (CAS)
2,5-DIHYDROXYNORBORNANE
0,13
0,89
0,65
0,57
PIPERIDINE,
1-(1-METHYLPENTYL)-
0,48
0,50
0,86
0,43
3,56
2,34
3,29
0,50
3-PHENYL-PROPIONIC ACID
ISOPROPYL ESTER
2,45
2-PROPYNOIC ACID
3,17
5,93
0,01
0,42
0,21
0,19
0,20
0,13
0,04
0,21
0,15
0,47
0,57
0,52
0,52
0,58
0,40
0,50
0,58
3-(2,5-DIMETHOXY-PHENYL)PROPIONIC ACID
73
Aspek PRODUKSI
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
0,09
0,11
0,97
0,38
0,40
0,50
0,52
0,59
0,52
0,45
0,45
0,01
Benzeneacetic acid,
4-hydroxy-3-methoxy- (CAS)
Homovanillic acid
0,20
0,11
0,21
ISO-VELLERAL
0,02
Benzenemethanol,
3,4-dimethoxy- (CAS) Veratryl
alcohol
0,10
0,63
0,14
0,12
0,12
2-ACETYL FURAN
0,23
0,27
0,23
0,32
0,06
0,15
0,36
1,72
1,70
1,61
2,48
1,77
1,55
2,96
2,5-DIMETHYL-3(2H)
FURANONE
0,04
2-ETHYL-4-HYDROXY-5METHYL-3(2H)FURANONE
0,17
0,14
0,13
0,13
2-HYDROXY-5-METHYL-2(5H)FURANONE
0,28
3-HYDROXY-5-METHYL-2(5H)FURANONE
0,39
0,26
(E)-2-hydroxy-4phenylstilbene
1-TRICOSENE
Benzaldehyde, 3,4-dimethoxy(CAS) Vanillin methyl ether
2(5H)-FURANONE
74
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5-HYDROXYMETHYLDIHYDRO-FURAN-2-ONE
1,23
1,65
1,30
1,02
1,33
1,18
HYDROXY DIMETHYL
FURANONE
0,81
0,87
2-(Acetyloxy)-1-[2-(acetyloxy02-(3-furanyl)ethyl]-5a[(acetyloxy)methyl]hexah
0,06
2-Methoxy-4-methylphenol
0,95
2,52
3,13
2,05
3,06
2,80
2,10
3,17
2,23
9H-Xanthen-9-one,
1,3-dihydroxy-6-methoxy-8methyl- (CAS) 6-O-METHYL-
0,06
0,23
0,29
18,70
25,93
17,57
19,86
21,62
27,12
25,95
26,33
Jumlah
Rataan untuk kedua jarak
suntik
Total
22,31
44,34
46,30
45,32
18,71
37,33
50,34
43,83
24,37
43,19
45,01
26,14
52,65
44,10
46,48
49,56
Keterangan:
Referensi:
FAO (2008); Abrishami et al. (2002); Rho et al. (2007); Fotouhi et al. (2008); Sheikholeslam & Weeks
(1987); Baker et al. (2004); Hua et al. (2001); Azah et al. (2008); International flavor and fragrance,
Inc (2008); Castro et al. (2002); Lynd-Shiveley (2004); ChemYQ (2008); Rossi et al. (2007); Koeduka
et al. (2006); Zaika et al. (2004); Valentines et al. (2005); The Good Scent Company (2008); Bunke &
schatkowski (1997); Pedroso et al. (2008); Wikipedia encyclopedia Online (2008).
75
76
3
TEKNOLOGI INDUKSI POHON
PENGHASIL GAHARU
Erdy Santoso, Ragil Setio Budi Irianto, Maman Turjaman,
Irnayuli R. Sitepu, Sugeng Santosa, Najmulah, Ahmad Yani,
Aryanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis
tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi
pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau
infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan tahun
lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan
produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada abad ke-5
Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli utama. Dalam
perdagangan internasional, komoditas ini dikenal dengan berbagai
nama seperti agarwood, aloeswood, karas, kresna, jinkoh, oudh,
dan masih banyak lagi nama lainnya. Bentuk perdagangan gaharu
beragam, mulai dari bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu
(Surata dan Widnyana, 2001). Komoditas berbentuk minyak
biasanya diperoleh dari penyulingan atau ekstraksi chip gaharu
dari kelas yang bermutu rendah.
Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya
yang disebut sebagai scent of God, meskipun penggunaan produk
ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja.
77
Aspek PRODUKSI
78
Kode
Ga 1
Ga 2
Asal lokasi
No
Kode
Asal lokasi
Kalimantan Tengah
12
Ga 12
Lampung
Maluku
13
Ga 13
Bengkulu
Ga 3
Sukabumi
14
Ga 14
Bogor
Ga 4
Kalsel
15
Ga 15
Mentawai
Ga 5
Kaltim
16
Ga 16
Kaltim LK
Ga 6
Belitung
17
Ga 17
Kalbar
Ga 7
Riau
18
Ga 18
Yanlapa
Ga 8
Bengkulu
19
Ga 19
NTB
Ga 9
Jambi
20
Ga 20
Kalsel MIC
10
Ga 10
Sumatera Barat
21
Ga 21
Kalteng TL
11
Ga 11
Gorontalo
Aspek PRODUKSI
B. Metode
Untuk identifikasi masing-masing koloni ditumbuhkan pada
media PDA dalam cawan petri, kemudian diinokulasi pada suhu
kamar dan diletakkan di ruangan inokulasi selama tujuh hari. Untuk
pengamatan morfologi dilakukan melalui mikroskop parameter,
yang diamati adalah ukuran diameter koloni, baik secara horizontal
maupun vertikal, diamati juga warna koloni dan keberadaan aerial
miselium.
Identifikasi juga mengamati ciri makrokonidia, mikrokonidia
serta bentuk konidiofor. Sediaan kultur dibuat dengan cara
memindahkan potongan kecil isolat fungi menggunakan alat
pelubang gabus berdiameter lima mm, isolat diletakkan pada
gelas obyek yang kemudian ditutup dengan cover glass preparat,
diinkubasi dengan cara diletakkan pada ruang tertutup yang
kelembabannya dijaga dengan cara memasukkan kapas yang telah
dibasahi aquadesh steril. Sediaan kultur diinkubasi selama tujuh
hari, setelah itu koloni yang tumbuh pada gelas obyek diamati di
bawah mikroskop setelah preparat diberi zat pewarna, yang diamati
adalah bentuk dan miselium.
C. Teknik Inokulasi
1. Inokulasi
Pohon contoh adalah A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita.
Rancangan acak lengkap dengan perlakuan daerah asal isolat (I),
yaitu Fusarium spp. asal Gorontalo (II); Kalimantan Barat (12); Jambi
(13) dan Padang (14) serta campuran dari keempat isolat tersebut
(15). Masing-masing isolat diinokulasikan pada 3 ulangan.
Inokulasi dilakukan pada semua pohon contoh. Sebelum
penginjeksian, semua peralatan yang digunakan disterilkan
terlebih dahulu dengan alkohol 70% untuk menghindari adanya
kontaminasi dari mikrobamikroba lain. Pengeboran dilakukan
80
81
Aspek PRODUKSI
No.
Kode
isolat
Karakter morfologi
Asal lokasi
Koloni pada
Diameter koloni
Aerial
Warna
mm/7 hari
Miselium
Medium PDA
Ga-1
Kalteng
61
Ada,+++
Ga-2
Maluku
49
Ada,++
Ga-3
Sukabumi
48
Ada,+
Coklat muda
Ga-4
Kalsel
50
Ada,++
Putih
Ga-5
Kaltim
45
Ada,++
Putih
Ga-6
Belitung
38
Ada,+
Putih
Ga-7
Riau
59
Ada,++
Putih krem
Ga-8
Bengkulu
49
Ada,++
Putih
Ga-9
Jambi
59
Ada,+++
10
Ga-10
Padang
61
Ada,+++
Putih
11
Ga-11
Gorontalo
58
Ada,+++
Putih kecoklatan
12
Ga-12
Lampung
58
Ada,+++
13
Ga-13
Bangka
59
Ada,+++
Putih
14
Ga-14
Bogor
61
Ada,++
Putih
15
Ga-15
Mentawai
56
Tidak ada
16
Ga-16
Kaltim LK
57
Ada,+
17
Ga-17
Kalbar
59
Ada,+++
Putih krem
18
Ga-18
Yanlapa
58
Ada,++
19
Ga-19
Mataram
52
Ada,++
Putih
20
Ga-20
Kalsel MIC
50
Ada,++
21
Ga-21
Kaltel TL
69
Ada,++
Putih, krem
82
Coklet, kuning,
putih
Putih, unggu
83
Aspek PRODUKSI
oleh warna ungu namun memiliki warna koloni putih sedikit tipis
pada aerial miselium yang terletak pada bagian tepi koloni (Gambar
3). Keragaman yang terdapat pada warna koloni berhubungan
dengan pigmen yang dikandung oleh dinding sel hifa. Cendawan
yang tidak berpigmen umumnya berwarna hialin.
c. Diameter Koloni
84
85
Aspek PRODUKSI
Kode
Makrokonidia
Jumlah septa
Mikrokonidia
Konidiofor
Kelimpahan
Bentuk
Ga-1
Simpel
Banyak
Elips
Ga-2
Bercabang
Banyak
Elips, oval
Ga-3
Simpel
Banyak
Elips
Ga-4
4-7
Simpel
Banyak
Elips, oval
Ga-5
Simpel
Sedikit
Elips
Ga-6
Simpel
Sedikit
Elips, oval
Ga-7
Simpel
Sedikit
Elips, oval
Ga-8
Simpel
Sedikit
Elips, lonjong
Ga-9
Simpel
Sedikit
Elips, sekat
10
Ga-10
Simpel
Banyak
Elips, sekat
11
Ga-11
Bercabang
Banyak
Elips
12
Ga-12
Simpel
Banyak
Elips
13
Ga-13
Simpel
Sedikit
Elips
14
Ga-14
Simpel
Sedikit
Elips
15
Ga-15
Bercabang
Banyak
Elips
16
Ga-16
Simpel
Sedikit
Elips, sekat 3
17
Ga-17
Bercabang
Sedikit
Elips
18
Ga-18
Bercabang
Banyak
Elips
19
Ga-19
Simpel
Banyak
Elips
20
Ga-20
Bercabang
Sedikit
Elips, oval
21
Ga-21
Bercabang
Banyak
Elips
87
Aspek PRODUKSI
88
89
Aspek PRODUKSI
90
91
8. Panjang
infeksi
batang
A. microcarpa
GambarGambar
8. Panjang
infeksi
batang
A. microcarpa
Gambar
9 menunjukkan
perubahan
panjang
infeksi Meskipun
yang terjadi
terjadi sejak
dua bulan inokulasi
hingga
bulan keenam.
sejak masih
dua bulan
inokulasi
hingga
bulan
keenam.
Meskipun
merupakan isolat yang menyebabkan infeksi terbesar,masih
tetapi infeksi
bulan
keenam
oleh isolatinfeksi
asal Gorontalo
terlihat
merupakan
isolat
yang
menyebabkan
terbesar,
tetapitidak
infeksi
perkembangan,
oleh
keempat
asal
bulanmengalami
keenam oleh
isolat asal sedangkan
Gorontaloinfeksi
terlihat
tidak
mengalami
perkembangan, sedangkan infeksi oleh keempat asal isolat71yang
|
lain menunjukkan peningkatan yang beragam. Namun begitu,
secara statistik untuk bulan keenam inokulasi, asal daerah isolat
tidak memberikan pengaruh nyata pada laju infeksi yang terjadi
(nilai signifikansi 0,186 pada 5%).
92
KESIMPULAN
1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna putih,
namun terdapat warna koloni merah muda, kuning, dan ungu.
Hampir semua isolat memiliki aerial miselium. Secara histologi
isolat Fusarium spp. memiliki karakter makrokonidia bersepta
3-4 dan makrokonidia didominasi oleh bentuk elips.
2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat Ga9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki kecepatan
tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat Fusarium
yang lain.
3. Hasil inokulasi Fusarium spp. pada batang Aquilaria microcarpa
dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan
besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap
masing-masing sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu
yang terbentuk.
4. Isolat Fusarium spp. asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang
paling besar, jadi sebaiknya isolat ini digunakan untuk inokulasi
93
Aspek PRODUKSI
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, N. 2004. Seed Leaflet : Aquilaria malaccensis Lamk. Forest
and Landscape Denmark. www.SL.kvl.dk. [2 Februari 2007].
Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000). Heart of
The Matter Agarwood Use and Trade and CITES Implementation
for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC Network. pp. 2.
Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England :
Commonwealth Mycological Institute). pp. 120-127.
Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
microbiology Review.12 (4) : 564-582.
Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http: //
treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007].
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan
Litbang Kehutanan. Jakarta. pp. 267-269.
Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin : SpringerVerlag. Hua SST. 2001. Inhibitory Effect of Acetosyringone on
Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32 :
278-281.
Irawati. 2004. Karakterisasi Mikoriza Rhizocstonia dari Perakaran
Tanaman Vanili Sehat. Tesis. Magelang. pp. 6-7.
Isnaini, Y. 2004. Induksi Produksi Gubal Gaharu Melalui Inokulasi
Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik. Disertasi). Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Luciasih, A., D. Wahyuno, dan E. Santoso. 2006. Keanekaragaman
Jenis Jamur yang Potensial dalam Pembentukan Gaharu dari
Batang Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam III(5):555-564. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.
Rowell, Rm. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington :
American Chemical Society.
94
95
96
4
EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI
ANTARA Acremonium sp. DAN
Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN
GUBAL GAHARU PADA Aquilaria
microcarpa
Gayuh Rahayu
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
Erdy Santoso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Esti Wulandari
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
LATAR BALAKANG
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan
kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu
(Aquilaria sp., Magnoliopsida, Thymelaeaceae). Proses pembentukan
gubal pada pohon gaharu, hingga saat ini masih terus diteliti.
Menurut Nobuchi dan Siripatanadilok (1991), gubal gaharu diduga
dapat terbentuk melalui infeksi cendawan. Beberapa spesies
Fusarium seperti F. oxyporum, F. bulbigenium, dan F. lateritium
telah berhasil diisolasi oleh Santoso (1996). Selain itu, Rahayu et
al. (1999) menyatakan bahwa beberapa isolat Acremonium sp.
asal gubal gaharu pada Gyrinops verstegii (sin. A. filaria) dan A.
malaccensis mampu menginduksi gejala pembentukan gubal pada
pohon gaharu (A. crassna, A. malaccensis, A. microcarpa) umur
97
Aspek PRODUKSI
98
B. Metode
1. Pembuatan Inokulan
Acremonium sp. dan Fusarium sp. diremajakan pada media agaragar kentang dekstrosa (Difco) dan diinkubasi pada suhu ruang
selama 7 hari. Biakan ini akan digunakan sebagai sumber inokulum
untuk pembuatan inokulan. Acremonium sp. ditumbuhkan pada
media serbuk gergaji selama 2 minggu, kemudian dibentuk berupa
pelet dengan ukuran 4 mm x 40 mm. Fusarium sp. ditumbuhkan pada
300 ml media cair, dan diinkubasi selama 3 minggu menggunakan
inkubator bergoyang.
99
Aspek PRODUKSI
4. Analisis Data
Data hasil pengamatan (panjang, lebar zona perubahan warna,
tingkat perubahan warna, dan tingkat wangi) dianalisis dengan
SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu
faktor dengan waktu dan uji F pada = 5%. Bila terdapat pengaruh
nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan
100
HASIL
A. Efektivitas Inokulan dalam Menginduksi Gejala
Pembentukan Gubal Gaharu
Secara umum semua perlakuan menyebabkan perubahan warna
kayu dan merangsang munculnya perubahan aroma kayu (Tabel 1).
Pemberian gula menyebabkan gejala pembentukan gubal gaharu
menjadi tertekan. Efektivitas inokulan tunggal maupun ganda
Acremonium dan Fusarium relatif lebih tinggi dalam merangsang
pembentukan gejala gubal gaharu dibandingkan dengan metode
induksi lainnya, Sebagai inokulan tunggal A dan F memiliki
efektivitas yang relatif sama. Gejala pembentukan gubal akibat
inokulan ganda juga cenderung tidak berbeda nyata dari inokulan
tunggalnya. Berdasarkan persentase titik induksi pada kategori
wangi, inokulan ganda lebih efektif. Di antara inokulan ganda, AF
lebih efektif dalam menginduksi pembentukan wangi daripada
FA dan inokulan tunggal. Sedangkan pada parameter lainnya, AF
justru lebih baik.
Tabel 1. Pembentukan gejala gubal gaharu hasil inokulasi cendawan tunggal
dan ganda
Rataan*
Perubahan warna kayu
Perlakuan
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
Warna
(skor)
Wangi
(skor)
Titik
induksi
agak
wangi
(%)
Titik
induksi
wangi
(%)
Inokulan
tunggal
AA
2,54ab
0,82a
1,90b
0,63ab
34,37
1,39
FF
3,14a
0,94a
1,45c
0,62ab
31,07
0,00
Inokulan
ganda
AF
3,20a
0,87a
1,75b
0,70a
39,55
6,24
FA
3,30a
0,83a
2,18a
0,59ab
20,12
4,16
101
Aspek PRODUKSI
Rataan*
Perubahan warna kayu
Perlakuan
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
Warna
(skor)
Wangi
(skor)
Titik
induksi
agak
wangi
(%)
Titik
induksi
wangi
(%)
Kontrol
positif
1,86b
0,55b
1,02d
0,38c
10,41
0,00
2,87ab
0,73ab
1,16d
0,47bc
11,11
0,00
Kontrol
negatif
0,00c
0,00c
0,00e
0,00d
0,00
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
102
Wangi
(skor)
Titik
induksi
agak
wangi
(%)
Titik
induksi
wangi
(%)
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
2,46ab
0,68a
0,83c
0,32c
8,43
0,00
2,58a
0,71a
1,24b
0,64a
39,47
0,00
2,32ab
0,65b
1,67a
0,51b
17,45
0,00
2,26b
0,65b
1,65a
0,36c
18,45
6,74
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
103
Aspek PRODUKSI
Perla-kuan
Panjang
(cm)
Lebar (cm)
Warna
(skor)
Wangi
(skor)
Titik
induksi
agak wangi
(%)
Titik
induksi
wangi (%)
FAa
2,73abc
0,71bcd
2,15ab
0,60ab
26,37
8,33
AAa
1,96bc
0,66bcd
1,82bc
0,63ab
36,11
0,00
AFf
2,52abc
0,83abcd
1,57cd
0,70a
40,27
8,33
FFf
2,61abc
0,75abcd
1,36de
0,62ab
27,78
0,00
GGg
1,75c
0,53d
1,02e
0,38c
0,00
0,00
BBb
2,40abc
0,65cd
1,13e
0,47bc
0,00
0,00
KKk
0,00e
0,00e
0,00f
0,00d
0,00
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
Titik
induksi
agak
wangi
(%)
Titik
induksi
wangi
(%)
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
Warna
(skor)
FFF
3,68ab
0,99ab
1,53cd
0,62ab
34,37
0,00
FAF
3,87a
0,95abc
2,22a
0,50bc
13,89
0,00
104
Rataan*
Perlakuan
Titik
induksi
agak
wangi
(%)
Titik
induksi
wangi
(%)
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
Warna
(skor)
AAA
3,13abc
0,96abc
1,98ab
0,63ab
32,63
2,78
AFA
3,88a
1,06a
1,93ab
0,70a
38,86
4,15
GGG
1,98bc
0,56d
1,01e
0,38c
20,83
0,00
BBB
3,35abc
0,80abcd
1,20de
0,47bc
13,89
0,00
KKK
0,00d
0,00e
0,00f
0,00d
0,00
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
Warna
(skor)
Wangi
(skor)
Titik
induksi
agak
wangi (%)
Titik
induksi
wangi (%)
AAA
3,13abc
0,96abc
1,98ab
0,63ab
32,63
2,78
AAa
1,96bc
0,66bcd
1,82bc
0,63ab
36,11
0,00
FFF
3,68ab
0,99ab
1,53cd
0,62ab
34,37
0,00
FFf
2,61abc
0,75abcd
1,36de
0,61ab
27,78
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
105
Aspek PRODUKSI
Bulan ke1
0,29*
0,24*
0,34*
0,14*
0,12*
0,22*
0,39*
0,45*
AF A
0,20**
0,06*
0,25*
0,12**
AF F
0,20**
0,05*
0,23**
0,11*
FA F
0,12**
0,11**
0,21*
0,06*
FA A
0,12**
0,19**
0,23**
0,23*
AA
0,15*
0,20*
0,27*
0,40*
FF
0,14**
0,06*
0,25**
0,15*
106
PEMBAHASAN
A. Efektivitas Induksi
Pohon-pohon yang diberi perlakuan menurun kebugarannya
mulai 1 bsi. Penurunan kebugaran ditunjukkan oleh adanya daundaun yang mengalami klorosis pada cabang pertama dan kedua dari
daerah lubang induksi dan kemudian daun-daun ini gugur. Secara
umum inokulan tunggal mengakibatkan klorosis pada daun-daun
di dua cabang dekat lubang induksi. Sedangkan pada pohon yang
diberi inokulan ganda klorosis terjadi pada tiga cabang dekat lubang
induksi. Berbeda dengan daun-daun pada pohon perlakuan, pada
pohon kontrol daun-daun tidak mengalami klorosis sampai akhir
pengamatan. Pada 2 bsi, jumlah daun yang mengalami klorosis
tidak berbeda dengan 1 bsi, tetapi klorosis hampir memenuhi
luasan helai daun.
Klorosis mungkin berhubungan dengan ketersediaan hara.
Ketersediaan hara terganggu karena jalur distribusinya ke daun
terhambat akibat pengeboran. Selain itu, adanya inokulan juga
menjadi penyebab klorosis. Caruso and Kuc (1977) menyatakan
bahwa Colletotrichum lagenarium menyebabkan klorosis pada daun
tanaman semangka dan muskmelon. Pohon semakin merana ketika
diserang ulat. Tajuk-tajuk pohon menjadi gundul. Berkurangnya
jumlah daun secara drastis dapat menghambat proses fotosintesis,
karena daun merupakan tempat utama berlangsungnya fotosintesis.
Fotosintat sebagai sumber karbon dalam pembentukan metabolit
sekunder antimikrob pun terganggu, karena kemungkinan sumber
karbon lebih diutamakan untuk pembentukan tunas baru. Pada
akhirnya, perkembangan gejala pembentukan gubal pun terganggu.
Perubahan warna kayu terjadi pada semua perlakuan.
Pelukaan, larutan gula, inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium
sp. menyebabkan perubahan warna kayu dari putih menjadi gelap.
Menurut Braithwaite (2007) Acremonium sp. dan Fusarium sp.
berasosiasi dengan gejala perubahan warna kayu dan dicline pada
Quercus sp. di New Zealand. Sebelumnya, Walker et al. (1997) juga
menyatakan bahwa perubahan warna kayu menjadi warna coklat
(browning) dapat disebabkan oleh serangan patogen (cendawan)
107
Aspek PRODUKSI
108
109
Aspek PRODUKSI
SIMPULAN
Semua pohon yag diinokulasi menurun kebugarannya sejak 1
bulan setelah inokulasi. Inokulan ganda terutama AF lebih efektif
daripada inokulan tunggal dalam merangsang pembentukan wangi.
Induksi dengan inokulan 1 yang hanya berselang 1 minggu dari
pemberian inokulan 2 tidak membangkitkan resistensi pohon
terhadap inokulan 2. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A
merangsang pohon membentuk triterpenoid.
DAFTAR PUSTAKA
Benhamou, N., S. Gagn, D.L. Qur, L. Dehbi. 2000. BacterialMediated Induced Resistance in Cucumber: Beneficial Effect of
the Endophytic Bacterium Serratia plymuthica on the Protection
Against Infection by Pythium ultimum. Amer. Phytopathol. Soc.
90(1): 45-56.
Braithwaite, M., C. Inglis, M.A. Dick, T.D. Ramsfield, N.W. Waipara,
R.E. Beever, J.M. Pay and C.F. Hill. 2007. Investigation of Oak
Tree Decline In Theauckland Region. New Zealand Plant
Protection 60:297-303
Caruso, F.L., J. Kuc. 1977. Protection of Watermelon and Muskmelon
Against Colletotrichum lagenarium by Colletotrichum
lagenarium. Phytopathol. 67: 1285-1289.
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I
Sudiro (penerjemah). Institut Teknologi Bandung. Bandung
Terjemahan dari: Phytochem Methods.
Krokene, P., E. Christiansen, H. Solheim, V.R. Franceschi, A.A.
Berryman. 1999. Induced Resistance to Phatogenic Fungi in
Norway Spruce. Plant Physiol. 121: 565-569.
110
111
112
Aspek
SILVIKULTUR
113
114
5
UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN
GAHARU SECARA GENERATIF DAN
VEGETATIF
Atok Subiakto, Erdy Santoso, Maman Turjaman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan untuk
menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk menghasilkan resin
gaharu yang terbentuk dari respon tanaman atas infeksi mikroba,
khususnya jamur Fusarium sp., Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp.,
Pythium sp., Phialophora sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007;
Daijo and Oller, 2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987).
Di alam, kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan
bila terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon
yang terinfeksi. Namun gaharu alam dapat mencapai kualitas
tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta/kg.
Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi gaharu alam
dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya. Akibatnya populasi
jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga jenis ini dimasukkan
dalam Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Konsekuensinya,
dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon
hasil budidaya, bukan dari alam.
Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan
dan produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek dimaksud
115
Aspek SILVIKULTUR
METODE
A. Perbanyakan Generatif
Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih
(biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu
yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih
adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal
Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu
(0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,4-26,1oC
dan 4,9-6,5oC). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak
lengkap dengan 5 ulangan.
Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan
adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis. Perlakuan
pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu simpan (1, 2,
dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan (dalam sungkup
dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan
acak lengkap dengan 5 ulangan.
116
B. Perbanyakan Vegetatif
Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian
ini adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah
kaca yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system
(Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek
yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji
produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan
pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu media
campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan
2:1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian kedua perlakuan
intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali seminggu dengan
media arang sekam. Pada pengujian ketiga, media menggunakan
campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan
1:1 dan intensitas penyiraman 1 kali pada bulan pertama, 2 kali
pada bulan kedua, dan 3 kali pada bulan ketiga.
Langsung
82
2 minggu
69
69
4 minggu
77
69
6 minggu
56
61
8 minggu
48
24
117
Aspek SILVIKULTUR
118
B. Perbanyakan Vegetatif
Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan
teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan Litbang
Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan
Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi lingkungan, yaitu
cahaya, kelembaban, temperatur, dan media pada tingkat optimal
bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil uji produksi stek gaharu
disajikan pada Tabel 4.
Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian.
Pada tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek.
Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Ratarata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 4047%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis bila
persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007). Perlakuan
jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,6600) dalam
persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah tanam tidak
menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276) dalam persen
jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di bawah 70%, maka
dilakukan pengujian lebih lanjut.
Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi
satu kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga
jenis media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian
menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova = 0,0083)
terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit, namun
persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan media
dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh cendawan
119
Aspek SILVIKULTUR
ataupun alga. Karena zeolit adalah media yang berat dan relatif
lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang memiliki tingkat
porositas relatif sama dengan zeolit.
Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan
sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah tingkat
penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali seminggu).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5%,
penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap persen berakar
stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman terbaik adalah dua kali
seminggu dengan persen berakar 69%. Efek dari penyiraman adalah
menyebabkan jenuhnya media dan meningkatkan pertumbuhan
cendawan, termasuk cendawan pembusuk.
Tabel 4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek
Tahapan
riset
1
A. crassna
A. crassna
A. microcarpa
A. microcarpa
Campuran
A. crassna dan
A. microcarpa
Campuran
A. crassna dan
A. microcarpa
Campuran
A. crassna dan
A. microcarpa
Campuran
A. crassna dan
A. microcarpa
Campuran
A. crassna dan
A. microcarpa
Campuran
A. crassna dan
A. microcarpa
2
2
3
3
3
120
Spesies
Perlakuan
Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu,
media coco-peat : sekam = 2:1
Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu,
media coco-peat : sekam = 2:1
Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu,
media coco-peat : sekam = 2:1
Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu,
media coco-peat : sekam = 2:1
Media sekam bakar, siram 1 kali
seminggu
Persen
berakar
(%)
40
42
44
47
17
31
55
53
69
49
KESIMPULAN
1. Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung
dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan
mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat
disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan
dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan.
Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan
persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan
sungkup.
2. Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran
antara serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan
perbandingan 1:1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam
seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada
rumah kaca dengan KOFFCO system.
DAFTAR PUSTAKA
Daijo, V. dan D. Oller. 2001. Scent of Earth. URL:http://store.yahoo.
com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari 2001).
Hou, D. 1960. Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis,
C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff, Groningen. The
Netherland. p. 1-15.
Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman. 1996. Studi Etiologi
Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar
Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram.
Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenisjenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan Litbang
Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor.
Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata. 2002. Mass
Propagation Method from The Cutting of Three Dipterocarps
Species. J. For. Res. 7:73-80.
Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. 2007. Kolonisasi
Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil
Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 : 499-509.
121
Aspek SILVIKULTUR
122
6
APLIKASI RHIZOBAKTERI
PENGHASIL FITOHORMON UNTUK
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN
BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN
Irnayuli R. Sitepu
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Aryanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Yasuyuki Hashidoko
Lab. of Ecological Chemistry, Division of Applied Bioscience, Graduate School of
Agriculture, Hokkaido University
Maman Turjaman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu (dalam Bahasa Inggris dikenal dengan agarwood atau
eaglewood) adalah kayu resin yang bernilai komersial tinggi karena
digunakan sebagai dupa, bahan aditif minyak wangi, dan minyak
esensial untuk kegiatan keagaman, budaya, bahkan kegiatan
sehari-hari. Di alam, perburuan gaharu dilakukan secara agresif
dan tidak bijaksana. Pohon penghasil gaharu yang ditemukan
dengan ciri-ciri adanya lubang kecil yang disebut lubang semut,
ditebang dan dipanen gaharunya. Cara perburuan ini mengancam
kelestarian gaharu di habitat alaminya, sehingga untuk mencegah
punahnya pohon penghasil gaharu, sejak November 1994, Aquilaria
123
Aspek SILVIKULTUR
124
125
Aspek SILVIKULTUR
126
127
Aspek SILVIKULTUR
Inang
Substrat
Sta-dium
Asal lokasi
Strain
bakteri
Sub
kelas
Hasil
analisa
colorimetric AIA
Sapling ~1 th Nyaru
Menteng
Stenotrophomonas sp.
CK34
Proteobacteria
Merah
Hopea sp.
Rizoplan
Sapling ~1
tah
Bacillus sp.
CK41
Bacilli
Merah
muda
S. teysmanniana
Rizoplan
Sapling ~1 th Nyaru
Menteng
Azospirillum
sp. CK26
Proteobacteria
Merah
muda
S. teysmanniana
Rizoplan
Sapling ~1
tah
Merah
muda pupus
Merah
muda pupus
Merah
muda pupus
Nyaru
Menteng
Nyaru
Menteng
Sapling ~1th
Nyaru
Menteng
Serratia sp.
CK67
Proteobacteria
S. teysmanniana
Rizoplan
Bibit~ 6 bln
Nyaru
Menteng
NI CK53
Merah tua
NI CK54
Merah tua
S. balangeran
Rizoplan
Sapling ~1
bln
Pembi-bitan
UP
NI CK 61
Merah
muda
S. parviflora
Rizoplan
Sapling ~1.5
th
Nyaru
Menteng
Chromobacterium
sp. CK8
(DQ195926)
Proteobacteria
Catatan: S: Shorea; H: Hopea; NI: bakteri yang belum teridentifikasi; UP: Universitas Palangkaraya; * isolat
mycorrhization helper bacteria; AIA: asam indol asetat
128
b
Gambar 1. Warna merah yang terbentuk di sekitar koloni
setelah direaksikan dengan reagen Salkowski
(a): Pembentukan warna pada membrane
nitroselulose 3 hari setelah inkubasi; (b):
Pembentukan warna pada media cair. Bakteri
NICK53 yang membentuk warna merah tua
dibanding dengan kontrol media tanpa bakteri
x 100%
129
Aspek SILVIKULTUR
130
131
Aspek SILVIKULTUR
Diameter (mm)
tn
tn
tn
tn
Tinggi (cm)
tn
tn
tn
tn
Rasio P/A
tn
tn
Catatan: tn: tidak nyata pada taraf 0,05 *: nyata pada taraf 0.05; P/A: Pucuk/akar
132
133
Aspek SILVIKULTUR
KESIMPULAN
Bibit Aquilaria sp. menunjukkan respon beragam terhadap
inokulasi bakteri penghasil fitohormon. Inokulasi bakteri penghasil
fitohormon dapat meningkatkan tinggi bibit Aquilaria sp. segera
setelah inokulasi berturut-turut selama lima bulan. Peningkatan
pertumbuhan tinggi bervariasi dari 12,2-38,7% dibandingkan
dengan bibit yang tidak diinokulasi. Dua isolat Burkholderia sp.
CK28 dan Chromobacterium sp. CK8 adalah dua bakteri yang secara
konsisten memacu pertumbuhan tinggi. Uji lanjutan inokulasi ganda
dengan fungi mikoriza arbuskula perlu dilakukan untuk mengetahui
mikroba yang berperan dalam memacu pertumbuhan bibit pada
stadia lanjut di persemaian sebelum dipindah ke lapangan.
134
Ucapan Terimakasih
Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad
Yani dan Bapak Zaenal yang telah membantu pengukuran dan
perawatan tanaman di Hutan Penelitian Dramaga.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F., I. Ahmad, dan M.S. Khan. 2005. Indole acetic acid
production by the indigenous isolates of Azotobacter and
fluorescent Pseudomonas in the presence and absence of
tryptophan. Turkish Journal of Biology 29: 29-34.
Brick, J.M., R.M. Bostock, and S.E. Silverstone. 1991. Rapid in situ
assay for indoleacetic acid production by bacteria immobilized
on a nitrocellulose membrane. Applied and Environmental
Microbiology 57: 535-538.
Brul, C., P. Frey-Klett, J.C. Pierrat, S. Courrier, F. Gerard, M.C.
Lemoine, J.L. Rousselet, G. Sommer, and J. Garbaye. 2001.
Survival in the soil of the ectomycorrhizal fungus Laccaria
bicolor and the effects of mycorrhiza helper Pseudomonas
fluorescens. Soil Biology and Bio-chemistry 33: 1683-1694.
Enebak, S.A., G. Wei, and J.W. Kloepper. 1998. Effect of plant growthpromoting rhizobacteria on loblolly and slash pine seedlings.
Forest Science 44: 139-144.
Founoune, H., R. Duponnois, A.M. Ba, S. Sall, I. Branget, J. Lorquin,
M. Neyra, and J.L. Chotte. 2002. Mycorrhiza Helper Bacteria
stimulate ectomycorrhizal symbiosis of Acacia holosericea with
Pisolithus alba. New Phytologist 153: 81-89.
Garbaye, J. 1994. Helper bacteria: a new dimension to the mycorrhizal
symbiosis. New Phytologist 128: 197-210.
Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living
bacteria. Canadian Journal of Microbiology 41: 109-117.
Glickmann, E. and Y. Dessaux. 1995. A critical examination of the
specificity of the Salkowski reagent for indolic compounds
produced by phytopathogenic bacteria. Applied Environmental
Microbiology 61: 793-796.
135
Aspek SILVIKULTUR
136
137
138
7
PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS
Aquilaria
Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Ragil S.B. Irianto,
Sugeng Sentosa, Aryanto, Ahmad Yani, Najmulah,
Erdy Santoso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian
dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini sangat
penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu mewah untuk
masyarakat di sekitar kawasan hutan di kawasan Asia (Lemmens
et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae terdiri dari 50
genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, Phaleria,
Wikstroemia, dan Aquilaria yang memproduksi gaharu (Ding Hou,
1960). Karena disebabkan tingginya nilai produk gaharu, maka jenisjenis ini mengalami kelebihan pemanenan di seluruh kawasan Asia
selama 20 tahun terakhir (Paoli et al., 2001). Pada saat ini Aquilaria,
Gyrinops, dan Gonystylus dimasukkan ke dalam CITES (Convention
on the International Trade in Endangered Species) Appendix II (CITES
2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya banyak dijumpai pada
hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah di Indonesia,
Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh,
Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan Filipina. Jenis-jenis ini
merupakan sumber utama dari kayu gaharu (semacam kayu yang
139
Aspek SILVIKULTUR
140
B. Media Semai
Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes,
Jasinga dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai tersebut
disaring dengan diameter saringan lima mm. pH media adalah 4,7; P
tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg-1, dan N total (Kjeldahl) was 1.7 mg
kg-1. Kemudian media semai disterilisasi pada temperatur 121oC selama
30 menit.
141
Aspek SILVIKULTUR
D. Inokulasi FMA
Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi
FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan dekat akar semai
Aquilaria spp. Semai empat jenis Aquilaria yang tidak diinokulasi
sebagai kontrol. Dari hasil penelitian pendahuluan, penggunaan
inokulum steril tidak memberikan pengaruh pertumbuhan pada
Aquilaria spp. Semai dipelihara dan disiram setiap hari pada
kondisi rumah kaca dan diamati selama 6 bulan. Temperatur di
rumah kacar berkisar antara 26-35oC dan kelembaban udara 8090%. Gulma dan hama yang mengganggu semai dimonitor setiap
hari.
E. Parameter Pertumbuhan
Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a)
kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens;
(d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain
penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter, dan daya
hidup semai. Setelah berumur enam bulan, dilakukan pemanenan
pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua sampel di-oven pada suhu
70oC selama tiga hari. Analisis N dan P jaringan semai dilakukan
dengan metode semi-micro Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow
assay (Olsen and Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan
yang dilakukan hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL
yang sama. Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina
arborea. Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah
tinggi dan diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua
tahun.
142
dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar berukuran satu cm
diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 200x.
Penghitungan kolonisasi mikoriza dilakukan dengan sistem skoring
keberadaan dan tidak adanya struktur FMA (McGonigle et al., 1990).
G. Analisis Statistik
Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software
StatView 5.0 (Abacus Concepts). Sedangkan analisis statistik lanjutan
menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai F signifikan.
143
Aspek SILVIKULTUR
144
145
Aspek SILVIKULTUR
DAFTAR PUSTAKA
Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie. 1996.
Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with Three
Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : 129-135.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk. 1996.
Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR
Monograph 32, Canberra.
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III of
CITES. UNEP. 48 pp.
Ding Hou. 1960. Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed) Flora
Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff, Groningen, The
Netherlands. p. 1-15.
Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005).
Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal Fungi
in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response and Influences
on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2 Years Plantation.
Forest Ecology and Management 207 : 351-362.
Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel. 2005. TrnL-TrnF Sequence Data
Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops (Thymelaeaceae)
and Provide New Perspectives for Agarwood Identification.
Plant Systematics and Evolution 254 : 1-12.
Giri, B. and K.G. Mukerji. 2004. Mycorrhizal Inoculant Alleviates Salt
Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania grandiflora Under
Field Conditions : Evidence for Reduced Sodium and Improved
Magnesium Uptake. Mycorrhiza 14 : 307-312.
Guisso, T., A.M. B, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois. 1998.
Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth, Tamarindus indica
L. and Zizyphus mauritiana Lam. to Arbuscular Mycorrhizal
Fungi in a Phosphorus-Deficient Sandy Soil. Biology and Fertility
Soils 26 : 194-198.
146
147
Aspek SILVIKULTUR
148
Lampiran 1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenisjenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca
Kolonisasi
AM
Perlakuan
A. crassna
Tinggi
(cm)
Berat basah
Diameter
(mm)
Entrophospora sp.
73b
46,14 c
5,4 c
63b
29,58 b
4,1 b
G. clarum
78b
32,43 b
4,4 b
8,82b
4,3b
78b
38,94 c
4,7 b
9,92b
4,54b
59b
24,60 a
3,7 a
13,46b 6,94b
4,19b
Entrophospora sp.
0,33a
0,13a
12,58b 5,72b
3,82b
1,35b
100
11,64b 7,36b
3,26b
1,56b
100
0,86a
0,27a
100
2,99b
1,01b
87
1,52b
100
1,06a
Daya
hidup
(%)
Akar (g)
G. decipiens
0,68a
Pucuk
(g)
4a*
Kontrol
2,9 a
Berat kering
Akar
(g)
Kontrol
A. malaccensis
20,90 a
Pucuk
(g)
70
1a
16,43a
2,28a
1,46a
0,52a
0,41a
0,18a
73
97b
25,97c
3,88c
4,68c
2,24c
1,44c
0,48c
100
G. decipiens
88b
21,91b
3,02b
2,92b
1,20b
0,88b
0,27b
100
G. clarum
83b
19,96b
2,94b
2,90b
1,28b
1,95c
0,78c
97
84b
22,33b
3,26b
2,62b
1,38b
0,79b
0,27b
90
86b
21,30b
3,12b
2,74b
1,22b
0,89b
0,26b
93
A. microcarpa
Kontrol
2a
13,39a
2,23a
Entrophospora sp.
97b
24,74d
3,89c
4,32c
G. decipiens
88b
21,99c
3,67c
3,87c
Glomus clarum
83b
20,28c
3,58c
3,46c
85b
17,24b
2,84b
87b
18,09b
2,98b
A. beccariana
0,75a
0,23a
0,09a
67
2,29c
1,31c
0,37b
100
3,41d
1,44c
0,57c
97
1,55b
0,95b
0,30b
93
2,24b
1,08b
0,64b
0,24b
87
2,70b
1,23b
0,76b
0,28b
90
0,34a
Kontrol
10a
15,40a
1,90a
0,30a
0,10a
0,09a
0,02a
73
Entrophospora sp.
85b
19,20b
2,37b
5,46e
2,54c
1,76c
0,78c
100
G. decipiens
71b
32,18d
3,94c
4,74d
1,64b
1,59c
0,41b
100
Glomus clarum
79b
45,30e
5,02d
6,74f
2,82d
2,30d
0,91d
100
61b
32,03d
3,75c
3,14b
1,38c
0,97b
0,36b
100
84b
26,24c
3,53c
3,84c
1,20b
1,19b
0,28b
100
149
Aspek SILVIKULTUR
Perlakuan
A. crassna
P Concentrations
(mg/g)
N Content
(mg/plant)
P Content
(mg/plant)
Kontrol
7,9 0,1a*
2,6 0,6a
0,78 0,02a
0,26 0,06a
Entrophospora sp.
9,8 0,1c
37,7 4,3d
1,42 0,03e
5,4 0,6d
G. decipiens
8,2 0,2a
26,7 4,1c
0,85 0,02b
2,8 0,5c
G. clarum
8,7 0,2b
7,4 1,0b
0,95 0,02c
0,82 0,14b
8,7 0,1b
25,8 3,6c
0,96 0,03c
2,85 0,41c
10,8 0,2d
45,9 9,6d
1,22 0,02d
5,14 1,0d
A. malaccensis
Kontrol
8,6 0,2a
3,49 0,5a
0,65 0,02a
0,26 0,04a
Entrophospora sp.
12,1 0,1d
17,28 2,0c
0,73 0,01b
1,06 0,15d
G. decipiens
10,7 0,1c
9,02 0,7b
0,85 0,01c
0,75 0,07c
G. clarum
10,4 0,1b
20,5 3,3c
0,72 0,02b
1,60 0,20e
11,1 0,2c
8,8 0,9b
0,77 0,03b
0,6 0,07b
10,9 0,2c
9,7 1,8b
1,04 0,03d
0,92 0,17c
A. microcarpa
Kontrol
7,8 0,1a
1,02 0,07a
0,65 0,02a
0,08 0,01a
Entrophospora sp.
9,6 0,2c
16,9 1,5d
1,12 0,03d
1,97 0,18d
G. decipiens
9,6 0,1c
11,7 0,9c
0,86 0,01c
1,20 0,18c
G. clarum
9,3 0,1c
8,3 0,4b
0,78 0,02b
0,70 0,03b
9,4 0,1c
9,17 1,35b
0,77 0,03b
0,75 0,12b
8,9 0,2b
8,28 0,40b
0,77 0,02b
0,9 0,1b
A. beccariana
Kontrol
6,0 0,1a
5,02 0,07a
0,40 0,02a
0,10 0,01a
Entrophospora sp.
9,9 0,2c
10,2 1,0c
0,98 0,02d
0,87 0,20d
G. decipiens
10,6 0,1c
11,8 0,8c
0,89 0,03c
1,25 0,21c
G. clarum
11,3 0,d
12,5 0,4d
1,11 0,02e
1,95 0,03e
9,4 0,1b
9,17 1,35b
0,77 0,03b
0,75 0,12b
8,8 0,2b
9,28 0,40b
0,97 0,02d
1,04 0,1c
*Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05).
150
8
HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL
GAHARU
Ragil SB Irianto, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Irnayuli R.
Sitepu
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Tanaman penghasil gaharu yang ada di Indonesia sekitar 27
jenis, beberapa di antaranya yang cukup potensial menghasilkan
gaharu yaitu Aquilaria spp., Aetoxylontallum spp., Gyrinops spp.,
dan Gonystylus spp.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat terutama
di pedalaman Pulau Sumatera dan Kalimantan telah berlangsung
ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan,
antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara keagamaan,
pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan
sederhana.
Produk gaharu saat ini sangat dicari oleh para pencari gaharu,
karena harganya yang cukup mahal, dimana harga gaharu super
dapat mencapai sekitar Rp 40 juta/kg. Akibat dari harga yang cukup
tinggi tersebut, maka para pencari gaharu semakin intensif untuk
mendapatkannya, saat ini para pencari gaharu mulai memfokuskan
mencari gaharu di Pulau Papua yang potensi alamnya (gaharu)
masih cukup tinggi dibandingkan dengan di Pulau Kalimantan atau
Sumatera.
151
Aspek SILVIKULTUR
B. Siklus Hidup
1. Telur
Ngengat meletakkan telurnya yang berwarna putih kekuningkuningan yang akan segera berubah menjadi kuning kehijauhijauan dalam bentuk kluster pada bagian bawah permukaan daun
152
2. Larva/Ulat
Ulat H. vitessoides pada instar pertama berwarna kuning pucat
dan pada instar selanjutnya menjadi hijau kekuning-kuningan, ulat
ini terdiri dari 5 instar dan berlangsung selama 23 hari. Larva instar
terakhir pada saat akan berkepompong mulai berhenti makan dan
ulat turun ke permukaan tanah untuk berkepompong.
3. Pupa
Larva instar terakhir sebelum berkepompong akan berhenti
makan dan turun ke permukaan tanah dengan bantuan benang
sutera yang dihasilkannya. Ulat akan membungkus dirinya dengan
butiran-butiran tanah atau serpihan-serpihan serasah yang ada di
permukaan dengan bantuan benang-benang suteranya. Stadium
pupa berkisar 8 hari.
4. Ngengat
Serangga dewasa berbentuk ngengat yang aktif pada waktu
malam. Ngengat betina dapat meletakkan telur sebanyak 350-500.
Stadium ngengat berkisar sekitar 4 hari.
Ngengat
(4 Hari)
Kepompong
(8 Hari)
Telur
(10 Hari)
Larva
(23 Hari)
153
Aspek SILVIKULTUR
STRATEGI PENGENDALIAN
A. Jangka Pendek
1. Mekanis
Pengendalian mekanis merupakan pengendalian yang
sangat sederhana, sudah populer di tingkat petani, yaitu dengan
cara mengambil ulat atau telur yang ada di tanaman tersebut.
Pengendalian dengan cara ini mudah diaplikasikan terutama pada
pesemaian atau bibit yang baru dua tahun, dimana tanaman masih
bisa dijangkau oleh orang dengan berdiri tanpa bantuan alat.
2. Kimiawi
Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida
kontak, sistemik atau dengan insektisida yang berbahan aktif
mikroorganisme, seperti Beauveria bassiana atau Bacillus
thuringiensis. Karena hama ini memakan daun dan pada serangan
berat umumnya tanaman gundul, maka disarankan pada saat
penyemprotan dikombinasikan dengan pemupukan lewat daun
dengan pupuk daun seperti gandasil, growmore, dan lain-lain untuk
merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.
3. Nabati
Pengendalian nabati merupakan pengendalian yang cukup
sederhana dan dapat dilakukan oleh petani sendiri dengan
mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar lokasi penanaman
tanaman gaharu.
B. Jangka Menengah
1. Predator Rangrang
Semut rangrang (Oecophylla smaradigna) merupakan serangga
yang mudah ditemukan di kampung-kampung pada tanamantanaman yang banyak mengeluarkan nektar, seperti tanaman
nangka, rambutan, melinjo, durian, dan lain-lain. Pencarian sarang
semut rangrang yang memiliki ratu merupakan salah satu faktor
154
C. Jangka Panjang
1. Musuh Alami
Musuh alami, baik parasit maupun predator dari serangga
perusak daun tanaman penghasil gaharu H. vitessoides merupakan
suatu cara pengendalian yang sangat diharapkan dalam jangka
panjang.
2. Teknik Silvikultur
Pengendalian dengan cara teknik silvikultur merupakan salah
satu cara pengendalian yang sudah menyatu dengan penanaman
suatu tanaman dan termasuk pengendalian yang sudah cukup
dikenal oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Kalita, J., P. R. Bhattacharyya, and S. C. Nath. 2002. Heortia vitessoides
Moore A Serious Pest of Agarwod Plant (Aquilaria malaccensis
Lamk). Geobios 29: 13-16.
Mele, P. V. dan N. T. T. Cuc. 2004. Semut Sahabat Petani: Meningkatkan
Hasil Buah-Buahan dan Menjaga Kelestarian Lingkungan
Bersama Semut Rangrang. ICRAF. 59 p.
Mele, P. V. 2008. A Historical Review of Research on The Weaver
Ant Oecophylla in Biological Control. Agricultural and Forest
Entomology 10: 13-22.
155
156
Aspek
SOSIAL EKONOMI DAN
KONSERVASI
157
158
9
PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU
MELALUI POLA PENGELOLAAN
HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
(PHBM)
Sri Suharti
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang
harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis
Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka, rusak
atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan serangga,
akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa gumpalan
atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang
terbentuk pada lapisan dalam dari jenis kayu tertentu sebagai reaksi
dari infeksi/ luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi
tanaman dari infeksi yang lebih besar sehingga dapat dianggap
sebagai sistim imun yang dihasilkan (Squidoo, 2008).
Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh di wilayah
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa nama diberikan pada
gaharu seperti agarwood, aloeswood, gaharu (Indonesia), ood, oudh,
oodh (Arab), chenxiang (China), pau daquila (Portugis), bois daigle
(Perancis), dan adlerholz (Jerman). Aquilaria yang merupakan
tanaman penghasil gaharu saat ini menjadi jenis yang dilindungi
159
160
METODOLOGI
Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka,
laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data dan
informasi serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai sumber
antara lain, Departemen Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi Gaharu
Indonesia (Asgarin), serta berbagai terbitan lainnya.
Data dan informasi yang berhasil dihimpun, diolah dan Dianalisis
secara deskriptif. Khusus untuk perhitungan analisis finansial
usahatani gaharu digunakan kriteria kelayakan Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (B/C ).
n Bt Ct
NPV =
t =0 (1 + i)t
................................................................................... (1)
dimana:
NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = biaya pada tahun t,
i
= tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku),
n
= umur ekonomi proyek (cakrawala waktu).
Suatu kegiatan usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai
NPV > 0.
IRR atau tingkat pengembalian internal dirumuskan sebagai
berut:
161
IRR = i1 +
NPV1
NPV1 NPV2
(i2 i1)
.............................................................. (2)
dimana:
IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat keuntungan internal),
i1 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol,
NPV1 = nilai NPV mendekati nol positif,
i2
= tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati
nol,
NPV2 = nilai NPV negatif mendekati nol.
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR
lebih besar dari tingkat suku pinjaman di bank yang berlaku saat
ini.
Selanjutnya, nilai B/C dirumuskan sebagai beikut:
n
Bt
t =0 (1 + i)t
B/C =
n
Ct
t =0 (1 + i)t
................................................................................... (3)
dimana:
B/C =
Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = biaya pada tahun t,
i
= tingkat diskonto,
n
= umur ekonomis proyek.
Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.
162
163
Tahun
Kuota
hasil
panen
resmi*)
Kuota
hasil
aktual*)
Net ekspor
laporan
CITES **)
n/a))
Total ekspor
gaharu
(semua
spesies)*)
1995
n/a
n/a
323,577
n/a
1996
300,000
160,000
299,523 (termasuk A.
filarial dan jenis lain
293,593
299,593
1997
300,000
120,000
287,002 (termasuk
A.filarial 180,000 kg)
305,483
287,002
1998
150,000
150,000
148,238
147,212
n/a )
1999
300,000
180,000
81,079
76,401
313,649
2000
225,000
225,000
81,377
81,377
245,150
2001
75,000
70,000
74,826
74,826
219,772
2002
75,000
68,000
70,546
n/a
175,245
2003
50,000
50,000
n/a
n/a
n/a
*): CITES Management Authority of Indonesia; **): CITES Annual Report Data Compiled by UNEP-WCMC;
): the reason for the unavailability of data for 1995 1nd 1998 is not known
164
165
166
167
168
169
170
171
Skenario I
1
Lahan
Saprodi
Tenaga kerja
Skenario II
Skenario III
Skenario IV
Bahan inokulan
Biaya inokulasi
Pengolahan hasil
Pemasaran
172
173
174
Keterangan:
Pakhir = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu yang diterima masingmasing pihak jika ada tanaman yang mati/hilang/tidak/
belum menghasilkan
Pawal = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu sesuai kesepakatan yang
tertuang dalam perjanjian kerjasama ini
Butir-butir kesepakatan tersebut tertuang dalam naskah
perjanjian kerjasama yang disusun berdasarkan hasil kesepakatan/
negosiasi antara pihak pertama dan pihak kedua.
175
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, D. 2009. Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. http://
www.trubus- online.co.id/mod.php?mod=publisher&op
=viewarticle&cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari 2009.
Anonim. 2002. GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info Pusat
Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan. http://
www.dephut.go.id/ Halaman/STANDARDISASI_& _LINGUNGAN_
KEHUTANAN/INFO_V02/VI_V02.htm. Diakses 20 Januari 2009.
176
177
179
I.
II.
III.
IV.
0
0
0
0
5250
-5250
-5250
147.742
48,53%
3,3176
0
0
0
0
0
250
0
250
500
3000
1250
250
5000
2500
1000
0
3500
16425
-16425
-21675
6750
125
350
300
150
0
0
7675
0
2500
2500
250
5250
2500
1000
0
3500
7075
-7075
-28750
0
125
350
300
300
0
0
1075
0
0
2500
0
2500
Catatan:
Produksi gaharu 480 kg/ha dengan harga rata-rata Rp 1.550.000/kg
Harga gaharu K1= Rp 5 juta/kg, K2= Rp 2 juta/kg dan K3=Rp 500.000/kg.
Harga bibit Rp 15.000/phn, jumlah tanaman 400 phn/ha dibutuhkan 450 phn dg sulaman.
Harga pupuk urea Rp 2500/kg, TSP Rp 7000/kg, KCl Rp 6000/kg, dan pupuk kandang Rp 150/kg
Harga inokulan Rp 50.000/tanaman
Keterangan
No.
2000
500
0
2500
6850
-6850
-35600
0
250
700
600
300
0
0
1850
0
0
2500
0
2500
0
250
700
600
300
250
0
2100
0
0
2500
0
2500
1500
500
0
2000
6600
-6600
-42200
1500
500
12000
14000
39125
-39125
-81325
0
375
1050
900
300
0
20000
22625
0
375
1050
900
300
0
0
2625
0
0
2500
0
2500
1500
500
0
2000
7125
-7125
-88450
Tahun ke-
0
0
2500
0
2500
1500
500
0
2000
6650
-6650
-95100
0
250
700
600
300
300
0
2150
0
0
2500
0
2500
20000
25000
0
45000
46250
697750
602650
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1250
0
1250
480
744000
240000
384000
120000
33000
29500
12000
74500
141350
602650
6750
1750
4900
4200
1950
800
20000
40350
500
5500
20000
500
26500
744000
Total
180
10
THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF
SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD
PLANTATION PROJECT
Erry Purnomo
Lambung Mangkurat University, South Kalimantan
INTRODUCTION
Eaglewood (gaharu) may play an important role in gaining
foreign exchange and as a source of income for people living in
out- and in-side the forest in Indonesia. This is because, the gaharu
export market remains open. Therefore there is a big opportunity
for the Indonesian farmers to establish eaglewood plantation.
In South Kalimantan, the gaharu production may be considered
low. Most of the gaharu formation usually relays on natural infection.
Only small group of farmers using introduced inoculants.
There is a lack of information on factors influencing the success
of gaharu formation. The success of gaharu formation may not be
only due to inoculants but may also be influenced by environmental
characteristics (climate, soil properties and plant species).
The present work focused on characterizing the environment,
namely, climate, soil properties and plant diversity surrounding
the newly grown and existing gaharu stands in South Kalimantan
Province.
181
METHODS
A. Site
Distribution of selected sites for the project can be seen in
Figure 1. The selected site were used for growing eagle wood and
inoculation. The sites located in Banjar, Hulu Sungai Selatan (HSS)
and Hulu Sungai Tengah (HST). Location-wise, 14 sites would be
used for newly planted eaglewood trees and 9 sites for inoculation
trial.
115.7
22.8 km
Wawai (HST)
115.6
115.5
115.4
oE
Rasau (HST)
Kambat (2, HST)
Kalaka (HST)
115.3
Kandangan (HSS)
North
Madang (HSS)
115.2
Belanti (3) (HSS)
115.1
115.0
Rejo (Banjar)
2.4
2.6
2.8
3.0
3.2
3.4
3.6
oS
B. Climatic Characters
The climate parameters collected were rainfall, air temperature
and relative humidity. The climatic data for all sites were
represented by Kandangan weather station. The data were supplied
by the Weather Bureau in Banjarbaru, South Kalimantan. The data
obtained were for the last 9 years observation.
182
C. Soil Properties
Soil properties measured were particle fraction analysis, the
content of total carbon (C), total nitrogen (N), total potassium (K)
and total phosphorus (P), soil pH, electric conductivity (EC), cation
exchange capacity (CEC), and CO2 evolution. Method used for particle
fraction analysis was described in Klute (1986) and the methods for
other soil properties were described in Page et al. (1982).
D. Plant Diversity
The diversity of plant species was determined to show its
association with the success of inoculation. In each site, plant species
grown under gaharu tree were collected plant within area of 6x6 m2.
RESULTS
A. Climatic Characters
The average rainfall, air temperature and relative humidity
for the last 9 years are shown in Figure 2. The average annual
rainfall in the study area was 2361.72 mm. The rainfall distribution
can be observed in Figure 2a. The rainy season commenced in
October and ended in July each year. A significant low rainfall
occurred in the period of July-September. The pattern of air
temperature and relative humidity are shown in Figure 2b and
2c, respectively.
183
30
500
[b]
[a]
29
Rainfall (mm)
400
300
200
28
27
26
100
25
0
l
t
ary ary rch Apri May June July gus mbertobermbermber
nu ru Ma
Au pte Oc ove ece
Ja Feb
N
D
Se
Month
l
t
ary ary rch Apri May June July gus mbertobermbermber
nu ru Ma
Au pte Oc ove ece
Ja Feb
N
D
Se
Month
30
[b]
29
28
27
26
25
0
l
t
r
r
r
r
ary ary rch pri May June July gus mbe tobe mbe mbe
nu ru Ma A
Au pte Oc ove ece
Ja Feb
N D
Se
Month
B. Soil Properties
The soil properties of each site are presented in Figures 3-11.
Soil properties measures were particle fraction analysis, the content
of total carbon (C), Total nitrogen (N), total potassium (K) and total
phosphorus (P), soil pH, electric conductivity (EC), cation exchange
capacity (CEC), and CO2 evolution. The particle fraction analysis
(Figure 3) shows that all soil samples dominated by slit fraction,
followed by clay and sand fractions. If applicable, level of status
of each soil property will be made available as categorized by
Djaenuddin et al. (1994).
184
The category range of total C total content was very low to low
(Figure 4). Most of the selected sites contained very low C, only 5
sites had low C. The N content of the soils (Figure 5) was generally
low. It was found that Wawai and Belanti 13 sites had very low and
moderate levels of N content, respectively. The low level of C and N
content confirms the low level of organic matter content of the soil.
The K and P contents of the soils from all sites are demonstrated
in Figures 6. Most of the soil classified as very low to low level of K
concentration. Two sites, namely, Mandala and Madang Low had K
content of moderate level.
100
Sand
Silt
Clay
80
60
40
20
0
n
Bela
5
ti 1
t
)
)
i
s
3
g
h
3
w
- 16 angsa andala awai dingin awa au (10 Kate g Hig adin (2 & 3 lanti 1 ng Lo gkinkin
W as
M
W Man
uh
an aur G bat
da Han
Be
TL
R
Lay Mad
H
Ma
Kam
Site
2.5
Moderate
2.0
Low
1.5
Total C content (%)
1.0
Very low
0.5
0.0
Be
ti
lan
t
la ai 3 ngin wai (10) ates igh ding & 3) ti 13 Low nkin
- 16 gsa da
i
H
i
15 T Lan Man Waw and Waasauyuh Kdang ur Gaat (2Belandang angk
M
R La Ma Ha mb
H
Ma
Ka
Site
185
0.25
Moderate
0.20
Low
0.15
0.10
Very low
0.05
0.00
la n
Be
One site (Rasau 10) had a very high K level. Most of total P content
of the soils was categorized as very low to low. Only one site (Rasau
10) was categorized as very high (Figure 7).
Almost all the soil pH of the selected soils was categorized into
very acidic to acidic category. Only one site (Belanti 13) had a slightly
acidic value (Figure 8). For EC reading, except for Hangkinkin site,
all soils had EC below 1 mS cm-1 (Figure 9). The low EC readings
may be associated with the far distance from the shore. The low EC
readings indicate the absence of salinity problem.
The CEC of the soils were commonly low (Figure 10). There were
3 sites and 2 sites had CEC of moderate and high, respectively. The
low CEC indicates a low storage cation capacity and results in prone
to cation leaching.
The CO2 evolution as an indication microbial activity was similar
site-wise (Figure 11). Except, at Madang Low, it was observed that
the microbial was lower than the other sites.
186
The other 8 sites had 5-14 plant species and one site had 22 plant
species.
1200
1000
800
600
400
200
0
nt
Bela
Very high
High
Moderate
Low
Very low
)
)
t
s
i
in
- 16 gsa dalawai 3inginawa (10 ate High ding & 3nti 1n3g Logw
kin k
i 15 T Lan Man WaMand WRasaauyuhaKdangaur Gbaat (2Belaa
d a Han
L M
H Kam
M
Site
2600
2400
2200
2000
600
400
200
0
nt
Bela
Very high
High
Moderate
Low
Very low
t
0) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin
- 16 gsa dalawai 3 inginawai (1h
g
k
i 15 T Lan Man WaMand WRasau
u K ang r Ga t (2Belan
danHang
Lay Mad Hauamba
Ma
K
Site
187
Soil pH H2O
Neutral
Slightly acidic
Acidic
Very acidic
6 sat dala ai 3 ingin wai (10) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin
5 - 1 angM
an Wawand Waasauyuh K ang ur Gaat (2 elandang angk
B Ma
R L a Ma d H a m b
n ti 1 T L
M
H
Bela
Ka
Site
130
120
110
100
2
nt
Bela
t
i
n
0) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin
- 16 gsa dalawain3
ingi awa (1h
g
k
i 15 T Lan Man WaM
u K ng r Ga t (2Belan
a d WRasau
danHang
Lay Mada Hauamba
Ma
K
Site
40
30
High
20
Moderate
10
Low
Very low
)
)
t
s
i
g
a
3
3
h
n
n
- 16 ngsa ndal wai ingi awa (10 Kate Hig adin & 3 nti 1 g Lowkinki
ng
i 15 T La Ma WaMand WRasauayuh adangaur Gbat (2Bela adanH
t
a
n
a
L M
H am
M
Bel
K
Site
2000
1600
1200
CO2 evolution (mg C kg-1)
800
400
0
an t
Bel
)
)
t
s
i
g
a
3
- 16 gsa dal wai 3 inginawa (10 ate High din & 3nti 1ng Logwkinkin
i 15 T Lan Man WaMand WRasaauyuhaKdangaur Gbaat (2Belaa
d a Han
L M
H am
M
K
Site
DISCUSSION
The rainfall pattern was typical the study area. The highest
rainfall occurred in the period of November-April ranging 215-358
mm. In May, June and October the rainfall ranged 132-151 mm.
The lowest rainfall was observed in the period of July-September
ranging 54-84 mm. The schedule of inoculation may have to consider
the climatic condition throughout the year.
25
20
15
10
t
)
)
i
s
g
h
3
3
w
in
la
in
- 16 ngsa nda wai ding awaau (10 Kate g HigGadin (2 & 3lanti 1ng Lo gkink
W as yuh
n
i 15 T La Ma W a Man
Be ada Han
R La Mada Haur mbat
ant
l
M
e
B
Ka
Sites
189
CONCLUSION
The selected sites were distributed in regencies, namely, Banjar,
Hulu Sungai Selatan and Hulu Sungai Tengah. The annual total
rainfall in the area under study was 2361 mm. The rainy season
began in October and ease in June. In general, the soil in each site
was considered very poor. The number plant species were varied
from site to site.
It is too early to gain any conclusion on the effect of environmental
characters on gaharu production. Therefore, further study is still
needed to investigate the relationship between soil properties or
plant diversity on eaglewood growth or the success of inoculants
application.
ACKNOWLEDGEMENT
I would like to thank ITTO for funding the work. Dr. Maman
Turjaman for the invitation to be involved in the project. Mrs.
M Yani, Presto Janu Saputra and Storus for supporting the field
work. I also acknowledge the anonymous reviewer who critically
commented on the manuscript.
190
REFERENCE
Djaenuddin, D., Basuni, Hardjowigeno, S., Subagjo, H., Sukardi, M.,
Ismangun, Marsudi, Ds., Suharta, N., Hakim, L., Widagdo, Dai,
J., Suwandi, V., Bachri, S., and Jordens, E.R. Land Suitability for
Agricultural and Silviculture Plants. Laporan Teknis No. 7. Versi
1.0. April 1994. Center for Soil and Agroclimate Research, Bogor.
(In Indonesian).
Klute, A. (1986) Methods of soil Analysis. Part 1 Physical and
mineralogy methods. 2nd Edition. ASA, SSSA. Madison. Pp.1188
191
192
11
KARAKTERISTIK LAHAN HABITAT
POHON PENGHASIL GAHARU DI
BEBERAPA HUTAN TANAMAN DI
JAWA BARAT
Pratiwi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang
mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini
dapat meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi
masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu
merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil
hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup tinggi.
Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu.
Awalnya gaharu berasal dari pohon tropika yang terinfeksi jamur,
seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp., Wikstromeae spp., Enkleia
spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994,
Sidiyasa et al., 1986). Dalam kegiatan penelitian ini difokuskan pada
jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A. malaccensis dan
A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili Thymelaeaceae.
Karena jenis pohon ini mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka
keberadaan jenis ini perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan tanaman gaharu
dalam hutan tanaman di beberapa area. Oleh karena itu beberapa
193
METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 di Carita,
Dramaga, dan Sukabumi. Secara administrasi pemerintahan, Carita
terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sedangkan
194
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk
pengamatan sifat-sifat tanah, topografi, dan vegetasi. Pengamatan
terhadap sifat-sifat tanah dan topografi dilakukan di dalam plot
yang sama dengan pengamatan vegetasi.
195
Tanah, 1962). Contoh tanah diambil dari setiap horizon yang telah
diidentifikasi untuk dianalisis di laboratorium. Dua macam contoh
tanah yang diambil adalah contoh tanah terganggu untuk analisis
sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta contoh tanah tidak terganggu
untuk pengamatan sifat fisik tanah (porositas dan berat jenis tanah).
Sifat-sifat tanah yang dianalisis, meliputi: a) sifat fisik yaitu tekstur,
berat jenis, porositas, permeabilitas, dan sifat kimia yaitu pH H2O,
Corg, Ntotal, ketersediaan P, K, Na, Ca, Mg, KB, KTK, Al, dan H+ (sifat
kimia) (Blackmore et al., 1981).
Contoh tanah komposit diambil pada kedalaman 0-30 cm,
30-60 cm, dan > 60 cm di setiap lokasi penelitian. Pada setiap
kedalaman tanah, contoh tanah diambil pada 20 titik yang tersebar
di masing-masing horizon. Kemudian contoh tanah dicampur
sesuai kedalamannya. Total tanah komposit yang dikumpulkan
dari masing-masing lokasi adalah enam contoh (tiga untuk analisis
sifat fisik tanah dan tiga untuk analisis sifat kimia tanah). Dengan
demikian ada 18 contoh tanah yang dikumpulkan.
2. Pengamatan Vegetasi
Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi
yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan semai.
Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter setinggi dada
(1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan tumbuhan dengan
diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm sampai < 10 cm dan
semai merupakan permudaan dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m
(Kartawinata et al., 1976). Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m
dibuat untuk pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur
sepanjang satu km. Sedangkan untuk pengamatan belta dilakukan
dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang jalur
tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan belta
dihitung dan diukur diameternya. Sedangkan tingkat semai dan
tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x 1 m
di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh semai dan
tumbuhan bawah yang ada dicatat dan dihitung jumlahnya.
Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap semai dan tumbuhan
bawah yang ada di bawah tegakan/pohon penghasil gaharu. Kriteria
196
D. Analisis Data
Sifat-sifat fisik dan kimia tanah dihitung sesuai dengan formula
pada standar prosedur dari setiap karakteristik tanah kemudian
ditabulasi untuk setiap horizon.
Untuk vegetasi, data yang diperoleh ditentukan spesies
dominannya dengan menghitung nilai penting sesuai dengan rumus
yang dikemukakan oleh Kartawinata et al. (1976). Spesies dominan
merupakan spesies yang mempunyai nilai penting tertinggi di
dalam tipe vegetasi yang bersangkutan. Indeks kesamaan jenis
dihitung dengan menggunakan rumus Sorensen (Mueller-Dum-bois
and Ellenberg, 1974), yaitu:
SI =
2w
a+b
Dimana :
SI = Similarity Index
w = Jumlah dari nilai penting terkecil untuk jenis yang sama yang
ditemukan pada dua komunitas yang dibandingkan (A dan B)
a = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas A
b = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas B
197
198
2. Sifat-Sifat Tanah
a. Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah, antara lain berkaitan dengan tekstur, berat jenis,
porositas, dan permeabilitas. Hasil penelitian sifat-sifat fisik tanah
disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. Pada tabel tersebut
terlihat bahwa ketiga lokasi penelitian memiliki sifat-sifat fisik tanah
yang relatif sama. Data analisis tekstur tanah menunjukkan bahwa
tanah di semua lokasi penelitian memiliki kelas tekstur liat. Hal ini
mengindikasikan bahwa partikel tanah yang dominan adalah fraksi
liat. Implikasi dari kelas tekstur ini adalah retensi air dan hara pada
tanah ini relatif bagus. Dari data tekstur tanah dapat dilihat juga
bahwa tanah di dalam profil menunjukkan adanya akumulasi liat.
Ini berarti seluruh tanah di lokasi penelitian memiliki sub horizon
argilik.
Berat jenis (BD) tanah di semua lokasi penelitian kurang dari 1
tetapi lebih dari 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di lokasi
penelitian berkembang dari material vulkanik tuff.
Tanah yang memiliki horizon argilik dapat diklasifikasikan
sebagai alfisol atau ultisol tergantung kejenuhan basanya (KB).
Tanah di Carita dan Dramaga memiliki KB kurang dari 50% (Tabel
4, Tabel 5, dan Tabel 6). Oleh karena itu tanah ini diklasifikasikan
sebagai ultisol. Sedangkan tanah di lokasi penelitian Sukabumi
memiliki KB lebih dari 50% sehingga diklasifikan sebagai alfisol.
199
Tekstur
Berat
Jenis
Porositas
(%)
0,90
65,86
30
0,87
66,99
60
0,96
63,85
Berat
Jenis
Porositas
(%)
0,93
64,99
30
0,84
68,45
60
0,90
66,21
Pasir (%)
Debu
(%)
Liat (%)
Kelas
tekstur
0-30
8,33
25,10
66,57
Liat
30-60
8,55
22,10
69,35
Liat
> 60
6,01
36,51
57,48
Liat
200
Tekstur
Pasir
(%)
Debu
(%)
Liat (%)
Kelas
tekstur
0-30
8,33
12,59
79,08
Liat
30-60
6,33
11,98
81,69
Liat
> 60
5,13
9,09
85,78
Liat
Tekstur
Pasir
(%)
Debu
(%)
Liat (%)
Kelas
tekstur
0-30
12,78
18,73
68,49
Liat
30-60
9,95
5,90
84,15
Liat
> 60
11,54
26,37
62,09
Liat
Berat
Jenis
Porositas
(%)
0,97
63,43
30
0,86
67,59
60
0,83
68,75
201
202
Horizon 1
(0-30 cm)
Horizon 2
(30-60 cm)
Horizon 3
(>60 cm)
pH H2O 1:1
4,70 (Rendah)
4,60 (Rendah)
4,50 (Rendah)
C org (%)
1,43 (Rendah)
1,03 (Rendah)
1,03 (Rendah)
N-total (%)
0,15 (Rendah)
0,12 (Rendah)
0,11(Rendah)
203
Sifat-sifat kimia
Horizon 1
(0-30 cm)
Horizon 2
(30-60 cm)
Horizon 3
(>60 cm)
P Bray (ppm)
Ca
5,29 (Medium)
4,17 (Rendah)
5,32 ( Medium)
Mg
1,19 ( Medium)
1,09 (Medium)
1,70(Medium)
0,44 (Medium)
0,44 (Medium)
0,58 (Tinggi)
Na
0,30 (Rendah)
0,26 (Rendah)
0,26 (Rendah)
KTK
17,75 (Medium)
16,61 (Medium)
16,99 (Medium)
KB (%)
40,68 (Medium)
35,88 (Medium)
46,26 (Medium)
Al
3,72 (Sangat
rendah)
4,16 (Sangat
rendah)
4,90 (Sangat
rendah)
0,33
0,36
0,41
Fe
2,04
1,80
1,48
Cu
3,44
2,64
2,40
Zn
5,24
4,88
5,28
Mn
85,60
88,01
79,20
NH4OAc pH 7
(me/100 gr):
Horizon 1
(0-30 cm)
Horizon 2
(30-60 cm)
Horizon 3
(>60 cm)
pH H2O 1:1
4,60 (Rendah)
4,50 (Rendah)
4,60 (Rendah)
C org (%)
2,31 (Medium)
1,51 (Rendah)
0,71 (Sangat
rendah)
N-total (%)
0,17 (Rendah)
0,14 (Rendah)
0,08 (Sangat
rendah)
P Bray (ppm)
1,70 (Sangat
rendah)
1,20 (Sangat
rendah)
1,20 (Sangat
rendah)
Ca
1,49 (Sangat
rendah)
1,01 (Sangat
rendah)
1,00 (Sangat
rendah)
Mg
0,75 (Rendah)
0,53 (Rendah)
0,52 (Rendah)
0,16 (Rendah)
0,14 (Rendah)
0,13 (Rendah)
NH4OAc pH 7
(me/100 gr):
204
Sifat-sifat kimia
Horizon 1
(0-30 cm)
Horizon 2
(30-60 cm)
Horizon 3
(>60 cm)
Na
0,20 (Rendah)
0,22 (Rendah)
0,21 (Rendah)
KTK
15,77 (Rendah)
13,11 (Rendah)
13,03 (Rendah)
KB (%)
16,49 (Sangat
rendah)
14,49 (Sangat
rendah)
14,27 (Sangat
rendah)
Al
5,84 (Rendah)
7,36 (Rendah)
6,40 (Rendah)
0,49
0,53
0,45
Fe
1,72
1,00
1,04
Cu
1,64
1,68
1,52
Zn
3,00
2,60
2,80
Mn
28,48
17,08
16,40
KCl
(me/100 gr):
Horizon 1
(0-30 cm)
Horizon 2
(30-60 cm)
Horizon 3
(>60 cm)
pH H2O 1:1
5,10 (Rendah)
5,10 (Rendah)
4,60 (Rendah)
C org (%)
1,60 (Rendah)
2,07 (Medium)
1,01 (Rendah)
N-total (%)
0,15 (Rendah)
0,18 (Rendah)
0,11 (Rendah)
P Bray (ppm)
3,90 (Sangat
rendah)
3,70 (Sangat
rendah)
3,40 (Sangat
rendah)
Ca
16,98 (Tinggi)
16,99 (Tinggi)
14,64 (Tinggi)
Mg
10,52 (Sangat
tinggi)
10,94 (Sangat
tinggi)
10,05 (Sangat
tinggi)
0,71 (Tinggi)
0,40 (Medium)
0,22 (Rendah)
NH4OAc pH 7
(me/100 gr):
Na
0,36 (Medium)
0,43 (Medium)
0,22 (Rendah)
KTK
41,07 (Sangat
tinggi)
36,48 (Tinggi)
39,35 (Tinggi)
KB (%)
69,56 (Tinggi)
78,84 (Sangat
tinggi)
63,86 (Tinggi)
KCl
(me/100 gr):
205
Horizon 1
(0-30 cm)
Horizon 2
(30-60 cm)
Horizon 3
(>60 cm)
Al
2,32 (Sangat
rendah)
2,76 (Sangat
rendah)
6,40 (Rendah)
0,25
0,30
0,42
Sifat-sifat kimia
0,52
0,36
0,32
Cu
1,20
1,12
1,44
Zn
1,40
1,56
1,56
Mn
17,00
22,12
26,36
Jumlah
jenis
Jumlah
famili
Ko n d i s i i n i a g a k nya k a r e n a
Carita
30
18
perbedaan sistem penanaman dalam
Dramaga
8
16
hutan tanaman tersebut. Di Carita pohon
Sukabumi
6
3
penghasil gaharu ditanam dengan
sistem campuran dengan jenis tanaman
serba guna sedangkan di Sukabumi dan Dramaga ditanam dengan
sistem monokultur. Sistem penanaman di Carita yang multikultur,
mendukung beberapa anakan muncul dari jenis-jenis lain selain
jenis tanaman penghasil gaharu.
206
Perbedaan komposisi
jenis ini dikarenakan adanya
perbedaan faktor lingkungan
seperti iklim, topografi, dan
karakteristik tanah.
Carita
35
Darmaga
Sukabumi
KESIMPULAN
1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang relatif
sama, yaitu material volkanik yang bersifat andesitik.
207
DAFTAR PUSTAKA
Allison, L.E. 1965. Organic Matter by Walkey and Black methods. In
C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II.
Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon. 1994. Trade in Agarwood.
WWF-Traffic India.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York.
280 p.
Lembaga Penelitian Tanah. 1962. Peta Tanah Tinjau Jawa dan
Madura. LPT. Bogor.
208
209
Nama daerah
Nama botani
Famili
Jampang
47,00
8,58
25,70
81,28
Selaginella
Selaginellaceae
14,52
10,00
32,76
57,28
Harendong
merah
Melastoma
malabathricum L.
Melastomataceae
5,17
9,99
7,09
22,25
Cingcau
Meraispermaceae
7,88
10,00
3,82
21,70
Rumput pait
7,39
5,71
3,71
16,81
Ilat
3,69
5,71
0,99
10,39
Parasi
2,45
4,29
3,09
9,83
Terongan
Solanaceae
0,98
5,71
2,97
9,66
Hatta
Coniograma intermedia
Hieron.
Polypodiaceae
0,75
1,43
6,18
8,36
10
Peletok
Cecropia peltata L.
Moraceae
1,23
2,85
2,10
6,18
11
Paku anam
Schizophyllaceae
0,98
4,29
0,73
6,00
12
Pakis
Dictyopteris irregularis
Presl.
Polypodiaceae
0,50
1,43
3,09
5,02
13
Sasahan
Tetracera indica L.
Dilleniaceae
0,75
2,86
1,11
4,72
14
Harendong
Melastomaceae
0,49
1,43
0,62
4,57
15
Kokopian
Ixora sp.
Rubiaceae
1,23
2,85
0,48
4,57
16
Mahoni
Swietenia macrophylla
King
Meliaceae
0,50
2,85
0,62
4,47
17
Cacabean
Rubiaceae
0,25
1,43
1,23
2,91
18
Alang-alang
Graminae
0,75
1,43
0,25
2,43
19
Hawuan
0,25
1,43
0,62
2,30
20
Kakacangan
Stachystarpheta
jamaisensis Vahl.
Verbenaceae
0,25
1,43
0,62
2,30
21
Pacing
Tapeinochilus
teysmannianus K.Sch.
Zingiberaceae
0,49
1,43
0,25
2,17
22
Piperaceae
0,25
1,43
0,37
2,05
23
Gagajahan
0,50
1,43
0,12
2,05
24
Ki koneng
Plectronia sp.
0,25
1,43
0,37
2,05
25
Babadotan
0,25
1,43
0,25
1,93
26
Pakis anjing
Polypodiaceae
0,25
1,43
0,25
1,93
27
Gaharu
Aquilaria malaccensis
Lamk.
Thymelaeaceae
0,25
1,43
0,25
1,93
28
Pete
Leguminosae
0,25
1,43
0,12
1,80
29
Kanyere
Bridelia monoica L.
Euphorbiaceae
0,25
1,43
0,12
1,80
30
Cingcanan
Rubiaceae
0,25
1,43
0,12
1,80
Total
Keterangan:
Kr
Fr
Dr
NP
210
: Kerapatan relatif
: Frekuensi relatif
: Dominansi relatif
: Nilai penting
Cyperaceae
Rubiaceae
Nama
daerah
Nama botani
Famili
Kr (%)
Fr (%)
Dr (%)
NP (%)
29,41
16,72
28,08
74,21
11,76
11,03
34,25
57,04
Pakis
Dictyopteris irregularis
Presl.
Polypodaceae
Seuseureuhan
Piperaceae
Tales
Alocasia sp.
Araceae
5,89
16,72
20,55
43,16
Graminae
17,64
16,72
3,42
37,78
Rumput
padi
Gramnea
11,76
16,72
1,71
30,19
Areu
Compositae
5,89
11,03
5,14
22,06
Babadotan
11,76
5,52
1,71
19,00
Pacine
Tapeinochilus
teysmannianus K.Sch.
5,89
5,53
5,14
16,56
100,00
100,00
100,00
300,00
Total
Zingiberaceae
Keterangan:
Kr : Kerapatan relatif
Fr : Frekuensi relatif
Dr : Dominansi relatif
NP : Nilai penting
211
Nama
daerah
Nama botani
Famili
Kr (%)
Fr (%)
Dr (%)
NP (%)
Jampang
Gramnea
56.56
33.34
50,00
139,9
Graminae
24,24
16,67
17,87
58,94
Harendong
Melastomaceae
4,76
16,67
10,71
32,14
Babadotan
Compositae
7,74
8,33
14,28
30,35
Kirinyuh
2,38
16,67
3,57
22,62
4,16
8,33
100,00
100,00
Total
Keterangan:
Kr : Kerapatan relatif
Fr : Frekuensi relatif
Dr : Dominansi relatif
NP : Nilai penting
212
Graminae
3,57
100,00
16,06
300,00
12
POTENSI DAN KONDISI REGENERASI ALAM
GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.)
DI PROVINSI LAMPUNG DAN BENGKULU,
SUMATERA
Titiek Setyawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu, dengan nama perdagangan agarwood/aloe-wood/
eaglewood, selama ini banyak dikenal sebagai bahan untuk
membuat wangi-wangian, bahan obat serta juga kulitnya dapat
dibuat untuk bahan tali atau kain (Puri, 2001; Heyne, 1987; Zuhud
1994). Gaharu banyak diproduksi di Indonesia, negara penghasil
gaharu terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan habitat
endemik beberapa jenis gaharu komersial dari marga Aquilaria,
seperti A. malaccensis Lamk., A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana,
A. filaria, dan lain-lain. Gaharu merupakan komoditi hasil hutan
bukan kayu yang banyak diminati oleh pasar luar negeri (Soehartono
dan Newton, 2000). Bagi Suku Dayak Punan di Kalimantan Timur,
gaharu merupakan komoditi hasil hutan non-kayu penting, karena
merupakan sumber pendapatan terbesar yang memiliki nilai pasar
tinggi (Kaskija, 2002). Indonesia merupakan salah satu eksportir
terbesar produk gaharu dan sudah menyumbangkan sekitar 6,2
milyar rupiah ke kas negara pada tahun 1995.
Jenis pohon penghasil gaharu menghasilkan resin yang memiliki
aroma wangi dan jenis-jenis yang menghasilkan gaharu dengan
213
214
215
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
1. Lampung
Survei jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Provinsi Lampung
dilakukan di satu lokasi yang ada di dalam kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (Hutan Biha) dan dua lokasi di luar kawasan
TNBBS, yaitu di Hutan Bukit Rupi dan Hutan Gunung Sugih, tepatnya
di Kabupaten Lampung Tengah.
Kawasan Hutan Bukit Rupi berada di Desa Segala Midar,
Kecamatan Pubian, Kabupaten Lampung Tengah. Kondisi topografi
di hutan alam ini sedikit berbukit dengan beberapa lokasi memiliki
kelerengan hingga 35 derajat. Kawasan Hutan Bukit Rupi berada di
luar kawasan TNBBS namun demikian merupakan kawasan hutan
lindung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Tengah. Kondisi hutan sebagian sudah dialihfungsikan menjadi
lahan perkebunan dan ladang masyarakat. Namun demikian masih
ada beberapa lokasi hutan alam, dimana ditemukan tegakan gaharu
yang masih utuh.
Kawasan Hutan Biha masuk dalam Blok Hutan Podomoro, Resort
Biha, Seksi Krui. Lokasi survei berada di Desa Sumur Jaya, Kecamatan
Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat. Areal penelitian masuk
dalam Seksi Konservasi Wilayah II Krui dengan luas kawasan
96,884 ha dengan cakupan wilayah meliputi Resort Merpas, Pugung
216
Tampak, Krui, dan Biha. Lokasi penelitian secara detil tertera pada
Gambar 1.
Kawasan
hutan
TNBBS ini terletak
di ujung selatan dari
rangkaian pegunungan
Bukit Barisan dan
secara
geografis
berada pada 40315057 LS dan 1030241 0 4 0 BT s e d a n g k a n
secara administratif
p e n ge l o l a a n te r b a g i
d a l a m t i g a w i l aya h
pengelolaan, yaitu Seksi
Konservasi Wilayah I
Liwa.
Gambar 1. Peta lokasi survei dan pengamatan
S e k s i Ko n s e r va s i
jenis-jenis pohon penghasil gaharu
Wilayah Krui, dan Seksi
di Provinsi Lampung
Konservasi Wilayah III
Sukaraja. Topografi kawasan ini bergelombang dan berbukit-bukit
dengan ketinggian berkisar antara 0-1.964 m dpl. Curah hujan ratarata di bagian barat adalah 3.000-3.500 mm/th sedangkan di bagian
timur 2.500-3.000 mm/ th.
2. Bengkulu
Lokasi kedua kawasan hutan sangat berdekatan dengan Tahura
Rojolelo yang terletak di antara 03 42-03 44LS sampai 102 21BT
dan berada di ketinggian 10-30 m dpl. Waktu tempuh dari pusat
kota Bengkulu sekitar 30 menit dengan jarak sekitar 20 km (Gambar
2).
217
Gambar 2.
Lokasi penelitian di
Kawasan Hutan Binjai
Temula (Kec. Talang
Empat) dan Pungguk
Gambo (Kec. Pondok
Kelapa), Bengkulu
Utara
B. Prosedur Kerja
Kajian lapangan di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung
Barat dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2007 sedangan
218
219
220
C. Analisis Data
1. Beberapa definisi dan kalkulasi yang digunakan dalam analisis
vegetasi, antara lain:
2. Kepadatan: jumlah individu per plot (100 m2).
3. Frekuensi: jumlah unit contoh (10 m x 10 m), di mana jenis
ditemukan.
4. Luas Bidang Dasar (LBD): luasan bagian melintang dari batang
>20 cm sebatas dada (diameter of breast height (dbh)). Luas
bidang dasar untuk tiap plot dijumlah untuk memperoleh LBD
tiap pohon dengan menggunakan rumus: LBD (m2)= pi x d
(diameter dalam m)2/4 (Kent dan Coker, 1992).
5. Nilai Penting (NP): perkiraan secara keseluruhan pentingnya
suatu jenis pohon di dalam komunitas lokalnya. Nilai NP ini
diperoleh dengan cara menjumlahkan Dominansi Relatif (DoR),
Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Relatif (FR) dari jenis
tertentu. DR merupakan rasio total luas bidang dasar dari suatu
jenis terhadap jumlah total luas bidang dasar dari seluruh jenis
yang ada, KR merupakan rasio jumlah individu dari suatu jenis
terhadap jumlah total jenis di dalam plot dan FR merupakan
rasio frekuensi dari suatu jenis terhadap total frekuensi seluruh
jenis di dalam plot (Kent dan Coker, 1992, Krebs, 1999, 1994).
221
223
Gambar 5.
Penduduk setempat yang
sudah melakukan upaya
bu-didaya penanaman pohon gaharu (A. malaccensis Lamk.) di kebun miliknya di Kawasan Hutan
Gunung Sugih, Lampung
Tengah
Tabel 1. Jumlah pohon, pancang, dan anakan A. malaccensis Lamk. yang
ditemukan di tiap-tiap plot sampel di Kawasan Hutan Bukit Rupi,
Lampung Tengah
No.
plot
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
26
34
14
2.
15
21
3.
21
30
4.
14
16
14
5.
16
19
11
6.
17
Tabel 2. Jumlah pohon, pancang, anakan dan semai beberapa jenis pohon
alami yang ada dalam 50 plots penelitian di Kawasan Hutan Way
Waya, Gunung Sugih, Lampung Tengah
Pohon
No
Nama jenis
Tiang
Pancang
Semai
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
Artocarpus
elasticus
15
45
Ganophyllum
falcatum
10
15
Bombax valetonii
224
Pohon
No
Nama jenis
Tiang
Pancang
Semai
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
Pterospermum
diversifolium
18
Laportea
stimulans
17
12
20
Vitex sp.
12
11
23
Ficus sp.
10
15
Artocarpus sp.
Alstonia
angustifolia
10
12
10
Pometia pinnata
12
23
11
Cananga odorata
12
12
Litsea sp.
13
20
13
Hibiscus
macrophyllus
Jumlah pohon
(> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
2.
3.
4.
12
225
226
227
Jumlah pohon
(> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
228
No. plot
Jumlah pohon
(> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
10
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
2.
3.
4.
10
229
230
231
B. Saran
Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Tengah
dan Lampung Barat memiliki potensi tegakan alam gaharu yang
cukup merata meskipun di beberapa lokasi jumlah sampelnya tidak
memadai. Tampak pula terjadi pemanfaatan kayu gaharu di alam
yang kurang mengindahkan aspek kelestarian, sehingga diperlukan
penyuluhan bagi masyarakat setempat terutama penduduk yang
tinggal berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan dan kawasan hutan lindung.
Sedikit lebih baik dari kondisi gaharu di Provinsi Lampung,
kawasan hutan di Provinsi Bengkulu, khususnya Kabupaten
Bengkulu Utara memiliki potensi tegakan alam gaharu yang juga
cukup baik dilihat dari sisi populasi tegakan alaminya. Meskipun
demikian jenis pohon ini mengalami ancaman serius akibat
perburuan, tidak hanya pohonnya namun juga anakan alaminya.
Sebagian besar penduduk memperjualbelikan anakan alami untuk
232
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, N. 2004. Aquilaria malaccensis Lamk. Seed Leaflet No. 103.
Forest & Landscape Denmark. December 2004.
Anonim, 2009. Siapkan Masa Depan, Ayo Tanam Gaharu.
Ko m p a s o n l i n e : h t t p : / / r e g i o n a l . k o m p a s .c o m / r e a d /
xml/2009/07/24/1300220/siapkan.masa.depan.ayo.tanam.
gaharu
Anonim. 2007. Gaharu (Aquilaria). Media on line : http// www.
wwf.or.id/index.php?fuseactian=whatwedo.species_gaharu.
Downloaded: 24 Januari 2007.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol. I, II, III, dan
IV. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yayasan
Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Kaskija, L. 2002. Claiming the Forest. Punan Local Histories and
Recent Developments in Bulungan, East Kalimantan. CIFOR.
Indonesia.
Kent, M. dan P. Coker. 1992. Vegetation Description and Analysis : A
Practical Approach. CRC Press, Behalven Press.
Krebs, C. J. 1994. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution
and Abundance. Harper Collins College Publishers.
Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology. Jim Green.
Kundu, M. dan J. Kachari. 2000. Desiccation Sensitivity and
Recalcitrant Behaviour of Seeds of Aquilaria agallocha Roxb.
Seed Science and Technology.
233
234
Nama lokal
Nama botanis
Famili
Kayu alim
Thymelaeaceae
Leban
Verbenaceae
Kelat
Myrtaceae
Kelepu
Rubiacea
Putat
Barringtonia sp.
Lecythidiaceae
Lahu
Moraceae
Ketaran
Artocarpus anisophyllus
Reinw.
Moraceae
Kilada
Cinnanmomum porectum
(Roxb.) Kosterm.
Lauraceae
Simpur
Dilleniaceae
10
Terap
Moraceae
11
Sepat
Rhizophoraceae
12
Rempelas
Tetracera indica L.
Dilleniaceae
13
Lingkem
Selaginelaceae
14
Ranggung
Dilleniaceae
15
Ancau
Rutaceae
16
Cempaka
Rutaceae
17
Pulai
Apocynaceae
18
Lupang
Sterculiaceae
19
Medang
Lauraceae
20
Kedukduk
Melastomataceae
21
Gio
Melastomataceae
22
Kemutul
Hypericaceae
23
Seru
Theaceae
24
Asam Kandis
Guttiferae
25
Nerung
Ulmaceae
26
Petai
Mimosaceae
27
Sebasah
Olacaceae
28
Beruas
Garcinia celebica L.
Guttiferae
29
Tepa
Lauraceae
30
Sago
Celasteraceae
31
Sidi
Theaceae
32
Nyari
Euphorbiaceae
33
Sungkai
Verbenaceae
235
Lampiran 2. Daftar jenis pohon yang ada di dalam Kelompok Hutan Binjai
Temula, Desa Dusun Baru, Kecamatan Talang Empat, Bengkulu
Utara
No
Nama lokal
Nama botanis
Famili
Karas
Thymelaceae
Gadis
Lauraceae
Leban
Verbenaceae
Marapuyan
Myrtaceae
Petai
Leguminosae
Berawas
Litsea odorifera T et B
Lauraceae
Sipo
Dilleniaceae
Terap
Moraceae
Jering
Leguminosae
10
Tetak Tunjuk
Burseraceae
11
Semipis
Euphorbiaceae
12
Kademe
Euphorbiaceae
13
Semuting
Rubiaceae
14
Seubo-ubo
Euphorbiaceae
15
Kemutun
Hyperiaceae
16
K.Gambir
Styraxaceae
17
Ketepung
Compositae
18
K.Angit
Clausena exavata
Rutaceae
19
Jungjung bukit
Lauraceae
20
Sugi
Orophea sp
Annonaceae
21
Sipunan
Liliaceae
22
Kenidai
Euphorbiaceae
23
Kendung
Symplocaceae
24
Naran
Myristicaceae
25
Kandis
Guttiferae
26
Kbg Saka/
Seketut
Aporusa sp.
Euphorbiaceae
27
Pelangas
Euphorbiaceae
28
Lulus
Hyperiaceae
29
Gamat
Elaeocarpaceae
30
Marabikang
Linnaceae
31
Kemalau
Lauraceae
32
Gelam Abang
Eugenia glomerata K et V
Myrtaceae
33
K.Beras
Rubiaceae
34
Salung Gajah
Tarenna sp.
Rubiaceae
35
Salung
Tarenna confusa K et V.
Rubiaceae
36
Urat Use
Sapotaceae
37
Nyaran
Sapotaceae
38
Ingitdare
Rhizophoraceae
236