Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sjogen Syndrome merupakan penyakit auto imun. Penyakit ini juga dikenal
dengan nama Mikulicz disease atau Sicca Syndrome yang ditandai dengan gangguan
pada kelenjar lakrimal maupun kelenjar ludah akibat infiltrasi limfosit. Manifestasi
klinis yang terjadi dapat mencakup berbagai organ, mulai dari kulit, mata, rongga
mulut, kelenjar ludah maupun sistemik seperti musculoskeletal, neurologi maupun
genitourinary serta vaskuler.1
Secara serologi pada syndrome ini ditemukan adanya autoantibody Ro/SSA
dan La/SSB.2
Sjogen Syndrome primer menempati peringkat ketiga dari penyakit autoimun
yang paling sering. Awalnya Sjogen syndrome diidentifikasikan pertama kali oleh T.
Leber pada tahun 1882 yang digambarkan kelainan berupa inflamasi kering dari
kornea atau kornea dan konjungtiva dengan bentukan filament dari epitel kornea
bersisik yang meningkat terbentuk akibat reflex kedip. Ia menyebut kelainan ini
sebagai Keratitis Filamentosa.1
Pada tahun 1888, seorang ahli bedah, dr. Johan Mikulicz menemukan seorang
pasien dengan pembengkakan bilateral tanpa disertai nyeri dari kelenjar lakrimal dan
kelenjar ludah. Setelah dilakukan eksisi dari kelenjar lakrial dan submaksila, pasien
mengalami perbaikan. Oleh karena itu, kelainan pembengkakkan kelenjar lakrimal
dan kelenjar ludah disertai berhentinya lakrimasi dan mulut kering kemudian disebut
Mikulicz disease.1
Pada tanggal 9 Mei 1888, Dr. W. B. Hadden dalam diskusi dengan The clinical
society di London, menemukan pasien perempuan dengan keluhan mulut kering
sehingga membuatnya nyaris tidak bisa menelan, lidah yang berwarna merah, kering
serta pecah-pecah seperti Crocodiles skin dan air mata yang tidak muncul ketika
menangis.1
Pada tahun 1954, Morgan dan Castleman, setelah membandingkan secara
patologis, menemukan bahwa apa yang disebut sebagai Mikulicz disease yaitu kelaian
pembesaran kelenjar lakrimal dan kelenjar ludah kronis sebenarnya adalah varian dari
Sjogen Syndrome. Sekitar tahun 1960 ditemukan autoantibodi Ro(SS-A) and La(SSB) dan patofisiologinya dengan Sjogen syndrome. 1,2
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
diagnosis dan penatalaksanaan serta beberapa keadaan yang berkaitan dengan Sjorgen
syndrome.
BAB II
II.1
Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Patofisiologi
Diagnosis
II.5.1 Anamnesis
Manifestasi klinis dari Sjogren syndrome dapat bervariasi. Awal dari sindrom
ini dapat tersembunyi. Sering terjadi pada wanita umur 40-60thn, tetapi dapat juga
terjadi pada laki-laki dan anak-anak. 9
Xerophthalmia dan xerostomia (mulut kering) adalah manifestasi klinis yang
utama pada orang dewasa. Pembengkakan kelenjar parotis bilateral adalah gejala awal
yang paling sering muncul pada anak-anak. 9
Pasien sering menggambarkan efek dari mulut kering sebagai:
Ketidakmampuan untuk makan makanan kering, karena akan tersangkut dia atap
mulut
Lidah melekat di atap mulut
Sering minum di malam hari yang mengakibatkan nocturia
Kesulitan berbicara dalam waktu lama atau suara yang menjadi parau
Insidens karies gigi dan penyakit gusi yang meningkat
Adanya perubahan sensasi terhadap rasa (pengecapan)
Kesuilitan pemasangan gigi palsu
pada pasien yang menderita sjogren sindrom. Terdapat hubungan yang positif
signifikan antara kadar 2-mikroglobulinemia dan tingkat keparahan penyakitnya.
Rantai ringan bebas pada serum ditemukan telah meningkat pada sjogren sindrom dan
berhubungan dengan aktifitas penyakitnya. Faktor-faktor rematoid ditemukan juga
pada 50% kasus primer sjogren sindrom.14,15
II.5.3.2 Manifestasi laboratorium Autoimun
Antibodi anti nuclear diobservasi secara berulang-ulang pada serum penderita
sjogren sindrom. Anti-SSA autoantibodi ditemukan pada 30-50 % di serum penderita
sjogren sindrom, sementara anti-SSB autoantibodi ditemukan pada 20-30 % kasus. Di
kebanyakan kasus, adanya anti-SSB autoantibodi dihubungkan dengan kehadiran antiSSA antibodi. Manifestasi ekstraglandular biasanya terjadi pada pasien dengan
autoantibodi ini. Antibodi terhadap -fodrin telah ditemukan baru-baru ini pada serum
pasien sjogren sindrom dalam sebuah penelitian di Jerman sementara penelitian yang
lain hanya menunjukkan sensitifitas rendah yang relative sekitar 30%. Disebabkan
oleh sedikitnya alat yang ada, tes ini tidak rutin dilakukan. Baru-baru ini, antibody
baru terhadap receptor muskarinik M3 dan proteasome telah digambarkan pada
penderita sjogren sindrom. Kadar komplemen C4 yang abnormal sering dihubungkan
dengan adanya krioglobulinemia.
Dari beberapa data diatas dapat disimpulkan bahwa tes laboratorium yang
perlu dilakukan meliputi:
1. ANA (Anti-Nuclear Antibody)
Ditemukan pada 70% pasien sjogren sindrom dan penderita dengan
kelainan autoimun.
2. RF (Rheumatoid Factor)
Ditemukan pada 60-70% penderita sjogren sindrom dan rematoid
artritis.
3. SS-A (or Ro) dan SS-B (or La)
Marker antibody untuk sjogren sindrom, dimana pada 70% penderita
sjogren sindrom positif SS-A dan 40% penderita sjogren sindrom positif SS-B.
Marker ini juga ditemukan pada penderita Lupus.
4. ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate)
Merupakan penanda inflamasi. Peningkatan ESR mengindikasikan
bahwa telah terjadi proses inflamasi termasuk pada penderita sjogren sindrom.
5. IGs (Immunoglobulins)
Adalah suatu protein darah yang biasanya meningkat pada penderita
sjogren sindrom.14,15
II.5.4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sialography
Penelitian ini membutuhkan pencitraan radiografi kelenjar ludah (parotis
biasanya itu), dengan injeksi retrograde dari media kontras melalu duktus
ekskretory. Media kontra didistribusikan melalui sistem saluran, yang
memungkinkan analisis arsitekturdan konfigurasi organisasi dari duktus
kelenjar '. Pada pasien SS yang terkena dampak itu dapat diverifikasi dilatasi
dan memutar dari duktus-duktus, dengan distribusi yang tidak merata dari
media kontras, menyebar luas membuat pola penampilan dari pola
percabangan dari duktus-duktus. Hasil positif dalam studi sialographic
merupakan bagian dari kedua Revisi Kriteria Klasifikasi dan kriteria
internasional Jepang untuk diagnosis SS. Sialography mungkin secara teknis
telah teruji , menghabiskan banyak waktu, membuat nyeri dan berisiko.
Bahkan merupakan kontraindikasi disfungsi kelenjar yang berat sebagai
penggunaan media kontras.
o Sialography telah terbukti memiliki akurasi tinggi dalam diagnosis SS,
namun sialectasis juga dapat ditemukan dalam orang yang sehat, serta
individu yang terkena oleh penyakit lain seperti kronis sialadenitis.
Dan beberapa laporan menunjukkan bahwa bahwa nilai diagnostik
sialography parotid untuk mendiagnosis SS sangat tergantung pada
keterampilan pengamat . Meskipun demikian, mengingat sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis SS, sialography masih
memiliki penggunaannya dalam evaluasi komponen oral SS. Diagnosis
umumnya didasarkan pada klasifikasi Rubin dan Holt. Di mana tahap 0
( normal) sesuai dengan ada media kontras yang terkumpul ;
i. Derajat 1 ( pungtata ) mengacu pada kontras media yang terkumpul
pada media 1 mm
ii. Derajat 2 ( globular ) mengacu pada kontras yang terkumpul pada
media antara 1 dan 2 mm
iii.
Derajat 3 ( kavitas ) mengacu pada kontras yang terkumpul media 2
mm
iv. Derajat 4 ( destruktif ) mengacu pada kehancuran total dari glandula
parenkim
diagnosis pasien dengan SS. Ada penurunan nilai yang signifikan dan terdapat
perubahan rasio yang terdeteksi dalam duktus-duktus pada pasen-pasien SS.
Ultrasonografi saliva ( AS ) adalah teknik non-invasif dan teknik pencitraan
dengan biaya rendah yang baru-baru ini telah digunakan dalam diagnosis dan
stagging SS. AS lebih efektif pada kelenjar parotis dan kurang membantu
dalam penilaian kelenjar ludah lainnya . Selain itu, adalah teknik yang sangat
tergantung pada operato, meskipun memiliki karakteristik ini, deteksi dari AS
parenkim inhomogenicity parenkim pada kelenjar ludah besar dan pengamatan
volume kelenjar submandibular yang menurun menghasilkan kekhususan
tinggi untuk diagnosis pSS dan sSS. Fitur AS Karakteristik AS yang
menunjukkan SS termasuk gambaran strutur inhomogen dari kelenjar (pada
tahap awal), dengan tersebar beberapa bentukan multiple kecil, oval, atau
hypoechoic daerah anechoic limfositik infiltat ( tahap menengah ), dan adanya
garis echogenic fibrosis - Yang menyatu ke dalam pola reticular kelenjar
( tahap akhir ) biasanya didefinisikan dengan baik. Fitur lainnya, meskipun
lebih jarang ditemukan, mungkin termasuk dilatasi duktus utama, peningkatan
aliran darah parenkim ( diakses oleh Doppler ), massa semu, massa kistik yang
tidak teratur, dan pembesaran kelenjar getah bening intraparotis. Sebuah AS
dengan gambaran kelenjar parotid dan submandibular ditunjukkan pada
Gambar 5.
A
B
II.5.6 TERAPI
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi
kelenjar dimata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah
simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
MATA
Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet
untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari. 2.3 Lubrikasi pada mata kering
dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering.
Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air mata pengganti bisa diberikan
lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang mengandung steroid
sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat
muskarinik reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12
minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali sehari.
MULUT
Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan
pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi mulut.
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk
mengatasinya.
Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut,
merangsang kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringanigunakan sugarfree lozenges, cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus
yang masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik seperti
flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur
topikal.7,8
EKTRAGLANDULAR
Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang diterapi
dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6 terdapat
perbaikan keluhan.
Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien
sindrom sjogren primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut
kering.18
3. Terapi lain
Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolon
secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS. Hidroksiklorokuin yang
digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk penyakit autoimun dan dari
penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer dapat meningkatkan produksi
kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan.17,18
Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis
400 mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat
perbaikan keluhan.18
II.5.7 KOMPLIKASI
Mata
Komplikasi pada mata akibat sjorgen sindrom adalah keratoconjungtivitis
sicca (KCS). KCS terjadi akibat penurunan produksi kelenjar air mata dalam jangka
panjang dan perubahan kualitas air mata. Gejala klinis berupa rasa seperti ada benda
asing dimata, rasa panas seperti terbakar dan sakit dimata, tidak ada air mata, mata
merah dan fotofobia. Beberapa pasien KCS ada yang asimtomatik. Pemeriksaan yang
dilakukan untuk penilaian KCS adalah slit lamp dan pemeriksaan rose Bengal atau
Lissamin green. Pemeriksaan jumlah produksi air mata dilakukan dengan schemer
test. Bila hasilnya < 5 mm dalam 5 menit menunjukkan produksi kurang. 2,7
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun
konjungtiva, bila kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva mendapat
iritasi kronis, iritasi kronis pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan gambaran
klinik keratokonjungtivitis sicca. Pada pemeriksaan terdapat pelebaran pembuluh
darah di daerah konjungtiva, perikornea, dan pembesaran kelenjar lakrimalis.8
Mulut
Pada awal penyakit komplikasi yang paling sering adalah mulut kering
(kerostomia). Keluhan lain adalah kesulitan mengunyah dan menelan makanan,
kesulitan menggunakan gigi bawah serta mulut rasa panas, tetapi beberapa pasien ada
yang tanpa gejala. Pasien spesifik untuk kelenjar saliva adalah biopsy labial salivary
gland (LSG). Pemeriksaan biopsy LSG tidak diperlukan pada pasien yang sudah
terbukti terdapat KCS dan anti Ro atau La. Fungsi kelenjar saliva dapat dinilai dengan
mengukur unstimulated salivary flow selama 5-10 menit.7
Keluhan xerostomia merupakan eksokrinopati pada kelenjar ludah yang
menimbulkan keluhan mulut kering karena menurunnya kelenjar saliva. Akibat mulut
kering ini sering pasien mengeluh kesulitan menelan makanan dan berbicara lama.
Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan makanan dan berbicara lama.
Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan makanan, gigi banyak yang
mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut yang kering dan
kemerahan, atrofi papilla filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar.8
BAB III
KESIMPULAN
Syndrome Sjogren adalah sebuah penyakit autoimun kronis yang ditandai
dengan infiltrasi limphocistic dan dekstruksi dari kelenjar endokrin, khususnya pada
saliva dan jaringan lacrimal dimana perempuan memiliki kemungkinan terkena
Sjorgen syndrome 10 kali lebih besar dibandingkan pria. Sjorgen syndrome dibagi
menjadi dua yaitu primer dan sekuder. Sjorgen syndrome primer adalah kelainan yang
hanya mengenai mulut dan tanpa kelainan jaringan ikat, Sedangkan Sjorgen syndrome
sekunder merupakan sjorgen syndrome primer yang disertai atritis rheumatoid atau
jaringan ikat yang lain.1
Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan terhadap
patogenesis, yang merangsang sistim imun teraktivasi. 7 Syndroma ini bisa bermanifest
pada mulut, mata, kulit, paru, pembvuluh darah, ginjal, neuromuscular,
gastrointestinal, dan hematologi. 6,11 Dalam menegakkan diagnosis sjorgen syndrome
dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan
komponen autoimun dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti sialografi,
skintigrafi, magnetic resonance, ultrasonografi, dan sialografi sesuai dengan
manifestasi klinisnya. 16
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi
kelenjar di mata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah
simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
Adapun obat yang dipakai dalam terapi sjorgen syndrome seperti Muskarinik agonis
( Pilokarpin dan Cevimelin), agen biologik ( infus Infliximab, infus Rituximab), terapi
lain ( Hidroksiklorokuin dan preparat Prednisolon seperti dalam penelitian
Miyawaki ).19 Prognosis pada pasien Sindrom Sjogren tidak banyak yang meneliti,
walaupun Sindrom Sjogren bukan merupakan penyakit yang ganas namun
perkembangannya dapat terjadi vaskulitis dan limfoma dan kedua hal tersebut dapat
menyebabkan kematian pada pasien Sindrom Sjogren. Selain itu Sindrom Sjgren
juga dapat merusak organ penting tubuh20
DAFTAR PUSTAKA
1. Cawson R A. Odell EW. Cawsons Essentials of oral Pathology and Oral
Medicine 7th ed. Churchill Livingstone. 2002; 259-262
2. Troy Daniels, DDS, MS. Sjogrens Syndrome. Primer on rhematic disease.
2008; 13:389-397.
3. Shawn Winer et al. Primary Srogren's Syndrome and Deficiency of
ICA69 2002;
360(9339):
1063-1069.
http://eresources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/Primary_Srogren's_Syndrome
_and_Deficiency _of _ICA69.pdf (accessed 11 Mei 2014).
4. Robert Fox. Srogren Syndrome 2005; 366(9482): 321-331. http://eresources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/Srogren_Syndrome.pdf
(accessed 11 Mei 2014).
5. Martinez L, McCammon S. 2009. Sjogrens Syndrome. Grand Rounds
Presentation Department of Otolaryngology. University of Texas.
6. Sudoyo, dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam Jilid III edisi
IV. Pusat Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.
7. Sumariyono.Diagnosis dan tatalaksana Sindrom sjogren.
Kumpulan makalah temu ilmiah Reumatologi.2008:134-136.
8. Yuliasih. Sindrom sjogren. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.jilid II
edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.
9. Sawyer, S. Primary Sjogrens Syndrome. ProQuest Public Health 2004, p:33
10. Bruce James, Chris Chew, Anthony Bron Edisi kesembilan ,Lecture Notes
Oftalmologi.
11. Kumar, Cotran dan Robin ,2007 .Buku ajar Patologi anatomi volume edisi
1 ,EGC : Jakarta.
12. Lionel Ginsberg ,edisi kedelapan, Lecture Notes Neurologi.
13. Behrman,Kliegman, Arvin : Buku Ajar Ilmu Kesehatan anak Edisi 15 anak
Nelson Editor Prof .DR.dr A .Samik Wahab,Sp A (K).
14. Soyfoo M dkk, Diagnostic and Prognostic Features of Sjogrens syndrome,
2012.
16. Pedro de Sousa Gomes, et al. Diagnostic Approaches to Sjgrens Syndrome: a
Literature Review and Own Clinical Experience. Department of Maxillofacial
Surgery, Medical Academy, Lithuanian University of Health Sciences, Kaunas, Lithuania.
Laboratory of Pharmacology and Cellular Biocompatibility. Faculty of Dental Medicine,
University of Porto J Oral Maxillofac Res 2012 (Jan-Mar);3(1):e3.
URL:http://www.ejomr.org/JOMR/archives/2012 ( aceesed 11 mei 2014 )
17. Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and
dry eye symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern
Med.2000;159:174-181.
18. Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome associated
with hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases. Medicine.2005;84:8189.
19. Tsifetaki N.Kitsos CA. Paschides. Oral Pilocarpin for the treatment of ocular
symptoms in patient with Sjogren Syndrome. A randomized weeks controlled
Study. Ann. Rheum. Dis.2003;62:1204-1207
20. Scofield RH, Asfa S, Obeso D, Jonsson R, Kurien BT. Immunization with
short peptides from the 60-kDa Ro antigen recapitulates the serological and
pathological findings as well as the salivary gland dysfunction of Sjgren's
syndrome.J Immunol. 2005 Dec 15;175:8409-14