You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN
Sjogen Syndrome merupakan penyakit auto imun. Penyakit ini juga dikenal
dengan nama Mikulicz disease atau Sicca Syndrome yang ditandai dengan gangguan
pada kelenjar lakrimal maupun kelenjar ludah akibat infiltrasi limfosit. Manifestasi
klinis yang terjadi dapat mencakup berbagai organ, mulai dari kulit, mata, rongga
mulut, kelenjar ludah maupun sistemik seperti musculoskeletal, neurologi maupun
genitourinary serta vaskuler.1
Secara serologi pada syndrome ini ditemukan adanya autoantibody Ro/SSA
dan La/SSB.2
Sjogen Syndrome primer menempati peringkat ketiga dari penyakit autoimun
yang paling sering. Awalnya Sjogen syndrome diidentifikasikan pertama kali oleh T.
Leber pada tahun 1882 yang digambarkan kelainan berupa inflamasi kering dari
kornea atau kornea dan konjungtiva dengan bentukan filament dari epitel kornea
bersisik yang meningkat terbentuk akibat reflex kedip. Ia menyebut kelainan ini
sebagai Keratitis Filamentosa.1
Pada tahun 1888, seorang ahli bedah, dr. Johan Mikulicz menemukan seorang
pasien dengan pembengkakan bilateral tanpa disertai nyeri dari kelenjar lakrimal dan
kelenjar ludah. Setelah dilakukan eksisi dari kelenjar lakrial dan submaksila, pasien
mengalami perbaikan. Oleh karena itu, kelainan pembengkakkan kelenjar lakrimal
dan kelenjar ludah disertai berhentinya lakrimasi dan mulut kering kemudian disebut
Mikulicz disease.1
Pada tanggal 9 Mei 1888, Dr. W. B. Hadden dalam diskusi dengan The clinical
society di London, menemukan pasien perempuan dengan keluhan mulut kering
sehingga membuatnya nyaris tidak bisa menelan, lidah yang berwarna merah, kering
serta pecah-pecah seperti Crocodiles skin dan air mata yang tidak muncul ketika
menangis.1
Pada tahun 1954, Morgan dan Castleman, setelah membandingkan secara
patologis, menemukan bahwa apa yang disebut sebagai Mikulicz disease yaitu kelaian
pembesaran kelenjar lakrimal dan kelenjar ludah kronis sebenarnya adalah varian dari
Sjogen Syndrome. Sekitar tahun 1960 ditemukan autoantibodi Ro(SS-A) and La(SSB) dan patofisiologinya dengan Sjogen syndrome. 1,2
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
diagnosis dan penatalaksanaan serta beberapa keadaan yang berkaitan dengan Sjorgen
syndrome.

BAB II
II.1

Definisi

Syndrome Sjogren adalah sebuah penyakit autoimun kronis yang ditandai


dengan infiltrasi limphocistic dan dekstruksi dari kelenjar endokrin, khususnya pada
saliva dan jaringan lacrimal. Destruksi kelenjar ini sering menyebabkan kekeringan
pada mata (keratoconjungtivitis sicca) dan mulut (xerostomia). Kejadian dari penyakit
ini tinggi, dengan kurang lebih 1% dari populasi yang menderita penyakit ini,
sebagian besar perempuan. Organ khusus dan sistem autoimun dianggap berkaitan
dengan progress penyakit ini. Seperti kelainan organ selective autoimun yang lain,
factor lingkungan dan genetic berkontribusi pada Syndrome Sjogren.3
Syndrome Sjogren adalah kelainan autoimun kronis dari kelenjar eksokrin
berhubungan dengan infiltrasi limphocistic dari kelenjar yang terkena. Kekeringan
pada mulut dan mata sebagai efek dari terkenanya kelenjar saliva dan lacrimal. Dapat
diperiksanya kelenjar ini pada biopsy memungkinakan studi biologi molecular dari
jaringan spesifik proses autoimun. Eksokrinopati dapat dijumpai sendirian (syndrome
Sjogren primer) atau bersamaan pada kejadian kelainan autoimun yang lain seperti
rheumatoid arthritis, SLE, atau progresif systemic sclerosis.4
II.2

Etiologi

Patogenesis penyakit sjogren dipercaya disebabkan multifaktorial. Awalnya


diketahui sebagai autoimun, namun studi mengatakan bahwa penyakit disebabkan
oleh genetik, lingkungan, dan neuroendokrin. Factor genetic berperan dalam
pathogenesis sindrom sjogren. Seperti pada SLE, molekul MCH II tertentu yang
diturunkan akan memudahkan munculnya autoantibody RNP yang spesifik. Serupa
dengan SLE pula, penyakit tersebut mungkin diawali dengan hilangnya toleransi
dalam populasi sel-T CD4+, meskipun sifat autoantigen yang di kenali sulit
dipahami.5,6
HLA-DR genotipe adalah genetik predominan penyebab penyakit sjogren.
HLA-DR adalah major histocompatibility complex (MHC) yang ditemukan pada sel
presenting antigen. Genotipe ini juga memproduksi kemokin dalam jumlah yang
abnormal dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami penyakit sjogren. 5,6
Pencetus dari munculnya penyakit sjogren diduga karena faktor imunologi,
lingkungan, dan neuroendokrin. Faktor lingkungan termasuk hubungan dengan
Epstein-Barr Virus (EBV), hepatitis C, HIV, dan Human T-cell leukemia virus. 5,6
Factor genetic berperan dalam pathogenesis sindrom sjogren. Seperti
pada SLE, molekul MCH II tertentu yang diturunkan akan memudahkan munculnya
autoantibody RNP yang spesifik. Serupa dengan SLE pula, penyakit tersebut mungkin
diawali dengan hilangnya toleransi dalam populasi sel-T CD4+, meskipun sifat
autoantigen yang di kenali sulit dipahami. 5,6

Beberapa penelitian menunjukan bahwa sindrom sjogren merupakan suatu


penyakit autoimun yang target utamanya adalah sel epitel duktus kelenjar eksokrin.
Namun demikian, terdapat pula hiperaktivitas sel-B sistemik, seperti yang dibuktikan
dengan adanya antibody antinuclear dan RF (walaupun tanpa disertai RA).
Sebagian besar pasien sindrom sjogren primer mempunyai autoantibody terhadap
antigen SS-A (RO) dan SS-B (La) ribonukleoprotein (RNP), perhatikan bahwa
antibody ini terdapat pula pada beberapa pasien SLE sehingga tidak bersifat
diagnostic untuk sindrom sjogren. Meskipun para pasien dengan titer antibody antiSS-A yang tinggi lebih mungkin untuk mengalami manifestasi sistemik
(eksraglandular), tidak terdapat bukti bahwa autoantibody tersebut menyebabkan jejas
jaringan primer. 5,6
Apapun pencetus dari penyakit, selanjutnya jaringan kelenjar imun akan
diinfiltrasi oleh limfosit CD4. Sel CD4 ini yang akan beriteraksi dengan MHC kelas 2
dan memulai kaskade yang menyebabkan terlepasnya sitokin IL-1, TNF alpha, dan
interferron gamma. Selanjutnya akan terjadi kerusakan dari jaringan dan akan
dihasilkan asetilkolin yang menyebabkan terjadinya disfungsi kelenjar. 5,6
II.3

Epidemiologi

Secara epidemiologis, Sjorgen syndrome primer menempati peringkat ketiga


penyakit autoimun yang paling sering.4,5 Disebutkan bahwa perempuan memiliki
kemungkinan terkena Sjorgen syndrome 10 kali lebih besar dibandingkan pria1. Di
Amerika Serikat, disebutkan bahwa Sjorgen syndrome 1 hingga 2 juta mengidap
Sjorgen syndrome, dengan prevalensi antara 0,5 smp dengan 4,8 persen populasi.
Sjorgen syndrome 93% mengenai perempuan dibandingkan laki-laki dengan rata-rata
usia di atas 50 tahun4. Sjorgen syndrome sendiri mengenai 10-15% rheumatoid
artritis, kemungkinan terjadi paa pasien lupus eritematous sebesar 30% serta berbagai
proporsi pada pasien dengan atau tanpa penyakit jaringan ikat1.
Sjorgen syndrome dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekuder. Sjorgen
syndrome primer adalah kelainan yang hanya mengenai mulut dan tanpa kelainan
jaringan ikat, Sedangkan Sjorgen syndrome sekunder merupakan sjorgen syndrome
primer yang disertai atritis rheumatoid atau jaringan ikat yang lain.1
II.4

Patofisiologi

Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi Sindrom Sjogren tidak hanya


sistem imun selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan sistim
humoral ini dapat dilihat adanya hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi
yang berada dalam sirkulasi. 7,8
Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah kelenjer eksokrin yang
dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah sekitar kelenjer
dan atau duktus, gambaran histopatologi ini dapat ditemui dikelenjer saliva, lakrimalis
serta kelenjer eksokrin yang lainnya misalnya kulit, saluran nafas, saluran cerna dan

vagina. Fenotip limfosit T yang mendominasi adalah sel T CD 4 +. Sel-sel ini


memproduksi berbagai interleukin antara lain IL-2, IL-4, IL-6, IL1 A dan TNF alfa
sitokin-sitokin ini merubah sel epitel dan mempresentasikan protein, merangsang
apoptosis sel epitel kelenjer melalui regulasi fas. Sel B selain mengfiltrasi pada
kelenjer, sel ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi. 2
Adanya infiltrasi limfosit yang menganti sel epitel kelenjer eksokrin,
menyebabkan penurunan fungsi kelenjer yang menimbulkan gejala klinik. Pada
kelenjer saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. Peradangan
pada kelenjer eksokrin pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjar.
2

Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanyan suatu gambaran


hipergammaglobulin. Peningkatan imonuglobulin antara lain faktor reumatoid, ANA
dan antibodi non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan teknik imunofloresen Tes
ANA menunjukan gambaran spekled yang artinya bila diekstrak lagi maka akan
dijumpai autoantibodi Ro dan La. 2
Adanya antibodi Ro dan anti La ini dihubungkan dengan gejala awal penyakit,
lama penyakit, pembesaran kelenjer parotis yang berulang, splenomegali,
limfadenopati dan anti La sering dihubungkan dengan infiltrasi limfosit pada kelenjer
eksokrin minor. 2
Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan terhadap
patogenesis, yang merangsang sistim imun teraktivasi. 7,8
II.5

Diagnosis

II.5.1 Anamnesis
Manifestasi klinis dari Sjogren syndrome dapat bervariasi. Awal dari sindrom
ini dapat tersembunyi. Sering terjadi pada wanita umur 40-60thn, tetapi dapat juga
terjadi pada laki-laki dan anak-anak. 9
Xerophthalmia dan xerostomia (mulut kering) adalah manifestasi klinis yang
utama pada orang dewasa. Pembengkakan kelenjar parotis bilateral adalah gejala awal
yang paling sering muncul pada anak-anak. 9
Pasien sering menggambarkan efek dari mulut kering sebagai:
Ketidakmampuan untuk makan makanan kering, karena akan tersangkut dia atap
mulut
Lidah melekat di atap mulut
Sering minum di malam hari yang mengakibatkan nocturia
Kesulitan berbicara dalam waktu lama atau suara yang menjadi parau
Insidens karies gigi dan penyakit gusi yang meningkat
Adanya perubahan sensasi terhadap rasa (pengecapan)
Kesuilitan pemasangan gigi palsu

Adanya perkembangan candidiasis pada rongga mulut yang dapat menimbulkan


nyeri pada mulut9
Mata yang kering dapat digambarkan sebagai mata merah, gatal dan nyeri.
Tetapi keluhan yang paling sering timbul adalah rasa berpasir pada mata.9
Gejala-gejala ini dapat semakin memburuk hari demi hari, kemungkinan
karena adanya penguapan dari lapisan aqueous yang sudah berkurang.9
Beberapa pasien bangun di pagi hari dengan banyaknya kotoran mata dan bila
kondisinya sangat parah, maka akan kesulitan membuka mata.9
Pasien dengan Sjogren sindrom dapat mempunyai riwayat parotitis yang
rekuren, biasanya bilateral. Walaupun pada beberapa pasien, kelenjar parotis dapat
menjadi sedemikian besarnya dimana pasien mengeluhkan hal ini, tetapi seringkali
dokter pemeriksa juga dapat menemukan keadaan ini.9
Cutaneus vasculitis, seperti palpable purpura, berkembang pada pasien dengan
Sjogren sindrom, terutama dengan riwayat hipergammaglobulinemia atau
cryoglobulinemia.9
Wanita dengan Sjogren sindrom kemungkinan mempunyai riwayat keguguran
yang berulang atau lahir mati. Dan pada laki-laki dan wanita dengan Sjogren sindrom
dapat juga mempunyai riwayat trombosis vena atau arteri. Hal ini berhubungan
dengan adanya antibodi antiphospholipid, seperti lupus anticoagulant atau
anticardiolipin antibodi.9
II.5.2 Manifestasi Klinis
A. Manifestasi pada Mata
1. Pada Syndrom Sjogren sekunder , ditandai oleh mata yang
kering(kweratokonjungtivitis ) dan mulut yang kering ( Xerostamia)
,akibat kerusakan kelenjer lakrimalis dan salivarius yang dimediasi
oleh sistem imun.
2. Mungkin juiga disebabkan insufisiensi sekresi lakrimal yang disertai
kekeringan mukosa lainnya. Pasien mengeluhkan gejala non spesifik
seperti rasa terbakar ,fotofobia ,rasa berat pada kelopak mata dan
kelelahan mata.,pada anak Syndrome Sjogren juga dapat disertai karies
gigi, disfagia, kelitis angularis ,epistaksis suara serak dan otitis
kronik.13
3. Gejala ini memburuk pad malam hari karena mata kering sepanjang
hari. Pada Kasus yang berat ,Tajam penglihatan bisa berkurang karena
terjadi kerusakan kornea.10,11
B. Manifestasi pada kulit
1. Kulit kering dan gambaran vskulitis merupakan keluhan yang paling
sering dan jika disertai vaskulitis merupakan prognosis buruk
2. Biasanya bila disertai vaskulitis bisa ,mengenai pembuluh darah sedang
dan kecil

3. Vaskulitis darah sedang ini terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis


darah kecil berupa purpura.6,11
C. Manifestasi pada Paru
1. Manfestasi yang paling menonjol adalah gambaran penyakit bronkial dan
bronkilolar dan saluran nafas kecil yang paling serring terkena. Initial lung
disease lebih sering dijumpai pada Sindrome Sjogren Primer dengan
gambaran patologi infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yang
berat. Adanya pembesaran kelenjer Limfe parahiler yang sering
menyerupai suatu Limfoma( Pseudolimfoma)
2. Manifestasi paru pada Syndrome Sjogren primer dan sekunder
memberikan gambaran yang berbeda.Pada Sekunder
Syndrom
Sjogren,Manifestasi parunya disebabkan oleh penyakit primer yang
mendasarinya.6,11
D. Manifestasi pada Pembuluh Darah
1. Vaskulitis ditemukan hanya sekitar 5 % dapat mengenai pembuluh darah
sedang maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk pupura,
urtikaria yang berulang, ulkus kulit dan mononeuritis multipleks.
Vaskulitis pada organ internal jarang ditemukan,berdasarkan infiltrasinya
terdapat 2 macam bentuk Vaskulitis,Vaskulitis dengan infiltrasi sel
mononuklir dan Vaskulitis dengan infiltrasi neutrofil. Vaskulitis dengan
infiltrasi neutrofil sering dihubungkan dengan hipergammaglobulin
2. Raynouds Fenomena dijumpai pada 35 % kasus dan biasanya muncul
setelah Syndrome Sicca terjadi sudah bertahun tahun tanpa disertai
talektasis dan ulserasi seperti Skleroderma.6,11
E.Manifestasi pada Ginjal
1. Keterlibatan Ginjal hanya ditemukan sekitar 10% .Manifestasi tersering
berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran klinis berupa
Hipophosturia,Hipokalemia,Hiperkloremik renal tubular asidosis tipe
distal. Yang sering dijumpai di klinik sering tersamar dan tidak jelas dan
acapkali menimbuilkan komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi
ginjal
2. Gejala hipokalemia sering kali disertai dengan Manifestasi kelemahan
otot.Pada biopsi gi njal didapatkan infiltrasi limfosit pada jaringan
intersisial. Manifestasi glomeerullar kondisinya lebih serius dan biasanya
terkait dengan Krioglobulinemia.6,11
F.Manifestasi Neuromuskular
1. Manifestasi neneurologi akibat Vaskulitis pada sistem saraf dengan
manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropati juga dapat dijumpai
pada Syndrom Sjogren. Gambaran klinis kranial neuropati bisanya

mengenai serat saraf tunggal,misalnya neuropati trigeminal atau neuropati


optik.
2. Neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang tersering adalah
kerusakan neuron sensorik pada dorsal root dan ganglia gasserian.
Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas
normal.
3. Manifestasi pada neuromuskular selanjutnya adalah Polimiositis dapat
terjadi secara terpisah atau berhubungan dengan penyakit autoimun
jaringan ikat . 11,12,13
G.Manifrstasi pada Gastrointestinal
1. Keluhan disfagia paling sering dijumpai ,karen kekeringan daerah
kerongkongan,mulut dan esofagus ,selain itu faktor diosmolitas esofagus
akan menambah kesulitan proses menelan.
2. Mual dan nyeri perut daerah epigastrik juga sering dijumpai. Pada biposi
lambung menunjukkan gastritis kronik atopik yang secara histopatologi
didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini persis yang dijumpai pada
kelenjer air liur.; Didapatkan juga Hepatomegali , AMA Positif serta
peningkatan alkali fosfatase ,sirosis bilier primer lebih sering pada
Syndrome Sjogren primer 11
H.Manifestasi pada Hematologi
1. Pada pemeriksaan rutin laboratorium didapatkan anemia ringan
2. Leukopenia hanya didapatkan 10% ,Peningkatan LED tanpa disertai
peningkatan
CRP
khas
pada
Syndrome
Sjogren
11
primer,Hipergammaglobulin ditemukan hampir 80% .
II.5.3 Pemeriksaan Laboratorium
II.5.3.1 Manfestasi laboratorium non spesifik
Beberapa gejala hematologis seperti anemia, leukopenia dan trombopenia
dapat terjadi. Anemia sedang pada penyakit yang telah kronis terjadi pada 25%
penderita tetapi bisa sebagai akibat dari hemodilusi dari hypergammaglobulinemia
poliklonal. Lekopenia <4000/mm3 terjadi pada 30% kasus. Hipergammaglobulinemia
lebih sering terjadi bahkan sampai 80% dari kasus. Pada beberapa kasus
Hipergammaglobulinemia mayor, sindrom hiperviskositas dapat terjadi.
Rata-rata pengendapan Eritrosit sering meningkat oleh karena
hipergammaglobulinemia poliklonal. Pada banyak kasus serum Ig G meningkat,
sementara serum Ig A dan Ig M normal. Jika yang terjadi adalah
hipogammaglobulinemia, limfoma bisa disingkirkan. Pada 10% kasus, protein
monoclonal ikut diobservasi. Krioglobulinemia tipe II dan III terjadi pada 5% dari
pasien sjorgen sindrom. Kadar 2-mikroglobulinemia meningkat cukup signifikan

pada pasien yang menderita sjogren sindrom. Terdapat hubungan yang positif
signifikan antara kadar 2-mikroglobulinemia dan tingkat keparahan penyakitnya.
Rantai ringan bebas pada serum ditemukan telah meningkat pada sjogren sindrom dan
berhubungan dengan aktifitas penyakitnya. Faktor-faktor rematoid ditemukan juga
pada 50% kasus primer sjogren sindrom.14,15
II.5.3.2 Manifestasi laboratorium Autoimun
Antibodi anti nuclear diobservasi secara berulang-ulang pada serum penderita
sjogren sindrom. Anti-SSA autoantibodi ditemukan pada 30-50 % di serum penderita
sjogren sindrom, sementara anti-SSB autoantibodi ditemukan pada 20-30 % kasus. Di
kebanyakan kasus, adanya anti-SSB autoantibodi dihubungkan dengan kehadiran antiSSA antibodi. Manifestasi ekstraglandular biasanya terjadi pada pasien dengan
autoantibodi ini. Antibodi terhadap -fodrin telah ditemukan baru-baru ini pada serum
pasien sjogren sindrom dalam sebuah penelitian di Jerman sementara penelitian yang
lain hanya menunjukkan sensitifitas rendah yang relative sekitar 30%. Disebabkan
oleh sedikitnya alat yang ada, tes ini tidak rutin dilakukan. Baru-baru ini, antibody
baru terhadap receptor muskarinik M3 dan proteasome telah digambarkan pada
penderita sjogren sindrom. Kadar komplemen C4 yang abnormal sering dihubungkan
dengan adanya krioglobulinemia.
Dari beberapa data diatas dapat disimpulkan bahwa tes laboratorium yang
perlu dilakukan meliputi:
1. ANA (Anti-Nuclear Antibody)
Ditemukan pada 70% pasien sjogren sindrom dan penderita dengan
kelainan autoimun.
2. RF (Rheumatoid Factor)
Ditemukan pada 60-70% penderita sjogren sindrom dan rematoid
artritis.
3. SS-A (or Ro) dan SS-B (or La)
Marker antibody untuk sjogren sindrom, dimana pada 70% penderita
sjogren sindrom positif SS-A dan 40% penderita sjogren sindrom positif SS-B.
Marker ini juga ditemukan pada penderita Lupus.
4. ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate)
Merupakan penanda inflamasi. Peningkatan ESR mengindikasikan
bahwa telah terjadi proses inflamasi termasuk pada penderita sjogren sindrom.
5. IGs (Immunoglobulins)
Adalah suatu protein darah yang biasanya meningkat pada penderita
sjogren sindrom.14,15

II.5.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sialography
Penelitian ini membutuhkan pencitraan radiografi kelenjar ludah (parotis
biasanya itu), dengan injeksi retrograde dari media kontras melalu duktus
ekskretory. Media kontra didistribusikan melalui sistem saluran, yang
memungkinkan analisis arsitekturdan konfigurasi organisasi dari duktus
kelenjar '. Pada pasien SS yang terkena dampak itu dapat diverifikasi dilatasi
dan memutar dari duktus-duktus, dengan distribusi yang tidak merata dari
media kontras, menyebar luas membuat pola penampilan dari pola
percabangan dari duktus-duktus. Hasil positif dalam studi sialographic
merupakan bagian dari kedua Revisi Kriteria Klasifikasi dan kriteria
internasional Jepang untuk diagnosis SS. Sialography mungkin secara teknis
telah teruji , menghabiskan banyak waktu, membuat nyeri dan berisiko.
Bahkan merupakan kontraindikasi disfungsi kelenjar yang berat sebagai
penggunaan media kontras.
o Sialography telah terbukti memiliki akurasi tinggi dalam diagnosis SS,
namun sialectasis juga dapat ditemukan dalam orang yang sehat, serta
individu yang terkena oleh penyakit lain seperti kronis sialadenitis.
Dan beberapa laporan menunjukkan bahwa bahwa nilai diagnostik
sialography parotid untuk mendiagnosis SS sangat tergantung pada
keterampilan pengamat . Meskipun demikian, mengingat sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis SS, sialography masih
memiliki penggunaannya dalam evaluasi komponen oral SS. Diagnosis
umumnya didasarkan pada klasifikasi Rubin dan Holt. Di mana tahap 0
( normal) sesuai dengan ada media kontras yang terkumpul ;
i. Derajat 1 ( pungtata ) mengacu pada kontras media yang terkumpul
pada media 1 mm
ii. Derajat 2 ( globular ) mengacu pada kontras yang terkumpul pada
media antara 1 dan 2 mm
iii.
Derajat 3 ( kavitas ) mengacu pada kontras yang terkumpul media 2
mm
iv. Derajat 4 ( destruktif ) mengacu pada kehancuran total dari glandula
parenkim

Sebuah sialography seorang pasien SS yang terkena dampak ( Tahap 3 ) 5


menit setelah injeksi media kontras dilaporkan pada Gambar

Gambaran Sialographic dari glandulla parotis (Stage 3 ), mengacu pada the


Rubin and Holt classification). A = frontal view; B = lateral view. Perhatikan
ductus utama melebar dan pola percabangan yang menyeluruh dari saluransaluran.
Skintigrafi
Skintigrafi adalah metode non-invasif untuk mengevaluasi fungsi kelenjar
ludah dengan mengatasi penyerapan dan sekresi dari radioaktif berlabel
substansi
(sodium
pertechnate
dari
99m
Tc). Selain itu, hasil kelenjar ludah skintigrafi abnormal diterima oleh
kelompok konsensus Amerika-Eropa sebagai kriteria untuk diagnosis sindrom
Sjgren. Biasanya, penyerapan yang cepat dan peningkatan konsentrasi probe
radioaktif dicapai dalam kelenjar ludah (biasanya dapat dilihat dalam waktu 10
menit setelah pemberian intravena). Setelah 20 - 30 menit, substansi dengan
cepat disekresi ke dalam mulut. Berkenaan dengan air liur, aliran dapat
dirangsang dengan penggunaan sialogogue a ( misalnya , diencerkan dengan
jus lemon ) dioleskan pada dorsal lidah. Kurva waktu aktivitas dihitung
dengan gambaran manual regio oval ditarik secara manual yang mendekati
daerah d isekitar di kedua kelenjar parotis dan kelenjar submandibular . Dalam
Sjgren syndrome, konsentrasi yang lebih rendah dan sekresi yang rendah ke
dalam mulut terlihat. Tes melaporkan sensitivitas tinggi tetapi nilai spesifisitas
rendah dalam diagnosis SS. Data hasil skintigrafi dinyatakan sebagai nilainilai kuantitatif, yang diubah menjadi indeks semi kualitatif. Namun umumnya
dalam praktek, kualitatif dan klasifikasi tergantung observer yang digunakan
untuk menyajikan hasil dan untuk mencari korelasi klinis. Klasifikasi
kategoris Schall yang biasanya dianggap metode standar untuk interpretasi
saliva skintigrafi, namun mempunyai kapasitas terbatas untuk membedakan
hasil borderline. Dalam hal ini, sistem klasifikasi, penyerapan dan
pembuangan Probe radioaktif yang secara visual dievaluasi , dan kelenjar
secara individual dinilai dari 1 sampai 4.. Oleh karena itu , beberapa indeks

kuantitatif fungsi saliva telah diusulkan termasuk tingkat penangkapan dan


penyerapan, waktu maksimum aktivitas, rasio serapan dan besarnya atau
tingkat dirangsangnya debit saliva. Dalam yang berhubungan dengan SS,
baru-baru ini didapatkan laporan yang telah menunjukkan hubungan antara
keparahan keterlibatan scintigraphic dan autoimun dengan peningkatan risiko
untuk mengembangkan gejala sistemik sistemik, limfoma, dan rendahnya
angka survival rate. Laporan lain juga memperkuat relevansi skintigrafi di
penilaian disfungsi kelenjar dan keparahan penyakit. Para penulis menguatkan
relevansi scintigraphic dengan diagnosis SS, yang memberikan informasi
klinis berharga pada prognosis dan outcome dari pSS dan sSS.16

Magnetic Resonance ( MR ) dan ultrasonografi (US )


MR imaging ( MRI ) , MR sialography dan US merupakan suatu metodologi
non-invasif yang memungkinkan pencitraan kelenjar ludah dalam status
fisiologis yang mana tanpa ditemukan artefak yang disebabkan oleh media
kontras intraductal atau prosedur biopsi. Selanjutnya, modalitas pencitraan ini
memungkinkan pengurangan ketidaknyamanan dan risiko komplikasi kepada
pasien . Kemajuan terbaru dalam peralatan teknis memungkinkan untuk hasil
seperti gambaran definitif perubahan struktural kelenjar bahwa mereka
menjanjikan
alternatif
untuk
pemeriksaan
konvensional.
Pencitraan MRI diharapakan dapat memberikan pencitraan yang handal.
Prosedur untuk mengevaluasi perubahan kelenjar. Hal ini memungkinkan
evaluasi multiplanar dan proses kontras tinggi resolusi jaringan. Secara
karakteristik, di SS, MRI mengungkapkan pola internal yang homogen pada
kedua T1 dan Urutan T2, dengan beberapa nodul hipo - dan hiper intens
dengan ukuran yang berbeda. Analisis kuantitatif MRI untuk standar deviasi
dari intensitas sinyal ditemukan berguna dalam diagnosis SS . Sinyal intensitas
T1 - gambaran kelenjar partotis yang melebar pada MRI ditemukan meningkat
secara proporsional berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit.
Selanjutnya, terdapat modalitas MRI lain dalam penilaian SS yang telah
digunakan, termasuk MR sialography, fungsional MR sialography, dan
dinamic contras MR. Pemodelan kinetik terakhir dan tracer digunakan untuk
mengukur perubahan patofisiologis mikrovasculer glandula parotis di SS
.MR sialography telah digantikan dengan konvensional sialography pada
tahun-tahun terakhir dan dapat menghasilkan gambar sialographic mirip
dengan konvensional sialography tanpa menggunakan media kontras atau
radiasi . Prinsip-prinsip yang mendasari ditetapkan pada penggunaan protokol
yang menggunakan pelebaran T2 yang berat. Metode ini menjadi sangat akurat
dan sensitif dalam evaluasi penyakit kelenjar ludah pada SS. Selanjutnya ,
gambar dan data MR sialographic yang dinamis juga terbukti berguna dalam

diagnosis pasien dengan SS. Ada penurunan nilai yang signifikan dan terdapat
perubahan rasio yang terdeteksi dalam duktus-duktus pada pasen-pasien SS.
Ultrasonografi saliva ( AS ) adalah teknik non-invasif dan teknik pencitraan
dengan biaya rendah yang baru-baru ini telah digunakan dalam diagnosis dan
stagging SS. AS lebih efektif pada kelenjar parotis dan kurang membantu
dalam penilaian kelenjar ludah lainnya . Selain itu, adalah teknik yang sangat
tergantung pada operato, meskipun memiliki karakteristik ini, deteksi dari AS
parenkim inhomogenicity parenkim pada kelenjar ludah besar dan pengamatan
volume kelenjar submandibular yang menurun menghasilkan kekhususan
tinggi untuk diagnosis pSS dan sSS. Fitur AS Karakteristik AS yang
menunjukkan SS termasuk gambaran strutur inhomogen dari kelenjar (pada
tahap awal), dengan tersebar beberapa bentukan multiple kecil, oval, atau
hypoechoic daerah anechoic limfositik infiltat ( tahap menengah ), dan adanya
garis echogenic fibrosis - Yang menyatu ke dalam pola reticular kelenjar
( tahap akhir ) biasanya didefinisikan dengan baik. Fitur lainnya, meskipun
lebih jarang ditemukan, mungkin termasuk dilatasi duktus utama, peningkatan
aliran darah parenkim ( diakses oleh Doppler ), massa semu, massa kistik yang
tidak teratur, dan pembesaran kelenjar getah bening intraparotis. Sebuah AS
dengan gambaran kelenjar parotid dan submandibular ditunjukkan pada
Gambar 5.
A
B

Gray-scale (A) dan gambar power Doppler (B) yang menggunakan


Ultrasonografi yang menunjukkan sindrom Sjgren stadium lanjut dalam
kelenjar ludah. Kelenjar ini memiliki struktur homogen dengan bentukan
multiple kista kecil, oval, daerah hypoechoic (panah) dan meningkatkan aliran
darah. Posisi probe AS ditampilkan dalam diagram inset. A = pencitraan
kelenjar parotid yang tepat; B = pencitraan kelenjar submandibular kiri.16
Sialochemistry
Sialochemistry melibatkan analisis komposisi saliva, baik termasuk konstituen
organik dan anorganik, dengan cara biokimia yang berbeda, metode analisis
elektroforesis dan imunologi. Tujuannya untuk menunjukkan cedera lalu
disampaikan
kepada
kelenjar
saliva
kelenjar mengenai konten yang yang di sekresi. Berbagai parameter telah

dievaluasi dan profil protein ludah SS adalah campuran dari peningkatan


protein inflamasi dan terjadi penurunan protein asinar hal bila dibandingkan
dengan yang sehat kontrol. Selain itu, pendekatan proteomik juga telah
dilakukan pada air liur pasien SS. Perbedaan mengenai ekspresi protein yang
ditemukan antara pasien SS dan subyek sehat. Namun, analisis individu pasien
SS diperlihatkan dengan berbeda pola ekspresi protein dan tidak berkorelasi
dengan keparahan klinis, serologis atau histologis penyakit. Juga perubahan
ionik diamati pada Individu SS yang terkena dampak, yaitu mengenai tingkat
klorida, kalium, kalsium, natrium dan magnesium.16

II.5.6 TERAPI
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi
kelenjar dimata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah
simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
MATA
Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet
untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari. 2.3 Lubrikasi pada mata kering
dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering.
Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air mata pengganti bisa diberikan
lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang mengandung steroid
sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat
muskarinik reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12
minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali sehari.
MULUT
Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan
pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi mulut.
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk
mengatasinya.
Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut,
merangsang kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringanigunakan sugarfree lozenges, cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus
yang masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik seperti
flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur
topikal.7,8
EKTRAGLANDULAR

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin


digunakan untuk atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1
mg/kgBB/hari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk
mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus intersisial lung disease,
glomerulonefritis, vaskulitis.2,7

Tabel 7.OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI SINDROM SJOGREN

OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI SINDROM SJOGREN


1. Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin) digunakan untuk terapi sicca
symptoms karena merangsang reseptor M1 dan M3 pada kelenjer ludah sehingga
meningkatkan fungsi sekresi.8. Suatu penelitian pasien Sindrom Sjogren yang diterapi
dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu terdapat perbaikan keluhan. Sementara
itu penelitian lain menggunakan Cevimelin dengan dosis 3 x15 mg/30 mg selama 6
minggu juga dapat memperbaiki keluhan.17
Sedangkan penelitian di Loannina.Greece pada 29 pasie SS yang mendapat Pilokarpin
2 x 5 mg selama 12 minggu juga terdapat perbaikan keluhan.18
Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang diterapi
dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat perbaikan
keluhan mata dan mulut kering.15 Pilokarpin dapat meningkatkan produksi kelenjer
saliva dan mata. Efek samping pilokarpin berupa keringat yang berlebih, diare, rasa
panas dikulit terutama disekitar wajah dan leher, nyeri otot, ingusan dan gangguan
penglihatan.18
2. Agen Biologik

Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang diterapi
dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6 terdapat
perbaikan keluhan.
Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien
sindrom sjogren primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut
kering.18
3. Terapi lain
Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolon
secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS. Hidroksiklorokuin yang
digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk penyakit autoimun dan dari
penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer dapat meningkatkan produksi
kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan.17,18
Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis
400 mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat
perbaikan keluhan.18
II.5.7 KOMPLIKASI
Mata
Komplikasi pada mata akibat sjorgen sindrom adalah keratoconjungtivitis
sicca (KCS). KCS terjadi akibat penurunan produksi kelenjar air mata dalam jangka
panjang dan perubahan kualitas air mata. Gejala klinis berupa rasa seperti ada benda
asing dimata, rasa panas seperti terbakar dan sakit dimata, tidak ada air mata, mata
merah dan fotofobia. Beberapa pasien KCS ada yang asimtomatik. Pemeriksaan yang
dilakukan untuk penilaian KCS adalah slit lamp dan pemeriksaan rose Bengal atau
Lissamin green. Pemeriksaan jumlah produksi air mata dilakukan dengan schemer
test. Bila hasilnya < 5 mm dalam 5 menit menunjukkan produksi kurang. 2,7
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun
konjungtiva, bila kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva mendapat
iritasi kronis, iritasi kronis pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan gambaran
klinik keratokonjungtivitis sicca. Pada pemeriksaan terdapat pelebaran pembuluh
darah di daerah konjungtiva, perikornea, dan pembesaran kelenjar lakrimalis.8
Mulut
Pada awal penyakit komplikasi yang paling sering adalah mulut kering
(kerostomia). Keluhan lain adalah kesulitan mengunyah dan menelan makanan,
kesulitan menggunakan gigi bawah serta mulut rasa panas, tetapi beberapa pasien ada
yang tanpa gejala. Pasien spesifik untuk kelenjar saliva adalah biopsy labial salivary
gland (LSG). Pemeriksaan biopsy LSG tidak diperlukan pada pasien yang sudah
terbukti terdapat KCS dan anti Ro atau La. Fungsi kelenjar saliva dapat dinilai dengan
mengukur unstimulated salivary flow selama 5-10 menit.7
Keluhan xerostomia merupakan eksokrinopati pada kelenjar ludah yang
menimbulkan keluhan mulut kering karena menurunnya kelenjar saliva. Akibat mulut

kering ini sering pasien mengeluh kesulitan menelan makanan dan berbicara lama.
Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan makanan dan berbicara lama.
Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan makanan, gigi banyak yang
mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut yang kering dan
kemerahan, atrofi papilla filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar.8

Pembesaran Kelenjar Paratiroid


Sekitar 20%-30% pasien sjorgen sindrom primer mengalami pembesaran
kelenjar parotis atau submandibularis yang tidak nyeri. Pembesaran kelenjar ini bisa
mengalami transformasi menjadi limfoma.2,8
Organ Lain
Kekeringan bisa terjadi pada saluran nafas serta orofaring yang sering
menimbulkan suara parau, bronchitis berulang, serta pneumoitis. Gejala lain yang
mungkin dijumpai adalah menurunnya produksi kelenjar pankrean.8
Kekeringan dapat juga terjadi pada vagina.8
Kulit
Merupakan gejala extraglandular yang paling sering dijumpai dengan
gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis pada kulit bisa
mengenai pembulu darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pada pembulu darah kecil
berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis kulit merupakan pertanda prognosis
buruk.8
Extraglandular
Komplikasi extraglandular pada sjorgen sindrom yaitu arthritis atau atralgia
(25%-85%), fenomena raynaud (13%-62%), tiroiditis autoimun Hashimoto (10%24%), renal tubular asidosis (5%-33%), sirosis bilier primer dan hepatitis autoimun
(2%-4%), penyakit paru (7%-35%) seperti batuk kronis, fibrosit paru, alveolitis, dan
vaskulitis (9%-32%). Resiko terjadinya limfoma menaikkan pada pasien sjorgen
sindrom.2,7
Paru
Komplikasi paru yang paling menonjol adalah gambaran penyakit bronchial
dan bronkiolar dan saluran nafas kecil. Penyakit paru intersisial lebih sering dijumpai
pada sjorgen sindrom primer dengan gambaran patologis infiltrasi limfosit pada
intersisial atau fibrosis yang berat. Adanya pembesaran kelenjar limfe yang parahiler
yang sering menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma).8
Pembuluh darah

Vaskulitis ditemukan sekitar 5% dapat mengenai pembuluh darah sedang


maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang,
ulkus kulit dan mononeuritis multiple.
Raynauds fenomena dijumpai pada 35% kasus dan biasanya muncul setelah
sindrom sicca terjadi sudah bertahun-tahun, tanpa disertai telektasis dan ulserasi.8
Ginjal
Keterlibatan ginjal ditemukan hanya sekitar 10%. Manifestasi yang tersering
berupa kelainan tubulus dengan gejala subkllinis. Gambaran klinisnya dapat berupa
hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremia, renal tubular asidosis tipe distal. Sering
juga menimbulkan komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Hipokalemia
sering dijumpai di klinik dengan manifestasi kelemahan otot. Pada biopsi ginjal
didapatkan infiltrasi limfosit pada jaringan intersisial.8
Neuromuskular
Manifestasi yang sering dijumpai adalah disfagia, karena kekeringan daerah
kerongkongan, mulut dan esophagus, disamping itu factor dismotilitas esophagus
akan menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrik
juga sering dijumpai. Biopsy mukosa lambung menunjukkan gastritis kronik atropik
yang secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini persis seperti
yang didapatkan pada kelenjar liur. Hepatomegali, peningkatan alkali fosfatase, sirosis
bilier primer lebih sering pada tipe primer.8
II.5.8 PROGNOSIS
Prognosis pada pasien Sindrom Sjogren tidak banyak yang meneliti, walaupun
Sindrom Sjogren bukan merupakan penyakit yang ganas namun perkembangannya
dapat terjadi vaskulitis dan limfoma dan kedua hal tersebut dapat menyebabkan
kematian pada pasien Sindrom Sjogren.19
Sindrom Sjgren dapat merusak organ penting tubuh. Beberapan penderita
mungkin hanya menderita gejala ringan dan lainnya dapat sangat buruk. Sebagian
besar dapat diatasi secara simtomatik. Sebagian penderita dapat mengalami
penglihatan yang buruk, rasa tidak nyaman pada mata, infeksi pada mulut,
pembengkakan kelenjar liur, kesulitan pada menelan dan makan. Rasa lelah dan sakit
pada persendian juga dapat mengganggu kenyamanan. Terdapat penderita yang juga
dapat terkena gangguan ginjal hingga terdapat gejala proteinuria, defek urinaris, dan
asidosis tubular renal distal.20

BAB III
KESIMPULAN
Syndrome Sjogren adalah sebuah penyakit autoimun kronis yang ditandai
dengan infiltrasi limphocistic dan dekstruksi dari kelenjar endokrin, khususnya pada
saliva dan jaringan lacrimal dimana perempuan memiliki kemungkinan terkena
Sjorgen syndrome 10 kali lebih besar dibandingkan pria. Sjorgen syndrome dibagi
menjadi dua yaitu primer dan sekuder. Sjorgen syndrome primer adalah kelainan yang
hanya mengenai mulut dan tanpa kelainan jaringan ikat, Sedangkan Sjorgen syndrome
sekunder merupakan sjorgen syndrome primer yang disertai atritis rheumatoid atau
jaringan ikat yang lain.1
Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan terhadap
patogenesis, yang merangsang sistim imun teraktivasi. 7 Syndroma ini bisa bermanifest
pada mulut, mata, kulit, paru, pembvuluh darah, ginjal, neuromuscular,
gastrointestinal, dan hematologi. 6,11 Dalam menegakkan diagnosis sjorgen syndrome
dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan
komponen autoimun dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti sialografi,
skintigrafi, magnetic resonance, ultrasonografi, dan sialografi sesuai dengan
manifestasi klinisnya. 16
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi
kelenjar di mata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah
simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
Adapun obat yang dipakai dalam terapi sjorgen syndrome seperti Muskarinik agonis
( Pilokarpin dan Cevimelin), agen biologik ( infus Infliximab, infus Rituximab), terapi
lain ( Hidroksiklorokuin dan preparat Prednisolon seperti dalam penelitian
Miyawaki ).19 Prognosis pada pasien Sindrom Sjogren tidak banyak yang meneliti,
walaupun Sindrom Sjogren bukan merupakan penyakit yang ganas namun
perkembangannya dapat terjadi vaskulitis dan limfoma dan kedua hal tersebut dapat
menyebabkan kematian pada pasien Sindrom Sjogren. Selain itu Sindrom Sjgren
juga dapat merusak organ penting tubuh20

DAFTAR PUSTAKA
1. Cawson R A. Odell EW. Cawsons Essentials of oral Pathology and Oral
Medicine 7th ed. Churchill Livingstone. 2002; 259-262
2. Troy Daniels, DDS, MS. Sjogrens Syndrome. Primer on rhematic disease.
2008; 13:389-397.
3. Shawn Winer et al. Primary Srogren's Syndrome and Deficiency of
ICA69 2002;
360(9339):
1063-1069.
http://eresources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/Primary_Srogren's_Syndrome
_and_Deficiency _of _ICA69.pdf (accessed 11 Mei 2014).
4. Robert Fox. Srogren Syndrome 2005; 366(9482): 321-331. http://eresources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/Srogren_Syndrome.pdf
(accessed 11 Mei 2014).
5. Martinez L, McCammon S. 2009. Sjogrens Syndrome. Grand Rounds
Presentation Department of Otolaryngology. University of Texas.
6. Sudoyo, dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam Jilid III edisi
IV. Pusat Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.
7. Sumariyono.Diagnosis dan tatalaksana Sindrom sjogren.
Kumpulan makalah temu ilmiah Reumatologi.2008:134-136.
8. Yuliasih. Sindrom sjogren. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.jilid II
edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.
9. Sawyer, S. Primary Sjogrens Syndrome. ProQuest Public Health 2004, p:33
10. Bruce James, Chris Chew, Anthony Bron Edisi kesembilan ,Lecture Notes
Oftalmologi.
11. Kumar, Cotran dan Robin ,2007 .Buku ajar Patologi anatomi volume edisi
1 ,EGC : Jakarta.
12. Lionel Ginsberg ,edisi kedelapan, Lecture Notes Neurologi.
13. Behrman,Kliegman, Arvin : Buku Ajar Ilmu Kesehatan anak Edisi 15 anak
Nelson Editor Prof .DR.dr A .Samik Wahab,Sp A (K).
14. Soyfoo M dkk, Diagnostic and Prognostic Features of Sjogrens syndrome,

Erasme Hospital: Universite Libre de Bruxelles


15. Christopher Wise, American College of Rheumatology, Sjogren Syndrome;

2012.
16. Pedro de Sousa Gomes, et al. Diagnostic Approaches to Sjgrens Syndrome: a
Literature Review and Own Clinical Experience. Department of Maxillofacial
Surgery, Medical Academy, Lithuanian University of Health Sciences, Kaunas, Lithuania.
Laboratory of Pharmacology and Cellular Biocompatibility. Faculty of Dental Medicine,
University of Porto J Oral Maxillofac Res 2012 (Jan-Mar);3(1):e3.
URL:http://www.ejomr.org/JOMR/archives/2012 ( aceesed 11 mei 2014 )

17. Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and
dry eye symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern
Med.2000;159:174-181.
18. Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome associated
with hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases. Medicine.2005;84:8189.
19. Tsifetaki N.Kitsos CA. Paschides. Oral Pilocarpin for the treatment of ocular
symptoms in patient with Sjogren Syndrome. A randomized weeks controlled
Study. Ann. Rheum. Dis.2003;62:1204-1207
20. Scofield RH, Asfa S, Obeso D, Jonsson R, Kurien BT. Immunization with
short peptides from the 60-kDa Ro antigen recapitulates the serological and
pathological findings as well as the salivary gland dysfunction of Sjgren's
syndrome.J Immunol. 2005 Dec 15;175:8409-14

You might also like