You are on page 1of 34

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1.

Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah
lumbal, di sebelah kanan dan kiri tilang belakang, dibungkus lapisan
lemak yang tebal, di belakang peeritoneum, dan karena itu diluar rongga
peritoneum. Kedudukam ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbaris
ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena hati
menduduki ruang banyak di sebelah kiri ( Pearce, 2008 ).
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga
retroperitonial bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi
cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu
tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf
dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal (Setiadi, 2007).
Menurut Pearce (2008), bentuk ginjal seperti biji kacang dan sisi
dalamnya menghadap ke tulang punggung. Sisi luar ginjalberbentuk
cembung. Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, muli dari
ketinggian vertebrata torakalis terakhir sampai vertebrata lumbalis ketiga.

10

Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena hati menduduki
banyak ruang di sebelah kanan.
Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke-11 dan ginjal kanan setinggi
iga ke-12 dan batas bawah ginjal kiri setinggi vertebrae lumbalis ke-3.
Setiap ginjal memiliki panjang 11-25 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2,5 cm.
Ginjal kiri lebih panjang dari ginjal kanan. Berat ginjal pada pria dewasa
1150-170 gram dan wanita dewasa 115-155 gram dengan bentuk seperti
kacang, sisi dalamnya menghadap ke vertebrae thorakalis, sisi luarnya
cembung dan diatas setiap ginjal terdapat sebuah kelenjar suprarenal
(Setiadi, 2007).
Menurut Fresenius (2005), ginjal merupakan organ yang berbentuk
seperti kacang, terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan
kebawah oleh hati. Kutup atasnya terletek setinggi kosta sebelas. Ginjal
melakukan fungsi vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah dengan mengekskresikan solut dan air secara selektif. Kalau kedua
ginjal karena sesuatu hal gagal melakukan fungsinya, maka kematian
akan terjadi dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital ginjal
dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan
rearbsorbsi sejumlah solut air dalam jumlah yang tepat disepanjang
tubulus ginjal. Kelebihan solu air akan diekskresikan keluar tubuh
sebagai kemih melalui sistem pengumpul.

11

Fungsi utama ginjal adalah mengatur ekskresi cairan serta ekskresi


elektrolit, komposisi asam-basa cairan tubuh, mengeluarkan produksi
akhir metabolik dari dalam darah, dan mengatur tekanan darah (Brunner
& Studdarth, 2002).
Arwedi (2005), fungsi ginjal dapat dibedakan menjadi dua bagian
pokok yaitu sebagai organ yang berfungsi ekskresi dan fungsi hormonal
sebagai organ endokrin.
Sebagai fungsi ekskresi ginjal berperan dalam hal:
a.

Mengatur keseimbangan asam dan basa.

b.

Mengatur keseimbangan volume tubuh.

c.

Mengatur keseimbangan elektrolit tubuh.

d.

Mengekskresikan sisa-sisa metabolisme antara lain ureum,


kreatinin, asam urat, zat toksik dan hasil metabolisme lainnya.
Sebagai organ endokrin ginjal berperan dalam hal:

a.

Tempat aktivitas vitamin D yang selanjutnbya berperan dalam


metabolisme kalsium dan phosphat.

b.

Organ penghasil eritropoietin yang berperan sebagai hormon


pematang eritrosit.

2.

c.

Tempat metabolisme dan ekskresi steroid, katekolomin.

d.

Sebagai orga target dari aldosteron, steroid dan vasopresin.

Gagal Ginjal
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang

12

biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat


gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin
dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam-basa. Gagal ginjal
merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari
berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. Setiap tahun 50.000 orang
Amerika meninggal akibat gagal ginjal menetap (Brunner & Studdarth,
2002).
Menurut Brunner & Studdarth (2002), gagal ginjal akut adalah
hilangnya fungsi ginjal secara mendadak hampir lengkap akibat
kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi tubular dan glomerular.
Dimanifestasikan dengan anuria, oliguria, atau volume urin normal.
a.

Gagal Ginjal Akut (GGA)


Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom
klinik akibat adanya ganguan fungsi ginjal yang terjadi secara
mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (ureakreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.
Tergantung dari keparahan dan lamanya fungsi ginjal,
resistensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan
gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia,
gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap
berbagai organ tubuh lainnya (Sudoyo, W, dkk, 2006).

13

b. Gagal Ginjal Kronik


1) Pengertian gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap-akhir
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan ireversibel daimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektroli, menyebabkan uremia (retensi dan sampah
nitrogen lain dalam darah). Ini dapat disebabkan oleh
penyakit sistemik seperti diabetes melitus, glomerulonefritis
kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dpat dikontrol,
obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit
ginjal polikistik, gangguan vaskuler, infeksi, medikasi atau
agen toksik. Lingkungan dan agen berbahaya yang
mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah,
kadmium, merkuri, dan kromium (Brunner & Studdarth,
2002).
Penyakit
patofisiologis

ginjal
dengan

kronik

adalah

etiologi

suatu

yang

proses
beragam,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan


pada umumnya berakhir dengan gagal ginja. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat

14

yang memerlukan terapi penggnati ginjal yang tetap, berupa


dialisis atau transpalasi ginjal (Sudoyo, W, dkk, 2006).
Gagal ginjal kronis merupakan perkembangan gagal
ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung
beberapa tahun. Gagal ginjal kronis terjadi setelah berbagai
macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian
besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal
difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada saluran
kemih juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronis
(Fresenius, 2005).
Menurut Guyton, A dan Hall, J (2002), gagal ginjal
kronis disebabkan oleh hilangnya sejumlah besar nefron
fungsional yang bersifat ireversibel. Gejela-gejala klinis
yang serius seringkali tidak muncul sampai jumlah nefron
fungsional berkurang sedikitnya 70% di bawah normal.
Sebenarnya, konsentrasi kebanyakan elektrolit dalam darah
dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan padakeadaan
relatif normal sampai jumlah nefron fungsional menurun
dibawah 20-30% normal.
2) Etiologi gagal ginjal kronik
Pada awalnya beberapa penyakit ginjal terutama
menyerang glomerulus (glomerulonefritis), sedangkan jenis
yang lain terutama menyerang tubulus ginjal (pielonefritis

15

atau penyakit polikistik ginjal) atau dapat juga mengganggu


perfusi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Tetapi
bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua
kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan diganti dengan
jaringan parut. Meskipun penyebabnya banyak, gambaran
klinis gagal ginjal kronis sangat mirip satu dengan yang lain
oleh karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara
sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang
berfungsi dan kombinasi gangguan yang pasti tidak dapat
dicegah lagi (Brunner & Suddarth, 2002)
3) Patofisiologi gagal ginjal kronik
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving

nefron)

sebagai

upaya

kompensasi

yang

diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan


growth

factor.

Hal

ini

mengakibatkan

terjadinya

hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler


dan

aliran

berlangsung

darah
singkat,

glomerulus.

Proses

adaptasi

akhirnya

diikuti

oleh

ini

proses

maladptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.

16

Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron


yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. (Sudoyo, W, dkk, 2006).
Menurut Brunner & Studdarth (2002), petofisiologi
gagal ginjal kronis yaitu fungsi rernal menurun, produk
akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi urmia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
tibunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat.
Banyak gejala urenia membaik setelah dialisis. Gangguan
klirens renal, banyak masalah muncul pada gagal ginjal
sebagai akibat dari penurunan glomeruli yang berfungsi,
yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan
urin

24-jam

untuk

pemeriksaan

klirens

kreatinin.

Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya


glomeruli) klirens kreatinin akan menurun dan kadar
kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea
darah

(BUN) biasanya

meningkat.

Kreatinin

serum

merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal


karena substansi ini di produksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyaki renal, tetapi

17

juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme


(jaringan dan luka RBC) dan medikasi seperti steroid.
Resistensi cairan dan natrium. Ginjal juga tidak mampu
untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara
normal pada penyakit ginjal tahap-akhir, respons ginjal
yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Klien sering menahan
natrium dan cairran, meningkatkan resiko terjadinya edema,
gagal jantung kongestif, ddan hipertensi. Hipertensi juga
dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiotensin dan
kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Klien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilanghan
garam, mencetuskan resiko hipotensidan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan
natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis, dengan semakin berkembangnya penyakit renal,
terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidak mampuan
ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk menyekrresi amonia (NH3-) dangan
mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan
ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Anemia
terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak

18

adekuat, memendeknya usia sel dara merah, defisiensi


nutrisi, dan kecenderungan mengalami perdarahan akibat
status uremik klien, terutama dari saluran gastrointestinal.
Eritroportin, suatu substansi normal yang diproduksi oleh
ginjal, menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan
sel darh merah. Pada gagal ginjal produksi eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina
dan napas sesak.
4) Manifestsi klinis gagal ginjal kronik
Hampir semua sistem tubuh dipengaruhi ketika terjadi
kegagalan mekanisme pengaturan ginjal normal. Klien
tampak sangat menderita dan latergi disertai mual persisten,
muntah, dan diare. Kulit dan membran mukosa kering
akibat dehidrasi, dan napas mungkin berbau urin (fektor
uremik). Manifestasi saraf pusat mencakup rasa lemah, sakit
kepala, kedutan otgo, dan kejang. (Brunner & Studdarth,
2002).

3.

Hemodialisa
a. Pengertian hemodialisa
Hilangnya fungsi ginjal yang berat, baik secara akut maupun
kronis

membahayakan

nyawa

penderita

dan

membutuhkan

pembersihan produkbuangan yang toksik serta pengembalian volume

19

dan komposisi cairan tubuh ke arah normal. Hal ini dapat dicapai
dengan cara dialisis menggunakan ginjal buatan. Pada beberapa gagal
ginjal akut tertentu, ginjal buatan dapat digunakan untuk membantu
klien melewati masa krisis sampai ginjal kembali normal. Jika
hilangnya fungsi ginjal bersifat ireversibel, perlu dilakukan dialisis
terus menerus untuk mempoertahankan hidup. Ribuan orang dengan
gagal ginjal ireversibel atau bahkan pengankatan ginjal total dapat
bertahan selama 15-20 tahundengan dialisis menggunakan ginjal
buatan. Karena dialisis tidak dapat mempertahankan sepenuhnya
komposisi cairan tubuh normal dan tidak dapat menggantikan seluruh
fungsi ginjal yang beragam, kesehatan penderita yang dipertahankan
dengan ginjal buatan biasanya cukup terganggu. Pengobatan yang
lebih baik untuk fungsi ginjal yang hilang permanen ialah mengganti
jaringan ginjal fungsional dengan cara ttransplantasi ginjal (Gyuton, A
dan Hall, J , 2002).
Ginjal buatan (hemodialiser/ dialiser) adalah alat yang
digunakan untuk mengeluarkan sampah metabolisme tubuh atau zat
toksik lain dari dalam tubuh, bila fungsi kedua ginjal sudah tidak
memadai lagi. Hemo, berarti darah, sedangkan dialisis berarti
memisahkan dari yang lain. Secara klinik dimaksud zat sisa atau
sampah dalam darah disaring lewat membran semi permiabel dan
kemudian dibuang (Brunner & Suddarth, 2002)

20

Menurut Baradeo (2008), pada hemodialisis, darah dikeluarkan


dari tubuh masuk ke ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari seratserat kecil dari cellulosa Asetat atau copropan. Darah dibersihkan
oleh cairan pembersih (dialisat) yang dialirkan diluar serat-serat
dializer tersebut. Kemudian darah dimasukkan kembali ke dalam
tubuh. Proses pemasukan dan pengeluaran darah ini dilakukan dengan
pompa (blood pump) dan selama proses dialisis sedikitnya 350 cc500 cc darah berada dalam luar tubuh. Hal ini akan mengakibatkan
beban tambahan jantung.
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua
kompartemen yang terpisah. Darah klien dipompa dan di alirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan
(artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri
cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan elektrolit
mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.
Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke
arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di
kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat
berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat
dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen

21

cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.(Sudoyo, W,


dkk, 2006).
Selama proses dialisis klien akan terpajan dengan proses
dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat
molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dengan
mudah berdifusi ke dalam klien selama dialisis. Karena itu kandungan
solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi
oleh tubuh. Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak
mengandung zat yang membahayakan tubuh. Dengan tehnik reverse
osmosis air akan melalui membran semi permeabel yang memiliki
pori-pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul
kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu
steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring
kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari
200 koloni/mL dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar
natrium dalam cairan dialisat berkisar 134-145 /L. Bila kadar
natrium lebih rendah, maka risiko untuk terjadinya gangguan
hemodianamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila
kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang
tetapi akan meningkatkan kadar natrium dalam darah pascadialisis.
Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan klien akan cenderung
untuk minum lebih banyak. Pada klien dengan komplikasi hipotensi
selama

hemodialisis

yang

sulit

ditanggulangi,

maka

untuk

22

mengatasinya kdr natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi


(Sudoyo, W, dkk, 2006).
b. Tujuan dialisis
Menurut Brunner & Studdarth (2002), tujuan hemodialisis
adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis aliran darah
yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihakan dari tubuh
klien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihakan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh klien.
c. Prinsip-prinsip yang mendasari hemodialisis
Sebagian dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang
bekerja sebagai membran semifermiabel. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi
melalui membran semipermiabel tubulus. Ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis dan ultrafilttrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difuisi. Dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi
tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih renda. Cairan
dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi
ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan
mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat. (pori-pori

23

kecil dalam memran semipermiabel tidak memungkinkan lolosnya sel


darah merah dan protein). Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam
tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dkendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain air bergerak
dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh klien) ke tekanan
yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi
pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air.
Karena klien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan
untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan
cairan) (Brunner & Studdarth, 2002).
Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan
penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam
darah

klien

dan

mengalami

metabolisme

untuk

membentuk

bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke


dalam tubuh melalui pembuluh vena klien. Pada akhir terapi dialisis,
banyak zat limbah telah dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah
dipulihkan dan sistem dapar juga telah diperbarui. Pada saat dialisis,
klien, dialiser dan rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang
konstan untuk menditeksi berbagai komplokasi yang dapat terjadi
(misalnya, emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau
berlebihan,

[hipotensi,

kram,

muntah],

pembesaran

darah,

24

kontaminasi, dan komplikasi terbentuknya firau atau fistula). Perawat


dalam unit dialisis memiliki peran yang penting dalam memantau
serta memberikan dukungan kepada klien dalam melaksanakan
program pengkajian dan pendidikan klien yang berkelanjutan. Alat
dialisis yang ada sekarang telah mengalami perubahan dari segi
teknologi, dan banyak kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan
penyakit ginjal staduim-terminal. Seperti dinyatakan sebelumnya,
kebanyakan dialeser merupakan dialeser lempengan yang rata atau
serat berongga. Perbedaan antara kedua bentuk ini terletak pada kerja
dan

biokompatibilitasnya.

Biokompatibilitas

mengacu

kepada

kemampuan dialiser untuk mencapai tujuannya tanpa menimbulkan


hipersensitivitas, alergi atau reaksi yang merugikan lainnya. Sebagian
dialiser akan mengeluarkan molekul dengan berat sedang dengan laju
yang lebih cepat dan melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi.
Hal ini diperkirakan akan memperkecil kemungkinan neuropati
ekstermitas bawah yang merupakan komplikasi hemodialisis yang
berlangsung lama. Pada umumnya, semakin efisien dialiser, semakin
besar biayanya. (Brunner & Studdarth, 2002).
d. Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi hemodialisa tergantung dari banyaknya fungsi ginjal
yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisis
sebanyak 2-3x dalam 1 minggu dan setiap kalinya memerlukan waktu
sekitar 4-5 jam. Program dialisa dikatakan berhasil jika klien kembali

25

menjalani hidup normal, penderita kembali menjalani diet yang


normal,

jumlah sel darh merah dapat ditoleransi, tekanan darah

normal dan tidak terdapat kerusakan saraf progresif (Rohmat dalam


Triyani 2010).
e. Proses Hemodialisa
(Rohmat (2010) dalam Triyani (2010)) membagi tiga proses
utama dalam proses hemodialisa sebagai berikut:
1) Proses difusi yaitu berpindahnnya bahan terlarut karena
perbedaan kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi
kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang dipindahkan
dalam dialisat.
2) Proses ultrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan
terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
3) Proses osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga
kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat.
f. Alasan dilakukan hemodialisa
Rohmat (2010) menjelaskan bahwa dialisat akan dilakukan
jika gagal ginjal menyebabkan kelainan fungsi otak (ensefalopati
uremik), perikarditis (peradangan katup jantung), asidosis (tingginya
keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan
lainnya, gagal jantung serta hiperkalemia (kadar kalium yang tinggi
dalam darah).

26

4.

Spiritualitas
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Misalnya seseorang yang percaya
kepada Allah sebagai pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Agama
merupakan petunjuk perilaku karena dalam agama terdapat ajaran baik
dan larangan yang dapat berdampak pada kehidupan dan kesehatan
seseorang. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia
dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen atau media sholat,
puasa, zakat, haji, doa, dan sebagainya (Hawari, 2002).
Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan
dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal
(hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan transpersonal
(hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan
ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Pasien yang mengalami
gangguan fungsi spiritual tentulah tidak bisa menjalani kehidupan
dengan bahagia dan sejahtera. Menjalani kehidupan yang bahagia,
sejahtera dan sehat hanya dapat dicapai apabila pasien tersebut merasa
sehat secara fisik, mental/spiritual dan sosial, merasa dibutuhkan,
merasa dicintai, mempunyai harga diri serta dapat berpartisipasi dalam
kehidupan. Meskipun pasien dalam kondisi sakit, tetapi kebutuhan
spiritual harus tetap terpenuhi (Asmadi, 2008).
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan seseorang tentang rasa
cinta, keagamaan, rasa syukur dan harapan, arti dan tujuan hidup,

27

moralitas dan etika, apresiasi seni dan keindahan, serta cara untuk
menghadapi kematian (Galek, 2005). Kebutuhan spiritual sebagai
bagian dari kebutuhan manusia secara utuh hanya dapat dipenuhi
apabila perawat dibekali dengan kemampuan memberikan asuhan
keperawatan dengan memperhatikan aspek spiritual klien sebagai
bagian dari kebutuhan holistik pasien sebagai mahkluk yang utuh dan
unik. Pemenuhan kebutuhan spiritual oleh pasien dan keluarga dalam
mencari arti dari peristiwa kehidupan yang dihadapi termasuk karena
penderitaan sakit merasa tetap dicintai oleh sesama manusia dan Tuhan
(Ayurai, 2009).
Spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:
a.

Berhubungan

dengan

sesuatu

yang

tidak

diketahui

atau

ketidakpastian dalam kehidupan.


b.

Menemukan arti dan tujuan hidup.

c.

Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan


dalam diri sendiri.

d.

Menyadari persamaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan


Yang Maha Tinggi (Yani, 2002)
Mickley et al (1992) dalam Yani (2002), menguraikan

spiritualitas sebagai sesuatu yang multi dimensi, yaitu dimensi


eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus
pada kehidupan yang akan datang. Kebutuhan spiritual merupakan

28

kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk


mencintai dan dicintai, serta rasa keterikatan, dan kebutuhan untuk
memberikan dan mendapatkan maaf.
a.

Dimensi spiritualitas
Model holistik keperawatan tentang kesehatan secara
tradisional

telah mencakup definisi fisik, psikologis, kultural,

perkembangan, sosial, dan spiritual. Satu model atau pilihan, untuk


meninjau dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi. Setiap
dimensi berhubungan dengan dimensi lainnya, juga mengandung
gambaran atau karakteristik yang unik. Suatu model pilihan yang
menunjukkan signifikansi tentang spiritualitas sebagai suatu tema
yang terintegrasi dalam hidup kita adalah pendekatan penyatuan.
Spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi
sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek
individual (Potter & Perry, 2005).
Clark et al (1991) dalam Potter & Perry (2005), menekankan
bagaimana penekanan dimensi spiritualitas menyebar di seluruh
dimensi lainnya, baik dikenali atau dikembangkan oleh individu
atau tidak. Individu dikuatkan melalui spirit mereka, yang
mengakibatkan

peralihan

ke

arah

kesejahteraan.

Pengaruh

spiritualitas terutama sangat penting selama periode sakit. Ketika


penyakit, kehilangan, atau nyeri mempengaruhi seseorang, maka
energi seseorang akan menipis, dan spirit seseorang akan

29

terpengaruhi. Hal ini mempengaruhi motivasi seseorang untuk


sembuh, berpartisipasi dalam penyembuhan, dan kemampuan untuk
berubah yang sering dianggap remeh.
b.

Kesehatan spiritual
Kesehatan

spiritual

atau

kesejahteraan

adalah

rasa

keharmonisan yang dekat antara diri dengan orang lain, alam, dan
dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan dicapai
ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan,
dan sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka di dalam
diri mereka sendiri dan dengan orang lain. Pada saat terjadi stres,
penyakit, penyembuhan, atau kehilangan, seseorang mungkin
berbalik ke cara-cara lama dalam merespon atau menyesuaikan
dengan situasi. Sejalan dengan semakin dewasanya seseorang,
mereka sering introspeksi untuk memperkaya nilai dan konsep
ketuhanan yang telah lama dianut dan bermakna.
c.

Keterkaitan antara spiritualitas, kesehatan, dan sakit


Kebutuhan spiritual sebagai bagian dari kebutuhan manusia
secara utuh hanya dapat dipenuhi apabila perawat dibekali dengan
kemampuan

memberikan

asuhan

keperawatan

dengan

memperhatikan aspek spiritual klien sebagai bagian dari kebutuhan


holistik klien sebagai mahkluk yang utuh dan unik. Pemenuhan
kebutuhan spiritual oleh klien dan keluarga dalam mencari arti dari
peristiwa kehidupan yang dihadapi termasuk karena penderitaan

30

sakit merasa tetap dicintai oleh sesama manusia dan Tuhan


(Ayurai, 2009).
Menurut Yani (2002), keyakinan spiritual sangat penting bagi
perawat karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan
perilaku self-care klien. Pengaruh dari keyakinan spiritual yang
perlu dipahami sebagai berikut:
1) Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari
Praktik
pelayanan

tertentu

kesehatan

yang
mungkin

berhubungan
mempunyai

dengan
makna

keagamaan bagi klien. Sebagai contoh ada agama yang


menetapkan makanan diit yang boleh dan tidak boleh
dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana, ada
agama yang melarang cara tertentu untuk mencegah
kehamilan termasuk terapi medik atau pengobatan.
2) Sumber dukungan
Saat mengalami stres, individu akan mencari
dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat
diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang
dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan
proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum
pasti. Sembahyang, sholat atau berdoa, membaca kitab
suci, dan praktik keagamaan lainnya sering membantu

31

memenuhi kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu


perlindungan terhadap tubuh.
3) Sumber kekuatan dan penyembuhan
Nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan
mudah

dievaluasi.

Walaupun

demikian,

pengaruh

keyakinan tersebut dapat diamati oleh tenaga kesehatan


dengan mengetahui bahwa individu cenderung dapat
menahan distres fisik yang luar biasa karena mempunyai
keyakinan yang kuat. Keluarga klien akan mengikuti
semua proses penyembuhan yang memerlukan upaya luar
biasa, karena berkeyakinan bahwa semua upaya tersebut
akan berhasil.
4) Sumber konflik
Pada suatu kondisi tertentu, bisa terjadi konflik
antara keyakinan agama dengan praktik kesehatan.
Misalnya ada orang yang memandang penyakit sebagai
suatu bentuk hukuman karena pernah berdosa. Ada agama
tertentu yang menganggap manusia sebagai makhluk yang
tidak berdaya dalam mengendalikan lingkungannya, oleh
karena itu penyakit diterima sebagai nasib bukan sebagai
sesuatu yang harus diembuhkan.

32

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas


Menurut Yani (2002) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang adalah:
1) Pertimbangan tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak
dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa
mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk
sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama,
dan kepribadian anak. Tema utama yang diuraikan oleh
semua anak tentang Tuhan mencakup:
a) Gambaran tentang Tuhan yang bekerja melalui
kedekatan

dengan

manusia

dan

saling

keterikatan dengan kehidupan.


b) Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam
perubahan

dan

pertumbuhan

diri

serta

transformasi yang membuat dunia tetap segar,


penuh kehidupan, dan berarti.
c) Meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan
selanjutnya merasa takut terhadap kekuasaan
Tuhan.
2) Keluarga
Peran

orang tua

sangat menentukan

dalam

perkembangan spiritualitas anak. Yang penting bukan

33

apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya


tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai
Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari perilaku orang
tua. Karena keluarga merupakan lingkungan terdekat
dan

pengalaman

pertama

anak

mempersepsikan

kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada


umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam
berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
3) Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai diengaruhi oleh latar
belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya
seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga.

Anak

belajar

pentingnya

menjalankan

kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan


keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apapun tradisi
agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu,
tetap saja pengalaman spiritual unik bagi setiap
individu.
4) Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup positif maupun negatif dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan

34

secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut.


Misalnya jika dua orang wanita yang percaya bahwa
Tuhan mencintai umatnya, seperti contoh kehilangan
anak yang dikarenakan

kecelakaan maka respon

orangtua salah satu dari mereka akan bereaksi dengan


mempertanyakan dimana keberadaan Tuhan dan tidak
mau sembahyang lagi. Sedangkan wanita yang lain
bahkan sebaliknya terus berdoa meminta Tuhan
membantunya

untuk

mengerti

dan

menerima

kehilangan anaknya. Begitu pula untuk pengalaman


hidup

yang

menyenangkan

separti

pernikahan,

pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat atau jabatan,


dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada Tuhan
5) Krisis dan perubahan
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi
penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan
bahkan kematian, khususnya pada klien dengan
penyakit

terminal

atau

prognosis

yang

buruk.

Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi


tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga
pengalaman yang bersifat fisikal dan emosional.

35

6) Terpisah dari ikatan spiritual


Menderita sakit terutama yang bersifat akut,
seringkali membuat individu merasa terisolasi dan
kehilangan kebebasan pribadi dan dukungan sosial.
7) Isyu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan
dianggap sebagai cara Tguhan untuk menunjukan
kebesarannya, walaupun ada juga agama yang menolak
intervensi pengobatan. Prosedur medik seringkali dapat
dipengaruhi oleh pelajaran agama, misalnya sirkumsisi,
transpalantasi organ, pencegahan kehamilan. Konflik
antara jenis terapi dengan keyakinana agama sering
dialami oleh klien dan tenaga kesehatan.
8) Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberi asuhan keperawatan pada klien,
perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan
spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada
kemungkinan

perawat

justru

menghindar

untuk

memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut antara


lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan
kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting
kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan
tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa

36

behwa pemenuhan kebutuhan spiritual klienn bukan


menjadi tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka
agama.
e.

Kebutuhan spiritual
Kebutuhan

spiritual

adalah

kebutuhan

untuk

mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi


kewajiban agamas serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau
pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya
dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mencari arti
dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta
kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf (Kozier,
2004). Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual
manusia (Clinebell dalam Hawari, 2002), yaitu :
1)

Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust),


kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna
membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah
ibadah.

2)

Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan


untuk menemukan makna hidup dalam membangun
hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal) dan
sesama manusia (horisontat) serta alam sekitaraya.

3)

Kebutuhan

akan

komitmen

peribadatan

dan

hubungannya dengan keseharian, pengalaman agama

37

integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman


dalam kehidupan sehari-hari.
4)

Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara


teratur

mengadakan

hubungan

dengan

Tuhan,

tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah.


5)

Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa


bersalah dan berdosa ini merupakan beban mental bagi
seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa seseorang.
Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama secara
vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa
bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara
horisontal yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang
lain.

6)

Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self


acceptance dan self esteem), setiap orang ingin
dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya.

7)

Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan


terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman
hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di
dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di
dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan
bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti.

38

8)

Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang


makin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan
Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan
pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang
ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan
maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan
keimanannya.

9)

Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam


dan sesama manusia. Manusia hidup saling bergantung
satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan dengan orang
disekitarnya senantiasa dijaga. Manusia juga tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan alamnya sebagai
tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai
kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini.

10)

Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh


dengan nilai-nilai religius. Komunitas keagamaan
diperlukan oleh seseorang dengan sering berkumpul
dengan orang yang beriman akan mampu meningkatkan
iman orang tersebut.

f)

Perbedaan spiritualitas dan religi


Spiritualitas sangat sulit untuk didefinisikan. Kata-kata yang
digunakan untuk menjabarkan spiritualitas termasuk makna,
transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan eksistensi.

39

Definisi spiritualitas atau dimensi spiritual akan unik bagi setiap


individu. Definisi individual tentang spiritualitas dipengaruhi oleh
kultur, perkembangan, pengalaman hidup, dan ide-ide mereka
sendiri tentang hidup. Banyak perawat mempunyai kesulitan dalam
membedakan spiritualitas dengan religi. Kedua istilah tersebut
digunakan secara bertukaran dan pastinya ada hubungan. Seseorang
mengikuti

ritual

atau

praktik

keagamaan

tertentu

untuk

mengekspresikan aspek spiritualitas. Namun kedua konsep tersebut


tidak sama. Religi biasanya berkaitan dengan keadaan melakukan
atau suatu sistem penyatuan spesifik tentang praktik yang berkaitan
dengan denominasi atau bentuk ibadah tertentu. Religi mempunyai
tujuan berbeda dalam kehidupan seseorang. Bagi sebagian orang,
religi adalah suatu kumpulan peraturan dan ritual untuk beribadah
kepada kehidupan yang maha tinggi. Bagi orang lain, religi adalah
cara hidup yang memberikan pemeliharaan yang mulia dan
keterhubungan pada semua kehidupan. Salah satu masalah dari
saling bertukar spiritualitas dengan religi adalah dimana perawat
mungkin menyatukan dimensi spiritual dengan dimensi psikososial.
Hal ini dapat mengakibatkan pihak perawat tidak mampu
mengenali harapan, kebutuhan, atau masalah spiritual yang
disamarkan oleh emosi seserang (Potter & Perry, 2005).

40

B. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori, yang telah di uraikan, maka dapat
dibentuk kerangka teori yang dapat di gambarkan sebagai berikut:

Transplantasi ginjal
Gagal Ginjal Kronis
Hemodialisa

Etiologi gagal ginjal kronis


adalah definsiensi jumlah
nefron yang berfungsi mulai
dari
glomerulonefritis,
nefrosklerosis
disertai
komplikasi lain yang terjadi
secara progresif
.
Patofisiologi gagal ginjal
kronis yaitu fungsi renal
menurun, sehingga produk
akhir metabolisme protein
tertimbun dalam darah.

Frekuensi hemodialisa ratarata dilakukan tiga kali


selama satu minggu.
Setiap
hemodialisa
memakan waktu 4-5 jam

Tingkat
kebutuhan
spiritualitas klien yang
menjalani hemodialisa.

Faktor yang mempengaruhi


spiritualitas:
1. Pertimbangan
tahap
perkembangan.
2. Keluarga.
3. Latar belekang etnik budaya
4. Pengalaman
hidup
seebelumnya.
5. Krisis perubahan.
6. Terpisah dari ikatan spiritual.
7. Isyu moral terkait dengan
terapi.
8. Askep yang kurang sesuai.

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

41

C. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang telah di tulis, maka dapat disusun
kerangka konsep sebagai berikut:

Variabel bebas

variabel terikat
Tingkat Kebutuhan
spiritual klien

Lama hemodialisa

Faktor yang
spiritualitas:

mempengaruhi

1. Pertimbangan
perkembangan.
2. Keluarga.
3. Latar belekang
budaya
4. Pengalaman
seebelumnya.
5. Krisis perubahan.
6. Terpisah dari
spiritual.
7. Isyu moral terkait
terapi.
8. Askep
yang
sesuai.

tahap

etnik
hidup

ikatan
dengan
kurang

a. kebutuhan tentang rasa


cinta/milik.menghorm
ati
b. kebutuhan tentang
keagamaan
c. kebutuhan tentang rasa
syukur/harapan/perda
maian/fikiran positif
d. kebutuhan tentang arti
dan tujuan hidup
e. kebutuhan tentang
moralitas dan etika
f. kebutuhan tentang
apreasi seni dan
keindahan
g. kebutuhan tentang
cara untuk
menghadapi kematian

= variabel yang diteliti


= variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

42

D. Hipotesis Penelitian
Menurut Umar (2005), hipotesis adalah suatu perumusan sementara
mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal tersebut dan
mengarahkan dalam pembahasan selanjutnya. Terdapat dua hipotesis, yaitu
hipotesis nihil (Ho) dan hipotesis kerja yang disebut juga hipotesis alternatif
atau hipotesis riset (Ha). Hipotesis alternatif atau hipotesis riset (Ha) dalam
penelitian ini adalah ada hubungan antara lama hemodialisa dengan tingkat
spiritual klien yang menjalani Hemodialisa.

You might also like