Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Oleh :
Laila Andini
Sintia Novia Lestari
Ria Cahya Lani
Dhiyan Anitasari
Rima Ramadhania
Jaka Tri Septiawan
B1J012053
B1J012059
B1J012069
B1J012103
B1J012106
B1J012150
Rombongan
Kelompok
: VI
:2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah
lambung dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi yaitu fungsi endokrin dan
eksokrin (Sloane, 2003). Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar
pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas ke
dalam usus halus. Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama yaitu asinus yang
mensekresi getah pencernaan ke dalam duodenum dan pulau langerhans yang
mengeluarkan sekretnya keluar (Sloane, 2003).
Pulau langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar
di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau
langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau
langerhans yang terkecil adalah 50, sedangkan yang terbesar 300, terbanyak
adalah yang besarnya 100-225. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas
diperkirakan antara 1-2 juta. Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau
langerhans, yaitu kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel
penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut. Sel alfa, jumlah
sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, suatu
hormon yang mempunyai anti insulin like activity. Sel beta menyekresi insulin yang
menurunkan kadar gula darah. Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang
hormon pertumbuhan yang menghambat sekresi glukagon dan insulin. Sel F
menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi yang
tidak jelas.
Selain terdapat di dalam Pulau Langerhans, sel endokrin juga dapat
ditemukan di luar Pulau Langerhans dan disebut sel-sel ekstra-insular. Jumlah dan
distribusi sel-sel ini bervariasi antara spesies satu dengan yang lainnya. Sel endokrin
jenis ini tersebar diantara sel parenkim eksokrin dan sel epitel duktus. Sel endokrin
ini diduga berperan dalam pengaturan fungsi bagian endokrin pankreas dan fungsi
pengeluaran sekreta hormon melalui pembuluh darah dan beberapa enzim serta ion
melalui duktus (Sundler dan Hakanson, 1988).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui cara pembuatan sediaan organ
pankreas ayam dengan metode parafin dan untuk mengamati struktur mikroskopis
organ pankreas ayam.
Alat-alat yang digunakan diantaranya yaitu alat bedah, botol sampel, beaker
glass, oven inkubator dengan thermostat, hot plate, cetakan dari kertas karton, blok
kayu sebagai holder, mikrotom putar, kuas dan mangkuk air hangat, alumunium foil,
object glass, cover glass, staining jar, mikroskop, kamera, pensil dan label.
Bahan-bahan yang digunakan diantaranya yaitu organ pankreas ayam
(Gallus gallus), Neutral Buffered Formalin (NBF), alkohol 70%, 80%, 90%, 100%,
akuades, xylol, gelatin 1%, pewarna haematoxylin dan eosin 1% serta entelan new.
B. Metode
Metode yang dialakukan dalam praktikum ini adalah:
A. Pengambilan Sampel
1. Ayam disembelih dengan menggunakan pisau.
2. Ayam dibedah menggunakan alat bedah yang telah disediakan.
3. Angkat organ pankreas kemudian dibersihkan dari darah dan difiksasi dengan
larutan NBF di dalam botol sampel selama minimal 24 jam. Volume fiksatif
minimal 10 kali volume sampel jaringan.
B. Pemrosesan Organ untuk Embedding
1.
Dehidrasi.
Sampel direndam dalam larutan alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%
2.
3.
dalam
campuran
xylol:parafin
(3:1),
xylol:parafin
(1:1),
Embedding.
Disiapkan cetakan dari kertas karton kurang berukuran 2x2 cm. Paraffin cair
dituangkan ke dalam cetakan sekitar 4/5 tinggi cetakan. Jaringan ditanam
dalam paraffin dan posisinya diatur sesuai dengan orientasi pengirisan
jaringan yang diinginkan, kemudian holder dari blok kayu yang telah diberi
label ditetakkan. Paraffin dibiarkan membeku pada temperatur ruang.
C. Pengirisan sampel
1. Mikrotom disambungkan dengan power supply, switch tombol mikrotom ke
posisi on.
2. Posisi hendle pemutar kromotom diubah ke posisi tak terkunci dan diputar
untuk memastikan bahwa mikrotom dalam keadaan baik dan operasional.
3. Posisi hendle pemutar kromotom dikembalikan ke posisi terkunci, ketebalan
irisan diatur deengan memutar tombol pengatur ukuran irisan.
4. Sudut kemiringan (elevasi) pemegang pisau diatur dan dilakukan uji coba
dengan blok kosong.
5. Kuas dan pinset disispkan untuk pemotongan dan pita paraffin dipindahkan
ke air hangat untuk mengembangkan jaringan.
6. Sebelum diiris paraffin di sekeliling sampel dapat dikurangi melalui
trimming.
7. Holder dipasang pada pemegang holder.
8. Posisi blok disesuaikan dengan pisau mikrotom dengan memajukan atau
memundurkan pemegang sampel.
9. Blok diiris dengan kecepatan dan kekuatan putaran yang konstan.
10. Pita berisi beberapa irisan sampel dipindahkan ke mangkuk berisi air hangat
dengan kuas kecil dan pinset.
11. Irisan sampel ditempelkan pada gelas benda yang telah dilapisi gelatin atau
Mayer-albumin, ditiriskan dan ditata. Sampel yang telah kering disimpan.
D. Pewarnaan
1. Jaringan yang akan diwarnai disiapkan.
2. Deparafinasi.
Jaringan dicelupkan ke dalam xylol I dan xylol II selama 2 menit.
3. Rehidrasi.
Jaringan dimasukkan ke dalam alkohol absolut I, absolut II, alkohol 90%,
80%, 70% dan akuades masing masing 30 celupan. Jaringan dicelupkan ke
dalam larutan haematoxylin selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air
kran selama 2 menit.
4. Direndam dalam eosin selama 1 menit
5. Dehidrasi.
Jaringan dicelupkan ke dalam larutan alkohol 70%, 90%, alkohol absolut I
dan alkohol absolut II masing-masing 30 celupan.
6. Clearing.
Jaringan dijernihkan dalam larutan xylol 1 dan xylol II selama 2 menit.
7. Mounting.
Jaringan ditetesi dengan 1-2 tetes mounting agent (entelan new) dan ditutup
dengan gelas penutup.
8. Diamati dibawah mikroskop.
III.
B. Pembahasan
Metode parafin adalah suatu cara pembuatan sediaan histologi, baik hewan
atau tumbuhan dengan menggunakan parafin. Metode ini sekarang banyak digunakan
karena hampir semua macam jaringan dapat dipotong dengan baik dengan
menggunakan metode ini. Metode parafin adalah suatu metode pembuatan preparat
dengan melakukan penanaman jaringan di dalam blok parafin untuk menghasilkan
preparat jaringan yang tipis (Nurliani, 2007). Kelebihan metode ini ialah irisan yang
dihasilkan jauh lebih tipis dari pada menggunakan metode beku atau metode
seloidin. Tebal irisan rata-rata dengan metode beku yaitu diatas 10 mikron, akan
tetapi dengan metode parafin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6 mikron. Selain
itu, irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan
metode ini. Kelemahan dari metode ini ialah jaringan menjadi keras, mengerut dan
mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan, bila
menggunakan metode ini. Sebagian besar enzim yang terdapat pada jaringan akan
larut dengan menggunakan metode ini (Suntoro, 1983).
Urutan cara kerja pembuatan sediaan irisan dengan metode parafin secara
umum yaitu fiksasi, pencucuian (washing), dehidrasi, penjernihan (clearing),
infiltrasi parafin, penanaman (embedding), pengirisan (section), penempelan
(afixing), deparafinisasi, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labelling.
Embedding menggunakan parafin sangat baik digunakan untuk studi embriologi,
anatomi dan sitologi. Medium embedding merupakan media yang memudahkan
untuk merubah dari bentuk cair ke bentuk padat (Kurniawati, 2014).
Prosedur pembuatan sediaan menggunakan metode parafin yang pertama
adalah organ yang akan dijadikan preparat diisolasi terlebih dahulu, kemudian
difiksasi dengan NBF selama 24 jam. Fiksasi berfungsi untuk mempertahankan
bentuk jaringan sedemikian rupa, sehingga perubahan bentuk atau struktur sel atau
jaringan yang mungkin terjadi hanya sedikit. Selain itu, fiksasi berguna untuk
meningkatkan indeks bias jaringan sehingga jaringan dapat terwarnai dengan baik.
Tahap selanjutnya adalah dehidrasi menggunakan alkohol dengan konsentrasi
bertingkat. Prinsip dari dehidrasi adalah karena jaringan hidup mengandung 85% air,
sedangkan air tidak dapat bercampur dengan media parafin, sehingga dibutuhkan
tahapan dehidrasi jaringan untuk menarik molekul air yang ada di dalam jaringan,
dengan demikian, jaringan akan lebih terawetkan dan ruang antarsel dalam jaringan
dapat diisi dengan media lain sesuai keperluan sediaan mikroskopis (Suntoro, 1983).
Proses yang dilakukan setingkat demi setingkat, karena untuk menjaga tidak terjadi
perubahan yang tiba-tiba terhadap sel jaringan, hingga perubahan struktur sel-sel
yang sekecil mungkin (Schichnes et al., 2005). Presentase alkohol yang digunakan
dalam praktikum adalah alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 96%, alkohol absolut
(100%) I, dan alkohol absolut II.
Organ selanjutnya di clearing dengan larutan campuran xylol dan alkohol
dengan perbandingan tertentu yaitu 3:1, 1:1, 1:3 dan xylol murni. Tujuannya adalah
untuk membersihkan sisa-sisa alkohol dari organ dan membantu proses penyerapan
parafin. Tahapan berikutnya yaitu infiltrasi atau perendaman dalam parafin,
dilakukan di dalam inkubator agar saat organ dimasukkan dalam parafin, maka
parafin tersebut tidak mudah membeku. Tahapan perendaman dalam parafin diulangi
sebanyak 2 kali dengan tujuan agar parafin meresap sempurna dan pada saat
pemotongan akan didapat hasil yang baik. Selain itu tahapan perendaman dalam
parafin
yang
sempurna
juga
turut
mempengaruhi
struktur
organ
yang
warna yang menempel tidak sempurna bisa hilang. Kemudian perendaman dalam
alkohol bertingkat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan lunturnya
warna, untuk menghilangkan kandungan air yang mungkin saja masih tersisa setelah
proses pencucian dan mencegah hal lainnya yang tidak diinginkan (Khasim, 2002).
Larutan yang dipakai dalam praktikum metode parafin yaitu NBF, sebagai
larutan fiksatif. Organ pankreas ayam difiksasi dalam larutan NBF selama 24 jam,
kemudian dilanjutkan dengan tahap dehidrasi dengan menggunakan larutan alkohol
bertingkat mulai dari 70%, 80%, 96% dan 2x100% masing-masing selama 45 menit,
dilanjutkan dengan tahap clearing dengan menggunakan larutan campuran
alkohol:xylol (3:1), alkohol:xylol (1:1), alkohol:xylol (1:3), dua kali xylol murni
masing-masing selama 30 menit. Setelah tahap clearing yaitu tahap infiltrasi dengan
larutan campuran xylol:paraffin (3:1), xylol:paraffin (1:1), xylol:paraffin (1:3)
masing selama 30 menit, kemudian dua kali dalam paraffin murni masing-masing
selama 1 jam (Dellman dan Brown, 1992).
Menurut Muntiha (2001), jaringan direndam dalam larutan NBF 10%, yang
berfungsi sebagai bahan pengawet agar terhindar dari pencernaan jaringan oleh
enzim-enzim (otolisis) atau bakteri dan untuk melindungi struktur fisik sel. Bahan
pengawet yang rutin digunakan adalah larutan Neutral Buffered Formalin (NBF)
10% dengan pH berkisar antara 6,5 7,5. pH ideal adalah 7,0. Agar fiksasi jaringan
dengan larutan tersebut berlangsung sempurna, maka perbandingan antara organ dan
larutan yaitu 1:10, sedangkan lamanya fiksasi minimal 24 jam.
Tahap pewarnaan jaringan hewan dalam praktikum menggunakan pewarna
haematoxylin-eosin yang diawali dengan tahap deparafinisasi menggunakan larutan
xylol dua kali masing-masing selama 2 menit. Larutan yang digunakan dalam
rehidrasi yaitu alkohol 2x100%, 96%, 80%, 70%, akuades masing-masing 30
celupan selama 30 detik, kemudian direndam dengan larutan haematoxylin 15 menit.
Larutan untuk dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat mulai dari 70%, 90% dan
2x100% masing-masing selama 30 celupan 30 detik, kemudian tahap clearing
menggunakan larutan xylol dua kali masing-masing selama 2 menit. Teknik
pewarnaan terbaru yang digunakan untuk mengevaluasi jaringan secara histologis
yaitu Massons trichrome dan hematoxylin eosin protokol. Teknik tersebut lebih
efektif dalam mengidentifikasi sel dan struktur jaringan daripada teknik yang telah
berkembang sebelumnya (Betz et al., 2012).
Prosedur kerja pembuatan preparat organ ginjal ayam dengan metode parafin
yaitu fiksasi, pencucuian (washing), dehidrasi, penjernihan (clearing), infiltrasi
parafin, penanaman (embedding), pengirisan (sectioning), penempelan (afixing),
deparafinisasi, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labelling.
2.
Preparat organ pankreas ayam yang dihasilkan dengan metode parafin dan
pewarnaan hematoksilin-eosin menjadikan struktur organ pankreas ayam
terwarnai merah dan yang terlihat adalah bagian sel asinus.
B. Saran
Sebaiknya dalam melaksanakan praktikum, alat-alatnya ditambah supaya
lebih efektif dalam pelaksanaannya.
DAFTAR REFERENSI
Betz, D. H., Epperson, R. T. Brian, M. H., and Roy D. B. 2012. A new trichrome
technique for PMMA embedded percutaneous implants for the study and
characterization of epithelial integration. Journal of Histotechnology. 35 (4) :
164-170.
Dellman H. D and Brown E. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II dan III. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Ganong W.F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology.
Edisi 14. Alih Bahasa : Adrianto P. EGC. Jakarta.
Hoffbrand, A.V. 1996. Essential Haemotology. Blackwell Scientific
Publications. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Junquera L.C, Carneiro J, dan Robert O.K. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Penerbit
Buku Kedokteran Hewan. Jakarta.
Khasim, S.M. 2002. Animal Microtechnique: Principles and Practice. Capital
Publishing Company, New Delhi.
Kurniawan, W. 2010. Pembuatan Sediaan Irisan Jaringan Hewan Dengan Metode
Parafin. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Kurniawati, M., Chanif M., and Aulanniam A. 2014. The Effect of Juice
Mangosteen Rind (Garcinia Mangostana L.) to Blood Sugar Levels and
Histological of Pancreatic Rats With The Induction of Streptozotocin. J. Pure
App. Chem. Res., 3 (1) pp.16
Muntiha, M. 2001. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi dari Jaringan Hewan
dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (H&E). Temu Teknis
Fungsional Non Peneliti, Bogor.
Nurliani, A. 2007. Petunjuk Praktikum Teknik Laboratorium. Departemen
Pendidikan Nasional Universitas Lambung Mangkurat.
Ross, M.H., L.J Romell and G.I Kaye. 1995. Histology. A Text and Atlas Third
Edition. Williams and Wilkins. A Waerly Company, USA.
Schichnes D., J.A. Nemson, and S.E. Ruzin. 2005. Microwave Protocol Techniques
for Plant and Animal Paraffin Microtechniques. The University of California
at Berkeley, CNR Biological Imaging Facility. 50-52.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sundler, J. And R. Hakanson. 1988. Peptide Hormon Producing Endocrine/Paracrine
Cell in The Gastro-Entero-Pancreatic Region. In Handbook of Chemical
Neuroanatomy. Vol. 6 pp. 219-278.
Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
Weather, P.R., H.G. Burkitt, and V.G Daniels. 1979. Functional Histology. Long
Group Limited, London.