Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang
diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat
trauma ringan. Penyakit ini ditandai dengan gangguan / ketidakmampuan kulit
dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi
tendensi terbentuknya vesikel atau bula karena terkena trauma ringan atau
gesekan ringan. Kobner mengemukakan istilah epidermolisis bulosa tersebut
pada tahun 1986, sedangkan oleh Pearson penyakit ini disebut mehanobulous
sesuai dengan terjadinya bula karena trauma. Kemudian diketahui juga bahwa
bula tidak hanya terletak di epidermis, tetapi juga dapat mengenai mukosa. 1,2
Epidermolisis bulosa berbeda dengan penyakit vesikobulosa kronik lainnya
yang nonherediter, seperti dermatitis herpestiformis Duhring, pemfigoid bulosa
dan pemfigus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terjadinya penyakit
dalam keluarga, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan histopatologis untuk
melihat
letak
bula
terhadap
stratum
basal
serta
pemerikaan
dengan
imunoflorosens dan mikroskop elektron untuk melihat defek pada protein yang
bisa digunakan untuk menentukan klasifikasi dari epidermolisis bulosa. 2,3
Penyakit ini adalah penyakit genetik dan belum ditemukan pengobatan yang
tepat.
Penggunaan
kortikosteroid
jangka
panjang
dikontraindikasikan. 4
II. EPIDEMIOLOGI
Selama tahun 1986-1990, prevalensi penyakit epidermolisis bulosa adalah
sebesar 8 per satu juta populasi degan insiden 19 per 1 juta kelahiran hidup.
Angka insiden per subtipe adalah, epidermolisis bulosa simplex (EBS) sebesar
11 per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa junctional (EBJ) sebesar 2
per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa distrofik (EBD) subtipe
1
dominan sebesar 3 per satu juta kelahiran hidup serta EBD subtipe resesif
sebesar 2 per satu juta kelahiran hidup.2
Menurut data dari Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of
America (DebRA), insiden dari EBJ sebesar 3.86 per satu juta kelahiran hidup
per tahun selama tahun 2007-2011.5 Pada studi yang dilakukan oleh Australasian
EB Registry6 selama Januari 2006 hingga Desember 2008, dari total 259 pasien
yang diikutsertakan dalam penelitian, yang menderita EBS sebanyak 139, EBJ
sebanyak 28, EBD sebanyak 91, dan sindrom Kindler sebanyak 1 orang. Usia
rata-rata pasien EBS dan EBD adalah 24.1 tahun dan rata-rata usia yang lebih
muda ditemukan pada pasien EBJ.
III. ETIOPATOGENESIS
Untuk dapat mengerti etiopatogenesis dan klasifikasi epidermolisis bulosa
maka
penting
untuk
mengetahui
struktur
dan
target
protein
di
taut
distrofik (EBD) dan sindrom Kindler. Target protein dari EBS berada di
desmosom yang menghubungkan keratinosit yang satu dengan yang lainnya.
Sebagian besar target protein yang terlibat di EB di temukan di taut
dermoepidermal. EBS memiliki bula intraepidermal sebab memiliki target protein
keratin 5 (K5) dan 14 (K14) serta K15 dan K17 yang terletak di basal keratinosit
di taut dermoepidermal. Dengan adanya mutasi pada gen keratin menyebabkan
terbentuknya struktur filamen keratin interseluler yang tidak stabil dan mudah
rusak. Selain itu, EBS dapat terjadi akibat pembentukan enzim sitolitik dan
pembentukan protein abnormal yang sensitif terhadap perubahan suhu. Sitolisis
keratinosit dan bula intradermal terjadi karena abnormalitas keratin. 7 Diduga juga
terjadi
defisiensi
enzim
galatomsylhidroxylysyl-glocosyltransferase
dan
gelatinase (enzim degradase kolagen). Selain itu juga terjadi mutasi pada gen
plektin. Plektin adalah proein yang terdapat di membran basal pada attachment
plaque/hemidesmosom
yang
berfungsi
sebagai
penghubung
filamen
IV.GEJALA KLINIS
Gejala klinis dari EB adalah adanya bula, dan bula terbentuk di tempat yang
mudah mengalami trauma walaupun trauma yang ringan, misalnya trauma jalan
lahir. Bula
yang
terbentuk
biasanya
jernih,
kadang
hemoragik,
pada
Weber-Cockayne
adalah
bentuk
paling
umum
dari
Gambar 4. Papul hiperkeratosis dan plak pada telapak tangan EBS Koebner
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217
diperparah dengan
dengan
bula
generalisata.
Sebuah
varian
umum
yang
dan selanjutnya muncul distrofik jaringan parut yang luas yang paling
menonjol
pada
permukaan
akral.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
e. Sindrom BART
Bula terbentuk di bagian dermal membran basal menyebabkan erosi di
bagian ekstremitas, intertriginosa, leher dan bokong. Sembuh spontan dan
meninggalkan bekas hipopigmentasi. Nama lain dari sindrom Bart adalah EB
dengan Congenital Localized Atrophic of Skin. 3
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk melihat apakah terjadi
infeksi bakteri atau virus yang menyertai EB serta untuk menyingkirkan
diagnosis banding, dengan melihat jumlah leukosit dan hitung jenis. Darah
lengkap juga digunakan untuk melihat apakah pasein sedang menderita
anemia yang biasanya ada pada pasien EBD resesif.
b. Endoskopi
10
untuk
dlakukan
pemeriksaan
mutasi
tersebut.
Dengan
f. DIAGNOSIS
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang
terbentuk, yaitu di tempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma
yang ringan. Lokalisasi bula ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik secara lengkap ditujukan untuk menilai kelainan pada mukosa
mulut, mata, serta kuku dan akral yang biasanya menyertai EB. Untuk
pemeriksaan penunjang, diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk melihat letak bula terhadap
11
b. Pemfigoid bulosa
Penderita biasanya usia lanjut (>60 tahun), keadaan umum baik, atau
sakit ringan. Sering disertai gatal. Kelainan kulit terutama bula yang
bercapur dengan vesikel, berdinding tegang, kadang hemoragik dengan
daerah sekitar kemerahan. Lokasinya di daerah fleksor seperti ketiak dan
lipat paha.13
12
c. Pemfigus foliaseus
Merupakan penyakit kronik dan remisinya temporer. Penyakit dimulai
dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding kendur yang kemudian
pecah menjadi erosi dan eksudatif. Ciri khasnya adalah eritema menyeluruh
disertai banyak skuama kasar, dengan bula kendur hanya sedikit. Penderita
mengeluh gatal dan badan menjadi berbau busuk. Lokasinya biasa di
daerah kepala, wajah, dada, daerah seboroik, bersifat simetris.
13
IX.PENATALAKSANAAN
a.
Promotif
Untuk penatalaksanaan promotif adalah dengan memberikan edukasi
pada masyarakat tentang apa itu epidermolisis bulosa dan bagaimana
mengenali gejala dari penyakit ini. Diedukasikan juga bagi keluarga yang
memiliki riwayat epidermolisis bulosa untuk melakukan konseling genetik
bagi yang hendak memiliki anak.4
b.
Preventif
Lakukan konseling genetik pada pasangan yang memiliki riwayat
penyakit epidermolisis bulosa di keluarganya. Untuk sekarang, pengambilan
sampel dapat dilakukan dari vili korionik pada minggu 8-10 atau cairan
13
prednison
140-160
mg/hari
lalu
segera
dilakukan
menghambat
aktivitas
kolagenase.1
Terapi
juga
perlu
14
yang membuat anak sulit makan. Terapi yang bisa diberikan adalah
fenitoin dan steroid oral sirup untuk mengurangi gejala disfagia.
2. Bedah
Tata laksana secara bedah diperlukan apabila sudah terjadi striktur
esofagus, fusi jari-jari tangan atau pseudosindaktil, dan karsinoma sel
skuamosa.4
3. Perawatan
Dijelaskan kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien. Sebisa
mungkin hindari terjadinya gesekan dan trauma yang bisa memicu
terjadinya bula. Hindari menggunakan plester, karena bisa memicu
terjadinya bula. Bula dipecahkan dengan jarum steril yang ditusukkan
dan atapnya dibiarkan. Pada anak-anak, sebaiknya dipilihkan jenis
sepatu yang lunak dan hindari sepatu yang sempit. Kaos kaki dari bahan
katun untuk membantu menyerap keringat dan menghindari gesekan.
Hindari gosokan pada saat memandikan pasien. Suhu lingkungan
diupayakan agar cukup dingin, karena bula mudah terjadi pada suhu
panas. Bagian yang erosi diolesi krim atau salep antibiotik, perawatan
jari tangan harus hati-hati, upayakan mencegah terjadinya kontraktur
dan fusi jari-jari dengan menggunakan bidai jari-jari tangan pada saat
malam hari.1,4
4. Diet
Sebaiknya diberikan makanan tinggi kaori dan tinggi protein dalam
bentuk lunak yang mudah ditelan, terutama apabila terdapat luka di
daerah mulut. Penggonaan dot dihindarkan, karena bisa menembukan
gelembung dan luka di mulut, untuk mencegah trauma, bayi disuapi
dengan sendok. Penelitian mengkonfirmasi, bahwa kekurangan gizi
pada
anak
dengan
epidermolisis
bulosa
akan
menghambat
penyembuhan luka.1,4
d.
Rehabilitatif
Pasien dengan epidermolisis bulosa perlu mendapatkan perawatan yang
ketat untuk luka dan nutrisinya. Inaktivitas karena nyeri dan pembentukan
jaringan parut dapat memicu terjadinya kontraktur. Terapi fisik diperlukan
untuk mencegah terjadinya kontraktur ekstremitas. Whirlpool therapy bisa
15
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi kulit sekunder karena kuman
Staphylococcus atau Streptococcus. Pembentukan jaringan parut dan milia
terjadi akibat pembentukan bula yang dalam. Epidermolisis bulosa yang berat
bisa menyebabkan fibrosis di tangan dan menyebabkan pseudosindaktil
sehingga mengurangi ruang gerak dari palmar dan digiti. Karena luka dan
fibrosis di kaki, pasien dengan epidermolisis bulosa akan mengalami kesulitan
berjalan, Banyak pasien epidermolisis bulosa yang kehilangan kukunya. Pasien
dengan keterlibatan mukosa bisa mengalami striktur esofagus, sehingga
mengurangi asupan gizi pada anak. Akhirnya epidermolisis bulosa bisa
menyebabkan anak gagal bertumbuh. Komplikasi yang fatal lainnya adalah
terjadinya karsinoma sel skuamosa akibat dari luka kronis dan jaringan parut,
terutama pada tipe epidermolisis bulosa yang diturunkan secara autosom
resesif.4
XI.PROGNOSIS
EBS mempunyai prognosis yang baik. Pasien akan bertambah baik seiring
dengan usia, namun pada EBS subtipe herpetiformis yang menyerang neonatus,
mempunyai prognosis yang buruk karena bula generalisata yang luas. Pasien
dengan EB juctional subtipe Herlitz mempunyai angka mortalitas sebesar 87%
dalam 1 tahun pertama kehidupan. Penyebab kematian adalah sepsis, gagal
bertumbuh dan komplikasi trakeolaringeal.5 Prognois buruk juga dialami pasien
EBJ dengan atresia pilorus. Pada pasien dengan EBJ non-letal, akan mengalami
perbaikan klinis seiring dengan pertambahan usia. Pada pasien dengan EBD
tipe resesif, prognosisnya sulit ditentukan karena gejala klinisnya lebih berat dari
EBS tapi lebih ringan dari EBJ.
Pada pasien epidermolisis bulosa yang telah melewati masa anak-anak,
penyebab kematian paling banyak adalah karsinoma sel skuamosa. Kanker ini
16
terjadi khususnya pada pasien dengan EB yang diturunkan secara resesif, yang
paling sering terjadi pada usia 15-35 tahun. 15
XII.
KESIMPULAN
Epidermolisis bulosa adalah penyakit yang jarang dan bila ditemukan maka
pasien harus diawasi dengan ketat. Tata laksana secara holistik dan multidisiplin
diperlukan oleh pasien. Dikarenakan penyakit ini adalah penyakit kronis, maka
edukasi pada pasien dan keluarga mutlak diperlukan.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah Siti. Epidermolisis bulosa. Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editor: Ilmu penyakit kulit dan kelamin; edisi ke 5. Jakarta : Balai penerbit
FKUI. 2007 : 218-25.
2. Fine JD. Inherited epidermolysis bullosa. Orphanet J Rare Dis 2010; 5: 12.
3. Lizbeth R.A. Intong, MD, Dde F. Murrell, MA, BMBCh. Inherited
epidermolysis bullosa: New diagnostic criteria and classification. Clinics in
Dermatology 2012; 30: 7077.
4. Marinkovich Peter. Epidermolysis bullosa. 2014. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217 Diakses pada
2 Mei 2015.
5. Kelly-Mansuco G, Kopelan B, Azizkhan RG, Lucky AW. Junctional
epidermolysis bullosa incidence and survival; 5-year experience of the
Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of America (DebRA)
nurse educator, 2007-2011. Pediatr Dermatol 2014; 31-159.
6. Kho YC, Rhodes LM, Robertson SJ, et al. Epidemiology of epidermolysis
bullosa in the antipodes: the Aaustralasian Epidermolysis Bullosa Registry
with a focus on Herlitz junctional epidermolysis bullosa. Arch Dermatol 2010;
146: 635.
7. Hurwitz S. Bullous disorder of childhood. Dalam Clinical pediatric
dermatology, a textbook of skin disorders of chidhood and adolesence; edisi
ke-2. Philadelphia : W.B. Sauders. Co. 1993 : 432-5, 439-41.
8. Atherton DJ. Epidermolysis bullosa. Dalam Harper J. Oranje A, Prose N,
editor : Textbook of Pediatric Dermatology. London: Blackwell Science Ltd.
2000 : 1075-80.
9. Mahajan VK, Sharma NL and Sharma RC, Kindler syndrome. Orphanet
Encyclopedia. Mars 2005. Diunduh dari
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-kindler.pdf Diakses pada 2 Mei 2015
10. White GM, Cox-Neil H. Disease of the skin. Pediatric dermatology. 2002.
Diunduh dari http://www.merckmedicus.com Diakses pada 5 Mei 2015.
11. Woodley TD, Chen Mei. Epidermolysis bullosa acquisita. Dalam Fitzpatrick
TB, Eizem AZ, Wolf K, freedberg and Austen KFs : Dermatology in general
medicine; edisi ke-7. New York : Mc.Graw-Hill Company. 2008 : 494
12. Yiasemides E, Walton J, Marr P, et al. A comparative study between
transmission electron microscopy and immunofluorescence mapping in the
diagnosis of epidermolysis bullosa. Am J Dermatopathol 2006;28: 387-94.
13. Siregar RS. Epidermolisis bulosa. Dalam Atlas berwarna saripati penyakit
kulit. Jakarta : EGC. 2005 : 141-4.
14. Tjipta GD, Nasution A. Epidermolisis Bullosa, Laporan kasus. 2001. Diunduh
dari http://www.kalbe.co.id Diakses pada 3 Mei 2015.
15. ARisser J, Lewis K, Weinstock MA. Mortality of bullous skin disorders from
1979-2002 in the United States. Arch Dermatol. Sep 2009; 145(9): 1005-8.
18