You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah
satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu
termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada
kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena
mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih
banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan
baik dan benar.
Banyak orang-orang yang melakasanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa
mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya,pada saat
mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika
sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang apa itu puasa, manfaat
puasa, hikmah puasa, dan alasan mengapa kita wajib menjalankannya.
2. Pokok Masalah
Sebagai orang muslim sangatlah wajib bagi kita untuk mengetahui, bahkan untuk paham
betul apa itu puasa, sarat sahnya puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, dan manfaat,
serta hikmah puasa bagi kita.
Dan berdasarkan latar

belakang masalah yang telah dijelaskan, maka kami

mendapatkan beberapa pokok permasalahan di dalam pembahasan ini. Diantaranya ialah:


Penyebab orang-orang tidak menjalankan ibadah puasa
Berpuasa tanpa mengetahui apa syarat dan ketentuan puasa
Bagaimana cara berpuasa tanpa mengurangi aktivitas kita
Tidak mengetahui fidyah yang akan dibayar jika meninggalkan puasa
3. Tujuan makalah
Adapun tujuan dari makalah ini kami buat adalah :
Agar ummat islam selalu melaksanakan ibadah puasa dengan baik dan benar.
Bisa melaksanakan puasa dengan ikhlas
Untuk mengetahui semua hal yang membahas tentang puasa dan bersangkut paut
dengan puasa.

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Udzur
Udzur adalah alasan-alasan tertentu yang diperkenankan oleh agama bagi seseorang
untuk tidak berpuasa ramadhan. Dengan adanya udzur itu, seorang muslim yang wajib
menunaikan ibadah puasa di bulan ramadhan, diberikan keringanan untuk tidak berpuasa dan
dapat menggantinya di lain hari di luar bulan ramadhan.
Udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah : sakit,
bepergian, seperti yang diterangkan dalam Al-Quran, termasuk udzur pula seorang
perempuan yang hamil dan mengkhawatirkan keadaan dirinya dan janin yang dikandungnya.
Termasuk udzur pula seorang perempuan yang sedang menyusui, dia khawatir kalau dia
berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang disusuinya, juga saat seseorang
membutuhkan untuk berbuka guna menyelamatkan orang yang diselamatkan dari kematian,
misalnya dia mendapati seseorang tenggelam di laut, atau seseorang yang berada diantara
tempat yang mengelilinginya yang di dalamnya ada api sehingga dia butuh dalam
penyelamatannya- untuk berbuka, maka dia diwaktu itu boleh berbuka dan menyelamatkan
dirinya.
Demikian pula apabila seseorang butuh berbuka puasa untuk menguatkannya dalam
jihad fisabilillah, maka sesungguhnya keadaan ini menjadi sebab kebolehan berbuka baginya,
karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda kepada para sahabat beliau di dalam
perang Fathu Makkah.
Artinya : Sesungguhnya kalian pasti bertemu musuh besok, sedangkan berbuka puasa akan
lebih menguatkan kalian, maka berbukalah kalian !
Apabila didapatkan sebab yang membolehkan berbuka dan seseorang berbuka
karenanya, maka dia tidak lagi berkewajiban menahan diri dari makan minum pada sisa
harinya itu. Apabila ditetapkan bahwa seseorang boleh berbuka untuk menyelamatkan yang
diselamatkan dari kematian maka dia tetap meneruskan keadaan berbuka (tidak puasa)
walaupun sesudah penyelamatannya, karena dia berbuka dengan sebab dibolehkannya berbuka
bagi dia sehingga tidak harus menahan diri dari makan minum ketika itu. Sebab keharaman
hari itu telah hilang disebabkan kebolehan berbuka puasa.

Uzur Syari Yang Membolehkan Tidak Berpuasa


Tidak berpuasa ramadhan hukumnya boleh jika terdapat beberapa udzur syari, penjelasan
udzur syari tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, perjalanan. Dalilnya adalah firman Allah swt:

.dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Dalam bahasa arab, safar (perjalanan) artinya kepergian yang memerlukan biaya serta
menempuh jarak tertentu. Tidak ada nash syarI menganai hal ini, hanya saja ada isyarat
tentangnya, yaitu sabda nabi saw dalam haidt shahih,

wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan perjalanan sejauh
jarak sehari semalam kecuali bersama mahramnya. (HR. Ibnu Huzaimah)

Tidak (boleh) wanita bepergian di atas 3 (hari) kecuali bersama mahramnya. (HR Muslim)

Tidak boleh wanita bepergian 3 hari lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya, saudara lakilakinya, suaminya atau mahramnya. (HR Al-Baihaqi)
Orang yang sedang safar dan menempuh jarak yang memperbolehkannya shalat
qashar, maka diperbolehkan untuk berbuka pada bulan Ramadhan, sesuai kesepakatan para
ulama, baik dia mampu untuk melakukan shaum ataupun tidak, dan baik shaumnya itu
memberatkan dirinya maupun tidak.
Adapun jarak yang memperbolehkan seseorang untuk mengqashar shalatnya dan
berbuka, menurut madzhab Maliki, Syafii dan Ahmad adalah perjalanan yang ditempuh
dengan unta atau berjalan kaki selama dua hari, misalnya perjalanan antara Makkah dan
Jeddah, atau perjalanan yang berjarak 16 farsakh, yaitu sekitar 48 mil ( 88,7 Km). Dan
menurut Imam Abu Hanifah adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari.
Syaratnya menurut jumhur adalah perjalanan dimulai sebelum terbit fajar dan tiba di
tempat yang menjadi titik awal bolehnya qashar dalam keadaan telah meninggalkan rumahnya.
Adapun madzhab hanbali membolehkan musafir untuk tidak berpuasa meskipun dia berangkat
dari negrinya pada siang hari, walaupun kebarangkatannya itu sesudah waktu dzuhur.
Ada dua syarat lain menurut jumhur ulama, yaitu : perjalanan itu mubah, dan tidak
diniati untuk bermukim selama empat hari. Madzhab maliki membolehkan tidak berpuasa
karena perjalanan dengan empat syarat; perjalanan itu jaraknya sejauh perjalanan yang
membolehkan shalat qashar, perjalanan itu harus mubah, berangkat sebelum terbit fajar
apabila itu adalah hari petama, dan meniatkan untuk tidak berpuasa pada malam hari.
Jika seorang musafir berpuasa, maka sah puasanya dan gugur kewajibannya. Ulama
empat madzhab bersepakat akan hal tersebut. pendapat mereka berlandaskan pada hadist anas,
3

beliau berkata, dulu kami sering melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw, tapi tidak
pernah orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, juga tidak pernah terjadi
sebaliknya.
Kedua, sakit.
Yaitu kondisi yang mengakibatkan berubahnya tabiat menjadi rusak. Kondisi seperti ini
dibolehkan tidak berpuasa, sama seperti perjalanan, dengan dalil firman Allah swt,.dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
Ukuran sakit yang membolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang mendatangkan
kesukaran berat bagi penderitanya, atau dikhawatirkan akan mati jika berpuasa, atau
dikhawatirkan penyakitnya tambah berat atau lambat sembuhnya disebabkan berpuasa. Jika
si sakit tidak terancam bahaya apapun jika berpuasa (seperti penderita kudis, sakit gigi, linu di
jari jemari, bisul dan sejenisnya) dia tidak boleh meninggalkan puasa.
Jika ada dugaan kuat akan terjadi kebinasaan lantaran berpuasa, atau terjadi mudarat yang
berat (misalnya disfungsi salah satu indra), maka wajib meninggalkan puasa.
Menurut maadzhab maliki orang sakit memiliki empat keadaan, yaitu sebagai berikut:
pertama, sama sekali tidak mampu berpuasa atau khawatir menyebabkan kematian atau
khawatir lemah tubuhnya. Dalam kedaan ini boleh meninggalkan puasa. Kedua, mampu
berpuasa namun dengan kondisi berat. dalam kedaan ini diperbolehkan meninggalkan puasa.
Ketiga, mampu berpuasa namun dengan sukar serta khawatir sakitnya bertambah parah.
Dalam keadaan ini wajib tidak berpuasa. Keempat, puasa tidak berat dan dengannya
tidak khawatir bertambah parah sakitnya. Dalam kedaan ini tidak boleh meninggalkan puasa.
Para ulama bersepakat bahwa orang sakit maupun musafir tidak sah berpuasa sunnah pada
bulan ramadhan. Begitu juga menegrjakan puasa wajib lainnya di bulan ramadhan.
Orang sakit dan musafir menurut madzhab syafiI harus membayar kafarah disamping
mengqadha puasa apabila telah datang bulan ramadhan berikutnya, sementara belum
mengqadhanya. Kafaratnya adalah memberi makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya
dari jenis makanan pokok yang berlaku secara umum di negrinya.

Ketiga, hamil dan menyusui.


4

Wanita hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika khawatir atas dirinya atau
anaknya mendapat mudarat, dan kekhawatiran tersebut berupa lemahnya kecerdasan, mati atau
sakit. Kekhwatiran tersebut ditentukan dengan praduga kuat dengan berlandasakan pada
pengalaman sebelumnya atau dengan landasan informasi seorang dokter muslim yang kredibel
dan terpercaya.
Dalil bolehnya tidak berpuasa bagi dua wanita tersebut adalah qiyas kepada orang sakit dan
musafir, juga berdasakan sabda nabi saw,





sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan separuh shalat
dari pundak musafir, dan menggugurkan puasa dari pundak wanita yang hamil dan wanita
yang menyusui. (H.R.Ahmad)
Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan keselamatan jiwa mereka, atau
beserta anak-anak mereka sendiri, maka diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka. Namun
wajib untuk mengqadha shaum yang ditinggalkannya dan tidak diwajibkan membayar fidyah,
seperti halnya orang sakit yang diperbolehkan berbuka. (Al-Mughni, 3/139, Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta,10/220,161)
Dan jika mereka hanya mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya saja, bukan
keselamatan jiwa mereka sendiri, maka diperbolehkan berbuka, dan diwajibkan untuk
mengqadha shaum yang ditinggalkannya, ditambah dengan membayar fidyah shaum yang
ditinggalkannya, karena sebenarnya mereka mampu untuk melaksanakan shaum. (Al-Mughni,
3/139, Majmu Fatawa,25/218)
Namun Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui jika meninggalkan shaum cukup baginya untuk membayar fidyah, tidak perlu untuk
mengqadha shaum yang ditinggalkannya.
Dari Imam Malik, dari Nafi, bahwa Ibnu Umar RA ditanya tentang wanita hamil bila
khawatir terhadap (kesehatan) anaknya. Dia menjawab, Dia berbuka dan memberi makan
kepada satu orang miskin setiap hari sebanyak satu mud gandum. Dan Ad-Daroquthni
meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar RA dan dia menshahihkannya, ia berkata, Wanita
hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak wajib mengqhada. Dan dia meriwayatkan dari
jalur yang lain, Bahwasanya istrinya bertanya kepadanya disaat dia sedang hamil, ia berkata,
Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin setiap hari dan dia tidak wajib
mengqhada. Dan isnadnya jayyid (baik). Dan dari jalur ketiga, darinya, Sesungguhnya anak
perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, dan dia sedang mengandung. Lalu
dia merasa kehausan di bulan Ramadhan. Maka dia menyuruhnya berbuka, dan memberi
makan satu orang miskin setiap hari.
Sedangkan ukuran fidyah adalah satu mud gandum, yang sepadan dengan sha atau 675
gram bahan makanan lain.
Kelima, usia lanjut.
5

Allah SWT berfirman:



dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (tidak shaum) untuk membayar
fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin ( QS. Al Baqarah: 184 )
Ibnu Abbas RA berkata, Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) bagi laki-laki atau
wanita tua renta yang apabila tidak sanggup menjalankan shaum, diperbolehkan bagi mereka
untuk berbuka dan setiap harinya memberi makan seorang miskin sebagai ganti satu hari
shaumnya. (Lihat shahih Bukhari, no. 4505, Tafsir Ath-Thabari, 2/79)
Para ulama berijma bahwa orang tua renta, yang tidak mampu berpuasa sepanjang
tahun, boleh tidak berpuasa. Dan tidak wajib mengqadha karena tidak memiliki kemampuan.
Diwajibkan atasnya hanya membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin setiap hari.
Keenam, rasa lapar dan haus yang luar biasa.
Boleh tidak berpuasa (tapi wajib mengqadha) bagi orang yang mengalami rasa lapar
atau haus yang amat sangat, dengannya dikhwatirkan menyebabkan kematian, menurun
kecerdasannya, atau salah satu indranya tidak berfungsi dengan baik, sehingga dengan kondisi
tersebut tidak mampu berpuasa. Jika dikhawtirkan menyebabkan kematian lantaran berpuasa,
maka haram mengerjakan puasa. Berdasakan firman Allah,


dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Albaqarah:195)
Ketujuh, pemaksaan.
Boleh tidak berpuasa bagi orang yang dipaksa orang lain, namun harus mengqadha puasanya
menurut jumhur ulama. Sedangkan menurut madzhab syafiI puasa orang yang dipaksa tidak
batal. Dan Apabila seorang wanita disetubuhi secara paksa atau dalam kedaan tertidur, maka
dia harus mengqadha puasanya.
Hikmah puasa
Puasa memiliki hikmah yang sangat besar terhadap manusia, baik terhadap individu maupun
social, terhadap ruhani maupun jasmani.
Terhadap ruhani, puasa juga berfungsi mendidik dan melatih manusia agar terbiasa
mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri setiap individu. Puasa juga mampu melatih
kepekaan dan kepedulian social manusia dengan merasakan langsung rasa lapar yang sering di
derita oleh orang miskin dan di tuntunkan untuk membantu mereka dengan memperbanyak
shadaqah.
6

Sedangkan terhadap jasmani, puasa bisa mempertinggi kekuatan dan ketahanan jasmani kita,
karena pertama, umumnya penyakit bersumber dari makanan, dan kedua, sebenarnya Allah
SWT menciptakan makhluq-Nya termasuk manusia sudah ada kadarnya. Allah memberikan
kelebihan demikian pula keterbatasan pada manusia, termasuk keterbatasan pada soal kadar
makan-minumnya.
Berikut ini hikmah yang kita dapatkan setelah berjuang seharian sacara umum:
1. Bulan Ramadhan bulan melatih diri untuk disiplin waktu. Dalam tiga puluh hari kita
dilatih disiplin bagai tentara, waktu bangun kita bangun, waktu makan kita makan, waktu
menahan kita sholat, waktu berbuka kita berbuka, waktu sholat tarawih, iktikaf, baca
quran kita lakukan sesuai waktunya. Bukankah itu disiplin waktu namanya? Ya kita
dilatih dengan sangat disiplin, kecuali orang tidak mau ikut latihan ini.
2. Bulan Ramadhan bulan yang menunjukkan pada manusia untuk seimbang dalam hidup. Di
bulan

Ramadhan

kita

bersemangat

untuk

menambah

amal-amal

ibadah,

dan amal-amal sunat.


3. Bulan Ramadhan adalah bulan yang mengajarkan Manusia akan pentingnya arti
persaudaraan, dan silaturahmi.
4. Bulan Ramadhan mengajarkan agar peduli pada orang lain yang lemah.
5. Bulan Ramadhan mengajarkan akan adanya tujuan setiap perbuatan dalam kehidupan.
6. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita hidup ini harus selalu mempunyai nilai ibadah.
Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada
manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai
tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga
kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.
7. Bulan Ramadhan melatih diri kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap perbuatan,
terutama yang mengandung dosa.
8. Bulan Ramadhan melatih kita untuk selalu tabah dalam berbagai halangan dan rintangan.
9. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan arti hidup hemat dan sederhana.
10. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan pentingnya rasa syukur kita, atas nikmatnikmat yang diberikan pada kita.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Puasa adalah salah satu rukun islam, maka dari itu wajiblah bagi kita untuk melaksanakan
puasa dengan ikhlas tanpa paksaan dan mengharap imbalan dari orang lain. Jika kita berpuasa
dengan niat agar mendapat imbalan atau pujian dari orang lain, maka puasa kita tidak ada
artinya. Maksudnya ialah kita hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dan tidak mendapat
pahala dari apa yang telah kita kerjakan. Puasa ini hukumnya wajib bagi seluruh ummat islam
sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita. Sebagaimana firman Allah
swt yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa(Q.S AlBaqarah)
Berpuasalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah swt. Allah telah
memberikan kita banyak kemudahan(keringanan) untuk mengerjakan ibadah puasa ini, jadi
jika kita berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah kami sebutkan diatas, kita
sendiri akan merasakan betapa indahnya berpuasa dan betapa banyak faidah dan manfaat yang
kita dapatkan dari berpuasa ini.
Maka dari itu saudara-saudari kami sekalian, janganlah sesekali meninggalkan puasa, karena
puasa ini mempunyai banyak nilai ibadah. Mulai dari langkah, tidur dan apapun pekerjaan
orang yang berpuasa itu adalah ibadah.

You might also like