Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
DEFINISI
Ensefalitis
adalah
inflamasi
jaringan
otak
oleh
berbagai
macam
mikroorganisme: virus, bakteri, jamur, protozoa atau parasit. Proses radang pada
ensefalitis jarang terbatas pada otak saja, tetapi dapat pula mengenai selaput otak.
Jika radang mengenai otak dan selaput otak maka disebut meningoensefalitis.
Sebagian besar kasus ensefalitis tidak diketahui penyebabnya, namun
penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Penyebab utama ensefalitis virus
adalah virus herpes dan keluarga virus arbovirus. Angka kematian ensefalitis masih
tinggi, berkisar 35%-50% dengan gejala sisa yang tinggi pada pasien.
KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi ensefalitis virus antara lain sebagai berikut.
1. Berdasarkan tahapan virus menginvasi otak,
ensefalitis virus terbagi menjadi:
a. Ensefalitis primer, virus langsung menyerang
otak.
b. Ensefalitis primer yang belum diketahui
penyebabnya.
c. Ensefalitis sekunder, diawali adanya infeksi sistemik atau
vaksinasi, dan ensefalitis timbul sebagai komplikasi
penyakit virus yang sudah ada.
2. Berdasarkan jenis virus, ensefalitis virus terbagi
menjadi:
a. Ensefalitis virus sporadik (tidak tergantung pada letak geografi):
Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes Zoster, virus rabies, virus
mumps.
b. Ensefalitis virus epidemik (tergantung letak geografis):
EPIDEMIOLOGI
Studi epidemiologi CDC (The Centers for Disease Control and Prevention)
memperkirakan kejadian tahunan sekitar 20.000 kasus baru ensefalitis di Amerika
Serikat dengan dua penyebab non-endemik paling umum adalah virus herpes
simpleks dan virus rabies. Kejadian tahunan di negara-negara berkembang sendiri
sering diremehkan, terutama karena masalah dalam deteksi infeksi patogen.
Japanese encephalitis menyerang setidaknya 50.000 orang per tahun, terutama di
kawasan China, Jepang, India, dan Asia Tenggara. Virus herpes simpleks menjadi
penyebab yang paling sering (16%), disusul ECHO virus (8%), diikuti oleh virus
varicella (5%), virus mumps (4%), dan virus influenza A (4%). Anak-anak
merupakan kelompok yang paling sering terkena, namun tingkat keparahan
meningkat pada neonatus dan bayi.7
ETIOLOGI
1. Virus
ke organ lain.
Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan
selaput lender dan menyebar melalui system saraf.
terjadi multiplikasi dan penyebaran ke dalam aliran darah dan mengakibatkan infeksi
pada beberapa organ.
Pertumbuhan virus mulai di jaringan ektraneural seperti usus atau kelenjar
getah bening (poliomyelitis, saluran pernafasan bagian atas atau mukosa
gastrointestinal (arbovirus), dan jaringan lemak (poliomyelitis, rabies, variola). Pada
stadium ini (fase ekstraneural), ditemukan penyakit demam nonpleura, dan sistemis.
Di dalam tubuh manusia, virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian
menjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus
koroideus. Jalur lain ialah melalui saraf perifer (gerakan sentripetal) atau secara
retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies, dan
herpes zoster.
Di dalam system saraf pusat, virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak menyebabkan meningitis aseptik dan
ensefalitis (kecuali rabies). Pada meningitis aseptik, proses radang terjadi di mening
dan koroid yang menjadi hiperemik disertai infiltrasi limfosit. Pada ensefalitis
terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi intraceluler inclusion bodies,
peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak. Juga terdapat peradangan
pada pembuluh-pambuluh darah kecil, thrombosis dan proliferasi astrosit dan
microglia. Neuron-neuron yang rusak dimakan oleh makrofag atau mikroglia, disebut
sebagai neuronofagia yaitu sesuatu yang khas bagi ensefalitis primer.
Di dalam medulla spinalis, virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang
intersisial pada saraf-saraf seperti yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks. Pada
ensefalitis sel-sel neuron dan glia mengalami kerusakan.
Kerusakan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
1. Invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi
aktif;
2. Reaksi hospes terhadap antigen virus, yang berakibat demielinisasi dan
kerusakan vaskular, walaupun virusnya sendiri sudah tidak ada di jaringan.
3. Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten.
Iritasi meningens berupa kaku kuduk, biasanya timbul 1-3 hari setelah sakit. Demam
tetap tinggi, kontinu, dan lamanya demam dari permulaan penyakit berlangsung 7-8
hari. Otot kaku dan terdapat pula kelemahan otot, yang menyeluruh, timbul pada
minggu ke-2 atau ke-3, bila berlangsung hebat dan luas kadang memerlukan istirahat
lama, bahkan dapat menetap sampai kebanyakan gejala lain mereda. Muka tanpa
ekspresi, ataksia, tremor kasar, gerakan tidak sadar, kelainan saraf sentral, paresis,
refleks patologis Babinsky positif. Berat badan menurun disertai dehidrasi.
Pada kasus ringan, penyakitnya perlahan mulai hilang, demam tidak tinggi,
nyeri kepala ringan, dan demam akan menghilang pada hari ke-6 atau ke-7 dan
kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah mulainya penyakit.
Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang seperti epilepsi, hiperpireksia,
kelainan neurologik yang progresif, diakhiri dengan kematian pada hari ke-7 atau ke10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu lama, kadang terkena
penyulit berupa infeksi bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen.
b. Stadium Subakut
Pada stadium subakut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang,
namun seringkali pasien menghadapi masalah infeksi saluran kemih dan dekubitus.
Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai
akibat perawatan lama dan pemasangan kateter urin, gangguan saraf kranial, dan
gangguan ekstrapiramidal.
c. Stadium Konvalesens
Stadium konvalesen dapat berlangsung lama dan ditandai dengan kelemahan,
letargi, gangguan koordinasi, tremor, dan neurosis. Berat badan dapat sangat
menurun. Stadium ini dimulai dengan menghilangnya inflamasi, saat suhu tubuh
kembali normal. Gejala neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Gejala
sisa yang sering dijumpai ialah gangguan mental, berupa emosi tidak stabil, paralisis
upper atau lower motor neuron. Gejala ini ditemukan pada 5-70% kasus, terutama
pada usia anak di bawah 10 tahun, biasanya pada bayi akan lebih berat. Sekuele
dapat berupa gangguan pada:
a. Sistem motorik: motorik halus (72%), lumpuh (44%)
b. Perilaku: agresif (72%), emosi tak terkontrol (72%), gangguan perhatian
(55%), depresi (38%)
c. Intelektual: retardasi (22%)
dengan
titer
antibodi.
Pemeriksaan
PCR
mempunyai
10
normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis. CT scan
berguna untuk menunjukkkan adanya komplikasi (perdarahan, hidrocephalus,
atau herniasi). MRI lebih sensitif daripada CT scan dalam mengidentifikasi
ensefalitis virus. MRI memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling
cepat dua hari setelah munculnya gejala.
11
DIAGNOSIS
Ensefalitis memiliki berbagai macam penyebab, namun gejala klinis
ensefalitis kurang lebih sama dan khas, sehingga gejala klinis tersebut dapat
digunakan sebagai penegak diagnosis.
Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan awal demam, nyeri kepala, kesadaran menurun,
tremor, dan kaku kuduk. Demam berupa suhu mendadak naik, sering ditemukan
hiperpireksia. Kesadaran juga dengan cepat menurun bisa stupor sampai koma.
Biasanya anak-anak yang berusia lebih besar sering mengeluh nyeri kepala sebelum
kesadarannya menurun. Kejang dapat bersifat umum, fokal, atau hanya twitching
saja.
Pemeriksaan fisik:
-
Hiperpireksia
Kesadaran menurun sampai koma
Kejang, dapat berupa status konvulsivus
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial
Gangguan serebral: gejala khas kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastis,
hiperrefleks, reflek patologis, dan klonus)
12
13
membantu
diagnosa
dengan
penyuntikan
udara
pada
Papiledema
2.
3.
4.
5.
Pungsi dilakukan di kolumna vertebralis setinggi L4-L5 (pada bayi dan anak).
Bersihkan dengan alkohol/yodium pada daerah yang dipungsi.
Dapat diberikan anastesi lokal lidokain HCl.
Gunakan sarung tangan steril dan lakukan pungsi, masukkan jarum tegak lurus
dengan ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan
menembus jaringan meningen, penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar
Sakit kepala
Nyeri punggung, terutama di lokasi bekas pungsi diakibatkan spasme otot.
Infeksi
Herniasi
Hematom dengan penekanan pada radiks
Tumor epidermoid intraspinal
15
DIAGNOSIS BANDING
a.
b.
c.
d.
Meningitis bakterial
Tumor otak
Ensefalopati
Sindrom reye
MANIFESTASI KLINIS
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
ENSEFALOPATI
Penurunan
pemberian
oksigen ke otak
Penurunan
kesadaran,
CT
Scan:
serebri
dalam
24
sampai
48
jam
pertama,
koma.
edema
menjadi
MENINGITIS
a. Meningitis
Bakterialis
berupa
malas
Warna : keruh
Jumlah leukosit
pleositosis
muntah,
(>1000/mm3),
diare,
hipotermi,
besar
kejang,
ubun-ubun
menonjol,
lemas
-
Lumbal pungsi :
dan
leher
kesadaran
menurun.
Pada anak gejala: demam,
mual,
muntah,
gelisah,
sakit
kepala,
kejang
berulang,
fotofobia,
dominan PMN
Kadar
gula
rendah(<0,40)
Protein
meningkat
(>200mg/mm3)
Kultur
dan
resistensi bakteri
Pengukuran kadar C-
LCS
uji
reactive protein
16
penurunan kesadaran.
Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk, tanda brudzinski dan
kernig biasanya tidak ditemukan
pada anak<2tahun
b. Meningitis
tuberkulosis
Demam,
sakit
perut,
ada
kelainan
Laboratorium : LED
meningkat,
neurologis
Umumnya berlangsung 1-3
m,
minggu
Stadium II (stadium transisi)
-
abdomen
patella
Gangguan
otak/bantang
pupil,
gangguan
penglihatan(gangguan
saraf otak III, IV, VI, VII)
Stadium III (koma)
-
Pupil
kadang
tidak
timbul
dibiarkan
mengendap
akan
membentuk
batang-
batang
Jumlah sel lekosit :
menurun (<40mg/dl)
Protein
meningkat
(>40 mg/dl)
Kultur
dan
menghilang,
bila
10-1000/mm3, awal :
lekosit,
uji
resistensi bakteri
Bilasan
lambungkultur
Uji tuberkulin(+)
Radiologi : foto
thoraxlesi di paru,
bereaksi,
spasme
CT scan ditemukan
hidrosefalus
Pemeriksaan
17
klonik
pada ekstremitas,
CRP,ELISA
Funduskopituberke
tinggi,
l di retina
edema
pupil, hiperglikemi
Hidrosefalus terutama pada
pasien yang penyakitnya
berlangsung lebih dari 3
minggu.
c. Meningitis
Aseptik
Demam, muntah
Lumbal pungsi :
Kejang
Gangguan kesadaran yang
- Warna : jernih
- Kadar gula LCS dapat
tidak begitu dalam
Tanda rangsang meningeal
tetap normal
- Jumlah
lekosit
:
(+)
-
SINDROM REYE
ditemukan :
Warna : jernih
Jumlah sel lekosit:
meningkat
Kadar
gula
dengan
sulit
pleositosis limfositer
Kultur
hati
Tahap
3:
tahap
1&2
LCS
normal
CT
scan/MRIedema
serebral difus
EEG:
kelainan
ensefalopati difus
Diagnosis
pasti:
biopsi hati fatty
18
pupil,
gagal
dan
hepatis.
disfungsi
sirosis
Terdapat
peningkatan
hati
Tahap 5: koma dalam,
kejang,
liver
amonia
organ,
hiperammonemia
Pemeriksaan: peningkatan
tekanan intrakranial, tetapi
jarang
terjadi
defisit
neurologik fokal.
ABSES OTAK
infeksi,
Kadang
peningkatan
terdapat
leukositosis
dan
LED meningkat
EEG
X-foto sinus dan
neurologik fokal
mastoid(untuk
mencari
sumber
infeksi primer)
Foto kepala
CT scan, MRI
X foto thorax
Lumbal
kontraindikasi
pungsi
pada
abses
otak
TUMOR
INTRASEREBRI
CT scan kepala
ventrikular.
Disfungsi neurologik fokal
Sakit
kepala
rekuren,
19
muntah
Penurunan
neurologik
berjalan),
yang
20
TATALAKSANA
a.
1.
Farmakologis
Jika kejang dapat dilihat algoritma penanganan kejang.
Sebelum ke rumah sakit, jika kejang anak diberikan diazepam perrektal berupa gel (sediaan 5 mg, 10 mg, dan 20 mg) dengan dosis
maksimal 5 mg untuk anak kurang dari 5 tahun, 7,5 mg untuk anak
usia 5-10 tahun, dan 10 mg untuk anak berusia lebih dari 10 tahun.
Diazepam intravena (sediaan 5 mg/ml) diberikan dengan dosis 0,30,5/mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal pada anak kurang dari 5
tahun diberikan 5 mg, anak 5-10 tahun diberikan 7,5 mg, dan anak
2.
4.
100-150 mg/dl.
Mengurangi edema serebri
Pemberian deksametason intravena dosis 0,15-1 mg/kgBB/hari dalam
empat dosis dapat diberikan beberapa hari dan diturunkan perlahan
bila tekanan intrakranial menurun. Deksametason juga dapat
5.
21
b.
Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif
2. Makanan tinggi kalori tinggi protein
22
Hospital
Kejang (-)
5-7 mg/kg 12 jam
kemudian
Kejang (-)
4-5 mg/kg 12 jam
kemudian
ICU
Midazolam 0.2
mg/kg/iv bolus
Dilanjut infus 0.10.4/mg/kg/jam
Fenobarbital/sibital 20 mg/kg/iv
(kec >5-10 menit, max 1000mg
0-10 menit
10-20
menit
Monitor:
Tanda vital
EKG
Gula darah
Elektrolit
serum (Na, K,
Ca, Mg, Cl)
Analisa gas
darah
20-30 menit
30-60 menit
Refrakter
Pentotal Tiopental
5-8 mg/kg/iv
Propofol 3-5
mg/kg/infus
23
Ya
Tidak
CT secepatnya
Kontraindikasi radiologis
untuk LP?
Tidak
Lumbal Pungsi:
Cek glukosa, protein, gambaran makros, uji
PCR, kalau memungkinkan isolasi virus. Jika
hasil negatif ulangi 24-48 jam kemudian. Jika
hasil menunjukkan tanda infeksi virus, berikan
asiklovir IV.
Uji pencitraan
Ya
Asiklovir
IV
24
Keterangan:
*) Kontraindikasi klinik lumbal pungsi:
Komplikasi
a. Susunan
saraf
pusat:
kecerdasan,
motoris,
psikiatris,
epileptik,
25
Prognosis sukar diramalkan tergantung pada usia, berat atau tidaknya kasus,
kekuatan sistem imun, kecepatan dan ketepatan pertolongan dan penyulit yang
muncul.
1. Sembuh tanpa gejala sisa
2. Sembuh dengan gejala sisa, bisa gangguan mental atau gangguan tingkah
laku, paresis/paralisis, gangguan penglihatan, dan gangguan neurologis lain.
3. Kematian bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Angka
kematian
masih
tinggi,
berkisar
antara
35-50%,
terutama
apabila
keterlambatan pengobatan lebih dari empat hari, terutama pada pasien yang
sempat koma, seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa berat.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Encephalitis.
Available
from:
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?
articlekey=58863&pf=3&page=1 Diunduh pada tanggal 2 Januari 2015.
2. Ensefalitis, Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi
Pertama. Badan Penerbit IDAI: 2010. p 67-69.
3. Kneen, R., et al. Management of Suspected Viral Encephalitis in Children
Association of British Neurologist and British Paediatric Allergy Immunology
and Infection Group National Guidelines. Journal of Infection from British
Infection Association: 2012 (64); p 449-477.
4. Ensefalitis, dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi Pertama.
Badan Penerbit IDAI: 2004. p 198-199.
5. Solomon T, Hart IJ, Beeching NJ. Review: Viral encephalitis: a clinicals
guide. British Medical Journal 2007;7;p 288-305.
6. Viral
Encephalitis.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/1166498-overview
from:
Diunduh
pada
27
11. Nelson, W.E., et al. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15. Jakarta:
EGC. 2000, p 880-883
12. Schwartz, W, et al. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta 2004, p 202-205.
13. Soegijanto, S. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta:
28