You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di


negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu infeksi yang cukup
serius dampaknya adalah infeksi saraf pusat. Diagnosis yang terlambat dan
penatalaksanaan yang tidak sesuai akan berakhir dengan kematian atau disabilitas
yang serius. Diagnosis yang ditegakkan sedini mungkin serta terapi yang cepat dan
tepat dapat membantu mengurangi angka kematian.
Angka kematian untuk penyakit infeksi susunan saraf pusat masih tinggi,
misalnya pada ensefalitis berkisar antara 35-50%. Penderita yang hidup 20-40%
mempunyai komplikasi atau gejala sisa yang melibatkan sistem saraf pusat yang
dapat mengenai gangguan pendengaran yang bersifat sensorineural, gangguan
penglihatan, retardasi mental, gangguan bicara, gangguan belajar, kelainan saraf
kranial, ataksia, kejang berulang, hidrosefalus, dan paresis anggota gerak. 1.2
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme, dan penyebab tersering dan terpenting adalah virus.2
Ensefalitis virus biasanya disebabkan oleh virus herpes dan beberapa dari famili dari
arbovirus. Mikroorganisme lain yang bisa menyebabkan terjadinya ensefalitis
diantanya ialah protozoa seperti Toxoplasma gondii, dan bakteri seperti Listeria
monocytogenes dan Mycobacterium tuberculosis.5
Menurut statistik dari 214 ensefalitis, 514% (115 orang) dari penderitanya
ialah anak anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks
(31%), yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa
ensefalitis primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%.
Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis parainfeksiosa masing masing mencakup 40% dan 41% dan semua kasus ensefalitis
yang telah diselidiki.6-8

BAB II
ISI
DEFINISI
Ensefalitis

adalah

inflamasi

jaringan

otak

oleh

berbagai

macam

mikroorganisme: virus, bakteri, jamur, protozoa atau parasit. Proses radang pada
ensefalitis jarang terbatas pada otak saja, tetapi dapat pula mengenai selaput otak.
Jika radang mengenai otak dan selaput otak maka disebut meningoensefalitis.
Sebagian besar kasus ensefalitis tidak diketahui penyebabnya, namun
penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Penyebab utama ensefalitis virus
adalah virus herpes dan keluarga virus arbovirus. Angka kematian ensefalitis masih
tinggi, berkisar 35%-50% dengan gejala sisa yang tinggi pada pasien.
KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi ensefalitis virus antara lain sebagai berikut.
1. Berdasarkan tahapan virus menginvasi otak,
ensefalitis virus terbagi menjadi:
a. Ensefalitis primer, virus langsung menyerang
otak.
b. Ensefalitis primer yang belum diketahui
penyebabnya.
c. Ensefalitis sekunder, diawali adanya infeksi sistemik atau
vaksinasi, dan ensefalitis timbul sebagai komplikasi
penyakit virus yang sudah ada.
2. Berdasarkan jenis virus, ensefalitis virus terbagi
menjadi:
a. Ensefalitis virus sporadik (tidak tergantung pada letak geografi):
Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes Zoster, virus rabies, virus
mumps.
b. Ensefalitis virus epidemik (tergantung letak geografis):

Benua Amerika: West Nile, La Cross, St Louis, Rocio, Powassan


encephalitis, Venezuelan, eastern & western equine encephalitis,

Colorado tick fever virus, dengue, rabies.


Benua Eropa: Tick-borne encephalitis, West Nile, Tosana, rabies,

(dengue virus, louping ill virus)


Benua Afrika: West Nile, (Rift Valley fever virus, Crimean-Congo

haemorrhagic fever, dengue, chikungunya), rabies


Asia:Japanese encephalitis, West Nile, dengue, Murray Valley

encephalitis, rabies, (chikungunya virus, Nipah)


Australasia: Murray Valley encephalitis, Japanese encephalitis
(kunjin, dengue)

EPIDEMIOLOGI
Studi epidemiologi CDC (The Centers for Disease Control and Prevention)
memperkirakan kejadian tahunan sekitar 20.000 kasus baru ensefalitis di Amerika
Serikat dengan dua penyebab non-endemik paling umum adalah virus herpes
simpleks dan virus rabies. Kejadian tahunan di negara-negara berkembang sendiri
sering diremehkan, terutama karena masalah dalam deteksi infeksi patogen.
Japanese encephalitis menyerang setidaknya 50.000 orang per tahun, terutama di
kawasan China, Jepang, India, dan Asia Tenggara. Virus herpes simpleks menjadi
penyebab yang paling sering (16%), disusul ECHO virus (8%), diikuti oleh virus
varicella (5%), virus mumps (4%), dan virus influenza A (4%). Anak-anak
merupakan kelompok yang paling sering terkena, namun tingkat keparahan
meningkat pada neonatus dan bayi.7
ETIOLOGI

1. Virus

a. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia: herpes simpleks virus


(tipe 1 dan 2), virus varicella-zoster, virus parotitis, virus campak,
virus rubella, virus CMV, virus Epstein Barr.
b. Agen-agen yang ditularkan oleh hewan: arbovirus, rabies.
2. Pasca Infeksi
Berhubungan dengan penyakit sistemik atau sesudah vaksinasi
tertentu: campak, rubella, varicella-zoster, influenza, pertusis.
3. Kelompok Kompleks yang Tidak Diketahui: sindrom reye
PATOFISIOLOGI
Virus masuk tubuh pasien melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk ke dalam tubuh virus masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan
menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:

Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan

atau organ tertentu.


Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah emudian

menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.


Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembng bik di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar

ke organ lain.
Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan
selaput lender dan menyebar melalui system saraf.

Pada umumnya virus ensefalitis masuk melalui sistem limfatik. Virus-virus


yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes
simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk melalui
inokulasi seperti gigitan serangga atau mamalia. Bayi dalam kandungan mendapat
infeksi melalui plasenta virus rubella atau cytomegalovirus. Di tempat tersebut,

terjadi multiplikasi dan penyebaran ke dalam aliran darah dan mengakibatkan infeksi
pada beberapa organ.
Pertumbuhan virus mulai di jaringan ektraneural seperti usus atau kelenjar
getah bening (poliomyelitis, saluran pernafasan bagian atas atau mukosa
gastrointestinal (arbovirus), dan jaringan lemak (poliomyelitis, rabies, variola). Pada
stadium ini (fase ekstraneural), ditemukan penyakit demam nonpleura, dan sistemis.
Di dalam tubuh manusia, virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian
menjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus
koroideus. Jalur lain ialah melalui saraf perifer (gerakan sentripetal) atau secara
retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies, dan
herpes zoster.
Di dalam system saraf pusat, virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak menyebabkan meningitis aseptik dan
ensefalitis (kecuali rabies). Pada meningitis aseptik, proses radang terjadi di mening
dan koroid yang menjadi hiperemik disertai infiltrasi limfosit. Pada ensefalitis
terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi intraceluler inclusion bodies,
peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak. Juga terdapat peradangan
pada pembuluh-pambuluh darah kecil, thrombosis dan proliferasi astrosit dan
microglia. Neuron-neuron yang rusak dimakan oleh makrofag atau mikroglia, disebut
sebagai neuronofagia yaitu sesuatu yang khas bagi ensefalitis primer.
Di dalam medulla spinalis, virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang
intersisial pada saraf-saraf seperti yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks. Pada
ensefalitis sel-sel neuron dan glia mengalami kerusakan.
Kerusakan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
1. Invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi
aktif;
2. Reaksi hospes terhadap antigen virus, yang berakibat demielinisasi dan
kerusakan vaskular, walaupun virusnya sendiri sudah tidak ada di jaringan.
3. Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten.

Kebanyakan destruksi sel-sel saraf mungkin karena invasi virus secara


langsung, sedangkan respon hospes yang hebat mengakibatkan demielinasi dan
penghancuran vaskuler serta perivaskuler.
Potongan jaringan otak biasanya ditandai kongesti meningeal dan infiltrasi
mononuklear, nekrosis jaringan perivaskuler dengan pecahan mielin, termasuk
proliferasi atau nekrosis endotel sel saraf. Virus herpes simpleks biasanya mengenai
lobus temporalis korteks serebri, arbovirus cenderung mengenai seluruh otak,
sedangkan virus rabies cenderung pada struktur basalis otak.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala ensefalitis virus beraneka ragam, bergantung pada masingmasing kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain. Gejala juga bervariasi bergantung
dari berat ringannya kelainan susunan saraf pusat, umur, dan lain-lain. Masa inkubasi
selama 4-14 hari, setelah itu perjalanan penyakit akan melalui empat stadium klinis,
yaitu:
a. Gejala prodormal
Gejala prodromal berlangsung 1-4 hari, dimulai dari keluhan sampai
timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang dominan adalah
demam, nyeri kepala, dengan atau tanpa menggigil. Gejala lain berupa malaise,
anoreksia, keluhan dari traktus respiratorius seperti batuk, pilek. Keluhan lain dari
traktus gastrointestinal seperti mual, muntah, dan nyeri epigastrium. Nyeri kepala
dirasakan di dahi atau seluruh kepala, biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan
dengan analgesik. Demam selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat
antipiretik.
a. Stadium Akut
Stadium akut dapat berlangsung 3-4 hari ditandai dengan demam tidak turun
pada pemberian antipiretik. Pasien mulai merasakan dampak dari pembengkakan
jaringan otak dan peningkatan tekanan intrakranial.
Gejala tekanan intrakranial meninggi berupa gangguan keseimbangan dan
koordinasi, kelemahan otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah seperti topeng),
nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dari apatis hingga koma.

Iritasi meningens berupa kaku kuduk, biasanya timbul 1-3 hari setelah sakit. Demam
tetap tinggi, kontinu, dan lamanya demam dari permulaan penyakit berlangsung 7-8
hari. Otot kaku dan terdapat pula kelemahan otot, yang menyeluruh, timbul pada
minggu ke-2 atau ke-3, bila berlangsung hebat dan luas kadang memerlukan istirahat
lama, bahkan dapat menetap sampai kebanyakan gejala lain mereda. Muka tanpa
ekspresi, ataksia, tremor kasar, gerakan tidak sadar, kelainan saraf sentral, paresis,
refleks patologis Babinsky positif. Berat badan menurun disertai dehidrasi.
Pada kasus ringan, penyakitnya perlahan mulai hilang, demam tidak tinggi,
nyeri kepala ringan, dan demam akan menghilang pada hari ke-6 atau ke-7 dan
kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah mulainya penyakit.
Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang seperti epilepsi, hiperpireksia,
kelainan neurologik yang progresif, diakhiri dengan kematian pada hari ke-7 atau ke10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu lama, kadang terkena
penyulit berupa infeksi bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen.
b. Stadium Subakut
Pada stadium subakut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang,
namun seringkali pasien menghadapi masalah infeksi saluran kemih dan dekubitus.
Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai
akibat perawatan lama dan pemasangan kateter urin, gangguan saraf kranial, dan
gangguan ekstrapiramidal.
c. Stadium Konvalesens
Stadium konvalesen dapat berlangsung lama dan ditandai dengan kelemahan,
letargi, gangguan koordinasi, tremor, dan neurosis. Berat badan dapat sangat
menurun. Stadium ini dimulai dengan menghilangnya inflamasi, saat suhu tubuh
kembali normal. Gejala neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Gejala
sisa yang sering dijumpai ialah gangguan mental, berupa emosi tidak stabil, paralisis
upper atau lower motor neuron. Gejala ini ditemukan pada 5-70% kasus, terutama
pada usia anak di bawah 10 tahun, biasanya pada bayi akan lebih berat. Sekuele
dapat berupa gangguan pada:
a. Sistem motorik: motorik halus (72%), lumpuh (44%)
b. Perilaku: agresif (72%), emosi tak terkontrol (72%), gangguan perhatian
(55%), depresi (38%)
c. Intelektual: retardasi (22%)

d. Fungsi neurologi lain: gangguan ingatan (46%), afasia (38%), epilepsi


(20%), paralisis saraf kranial (16%), dan kebutaan (2%).
Gejala trias ensefalitis: demam, kejang dan kesadaran menurun. Gejala klinis:
bersifat akut/sub akut, yaitu demam, nyeri kepala, gejala psikiatrik, kejang, muntah,
kelemahan otot fokal, hilangnya memori, gangguan status mental, fotofobia, kelainan
gerakan. Pada neonatus: gejala tampak usia 4-11 hari, yaitu letargik, malas minum,
iritabel, dan kejang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium:
a. Pungsi lumbal
Cairan serebrospinal tampak jernih, jumlah sel pleositosis, bervariasi antara
20-5000/ml. Tampak limfosit dominan, kadar glukosa dapat normal atau
menurun, kadar protein meningkat ringan sampai 50-100 mg/dL.
b. Darah
Akan ditemukan anemia dan leukositosis ringan, rata-rata 13.000/ml,
polimorfonuklear lebih banyak daripada mononuklear, trombositopenia
ringan dan peningkatan laju endap darah. Serum natrium dapat menurun
karena sekresi antidiuretik hormon tidak adekuat.
c. Uji Serologi
Merupakan pemeriksaan uji antibodi dari serum atau cairan serebrospinal.
Biasanya terdapat kenaikan titer antibodi spesifik dari virus tertentu selama
infeksi. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi merupakan
infeksi primer atau rekuren. Pada infeksi primer, antibodi dalam serum
menjadi positif setelah satu sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi
rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi dalam dua
pemeriksaan, ketika fase akut dan konvalesen. Kenaikan titer empat kali lipat
pada fase rekonvalesen menunjukkan tanda bahwa infeksi sedang aktif.
d. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal biasanya positif lebih awal
dibandingkan

dengan

titer

antibodi.

Pemeriksaan

PCR

mempunyai

sensitivitas 75% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan PCR lebih cepat

dilakukan dan resikonya lebih kecil.PCR menjadi tetap positif selama 2


minggu atau lebih.
Pemeriksaan lain:
a. Biopsi otak dan isolasi virus
Baku emas dalam diagnosis ensefalitis virus adalah biopsi otak dan isolasi
virus. Biopsi dipantau dengan kelainan neurologis, EEG, CT scan, dan MRI.
Isolasi virus dilakukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebabnya
(terutama virus). Virus diisolasi dari otak lalu diinokulasi intraserebral pada
mencit yang baru lahir dan kemudian diidentifikasikan dengan uji serologik.
Ini biasanya dikerjakan untuk kepentingan penelitian.

Gambar A. terjadi peningkatan inflamasi didaerah perivaskuler yang ditandai dengan


diaktifkannya mikroglia, makrofag, dan limfosit (pewarnaan HE, pembesaran 20x).
Gambar B menunjukkan pembesaran 40x dengan memperlihatkan kariolisis
mikroglia dan sel neuron dan hipereosinofil sitoplasma dengan gambaran pyramidal
didalamnya.

b. EEG: Electroencephalography sangat membantu diagnosis bila ditemukan


gambaran periodic lateralising epileptiform discharge atau perlambatan fokal
di daerah temporal atau frontotemporal. Lebih sering EEG hanya
memperlihatkan perlambatan umum yang tidak spesifik dan menunjukkan
disfungsi otak menyeluruh.
c. CT scan kepala dan MRI
CT scan: perubahan parenkimal, odem otak dan daerah lesi yang densitasnya
berbeda dengan parenkim otak. Gambaran sering menunjukkan adanya lesi
bilateral pada thalamus yang disertai perdarahan. Gambaran CT bisa tetap

10

normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis. CT scan
berguna untuk menunjukkkan adanya komplikasi (perdarahan, hidrocephalus,
atau herniasi). MRI lebih sensitif daripada CT scan dalam mengidentifikasi
ensefalitis virus. MRI memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling
cepat dua hari setelah munculnya gejala.

11

DIAGNOSIS
Ensefalitis memiliki berbagai macam penyebab, namun gejala klinis
ensefalitis kurang lebih sama dan khas, sehingga gejala klinis tersebut dapat
digunakan sebagai penegak diagnosis.
Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan awal demam, nyeri kepala, kesadaran menurun,
tremor, dan kaku kuduk. Demam berupa suhu mendadak naik, sering ditemukan
hiperpireksia. Kesadaran juga dengan cepat menurun bisa stupor sampai koma.
Biasanya anak-anak yang berusia lebih besar sering mengeluh nyeri kepala sebelum
kesadarannya menurun. Kejang dapat bersifat umum, fokal, atau hanya twitching
saja.
Pemeriksaan fisik:
-

Hiperpireksia
Kesadaran menurun sampai koma
Kejang, dapat berupa status konvulsivus
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial
Gangguan serebral: gejala khas kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastis,
hiperrefleks, reflek patologis, dan klonus)

Gambar2.5 Cara melakukan pemeriksaan reflek patologis

12

Gambar 2.6 pemeriksaan klonus,


Pemeriksaan penunjang:
-

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal terdapat pleositosis dan sedikit

peningkatan protein dengan gambaran makros cairan serebrospinal jernih.


Isolasi virus dari darah dan CSS dilakukan dengan dua spesimen yang
diperoleh dalam 3-4 minggu secara terpisah.

13

PENGAMBILAN CAIRAN SEREBROSPINAL


Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara lumbal
punksi, sisternal punksi, atau lateral servikal punksi. Lumbal pungsi merupakan
prosedur neurodiagnostik yang paling sering dilakukan.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksaan sel kimia
dan bakteriologi.
2. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, anti tumor,
dan spinal anestesi.
3. Untuk

membantu

diagnosa

dengan

penyuntikan

udara

pada

pneumoencephalografi dan zat kontras pada mielografi.


Kontraindikasi Pungsi Lumbal

Papiledema

Lesi pada serebral atau faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya


herniasi otak yaitu:
- abses otak yang luas
- tumor otak (terutama di fossa cranii posterior)
- subdural hematomperdarahan intra kranial.

Terdapat infeksi pada tempat yang akan dilakukan lumbal punksi.

Adanya gangguan perdarahan.

Adanya gangguan kardiopulmonal (hipertensi dan bradikardi).

Persiapan lumbal pungsi:


1. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan lumbal pungsi.
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu minta persetujuan pasien/keluarga
terutama pada lumbal pungsi dengan resiko tinggi.
Teknik lumbal pungsi:
1. Pasien diletakkan di pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan
leher, punggung, pinggul, dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis di bawah
kepala atau lutut.
14

2.
3.
4.
5.

Pungsi dilakukan di kolumna vertebralis setinggi L4-L5 (pada bayi dan anak).
Bersihkan dengan alkohol/yodium pada daerah yang dipungsi.
Dapat diberikan anastesi lokal lidokain HCl.
Gunakan sarung tangan steril dan lakukan pungsi, masukkan jarum tegak lurus
dengan ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan
menembus jaringan meningen, penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar

dengan bagian yang miring menghadap kepala.


6. Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer. Ambil sampel untuk
pemeriksaan jumlah, jenis sel, kadar gula, protein, kultur bakteri, dan sebagainya.
Komplikasi lumbal pungsi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sakit kepala
Nyeri punggung, terutama di lokasi bekas pungsi diakibatkan spasme otot.
Infeksi
Herniasi
Hematom dengan penekanan pada radiks
Tumor epidermoid intraspinal

15

DIAGNOSIS BANDING
a.
b.
c.
d.

Meningitis bakterial
Tumor otak
Ensefalopati
Sindrom reye

MANIFESTASI KLINIS

PEMERIKSAAN
PENUNJANG

ENSEFALOPATI

Penurunan

pemberian

oksigen ke otak
Penurunan
kesadaran,

CT

mulai dari stupor sampai

Scan:

serebri

dalam

24

sampai

48

jam

pertama,

koma.

edema

menjadi

maksimal antara 4872 jam berikutnya


EEG: pola penekanan
penuh, aktivitas otak
melambat.

MENINGITIS
a. Meningitis

Bakterialis

Pada Neonatus gejala :


sepsis

berupa

malas

minum, demam, letargi,

Warna : keruh
Jumlah leukosit

distres pernapasan, ikterus,

pleositosis

muntah,

(>1000/mm3),

diare,

hipotermi,
besar

kejang,

ubun-ubun

menonjol,

lemas
-

Lumbal pungsi :

dan

leher

kesadaran

menurun.
Pada anak gejala: demam,
mual,

muntah,

gelisah,

sakit

kepala,

kejang

berulang,

fotofobia,

dominan PMN
Kadar
gula

rendah(<0,40)
Protein
meningkat

(>200mg/mm3)
Kultur
dan

resistensi bakteri
Pengukuran kadar C-

LCS

uji

reactive protein

16

penurunan kesadaran.
Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk, tanda brudzinski dan
kernig biasanya tidak ditemukan
pada anak<2tahun

b. Meningitis
tuberkulosis

Stadium 1 (stadium prodromal)


-

Demam,

sakit

perut,

nausea, muntah, apatis, dan


tidak
-

ada

kelainan

Laboratorium : LED
meningkat,

hitung jenis, biakan


Lumbal pungsi :
- Warna : ground glass
appearancel,xantokro

neurologis
Umumnya berlangsung 1-3

m,

minggu
Stadium II (stadium transisi)
-

Pasien menjadi tidak sadar,


stupor, kelainan neurologis

abdomen

patella
Gangguan

otak/bantang

otak : strabismus, ptosis,


reaksi

pupil,

gangguan

penglihatan(gangguan
saraf otak III, IV, VI, VII)
Stadium III (koma)
-

Pupil
kadang

tidak
timbul

dibiarkan

mengendap

akan

membentuk

batang-

batang
Jumlah sel lekosit :

PMN, lanjut : limfosit


Kadar
gula
LCS

menurun (<40mg/dl)
Protein
meningkat

(>40 mg/dl)
Kultur
dan

menghilang,

timbul klonus ankel dan

bila

10-1000/mm3, awal :

seperti parese, tanda kernig


(+), brudzinski(+), refleks

lekosit,

uji

resistensi bakteri
Bilasan
lambungkultur
Uji tuberkulin(+)
Radiologi : foto
thoraxlesi di paru,

bereaksi,
spasme

CT scan ditemukan
hidrosefalus
Pemeriksaan

17

klonik

pada ekstremitas,

CRP,ELISA
Funduskopituberke

pernapasan tidak teratur,


demam
-

tinggi,

l di retina

edema

pupil, hiperglikemi
Hidrosefalus terutama pada
pasien yang penyakitnya
berlangsung lebih dari 3
minggu.

c. Meningitis
Aseptik

Demam, muntah
Lumbal pungsi :
Kejang
Gangguan kesadaran yang
- Warna : jernih
- Kadar gula LCS dapat
tidak begitu dalam
Tanda rangsang meningeal
tetap normal
- Jumlah
lekosit
:
(+)
-

Sindrom kerusakan otak


Lumbalpungsi

yang akut yang ditandai

SINDROM REYE

ditemukan :
Warna : jernih
Jumlah sel lekosit:

pemberian salisilat pada

dalam batas normal


Protein normal/sedikit

penyakit infeksi virus


Tahap 1: ruam di lengan,

meningkat
Kadar
gula

dengan ensefalopati dan


masalah fungsi hati diduga
berkaitan

dengan

tangan, kaki, muntah yang


menetap,letargi,
-

sulit

tidur,demam sakit kepala


Tahap
2:
ensefalitis,
hiperventilasi, perlemakan

pleositosis limfositer
Kultur

hati
Tahap

3:

tahap

1&2

disertai koma, edema otak,

LCS

normal
CT
scan/MRIedema
serebral difus
EEG:
kelainan
ensefalopati difus
Diagnosis
pasti:
biopsi hati fatty

18

dan gagal nafas


Tahap 4: koma dalam,
dilatasi

pupil,

gagal

dan

hepatis.

disfungsi

sirosis
Terdapat

peningkatan

hati
Tahap 5: koma dalam,
kejang,

liver

amonia

dan enzim hati pada


pemeriksaan hati.

organ,

hiperammonemia
Pemeriksaan: peningkatan
tekanan intrakranial, tetapi
jarang

terjadi

defisit

neurologik fokal.
ABSES OTAK

trias abses otak yang terdiri dari


gejala

infeksi,

Kadang

peningkatan

terdapat

leukositosis

tekanan intrakranial dan gejala

dan

LED meningkat
EEG
X-foto sinus dan

neurologik fokal

mastoid(untuk
mencari

sumber

infeksi primer)
Foto kepala
CT scan, MRI
X foto thorax
Lumbal
kontraindikasi

pungsi
pada

abses

otak

TUMOR

INTRASEREBRI

Gejala awal berupa koma

CT scan kepala

karena kompresi langsung


atau infiltrasi pada batang
otak atau hambatan sistem
-

ventrikular.
Disfungsi neurologik fokal
Sakit
kepala
rekuren,

19

muntah
Penurunan

neurologik

progresif (seperti kelainan


cara

berjalan),

yang

mendahului awitan koma.

20

TATALAKSANA
a.
1.

Farmakologis
Jika kejang dapat dilihat algoritma penanganan kejang.
Sebelum ke rumah sakit, jika kejang anak diberikan diazepam perrektal berupa gel (sediaan 5 mg, 10 mg, dan 20 mg) dengan dosis
maksimal 5 mg untuk anak kurang dari 5 tahun, 7,5 mg untuk anak
usia 5-10 tahun, dan 10 mg untuk anak berusia lebih dari 10 tahun.
Diazepam intravena (sediaan 5 mg/ml) diberikan dengan dosis 0,30,5/mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal pada anak kurang dari 5
tahun diberikan 5 mg, anak 5-10 tahun diberikan 7,5 mg, dan anak

2.

lebih dari 10 tahun diberikan 10 mg dengan kecepatan 1 mg/menit.


Menurunkan demam
Di samping menghentikan kejang, demam harus segera diturunkan
karena dapat menyulitkan penanganan kejang. Penurunan demam
dapat dilakukan:
a. Pemberian antipiretik seperti parasetamol.
b. Suportif, yaitu istirahat dan kompres. Aktivitas otot akan
meningkatkan metabolisme dan peningkatan metabolisme akan
menambah tingginya suhu tubuh, sehingga tinggi rendahnya suhu
tubuh juga dipengaruhi oleh aktivitas otot. Kompres hangat dapat
dilakukan untuk membantu pengeluaran panas.
3. Memperbaiki dan mempertahankan fungsi metabolisme otak dapat
diberikan cairan D10% sehingga kadar gula darah menjadi normal,

4.

100-150 mg/dl.
Mengurangi edema serebri
Pemberian deksametason intravena dosis 0,15-1 mg/kgBB/hari dalam
empat dosis dapat diberikan beberapa hari dan diturunkan perlahan
bila tekanan intrakranial menurun. Deksametason juga dapat

5.

memperbaiki integritas membran sel.


Menurunkan tekanan intrakranial
Manitol diberikan intravena dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB selama 1030 menit, diulang setiap 4-6 jam. Obat ini dapat menarik cairan
ekstravaskular ke dalam pembuluh darah otak. Untuk meningkatkan
aliran darah pada pembuluh vena, anak ditidurkan setengah duduk

21

dalam posisi netral dengan kepala lebih tinggi 20-30% sehingga


terjadi penurunan tekanan intrakranial.
6. Perawatan jalan napas terutama pada serangan kejang, anak diletakkan
posisi miring ke arah kanan dengan kepala lebih rendah 20% dari
badan untuk menghindari aspirasi lendir atau muntahan. Bebaskan
jalan napas, pakaian dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Pemberian
oksigen mutlak diperlukan. Perlu juga diperiksa tanda-tanda vital
seperti frekuensi nadi, tekanan darah, dan kondisi kulit terutama
ekstremitas atas dan bawah. Bila terdapat tanda syok, perlu segera
diatasi.
7. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri
diberikan antibiotik parenteral. Antibiotik diberikan selama belum
bisa menyingkirkan kemungkinan meningitis bakterialis. Dalam
keadaan kesadaran menurun, berikan ampisilin dengan dosis 100
mg/kgbb/12 jam. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus
herpes simplek diberikan asiklovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30
mg/kgbb per hari setiap 8 jam selama 10-14 hari, diberikan dalam
infus 100 ml salin minimum dalam 1 jam. Apabila pasien alergi
terhadap asiklovir, dapat diberikan vidarabin 15 mg/kgbb/hari selama
14 hari.

b.

Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif
2. Makanan tinggi kalori tinggi protein

22

ALGORITMA PENANGANAN KEJANG


Prehospital

Hospital

Diazepam 5-10 mg/rekt


max 2x jarak 5 menit
Diazepam 0.25-0.5 mg/kg/iv
(kec 1mg/menit, dosis max 20
mg)
atau
Midazolam 0.2 mg/kg/iv bolus
atau
Lorazepam 0.05-0.1 mg/kg/iv
(kec <2mg/mnt)

Kejang (-)
5-7 mg/kg 12 jam
kemudian
Kejang (-)
4-5 mg/kg 12 jam
kemudian
ICU

Midazolam 0.2
mg/kg/iv bolus
Dilanjut infus 0.10.4/mg/kg/jam

Fenitoin 20 mg/kg/iv (20 menit/50ml


NS) kec 50 mg/menit, max 1.000mg

Fenobarbital/sibital 20 mg/kg/iv
(kec >5-10 menit, max 1000mg

0-10 menit

10-20
menit
Monitor:
Tanda vital
EKG
Gula darah
Elektrolit
serum (Na, K,
Ca, Mg, Cl)
Analisa gas
darah

20-30 menit

30-60 menit

Refrakter

Pentotal Tiopental
5-8 mg/kg/iv

Propofol 3-5
mg/kg/infus

23

ALGORITMA PENANGANAN ENSEFALITIS4


Manifestasi klinis diduga ensefalitis

Tangani demam dan kejang, turunkan


tekanan intrakranial, berikan antibiotik bila
penyebab belum dapat disingkirkan
Kontraindikasi klinik dilakukan LP?*

Ya

Tidak

CT secepatnya
Kontraindikasi radiologis
untuk LP?

Tidak
Lumbal Pungsi:
Cek glukosa, protein, gambaran makros, uji
PCR, kalau memungkinkan isolasi virus. Jika
hasil negatif ulangi 24-48 jam kemudian. Jika
hasil menunjukkan tanda infeksi virus, berikan
asiklovir IV.
Uji pencitraan

Ya
Asiklovir
IV

MRI: positif/CT scan


positif asiklovir IV
selama 14-21 hari
PCR positif: teruskan
asiklovir IV sampai 7 hari.
Negatif: stop asiklovir

24

Keterangan:
*) Kontraindikasi klinik lumbal pungsi:

Penurunan kesadaran sedang-berat (GCS turun < 13)


Tanda neurologis fokal (misalnya: pupil dilatasi atau tidak berespon)
Postur abnormal
Papiloedema
Kejang, sampai distabilkan
Bradikardi relatif dengan hipertensi
Pergerakan dolls eye movement
Imunokompromais
Syok sistemik
Gagal napas

Komplikasi
a. Susunan

saraf

pusat:

kecerdasan,

motoris,

psikiatris,

epileptik,

penglihatan dan pendengaran


b. Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat
secara menetap
c. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
d. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi
mental karena kerusakan SSP berat
Pencegahan
1. Imunisasi, seperti MMR atau HiB
2. Segera mencari perawatan primer ketika anak mengalami demam tinggi
atau infeksi
3. Status gizi juga harus baik
4. Melindungi diri dari organisme vektor. Vektor utama nyamuk Culex
dengan memusnahkan nyamuk dewasa dan tempat pembiakannya. Vektor
komponen fisik/alam (udara dan air) memastikan tidak terpapar langsung.
Prognosis

25

Prognosis sukar diramalkan tergantung pada usia, berat atau tidaknya kasus,
kekuatan sistem imun, kecepatan dan ketepatan pertolongan dan penyulit yang
muncul.
1. Sembuh tanpa gejala sisa
2. Sembuh dengan gejala sisa, bisa gangguan mental atau gangguan tingkah
laku, paresis/paralisis, gangguan penglihatan, dan gangguan neurologis lain.
3. Kematian bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Angka
kematian

masih

tinggi,

berkisar

antara

35-50%,

terutama

apabila

keterlambatan pengobatan lebih dari empat hari, terutama pada pasien yang
sempat koma, seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa berat.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Encephalitis.

Available

from:

http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?
articlekey=58863&pf=3&page=1 Diunduh pada tanggal 2 Januari 2015.
2. Ensefalitis, Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi
Pertama. Badan Penerbit IDAI: 2010. p 67-69.
3. Kneen, R., et al. Management of Suspected Viral Encephalitis in Children
Association of British Neurologist and British Paediatric Allergy Immunology
and Infection Group National Guidelines. Journal of Infection from British
Infection Association: 2012 (64); p 449-477.
4. Ensefalitis, dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi Pertama.
Badan Penerbit IDAI: 2004. p 198-199.
5. Solomon T, Hart IJ, Beeching NJ. Review: Viral encephalitis: a clinicals
guide. British Medical Journal 2007;7;p 288-305.
6. Viral

Encephalitis.

Available

http://emedicine.medscape.com/article/1166498-overview

from:
Diunduh

pada

tanggal 2 Januari 2015.


7. Japanese Encephalitis, dalam Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis, Ilmu
Kesehatan Anak. Badan Penerbit IDAI: 2012, p 259-275.

8. Japardi Iskandar. Cairan Serebrospinal. Dalam Perpustakaan Online Jurnal


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2002; p 10-11.

27

9. Mardjono, M., Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.


2000, p 313-17.
10. Mansjoer, A., dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000, p 140-45.

11. Nelson, W.E., et al. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15. Jakarta:
EGC. 2000, p 880-883
12. Schwartz, W, et al. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta 2004, p 202-205.
13. Soegijanto, S. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta:

Salemba Medika. 2004, p 105-120.

28

You might also like