fer Prosiding
SEMINAR NASIONAL 2009
IMPLIKASI UNDANG-UNDAN(
NO. 26 TAHUN 2007 s
TERHADAP KONSEP PENG!SEMINAR NASIONAL
“Implikasi Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007
Terhadap Konsep Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan
Lingkungan”
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya
Gedung Widyaloka, 29 April 2009Seminar Nasional 2009 ao
Implikesi Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007
Terhadap Konsep Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan
PRAKATA PANITIA
Segala puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas
terselenggaranya SEMINAR NASIONAL dengan Tema “Implikasi Undang-Undang
Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 Terhadap Konsep Pengembangan Kota dan
Wilayah Berwawasan Lingkungan” yang kami dedikasikan untuk ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang perencanaan tata ruang, Seminar ini diselenggarakan oleh
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 merupakan pengganti Undang-undang
Penataan Ruang No. 24 Tahun 1992 yang secara kontekstual merupakan sebuah payung
hukum terhadap penataan ruang yang saat ini mulai diperhatikan oleh berbagai pihak
yang tidak hanya kalangan akademisi saja yang fokus terhadap masalah tata ruang.
Dalam peiaksanaannya, seringkali rencana pembangunan yang dilaksanakan kurang
konsekuen tethadap rencana tata ruang yang telah dibuat, terutama dalam kaitannya
dengan pengembangan kota dan wilayah yang berwawasan lingkungan. Kondisi ini
‘menimbulkan munculnya berbagai pertanyaan mengenai seberapa jauh Undang-undang
Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 dapat dilaksanakan, Untuk itu kajian mengenai
implikasi Undang-undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 Terhadap Konsep
Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan perlu dilakukan, salah
satunya melalui seminar nasional ini yang dapat memberikan bahan kajian dalam
penyelenggaraan pembangunan dan pengembangan kota dan wilayah yang berwawasan
lingkungan,
Besar harapan kami selaku panitia, prosiding yang memuat enam sub tema ini,
memberikan manfaat kepada semua pihak, Khususnya terkait dengan konsep
pengembangan kota dan wilayah berwawasan lingkungan.
Malang, April 2009
Ketua PanitiaSeminar Nasional 2009 a
Implikasi Undang- Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007
Terhadap Konsep Pengembangan Kota dan Wilayah Berwanasan Lingkungan
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL
IMPLIKASI UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG NO. 26 TAHUN 2007
TERHADAP KONSEP PENGEMBANGAN KOTA DAN WILAYAH
BERWAWASAN LINGKUNGAN
PELINDUNG
Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Surjono, MTP., Ph.D.
STEERING COMMITEE (SC)
Fauzul Rizal, ST., MT.
PENERBIT
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
FakuL tas Teknik — Universitas Brawijaya
ORGANIZING COMMITEE (OC)
Didik Syaifudin Riza
Ratih Wahyu Dyah
Astrid Arum WEP
REDAKSI
Tri Kumia Hadi
Galuh Citra Resmi
Ira Rachmani A.
ALAMAT
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik — Universitas Brawijaya
Gedung Kemahasiswaan Fakultas Teknik
JIMT. Haryono No. 167
No. Telp. 0341 7051558 Fax, 951430
Email: semnas_uupr_pwkub@yahoo.co.idSeminar Nasional 2009 Pa
Implikasi Undang-Undang Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007
Terhadap Konsep Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan
aa ‘www.seminartataruang, wordpress.com
DAFTAR ISI
Prakata Panitia i
‘Susunan Panitia ii a
Daftar Isi
Sub Tema
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Upaya Membentuk Image
Kota dalam Perspektif Penataan Ruang
Dimensi Sosial Budaya: Pendekatan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau [+1
Kota
Studi kasus: Kota Jakarta
Rully Besari Budiyanti ~
Manifestasi Ruang Terbuka Hijau Sebagai Orientasi Kawasan Bersejareh 1-13
Kota
Studi Kasus : Lapangan Merdeka Medan
Imam Faisal Pane,ST.MT & Yuanita FD Sidabutar,ST, Msi
Pandangan Masyarakat pada Kualitas Ruang Terbuka Kota Depok Jawa E21
Barat
Studi Kasus Koridor Margonda
Agus § Sadana
Pengaruh Aktivitas Masyarakat Kota Terhadap Image Kota Yogyakarta 1-31
(Studi Kasus : Ruang Terbuka Hijau Kawasan Alun-alun Utara Kota
Yogyakarta)
Dwi Maidinita, ST
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Pada Area Perdagangan (Studi 136
Kasus: Koridor Jalan Subrantas Kota Pekanbaru)
Fetty Febriasti Bahar
Prospek Peningkatan Luasan RTH Privat Melalui Partisipasi Komunitas 1-43
Berkelanjutan
Artiningsih
Ruang Terbuka Perumahan Sebagai Ruang Sosial Lansia 156
Wijayanti
Transfer Development Right (TDR) Sebagai Upaya Pelestarian Kawasan 1-64
Lindung/Ditindungi
Alfred Wijaya STMTSeminar Nasional 2009
Implikasi Undang-UUndang Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007
a
Tarhadep Konsep Pengembangan Kota dan ‘Wilayah Serwawasan Lingkungan
‘Waduk di Kampus Universitas Indonesia Sebagai Bagian Lahan Terbuka
Untuk Imbuban Air Tanah Dan Menurunkan Volume Limpasan
Bambang Setiadi, Setyo Supriadi dan El Khobar M. Nazech
Peran Hutan Kota Di Kampus Universitas Indonesia Sebagai Pemenuhan
Penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
EI Khobar, Bambang Setiadi dan Setyo Supriyadi
Pengaturan Bentuk Dan Sebaran Hutan Kota Dalam Mengurangi Panas
Suhu
Parfi Khadiyanto
Pendekatan Psikologi Arsitektur Dalam Perancangan Ruang Terbuka
Hijau Pada Kota Multikultural
Yulia Eka Putrie dan Nunik Junara
Seuu
Kebun Raya Bogor Dan Kebun Wisata Ilmiah Dalam Perspektif
Wisata Pendidkan Dan Sejarah Penelitian Pertanian
Tati Budiarti
Pengaruh Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Terhadap
Kenyamanan Di Suburban Bogor Barat
Amalia Diena Listyanti, Setia Hadi, Suwarto
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Privat Pada Kawasan Superblok
Meyriana Kesuma, ST, MT dan Regina Suryadjaya, ST.
Strategi Transformasi Ruang Tidak Termanfaatkan pada Area Sempadan
Sungai Di Kawasan Perkotaan
Dian Kusuma Wardhani, ST. MT.
Sub Tema II:
Mitigasi Bencana dalam Perspektif Penataan Ruang
Analisa Geologi Untuk Pengembangan Wilayah Daerah Klungkung
Bagian Selatan, Provinsi Bali
Agus Hendratno & Giri Prayoga
Konsep Mitigasi Bencana Bagi Kota-Kota Yang Rawan Gempa Dan
Tsunami
Imam Buchori
Mitigasi Bencana Dalam Penataan Ruang Kelas Untuk Meningkatkan
Keamanan Sekolah Dasar Terhadap Bahaya Gempa.
Dewi Yustiarini, ST., MT.
174
1-84
191
Luz
1123
1135
1149
1-166
m8
1-19Seminar Nasional 2009
Smplikasi Undang-Undang Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007
a
Terhadap Konsep Pengemhangan Kota dan Wilayah Serwawasan Lingkungan
Peranan Geologi Dalam Mitigasi Bencana Rawan Longsor di Daerah
Karangjambu Kabupaten Purbalingga-JawaTengah
Asmoro Widagdo, ST., MT. & Rachmad Setijadi, S.Si.,M.Si
Arahan Mitigasi Bencana di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik
‘Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 dan Model Dinamis
Untuk Mengurangi Resiko Bencana
Arwi Yudhi Koswara, ST
Peran Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Yang Menyeluruh dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Retno Susanti
Penataan Kawasan Permukiman Sepanjang Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo Terkait Aspek Mitigasi Terhadap Bencana Banjir
Studi Kasus: Kota Bojonegoro, Jawa Timur
Fadly Usman, ST, MT
Arahan Rencana Permukiman di Kawasan Pesisir Dengan Memperhatikan
Mitigasi Bencana Tsunami di Desa Sawang, Kabupaten Aceh Jaya, NAD
Gunawan Prayitno, SP., MT.
‘Sub Tema III:
Perencanaan Kawasan Pesisir dan Pulau Terluar
Iklim Makro Daerah Pantai Dalam Perencanaan Kawasan Pesisir
Juhana, ST, MT.
Optimisasi Zona Penangkapan Ikan Dalam Perspektif Penataan Ruang
Wilayah Pesisir Dan Laut
Prawira, H. & Windupranata, W.
Penataan Ruang Wilayah Pesisir Dan Laut Berdasarkan Integrated
Coastal Management
Dr. Dina Sunyowati, S.H.,M.Hum
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Pulau Biak — Papua
‘Menggunakan Citra Landsat Dan Sistem Informasi Geografis
Muzayanah & Irwan Bagyo Santoso
Perencanaan Lokasi Budidaya Ikan Laut yang Berkelanjutan dalam
Perspektif Tata Ruang Wilayah Pesisir
Dr. rer. nat. Wiwin Windupranata
11-28
1139
161
171
11-87
M1
MI-10
11-16
11-33
m4Seminar Nasional 2009 be
Implikasi Undang-Undang Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007
Tarhadap Konseps Pengembangan Kota dan Wilayah Berwanasan Lingkungan
Penataan Ruang Kota Ranai, Pulau Natuna: Strategi Memadukan ULs3
Fungsi Perkotaan Dan Militer Dalam Keterbatasan Lahan Dan
Sumber Daya
Hadi Wahyono
Pendekatan Proses Hierarki Analitik dalam Analisis Sistem Informasi '""7°
Geografis
Untuk Mengatasi Konflik Tata Ruang Pesisir
(studi kasus pesisir Kabupaten Kutai Timur)
Nirmalasari Idha Wijaya, S.Pi, M.Si.
‘Sub Tema IV:
Penegakan Hukum dalam Aplikasi Penataan Ruang
Analisis Tethadap Penyesuaian Rencana Induk Kampus Universitas Wel
Indonesia Terhadap Peningkatan Kebutuhan Akan Pendidikan Tinggi
Setyo Supriyadi, Bambang Setiadi & El Khobar Nazech
Pemanfaatan Ruang Dalam Praktek Penataan Ruang di Indonesia: Sebuah 1V-12
Mata Rantai yang Hilang?
Jawoto Sih Setyono
Peran Serta Masyarakat Dalam Upaya Pengawasan Konservasi Daerah IV-25
Aliran Sungai Serta Sosialisasi Tentang Penyalahgunaan Tata Ruang
Sally Oktavianasari ST. MT. & Alfred Wijaya ST. MT.
Penegakan Hukum Dalam Penataan Ruang Wilayah (Aplikasi 132
Pengendalian Pemanfaatan Ruang)
Tonu Sasongko
The Role Of Government To Compensation Process After Mud Eruption 1V-53
Disaster At Sidoarjo Indonesia
Turniningtyas Ayu Rachmawati dan Naila Firdauziah
Evaluasi Mekanisme Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum V6
DR. Ir. Surjono, MTP., Fauzul Rizal Sutikno, ST., MT.,
Christianto Kurniawan Priambada, ST.
Sub Tema V:
Perencanaan Ruang Udara dan Ruang di Dalam Bumi
Kajian Tata Ruang Pertambangan : Study Kasus Kabupaten Gunungkidul, V-1
Yogyakarta
Agus HendratnoSeminar Nasional 2009 Se
Implikasi Undang-Undang Penataan Ruang No: 26 Tahun 2007
a
Terkadap Konsep Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan
Pemanfaatan Peta Skala Besar Dengan Sistem Informasi Geografi (SIG )
Untuk Pemetaan Infrastuktur Bawah Tanah
Leo Pantimena
Prediksi Kebisingan Pada Kawasan Sekitar Reneana Bandar Udara Di
Pacitan Menurut Ecac (Europian Civil Aviation Conference)
Irwan Bagyo Santoso & Mizayanah
Prediksi Kebisingan Pada Kawasan Sekitar Rencana Bandar Udara Di
Pulau Bawean Metoda FAA (Federal Aviation Administration)
Irwan Bagyo Santoso & Sukobar
Perencanaan Ruang Udara
Samsul Ma 'rif, SP, MT
Menentukan Titik Kontrol Tanah (GCP) Dan Ketinggian Tanah (Elevasi)
dengan Menggunakan Teknik GPS dan Citra Satelit untuk Perencanaan
Perkotaan
Abdul Wahid Hasyim dan M. Tauftk
‘Sub Tema VI:
Zoning Regulation dalam Penataan Ruang
Jejak Kearifan Lokal Permukiman Candi Semarang (Berbasis Kota
Taman/Garden City)
Dr-Ir. Edi Purwanto, MT
Keterkaitan Zoning Regulation dalam Sistem Penataan Tata Ruang
Ashri Prawesthi D, ST, M.Si.P
Sistem Zonasi Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa Secara
Berkelanjutan
Muh. Yusuf
Tinjauan Aspek ‘Zoning Regulation’ dan Rinciannya dalam Undang-
Undang no. 26 - Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Ir. Udjianto Pawitro, MSP.
Implikasi batas teritori real estat Pada zoning kota, potensi konflik
Dan peluang integrasi Di kabupaten tangerang
Tin Budi Utami
Altemnatif Peraturan Zonasi Bagi Model Integrasi Ruang Kota Melalui
Kajian “Smarteode”
Muhammad Sani Roychansyah
vii
Vell
v.22
V-33
v-4l
v-s2
v2
vi2i
Vi-S6
VI-66
VE-8ISeminar Nesional 2009 a
ples Undang-Undang Panataan Rung No. 26 Tabun 2007
Tarhadap Kons Pengembangan Kola dan Wileyah Berwanasan Lingkangon
Pengaturan Zonasi Penggunaan Lahan di Kawasan Tepian DAS Kahayan I-92
(Studi Kasus : Kelurahan Pahandut Kota Palangka Raya)
Enni Lindia Mayona,MT, Zulfadly Urufi, M.Eng, Ridwandoni ST
Konservasi Sumber Daya Air di DAS Sumber Brantas Kota Batu Vi-10s
Ir. Sri Utami MT. dan Kartika Eka Sari ST.
Aplikasi Zoning Regulation Dalam Penataan Kawasan Pusat Kota vEu7
(Kasus: Pusat Kota Blitar)
Tonu Sasongko
Pengendalian dan Penataan Bangunan Base Transceiver Station (BTS) di VI-137
Kota Malang
Ratna Ayu Komalawati, Septiana Hariyani, Nindya Sari
Penerapan Peraturan Zonasi Pada Pulau-Pulau Kecil VEEISS
(Studi Kasus: Kepulauan Balabalagan, Kabupaten Paser, Kalimantan
Timur)
Ir. Tunjung W. Suharso, MSP ; Fauzul Rizal Sutikno, ST., MT
viiiSeminar Nasional 2009
Spas Undang-Undang Peetaan Rang No, 26 Tahun 2007 &
“arhadap Kans Pongembangan Koa dan Wilayah Serwanaran Linghngan
ALTERNATIF PERATURAN ZONASI BAGI MODEL INTEGRASI
RUANG KOTA MELALUI KAJIAN “SMARTCODE”
Muhammad Sani Roychansyah
Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(Email: sanitoy@gmail.com)
ABSTRAK
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 telah menempatkan Peraturan
Zonasi_mempunyai peran kuat dalam sistem perencanaan-pemanfaatan-
pengendalian ruang. Meskipun begitu, perun kontrol bagi terwujudnya ruang kota
yang humanis, integratif, dan berkelanjutan. eksistensinya masih sangat
tergantung pada peraturan-peraturan tata ruang di atasnya yang sering masih
terbatas dalam merefleksikan beberapa paradigma pembangunan kota terkini
tersebut. Sementara itz di belahan dunia lain, perencanaan-pemanfaatan-
pengendalian ruang berdasar potensi ruang wilayah yang ada dalam mendukung
aktivitas penduduk semakin populer. Paper ini bertujuan untuk mengeskplorasi
alternatif peraturan zonasi di Indonesia berdasar beberapa konsep yang
dikembangkan dalam "smartcode" atau “form-based code”. Pertama, hasil
review penataan tata ruang di Indonesia dan peran peraturan zonasi akan
disajikan secara komprehensif. Kedua, perkembangan peraturan zonasi di dunia
yang mengarah pada paradigma "smartcode” untuk menjembatani beberapa
pendekatan baru pembangunan kota akan ditampilkan dan dianalisis, Ketiga,
‘menggunakan kasus Peraturan Zonasi di Indonesia yang telah (siap) diperdakan,
beberapa temuan di tahap kedua akan dibandingkan. Terakhir, keempat, temuan
yang bisa dikembangkan untuk mengadopsi beberapa model integrasi ruang kota,
dicoba dirangkum sebagai alternatif pengembangan Peraturan Zonasi, teruiama
‘melalui sistem "reverse-order” (susunan terbalik) dalam sistem "perencanaan-
pemanfaatan-pengendalian” in
‘marteode”
Kata Kunci: Integrasi Ruang Kota, Peraturan Zonasi”
1. PENDAHULUAN
Peraturan Zonasi (PZ) secara hirarkis masuk sebagai salah satu alat
pengendalian ruang seperti termaktub dalam UU No 26 Tahun 2007 Pasal 35 yang
berbunyi “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui peneiapan
Peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan
sanksi", Disusul dengan Pasal 36 ayat 1 din 2 yang menyatakan: (1) “Peraturan
zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan
encana finci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang”. “Pengaturan”
zonasi senditi sebenarnya telah secara implisit menjadi satu kesatuan dalam
Perencanaan ruang sebelum UU Penataan Ruang ini dikeluarkan. Sebagai
Persiapannya, melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang juga telah
mengeluarkan Pedoman Penyusunan Peraturan Zonasi (Ditjen Penataan Ruang
vis!Seminar Nasional2009
Spi Undang-Undang Ponataan Ryang No. 26 Tahun 2007
“athadap Komp Pengembangan Kota dan Wilyah Beran Lnghengan
PU, 2006) setahun sebelum disahkannya UU No 26 Tahun 2007 ini. Meskipun
begitu, model dan standar P2 ini masih dalam taraf menemukan bentuk akhir.
Selanjutnya dalam Pedjefesaii“UU No 26 Tahun 2007 Pasal 36, tertulis
bahwa: “Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan
ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan
sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang
harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang
dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (Koefisien dasar ruang hijau,
koefisien dasar bangunan, Koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan
bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan
untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Ketentuen lain yang dibutuhkan, antara lain, adalah ketentuan pemanfastan ruang
yang terkait dengan keselamatan penerbangan, pembangunan pemancar alat
komunikasi, dan pembangunan jaringan lstrik tegangan tinggi.” Secara substantif,
bentuk pemanfaatan ruang yang seperti apa yang bisa dicapai dan model
pengendalian yang seperti apa yang ingin diselesaikan melalui PZ ini juga belum
ferlihat secara jelas. Ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
seperti apakah yang akan dituju, juga masih rancu. Secara teknis PZ ini
diberlakukan bagi area seluas 1000 ha dan sangat jarang terjadi persinggungan
langsung antara PZ ini dengan aturan pemanfaatan ruang yang ada di atasnya
(Gambar 1).
RTRW Kota
|
RDTR Kota
PERATURAN
=") ZONAst
v
RTRK/RTBL
Gambar 1. Kaitan Peraturan Zonasi dengan Rencana Tata Ruang Lainnya
(Sumber: Pedoman Penyusunan PZ, Ditjen Penataan Ruang PU, 2006)
Konsep Peraturan Zonasi di Indonesia meskipun dalam taraf awal akan
sangat baik, artinya akan mampu memberi kejelasan (certainty), prediksi
(predictability), kepastian hukum (Jegitimacy), dan keterbukaan (accountability)
bagi pemanfaatan ruang. Meskipun begitu, paradigma pembangunan yang
berubah, seperti tuntutan keberlanjutan dan orientasi pada penciptaan ruang-ruang
yang humanis, telah mengubah pendekatan dalam zonasi pula, Di Amerika Serikat
misalnya, zonasi konvensional sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan dan beralih
pada zonasi model baru yang sering disebut “smartcode”. Di Indonesia sendiri, PZ
ini tampak masih berorientasi pada zonasi model lama, di mana masih berorientasi
pada penggunaan lahan, tidak pada karakter dan bentukan fisik yang ingin
vi-82Seminar Navona 2009
Inpikasi Undang-Undang Peataan Ruang No. 26 Tahun 2007
Tarhadap Konsep Pengemsbangan Kota dan Wilayah Serunwaren Lingkungan
diciptakan, Oleh sebab itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji alternatif Peraturan
Zonasi di Indonesia berdasar beberapa konsep yang dikembangkan dalam
"smarteode” melalui serangkaian review, baik PZ di Indonesia maupun
kecenderungan perkembangan”smarteode”. Hasil telaah (review) ini selanjutnya
akan diimplementasikan pada sebuah studi kasus PZ di Indonesia dan akan
digunakan untuk memberi umpan balik dalam sistem "perencanaan-pemanfaatan-
pengendalian”.
Il, PERATURAN ZONASI DI INDONESIA
Peraturan Zonasi di Indonesia secara lengkap tertulis dalam Pedoman
Penyusunan Peraturan Zonasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Penataan
Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2006). Pedoman PZ ini mencakup tata cara
penyusunan, pelaksanaan, penyusunan dalam rencana peraturan daerah, maupun
perubahannya, Melalui Bantuan Teknis Peraturan Zonasi, Ditjen Penataan Ruang
PU telah menginisiasi penyusunan PZ di beberapa kota di Indonesia, antara
Jakarta, Bandung, Palembang, Batam, dan kota lainnya. Meskipun begitu,
tampaknya Pedoman Penyusunan PZ ini masih sebatas pada upaya Departemen
PU dalam menjembatani kekosongan pada tataran informasi teknis mengenai PZ
ini, tidak pada tataran subtansinya. Hal ini dilihat dari tahun dikeluarkannya
Pedoman Penyusunan PZ yang mendahului tahun keluarnya UU Tata Ruang dan
keterbatasan aturan khusus PZ di bawah UU yang belum juga muncul hingga saat
ini, Beberapa program penyusunan juga sering dijadikan satu dengan Penyusunan
RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota), karena tingkat operesional dalam
aspek guna lahan maupun intensitas pemanfaatan lahan yang sama (overlapping),
berada di antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota dan Reneana Teknis
Ruang Kota (RK).
Sacingan
Prasrana
Gina Aturan
{shan Pemanfantn
Ruan
“Tahopan
Pelaksanaan
Imtensitas
Penanganan
Lingkungan
RDTRK _PERATURAN ZONASI
Gambar 2, Keterkaitan antara PZ dan RDTRK (Sumber: Anal
is Penulis)
Hubungan RDTR dan PZ ini juga secara jelas tergambar dalam Penjelasan
Umum UU No26 Tahun 2007 Angka 6: “Rencana rinci tata ruang disusun
berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan
muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan subblok
peruntukan. Penyusunan rencana inci tersebut dimaksudkan sebagai
operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan
zonasi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
VL83Seminar Navonal2009
SImplis; Undang-Undong Penataan Roang No 26 Tahun 2007
orhadap Konsp Pengembangan Kote dan Whlayah Servawasan Linghongan
pemanfaatan ruang dan Ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinei tata ruang.
Rencana inci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan peraturan zonasi yang
melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian
pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang’
po |
Gambar 3. Bagan Alir Penyusunan Peraturan Zonasi di Indonesia
(Sumber: Pedoman Penyusunan PZ, Ditjen Penataan Ruang PU, 2006)
Secara prosedural, PZ di Indonesia begitu lengkap tersaji dalam Pedoman
Penyusunan PZ (Ditjen Penataan Ruang PU, 2006), termasuk mekanisme
penyusunannya (Gambar 3). Meski begitu, secara substantif, termasuk dalam
penyediaan stindar dan modul terasa masih sangat kurang. Tahap penyusunan
juga masih_mencari bentuk, termasuk penentuan format dasar dan prioritas
wilayah yang harus dibuatkan peraturan zonasinya. Pada intinya, Peraturan Zonasi
di Indonesia tidak dilatarbelakangi oleh sebuah tujuan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang yang lebih humans, integratif, dan berkelanjutan, namun lel
pada kegiatan yang bersifat prosedural. Sebagai contoh, penyusunan Klafikasi
zonasi yang disebut dalam Gambar 3, lebih pada kegiatan generalisasi dari
penggunaan lahan yang mempunyai karakter yang sejenis atau relatif sama.
VisSeminar Nasional 2009
Impl Undang-UUndang Panataan Raang No. 26 Tahun 2007
Tarbadap Konssp Pengembangan Kota dan Wilayah Berenson Lingkungan
III. PERKEMBANGAN “SMARTCODE”
“Smartcode” berkembang seiring dengan prinsip-prinsip yang.
dikembangkan oleh gerakan “New Urbanism” di Amerika Serikat (Duany dkk.,
2001), “Smartcode” pada hakikatnya adalah sebuah kode yang didasarkan pada
“transect” atau potongan yang menggambarkan bentang wilayah (Gambar 4),
mulai dari wilayah alami’sampai buatan di pusat kota, di mana tiap wilayah
‘mempunyai karakter yang khas dan sangat kompleks. Dengan demikian pada
prinsipnya, “smartcode” ini sangat mengakomodasi potensi dan karakter ekologi
tiap wilayah. Pada pelaksanaannya, beberapa prinsip. ini bisa dikembangkan *
berdasar potensi wilayah yang bersangkutan, “Smartcode” juga berorientasi pada
bentukan fisik wilayah (form-based), bukan pada tata guna lahan seperti yang.
banyak dianut oleh zonasi konvensional, Dalam zonasi Konvensional tersebut
beberapa semangat penggunaan lahan multi fungsi dan beberapa semangat
‘mewujudkan kota yang humanis melalui beberapa usaha peningkatan jalur pejalan
kaki sangat sulit untuk diimplementasikan. Seperti halnya cakupan “New
Urbanism”, maka “smartcode” ini juga bisa diimplementasikan secara luas, mulai
dari makro wilayah, komunitas, sampai pada mikro bangunan.
‘Tabel |. Perbedaan Zonasi Konvensional dan Zonasi berdasar “Smartcode”
‘Aspe Zonasi Konvensional Zonasi dengan “Smartcode™
Orientast Tata guna lahan yang terpisah Guna lahan multi fungsi (mixed use.
orientasi pada kendaraan beemotor | orientasi pada pembangunan kompak
ddan mudah bagi pejalan kaki
Organisast | Drorganisasikan disepotar zona | Didasarkan pada prinsip organist
spasial tunggal spasial yang mempertimbangkan
hirarki wilayah, seperti dese-kota
Priorias Gina Takan adalvh aspek utama yang] Bentukan fis dan Karakter adalah
dlipertimbangkan hal utama, sedang guna lahaa tetap
dipertimbangkan
‘Aspiras Reakiferhadap proposal roaktif terhadap visi Komunitas
pembangunan individu
Karakier "Aturan yang mengika, mengator apa] Aturan yang bersfat anjuran,
yang tidak diperbolehkan, schingga | menjelaskan apa yang diperlukan,
‘memunculkan beberapa parameter | seperti garis bangunan dan Kombinasi
seperti densitas dan FAR yang sult | ketinggian bangunan
dipreditsi
Visi ‘Mengatur penciptaan Bangunan ‘Mengatur pncipiaan tempat (pface)
(umber: Parolek dkk., 2008)
Parolek dkk. (2008) mendeskripsikan perbedaan zonasi_konvensional
dengan “smartcode” ini pada Tabel 1. Dari sini, terlihat bahwa semangat dari
“smartcode” adalah mengakomodasikan beberapa paradigma pemanfaatan dan
pembangunan kota terkini, seperti pembangunan kota berkelanjutan. Selanjutnya,
“smartcode” juga telah memberi sumber arahan secara lengkap dan detil bagi
pengembangan tiap karakter wilayah, misalnya bagaimana bentuk massa,
sirkulasi, fungsi untuk zona alami, zona desa, zona suburban, zona kota secara
umum, zona pusat kota, zona, maupun zona inti kota. Sebagai gambarannya,
semakin ke pusat kota ragam aktivitas semakin variatif, kepadatan bangunan
semakin tinggi, ketinggian bangunan semakin tinggi, dan area terbuka semak
memerlukan sebuah penanganan khusus (tidak lagi organis). Secara lengkap
modul “smartcode” dan beberapa contoh kasusnya dapat diperoleh di Smartcode
Version 9 and Manual (Duany dkk, 2008).
VasSeminar Nasional 2009
Inyphkes Undang-Undang Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007
Tarhadap Konsep Pangembangan Kota dan Whlayah Serwawasan Lngkwngan
reset |rsaer seem" A see
Aras
Gambar 4. Transect Zona Alami (atas) dan “Transect” Zona Berdasar Karakteristik
Wilayah pada “Smartcode” (bawah) (Sumber: www.planetizen.com diakses 2 April 2009
(atas) dan Parolek dkk., 2008 (b>-vah))
Sebagai produk, zonasi berdasar “smartcode” ini akan lebih mudah
dipahami, karena pembagiannya yang jelas dan ditujukan bagi peran serta
masyarakat yang lebih luas (Patolek dkk, 2008). Sama seperti produk dari zoning
Konvensional, zonasi dengan “smarteode” ini juga tetdiri dari “zoning text” yang
merupakan satu kesatuan dari “zoning map” dengan berdasar pada beberapa
prinsip kunci seperti landasan visi dan maksud yang jelas, mudah untuk
diaplikasikan, menghargai keberagaman, berdasar potensi dan karakter ruang,
terintegrasi, standar yang jelas, komprehensif dan mudah dipahami, serta mudah
disesuaikan (lihat contohnya di Gambar 5), “Smartcode” ini, di samping berfungsi
optimal bagi peraturan zonasi, juga terbukti berdays guna bagi beberapa skenario
pembangunan kota lainnya, seperti revitalisasi kota, pembangunan kembali bagian
kota, pembuatan master plan, dan sebagainya
VE-86Seminar Nasional 2009
Spas Undang-Unang Patan Ruang Ne 26 Tabun 2007
Terbadop Konsep Pengebangan Kota ean Wilayah Serves Lnghungan
THIELE] BANG SCAERLA
Gambar 5. Tipologi Peta Zonasi (Zoning Map) dan Teks Zonasi (Zoning Text) yang ada
di “Smartcode” (Sumber: Duany dkk, 2008)
IV. APLIKASI “SMARTCODE” DI KAWASAN TALLO, MAKASSAR_
Peraturan Zonasi Kawasan Tepian Sungai Tallo, Kotamadya Makassar
adalah Peraturan Zonasi yang telah diselesaikan pada Tahun Anggaran 2008 lewat
Skema Bantuan Teknis Penataan Ruang, Ditjen Penataan Ruang PU. Peraturan
Zonasi di dacrah ini dibuat dengan latar belakang bahwa perkembangan perkotaan
i sebelah selatan dan utara wilayah Kota Makassar perlu dibatasi, sehingga
Daerah Tepian Sungai Tallo yang berada tepat di tengah kota dinyatakan sebagai
daerah multi-guna, yakni sebagai kawasan lindung, kawasan konservasi sumber
daya air, kawasan pengendalian banjir, sekaligus dengan mayoritas lahan
nipahnya’ sebagai kawasan hijau kota perlu mendapat pengendalian dalam
pemanfataan ruangnya. Di samping itu, Kawasan Tepian Sungai Tallo ini
dikelilingi oleh fungsi hunian berkepadatan tinggi, fungsi industri, maupun fungsi
pergudangan yang mempunyai resiko tinggi dalam mencemari dan mengganggu
fungsi kawasan (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan
dan PT. Kharisma Karya, 2008).
vis?Seminar Nasional 2009
Imps Undang dang Patan Rang No. 26 Tan 2007 .
Tebadap Kons Pengerbangan Kea dan Wily Berwanasen Linkage
‘Tabel 2, Wilayah yang Masuk dalam Peraturan Zonasi Kawasan Tepian
‘Sungai Tallo, Kota Makassar
Wo | Kecamatan Kelarahan Tuas Area Perencanaan
(Ha)
1 | Recamatan Talo Tale 3078
Buloa. 8239
Kaluku Bodo 31,96
Lakkang 285.67
2 | Kecematan Panakiukany Pampang 308.56
3 | Kecamatan Tamalanrea Parang Loe 30751] *
Total 7062.87
‘Gumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan dan PT. Kharisma Karya,
2008)
Gambar 6. Aplikasi “Smartcode” pada PZ Kawasan Tepian Sungai Tallo, Kota Makassar
(Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan dan PT.
Kharisma Karya, 2008)
Wilayah kajian sendiri meliputi 3 kecamatan yang terdiri dari 4 kelurahan
seperti tergambar dalam Tabel 2. Berdasarkan pertimbangan administratif yang,
nantinya akan menyangkut tindakan implementasi hukum bagi PZ yang telah
diperdakan, maka masing-masing kelurahan ini kemudian diputuskan sebagai
blok yang’ mempunyai karakteristik pada PZ Kawasan Tepian Sungai Tallo,
Makassar ini. Sampai tahap ini, PZ Kawasan Tepian Sungai Tallo ini sangat
kental dengan zonasi tipe konvensional, di mana berorientasi pada guna lahan.
Selanjutnya PZ ini mencoba memasukkan pertimbangan “smarteode” bagi
intensitas pemanfaatan ruang tiap blok, seperti terlihat dalam Gambar 6
Meskipun tidak secara optimal bisa terimplementasi, namun berdasar
“transect” atau potongan karakteristik kawasan, turunan dari “smarteode” ini
‘mampu menjadi dasar bagi pembagian wilayah di Kawasan Tepian Sungai Tallo,
Kota Makassar, secara makro. Sesuai peraturan DAS, maka kawasan Sungai Tallo
dimasukkan sebagai area konservasi yang harus ketat dilindungi, kawasan
VE8sSeminar Nasional 2009
Imypiasi‘Undong-Undang Penatean Ruang No. 26 Tahun 2007
Tirhadap Konsip Pengembangan Kota dan Wilayah Berwanasan Linghungan
selanjutnya adalah kawasan permukiman terbatas terutama bagi penduduk asli di
Desa Lakkang sebagai wilayah konservasi budaya, disusul dengan kawasan yang
telah mempunyai karakter kegiatan perkotaan dengan intensitas penggunaan lahan
yang cenderung lebih ketat dengan pemanfaatan Ketinggian dan densitas
bangunan, seperti terlihat pada Gambar 7. Keterbatasan implementasi
“smarteode” melalui keluaran (ouput) PZ yang khas ini pada dasarnya juga dipicu
oleh Keterikatan dalam mengacu atau menyesuaikan peraturan tata ruang yang
lebih tinggi seperti RTRW Kota Makassar dan RDTR Kawasan Tallo yang telah
dlibuatterlebih dahulu.
Gambar 7. Beberapa hasil potongan penampang lingkungan di Blok |
(Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan dan PT.
Kharisma Karya, 2008)
V. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Penyusunan PZ dengan Kasus PZ Kawasan Tepian Sungai Tallo, Kota
Makassar ini, seperti telah diuraikan di atas, menarik bagi terujudnya sebuah
model integrasi ruang kota melalui penerapan “smartcode”. Model integrasi ruang
kota di sini adalah kesatuan tema dan karakteristik yang khas yang bisa
diselesaikan oleh sebuah Peraturan Zonasi dalam mengendalikan pemanfaatan
ruang kota berdasar paradigma baru pembangunan atau pemanfataan ruang kota.
Beberapa paradigma seperti integrasi ruang kota pada ruang yang humanis,
integratif, dan berkelanjutan yang sbeelumnya tidak secara eksplisit tercfermin
dalam rencana tata ruang di atasnya, bisa langsung dieksekusi oleh PZ.
“Smarteode” dalam hal ini telah membawa pada penguatan karakter kawasan
yang sebelumnya terbatas berdasar rencana tata ruang yang lebih dulu ada
(RTRW Provinsi, RTRW Kota, maupun RDTRK).
Peraturan Zonasi di Indonesia secara umum, meskipun telah_memberi
beberapa keuntungan seperti kepastian (certainty), prediksi (predictability),
kepastian hukum (legitimacy), dan keterbukaan (accountability) bagi
tetselenggaranya pemanfaatan ruang secara bertanggung jawab, proses
penyusunannya masih jauh dari ideal. Hal ini terutama jika hirarki yang harus
mengakomodasi secara utuh aturan tata ruang yang telah ada harus diacu,
“Reverse-order” atau susunan terbalik pada sistem “perencanaan-pemanfaatan-
pengendalian” seperti terlihat dalam Gambar 8 ini sangat lah mungkin dilakukan,
Terlebih jika pada tataran perencanaan, beberapa aspirasi _paradigma
pembangunan aktual, belum secara tegas terungkap. Susunan terbalik berorientasi
pada “smartcode” ini juga bisa mengakomodasi beberapa wilayah yang selama ini
belum mempunyai rencana kota, sedangkan kegiatan pengendalian segera perlu
ViE89Seminar Nasionalz009
Smplas ndang-UndangPerntaan Ruang No, 26 Tahun 2007
Tarhadap Komep Pengembangan Kota dan Wilayoh Bereonasen Linghangan &
dilakukan. Dengan gambaran “smartcode” yang mudah dalam aturan standar dan
penyajian, hal ini bisa menjadi pemacu bagi keterlibatan lebih luas masyarakat
dalam penyusunan PZ ini.
TPERENCANAAN PEMANFAATAN PENGENDALTAN
Tndang-ndina
Manajemen tan |
‘ingame Laan
Ketiaton ‘eawann) |
me |, Peat, Pen
ata Massa Pengavasa, Peri,
sartie | ‘Klemen
san de sarra Taam
la Program (pert, Bok. stor)
Ferataran Zon
"etaran don Pela
Ketemngan dn
‘Ado
Gambar 8. Peran PZ yang Menguat dengan Pendekatan Baru dan Memberi Masukan
bagi Penyempurnaan Sistem “Perencanaan-Pemanfaatan-Pengendalian” Ruang di
Masa Datang (Sumber: Analisis Penulis berdasar Bagan pada
Pedoman Penyusunan PZ, Ditjen Penataan Ruang, PU, 2006)
VI. KESIMPULAN :
Dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang telah
menempatkan Peraturan Zonasi (PZ) sebagai sebuah perangkat penting dalam
sistem perencanaan, pemanfaatan, dan pengen‘alian ruang di Indonesia
Meskipun begitu PZ di Indonesia masih terbatas dalam mengakomodasi beberapa
paradizma baru, seperti pencapaian tata ruang yang humanis, integratif, dan
berkelanjutan. Indikasi lain telah memberikan sekilas gambaran, bahwa PZ di
Indonesia masih dominan dalam mengadopsi zonasi konvensional yang lebih
berorientasi pada guna lahan tradisional yang terpisah, bukan pada sebuah
integrasi tata ruang wilayah melalui lahan multi fungsi dan ujud kompak sebuah
kawasan atau kota yang terepresentasikan dalam “smartcode”. Selain itu, melalui
“smartcode”, karakter wilayah yang khas bisa lebih tereksplorasi.
Melatui studi kasus menggunakan PZ Kawasan Tepian Sungai Tallo di
Kota Makassar, paper ini menemukan bahwa zonasi konvensional masih sangat
dominan dalam menentukan analisis blok yang didasari pada pemanfaatan lahan
(guna lahan), bukan pada bentukan fisik yang ingin dituju. Selain itu keterikatan
pada peraturan tata ruang yang telah ada, menjadikan cara penyusunan PZ ini
sangat terbatas dalam merepresentasikan beberapa paradigma baru yang belum
terakomodasi dalam aturan tata ruang tersebut. Inovasi penggunaan “smartcode”,
terutama dalam mentransformasikan beberapa ide baru penataan ruang,
mempunyai tantangan yang besar. Realisasi ide ini dalam PZ bisa memberi efek
positif melalui sebuah umpan balik dalam sistem perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian tata ruang.
VL-90Seminar Nasional 2009
Imps Undang-Undang Ponataan Ruang No, 26 Tahun 2007
Tarbadap Konep Pengemibangan Kota den Wileyah Beramesan Lnghungan
VIL. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
www.depdagri.go.id, diakses 2 April 2009
Congress for the New Urbanism, 1999, The Charter of the New Urbanism,
McGraw Hill Professional, New York.
Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan dan PT, Kharisma
Karya, 2008, Laporan Final Peraturan Zonasi Wilayah Tepian Sungai
Tallo Kota Makassar, Makassar.
Ditjen Penataan Ruang PU, 2006, Pedoman Penyusunan Peraturan Zonasi,
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum,
Duany, JakarBlater-Zyberk, E., Speck, J., 2001, Suburban Nation: The Rise of
‘Sprawl and the Decline of the American Dream, Straus and Giroux, New
York.
Duany, A., Sorlien, S., Wrigh, W, 2008, Smartcode Version 9 and Manual, New
Urban New Publications, New York. i
Parolek, D.G., Parolek, K., Crwford, P.C., 2008, Form Based Codes: A Guide for
Planners, Urban Designers, Municipalities, and Developers, John Wiley
& Sons, New Jersey
Planetizen, 2009, Smartcode, www.planetizen.com, diakses 2 April 2009.
vist