You are on page 1of 4

Seorang Imam Jumat

Kapan kamu bisa jemput aku Joe". Gerutu Demia pada Joerdy. Tanpa dikasih kesempatan telpon
pun langsung Demia tutup. Malam minggu ini semakin larut, handphone Demia bunyi kembali,
kini giliran Jo yang telpon Demia. "Hallo". Sapa Demia. "De kamu di mana? "Aku sudah di
depan rumahmu!". Tegas Joe. Kedua remaja itu begitu mengidolakan seorang artis ternama di
jagat raya ini. Mereka begitu antusias meramaikan kedatangan artis idolanya. Tak heran jika di
zaman sekarang banyak yang tertipu daya dengan pergaulan yang kurang berkenan dalam
tindakan kehidupannya. "Tuh kan Joe, aku bilang apa, acara manggungnya sudah berjalan".
Manja Demia mulai menjalar saat mereka berdua memarkirkan motornya.
Langkah mereka berdua melenggang sambil joget-joget kecil. Sesekali Demia dan Joe menyapa
orang-orang dikeramaian itu. "De lagu favorite aku bentar lagi dinyanyain". Tukas Joe. "Iya aku
juga tadi dengar, MCnya sudah mengumumkan kali Joe". Sambut Demia.
Mereka larut dalam duniawi, menikmati lagu-lagu yang dilantunkan penyanyi favoritenya, tak
menghiraukan perintah kedua orang tuanya, nasihat kedua orang tua Demia seakan makanan
renyah yang dinikmati setiap hari namun dikeluarkan setiap hari juga.
"De ibu harap kamu jangan terlalu banyak bergaul dengan laki-laki yang suka kluyuran". Kali ini
ibunya Demia angkat bicara. "Ibu bicara seperti ini demi kebaikanmu De". Sambungnya. Namun
Demia hanya manggut-manggut saja, seakan dinikmati namun tak pernah direnungkan.
Malam minggu telah berlalu, kedua remaja itu masih menikmati dini harinya bersama
sekelompok teman-temannya. Ini tidak wajar, anak perempuan bersama laki-laki sampai pagi
hari. "Joe kita pulang yuk". Ajak Demia. "Ini baru jam berapa De, masih sore rasanya". Sambung
Joe. "Tapi Joe"... Namun Demia tak melanjutkan sanggahannya. Joe terus menjalankan sepeda
motornya keliling kota kecil ini. Walaupun suasana masih ramai sampai menjelang subuh, namun
ada nilai tersendiri untuk seorang remaja perempuan yang belum pulang.
Ibu Demia terpaku, meneteskan air mata setelah melaksanakan sholat malamnya. Memohon
kepada-Nya agar anaknya tetap menjaga diri. Sekalipun dia telah terlahir dalam dua remaja yang
kurang bersahabat dengan lingkungan. Dua jam menjelang subuh. "Tok...tok... Ibu... Ibu...
Bukain pintunya". Rajuk Demia. Ibu Demia segera melangkah membukakan pintu untuk
anaknya. "De... Dari mana saja jam segini baru pulang?" Tanya sang ibu. "Maaf bu De ngantuk,

boleh De tidur dulu!". Sergah Demia dengan lancangnya. Ibu Demianya hanya menggelengkan
kepala dan selalu bersikap sabar. Salah satu jalan terbaik untuknya memanggil Joe. Ya... Joerdy
sebagai temannya. "Jika kita berteman dengan penjual minyak, maka kita akan kena cipratan
minyak itu". Pepatah itu terkuak dibenak sang ibu.
Esok pagi begitu cerah, mentara sangat bersahabat dihari ini, senin membuat semuanya menjadi
indah. Pagi ini Joe menyempatkan dirinya menjemput Demia. "Assalamualaikum". Salam Joe
saat dia berada di lidah pintu rumah Demia. "Wa'alaikum salam". Jawab sang ibu dengan lemah
lembut. Ibu Demia bergegas membukanya. Lantunan suara langkah mengarak diri sang ibu
menghampir lidah pintu. Begitu pintu terbuka, sang ibu memberikan senyum manis dipagi ini,
wajahnya bersinar penuh semangat melawan hari ini. "Eh nak Joe, ayo masuk nak". Ajak Ibu
Demia. "Iya bu terima kasih". Jawab Joe dengan nada tak kalah sopan. "Tapi Demia ada kan
bu?". Sambung Joe. "Ada nak, baru saja dia masuk kamar mandi". Tegasnya. "Tapi ngomongngomong tumben sekali nak Joe pagi-pagi gini sudah ke sini?". "Oh jadi begini bu". Joe sambil
membenarkan posisi duduknya. "Sebelum ke sekolah kami berdua mau mampir dulu ke Rumah
Sakit. Ada sahabat kami, Erika namanya sedang dirawat pasca operasi usus buntu". "Oh begitu".
Jawab yang singkat dari ibu Demia. "Sebentar ya nak, ibu tinggal ke dapur dulu". Ibu Demia
pamit meninggalkan Joe, Joe melihat disekeliling ruang tamu di rumah Demia. Karena Joe baru
pertama kali masuk rumahnya Demia.
Di sudut kanan ruang tamu ini terdapat kaligrafi yang dibingai rapi, terpasang empat foto,
almarhum Ayah Demia, Ibunya, Demia dan satu adik laki-laki Demia. Joe terus memperhatikan
di sekitar itu, pada saat Joe membalikkan badan ke belakang, Joe menemukan tulisan tangan
sebuah pesan singkat. "Lakukan yang terbaik dalam hidupmu, dan membuatmu bahagia tetapi
tidak mengurangi kadar kebaikan terhadap orang lain". Joe tersentak melihat tulisan itu, Joe
merenungi kata-kata sederhana itu namun begitu dalam artinya. "Ekhem"... Ibu Demia
berdehem. "Kenapa nak Joe?". Tanyanya sambil memberikan teh manis hangat dan dua lembar
roti yang sudah ditaburi coklat. "Nggak apa-apa bu". Tukas Joe. "Ibu Demianya masih lama?".
Joe tanya balik. "Bentar lagi nak, tadi dia sudah masuk kamarnya, mungkin lagi ganti baju".
Suasana hening, hanya detak jam dinding yang menyanyikan suaranya, bagaikan hitungan
denyut nadi namun suaranya masih bisa diprediksi. Tidak lambat ataupun mempercepat diri. Joe

sedang menikmati hidangan yang diberikan ibu Demia. "Jadi begini nak". Tiba-tiba sang ibu
membuka pembicaraan. "Kalian kan sudah pada gede, mungkin sudah bisa membedakan yang
baik dan buruk. Jadi alangkah baiknya kalian kontribusikan diri kalian pada hakikatnya manusia.
Jika malam minggu keluar, cukupkan sampai jam sepuluh malam sudah pulang lagi". Tegas ibu
Demia. Joe memicingkan matanya, menebak-nebak apa yang dikatakan ibu. Joe tersadar, waktu
malam minggu kemarin Joe mengajak Demia sampai larut malam, bahkan sampai pagi.
Pagi ini Joe merasa bersalah pada Ibu Demia, mengajak Demia malam mingguan sampai larut
pagi. Padahal aku tahu Demia seseorang yang sudah ditinggal ayahnya untuk tidak kembali
selamanya. "Hai Joe, selamat pagi". Sapa Demia pada Joe. "Hai juga De. Selamat pagi juga".
Imbuhnya. "Yuk kita berangkat, nanti kesiangan, kita kan mau nengok Erika dulu". Sambung
Demia.
Joe dan Demia pamit sama ibunya. Mereka melenggang dari rumah dengan hati yang penuh
semangat. "Semoga Joe bisa menjaga Demia". Ibu Demia selalu memberikan harapannya pada
anak itu. Joe itu anak yang baik, turunan keluarga yang baik. Mungkin begitu karena bawaan
emosional remaja.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Joe diam seribu bahasa, memikirkan apa yang dikatakan
ibunda Demia. Demia pun tak berkata apa-apa. Karena dia tahu, ketika Joe diam, berarti ada
sesuatu yang dipikirkannya. Sampainya di rumah sakit, mereka berdua langsung ke ruang rawat
inap Erika. "De, hari ini aku nggak masuk sekolah ya!". "Kenapa Joe?". Tanya Demia. "Aku ada
urusan, dan ini sangat penting". Imbuhnya. "Ya sudah, bereskan dengan baik ya joe". Pesan
Demia.
Sepulang dari rumah sakit, Joe mengantar Demia ke sekolah, setelah itu Joe langsung pergi.
Demia hanya terdiam melihat perubahan Joe.
Sasaran Joe mungkin temannya, dia di sekolah terkenal baik dengan agamanya. "Andika...
Assalamualaikum". Teriak Joe. Kebetulan hari ini Andika juga gak masuk sekolah karena dia lagi
sakit juga. "Ada apa Joe?" Tanya Andika. "Kenapa kamu gak sekolah, bukannya ini jamnya
sekolah?" Andika tanya balik. "Iya Joe, seharusnya aku ada di sekolah, namun ada sesuatu yang
ingin aku bicarakan padamu". Tukasnya. "Tentang apa Joe?" Rasa penasaran membuncah pada

diri Andika. "Tadi pagi aku mampir ke rumah Demia, terus aku menemukan kata-kata yang
terselumbung maknanya, namun kata-kata ibu Demia mengetuk hati aku". Jelasnya pada Andika.
"Memang benar Joe, walaupun kita masih muda, namun kita harus memberikan yang terbaik
untuk orang lain, biar nanti kita dikenang dengan kebaikan-kebaikan kita". Hibur Andika pada
Joe. "Sekarang gini, kamu nanti hari jum'at ikut sholat dengan ku ya". "Oke Dika, terima kasih
ya ajakannya, aku senang dengan semua ini".
Waktu terus bergulir, hari jum'at ini begitu terik terasa matahari di atas ubun-ubun. Joe sudah
menunggu Andika di gerbang utama Masjid Agung. Joe tak menemukan sosok Andika. "Joe
kamu lagi ngapain di berdiri di situ?". Sapa Andika. "Eh Dika, kenapa kamu tidak memberi
tahu". Imbuhnya. Andika hanya berseringai. Kamu sudah Wudhu belum Joe?". Tanya Andika.
"Belum nih". "Ayo kamu cepat Wudhu". Perintah Andika. "Aku nunggu di atas ya Joe". Joe
hanya menganggukan kepala, menyatakan iya.
Waktu sholat jum'at berlangsung dengan tenteram dan damai, Joe dan Andika menyimak khotbah
dengan saksama. Kini giliran sholat. sang imam jum'at, dengan postur tubuh kecil, sederhana,
dan sangat teduh. Semua jama'ah jum'at sudah rapi. Sang imam memulai dengan takbiratul
ikhram. Bacaan yang fasih, dilanjut membaca ayat-ayat Allah, makhroz hurufnya begitu jelas,
Joe meneteskan air mata. Ketika ayat-ayat Allah itu dikumandangkan oleh sang imam jum'at. Joe
merasa lemah, dia bukan siapa-siapa di dunia ini, kemampuan sang imam telah membawanya
pada titik terang kehidupan. Seorang artis Hollywood dapat tersingkirkan dari benak Joe. Joe
berpikir. Popularitas bukan suatu kebanggakan. Tanpa diiringi ilmu yang baik, hidup bagaikan
kapas yang melayang terbawa angin dan tak tahu tujuan kemana. Joe terus meneteskan air mata,
beristigfar kepada-Nya. Memohon ampunan sesdar-sadarnya.

Rangkasbitung, ... Oktober 2013.

Sakir.

You might also like