Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
ANEMIA didefinisikan sebagai penurunan volume/jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam darah atau
penurunan kadar Hemoglobin sampai dibawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Hb<10
g/dL), sehingga terjadi penurunan kemampuan darah untuk menyalurkan oksigen ke jaringan. Dengan
demikian anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis yang diuraikan dalam anamnesa, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan
laboratorium yang menunjang. Manifestasi klinik yang timbul tergantung pada :
kecepatan timbulnya anemia
umur individu
mekanisme kompensasi tubuh
seperti : peningkatan curah jantung dan pernapasan, meningkatkan pelepasan oksigen oleh
hemoglobin, mengembangkan volume plasma, redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.
tingkat aktivitasnya
keadaan penyakit yang mendasari
parahnya anemia tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anemia Defisiensi
Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan satu atau beberapa bahan yang diperlukan untuk
pematangan eritrosit, seperti defisiensi besi, asam folat, vitamin B12, protein, piridoksin dan
sebagainya. Anemia defisiensi dapat diklasifikasikan menurut morfologi dan etiologi menjadi 3
golongan :
a. Mikrositik Hipokrom
Mikrositik berarti sel darah merah berukuran kecil, dibawah ukuran normal (MCV<80 fL). Hipokrom
berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (MCHC kurang). Hal ini
umumnya menggambarkan defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik atau
gangguan sintesis globin seperti pada penderita talasemia. Dari semua itu defisiensi besi merupakan
penyebab utama anemia didunia.
Anemia Defisiensi Besi
merupakan penyakit yang sering pada bayi dan anak yang sedang dalam proses pertumbuhan dan pada
wanita hamil yang keperluan besinya lebih besar dari orang normal. Jumlah besi dalam badan orang
dewasa adalah 4-5 gr sedang pada bayi 400 mg, yang terdiri dari : masa eritrosit 60 %, feritin dan
hemosiderin 30 %, mioglobin 5-10 %, hemenzim 1 %, besi plasma 0,1 %. Kebutuhan besi pada bayi
dan anak lebih besar dari pengelurannya karena pemakaiannya untuk proses pertumbuhan, dengan
kebutuhan rata-rata 5 mg/hari tetapi bila terdapat infeksi meningkat sampai 10 mg/hari.
Besi diabsorsi dalam usus halus (duodenum dan yeyenum) proksimal. Besi yang terkandung dalam
makanan ketika dalam lambung dibebaskan menjadi ion fero dengan bantuan asam lambung (HCL).
Kemudian masuk ke usus halus dirubah menjadi ion fero dengan pengaruh alkali, kemudian ion fero
diabsorpsi, sebagian disimpan sebagai senyawa feritin dan sebagian lagi masuk keperedaran darah
berikatan dengan protein (transferin) yang akan digunakan kembali untuk sintesa hemoglobin.
Sebagian dari transferin yang tidak terpakai disimpan sebagai labile iron pool. Penyerapan ion fero
dipermudah dengan adanya vitamin atau fruktosa, tetapi akan terhambat dengan fosfat, oksalat, susu,
antasid. Berikut bagan metabolisme besi :
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit bisa melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan
karena perdarahan (mens) sangat sedikit. Sedangkan besi yang dilepaskan pada pemecahan
hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan digunakan lagi
untuk sintesa hemoglobin. Pengeluaran besi dari tubuh yang normal : Bayi 0,3 – 0,4 mg.hari
Anak 4-12 tahun 0,4 – 1 mg/hari
Laki-laki dewasa 1 – 1,5 mg/hari
Wanita dewasa 1 – 2,5 mg/hari
Wanita hamil 2,7 mg/hari
Etiologi
menurut patogenesisnya :
Masukan kurang : MEP, defisiensi diet, pertumbuhan cepat.
Absorpsi kurang : MEP, diare kronis
Sintesis kurang : transferin kurang
Kebutuhan meningkat : infeksi dan pertumbuhan cepat
Pengeluaran bertambah: kehilangan darah karena infeksi parasit dan polip
Gejala klinis
Terapi
Pengobatan kausal
Makanan adekuat
Sulfas ferosus 3X10 mg /KgBB/hari. Diharapkan kenaikan Hb 1 g.dL setiap 1-2 minggu
Transfusi darah bila kadar Hb <5 g/dL dan keadaan umum tidak baik
Antelmintik jika ada infeksi parasit
Antibiotik jika ada infeksi
b. Makrositik Normokrom (Megalobalstik)
Makrositik berarti ukuran sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena
konsentrasi hemoglobin normal (MCV >100 fL, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan
atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam
folat.
1. Anemia Defisiensi Asam Folat
Asam folat adalah bahan esensial untuk sintesis DNA dan RNA. Jumlah asam folat dalam tubuh
berkisar 6-10 mg, dengan kebutuhan perhari 50mg. Asam folat dapat diperoleh dari hati, ginjal, sayur
hijau, ragi. Asam folat sendiri diserap dalam duodenum dan yeyenum bagian atas, terikat pada protein
plasma secara lemah dan disimpan didalam hati. Tanpa adanya asupan folat, persediaan folat biasanya
akan habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Berikut metabolisme asam folat :
etiologi
kekurangan masukan asam folat
gangguan absorpsi
kekurangan faktor intrinsik seperti pada anemia pernisiosa dan postgastrektomi
infeksi parasit
penyakit usus dan keganasan
obat yang bersifat antagonistik terhadap asam folat seperti metotrexat
gejala klinis
pucat
lekas letih dan lemas
berdebar-debar
pusing dan sukar tidur
tampak seperti malnutrisi
glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit)
diare dan kehilangan nafsu makan
laboratorium
Hb menurun, MCV >96 fL
Retikulosit biasanya berkurang
Hipersegmentasi neutrofil
Aktivitas asam folat dalam serum rendah (normal antara 2,1-2,8 mg/ml)
SSTL eritropoetik megaobalstk, granulopoetik, trombopoetik
Terapi
Asam folat 3X5 mg/hari untuk anak
Asam folat 3X2,5 mg/hari untuk bayi
Atasi faktor etiologi
c. Anemia Dimorfik
Suatu campuran anemia mikrositik hipokrom dan anemia megaloblastik. Biasanya disebabkan oleh
defisiensi dari asam folat dan besi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
hipokrom makrositik
mikrositik normokrom
MCV, MCH, MCHC mungkin normal
SI menurun sedikit
IBC agak menurun
SSTL terlihat gejala campuran dari kedua jenis anemia
Untuk terapi dapat diberikan : preparat besi dan asam folat
Keadaan yang disebabkan berkurangnya sel-sel darah dalam darah tepi sebagai akibat terhentinya
pembentukan sel hemapoetik dalam SSTL, sehingga penderita mengalami pansitopenia yaitu
kekurangan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.Secara morfologis sel-sel darah merah
terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang, biopsi sumsum tulang
menunjukkan keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi
penggantian dengan jaringan lemak. Anemia aplastik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
Kongenital
Timbul perdarahan bawah kulit diikuti dengan anemia progresif dengan clinical onset 1,5-22 tahun,
rerata 6-8 tahun. Salah satu contoh adalah sindrom fanconi yang bersifat constitusional aplastic
anemia resesif autosom, pada 2/3 penderita disertai anomali kongenital lain seperti mikrosefali,
mikroftalmi, anomali jari, kelainan ginjal, perawakan pendek, hiperpigmentasi kulit.
Didapat
disebabkan oleh :
radiasi sinar rontgen dan sinar radioaktif
zat kimia seperti benzena, insektisida, As, Au, Pb
obat seperti kloramfenikol, busulfan, metotrexate, sulfonamide, fenilbutazon.
Individual seperti alergi
Infeksi seperti IBC milier, hepatitis
Lain-lain seperti keganasan, penyakit ginjal, penyakit endokrin
Yang paling sering bersifat idiopatik
Pucat, lemah, anorexia, palpitasi
Sesak napas karena gagal jantung
Aplasi sistem hematopoetik seperti ikterus, limpa/hepar membesar, KGB membesar
Anemia karena eritropoetik menurun retikulositopenia,Hb,Ht, eritrosit menurun
Perdarahan oleh karena trombopoetik menurun trombositopenia
Rentan terhadap infeksi oleh karena granulopoetik menurun netropenia
Bersifat berat dan serius
Gejala klinis
Laboratorium
Terapi
Pada anemia hemolitik umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari).
Gejala umum penyakit ini disebabkan adanya penghancuran eritrosit sehingga dapat menimbulkan
gejala anemi, bilirubin meningkat bila fungsi hepar buruk dan keaktifan sumsum tulang untuk
mengadakan kompensasi terhadap penghancuran tersebut (hipereaktif eritropoetik) sehingga dalam
darah tepi dijumpai banyak eritrosit berinti, retikulosit meningkat, polikromasi, bahkan eritropoesis
ektrameduler. Adapun gejala klinis penyakit ini berupa : menggigil, pucat, cepat lelah, sesak napas,
jaundice, urin berwarna gelap, dan pembesaran limpa. Penyakit ini dapat dibagi dalam 2 golongan
besar yaitu :
a. Gangguan Intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan ini umumnya disebabkan oleh karena ada gangguan dalam metabolisme eritrosit sendiri.
Dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Umur eritrosit pendek, bentuknya kecil, bundar dan resistensi terhadap NaCl hipotonis menjadi
rendah. Limpa membesar dan sering disertai ikhterus, jumlah retikulosit meningkat. Penyebab
hemolisis pada penyakit ini disebabkan oleh kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia
lebih menyolok dibanding dengan ikhterus. Suatu infeksi yang ringan dapat menimbulkan krisis
aplastik. Utnuk pengobatan dapat dilakukan transfusi darah dalam keadaan kritis, pengangkatan limpa
pada keadaan yang ringan dan anak yang agak besar (2-3 tahun), roboransia.
Ovalositosis (eliptositosis)
50-90% Eritrosit berbentuk oval (lonjong), diturunkan secara dominan, hemolisis tidak seberat
sferositosis, dengan splenektomi dapat mengurangi proses hemolisis.
A beta lipoproteinemia
Diduga kelainan bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah
Defisisnsi vitamin E
Penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya
secara resesif. Di Indonesia talasemia merupakan penyakit terbanyak diantara golongan anemia
hemolitik dengan penyebab intrakorpuskular. Secara molekular dibedakan atas :
Talasemia µ (gangguan pembentukan rantai µ)
Talasemia b (gangguan pembentukan tantai b)
Talasemia b-d (gangguan pembentuka rantai b dand yang letak gennya diduga berdekatan )
Talasemia d (gangguan pembentukan rantai d)
Secara klinis talasemia dibagi dalam 2 golongan yaitu :
Talasemia mayor (bentuk homozigot)
Memberikan gejala klinis yang jelas
Talasemia minor
Biasanya tidak memberikan gejala klinis
Gejala klinis dan laboratorium
Kelaian darah
Berupa anemia berat tipe mikrositik karena sintesis HbA menurun, penghancuran eritrosit meningkat
dan defisiensi asam folat.
Kelainan organ
karena proses penyakit dan hemosiderosis karena transfusi. Berupa hepatomegali – splenomegali,
pada anak yang besar disertai gizi yang jelek dan muka fasies mongoloid. tulang medula lebar, kortek
tipis sehingga mudah fraktur dan trabekula kasar, tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan brush
appereance. Gangguan pertumbuhan berupa pendek, menarche, gangguan pertumbuhan sex sekunder,
perikarditis dan kardiomegali dapat menyebabkan dekomp kordis.
Darah tepi
Mikrositik hipokrom, jumlah retikulosit meningkat, pada hapusan darah tepi didapatkan anisositosis,
hipokromi, poikilositositosis, sel target. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum
besi (IBC) menjadi rendah. Hemoglobin mengandung kadar HbF yang tinggi lebih dari 30%. Di
indonesia kira-kira 45% penderita talasmeia juga mempunyai HbE, penderita talasemia HbE maupun
HbS secara klinis lebih ringan dari talasemia mayor. Umumnya datang ke dokter pada umur 4-6 tahun
sedang talasemia mayor gejala sudah tampak pada umur 3 bulan. Penderita talasemia HbE dapat hidup
hingga dewasa.
Komplikasi
Anemi berat dan lama dapat menyebabkan gagal jantung, transfusi darah berulang dan proses
hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai
organ (hepar, limpa, kulit, jantung).hemokromatosis, limpa yang besar mudah ruptur kadang disertai
tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombositopenia.
Pengobatan
Saat diagnosis (baru)
- Atasi anemi dengan transfusi PRC bila hb <6g/dL dan dipertahankan >12 g/dL
- Atasi komplikasi karena penyakit : gagal jantung karena anemi beri oksigen, transfusi, diuretik,
digitalisasi hanya bila Hb >8 g/dL. Jika ada infeksi beri antibiotik.
- Lengkapi antropometri
- Lengkapi penunjang : kadar besi dan feritin, foto tulang, analisa Hb, rontgen thorak dan EKG,
pemeriksaan DNA
- Imunisasi hepatitis B
b. Gangguan Ektrakorpuskular
Golongan dengan penyebab hemolisis ektraseluler, biasanya penyebabnya merupakan faktor yang
didapat (acquired) dan dapat disebakan oleh :
obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin (hemolisisn)
streptokokkus, virus, malaria.
hipesplenisme
anemia akibat penghancuran eritrosit karena reaksi antigen-antibodi. Seperti inkompabilitas
golongan darah, alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, bisa juga karena reaksi
autoimun.
Pengobatan
Pemberian transfusi darah dapat menolong penderita, dapat pula diberikan prednison atau
hidrokortison dengan dosis tinggi pada anemia hemolitik imun ini.
Terjadi akibat perdarahan masif atau perdarahan menahun seperti kehilangan darah karena kecelakaan,
operasi, perdarahan usus, ulkus peptikum, hemoroid.
a. Kehilangan darah mendadak
1. Pengaruh yang timbul segera
kehilangan darah yang cepat akan menimbulkan reflek kardiovaskular sehingga terjadi kontraksi
arteriola, penurunan aliran darah keorgan yang kurang vital (anggota gerak, ginjal dan
sebagainya) dan peningkaata aliran darah keorgan vital (otak dan jantung).
Kehilangan darah 12-15% : pucat, takikardi, TD normal/menurun
Kehilangan darah 15-20% : TD menurun, syok reversibel
Kehilangan darah >20% : syok reversibel
Terapi : transfusi darah dan plasma
2. Pengaruh lambat
pergeseran cairan ektraseluler ke intraseluler sehingga terjadi hemodilusi
gejala : leukositosis (15.000-20.000/mm3), Hb, Ht, eritrosit menurun, eritropoetik meningkat,
oligouria / anuria, gagal jantung.
Terapi dapat diberikan PRC
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
ANEMIA didefinisikan sebagai penurunan volume/jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam darah
atau penurunan kadar Hemoglobin sampai dibawah rent Untuk penangan anemia diadasarkan dari
penyakit yang menyebabkannya ang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Hb<10 g/dL).
Dengan demikian anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis yang diuraikan dalam anamnesa, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan
laboratorium yang menunjang.
Tanda dan gejala yang sering timbul adalah sakit kepala, pusing, lemah, gelisah, diaforesis (keringat
dingin), takikardi, sesak napas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat atau syok, dan pucat (dilihat
dari warna kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut dan konjungtiva).
Anemia dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian :
Anemia defisiensi dibedakan menjadi :
Anemia defisiensi
Anemia aplastik
Anemia hemoragik
Anemia hemolitik
mikrositik hipokrom : defisiensi besi
makrositik normokrom : defisiensi asam folat dsn vitamin B12
anemia dimorfik
Anemia hemolitik dibedakan menjadi :
gangguan intakorpuskuler : kelainan struktur dinding eritrosit, defisiensi enzim, hemoglobinopatia
gangguan ektrakorpuskuler
Anemia post hemoragik bisa karena :
kehilangan darah mendadak
kehilangan darah menahun
DAFTAR PUSTAKA
Mansoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2000
Sylvia A.Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2. EGC. Jakarta. 1995
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak Volume 1 . Percetakan Info Medika. Jakarta. 2002
Richard E.Behrman. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 2 edisi 15. EGC. Jakarta. 2000
Rita Nanda, MD. Departement of Hematology/Oncology. University of Chicago Medical Centre.
Chicago. Review provided by VeriMed Healthcare Network.
Stephen Grund, MD, PhD. Chief of Hematology/Oncology and Director of The George Bray Cancer
Center at New Britain General Hospital. New Britain. Review provided by VeriMed Healthcare
Network.
Marcia S.Brose, MD, PhD. Assistant Profesor Hematology/Oncology. The University of
Pennsylvania Cancer Center. Philadelphia. Review provided by VeriMed Healthcare Network.
Beutler E. G6PD deficiency. Blood 1994;84:3613-36.
S, Estwick D, Peddi R. G6PD deficiency: its role in the high prevalence of hypertension and
diabetes mellitus. Ethn Dis 2001;11:749-54..
Mehta A, Mason PJ, Vulliamy TJ. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Baillieres Best
Pract Res Clin Haematol 2000;13:21-38..
1994, 1995 University of Texas – Houston Medical School, DPALM MEDIC