You are on page 1of 21

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan
proteinuria berat dan hipoalbuminemia atau hipoproteinemia yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas protein serum melalui membran basal yang mengalami
kerusakan pada glomerulus ginjal. Definisi sindrom nefrotik adalah adanya
proteinuria masif (3,5 g/hari) dan hipoalbuminemia (serum albumin 3,0 g/dL).
Sindrom nefrotik dibagi menjadi 2, yaitu sindrom nefrotik primer dan sekunder.
Sindrom nefrotik primer terjadi tanpa adanya penyakit yang mendasari, sedangkan
sindrom nefrotik sekunder terjadi karena ada penyakit yang mendasari. Karena
proteinuria masif dan hipoalbuminemia, sindrom nefrotik sering disertai dengan
edema, dislipidemia, kelainan koagulasi/fibrinolisis, penurunan fungsi ginjal, dan
kelainan imunologis. Pengaruh pengobatan ditentukan dengan kadar protein urin
setelah pengobatan.1
Gejala utama dari sindrom nefrotik adalah edema. Pada tahap awal, edema
timbul pada daerah terbatas seperti kelopak mata, pada tahap lanjut dapat terjadi
edema generalisata dengan efusi pleura dan asites. Sindrom nefrotik terkadang
diinduksi oleh infeksi saluran nafas bagian atas atau reaksi alergi akibat gigitan
serangga. Pasien dengan sindrom nefrotik menunjukan berbagai abnormalitas pada
pemeriksaan urin dan disfungsi ginjal. Derajat proteinuria dan hematuria berbeda tiap
jenis histologi dari sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan urin sering ditemukan
berbagai jenis pembentukan cast seperti hialin, granular, waxy, dan lemak. Kelainan
hematologis seperti hipoalbuminemia, hiperkolestrolemia, disfungsi hati dan ginjal,
gangguan elektrolit, kelainan koagulasi, kelainan hormonal dan anemia sering
ditemukan pada sindrom nefrotik.1
Umumnya pada SN fugsi ginjal normal, kecuali pada sebagian kasus akan
berkembang menjadi end stage renal disease (ESRD). Pada beberapa kasus, SN dapat
sembuh sendiri dan menunjukan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi
sebagian lain dapat menjadi kronik. Sekitar setengah dari kasus focal segmental
glomerulosclerosis
1

(FSGS) tidak berespon dengan steroid.2 Komplikasi sindrom

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

nefrotik dapat merupakan bagian dari penyakitnya sendiri atau sebagai konsekuensi
pengobatan. Komplikasi yang berhubungan dengan penyakitnya adalah infeksi,
tromboembolisme, penyakit kardiovaskuler, krisis hipovolemik, anemia dan gagal
ginjal akut, sedangkan komplikasi akibat pengobatan jangka panjang terutama akibat
penggunaan kortikosteroid, cyclophosphamide (CPM), dan cyclosporin A. Biopsi
ginjal sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengetahui karakteristik lesi. Biopsi
juga dapat membantu menentukan rencana terapi dan menentukan prognosis.Karena
banyaknya proses penyakit yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik, prognosis dan
pengobatan sangat tergantung dari etiologinya.3,4
A. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa sekitar 3 kasus tiap 100.000
penduduk pertahun. Umumnya SN bisa terjadi pada setiap usia, perbandingan antara
anak dan dewasa 26:1, dan lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan
2:1.5 Menurut analisa dari Japan Renal Biopsy and Kidney Disease Registry (JRBR/J-KDR) sampai akhir tahun 2010, penyakit glomerulus primer merupakan yang
paling sering terjadi, dan nefropati diabetik merupakan penyebab penyakit
glomerulus yang paling sering terjadi. Jumlah total kasus membranous nephropathy
(MN) dan minimal change nephrotic syndrome (MCNS) mencapai 80% dari jumlah
total penyakit glomerulus primer, diikuti oleh nefropati diabetes dan nefropati amiloid
pada penyakit glomerulus sekunder. MCNS memiliki angka remisi yang tertinggi
mencapai >90%, tetapi angka rekurennya juga tinggi mencapai 30-70%. FSGS
memiliki angka remisi yang rendah dan prognosis ginjal yang buruk dan dapat
berakhir pada end-stage renal disease.1
B. ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat (connective tissue disease), obat atau
toksin, dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis primer atau idiopatik
merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok SN primer, MCNS,
FSGS, MN, dan membranoproliferative glomerulopephritis (MPGN) merupakan
2

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

kelainan sitologik yang paling sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN
dewasa yang dikumpulkan di Jakarta pada tahun 1990-1999 dan representatif untuk
dilaporkan,

MCNS

didapatkan

pada

44,7%,

mesangioproliferative

glomerulonephritis pada 14,2%, FSGS pada 11,6%, MPGN pada 8,0% dan MN pada
6,5%.2
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN
pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat
antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik
misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus.2

Gambar 1. Histologi dan Klinis Sindrom Nefrotik Primer.6

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

Gambar 2. Penyebab Sindrom Nefrotik Sekunder yang tersering dan Gejala Klinisnya.6

C. PATOFISIOLOGI
Pada individu sehat, kurang dari 0,1% albumin plasma dapat melewati sawar
filtrasi glomerulus. Berdasarkan penelitian pada hewan, dijelaskan bahwa albumin
dapat lewat melalui urin beberapa gram perhari, setara dengan penyerapan tubuler
substansial albumin, yang hasilnya adalah dalam urin akan mengandung albumin
kurang dari 80 mg/hari. Penelitian pada manusia dengan defek transport tubuler
menunjukan bahwa konsentrasi albumin yang dapat melewati membran glomerulus
adalah 3,5 mg/L. Pada konsentrasi ini, dengan glomerular filtration rate (GFR)
normal 150 L/hari, maka diperkirakan akan terdapat 525 mg/hari albumin pada
produk akhir urin. Pada orang sehat, albumin urin kurang dari 50 mg/hari, karena

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

sebagian besar akan direabsorbsi oleh tubulus. Adanya albumin lebih dari 500
mg/hari merupakan penanda adanya penyakit glomerulus.7
Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotel pada membran basal glomerulus,
yang dilapisi oleh epitel glomerular atau podosit, yang menyelubungi kapiler dengan
celluler extension yang disebut foot processes. Ketiga struktur ini (fenestrated
endotelium, membran basal glomerular, dan epitel glomerular), merupakan sawar
filtrasi glomerulus.7
Filtrasi plasma dan zat terlarut terjadi melalui endotel fenestrae dan filtration
slits. Pentingnya podosit dan filtration slits ditunjukan oleh penyakit genetik.
Perubahan struktural glomerulus yang dapat menyebabkan proteinuria adalah
kerusakan pada permukaan endotel, membran basal glomerulus atau podosit. Satu
atau lebih dari mekanisme ini dapat dilihat dalam satu jenis sindrom nefrotik.
Albuminuria saja dapat terjadi atau, pada cedera yang lebih besar, kebocoran semua
protein plasma (yaitu, proteinuria) dapat terjadi.7
Proteinuria yang lebih dari 85% albumin adalah proteinuria selektif. Albumin
memiliki muatan negatif, dan dijelaskan bahwa hilangnya glomerular membran
muatan negatif penting sebagai penyebab albuminuria. Pada proteinuria non-selektif,
terjadi kebocoran glomerulus dari semua protein plasma, ini tidak melibatkan
perubahan muatan glomerulus melainkan defek pada permeabilitas. Hal ini tidak
dapat menjelaskan penyebab proteinuria, kecuali dalam MCNS yang terjadi
proteinuria selektif.7

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

Gambar 3. Gambar sistematik sawar glomerulus. Podo = podosit, GBM = glomerular basement
membrane, endo = fenestrated endothelial cell, ESL = endhotelial cells layer. Urin primer dibentuk
melalui filtrasi cairan plasma pada glomerulus. Pada manusia, GFR 125 mL/menit. Plasma flow rate
(Qp) mendekati 700 ml/menit, dengan filtrasi 20%. Konsentrasi albumin serum adalah 40 g/L, dengan
perkiraan serum albumin pada urin primer adalah 4 mg/L atau 0,1% konsentrasinya pada plasma.7

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis SN adalah proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan
hiperlipidemia. Beberapa pasien bisa muncul dengan komplikasi SN seperti penyakit
kardiovaskuler, tromboembolisme, infeksi malnutrisi, anemia dan hipokalemia.
1. Proteinuria
Proteinuria disebabkan karena peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal, GBM mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang
pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan listrik.
Pada SN kedua mekanisme penghalang itu ikut teranggu. Proteinuria dibedakan
menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar
melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul yang
kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur GBM.2
6

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

Pada SN yang disebabkan oleh MCNS ditemukan proteinuria selektif.


Pemeriksaan mikroskop ekeltron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral
glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur GBM. Berkurangnya kandungan heparan
sulfat proteoglikan pada MCNS menyebabkan muatan GBM menurun dan albumin
dapat lolos ke dalam urin. Pada FSGS, peningkatan permeabilitas GBM disebabkan
oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel
visceral glomerulus terlepas dari GBM sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada
MN kerusakan struktur MGB terjadi akibat pengendapan kompleks imun di sub
epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada MN akan meningkatkan permeabilitas
MGB, walaupun mekanisme pastinya belum diketahui.2
2. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin
hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemai disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati berusaha untuk meningkatkan
sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi
timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin
hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal.2
3. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstitium dan terjadi edema.
Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin


berlanjut.2
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan laju GFR akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada
pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat
gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit
jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.2
E. DIAGNOSIS
Berdasarkan bahwa penyebab SN sangat luas, maka anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu
dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolestrol dan
trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat,
kemungkinan berbagai infeksi dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan.
Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan
serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu
sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.2

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

Gambar 4. Evaluasi diagnosis pada pasien dengan sindrom nefrotik.6

F. KOMPLIKASI
1. Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh
edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot
sebesar 10-20% dari massa tubuh sering terjadi pada SN.2

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

2. Hiperlipidemia dan Lipiduria


Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering meyertai SN. Kadar kolestrol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit
meninggi. Peningkatan kadar kolestrol disebabkan meningkatnya LDL (low density
lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolestrol. Kadar trigliserid yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu
ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein
(Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cendrung normal atau rendah.
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia
merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena
sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa
hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia
dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal atau sebaliknya
pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolestrol dapat normal.2
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan
IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas
enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein pada hati terjadi akibat
tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada
SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga
berperan mengangkut kolestrol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.
Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi
lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies)
dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan
hiperlipidemia.2
10

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

3. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravaskuler. Pada SN akibat MN kecendrungan terjadinya trombosis vena
renalis cukup tinggi sedangkan SN pada MCNS dan MPGN frekuensinya kecil.
Emboli paru dan trombosis vena dalam sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut
disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik
dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati
dan kehilangan protein lewat urin.2
4. Metabolisme Kalsium dan Tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin
sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH) 2D
plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami
gangguan. Karena fungsi gagal ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasia
atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi
kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin
dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang
menstimulasi tiroksin (thyroxine stimulating hormone) tetap normal sehingga secara
klinis tidak menimbulkan gangguan.2
5. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada
SN. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan
sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi
berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan

11

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi secara
normal.2
6. Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
nekrosis tubuler akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal
ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada
tubulus ginjal. SIndrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA.
Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas
kerusakan

glomerulus,

perkembangan

glomerulosklerosis,

dan

kerusakan

tubulointerstitium dikaitkan denga proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan


dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstitium pada
SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui secara
pasti.2
G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria. Saat ini
sangat sedikit penelitian berkualitas tinggi dalam penatalaksanaan sindrom nefrotik
pada pada dewasa. Rekomendasi hanya berdasarkan early case series, penelitian
observasional lain dan pendapat ahli.
1. Pengobatan Spesifik
Pada diabetes, kontrol metabolik merupakan penatalaksanaan utama. Pada
penyebab sekunder lain dari SN pengobatan spesifik tergantung dari penyakit
penyebab, seperti pengobatan kuratif / paliatif pada keganasan, penggunaan antiviral
pada hepatitis, atau terapi imunosupresi pada penyakit sistemik. Dari keseluruhan
penyakit ginjal primer, yang paling sering ditemukan adalah MN, FSGS, MCNS.
Adanya kelainan imunologis dicurigai pada ketiga kelainan ini. Penggunaan
imunosupresif merupakan pilihan utama pada kasus ini. Terapi steroid oral harus
12

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

diberikan pada MCNS dengan respon efikasi yang tinggi mencapai >90%
(Reccomendation Grade: B). Penggunaan steroid oral pada FSGS menunjukan angra
remisi mencapai 20-50%, tetapi efikasinya bergantung pada variasi histologinya
(Reccomendation Grade: C1). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai remisi lebih
lama dibandingkan pada anak, 50% akan berespon dalam 4 minggu dan 10-20%
memerlukan 12-16 minggu.8

Gambar 5. Presentasi pasien MCNS dengan penurunan proteinuria >1 g yang diobati dengan prednison
versus tanpa steroid. Pasien pada kelompok steroid diobati 20 mg/hari dalam 6 bulan.8

Durasi optimal penggunaan steroid masih belum diketahui pada dewasa. Pada
anak, 6 bulan penggunaan kortikosteroid berkaitan dengan rendahnya angka relaps
dibandingkan dengan pengobatan 6 bulan. Saat ini direkomendasikan penggunaan
steroid 16 minggu sebelum mengatakan bahwa pasien megnalami kegagalan dalam
pengobatan steroid. Tapering kortikosteroid optimal pada dewasa juga belum
diketahui. Pada anak, tapering off steroid yang lambat dapat menyebabkan rendahnya
dependensi pada steroid dan angka relaps dibandingkan dengan tapering off secara
cepat. Pada anak, dosis yang lebih tinggi dan lamanya tappering off steroid akan
memberikan hasil yang baik. Pada dewasa, hal ini tidak ada. Berdasarkan case series

13

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

reports, steroid biasanya dilakukan tappering off 5 -10 mg/minggu setelah remisi
dengan periode total paparan kortikosteroid setidaknya 24 minggu.8
Dibandingkan dengan pengobatan steroid sendiri, kombinasi pengobatan
dengan silosporin, siklofosfamid dengan steroid efektif dalam mengurangi kadar
proteinuria dan mengurangi waktu untuk mencapai remisi pada kasus relaps MCNS
dan induksi remisi pada FSGS (Reccomendation Grade: C1). Tetapi belum jelas
apakah siklosporin dapat mencegah penurunan fungsi ginjal. 1 Dokter umum harus
mendiskusikan kepada pasien dan konsultasi kepada nephrologist apakah penggunaan
kortikosteroid dianjurkan dengan mempertimbangkan efek terapi dan efek
sampingnya.6
2. Pengobatan Non-Spesifik
a. Diuretik
Diuretik merupakan pentobatan utama SN, tetapi belum ada bukti untuk
mengarahkan pemilihan obat dan dosisnya. Berdasarkan pendapat ahli, diuretik
memiliki target penurunan berat badan 0,5 1,0 kg perhari untuk mencegah acute
kidney injury (AKI) atau kelainan elektrolit. Diuretik yang paling sering digunakan
adalah loop diuretik seperti furosemid atau bumetanide dosis tinggi (misalnya 80-120
mg furosemide). Obat-obatan ini harus diberikan secara intravena karena penyerapan
yang buruk pada saluran cerna akibat edema intestinal. Serum albumin yang rendah
juga membatasi efektivitas diuretik. Tetapi J-RBR/J-KDR menyarankan bahwa semua
penderita SN harus diberikan diuretik secara oral dan pemberian secara intravena
hanya diberikan apabila terdapat edema yang berat (Reccomendation grade: B).
Diuretik thiazid, diuretik hemat kalium, atau metolazone dapat juga diberikan sebagai
diuretik tambahan atau sinergis.1,6
b. Mengurangi Proteinuria
Terdapat 3 pendekatan dalam mengurangi proteinuria, yang pertama restriksi
asupan protein, penggunaan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), dan
ACEI. Penurunan proteinuria dengan NSAID tidak hanya merubah filtrasi
glomerulus, tetapi terdapat efek yang tidak diinginkan pada aliran darah glomerulus
14

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

dan pengaruh serius pada non-renal membatasi penggunaan NSAID dalam


mengurangi proteinuria. Banyak dokter mempertimbangkan penggunaan ACEI
sebagai terapi utama pada SN. Diperkirakan pengaruhnya terdapat pada aliran darah
glomerulus dan efek menurunkan tekanan darahnya. Pada konteks hipovolemia
dengan hipoalbuminemia berat dan tingginya proteinuria, harus diperhatikan
pemberiannya karena dapat mengurangi filtrasi glomerulus. Dosis rekomendasi
belum jelas, tetapi yang umumnya digunakan adalah enalapril dengan dosis 2,5 20
mg.hari. Semua pasien dengan sindrom nefrotik harus diberikan ACEI untuk
mengurangi proteinuria tanpa memandang tekanan darahnya.6,9
c. Pemberian Albumin
Albumin intravena telah diusulkan pemberiannya pada SN karena edema
disebabkan oleh hipoalbuminemia dan terjadi penurunan tekanan onkotik. Tetapi
tidak ada bukti menguntungkan pemberian albumin, sehingga penggunaannya tidak
direkomendasikan pada SN (Reccomendation grade: D). Pada kasus tertentu seperti
syok berat dan edema paru, pemberian albumin dapat dipertimbangkan, tetapi hanya
memiliki pengaruh yang sementara.1,6
d. Terapi Penurun Lipid
Hiperlipidemia merupakan faktor risiko signifikan terjadinya kelainan
vaskuler pada SN. Plasma albumin yang rendah berperan penting dalam
menyebabkan hiperlipidemia dan pemberian albumin IV dapat menurunkan kadar
lipid tetapi dalam waktu yang singkat. Pemberian statin efisien dan aman pada
sindrom nefrotik. Statin dapat menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol
LDL dan meningkatkan kadar kolestrol HDL pada pasien SN. Tetapi terapi terbaik
dalam menurunkan hiperlipidemia adalah mengurangi proteinuria.1,9,10
e. Antibiotik
Pasien SN memiliki risiko tinggi untuk terjadi infeksi. Patogen yang biasa
menginfeksi pada anak adalah patogen berkapsul seperti pneumokokus, sedangkan
pada dewasa adalah batang gram negatif. Kerentanan ini diperkirakan disebabkan
oleh kehilangan berbagai imunoglobulin dan komplemen dalam urin. Penggunaan
15

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

terapi imunosupresan dapat menyebabkan kerentanan terhadap patogen lain seperti


cytomegalovirus, Pneumocytis pneumonia dan lain sebagainya. Direkomendasikan
pemberian trimethoprim-sulfamethoxazole untuk mencegah pneumocytis pneumonia
pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif (Reccomendation grade: C1).1,10
f. Terapi Antikoagulan
Pasien dengan SN memiliki risiko terjadinya insiden tromboembolisme
sebesar 35%. Komplikasi pada vena lebih sering terjadi dibandingkan dengan pada
arteri koroner dan perifer. Komplikasi pada vena yang sering terjadi adalah deep vein
thrombosis (DVT) dan emboli paru. Perkembangan keadaan prokoagulan pada pasien
dengan SN diperkirakan disebabkan karena kehilangan faktor antitrombotik dalam
urin. Faktor pembekuan yang memiliki berat rendah akan terfiltrasi dalam urin dan
terjadi peningkatan kofaktor prokoagulan seperti faktor V dan VIII, dan peningkatan
kadar fibrinogen. Perubahan ini lebih terlihat apabila kadar albumin serum meturun
sampai dibawah 25 g/L. Antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan risiko
tinggi.10

Gambar 6. Kelainan koagulasi pada pasien SN.10

Gambar 7. Kelompok pasien risiko tinggi kejadian tromboembolisme.10

16

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

g. Asupan Cairan dan Nutrisi


Membuat

keseimbangan

natrium

menjadi

negatif

membantu

dalam

mengurangi edema. Pasien harus membatasi asupan natrium menjad 3 gram perhari
dan membatasi asupan cairan kurang dari 1,5L perhari. 6 Dalam praktiknya
direkomendasikan asupan protein cukup, yaitu 0,8 1,0 g/kgBB/hari dengan diet
utama sayuran dan protein ikan.10 Untuk menjaga keseimbangan nitrogen, dianjurkan
asupan kalori 35 KKal/kgBB/hari.1
h. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena penurunan produksi
eritropoietin. Pada SN, anemia disebabkan karena hilangnya eritropoietin, transferin
dan besi melalui urin. Pada kasus anemia, evaluasi standar harus dilakukan (periksa
retikulosit, B12, asam filat, kadar besi). Apabila pada kasus tanpa disfungsi ginjal,
pemeriksaan eritropoietin dapat dilakukan. Apabila kadar eritropoietin rendah,
pemberian eritropoiesis synthesis agent (ESA) dapat diindikasikan dengan target
hemoglobin 11 12 g/L.10
i. Metabolisme Tulang
Gagal ginjal sangat berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder dan
hipovitaminosis D. Pada SN, ini merupakan komplikasi dari kehilangan albumin dan
globulin yang merupakan transporter vitamin D. monitoring kadar kalsium serum dan
dan fosfat serta vitamin D dan PTH sangat berguna. Steroid juga dapat mengganggu
densitas

tulang.

Apabila

memungkinkan

direkomendasikan kepada seluruh pasien SN.10

17

pemberian

suplemen

vitamin

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

Gambar 8. Komplikasi dan penatalaksanaan yang dianjurkan pada SN.10

j. Efek Samping Steroid


Penggunaan steroid berpotensi dalam terjadinya cushing syndrome, obesitas,
katarak, gangguan metabolisme glukosa, dislipidemia, gangguan emosi dan
perubahan prilaku, dan nekrosis avaskuler caput femoralis. Dua penyebab utama
gangguan pertumbuhan pada SN adalah kehilangan insulin-like growth factor (IGFs)
dan/atau IGF-binding protein (IGFBPs) dan terapi kortikosteroid. Steroid
menginduksi peningkatan kadar serum IGF-1 yang menyebabkan resistensi IGF,
salah satu faktor utama terjadinya gangguan pertumbuhan persisten. Maturasi tulang
dan pertumbuhan linear terhambat oleh steroid, terutama apabila dosisnya melebihi
0,5 mg/kgBB/hari. Untuk itu, dosis awal harus rendah dengan kisaran 0,2 0,4
mg/kgBB (5-15 mg/m2) perdosis untuk maintenance.11
18

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

Untuk mencegah komplikasi akibat steroid, disarankan penggunaan strategi:11


a. Supresi adrenal: alternate-day steroid therapy.
b. Gangguan pertumbuhan statural: CS-sparing agent & growth hormone
therapy.
c. Osteoporosis: Kalsium, suplementasi vitamin D, penggunaan steroid sparing
protocol.
d. Ulkus peptikum: H2 bloker.
e. Hipertensi: antihipertensi
f. Katarak: pengobatan steroid jangka pendek dan dosis rendah, pemeriksaan
rutin oleh spesialis mata.
g. Peningkatan tekanan intrakranial: evaluasi papiledema
h. Perubahan prilaku: turunkan atau hentikan steroid.
H. PROGNOSIS
Prognosis vital terutama dipengaruhi oleh penyakit yang menyebabkan
sindrom nefrotik. Proteinuria yang tinggi berkaitan dengan tingginya kejadian
kardiovaskuler dan komplikasi sistemik yang telah disebutkan diatas. Prognosis renal
sangat berkaitan dengan penyebab SN, fungsi ginjal dan usia saat terjadinya SN, dan
hasil biopsi ginjal. Prognosis tidak sama pada seluruh SN, misalnya pada FSGS
hanya 20% pasien mengalami remisi, 10% mengalami perbaikan tetapi tidak sampai
remisi. Kebanyakan pasien akan mengalami relaps, menjadi steorid-dependent, atau
menjadi resisten steroid. ESRD terjadi pada 25-30% pasien dengan FSGS dalam 5
tahun dan 30-40% dalam 10 tahun. Prognosis MCNS sangat baik, angka relapsnya
50% dalam 5 tahun dan 20% relapsnya akan berlanjut. Sekitar 3% pasien yang
awalnya berespon terhadap steroid akan menjadi resisten.7,10

19

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

KESIMPULAN
Sindrom nefrotik adalah suatu kelainan yang meliputi proteinuria, edema,
hiperlipidemia, lipiduria, hipoalbuminemia, dan hiperkoagulabilitas. Hal ini dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik yang mendasari atau cedera langsung ke ginjal.
Beberapa penyebab sindrom nefrotik memiliki temuan karakteristik pada biopsi
ginjal. Sebuah evaluasi yang cermat dari pasien nefrotik penting untuk perawatan dan
manajemen yang optimal dalam meminimalisir mortalitas dan morbiditas akibat
sindrom nefrotik.

20

Diagnosis dan Manajemen Sindrom Nefrotik

DAFTAR PUSTAKA
1. Nishi S. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines for Nephrotic
Syndrome 2014, Clinical Guidelines for IgA Nephropathy 2014 Advisory
Committee, The Japanese Society of Nephrology, 2014.
2. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Awi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Edisi
kelima, jilid II, Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Diponegoro 71 Jakarta Pusat, 2009.
3. Faye M, Lemrabott AT, Cisse MM, Nzambaza JD, Dia CM, Seck SM, Fall K,
Faye M, Ka EF, Niang A, Diouf B. Idiopathic Adult Nephrotic Syndrome: A
Clinicopathological Study and Response to Steroid in a Sub-Saharan African
Country. Open Journal of Nephrology. 2016 Apr 25;6(02):61.
4. Park SJ, Shin JI. Complications of nephrotic syndrome. Korean journal of
pediatrics. 2011 Aug 1;54(8):322-8.
5. McGrogan A, Franssen CF, de Vries CS. The incidence of primary
glomerulonephritis worldwide: a systematic review of the literature.
Nephrology Dialysis Transplantation. 2010 Nov 10:gfq665.
6. Kodner C. Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. Am
Fam Physician. 2009 Nov 15;80(10):1129-34.
7. Cohen EP. Nephrotic Syndrome. Medscape, Last Update: 2016, Maret 08.
8. Hogan J, Radhakrishnan J. The treatment of minimal change disease in adults.
Journal of the American Society of Nephrology. 2013 Feb 21:ASN2012070734.
9. Charlesworth JA, Gracey DM, Pussell BA. Adult nephrotic syndrome: Non
specific strategies for treatment (Review Article). Nephrology. 2008 Feb
1;13(1):45-50.
10. de Seigneux S, Martin PY. Management of patients with nephrotic syndrome.
Swiss medical weekly. 2009;139(29-30):416-22.
11. Park SJ, Shin JI. Complications of nephrotic syndrome. Korean journal of
pediatrics. 2011 Aug 1;54(8):322-8.

21

You might also like