You are on page 1of 18

BAB I

STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 67 tahun
Alamat : Lenteng Agung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen
Tanggal pemeriksaan : 30 September 2016

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 30 September 2016
Keluhan utama : Gatal pada jari-jari tangan disertai dengan kemerahan dan kulit
berkelupas
Keluhan tambahan : Perih dan bengkak pada jari-jari

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien datang dengan keluhan gatal pada jari-jari tangan disertai dengan bengkak
sejak 1,5 bulan yang lalu. Awalnya pasien merasakan gatal pada jari manis tangan
sebelah kanan, tetapi pasien membiarkan gatal tersebut. Dua minggu kemudian gatal
tersebut dirasakan pada hampir semua jari-jari tangan dan timbul bintil-bintil berwarna
merah pada telapak tangan pasien. Kemudian pasien berobat ke dokter dan diberikan
salep dan bintil-bintil tersebut pun hilang, tetapi gatal masih dirasakan oleh pasien.
Pasien juga menuturkan jari-jari tangannya perih dan tampak pecah-pecah jika terkena
air saat melakukan aktivitas. Selain itu di antara garis-garis pecah tersebut
mengeluarkan sedikit darah saat pasien melakukan kegiatan sehari-hari.
Pasien juga telah lama menggunakan deterjen untuk mencuci pakaian di rumah,
tetapi tidak pernah terjadi hal seperti yang dikeluhkan pasien. Hal ini baru pertama kali
terjadi pada pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:

1
Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:


Di dalam keluarga juga tidak ada riwayat alergi

III. STATUS GENERALIS


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik
Status gizi
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 68 kg
IMT : 26,56 = pre obese
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 75 kali/menit
Frekuensi Napas : 18 kali/menit
Suhu Tubuh : afebris
Kepala : normocephal
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : sekret hidung,telinga (-), septum deviasi (-).
Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis.
Leher : tidak ada pembesaran KGB dan tiroid

Thorax : tidak diperiksa


Abdomen : nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (-)

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS


Lokasi : Phalangs dextra et sinistra
Efloresensi : Tampak bercak eritematosa berbatas tidak tegas berukuran numular-
plakat, disertai dengan skuama kasar, dan likenifikasi. Tampak krusta
berwarna kecoklatan dengan ukuran miliar.

2
Gambar 1. Lesi pada jari tangan
Gambar 2

Gambar 3

3
Gambar 4 Gambar 5

Efloresensi : Tampak bercak hiperpigmentasi, berbatas tidak tegas berukuran numular,


disertai dengan skuama dan edema.

Gambar 6. Dorsal palmar dextra et sinistra

4
Gambar 7

Gambar 8

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
KOH 10% : tidak ditemukan hifa sejati dan artospora

5
VI. RESUME
Pasien Ny. A usia 67 tahun datang dengan keluhan gatal pada jari-jari kedua
tangannya disertai dengan bengkak yang sudah dirasakan sejak 1,5 bulan yang lalu. Pada
awalnya pasien hanya merasakan gatal pada jari manis tangan sebelah kanan, tetapi
dihiraukan oleh pasien. Dua minggu kemudian gatal dirasakan semakin meluas hingga ke
semua jari-jari tangan dan telapak tangan. Kemudian timbul adanya bintil-bintil pada
telapak tangan pasien. Setelah itu pasien berobat ke dokter dan diberi salep, bintil-bintil
di telapak tangan pasien hilang tetapi gatal masih dirasakan. Pasien juga menuturkan jari-
jari tangan akan terlihat seperti pecah-pecah dan mengeluarkan sedikit darah jika sedang
beraktifitas atau terkena air. Pasien juga sering mencuci baju ataupun piring tanpa
menggunakan sarung tangan.

VII. DIAGNOSIS KERJA


Dermatitis Kontak Iritan Kronik Kumulatif ec pemakaian deterjen
VIII. DIAGNOSIS BANDING
-

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN


Uji Tempel

X. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa :
Gunakan sarung tangan berlapis saat mencuci pakaian ataupun peralatan dapur.
Hindari factor pencetus
Jaga kebersihan tangan

Medikamentosa
Sistemik
Prednison tab 4x5mg/hari selama 7 hari
Cetirizine tab 1x10 mg/hari

Topikal

6
Hidrokortison butirat krim 0,1% (2x sehari pagi-malam)
Urea krim 10% 2x sehari

XI. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB II
Tinjauan Pustaka
Dermatitis Kontak

Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh
faktor eksogen dan endogen, menyebabkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik
(eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung
residif dan menjadi kronis.1
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel
pada kulit dan dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan
dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis
kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses sensitasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada
seseorang yang telah mengalami sensitasi terhadap suatu allergen.1

Dermatitis Kontak Iritan


Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang
dengan keadaan kulit yang sangat peka (hipersensitif). Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI
makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia
yang dipakai oleh masyarakat.
Dari banyak penelitian yang telah dilakukan banyak pasien terkena dermatitis iritan akibat dari
kerja. Dari 5839 pasien yang dilakukan tes tempel untuk dermatitik kontak yang dilakukan oleh
North American Contact Dermatitis dari tahun 1998 sampai 2000, didapatkan 1097 atau sekitar
19% yang memiliki dermatitis kontak. Banyaknya kejadian yang mengenai tangan dan wajah
karena yang berhubungan langsung dengan lingkungan. Data dari Amerika menyebutkan
prevalensi yang mengalami alergi pada kosmetik adalah yang berumur sekitar 20 tahunan. Dan

8
salah satu studi yang dilakukan di India, 66% menunjukan reaksi positif terhadap uji tempel
kosmetik.2
Sedangkan di itali 1094 anak yang menjalani uji tempel, 570 anak atau sekitar 52,1% menglami
alergi. Anak yang berusia dibawah 12 tahun memiliki sensitisasi tinggi yang telah diobservasi
pada usia 7 bulan hingga 3 tahun. Bahan yang sering menjadi alergi kontak adalah metal, derivat
merkuri, neomisin, wool alkohol, metilkloroisotiazolon-metilisotiazolinon. Anak perempuan
mengalami alergi terhadap nikel lebih banyak daripada anak laki-laki, dan paling banyak di
daerah leher.2
Data dari dari National Health Review menunjukkan dalam 12 bulan , 1700 dari 100.000 pekerja
memiliki dermatitis kontak akibat kerja. Industri yang memiliki kecenderungan untuk memiliki
dermatitis kontak adalah pekerja tambang, pekerja pabrik dan pelayanan kesehatan.
Penyakit kulit akibat kerja memiliki peringkat kedua terbanyak setelah trauma injuri pada
golongan penyakit akibat kerja.3

Faktor-faktor yang Mempengaruhi4


Agen
Alergen merupakan suatu zat yang dapat menginduksi respons imun spesifik. Tidak semua benda
asing yang dapat berpenetrasi ke kulit merupakan antigen. Sebagian besar alergen adalah hapten,
yaitu suatu senyawa sederhana yang harus berikatan kovalen dengan protein karier untuk
menjadi antigen yang mampu mensensitasi respons imun spesifik. Ukurannya berkisar 500
dalton. Saat ini telah ditemukan lebih dari 3700 bahan kimia yang dapat menginduksi terjadinya
dermatitis kontak. Beberapa alergen yang lebih sering ditemukan menjadi penyebab DKA pada
populasi geriatri dibandingkan pada populasi muda, yaitu: neomisin, lanolin alkohol, campuran
paraben, dan phenoxy-ethanol. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa nikel, tanaman tertentu
(misalnya Toxicodendron sp), rejimen topikal, kosmetika, dan dan bahan pakaian sintetik
merupakan alergen utama pada populasi geriatri. Alergi terhadap para-phenylenediamine yang
digunakan pada pewarna hitam untuk rambut dapat memberikan reaksi berat dengan
pembengkakan wajah dan daerah periorbital yang dimulai dalam hitungan jam sampai hari
setelah pajanan pewarna tersebut. Pasien dengan riwayat alergi terhadap senyawa ini harus
menghindari pewarnaan rambut yang bersifat permanen. Kondisi pajanan iritan maupun alergen
juga mempengaruhi respons kulit individu. Sebagai contoh, oklusi suatu zat pada kulit

9
meningkatkan risiko iritasi maupun sensitisasi kulit. Keasaman (pH) suatu senyawa yang jauh
dari pH normal kulit (pH normal 4,5-5), baik terlalu asam maupun basa, meningkatkan sifat
iritatif suatu senyawa, contohnya asam kuat dan basa kuat. Ukuran molekul yang lebih kecil,
kelarutan dalam lemak, jumlah dan konsentrasi yang meningkat, durasi pajanan yang lebih
panjang, serta jarak antar pajanan yang lebih pendek juga meningkatkan reaksi kulit. Pada
populasi geriatri, rejimen topikal kerap menjadi penyebab dermatitis kontak. Media/ zat
pembawa partikel agen juga mempengaruhi potensi iritatif maupun alergik suatu senyawa. Panas
dan kelembaban yang tinggi kerap menjadi faktor pencetus timbulnya dermatitis kontak pada
populasi geriatri.

Jenis Kelamin
Berbagai penelitian melaporkan pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian dermatitis kontak,
namun hasilnya bersifat kontroversial. Dermatitis kontak alergik pada wanita lebih banyak, hal
tersebut dikaitkan kerap dengan penggunaan perhiasan yang mengandung campuran logam.
Nikel sulfat dan fragrance mix pada populasi wanita, sedangkan pada populasi pria adalah
potassium dichromate dan rejimen topikal. Perbedaan kejadian dermatitis kontak pada pria dan
wanita, banyak terkait faktor pekerjaan, cara berpakaian, kebiasaan pribadi, budaya, dan
pajanan/interaksi dengan lingkungan.

Kelainan Kulit yang Telah Ada Sebelumnya


Xerosis kutis yang kerap dialami oleh populasi geriatri sering menyebabkan fisura maupun
disintegritas kulit. Hal tersebut meningkatkan pajanan iritan dan alergen potensial yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak. Kelainan kulit dasar pada pasien, misalnya: dermatitis atopik,
ichthyosis, psoriasis, dermatitis stasis, dan ulkus, meningkatkan risiko terjadinya dermatitis
kontak pada geriatri. Selain itu, berbagai penyakit yang membutuhkan terapi topikal dan
penggunaan protese gigi dapat meningkatkan kejadian dermatitis kontak pada populasi geriatri
akibat kekerapan pajanan.

Patogenesis
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA),
diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi

10
prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT
juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast
melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya
interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1
mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak
dengan kelainan berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
mengakibatkan kelainan kulit setelah kontak berulang kali, yang dimulai dengan kerusakan
stratum korneum oleh karena delipidasi menyebabkan desikasi sehingga kulit kehilangan fungsi
sawarnya. Hal tersebut akan mempermudah kerusakan sel di lapisan kulit yang lebih dalam.1

Gejala Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi
gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak faktor yang
mempengaruhi sebagaimana yang telah disebutkan yaitu faktor individu (misalnya ras, usia,
lokasi, atopi, penyakit kulit lain), faktor lingkungan (misalnya suhu, dan kelembaban udara,
oklusi).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor tersebut, ada yang mengklarifikasikan DKI
menjadi sepuluh jenis: DKI akut, lambat akut, reaksi iritan, kronik kumulatif, reakti traumatik,
exsiccation eczematid, reaksi pustular, dan akneformis, iritasi non eritematosa, dermatitis karena
friksi dan iritasi subyektif.1

DKI akut
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau
basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya terjadi karena kecelakaan di tempat
kerja, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak,
serta reaksi terbatas hanya pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan
yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Tepi kelainan berbatas tegas,

11
dan pada umumnya asimetris. Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak
iritan akut.1

DKI akut lambat


Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru terjadi 8 sampai 24 jam setelah
berkontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut lambat, misalnya podofilin, antralin,
tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam hidroflourat. Sebagai contoh ialah dermatitis
yang disebabkan oleh bulu serangga (dermatitis veneata); keluhan dirasakan pedih keesokan
harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema kemudian menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.1

DKI kronik kumulatif


Merupakan jenis dermatitis kontak yang paling sering terjadi. Sebagai penyebab ialah kontak
berulang dengan iritan lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). DKI
kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Dapat disebabkan oleh suata bahan
secara tunggal tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi mampu sebagai penyebab
bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru terlihat nyata setelah kontak berlangsung
beberapa minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian.
Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritema, skuama, yang lambat laun kulit menjadi tebal
(hiperkeratosis) dengan likenifikasi, yang difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit
dapat retak seperti luka iris (fisura). Keluhan pasien umumnya rasa gatal dan nyeri karena kulit
retak (fisura).
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di
tangan dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Contoh pekerjaan yang beresiko tinggi untuk
DKI kumulatif adalah pencuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun,
penata rambut.1

Reaksi iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis kontak iritan subklinis pada seseorang yang terpajan dengan
pekerjaan basah dalam beberapa bulan pertama, misalnya penata rambut dan pekerja logam.
Kelainan kulit bersifat monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustul dan erosi.

12
Umumnya dapat sembuh sendiri, atau berlanjut menimbulkan penebalan kulit dan menjadi DKI
kumulatif.1

DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala klinis menyerupai
dermatitis numularis, penyembuhan berlangsung lambat, paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering
di tangan.

DKI non-eritematosa
DKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, yang ditandai dengan perubahan fungsi
sawar (stratum korneum) tanpa disertai kelainan klinis.1

DKI subyektif
Juga disebut DKI sensori; karena kelainan kulit tidak terlihat, namun pasien merasa seperti
tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah berkontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya
asam laktat.

Perbedaan DKI dengan DKA


No Jenis DKI DKA
Perbedaan
1 Penyebab Iritan primer Alergen=sensitizer
2 Permulaan Kontak pertama Kontak berulang
penyakit
3 Penderita Semua orang Orang yang sudah alergi
4 Kelainan kulit Eritema, bula, batas tegas Eritema, erosi, batas tidak
tegas
5 Uji tempel Eritema berbatas tegas, Eritema tidak berbatas
bila uji tempel diangkat tegas, bila uji tempel
reaksi berkurang diangkat reaksi menetap
atau bertambah

Diagnosis

13
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing
celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang
pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya. Pemeriksaan
fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat
diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan
oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.

Dapat juga dilakukan uji temple pada pasien yang dicurigai. Syarat untuk diuji adalah:5
a. Pasien bebas dari dermatitis
b. Tes dilakukan sekurang-kurangnya seminggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik
dihentikan. Bebas dari rambut yang lebat
c. Bebas dari kosmetik, salep.
d. Pada bekas dermatitis sebaiknya dilakukan sebulan setelah sembuh
e. Tidak terlalu dekat dengan dermatitis yang ada, sebab daerah tersebut lebih peka hingga dapat
menimbulkan reaksi positif palsu.

Daerah tempat tes dipilih punggung oleh karena:


a. Lapisan tanduk cukup tipis sehingga penyerapan bahan cukup besar
b. Tempatnya luas sehingga banyak bahan yang bisa diteskan secara serentak (bisa sampai 50 bahan
atau lebih)
c. Tempatnya terlindung hingga tidak mudah lepas, baik disengaja maupun tidak
d. Bahan yang menempel tidak banyak mengalami gerakan, lepas atau kendor, sehingga kontaknya
dengan kulit cukup terjamin
e. Jika terjadi dermatitis atau sampai terjadi sikatriks tidak tampak dari luar oleh karena terlindung

Bahan ditempelkan pada kulit dengan jarak satu sama lain cukup jauh sehingga jika terjadi reaksi
tidak saling mengganggu. Menempelnya cukup lekat, tidak mudah lepas, sehingga penyerapan
bahan lebih sempurna.

14
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 1525 menit kemudian, supaya kalau
ada tandatanda akibat tekanan, penutupan dan pelepasan dari unit uji tempel yang menyerupai
bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam pendapat.
Hasilnya dicatat seperti berikut:
+1 = reaksi lemah (nonvesikuler): eritema, infiltrate, papul (+)
+2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)
+3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
= meragukan: hanya macula eritematosa
IR = iritasi: seperti terbakar, pustule, atau purpura
- = reaksi negative
NT = tidak di tes

Reaksi excited skin atau angry back merupakan suatu reaksi positif palsu, suatu fenomena
regional disebabkan oleh satu atau beberapa reaksi positif kuat, yang dipicu oleh hipersensitivitas
kulit, pinggir uji temple yang lain menjadi reaktif.

Reaksi iritasi Reaksi alergi


Bentuk lesi monomorf Bentuk lesi polimorf
Luas reaksi terbatas pada daerah penempelan Reaksi dapat meluas ke sekitarnya
Batas reaksi dengan kulit sekitarnya Batas kabur dan dapat terjadi satelit-satelit di
umumnya tegas sekitar daerah penempelan
Reaksi dapat sampai positif kuat, bahkan Jarang sampai positif kuat
dapat sampai terjadi nekrosis
Rasa gatal sampai panas atau sakit Rasa hanya gatal
Dapat terjadi pada hamper setiap orang Hanya terjadi pada seseorang yang telah peka
Setelah tempelan dibuka reaksi menjadi Reaksi dapat mengurang, tetapi dapat pula
mengurang meluas
Reaksi dapat timbul lebih cepat, dapat hanya Umumnya tumbul lebih lama, 1-2 hati atau
beberapa jam saja lebih.
Tatalaksana
Identifikasi dan penghindaran bahan iritan maupun alergen yang dicurigai merupakan tahapan
utama dalam terapi dermatitis kontak. Pasien harus mendapatkan informasi lengkap mengenai
bahan yang harus dihindari. Bagi sebagian besar individu, penghindaran alergen menyebabkan
resolusi dermatitis.

15
Jika terdapat vesikel dalam keadaan akut dapat digunakan aluminium sulfat topical atau kalsium
asetat. Erupsi likenifikasi kronik paling baik diobati dengan pelembab. Pelembab telah menjadi
satu bagian penting dalam tatalaksana dermatitis kontak. Penggunaan pelembab dapat membantu
pemulihan sawar kulit dengan cara meningkatkan hidrasi kulit, mempengaruhi struktur lipid
epidermis, dan mencegah absorbsi senyawa eksogen. Pelembab yang mengandung lipid menjadi
pilihan utama. Beberapa pasien tetap membutuhkan terapi simptomatik meskipun telah
menghindari alergen penyebab. Untuk pasien yang tidak mampu menghindari alergen yang telah
diketahui, terapi imunosupresan (misalnya: kortikosteroid topikal, takrolimus topikal,
siklosporin, dan fototerapi) atau perbaikan sawar dapat memberi manfaat. Pruritus dapat
dikontrol dengan antipruritik atau antihistamin oral. Antihistamin maupun zat anestesi topikal
sebaiknya dihindari karena berisiko menginduksi alergi sekunder pada kulit yang telah
mengalami dermatitis.2
Dermatitis kontak alergik dengan lesi akut dapat diberikan kortikosteroid potensi medium atau
tinggi seperti triamcinolone 0,1% atau clobetasol 0,05%. Pada area dengan kulit yg tipis (daerah
lipatan, wajah, region anogenital, dan lipatan mata) dapat diberika kortikosteroid potensi lemah
seperti desonide salep. Obat ini dapat membantu dan meminimalisasikan resiko kulit atrofi.3

Pencegahan
Pasien dengan dermatitis kontak dianjurkan untuk menghindari pencucian yang sering dan
penggunaan bahan yang dapat mengiritasi kulit, misalnya: bahan yang kasar, sabun tipe
deodoran, astringent dan losio yang mengandung parfum. Mandi sebaiknya diikuti dengan
aplikasi pelembab, baik berupa salap yang lembut atau krim, namun tidak disarankan
menggunakan losio. Losio lebih populer dan mudah didapat, namun rejimennya mengandung
lebih banyak bahan formulasi tambahan dibandingkan dengan krim/salap yang lembut yang
hanya mengandung air dalam vaselin atau minyak mineral. Losio kurang efektif dibandingkan
krim dan salap. Losio umumnya mengandung berbagai bahan tambahan yang berpotensi
menimbulkan iritasi maupun sensitisasi jika terjadi kontak.
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh

16
factor endogen (dermatitis atopic, numularis atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan
yang tidak mungkin dihindari.

17
Daftar Pustaka:
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi B, dkk. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed ke-6.
Jakarta: FKUI;2016.hal.157-60.
2. Wolff K, Goldsmith AL, Katz SI, et al. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Ed
ke-8. USA: McGraw-Hill Companies; 2012.hal.135-7,145.
3. Usatine RP, Riojas M. Diagnosis and management of contact dermatitis [Internet]. San
Antonia; University of Texas Health Science Center; 2010. Diunduh pada tanggal 1
Oktober 2016. Tersedia di: http://www.aafp.org/afp/2010/0801/p249.html.hal.255.
4. Sulistyaningrum SK, Widaty S, Triestianawati W, dkk. Dermatitis kontak iritan dan
alergik pada geriatri [Internet]. Jakarta: FKUI; 2011. Diunduh pada tangal 1 Oktober
2016. Tersedia di: http://perdoski.org/doc/mdvi/fulltext/18/100/Dermatitis_Kontak_(29_-
_40).pdf.hal.31-7.
5. Sulaksmono M. Keuntungan dan kerugian patch test (uji temple) dalam upaya
menegakkan diagnose penyakit kulit akibat kerja. Diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016.
Tersedia di: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-PH-1-1-01pdf.pdf.hal.2-4

18

You might also like