Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Putri Rohmad Utomo
150070300011090
KELOMPOK 11
Oleh :
Putri Rohmad Utomo
NIM. 150070300011090
LAPORAN PENDAHULUAN
Karena pada gagal hginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia pasien.
a. Sistem integument
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut
terjadi akibat gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal
menurun, sehingga mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk
memproduksi enzim rennin yang menstimulasi angiotensin I dan II serta
menyebabkan vasokonstriksi perifer. Angiotensin II merangsang produksi
aldosteron dan korteks adreanl, meningkatkan reabsorbsi sodium dan
ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam
ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam
darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah gagal jantung
kongestif dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh
toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6
g/dL atau hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis,
hematokrit berkisar antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari
produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah
mera, defisiensi nutrisi (seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12) atau
kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Selain sering mengalami anemia, pasien gagal ginjal
tahap akhir juga renan terhadap infeksi akibat adanya defisiensi
immunoglobulin.
f. Sistem saraf
g. Sistem reproduksi
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata
merah akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva
juga bisa mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
akan menderita sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan
atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal. Manifestasi
sindrom uremik dapat dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis
a. Dialisis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal
tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk
mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi
ginjal pulih kembali. Dialisis dilakukan dalam penanganan pasien dengan
edema yang tidak responsif terhadap terapi, koma hepatikum,
hiperkalemia, hiperkalsemia, hipertensi dan uremia. Dialisis akut
diperlukan bila terdapat kadar kalium yang tinggi dan meningkat,
kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang mengancam,
asidosis yang meningkat, perikarditis dan konfusi yang berat. Dialisis
kronis atau pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis dalam
keadaan berikut : (1) terjadi tanda dan gejala uremia yang mengenai
seluruh sistem tubuh (mual muntah, anoreksia berat, letargi, dan konfusi
mental) ; (2) kadar kalium serum yang meningkat ; (3) muatan cairan
berlebih yang tidak responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan
cairan ; dan (4) penurunan status kesehatan yang umum. Selain itu,
terdengarnya suara gesekan perikardium (pericardial friction rub)
merupakan hasil aukultasi yang merupakan indikasi yang mendesak
untuk dilakukan dialisis untuk pasien gagal ginjal kronis (Brunner &
Suddarth, 2002).
1) Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal
dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser).
Dialiser ini memiliki fungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan
produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2005;
Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi, 2011).
Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan
zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air
yang berlebihan (Suharyanto, 2002). Tujuan hemodialisis yang lain
yaitu mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam
basa, mengembalikan beberapa manifestasi kegagalan ginjal yang
irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009). Walaupun
hemodialisis dapat mencegah kematian namun demikian tidak
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal
(Sulistyaningsih, 2011).
Prinsip dari pelaksanaan hemodialisis adalah darah
dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk
ke dalam sebuah mesin besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua
ruang yang dipisahkan oleh sebuah membran semipermeabel. Darah
dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi
oleh cairan perdialisis dan diantara keduanya akan terjadi difusi.
Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah pirau vena (Corwin,
2009).
6. Kram otot yang nyeri dapat terjadi ketika cairan dan elektrolit
dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
2) Dialisis peritoneal
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula)
dibuat di kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian
didorong masuk ke ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti
sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan
ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai
dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum
menarik pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera
dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita,
minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah cairan ini masuk, harus di
syphon off untuk melihat bahwa system tersebut mengalir lancar,
sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup baik.
Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat
dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol
dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan
elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek
yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.
b Pemasukan Cairan Dialisat
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat
(cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang
kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam
rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan
kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
1 Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan
kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan
cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung
sekitar 20 menit.
2 Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya
hanya memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat
dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter.
3 Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga
perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan
ditinggal dalam ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian
20 menit dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi
dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu.
Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke
dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu
kateter Tenchoff yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara
permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap
akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau
6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.
3 Kelemahan CAPD :
a Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga
dapat terjadi infeksi paru karena goncangan diafragma
b Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh
bergerak di tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik
subnutrisi (pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia
(pengeluaran albumin) dapat terjadi.
d BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al,
2005).
Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada
pemasangan kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang.
Biasanya kebocoran tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda
selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka insisi dan tempat
keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak
semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran
melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen
dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan
kateter tersebut.
Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-
kadang dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid.
Kejadian ini sering dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama
mengingat sebagian darah akibat prosedur tersebut tetap berada dalam
rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya perdarahan
tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase
dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau
mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau
dua hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu. Terapi
pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini mungkin
diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan
intraabdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi
adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik dan umbilical. Tekanan
intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan memperburuk
gejala hernia hiatus dan hemoroid.
Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani
CAPD sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah
aterogenesis.
3.2 Difusi
Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga
peritoneum dan sebaliknya melalui difusi. Difusi adalah proses perpindahan
solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi
rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke
dalam rongga peritoneum. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari
plasma darah, karena cairan plasma banyak mengandung toksin uremik.
Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD.
3.3 Osmosis
Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable
dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah
solute berkonsentrasi tinggi (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh
tekanan osmotic dan hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis
pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD menyebabkan
tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma,
sehingga air akan berpindah dari kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat
(ultrafiltrasi). Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih
banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu
diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute. Untuk
membantu mengeluarkan kelebihan air dalam darah, maka cairan dialisat
menyediakan beberapa jenis konsentrasi yang berbeda : Baxter : 1,5%,
2,5%, 4,25%. Frescenius : 1,3%, 2,3%, 4,25%
Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan tekanan
osmotic dan konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma
darah dalam pembuluh kapiler
Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan
diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan
intra peritoneal. Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus
dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia secara ideal semua
pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang
dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5
mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi
tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat
komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik
berulang, dan nefropatik diabetik. Selama proses dialisis pasien akan
terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat
dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat
dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Cairan
dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang
dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar
natrium berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka resiko
untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama dialisis akan bertambah.
Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan
berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis.
Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk
minum lebih banyak.
Kelebihan cairan yang terjadi meningkatkan resiko terhadap berbagai
gangguan pada fungsi faal tubuh antara lain Hypertension, Intradialytic
Hypotension, Left Ventricular Failure, Peripheral Edema, Ascites, Pleural
Effusion, Congestive Heart Failure.
Selama proses dialisis terjadi penarikan cairan sebanyak 1-4 liter cairan
selama 4 jam. Penarikan cairan ini menimbulkan perubahan status cairan
dan elektrolit tubuh sehingga pasien akan merasa haus cenderung untuk
minum lebih banyak. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi cairan
dan elektrolit dalam tubuh.
Kelebihan cairan interdialisis (interdialytic fluid gain) ini sebagian besar
berada pada kompartemen ekstraseluler. Akumulasi dapat terjadi di
intravaskuler, jaringan tubuh dan juga paru. Akumulasi juga dikarenakan
ginjal tidak mampu mengeluarkan kelebihan cairan dan elektrolit tersebut
melalui urin. Hal ini dapat menimbulkan pembengkakan (edema), pernapasan
pendek dan juga menyebabkan peningkatan tekanan darah karena beban
kerja jantung menjadi bertambah. Gangguan kardiovaskuler merupakan
komplikasi tersering dijumpai pada hal ini. Adapun gangguan akibat kelebihan
cairan tersebut antara lain hipertensi, dilatasi dan hipertropi jantung
Pada populasi hemodialisis, penambahan berat akibat cairan interdialisis
(interdialytic weight gain) merupakan suatu tantangan yang besar bagi pasien
dan petugas kesehatan. Pembatasan asupan air merupakan satu dari
sejumlah pembatasan diet yang dihadapi oleh orang yang menjalani dialisis.
Kelebihan berat akibat cairan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
angka morbiditas dan mortalitas pada orang-orang yang menjalani
hemodialisis. Kelebihan cairan berhubungan dengan berbagai macam
komplikasi seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini tentunya
mempengaruhi kualitas hidup pasien..
Ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk merumuskan asupan
cairan pada pasien yang menjalani dialisis. Kopple dan Massry (2004)
merekomendasikan sebagai berikut:
Asupan cairan (mL/hari) = 600 mL + urin output + kehilangan cairan
ekstrarenal
dimana 600 mL mewakili kehilangan cairan bersih per hari (900 mL
insensible water loss dikurangi 300 mL cairan yang diproduksi melalui
proses metabolisme). Kehilangan cairan ekstrarenal meliputi diare, muntah
dan sekresi nasogastric.
A Pengakajian
a Identitas klien
b Riwayat Penyakit
c Riwayat penyakit infeksi
d Riwayat penykit batu/obstruksi
e Riwayat pemakaian obat-obatan
f Riwayat penyakit endokrin
g Riwayat penyakit vaskuler
h Riwayat penyakit jantung
i Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)
j Data interdialisis meliputi :
Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana
klien merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang
dan tidak merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis.
Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang Berat
badan post hemodialisis yang lalu (Kg).
Kapan terakhir hemodialisis.
k Keadaan umum klien
Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.
Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang
kadang disertai edema ekstremitas, napas terengah-engah.
l Pemeriksaan Fisik
Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang
kadang, disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka
tampak sembab, bau mulut amoniak
Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,
Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi
basah/kering, Edema paru,
Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut
pada kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta
Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering
dan bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit
Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah)
Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler
System kardiovaskuler
Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak,
berdarah/tidak.
System pernapasan
Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat
beraktifitas.
Sistem pencernaan
Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa,
cegukan, diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.
System psikososial
Integritas ego
Interaksi social
B Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CAPD
adalah:
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1 Catat volume cairan yang masuk, 1 Jumlah aliran harus sama atau
keluar dan kumulasi lebih dari yang dimasukkan.
keseimbangan caiaran. Keseimbangan positif
2 Menimbang berat badan pasien menunjukkan kebutuhan evaluasi
sebelum dan sesudah menjalani lebih lanjut.
dialisat 2 Indikator akurat status
keseimbangan cairan.
keseimbangan positif dengan
peningkatan BB menunjukakn
retensi cairan.
3 Kaji patensi kateter, kesulitan 3 Melambatnya kecepatan
drainase, perhatikan adanya aliran/adanya fibrin menunjukkan
lembaran atau plak fibrin. hambatan keteter parsial yang
perlu dievaluasi.
4 Tinggikan kepala tempat tidur, 4 dapat meningkatkan aliran bila
lakukan tekanan perlahan pada kateter salah posisi/obstruktif oleh
abdomen. omentum.
5 Perhatikan adanya distensi 5 Distensi abdomen/konstipasi dapat
abdomen sehubungan dengan mempengaruhi keseimbangan
penurunan bising usus, perubahan cairan.
konsistensi feses, keluhan
konstipasi.
6 Observati TTV, perhatikan adanya 6 Peningkatan nadi menunjukkan
hipertensi berat, nadi kuat, distensi hipovolume. Peningkatan
JVD. edema perifer. kelebihan cairan berpotensi
Gjk./edema paru.
7 Evaluasi adanya takipnea, 7 Distensi abdomen/kompresi
dispnea, peningkatan upaya diafragma dapat mengganggu
pernapasan. napas.
Kolaborasi:
8 perubahan mungkin diperlukan
8 Perubahan program dialisat sesuai
dalam konsentrasi glukosa atau
indikasi
natrium untuk memudahkan
efisiensi dialysis.
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Tujuan :
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
1 Biarkan klien mengosonkan 1 Kandung kemih kososng lebih jauh
kandung kemih, usus untuk dari tempat pemasukan kateter
menghindari penusukan organ dan mlam enurunkan kemungkinan
interna tertusuk saat pemasangan kateter.
2 Fiksasi keteter dengan plester. 2 Menurunkan resiko trauma dengan
Tekankan pentingnya pasien manipulasi kateter.
menghindari penarikan atau
pendorongan kateter.
3 Perhatikan adanya fekal dalam
3 Menduga perforasi usus dengan
dialisat atau dorongan kuat untuk percampuran dialisat dan isi usus.
defikasi, disertai diare berat.
4 Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin 4 Menunjukkan perforasi kandung
berkemih, atau haluaran urine kemih dengan kebocoran dialista
besar menyertai berjalannya dalam kandung kemih. Adanya
dialysis awal. kandungan glukosa dalam dialisat,
akan meninggikan kadar glukosa
urine.
5 Hentikan dialysis bila terjadi
5 Tindakan cepat akan mencegah
perforasi usus/kandung kemih.
cidera selanjutnya. Bedah
Biarkan kateter dialysis pada
perbaikan segera dibutuhkan.
tempatnya.
Membiarkan kateter pada
tempatnya memudahkan
diagnosa /lokasi perforasi.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, keluhan nyeri klien dapat
diatasi.
Kriteria Hasil :
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1 Gunakan teknik aseptic saat 1 Mencegah introduksi organism dan
pemasangan kateter. ganti balutan komtaminasi yang dapat
kapanpun balutan dibuka dang anti menyebaban infeksi.
selang sesuai dengan protocol.
2 Ganti balutan dengan hati-hati dan
2 Perubahan atau pergerakan
tidak mengubah posisi kateter.
kateter menyebabkan perdarahan
Perhatikan karater, warna. bau
drainase dari sekitar tempat
pemasangan.
3 Keluaran keruh diduga infeksi
3 Observasi warna dan kejernihan
peritoneal.
haluaran.
4 Menurunkan resiko masuknya
4 Berikan pelindung betadine pada
bakteri melalui kateter.
distal, klem bagian kateter bila
terapi intermiten digunakan.
5 Menunjukkan peritonitis yang
5 Selidiki keluhan mual muntah,
membutuhanintervensi segera.
nyeri abdomen, nyeri tekan lepas,
demam, dan leukositosis.
6 KIE pada pasien cara pencegahan 6 SDP pada awal dapat
infeksi menunjukkan respon normal
terhadap subtsansi asing, namun
berlanjutnya peningkatan
menunjukkan adanya infeksi.
Kolaborasi:
Tujuan :
Kriteria Hasil :
1 Pola napas efektif yang ditunjukkan oleh: bunyi napas jelas dan tidak
ada suara napas tambahan.
2 GDA dalam batas normal
3 tidak ada distress napas (takipnea, diaphoresis, gelisah)
Intervensi Rasional
1 Kaji frekuensi napas dan 1 Gangguan pola napas selam
kedalaman napas dialysis diduga akibat tekanan
diafragma, distensi abdomen atau
terjadinya komplikasi.
2 Auskultasi bunyi napas
2 Suara napas yang tidak normal
dapat disebabkan peningkatan
caiaran dalam paru, tertahannya
Kolaborasi
Selain hal-hal yang perlu diketagui oleh perawat maupun pasien diatas,
yang paling penting pasien juga perlu diberi pengajaran untuk melaksanakan
sendiri CAPD setelah kondisinya secara medis dianggap stabil. Pelajaran
dapat diberikan secara rawat jalan atau rawat inap. Biasanya latihan CAPD
memerlukan waktu 5 hari hingga 2 minggu.
1 Program Latihan
Selama periode latihan, pasien diaajrkan tentang materi anatomi
dan fisiologi dasar ginjal, proses penyakitnya, prosedur terapi pertukaran,
komplikasi yang mungkin terjadi serta respon yang tepat terhadap
komplikasi tersebut, pemeriksaan tanda-tanda vital, perawatan kateter,
teknik membasuh tangan yang baik, dan yang paling penting adalah
siapa yang harus dihubungi bila timbul suatu masalah serta kapan
menghubunginya. Karena konsekuensi peritonitis, pasien dan
keluarganya harus mandapat pelajran tentang tanda-tanda peritonitis,
tindakan preventif dan srategi penanganan dini.
2 Terapi Diet
Perawat, ahli gizi dan pekerja sosial harus menemui pasien
beserta keluarga selama periode latihan pada saat-saat tertentu
sesudahnya. Informasi dan instruksi tentang diet harus diberikan.
Meskipun diet pada pasien dengan terapi CAPD merupakan diet yang
bebas, ada beberapa rekomendasi yang perlu disampaikan. Karena
protein akan hilang pada dialysis peritoneum kontinyu, maka pasien
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi protein dengan gizi
yang baik dan seimbang. Mereka juga dianjurkan untuk meningktakan
asupan serat setiap hari untuk membantu mencegah konstipasi yang
dapat menghambat aliran cairan dialisat kedalam atau keluar cavum
peritoneal. Pasien sering menglami pertambahan berat badan sebanyak
1,5 hingga 2,5 kg dalam waktu 1 bulan setelah CAPD dimulai, oleh sebab
itu pasien diminta untuk mengurangi asupan karbohidratnya, untuk
menghindari kenaikan berat badan yang berlebihan. Asupan natrium,
kalium dan cairan sesuai dengan yang dianjurkan.
3 Asupan Cairan
Pasien biasanya kehilangan 2 liter cairan lebih atau diatas 8 liter
cairan dialisat yang diinfuskan kedalam rongga abdomen selama periode
24 jam, keadaan ini memungkinkan asupan cairan yang normal bahkan
pada pasien yang anefrik (pasien tanpa ginjal).
4 Perawatan Tindak Lanjut
Pasien diajarai menurut kemampuan sendiri dan tingkat
pengetahuannya untuk belajar, banyaknya materi yang diberikan harus
dapat dipahami pasien tanpa merasa terganggu atau terlalu dijejalkan
informasi yang berlebihan. Perawatan tindak lanjut melalui telepon,
kunjungan klien ke klinik rawat jalan, serta perawatan di rumah yang
kontinyu akan membantu pasien untuk beralih kapada perawatan di
rumah dan berperan aktif dalam perawatan kesehatannay sendiri.
Kemampuan pasien untuk memeriksa apakah pilihannya yang berkenaan
dengan terapi dialysis atau pengendalian tekanan darah yang sudah
tepat, atau hanya untuk membicarakan suatu masalah sederhana sering
masih bergantung pada perawat. Pasien mungkin akan dikunjungi oleh
tim CAPD dalam klinik rawat jalan sekali dalam sebulan atau lebih jika
diperlukan. Prosedur pertukaran yang dilakukan sendiri oleh pasien harus
dievaluasi pada saat itu untuk memastikan apakah teknik aseptic yang
ketat masih dipatuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal
Kronik