You are on page 1of 4

Berbohong Jalan Satu-Satunya

Hai Andi". Sapa teman-temannya ketika Andi melenggang menuju koridor sekolahnya.
Andi hanya membalas dengan senyum tulusnya. Dia terus melenggang menuju gerbang
utama sekolah. Andi anak yang cerdas, penurut dan tidak pernah protes dengan apa yang
diperintahkan oleh kedua orang tuanya. Tentunya hal yang baik yang diperintahkan
kepada Andi.
Sampainya Andi di kelas, dia tidak menemukan sosok Ilham sahabatnya. "Tumben Ilham
belum datang". Gumam Andi. Dia santai menuju kursinya. Posisi duduknya tepat sekali
dengan meja guru. Tak lama kemudian Ilham si jago debat datang, seperti biasa jahilnya
tak pernah hilang untuk satu saja, kalau Ilham masuk kelas pasti salah satu temannya
menjadi korban kejahilan Ilham.
"Hai di, berangkat jam berapa dari rumah?" Tanya Ilham. "Seperti biasa ham, tapi tadi
mampir ke kebun. Biasa memenuhi persiapan aktivitas sepulang sekolah". Jawab Andi
mantap.
Kegiatan di sekolah sebenarnya sudah tidak efektif, kelas tiga tinggal nunggu hasil ujian,
tapi Andi dan Ilham tetap berangkat ke sekolah, selain mereka berdua, juga teman-
temannya masih banyak yang aktif berangkat ke sekolah. Sebagian besar mencari
informasi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Menjelang siang, Andi pulang sekolah. Dia selalu pulang sendiri tanpa Ilham. karena
aktivitas yang selalu ia jalankan. Senjata ampuhnya dikeluarkan, Andi mengganti
pakaiannya. Seragam sekolah dilepasnya, kini Andi memakai pakaian yang compang-
camping layaknya bukan anak sekolah. Seperti biasa, sepulang sekolah Andi selalu
mengambil rumput-rumput untuk lima ekor kambingnya. Dia begitu ulet dan sabar
melakukannya. Keikhlasan pada aktivitas ini membuat dia semakin semangat untuk
menimba ilmu. Andi selalu bergerak dengan baik, berangkat sekolah pagi, selalu
membawa persiapan buat mengambil rumpul, menyiapkan karung, arit dan pakaian
gantinya.
Sebelum dzuhur tiba, Andi sudah tiba dirumahnya. Menaronya dua karung rumput yang
dipikul Andi. "Di kok sudah pulang nak!". Sapa sang ibu. "Iya bu, belajarnya sudah tidak
efektif, paling hanya menunggu kelulusan". Jawab Andi dengan nada penuh kesopana.
"Oh begitu, di tadi ada pesan dari bapak, kalau kamu sudah cukup istirahat di rumah,
nanti kamu bantu bapak angkut pasir". Lanjut sang ibu. "Iya bu, tapi Andi mau makan
siang dulu".

Anak yang penurut, begitu mahkota mendarat pada Andi, anak pertama dari pak Umar
dan ibu Ina. Dia selalu antusias memberikan contoh baik pada kedua adiknya. Santi dan
Rahman. Santi yang baru kelas empat SD pun sudah mengerti bagaimana cara
memperlakukan adiknya Rahman dengan bijak, mengasuhnya dengan baik dan memberi
makan dengan santun.
Andi berjalan dengan santai menuju sungai tempat ayahnya aktivitas. Sungai itu begitu
jernih, membuat Andi segar memandangnya. Dari kejauhan terlihat sudah ayahnya yang
sedang mengangkat pasir dari dalam sungai, kulitnya hitam lebam yang mengkilat
terkena sinar matahari. "Pak istirahat dulu". Sapa Andi pada ayahnya. "Kamu sudah balik
di?" Ayah Andi balik tanya. "Iya pak sudah". Jawabnya begitu singkat. "Bapak istirahat
dulu". Perintah Andi. Kini ayahnya tak komentar apa, hanya menuruti perintah Andi
untuk istirahat sejenak. "Ini pak, Andi bawain kopi, tadi ibu yang bikin". Andi
menyodorkan sebuah gelas plastik yang berisi kopi dan sepiring goreng singkong.
"Terima kasih nak, kamu memang selalu membuat bapak bahagia". Tukas ayah.
Andi tersenyum. "Pak mana pasir yang akan Andi angkutin?" Tanya Andi. "Ini nak, pasir
yang sudah agak kering, biar sedikit ringan. Kamu bawanya jangan banyak-banyak,
sesuaikan dengan tenagamu". Ucap ayahnya sambil elus-elus pundak Andi. "Baik pak".
Jawab Andi mantap.

Hari semakin sore, pak Umar sudah membersihkan badannya. Andi sudah membereskan
tugasnya dengan saksama, telaten dan tidak banyak cakap. Pasir sudah terangkut. Kini
saatnya Andi membersihkan badannya dari kucuran keringat yang membahasi badannya.
Sepuluh menit kemudian Andi dan pak Umar ayahnya meninggalkan lokasi itu, kini dia
melenggang santai menuju rumah tuanya.
Malam tiba... Pak Umar, ibu Ina, Andi, Santi dan Rahman kini sedang kumpul untuk
menikmati makan malam. Tiba-tiba sang Ayah berkata "di besok kan kamu sudah mulai
lulus sekolah, jadi kamu cukupkan sampai di SMP saja, mungkin juga kamu paham
kenapa bapak berkata demikian. Kamu bisa lihat keadaan kita, biaya sekolah begitu
tinggi dan adik-adikmu lebih membutuhkan biaya". Andi menunduk, membayangkan jika
memang keinginan Andi tidak terlaksana, padahal Andi sudah membayangkan, betapa
nikmatnya belajar ditingkat SMA, membangun kritisi, membina diri dengan baik. Hanya
air mata yang menetesnya.

Hari ini, hal yang sangat bersejarah bagi Andi, hari kelulusan. Andi hanya bersikap sabar,
doa dan terus berusaha. Sekalipun kedua orang tuanya sudah tidak mengizinkan lagi
untuk sekolah.
"Di kok bengong". Ilham menepuk pundak Andi. "Eh ham. Dari mana saja kamu". Tanya
Andi. "Biasa habis jahilin teman-teman". Jawabnya begitu enteng. "Awas lho ham senjata
makan tuan nanti". Ledek Andi.
Dua jam sudah di sekolah, saatnya Andi dan Ilham menerima amplop coklat. Amplop
yang berisi penentuan masa depan. Setelah amplop digenggam. Andi dan Ilham pergi ke
tempat favorite mereka, pinggir sungai tiga ratus dari sekolah. Andi dan Ilham saling
menukar amplopnya, mereka membukanya bersamaan namun beda nama, Andi membuka
punya Ilham, begitu sebaliknya. Ilham membuka punya Andi. Semenit kemudian, Ilham
teriak dengan penuh kegembiraan. "Gila, ini benar gila, pengumpul rumput buat
kambing-kambingnya kini menjadi lulusan terbaik dari dua ratus delapan puluh enam
siswa". Teriak Ilham. "Ham lo benar-benar hebat, lo ada diperingkat ketiga dari siswa-
siswi terbaik". Andi pun berseru. Sepontan mereka berteriak bersamaan "kita
luluuu...sss".
Larut dalam kebahagiaan, air yang jernih memberikan riak menyambut kebahagiaan
mereka, namun semenit kemudian air pun seakan meredam rasa bahagianya, sejalan
dengan pemikiran yang mencuat dalam diri Andi. Ya!!! Ingat kembali apa yang dikatakan
ayahnya, Andi tak boleh lanjut sekolah. Andi mendunduk, meneteskan air mata yang tak
tahu apa itu artinya. "Kamu kenapa saudaraku?" Lirih Ilham. Andi menegakkan
kepalanya. "Aku tidak boleh lanjut sekolah ham?" Kesedihan Andi mulai mencuat.
"Jangan patah semangat, bukannya kamu punya tabungan selama tiga tahun ini?" Ilham
membuka keceriaannya. "Iya memang ham, mungkin tabunganku cukup untuk satu tahun
di SMA, tapi bagaimana dengan tahun seterusnya?" Andi balik tanya. "Gampang di,
kamu bisa cari beasiswa atau sekolah sambil kerja". Saran Ilham. Kini Andi mulai
sumringah. Memutar alasan untuk tidak dimarahi kedua orang tuanya, bahwa diam-diam
dirinya daftar sekolah.

Sampainya di rumah, Andi memberikan hasil ujiannya kepada orang tuanya yang begitu
gemilang. Keduanya orang tuanya senyum dan bahagia, namun dalam hatinya menangis,
karena keinginan anaknya tidak akan terpenuhi. Kemudian Andi berkata "ibu, bapak. Aku
mau ikut menjaga toko bapak temanku selama satu bulan, karena sekolah sudah lulus,
jadi ikut-ikut magang untuk pengalaman". Alasan pertama Andi.
Ayah dan ibunya mengizinkan, "tapi ingat ya nak, hanya satu bulan saja dan jangan
merepotkan orang lain, selebihnya bapak serahkan padamu". Tukas sang ayah. Andi
tersenyum bahagia, senjata ini memang ampuh untuk membohongi kedua orang tuaku, ya
mungkin berbohong jalan satu-satunya untuk tetap bisa sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Astagfirallahal adzim. (Andi beristigfar) karena sudah membohongi kedua orang
tuanya.

Sebulan sudah, Andi tak kunjung pulang, menjaga toko orang tua temannya, sekaligus
Andi melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi, kini Andi masuk sekolah
terfavorite di sebuah kota kecil yang konon katanya seleksi masuknya begitu berat.

Rangkasbitung, ... Agustus


2013.

Sakir.

You might also like