You are on page 1of 28

MAKALAH PERSEPSI SENSORI + INTEGUMEN

( POLIP, ATRESIA COANA , ANJ )

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Ahmad Gulam Syarif

Juhaeriah

Fitri Angraini

Dosen Pembimbing

Ns. Dian Perwita, S.Kep.skp

KELAS A NON REGULER


S1 KEPERAWATAN
STIKES YATSI TANGERANG
TA 2016 / 2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum
nasi),dipisahkan oleh sekat hidung(septum nasi) ( Drs.H.Syaifuddin,2006).
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan, S.Kep.,2003).
Jadi polip hidung adalah pembengkakan mukosa hidung yang terisi cairan interselular
yang terdorng ke dalam rongga hidung oleh gaya berat (R. Pracy,1983).
Penyebab : polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat hipersensitifitas atau reaksi
alergi pada mukosa hidung, polip biasanya di temukan pada orang dewasa dan jarang terjadi
pada anak anak (Subhan,S.Kep.,2003).
Penatalaksanaan:polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik local maupun
sistemik. Pada polip yang cukup besar dan persisten di lakukan tindakan operatif berupa
pengangkatan polip (polippectomy) (Subhan,S.Kep.,2003).

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas,maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari polip?
2. Apa pengertian dari polip ?
3. Bagaimana etiologi dari polip ?
4. Bagaimana klasifikasi dari polip ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari polip ?
6. Bagaimana patofisiologi dari polip?
7. Bagaimana pohon masalah dari polip?
8. Bagaimana insiden di dunia dari polip?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari poilp?
10. Bagaimana komplikasi dari polip?
11. Bagaimana penatalaksanaan dari polip ?
12. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari polip?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas,maka dapat ditentukan tujuan sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui anatomi fisiologi dari polip hidung.
2. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pengertian dari polip hidung.
3. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui etiologi dari polip hidung.
4. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui klasifikasi dari polip.
5. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui manifestasi klinis dari polip.
6. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui patofisiologi dari polip.
7. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pohon masalah dari polip
8. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui insiden polip hidung di dunia.
9. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui pemeriksaan penunjang dari polip hidung.
10. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui komplikasi dari polip.
11. Agar mahasiswa kesehatan mengetahui penatalaksanaan dari polip.
12. Agar mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan dari polip hidung.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi fisiologi

Menurut Drs.H.Syaifuddin hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang
pertama,mempunyai dua lubang (kavum nasi),dipisahkan oleh sekat hidung(septum nasi).Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara ,debu dan kotoran yang
masuk ke dalam lubang hidung.Bagian-bagian dari hidung adalah sebagai berikut:
1. Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
2. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
3. Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat lipat yang dinamakan karang hidung
(konka nasalis),yang berjumlah 3 buah:
a. Konka nasalis inferior (karang hidung bagian bawah)
b. Konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
c. Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
Di antara konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu:
a. Meatus superior (lekukan bagian atas)
b. Meatus medialis (lekukan bagian tengah)
c. Meatus inferior (lekukan bagian bawah).
Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernafasan ,sebelah dalam terdapat lubang
yang berhubungan tekak,lubang ini di sebut kaona.
Fungsi dari hindung yaitu sebagai berikut:
1. Bekerja sebagai saluran udara pernafasan.
2. Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung.
3. Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa.
4. Membunuh kuman yang masuk ,bersama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat
dalam selapu lendir (mukosa) atau hidung. (Drs.H.Syaifuddin,2006)

2.2 Definisi
Polip hidung adalah pertumbuhan jaringan pada saluran pernapasan hidung atau pada sinus.
Polip adalah jaringan yang lembut, tidak terasa sakit dan tidak bersifat kangker. Polip
memiliki bentuk seperti anggur yang tergantung pada batangnya. Sinus adalah lubang-lubang
kecil berisi udara yang ada disektitar tulang wajah.

Polip hidung memeliki bentuk dan warna yang beragam. Polip dengan ukuran besar bisa
menyubat salauran hidung. Ini bisa menyebabakan munculnya gejala polip seperti hidung
tersumbat, hidung berair, kesulitan bernapas, gangguang pada indra penciuman dan indra
perasa.
2.3 Etiologi
a) Faktor Herediter
Seperti :Rhinitis alergika,Asma serta Sinusitis kronis
b) Faktor Non Herediter
Seperti karena: peradangan mukosa hidung , edema, iritasi,reaksi hipersensitifitas.

2.4 Klasifikasi Polip


Menurut Subhan Polip hidung terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Polip hidung tunggal adalah jumlah polipnya hanya satu, berasal dari sel-sel permukaan
dinding sinus tulang pipi.
2. Polip hidung Multiple adalah jumlah polip lebih dari satu berasal dari permukaan dinding
rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).

2.5 Manifestasi Klinis


1. Ingusan
2. Hidung tersumbat terus menerus
3. Hilang atau berkurangnya indera penciuman
4. Nyeri kepala
5. Mengorok
6. Suara bindeng

2.6 Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler
dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari
bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling
sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan
masuk ke ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip
koana.
Secara makroskopik polip terlihat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel
tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma
sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf
dan kelenjar sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.
2.7 Pohon Masalah
Faktor Non Herediter
Proses Infeksi/ Inflamasi
Pelepasan medioator kimiawi bradikinin dan histamin
Nyeri waktu menelan
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
Gangguan mekanisme umpan balik / keinginan makan
Penurunan berat badan
Ketidakseimbangan saraf vasomotor
Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif
Faktor Herediter
Gen
Kelainan pada kromosom dan autosom yang mungkin menurun
Proses autoimun
Penyakit Rhinitis alergika
Polip Hidung
Peningkatan permeabilitas kapiler
Gangguan regulasi vaskuler yang menyebabkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast
Mukosa yang sembab
Gangguan pernafasan/ Dipnea
Edema
Peradangan mukosa hidung

2.8 Insiden di dunia


Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden ini meningkat
pada anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%. Insiden pada orang dewasa adalah 1-4%
dengan rentang 0,2-28%. Insiden di seluruh dunia tidak jauh berbeda dengan insiden di
Amerika Polip nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pried an
wanita pada dewasa 2-4: 1, ratio pada anak anak tidak dilaporkan. Dilaporkan
prevalensinya sebanding dengan pasien dengan asma.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi dihubungkan
dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada perbedaan insiden polip nasi yang nyata
diantara bangsa-bangsa di dunia dan diantara jenis kelamin. Polip multipel yang jinak
biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip nasi
jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada polip adalah:
1. Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal. Memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil
di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip
koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.
Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan tanpa harus
ke meja operasi.
2. Foto polos rontgen &CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.
Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan
ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat
untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan
anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan
pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.
3. Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai
keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos
rontgen.

2.10 Komplikasi
1. Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi,tapi jika dalam ukuran besar atau
dalam jumlah banyak dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis,mengorok dan
bahkan sesak nafas saat tidur.
2. Pada penderita polip yang berukuran besar dan menganggu pernafasan dapat dilakukan
tindakan pengangkatan polip dengan operasi Polipektomi dan Etmoidektomi.

2.11 Penatalaksanaan
1. Medis
a. Bila polip masih kecil dapat diobati secara konservatif dengan kortikosteroid sistemik
atau oral ,missalnya prednisone 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari kemudian
diturunkan perlahan.
b. Secara local dapat disuntikan ke dalam polip,misalnya triasinolon asetenoid atau
prednisolon 0,5 ml tiap 5-7 hari sekali sampai hilang.
c. Dapat memaki obat secara topical sebagai semprot hidung misalnya beklometason
dipropinoat.
d. Tindakan operasi diambil jika polip tidak bisa diobati dan terus membesar serta
menganggu jalannya pernafasan yaitu operasi polipektomi atau juga bisa operasi
etmoidektomi.

2. Keperawatan
a. Vocational Rehabilitation
Rehabilitasi yang dilakukan untuk memberikan pendidikan pasca operasi karena
akan ada bekas luka dalam hidung sehingga harus diajari cara membuang ingus yang
tidak membuat pasien kesakitan.
b. Social Rehabilitation
Rehabilitasi yang bertujuan untuk adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai
bukti dengan partisipasi dalam aktivitas perawatan diri dan interaksi positif dengan
orang lain bertujuan untuk tidak menarik diri dari kontak social.
2.12 Konsep Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian Keperawatan
A. Identitas Klien:
B. Riwayat Keperawatan
Keluhan Utama:hidung terasa tersumbat,sering mengeluarkan lendir(pilek sulit berhenti).
Riwayat kesehatan dahulu:tidak ada riwayat penyakit jantung,paru,kencing manis,gondok
dan penyakit kanker serta penyakit tekanan darah tinggi dan ginjal.

II. Pengkajian Fisik dan Fungsi


A. Aktivitas/Istirahat
Gejala:Kelelahan dan kelemahan
Tanda:Penurunan kekuatan,menunjukan kelelahan
B. Sirkulasi
Gejala:Lelah,pucat dan tidak ada tanda sama sekali
Tanda:Takikardi,disritmia,pucat,diaphoresis dan keringat malam
C. Integritas Ego
Gejala Masalah finansial:biaya rumah sakit, pengobatan
Tanda Berbagai perilaku ,misalnya marah ,menarik diri , pasif
D. Makanan/Cairan
Gejala:Anoreksi/kehilangan nafsu makan
Adanya penurunan berat badan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya
tanpa dengan usaha diet.
Tanda:-
E. Nyeri/Kenyamanaan
Gejala:Nyeri tekan/nyeri pada daerah hidung
Tanda:Fokus pada diri sendiri , perilaku berhati hati
F. Pernafasan
Gejala:Dipsnea
Tanda:Dipsnea,Takikardi,pernafasan mulut,sianosis,terdapat pembesaran polip.
G. Istirahat
Selama indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
H. Sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus(baik
purulen,serous,mukopurulen).

III. Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan seringnya ingusan
Batasan karakteristik:Dipsnea,kedalaman pernafasan,penggunaan otot aksesori
penafasan,sianosis
Tujuan:Pernafasan normal
Kriteria hasil:Bebas Dipsnea,sianosis,kedalaman nafas normal.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan mekanisme umpan
balik, keinginan makan, rasa dan bau karena adanya polip. Batasan karakteristik: Penurunan
nafsu makan,gangguan sensasi penciuman,kurang tertarik pada makanan, penurunan berat
badan. Tujuan: Menunjukan peningkatan nafsu makan. Kriteria Hasil: Peningkatan nafsu
makan dan tidak ada penurunan berat badab lebih lanjut.
IV. Intervensi
1. Intervensi diagnosa pertama.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Kaji/awasi prekuensi pernapasan, kedalaman, Perubahan (seperti takipnea,
irama. Perhatikan laporan dispnea dan/atau dispnea, penggunaan otot
penggunaan otot bantu pernapasan cuping aksesori) dapat
hidung, gangguan pengembangan dada . mengindikasikan berlanjutnya
keterlibatan/ pengaruh
pernapasan yang
membutuhkan upaya
intervensi.
Beri posisi dan bantu ubah posisi secara Meningkatkan aerasi semua
periodik segmen paru dan
memobilisasikaan sekresi
Anjurkan/bantu dengan tehnik napas dalam Membantu meningkatkan
dan/atau pernapasan bibiratau difusi gas dan ekspansi jalan
napas kecil, memberikan
pernapasan diagfragmatik abdomen bila pasien beberapa kontrol
diindikasikan terhadap pernapasan,
membantu menurunkan
ansietas
Awasi/evaluasi warna kulit, perhatikan pucat, Proliferasi SDP dapat
terjadinya sianosis (khususnya pada dasar menurunkan kapasitas
kulit, daun telinga,dan bibir) pembawa oksigen darah,
menimbulkan hipoksemia.
Kaji respon pernapasan terhadap aktivitas. Penurunan oksigen seluler
Perhatikan keluhan dispnea/lapar udara menurunkan toleransi
meningkatkan kelelahan. Jadwalkaan periode aktivitas. Istirahat menurunkan
istirahat antara aktivitas. kebutuhan oksigen dan
mencegah kelelahandan
dispnea
Identifikasi/dorong tehnik penghematan Membantu menurunkan
energi mis : periode istirahat sebelum dan kelelahan dan dispnea dan
setelah makan, gunakan mandi dengan kursi, menyimpan energi untuk
duduk sebelum perawatan regenerasi selulerdan fungsi
pernapasan
Memburuknya keterlibatan
Tingkatkan tirah baring dan berikan pernapasan/ hipoksia dapat
perawatan sesuai indikasi selama eksaserbasi mengindikasikan penghentian
akut/panjang aktivitas untuk mencegah
pengaruh pernapasan lebih
serius

Berikan lingkungan tenang Meningkatkan relaksasi,


penyimpanan energi dan
menurunkan kebutuhan
oksigen
Observasi distensi vena leher, sakit kepala, Pasien non-Hodgkin pada
pusing, edema periorbital/fasial, dispnea,dan resiko sindrom vena kava
stridor superior dan obstruksi jalan
napas, menunjukkan
kedaruratan onkologis.
Kolaborasi
Berikan tambahan oksigen Memaksimalkan ketersediaan
untuk untuk kebutuhan
sirkulasi, membantu
menurunkan hipoksemia
Awasi pemeriksaan laboratorium, mis : GDA, Mengukur keadekuatan fungsi
oksimetri pernapasan dan keefektifan
terapi.
2. Intervensi diagnosa ke dua.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Pastikan pola diit biasa pasien, yang disukai Membantu klien untuk mengembalikan nafsu
atau tidak disukai makan
Awasi masukan dan pengeluaran dan berat Berguna dalam pemenuhan nutrisi dan
badan secara periodik. pengembalian berat badan
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hidung adalah saluran udara yang pertama mempunyai dua lubang (kavum nasi),
dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi) ( Drs.H.Syaifuddin,2006).
Polip adalah masa lunak,berwarna putih atau keabu-abuan (Subhan, S.Kep.,2003). Jadi
polip hidung adalah pembengkakan mukosa hidung yang terisi cairan interselular yang
terdorng ke dalam rongga hidung oleh gaya berat (R. Pracy,1983).
Penyebab: polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat hipersensitifitas atau reaksi
alergi pada mukosa hidung, polip biasanya di temukan pada orang dewasa dan jarang terjadi
pada anak anak (Subhan,S.Kep.,2003).
Penatalaksanaan:polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik local maupun
sistemik. Tapi,Pada pasien dengan polip yang cukup besar dan persisten baru akan di lakukan
tindakan operatif berupa pengangkatan polip (polippectomy). Jadi, untuk penatalaksanaan
pada pasien harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar penangannya bisa tepat.

3.2 Saran
Saran dari kelompok kami sebaiknya untuk penanganan pada pasien dengan polip hidung
harus dilakukan secara tepat. Karena, penatalaksanaan tindakan untuk setiap pasien yang
menderita penyakit polip hidung berbeda-beda tergantung dengan tingkat keparahan penyakit
polipnya. polip yang masih kecil dapat diobati kortikosteroid baik local maupun sistemik.
Tapi, Pada pasien dengan polip yang cukup besar dan persisten baru akan di lakukan tindakan
operatif berupa pengangkatan polip (polippectomy). Jadi, untuk penatalaksanaan pada pasien
harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar penangannya bisa tepat.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia koana merupakan suatu kelainan perkembangan kegagalan hubungan antara kavum
nasi bagian posterior dengan nasofaring. Kelainan ini pertama sekali dilaporkan oleh Roederer
(1775 ) dan merupakan salah satu kelainan kongenital pada hidung yang sering di jumpai,
walaupun kejadian pastinya tidak di ketahui.
Kejadian atresia koana kongenital berkisar antara 1 dalam 5000 - 8000 angka kelahiran
hidup, di mana dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Penutupan dapat terjadi secara
parsial atau total dan bisa berupa membran atau tulang. Hampir 90% atresia koana adalah jenis
tulang sedangkan 10% adalah jenis membran.
Dalam 6 minggu pertama kehidupan, bayi bernafas sangat tergantung pada hidungnya. Hal
ini disebabkan karena lidah bayi yang baru lahir mengisi hampir seluruh rongga mulut dan
epiglotis agak condong ke depan dekat ke palatum mole. Anatomi ini menyebabkan kebiasaan
bayi untuk bernafas melalui hidung daripada mulut. Dan untuk bernafas melalui mulut, bayi
memerlukan waktu untuk belajar yang biasanya sekitar 4 6 minggu. Pada atresia koana
bilateral bayi tidak mampu merubah kebiasaan ini tanpa menangis. Oleh karena itu atresia koana
bilateral pada bayi baru lahir merupakan hal yang mengancam jiwa dan memerlukan pertolongan
yang cepat untuk menyelamatkan hidupnya.
Terdapat satu kasus atresia koana bilateral kongenital yang terdiri dari tulang pada bayi
perempuan usia 1 bulan dan telah dilakukan rekonstruksi koana dengan bor di sertai
pemasangan stent plastik.
Atresia koana kongenital terjadi antara 1 dalam 5000 sampai 8000 kelahiran hidup, tetapi
bagaimana pun sulituntuk menentukan insidens yang akurat karena banyak bayi yang dispnea
dan meninggal segera setelah lahir akibat gagal bernafas melalui hidung dan tidak terdeteksi.
Sebanyak 90% dari atresia koana kongenital biasanya berupa tulang dan sisanya adalah
membran. Unilateral lebih sering dari bilateral dengan perbandingan antara perempuan dan
laki-laki adalah 2 : 1.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan definisi dari atresia koana.
2. Menjelaskan penyebab dari atresia koana.
3. Menjelaskan WOC atresia koana.
4. Menjelaskan askep pada atresia koana.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui secara umum mengenai anatomi hidung.
2. Mengetahui definisi, manifestasi klinis, diagnosis pada atresia koana.
3. Melaksanakan tugas persepsi sensori pada hidung.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh membran
abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat kegagalan embriologik dari membran bukonasal
untuk membelah sebelum kelahiran. Kelainan ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan
congenital lainnya yaitu koloboma, kelainan jantung, retardasi mental, kelainan pertumbuhan
dan Charge syndrome. Kelainan congenital lainnya adalah Crouzon syndrome,
Pfeiffersyndrome dan Antley-Bixler syndrome.

2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui,
namun banyak dugaan daripada ahli yang berteoritentang terjadinya atresia koana. Yakni
pada masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang terdiri
atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang kemudian menjadi
atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain adanya keterlibatan kromosom
yang dapat menyertai kelainan kongenital lain seperti facial, nasal dan palatal deformities,
polydactylism, congenital heart disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation,
malformations external ear, esophageal atresia, craniosynostosis, tracheoesophageal fistula
dan meningocele.
2.3 Patofisiologi
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum ada teori
pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
- Membran buccopharyngeal yang persisten
- Kegagalan membrane buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur
- Bagian medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine
- Abnormal mesodermal yang adhesi pada area koana
- Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan derajatnya, atresia koana dapat dibedakan menjadi:
Atresia koana unilateral
Atresia koana bilateral
Berdasarkan tipenya terdapat 3 tipe atresia koana yaitu:
a) Tipe tulang (bony)
b) Tipe membrane (membranous)
c) Campuran antara tulang dan membrane

2.5 Manifestasi Klinis


Pada atresia koana unilateral mungkin tidak ada gejala dan jarang menimbulkan gawat
nafas dan biasanya di ketahui belakangan karena sekret hidung terus menerus atau hidung
tersumbat pada satu sisi. Pada bayi di curigai atresia unilateral apabila sewaktu menyusu pada
ibunya dengan posisi tertentu, lubang hidung yang normal tersumbat oleh payudara ibunya
sehingga bayi akan terlihat sulit bernafas sampai sianosis.
Pada tipe bilateral akan segera terlihat gejala gangguan pernafasan seperti nafas yang
tersendat-sendat tidak teratur, tampak biru jika bibir tertutup atau sewaktu di beri minum dan
akan merah kembali jika bibir terbuka atau sedang menangis. Selain kesulitan bernafas juga
timbul kesulitan sewaktu makan dan minum karena mulut yang biasanya digunakan untuk
bernafas digunakan untuk makan atau minum. Jika bayi dapat bertahan hidup dengan bantuan
jalan nafas melalui mulut, gastric feeding tube, puting Mc Govern dan sebagainya, bayi akan
memperlihatkan gejala dan tanda klasik atresia koana bilateral yaitu :
1. Bernafas melalui mulut yang konstan
2. Sekret hidung bilateral yang kental
3. Gangguan penciuman dan pengecapan.
4. Kurang gizi.
5. Gangguan bicara.
Hampir 50% kasus atresia koana sering disertai dengan kelainan-kelainan kongenital
lainnya, terutama pada kasus yang bilateral. Bergstorm, mengemukakan istilah CHARGE untuk
kelainan yang sering berhubungan dengan atresia koana yaitu : Coloboma blindness, Heart
disease (kelainan jantung), Atresia koana, Retarded growth and development (keterbelakangan
mental dan perkembangan), Genital anomalies in male (hipoplasia alat kelamin laki-laki) dan Ear
anomalies and deafness (gangguan pendengaran).

2.6 Penatalaksanaan
Prioritas utama pada bayi baru lahir adalah menjaga pernafasan melalui mulut dengan
memasukkan saluran udara plastik ke dalam mulut bayi. Alternatif lain adalah merekatkan puting
karet botol bayi (puting Mc Govern) yang dapat dilakukan sampai 1 tahun untuk mendapatkan
lapangan operasi yang lebih luas (2 kali waktu lahir). Trakeostomi biasanya tidak dilakukan kalau
Mc Govern bisa di pasang.
Atresia koana dapat di koreksi dengan tindakan bedah baik
secara transnasal atau transpalatal. Transnasal lebih sederhana dan mudah dilakukan, tidak
mengganggu perkembangan palatum durum, operasi sebentar, lebih sedikit perdarahan serta
dapat dikerjakan pada bayi yang sangat muda usianya tetapi lebih sering
menyebabkan restenosis. Banyak ahli berusaha mencegah stenosis kembali dengan
pemasangan stent sampai terjadi epitelisasi sempurna (2 5 bulan). Dapat digunakan pipa
berbentuk huruf U yang di pasang di depan kollumella dan di beri lubang di bagian depan untuk
pernafasan. Sedangkan transpalatal memberikan visualisasi yang lebih baik dengan
insidens restenosisyang lebih rendah. Ada beberapa cara insisi palatum pada metode ini tetapi
yang paling sederhana adalah insisimidline.
Pada tipe membran, atresia dapat di tembus melalui hidung dan di ikuti dengan
pemasangan stent selama 6 minggu. Pada oklusi tulang perlu dilakukan perforasi dan
pemecahan dinding pemisah dengan bor, pahat dan kuret serta seluruh tulang yang menutupi
harus di angkat.
Pada atresia koana unilateral, tindakan bedah dilakukan setelah pasien dewasa.
Metode transnasal biasanya memberikan hasil yang baik sehingga
pendekatan transpalatal jarang digunakan. Pada atresia koana bilateral biasanya operasi
menggunakan mikroskop atau alat endoskopi, dengan selalu berpedoman pada dasar hidung.
Kesalahan kearah superior dapat mengakibatkan terkenanya intra kranial (basis sfenoid) dan
dapat timbul komplikasi yang serius.

BAB III
KASUS ATRESIA KOANA

Seorang ibu bernama S. Fatimah usia 30 tahun bekerja sebagai pedagang, membawa
bayi perempuannya berinisial W, usia 1 bulan dan beralamat di JL. Kamboja 13 Sampang,
datang ke Bagian THT BRSUD Sampang tanggal 23 Mei 2000 jam 11.00. Dari allo anamnesis di
jumpai adanya keluhan pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah
kembali setelah menangis. Kemudian kedua lubang hidung selalu berair sejak lahir dan pasien
kelihatan selalu bernafas melalui mulut. Dari data yang diperoleh riwayat penyakit penghidu pada
keluarga tidak ada.
Dilakukan operasi rekonstruksi koana pada tanggal 30 Mei 2000. Sebelum operasi
kavum nasi di evaluasi dengan endoskopi, terlihat obstruksi berupa tulang yang di tutupi mukosa
pada kedua koana. Secara hati-hati dengan pedoman dasar hidung daerah tersebut di bor
dengan bor diamond yang di beri pelindung pipa karet sampai tembus ke nasofaring. Dengan
trokar lurus, daerah tersebut dilebarkan secara hati-hati sampai diameter 5 mm dan di kontrol
dengan jari di daerah nasofaring. Lalu evaluasi kembali dengan endoskopi, melalui trokar terlihat
mukosa nasofaring. Kateter karet dimasukkan melalui trokar ke nasofaring terus ke mulut dan di
ikat ujungnya dengan benang, dan di tarik lagi keluar hidung lalu trokar dikeluarkan. Terhadap
ujung benang yang satu lagi dilakukan hal yang sama pada lubang hidung sebelahnya sehingga
kedua ujung benang keluar melalui kedua lubang hidung. Kedua ujung benang dimasukkan ke
dalam pipa dari slang infus yang di beri lubang-lubang kecil sepanjang 5 cm dan dibengkokkan
seperti huruf U, lalu dikeluarkan kedua ujungnya di pertengahan slang tersebut yang di lubangi
1 cm. Slang dimasukkan ke dalam lubang hidung dan benang di ikat untuk fiksasi. Kontrol
perdarahan (-). KU post op : baik. Sewaktu pasien sadar, bisa bernafas melalui hidung (di tes
dengan kapas di depan hidung).
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ATRESIA KOANA

3.1 Pengkajian :
a) Identitas Anak
- Nama : An. W
- Usia : 1 bulan
- Suku : Madura
- Jenis kelamin : Perempuan
- Agama : Islam
- Alamat : JL. Kamboja 13 Sampang
b) Identitas Orang Tua
- Nama Ibu : S. Fatimah
- Usia : 30 tahun
- Suku : Madura
- Jenis kelamin : Perempuan
- Pendidikan : SD
- Pekerjaan : Pedagang
- Agama : Islam
- Alamat : JL. Kamboja 13 Sampang
- Hubungan : Ibu
c) Keluhan utama
- Sesak dan membiru apabila di beri minum dan memerah kembali setelah menangis
d) Riwayat penyakit sekarang
- Dijumpai adanya keluhan pasien terlihat sesak dan membiru apabila di beri minum dan
memerah kembali setelah menangis. Kemudian kedua lubang hidung selalu berair sejak lahir
dan pasien kelihatan selalu bernafas melalui mulut.
e) Riwayat penyakit dahulu
- Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.
f) Riwayat penyakit keluarga
- Tidak ada riwayat penyakit penghidu pada keluarga.

3.2 Pemeriksaan Fisik :


- KU / KP / KG : sedang / kurang.
- BB : 2,9 kg
- Suhu : 38C
- RR : dispnea (-), sianosis (-)
- Hidung : Rh. Ant : kavum nasi lapang
- Mukosa : normal, sekret jernih (+ ), massa (-).
- Rh. Post : koana tidak bisa di periksa.

3.3 Pemeriksaan Penunjang


a) Meletakkan kapas atau kaca di depan hidung. Bila terdapat udara, kapas akan bergerak dan
kaca akan berembun.
b) Memasukkan kateter karet melalui lubang hidung ke faring dan akan terdapat tahanan.
Pemeriksaan nasofaring secara digital.
c) Pemeriksaan kaca rinoskopi posterior.
d) Meneteskan metilen blue ke hidung dan di lihat keberadaannya melalui mulut.
e) Pemeriksaan radiologi :
Foto polos hidung lateral dengan memakai zat kontras dalam posisi berbaring dapat
menentukan ketebalan atresia dari kontras di hidung dan udara di nasofaring.
CT Scan dapat membedakan atresia bentuk tulang atau membran dan dapat menentukan
angulasi serta tebalnya.
f) Konsul Kardiologi Anak
Tidak ada kelainan kardiologi
g) Konsul Bagian I. Penyakit Mata
Tidak di jumpai kelainan
h) Terapi
Inj. Ampisillin
Inj. Asam traneksamat

3.4 Analisa Data


DATA ETIOLOGI PROBLEM
DS: pasien terlihat sesak dan Atresia koana unilateral Pola nafas tidak
membiru apabila di beri minum efektif
dan memerah kembali setelah Secret hidung satu sisi
menangis. Pada bayi menyusui
DO: suhu 38C, RR= dispnea,
kulit terlihat sianosis, BB= 2,9 Dipsnea
kg.
Sianosis
DS: ibu klien mengatakan kedua Bantuan nafas Gangguan nafas
lubang hidung An.W selalu
berair sejak lahir. Mulut
DO: pasien terlihat selalu
bernafas melalui mulut. Bernafas konstan
DS: ibu klien Keterbatasan informasi Kurangnya
mengatakanPendidikannya pengetahuan
hanya smpai sekoah dasar.
DO: ibu klien terlihat bingung
atau tidak paham atas informasi
yang diberikan.
DS: klien merasa lemas, nafsu Sulit makan & minum Nutrisi kurang dari
makan turun. kebutuhan
DO: kurus, BB menurun Bantuan nafas mulut

Kurang gizi
DS: klien merasa sulit makan & Bantuan jalan nafas Gangguan persepsi
minum mulut sensori
DO: berat badan turun & porsi
makan sedikit Gangguan penciuman &
pengecap

3.5 Diagnosa Keperawatan


Pola nafas tidak efektif b.d adanya secret dalam hidung.
Gangguan nafas b.d ketidakefektifan jalan nafas.
Kurangnya pengetahuan b.d keterbatasan informasi.
Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan.
Gangguan persepsi sensori penciuman (hidung) & pengecap
Gangguan konsep diri citra tubuh yang b.d perubahan persepsi

3.6 Intervensi dan Rasional


Pola nafas tidak efektif b.d adanya secret dalam hidung.
Tujuan : Pola nafas menjadi efektif dalam 10 15 menit setelah dilakukan tindakan.
Kriteria Hasil :
- RR normal (16 20 x/menit)
- Suara napas vesikuler
- Pola napas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernapasan
- Saturasi oksigen 100%

INTERVENSI RASIONAL
Observasi:
Observasi RR tiap 4 jam, bunyi napas, Mengetahui keefektifan pola napas
kedalaman inspirasi, dan gerakan dada
Auskultasi bagian dada anterior dan Mengetahui adanya penurunan atau tidak
posterior adanya ventilasi dan adanya suara napas
tambahan
Pantau status oksigen pasien Mencegah terjadinya sianosis dan
keparahan
Mandiri :
Berikan posisi fowler atau semifowler Mencegah obstruksi/aspirasi, dan
tinggi meningkatkan ekspansi paru
Lakukan nebulizing Membantu pengenceran sekret
Berikan O2 (oksigenasi) Mengkompensasi ketidakadekuatan
O2 akibat inspirasi yang kurang maksimal

Kolaborasi:
Berikan obat sesuai dengan indikasi Mukolitik untuk menurunkan batuk,
mukolitik, ekspetoran, bronkodilator. ekspektoran untuk membantu
memobilisasi sekret, bronkodilator
menurunkan spasme bronkus dan
Edukasi: analgetik diberikan untuk meningkatkan
kenyamanan

Ajarkan batuk efektif pada pasien Membantu pasien untuk mengeluarkan


sekret yang menumpuk

Ajarkan terapi napas dalam pada pasien Membantu melapangkan ekspansi paru

Gangguan nafas b.d ketidakefektifan jalan nafas.


Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria Hasil : menunjukkan pola nafas yang efektif tanpa adanya gangguan nafas
INTERVENSI RASIONAL
Respiratory monitoring:
Monitor rata-rata irama, kedalaman dan Mengetahui keefektifan pernafasan
usaha untuk bernafas.
Catat gerakan dada, lihat kesimetrisan, Untuk mengetahui penggunaan otot bantu
penggunaan otot Bantu dan retraksi dinding pernafasan
dada.
Monitor suara nafas Mengetahui penyebab nafas tidak efektif
Monitor kelemahan otot diafragma
Catat omset, karakteristik dan durasi batuk

Kurangnya pengetahuan b.d keterbatasan informasi.


Tujuan : pasien mengerti proses penyakitnya dan program perawatan serta therapi yang
diberikan
Kriteria Hasil :
Mampu menjelaskan kembali tentang penyakit
Mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas
INTERVENSI RASIONAL
. Kaji pengetahuan klien tentang Mempermudah dalam memberikan penjelasan
penyakitnya pada klien
2. Meningkatan pengetahuan dan mengurangi
cemas
Jelaskan tentang proses penyakit (tanda 3. Mempermudah intervensi
dan gejala), identifikasi kemungkinan
penyebab. Jelaskan kondisi tentangklien
4.
Jelaskan tentang program pengobatan Mencegah keparahan penyakit
dan alternatif pengobatan

Diskusikan perubahan gaya hidup yang Memberi gambaran tentang pilihan terapi yang
mungkin digunakan untuk mencegah bisa digunakan
komplikasi 6.

Diskusikan tentang terapi dan pilihannya Mereview


Eksplorasi kemungkinan sumber yang
bisa digunakan/ mendukung

Instruksikan kapan harus ke


pelayananTanyakan kembali
pengetahuan klien tentang penyakit,
prosedur perawatan dan pengobatan

Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d menurunnya nafsu makan


Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien bisa terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menghabiskan diet yang dihidangkan
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
Nilai laboratorim, protein total 8-8 gr%, Albumin 3.5-5.4 gr%, Globulin 1.8-3.6 gr%, HB
tidak kurang dari 10 gr %
Membran mukosa dan konjungtiva tidak pucat
INTERVENSI RASIONAL
Eating disorder manajemen:
Tentukan kebutuhan kalori harian Mengetahui kebutuhan kalori harian.
Ajarkan klien dan keluarga tentang Memudahkan dalam monitoring status
pentingnya nutrient nutrisi.
Monitoring TTV dan nilai

Laboratorium:
Monitor intake dan output Nutrisi enteral meningkatkan fungsi sistem
Monitor intake kalori harian pencernakan.
Pertahankan kepatenan pemberian nutrisi
parenteral
Pertimbangkan nutrisi enteral Penanda malnutrisi
Pantau adanya Komplikasi GI

Terapi gizi:
Monitor masukan makanan/ minuman dan Penentuan jumlah kalori dan bahan makanan
hitung kalori harian secara tepat yang memenuhi standar gizi.

Kaloborasi ahli gizi:


Pastikan dapat diet TKTP Mencegah penurunan nafsu makan
Berikan perawatan mulut Penanda kekurangan nutrisi
Pantau hasil labioratoriun protein, albumin,
globulin, HB
Jauhkan benda-benda yang tidak enak untuk Dapat mengurangi nafsu makan
dipandang seperti urinal, kotak drainase,
bebat dan pispot
Sajikan makanan hangat dengan variasi yang Menambah selera makan psien
menarik

Gangguan persepsi sensori penciuman (hidung) & pengecap


Tujuan : mengembalikan fungsi penciuman & pengecap ke normal
Kriteria Hasil : individu akan mendemonstrasikan penurunan gejala beban sensori
berlebih yang ditandai dengan penurunan persepsi penciuman & pengecap

INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengubah posisi secara sering,
meskipun hanya mengangkat satu sisi tubuh dengan
sedikit berulang

Rujuk ke perubahan proses pola berpikir yang


berhubungan dengan ketidakmampuan mengevaluasi
realitas untuk mengetahui intervensi tambahan
Dengan meningkatkan stimulus sensori yang
bervariasi hal ini dapat membantu mencegah
perubahan akibat kemunduran sensori yang lain
Dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang stimulus
sensori yang akan dialami individu, kondisi distress,
tekanan dan konfusi akan berkurang
Kualitas/kuantitas input sensori berkurang akibat
immobilitas/pengurangan

Gangguan konsep diri citra tubuh yang b.d perubahan persepsi


Tujuan : menerima dan meningkatkan harga diri
Kriteria Hasil :
Citra tubuh positif dan akurat
Konsep diri yang positif menunjukan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya
INTERVENSI RASIONAL
Dorong pasien untuk mengekspresikan Membantu pasien untuk menyadari
perasaan khususnya mengenai pikiran, perasaannya yang tidak biasa.
perasaan, pandangan dirinya.
Catat prilaku menarik diri. Peningkatan Dugaan masalah pada penilaian yang dapat
ketergantungan, manipulasi atau tidak memerlukan evaluasi tindak lanjut dan
terlibat pada perawatan. terapi yang lebih ketat.
Pertahankan pendekatan positif selama Bantu pasien/orang terdekat untuk
aktivitas perawatan. menerima perubahan tubuh dan merasakan
baik tentang diri sendiri.

3.7 Evaluasi
Ketika merawat klien yang mengalami perubahan sensori, perawat mengevaluasi apakah
tindakan perawatan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kemampuan klien
untuk berinteraksi dan berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar perubahan sensori klien
mempengaruhi cara perawat mengevaluasi perawatan. Perawat mengadaptasikan hasil
evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk menentukan apakah hasil actual sama dengan
hasil yang diharapkan. Misalnya, perawat menggunakan teknik komunikasi yang sesuai
untuk mengevaluasi apakah klien yang mengalami defisit penghidu mencapai kemampuan
penciuman dengan lebih efektif.

BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh membran
abnormal atau tulang. Kelainan ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan congenital lainnya
yaitu koloboma, kelainan jantung, retardasi mental, kelainan pertumbuhan dan Charge
syndrome.
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum ada teori
pasti tentang kelainan ini.

4.2 Saran
Mahasiswa keperawatan dan seseorang yang profesinya sebagai perawat diharapkan
mampu memahami dan menguasai berbagai hal tentang Atresia Koana seperti etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, dan lainnya, serta asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien
yang menderita atresia koana, agar gangguan pada daerah hidung ini dapat teratasi dengan
baik.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hemangioma merupakan tumor jinak pembuluh darah yang berproliferasi dari sel-
sel endotelium pembuluh darah diikuti involusi terus menerus meyebabkan kelainan yang
merupakan hasil dari anomali perkembangan pleksus vaskular. Hemangioma sering terjadi
pada bayi yaitu 1,1% sampai 2,6% dan anak-anak yaitu 10% sampai 12%. Lesi ini lebih
sering terjadi pada wanita dibanding pria dengan rasio 3:1. Lesi hemangioma tidak ada pada
saat kelahiran. Mereka bermanifestasi pada bulan pertama kehidupan, menunjukkan fase
proliferasi yang cepat dan perlahan-lahan berinvolusi menuju bentuk lesi yang sempurna.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan pola pikir ilmiah dalam melaksanakan Asuhan Kebidanan
pada Bayi penderita Hemangioma dan mendapatkan gambaran epidemiologi, distribusi,
frekuensi, determinan, isu dan program penanganan penyakit Hemangioma
Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengkajian pada penyakit Hemangioma
b. Mengetahui Definisi, Etiologi, gejala/tanda, faktor predispossisi dan
tindakan yang tepat untuk mengatasi Hemangioma
c. Mengetahui evaluasi yang di harapkan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Hemangioma adalah suatu tumor jaringan lunak yang sering terjadi pada bayi
baru lahir dan pada anak berusia kurang dari 1 satu tahun (5-10%). Biasanya Hemangioma
sudah nampak sejak bayi dilahirkan (30%) atau muncul setelah beberapa minggu setelah
kelahiran (70%). Hemangioma muncul di setiap tempat pada permukaan tubuh, seperti :
kepala, leher, muka, kaki atau dada. Umumnya hemangioma tidak membahayakan karena
sebagian besar kasus hemangioma dapat hilang setelah kelahiran.
Hemangioma infantil adalah neoplasma vaskuler jinak yang memiliki perjalanan
klinis karakteristik ditandai dengan proliferasi awal dan diikuti dengan involusi spontan.
Selama fase proliferatif pada periode neonatal atau awal masa bayi, proliferasi sel endotel
cepat membagi bertanggung jawab untuk pembesaran hemangioma kekanak-kanakan.
Akhirnya, fase involusional terjadi, dimana hemangioma infantil kebanyakan klinis
diselesaikan pada usia 9 tahun.
Hemangioma adalah tumor yang paling umum dari masa bayi, dan hemangioma
paling infantil secara medis tidak signifikan. Kadang-kadang hemangioma anak-anak
mungkin menimpa pada struktur vital, memborok, berdarah, menyebabkan output tinggi
gagal jantung atau kelainan struktural yang signifikan atau cacat. Jarang, hemangioma
infantil kulit dapat dikaitkan dengan satu atau lebih kelainan kongenital yang mendasari.
B. Etiologi
Penyebab hemangioma sampai saat ini masih belum jelas. Angiogenesis
sepertinya memiliki peranan dalam kelebihan pembuluh darah. Cytokines, seperti Basic
Fibroblast Growth Factor (BFGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF),
mempunyai peranan dalam proses angiogenesis. Peningkatan faktor-faktor pembentukan
angiogenesis seperti penurunan kadar angiogenesis inhibitor misalnya gamma-interferon,
tumor necrosis factorbeta, dan transforming growth factorbeta berperan dalam etiologi
terjadinya hemangioma.
Ada beberapa hipotesis yang dikemukakan mengenai patofisiologi dari
hemangioma, diantaranya menyatakan bahwa proses ini diawali dengan suatu proliferasi dari
sel-sel endotelium yang belum teratur dan dengan perjalanan waktu menjadi teratur dengan
membentuk pembuluh darah yang berbentuk lobus dengan lumen yang berisi sel-sel darah.
Sifat pertumbuhan endotelium tersebut jinak dan memiliki membran basalis tipis. Proliferasi
tersebut akan melambat dan akhirnya berhenti.
Hipotesis dari Takahashi menyatakan bahwa dalam trimester terakhir dari
kehamilan, di dalam fetus terbentuk endotelium immature bersama dengan pericyte yang juga
immature yang memiliki kemampuan melakukan proliferasi terbatas dimulai pada usia 8
bulan sampai dengan 18 bulan pertama masa kehidupan setelah dilahirkan maka pada usia
demikian terbentuk hemangioma.
Selama aktivitas proliferasi endotelium terjadi influks sejumlah sel mast dan
tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP atau inhibitor pertumbuhan jaringan). Proliferasi
endotelium kembali normal setelah fase proliferasi berhenti atau involusi. Sebagian besar
hemangioma akan mengalami involusi spontan pada usia 5-7 tahun atau sampai usia 10-12
tahun.

C. Tanda-tanda
Tampak seperti tanda lahir, tetapi pertumbuhannya terjadi secara cepat pada usia 6-12 bulan.
1. Pertumbuhan ini mulai menyusut dan melambat pada usia 1-7 tahun dan tumor ini menciut
pada usia 10-12 tahun, kebanyakan ada pula yang menghilang pada usia 10-13 tahun.
2. Adanya pola merah terang yang timbul, terkadang dengan permukaan bertekstur (kadang
disebut hemangioma stroberi karena berwarna merah seperti buah stroberi).
3. Pembuluh darah vena yang menyebar dari tumor juga bisa terlihat di bawah kulit. Saat
hemangioma mulai menyusut, warna merahnya akan memudar. Bekas warna akhir itu
umumnya akan hilang saat anak berusia 7 tahun.
4. Untuk hemangioma yang muncul pada lapisan kulit lebih bawah (hemangioma dalam),
terlihat seperti lebam atau kebiru-biruan pada kulit tapi terkadang juga malah tidak tampak
sama sekali. Lebam ini biasanya terlihat pada saat anak berusia 2-4 bulan

D. Patofisiologis
Hemangioma merupakan sisa-sisa jaringan vaso formativedari jaringan mesidermal dan
mempunyai kemampuan untuk berkembang.
Macam-macam Hemangioma :
1. Hemangioma kapiler
a) Strawberry hemangioma (hemangioma simpleks)
Hemangioma kapilar terdapat pada waktu lahir atau beberapa hari sesudah lahir. Tampak
sebagai bercak merah yang makin lama makin besar. Warnanya menjadi merah menyala,
tegang, dan berbentuk lobular, berbatas tegas, dan keras pada perabaan. Ukuran dan
dalamnya sangat bervariasi, ada yang superfisial berwarna merah terang, dan ada yang
subkutan berwarna kebiruan. Involusi spontan ditandai oleh memucatnya warna di daerah
sentral, lesi menjadi kurang tegang dan lebih mendatar.
b) Granuloma piogenik
Lesi ini terjadi akibat proliferasi kapilar yang sering terjadi sesudah trauma, jadi bukan oleh
karena proses peradangan, walaupun sering disertai infeksi sekunder. Lesi biasanya solitar,
dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak dan sering mengalami trauma. Mula-mula
berbentuk papul eritematosa dengan pembesaran yang cepat. Beberapa lesi dapat mencapai
ukuran 1 cm dan dapat bertangkai. Lesi mudah berdarah.

2. Hemangioma kavernosum
Lesi ini tidak berbatas tegas, dapat berupa makula eritematosa atau nodus yang berwarna
merah ampai ungu. Bila ditekan mengempis dan akan cepat menggembung lagi apabila
dilepas. Lesi terdiri tas elemen vaskular yang matang. Bentuk kavernosum jarang
mengadakan involusi spontan.
3. Hemangioma campuran
Jenis ini terdiri atas campuran antara jenis kapilar dan jenis kavernosum. Gambaran klinisnya
juga terdiri atas gambaran kedua jenis tersebut. Sebagian besar ditemukan pada ekstrimitas
inferior, biasanya unilateral, solitar, dapat terjadi sejak lahir atau masa anak-anak. Lesi berupa
tumor yang lunak, berwarna merah kebiruan yang kemudian pada perkembangannya dapat
memberi gambaran keratotik dan verukosa.

E. Faktor predisposisi
1. Perdarahan.
2. Pada tempat tertentu, dapat mengganggu fungsi, seperti : ambliopia, sesak nafas,
gangguan kencing.
3. Trombositopenia, D.I.C.

F. Pencegahan
Untuk mendeteksi timbulnya hemangioma secara dini mungkin agak sulit. Akan
tetapi, jika anak telah lahir dan terlihat ada kelainan pada kulitnya, seperti keterangan yang
disebutkan pada tanda-tanda hemangioma, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter
untuk mengatasi atau mencegah perkembangan hemangioma lebih lanjut. Dalam banyak
kasus perlakuan tidak akan ditunjukkan. Jika pengobatan diperlukan, bagaimanapun,
mungkin meliputi:
a. Kortison:
Injeksi ke hemangioma atau diberikan secara oral melalui mulut. Jika diberikan secara oral
untuk waktu yang lama memiliki efek samping termasuk peningkatan risiko infeksi sistemik,
tekanan darah tinggi, diabetes, nafsu makan meningkat, iritasi lambung, penekanan
pertumbuhan, dll
b. Berdenyut Dye Laser Therapy:
Terapi ini memperlakukan pembuluh darah dangkal terbaik. Jika perawatan ini dianjurkan
biasanya diperuntukkan bagi komponen dangkal hemangioma, ditandai dengan lesi, datar
merah. Hal ini biasanya diberikan dalam serangkaian perawatan laser jarak 2-4 minggu.
c. Antibiotik:
Jika hemangioma yang terinfeksi dan membukanya dapat diobati dengan kursus singkat
antibiotik dan pembersihan luka sehari-hari.
d. Alpha Interferon:
Terapi ini terbatas pada yang paling parah dan hemangioma berpotensi mengancam
kehidupan. Ini melibatkan pemberian obat sistemik melalui tembakan harian, biasanya ke
kaki, selama beberapa bulan. Hal ini biasanya diberikan kepada bayi oleh orang tua di bawah
arahan dan pengawasan dokter. Terapi ini memiliki efek samping yang serius yang potensial
termasuk efek neurologis, kelainan darah dan lain-lain.
e. Operasi pengangkatan:
Dalam kasus yang jarang, hemangioma dapat diangkat dengan operasi terutama jika mereka
tidak mungkin untuk menyelesaikan secara spontan atau menimbulkan distorsi jaringan
signifikan dan deformasi.

G. Asuhan/Penanganan
1. Edukasi dan Observasi
Perjalanan alamiah penyakit ini munculnya cepat setelah bayi lahir dan menetap
hingga usia balita, antara usia 5-7 tahun. Hemangiomainfantil dengan ukuran yang kecil
sebaiknya dilakukan observasi saja khususnya pada fase proliferasi dan fase involusi. Setelah
sembuh, kulit akan tampak normal atau hanya mengalami kecacatan yang minimal. Orang tua
pasien perlu diberikan penjelasan mengenai penyakit dan perjalanan klinisnya sehingga tidak
terjadi kecemasan. Memotivasi orangtua pasien untuk memeriksakan secara berkala untuk
follow-up perkembangan hemangioma infantil perlu dilakukan. Pemeriksaan yanglebih
sering perlu dilakukan apabila lesi besar, mengalami ulserasi,multipel, atau terletak pada
struktur anatomi yang vital.
Pada perjalanan alamiahnya lesi hemangioma akan mengalami pembesaran dalam
bulan-bulan pertama, kemudian mencapai besar maksimum dan sesudah itu terjadi regresi
spontan sekitar umur 12 bulan, lesi terus mengadakan regresi sampai umur 5 tahun.
2. Terapi Kortikosteroid
Hemangioma infantil yang sensitif akan memperlihatkan respon terapi pada
beberapa hari pemberian kortikosteroid. Jika tidak ada responyang berupa memudarnya
warna, menjadi lembut, atau berkurangnya pertumbuhan maka terapi harus dihentikan. Jika
respon terapi tampak,maka dosis dan durasi pemberian kortikosteroid dipertahankan
sesuaidengan lokasi dan maturitas hemangioma infantil. Terapi kortikosteroiddapat diberikan
dalam bentuk :
a) Kortikosteroid topical, beberapa penelitian melaporkan bahwa golongan superpotensial
efektif untuk pengobatan hemangioma superfisialis dengan ukuran relatif kecil.
b) Kortikosteroid injeksi pada lesi,
Triamcinolone 10-20 mg/mL dengan dosis maksimal 5 mg/kgBB dapat diberikan
padahemangioma yang meluas dengan cepat dan menimbulkankomplikasi berupa ulserasi.
c) Kortikosteroid sistemik, merupakan terapi lini pertama untuk hemangioma infantil yang
besar, destruktif, atau mengancam jiwa.Prednison dapat diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari pada pagihari selama 4 6 minggu. Selanjutnya dilakukan tapering
dosisselama beberapa bulan.
3. Recombinant Interferon Alfa-2a
a) Recombinant interferon alpha-2a(IFN) merupakan agen baru untuk terapi hemangioma
infantil yang besar dan mengancam nyawa. Pemberian IFN tidak boleh di kombinasikan
dengan kortikosteroid. Bila INF akan diberikan, perlu secepatnya dilakukan tappering off
dosis kortikosteroid.Mekanisme kerja IFN akan mempercepat timbulnya fase involusi
padahemangioma infantil. Indikasi terapi antara lain:
1) Tidak respon kortikosteroid
2) Kontraindikasi pemberian kortikosteroid jangka panjang
3) Komplikasi pada pemberian kortikosteroid
4) Penolakan dari orang tua dengan penggunaan terapi kortikosteroid.
4. Terapi Bedah
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah operasi eksisi, terutama pada
hemangioma infantil yang tidak mengalami involusi komplet, hemangioma infantil yang
memberi pengaruh kosmetik pada wajah,hemangioma infantil yang berlokasi pada region
periorbita, hidung, mulut,saluran nafas bagian atas, kanal telinga, dan hemangioma infantil
yang mengancam jiwa anak.
Indikasi :
a) Terdapat tanda-tanda pertumbuhan yang terlalu cepat, misalnya dalam beberapa minggu
lesi menjadi 3-4 kali lebih besar.
b) Hemangioma raksasa dengan trombositopenia.
c) Tidak ada regresi spontan, misalnya tidak terjadi pengecilan sesudah 6-7 tahun.
5. Terapi Radiasi
Terapi ini masih kontroversial, meskipun sampai saat ini masih sering dilakukan.
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kerusakan epipisis, mamae, gonade, kulit, lensa mata,
dan glandula tiroid. Komplikasi berupa karsinoma dan sarkoma pernah dilaporkan.
Pengobatan radiasi pada tahun-tahun terakhir ini sudah banyak ditinggalkan karena :
a) Penyinaran berakibat kurang baik pada anak-anak yang pertumbuhan tulangnya masih
sangat aktif
b) Komplikasi berupa keganasan yang terjadi pada jangka waktu lama
c) Menimbulkan fibrosis pada kulit yang masih sehat yang akan menyulitkan bila diperlukan
suatu tindakan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hemangioma adalah tumor yang paling umum dari masa bayi, dan hemangioma
paling infantil secara medis tidak signifikan. Kadang-kadang hemangioma anak-anak
mungkin menimpa pada struktur vital, memborok, berdarah, menyebabkan output tinggi
gagal jantung atau kelainan struktural yang signifikan atau cacat. Jarang, hemangioma
infantil kulit dapat dikaitkan dengan satu atau lebih kelainan kongenital yang mendasari.
DAFTAR PUSTAKA

http://perawathealth.blogspot.co.id/2014/05/asuhan-keperawatan-pada-klien-atresia.html

http://bams-sujatmiko.blogspot.co.id/2012/04/makalah-polip-hidung.html

http://ietkekem.blogspot.co.id/2012/10/makalah-hemangioma.html

You might also like