You are on page 1of 19

REFERAT

NEUROEMERGENSI

KRITERIA DIAGNOSTIK DAN TATALAKSANA RABIES





















Disusun Oleh :
Celline Tantono
07120120065


Pembimbing :
dr. Lilie Lalisang, Sp. S




KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE DESEMBER 2016 JANUARI 2017
TANGERANG

DEFINISI
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang sistem saraf
pusat dan bersifat fatal sehingga dapat menyebabkan kematian. Rabies disebabkan
oleh virus RNA dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae yang dapat menular ke
manusia melalui kontak terutama gigitan maupun goresan dengan hewan yang
terinfeksi. Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan
sisanya oleh hewan lain seperti monyet dan kucing. Penyakit ini mempunyai
prognosis yang sangat buruk tetapi dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi. 1,2

EPIDEMIOLOGI
Penyakit rabies pada manusia terdapat di 150 negara dan wilayah kecuali
Antartika. Terdapat 10 dari 1000 kematian karena rabies tiap tahunnya.
Menurut World Health Organization, kematian manusia yang dikarenakan rabies
yang dimediasi oleh anjing memiliki prevelensi tertinggi di Asia dengan insiden dan
kematian tertinggi di India. 3
Di Indonesia, penyakit ini bersifat endermis dan menyerang 24 dari 33
provinsi yang ada di Indonesia dan rata rata 150 300 kematian manusia akibat
rabies setiap tahunnya.4 Pada tahun 2008, di Indonesia tepatnya kepulauan Bali
pernah mengalami wabah rabies yang cukup berat dan terdapat 78 kematian
hingga September 2010.5











2
PATOFISIOLOGI
Virus rabies merupakan jenis virus neurotropik yang dapat menginfeksi
manusia dan menyebabkan enfesalitis yang bersifat fatal. Virus rabies akan
menyebar di sepanjang jalur saraf dan menyerang sistem saraf pusat sehingga
menyebabkan infeksi akut. Mekanisme penularan paling umum adalah melalui
inokulasi perifer virus setelah gigitan hewan yang terinfeksi rabies. Selanjutknya,
terjadi replikasi di jaringan perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang saraf
perifer dan medulla spinalis menuju ke otak yang kemudian akan terjadi
diseminasi dalam SSP dan virus akan menyebar secara sentrifugal dari SSP menuju
ke berbagai organ. 6
Reseptor nikotinik asetilkolin (nAChR) adalah reseptor pertama yang
mengidentifikasi adanya virus rabies. Antigen virus rabies telah terdeteksi di lokasi
inokulasi bertepatan dengan reserptor nAChR di myotube embrio ayam yang
terinfeksi, juga tak lama setelah studi perendaman diafragma tikus dalam suspense
virus rabies. Dari studi tersebut terbukti bahwa distribusi antigen virus terdeteksi
oleh pewarnaan antibody di lokasi NMJ yang berhubungan dengan penyebaran
reseptor nAChr. 6
Apabila virus rabies sudah mencapai SSP, penyebaran virus akan sangat
cepat sesuai jalur neuroanatomi. Begitu juga dengan saraf tepi, virus menyebar
dengan jalan fast axonal transport, kemudian memperbanyak diri secara massif
pada membran sel saraf. Studi dengan kultur ganglia basalis tikus menunjukkan
terjadinya anterograde fast axonal transport dengan kecepatan 100 400 mm/hari.
Penyebaran dari neuron ke neuron lain terjadi secara transinaptik. Tampaknya
komponen glikoprotein virus memegang peran penting dalam penyebaran antar
neuron. 6,7
Virus rabies memiliki daerah predileksi, terutama pada sel-sel sistem limbik,
hipotalamus, dan batang otak. Proses infeksi juga terjadi di serebelum, medula
spinalis, dan korteks serebri. Tanda patognomonik adanya virus rabies berupa
negri body, terutama di sel purkinje serebelum, juga ditemukan di sel piramidal,
hipokampus (Ammons horn), basal ganglia, dan nuklei nervi kraniales. Meskipun
perubahan patologis akibat infeksi virus rabies sangat minimal, namun infeksi
virus ini telah menimbulkan disfungsi sistem saraf yang berat. Disfungsi sistem

3
saraf terjadi akibat abnormalitas fungsi neurotransmiter serotonin, opiat, gamma
amino butyric acid (GABA), dan asetilkolin. Studi lain menunjukkan adanya
keterlibatan N-Methil-D-Aspartate (NMDA) dalam proses kerusakan saraf. NMDA
merupakan suatu asam amino eksitatorik yang bersifat neuro- toksik. 6,7
Replikasi virus secara lokal terjadi pada sel- sel otot di sekitar lokasi gigitan,
sehingga terjadi peningkatan jumlah virus. Virus memasuki saraf tepi melalui NMJ
dengan berikatan pada reseptor asetilkolin nikotinik. Ikatan ini menyebabkan
konsentrasi virus tinggi di daerah post-sinaptik, sehingga memudahkan virus
masuk ke saraf tepi. Kemudian virus menyebar ke SSP secara sentripetal melalui
akson-akson saraf dengan cara retrograde fast axonal transport dengan kecepatan
50 100 mm/hari. 6,7
Penyebaran virus rabies dari SSP ke perifer terjadi secara sentrifugal
melalui serabut saraf aferen volunter ataupun saraf otonom. Infeksi kelenjar ludah
sangat penting dalam penyebaran infeksi melalui air liur oleh Horseradish
Peroxidase (HRP). Kelenjar ludah mendapatkan persarafan parasimpatis nervus
fasialis melalui ganglion sub- mandibular dan nervus glosofaringeal melalui
ganglion optikum, sedangkan persarafan simpatisnya melalui ganglion servikal
superior. Antigen virus rabies di- temukan pada bagian apeks sel muskulus asinar
dengan konsentrasi titer virus di kelenjar ludah lebih tinggi dari di SSP. Di samping
penyebaran ke kelenjar ludah, infeksi terjadi pada lapisan ganglion retina dan
epitel kornea yang dipersarafi oleh saraf sensoris nervus trigeminalis. Deteksi
antigen virus rabies dengan apusan kornea telah digunakan sebagai tes diagnostik
penderita rabies, dan transmisi virus rabies dari manusia ke manusia dapat terjadi
melalui transplantasi kornea. Pada biopsi kulit juga ditemukan adanya infeksi pada
ujung akhir saraf sensoris rambut, dan ini merupakan salah satu metode diagnostik
yang baik untuk tes konfirmasi rabies antemortem pada manusia. Penyebaran
virus secara sentripetal menyerang saraf yang melibatkan organ ekstraneural,
seperti kelenjar adrenal, ganglia kardiak, dan pleksus pada saluran cerna, kelenjar
saliva, hati, dan pankreas. Infeksi virus juga melibatkan sel yang bukan saraf,
seperti sel asini kelenjar ludah, epitel lidah, otot jantung, otot skeletal, dan folikel
rambut. Beberapa laporan kasus menemukan adanya miokarditis pada penderita
rabies. 6,7



Terdapat tiga reseptor virus rabies yang memiliki peran dalam fungsi sel normal
yang akan dirusak oleh virus untuk dapat masuk ke sel, yaitu:8

1. Resptor nikotinat asetilkolin (nAChR)

NAChR merupakan reseptor virus rabies pertama yang diidentifikasi, dan


reseptor ini dianggap penting untuk dapat akses ke SSP sepanjang saraf
perifer bagi penyebaran virus dari NMJ di perifer. Pengikatan virus rabies
pada NAChR dalam otak dapat menyebabkan disfungsi saraf

2. Reseptor molekul adhesi sel neural

Semua sel yang rentan terhadap infeksi virus rabies tampaknya


mengandung reseptor molekul adhesi sel neural (NCAM), yang merupakan

5
glikoprotein sel adhesi dari superfamili imunoglobulin pada permukaan sel.
Infeksi virus rabies akan terhambat jika reseptor NCAM diblokir dengan
heparin sulfat, yang merupakan ikatan fisiologis alami, dan antibodi
poliklonal atau monoklonal diarahkan terhadap reseptor NCAM.
Selanjutnya, NCAM akan menetralkan infeksi virus rabies. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan reseptor pada partikel virus dalam
mengikat reseptor virus rabies pada sel target dapat dicegah

3. Reseptor neurotropin P75 low-affinity


Reseptor neurotropin (NTR) P75 adalah reseptor untuk virus rabies pada
tingkat lanjut. NTR P75 tidak ditemukan pada NMJ, namun ditemukan
terutama pada kornu dorsalis medula spinalis, hal ini menunjukkan bahwa
reseptor tersebut bisa terlibat dalam jalur sensorik virus rabies.

GEJALA KLINIS 9,10


Periode Inkubasi
Interval antara inokulasi dan awitan gejala utama umumnya 20-90 hari
pada 60% kasus. Periode inkubasi akan lebih panjang pada gigitan yang menjauhi
kepala.

Gejala Prodomal
Gatal-gatal dan paraestesia pada lokasi gigitan binatang merupakan gejala
prodromal yang spesifik, terdiri dari 40% dari kasus. Gejala lain yang tidak khas
adalah demam, nyeri kepala, myalgia, fatigue, gejala gastrointestinal, iritabilitas,
ansietas dan insomnia. Penyakit ini akan berkembang menjadi furious atau
paralytic rabies ensfalomielitis dalam 1 minggu.

Furious Rabies
Furious rabies merupakan presentasi klinis yang paling sering pada
manusia. Malfungsi dari batang otak, sistem limbic, RAAS, dan pusat regulasi yang
lebih tinggi dan menghasilkan karaktersitik seperi spasme hidrofobik. Spasme

6
hidrofobik adalah merupakan reflex kontraksi dari otot pernapasan yang pertama
kali di rangsang ketika pasien minum air, lalu melalui penyesuaian, bahkan dengan
suara air atau bahkan ketika kata air disebut, atau kadang-kadang oleh angina
(aerofobia), cahaya terang atau suara berisik.
Haus yang sangat intens memaksa pasien untuk mencoba untuk minum.
Mereka memiliki rasa yang kencang pada tenggorokan, trembling arms, spasme
dari sternomastoid, diafragma dan otot pernapasan lainnya dan akhirnya akan
berakhir dengan ekstensi generalisata kadang-kadang dengan konvulsi dan
opostotonus. Terdapat asosiasi dengan perasaan seperti dikejar pada episode
pertama. Kegagalan napas dan henti jantung setelah spasme hidrofobik
kebanyakan menyebabkan kematian.
Episode dari eksitasi, agitasi, ansietas atau halusinasi dengan periode
dimana pasien akan kembali tenang dan tidak ada kelainan neurologis. Gejala lain
adalah aritmia, miokarditis, cluster breathing, meningismus, lesi nervus kranialis
III, VII, dan IX, abnormalitas dari fungsi pupil, fasikulasi otot, stimulasi otonom
berupa lakrimasi, salivasi, dan tekanan darah yang labil serta naiknya temperatur.
Kekurangan oksigen diduga yang menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel.
Koma pada ujungnya akan terjadi, dengan paralisis flasid. Kebanyakan pasien
hanya bertahan kurang dari 7 hari tanpa perawatan intensif. 9,10

Rabies Paralitik
Bentukan yang lebih jarang dari furious rabies, paralitik rabies sering kali
tidak terdeteksi sebagai rabies. Rabies paralitik umumnya disebarkan oleh
kelelawar.
Gejala prodromal umumnya akan muncul diikuti dengan paraestesia atau
kelemahan hipotonus, umumnya pada di tempat gigitan sampai menyebar ke
sistem saraf pusat. Fasiukulasi atau piloereksi dapat terlihat. Paralisis asendesn
kemudian akan menyebablan konstipasi, retensi urin, gagal nafas, dan disfagia.
Paralisis flaksid tertama pada otot proksimal dan diasosiasikan dengan kehilangan
reflex tendon dan plantar, namun fungsi sensoris umumnya normal. Spasme
hidrofobik dapat terjadi pada fase terminalis dan kematian akan terjadi sampai 1-3
minggu. 9,10

7
DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus dicurigai jika ada kelainan neurologis, psikiatri atau pada
laringofaringeal pada daerah endemis dan jika ada kontak dengan binatang.
Diagnosis banding adalah:9
1. Tetanus
Infeksi melalui luka dan memiliki inkubasi yang singkat yakni 15 hari.
Rigiditas muskulus selalu konstan tanpa periode relaksasi diantara spasme.
CSF selalu normal.
2. Intoksikasi obat pada CNS
Keracunan dan delirium tremens sulit dibedakan dengan rabies .
3. GBS
GBS dapat muncul dengan gejala rabies paralitik.
4. Ensefalitis pos vaksinasi
Dikarenakan hipersensitifitas dari vaksin
5. Ensfalitis viral lainnya
Ensefalitis yang disebabkan oleh virus lain seperti Japanese encephalitis,
poliomyelitis, Cercopithecine herpesvirus (B virus) encephalomyelitis.


DIAGNOSIS
Hasil laboraturium akan menunjukkan pelositosis sedang. Perubahan EEG
yang tidak spesifik juga dapat muncul. CT-Scan dan MRI normal namun perubahan
nonspesifik pada MRI telah terlihat pada batang otak atau region basal ganglia, dan
kemungkinan pada medulla spinalis pada jenis paralitik.
Konfirmasi dari rabies berguna untuk tindakan investigasi preventif dan data
epidemiologi. 9

Konfirmasi intravitam pada manusia

Isolasi dari virus rabies
Kultur dari virus umumnya akan sukses pada minggu pertama dari
penyakit. Sampel yang digunakan antara lain saliva, dari tenggorokan, swab mata

8
atau trakea, biopsy kecil otak, CSF, urine yang tersentrifugasi. 9

Deteksi antigen
Diagnosis rabies dengan metode yang bervariasi dari PCR pada saliva, CSF
dan biposi kulit. Pada daerah yang terpencil, pemeriksaan ini akan mungkin
dilakukan jika 3 sampel saliva dikumpulkan pada hari yang berbeda dan
dibekukkan untuk RT-PCR. Direct immunofluorescent antibody (IFA) dapat dengan
cepat mengenali antigen pada bagian yang beku dari biopsy kulit, terutama pada
daerah yang banyak rabut seperti leher dan tengkuk. Metode ini 60-100%
sensitive. 9

Deteksi antibodi
Pada pasien yang tidak tervaksinasi, serokonversi rabies dapat terjadi
terjadi dalam minggu kedua dari penyakit dan dapat dijadikan menjadi diagnosis,
namun banyak yang tetap seronegatif saat kematian. Pada pasien yang divaksinasi,
level tinggu dari antibody di serum, terutama pada CSF sugestif diagnostic.9

Diagnosis postmortem pada manusia
Metode yang disebut diatas dapat digunakan untuk diagnosis postmortem,
terutama pada penyakit yang memiliki klinis yang sangat singkat. Isolasi virus
umumnya tidak sukses setelah 2 minggu perjalanan penyakit, namun kultur pada
otak dapat dilakukan bahkan jika staining IFA negatif. Sampel dapat di ambil tanpa
pemeriksaan postmortem yang lengkap. Biasanya diagnosis postmortem juga
ditegakkan dengan adanya badan Negri pada jaringan otak pasien, meskipun hasil
positif kurang dari 80% kasus. Tidak adanya badan Negri tidak menyningkirkan
kemungkinan rabies. Badan Negri adalah badan inklusi sitoplasma berbentuk oval
atau bulat, yang merupakan gumpalan nukleokapsid virus. Paling sering
ditemukan di sel pyramidal Ammons horn dan sel Purkinje serebelum. 9,11



9
TATALAKSANA
Kriteria tersangka rabies:10
1. Anjing/hewan yang mengigit terbukti secara laboratorium adalah positif
rabies.
2. Anjing atau hewan yang mengigit mati dalam waktu 5-10 hari.
3. Anjing atau hewan yang mengigit mengilang atau terbunuh.
4. Anjing atau hewan yang mengigit dengan gejala rabies.

Catatan:10
1. Penyuntikan dilakukan secara lengkap bila:
a. hewan atau anjing mengigit positif rabies
b. hewan atau anjing liar atau gila yang tidak dapat di observasu atau
hewan tsb dibunuh.
2. Penyuntikan VAR (vaksin anti rabies) tidak dilanjutkan apabila hewan atau
anjing yang menggigit penderita tetap sehat selama observasi sampai
dengan 10 hari.
3. Petugas medis dan perawat harus memakai sarung tangan, pakaian, dan
masker.
4. Dokter/perawat harus terlebih dahulu memberikan penjelasan secukupnya
tentang jumlah kali pemberian VAR/SAR (serum anti rabies), termasuk
manfaat maupun efek samping yang mungkin timbul.
5. Sebelum dilakukan vaksinasi dengan VAR/SAR, penderita dan keluarga
harus setuju.

Tatalaksana Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)12,13
1. Pencucian luka
Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting
dalam tatalaksana kasus GHPR. Virus Rabies akan menetap disekitar luka
selama 2 minggu sebelum virus mencapai ujung ujung serabut saraf
posterior dan sifat virus rabies mudah mati dengan sabun/ deterjen.

10
Usaha yang paling efektif untuk mengurangi/mematikan virus rabies
yang terdapat dalam luka gigitan adalah sesegera mungkin mencuci luka
gigitan dengan air mengalir dan sabun/deterjen selama 10 15 menit.

Tiga hal penting dalam pencucian luka gigitan yaitu:
- Air mengalir
- Sabun/deterjen
- Waktu (10 15 menit)

2. Pemberian Antiseptik
Antiseptik (alcohol 70%, betadine, obat merah, dll) dapat diberikan setelah
pencucian luka. Pemberian antiseptic tanpa pencucian luka tidak akan memberikan
manfaat yang besar dalam pencegahan rabies. Oleh karena itu, hal yang mutlak
dalam tatalaksana kasus GHPR adalah pencucian luka.

3. Tindakan Penunjang
Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi tindakan invasive virus
pada jaringan luka, kecuali pada luka yang lebar dan dalam yang terus
mengeluarkan darah, dapat dilakukan jahitan situasi untuk menghentikan
perdarahan. Sebelum dilakukan penjahitan lukam harus diberikan suntikan
infiltrasi SAR sebanyak mungkin disekitar luka dan sisanya diberikan secara intra
muscular (IM).

Pemberian VAR atau VAR dan SAR12
VAR dan SAR merupakan langkah selanjutnya setelah dilakukan pencucian
luka gigitan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat menentukan dalam
pemberian VAR dan SAR (pengobatan Pasteur). Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwan pemberian VAR dan SAR sitentukan menurut kategori luka
gigitan, sedangkan kontak (dengan saliva hewan tersangka/rabies atau penderita
rabies), tetapi jika tidak terdapat luka, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR
dan SAR.

11
1. Luka Resiko Rendah
Pada luka Resiko rendah, hanya diberikan VAR saja. Tidak semua kasus
GHPR harus diberikan VAR, tergantung riwayat apakah sebelumnya
penderita GHPR pernah mendapat VAR (pre-exposure)

a. Penderita kasus GHPR yang belum pernah mendapat VAR
VAR harus diberikam pada semua penderita GHPR yang belum pernah
mendapat VAR sebelumnya. VAR yang digunakan saat ini adalah
Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV). Sedangkan Suckling Mouse Brain
Vaccine (SMBV) tidak digunakan lagi.


Dosis dan cara pemberian VAR pada kasus GHPR (Post exposure)

Jenis Dosis Cara & Lokasi
Waktu Pemberian
Vaksinasi Anak Dewasa Pemberian
Dasar 0,5 ml 0,5 ml IM Regio Deltoideus 4 kali pemberian:
kanan dan kiri, pada Hari ke-0 (2x pemberian)
anak usia < 1 tahun, deltoid kanan dan iri.
di pangkal paha Hari ke-7, 1x pemberian
Hari ke-21, 1x pemberian



b. Penderita kasus GHPR yang sudah pernah mendapat VAR
Kasus GHPR yang sebelumnya mendapat VAR lengkap dalam 3 bulan
sebelumnya tidak memerlukan pemberian VAR, bila lebih dari 3 bulan
sampai 1 tahun diberikan VAR 1 kali dan bila lebih dari 1 tahun
dianggap penderita baru yang harus diberikan VAR lengkap.


2. Luka resiko tinggi
Setiap kasus GHPR resiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR. Serum Anti
Rabies yang digunakan saat ini adalah serum homolog yang berasal dari
serum darah manusia, bila tidak ada maka dapat digunakan serum heterolog
yang berasal dari serum darah kuda.

12

Dosis dan cara pemberian VAR bersama dengan SAR12

Jenis Vaksinasi Dosis Cara & Lokasi Waktu Pemberian
Anak Dewasa Pemberian
VAR Dasar 0,5 ml 0,5 ml Cara: IM 4 kali pemberian:
Lokasi: Deltoid Hari ke-0 (2x
kanan dan kiri, pemberian) deltoid
anak usia < 1 kanan dan kiri.
tahun di pangkal Hari ke-7, 1x
paha pemberian
Hari ke-21, 1x
pemberian

Ulangan 0,5 ml 0,5 ml Sama dengan Hari ke-90
diatas
SAR Homolog 20 IU/ 20 IU/ Infiltrasi di Hari ke-0 atau
(HRIG) kgBB kgBB sekitar luka bersamaan dengan
gigitan sebanyak pemberian VAR
mungkin dan pertama
sisanya
diberikan secara
IM
Heterolog 40 IU/ 40 IU/ Infiltrasi di Hari ke-0 atau
(ERIG) kgBB kgBB sekitar luka bersamaan dengan
gigitan sebanyak pemberian VAR
mungkin dan pertama
sisanya
diberikan secara
IM









13




Penatalaksanaan Penderita Tergigit Anjing atau Hewan Tersangka dan Positif
Rabies (Menurut SPM PERDOSSI)

No Indikasi Tindakan Jenis VAR + Booster Keterangan


dosis
1. Luka gigitan 1. Cuci dengan air - - 1. Menunda penjahitan
sabun luka, jika penjahitan
(detergen) 5-10 diperlukan gunakan
menit kemudian anti serum lokal.
dibilas dengan
air bersih. 2. Bila diperlukan dapat
2. Alkohol 40-70%. diberi TT, antibiotik,
3. Berikan yodium, anti inflamasi, dan
betadin solusio analgesic.
atau senyawa
ammonium
kuartener 0,1%.
4. Penyuntikan
SAR secara
infiltrasi di
sekeliling luka
2. Kontak, tetapi - - - -
tanpa lesi,

14
kontak tak
langsung, tak ada
kontak
3. Menjilat kulit, Berikan VAR - Dosis untuk semua
garukan atau 1. hari 0 : 2x Imovax atau umur sama.
abrasi kulit, suntikan IM. verorab 0,5 ml
gigitan kecil deltoid kiri dan
(daerah 0,5 ml deltoid
tertutup), kanan.
lengan, badan,
dan tungkai 2. hari 7 : 1x 0,5 ml deltoid
suntikan IM. kanan/kiri.

3. hari 21 : 1x 0,5 ml deltoid
suntikan IM. kanan/kiri.
4. Menjilat mukosa, SAR:
luka gigitan 1. dosis Imovagx rabies
besar atau disuntikkan 20 IU/kg BB.
dalam, multiplel, secara
luka pada muka, infiltrasi di
kepala, leher, jari sekitar luka.
tangan dan kaki. 2. dosis yang
sissa
disuntikkan IM
di regio
gluteus.
Imovax, Hari 90
VAR: verorab :0,5 ml
(Dosis sama dengan pada
di atas) deltoid
kanan/k
iri.
5. Kasus gigitan
ulang:
1. kurang dari
1 tahun Berikan VAR hari 0. Imovax, - 0,5 ml IM deltoid jika
verorab, SMBV umur < 3 tahun.
0,1 ml IC flexor lengan
bawah jika umur > 3
tahun.
0,25 ml IC flexor lengan
bawah.
2. Lebih dari 1
tahun Berikan SAR+VAR Imovax, Poin 1,3,4,5
scr lengkap. verorab, SMBV,
imogan rabies
6. Bila ada reaksi Anti histamine
penyuntikan: sistemik/local.
reaksi lokal, Tidak boleh berikan
kemerahan, kortikosteroid.
gatal,
pembengkakkan

*Bila timbul efek samping pemberian VAR (meningoensefalitis), berikan kortikosteroid dosis tinggi.

15
PEMBERIAN VAR SEBELUM GIGITAN

Vaksinasi sebelum gigitan HPR (pre-exposure) bertujuan untuk memberikan


kekebalan terutama pada orang orang yang beresiko tertular rabies. Pemberian
kekebalan kepada petugas petugas pelaksana program P2 Rabies yang
mempunyai resiko tinggi tertular rabies: dokter, para medis, dokter hewan, para
veteriner, petugas diagnostic dan vaksinator hewan.12,13

Dosis dan Cara Pemberian VAR untuk Pengebalan Sebelum Digigit HPR
(Rekomendasi WHO)13

No. Dosis Waktu Pemberian


1. 0,5 ml Hari ke 0 (pertama)
2. 0,5 ml Hari ke 7
3. 0,5 ml Hari ke 21 atau 28


Indikasi Pemberian VAR dan SAR Bila Tersentuh Air Liur Penderita Rabies

Penderita
No. Kejadian Pengobatan yang dianjurkan
waktu kejadian
Kontak air liur (saliva) tetapi tak ada
1. Positif Rabies Tak perlu diberi Vaksin Anti Rabies
luka atau kontak tak langsung
Segera diberikan VAR, dan diberikan
SAR kalau luka di daerah berbahaya:
Kontak air liur (saliva) pada kulit yang
2. Positif Rabies di atas bahu, ujung jari, selaput
luka, selaput lendir/mukosa
lendir, dan daerah yang banyak
persyarafannya






16
Indikasi Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies yang Beruhubungan dengan
Hewan Penular Rabies12

Keadaan hewan yang menggigit


Pengobatan yang
No. Tipe Gigitan Luka Pada waktu Observasi
dianjurkan
menggigit selama 10 hari
- Kontak tetapi tidak ada Sehat Sehat
luka Tidak perlu diberikan
1.
- Kontak tak langsung Gila Rabies pengobatan
- Tidak ada kontak
Sehat Sehat Tidak perlu vaksinasi
Segera diberikan vaksinasi.
Hentikan vaksinasi
tersebut apabila ternyata
Sehat
hewan yang tersangka
Tersangka gila
masih sehat dalam 10 hari
- Luka garukan atau lecet
2. observasi
- Luka kecil
Segera diberikan vaksin
Gila
secara lengkap
Hewan liar, atau
hewan yang gila dan Vaksinasi anti rabies

hewan yang tidak secara lengkap
bisa diobservasi

Luka parah (multiple Mencurigakan atau Vaksinasi + Serum
atau luka di muka, gila atau jika Hentikan pengobatan jika
3.
kepala, jari kaki, jari hewannya tidak bisa hewan sehat selama 10
tangan atau leher) diobservasi hari







17
TINJAUAN PUSTAKA

1. World Health Organization. What is Rabies. WHO. 2016 [cited 20 Dec 2016].
Available from: http://www.who.int/rabies/about/en/
2. Tanzil K. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaan. E-Journal WIDYA
Kesehatan dan Lingkungan. Mei 2014 [cited 20 Des 2016]. Available
from:http://download.portalgaruda.org/article.php?article=250181&val=6
686&title=PENYAKIT%20RABIES%20DAN%20PENATALAKSANAANNYA
3. World Health Organization. Epidemiology and burden of disease. WHO.
2016 [cited 20 Dec 2016]. Available from:
http://www.who.int/rabies/epidemiology/en/
4. World Health Organization. Strategic framework for elimination of human
rabies transmitted by dogs in the South-East Asia region. New Delhi: World
Health Organization, Regional Office for South-East Asia, 2012. [cited 20 Dec
2016]. Available from: http://www.searo.who.int/entity/emerging_di
seases/links/Zoonoses_SFEHRTD-SEAR.pdf
5. Bali Turns Back to Vaccinations After Culling Fails to Curb Rabies Outbreak,
Jakarta Globe, September 21, 2010. Retrieved 7 October 2010.
6. Jackson AC. Human Disease. In: Jackson A, Wunner W, eds. Rabies. 2nd ed.
Elsevier Inc. 2007. p.309-409.
7. Warell M, Warell D. Rabies and other lyssavirus disease. Lance 2004;
363:959-69.
8. Jackson AC. Rabies: Scientific basis of the disease and its management.
Elsevier Inc. British. 3rd ed. 2013. p.326-8.
9. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, et al. Mansons Tropical Diseases; Twenty-
Third Edition; Elsevier Saunders. 2014.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Standar Pelayanan Medik
(SPM) Neurologi. Perdossi
11. Jawetz BG, Melnick & Adelberg's medical microbiology. 1st ed. New York:
McGraw-Hill Medical; 2007.

18
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Program
Penanggualangan Rabies di Indonesia. Kemenkes Direktorat Jenderal PP dan
PL. 2011.
13. World Health Organization. Rabies Pre and Post exposure Prophylaxis in
Humans (Revised 15 June 2010). Department of Neglected Tropical Diseases
Neglected Zoonotic Diseases team. June 2010.

19

You might also like