You are on page 1of 6

Seputar Hukum Nazar

Mei 08, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScUmum71 Komentar

Ketika si anak tercinta ingin menjalani ujian akhir nasional, kita sering perhatikan bahwa orang
tua atau si anak sendiri bernazar, Jika lulus ujian, saya akan berpuasa selama seminggu. Ketika
ada yang mengajukan apply ke suatu perusahaan, ia pun bernazar, Jika saya diterima di
perusahaan tersebut, saya bernadzar untuk umroh pada bulan Ramadhan besok. Inilah di antara
contoh nazar.

Nazar berarti mewajibkan pada diri sendiri suatu perkara yang sebenarnya tidak wajib.
Penjelasan nazar secara detail dapat ditelusuri dalam artikel sederhana berikut ini.

Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang untuk bernazar, beliau bersabda: Nazar sama
sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit).
(HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah
dikeluarkan dari orang yang pelit. (HR. Muslim no. 1640)

Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,

Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil
nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang
yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk
dikeluarkan. (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nazar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur
(mayoritas ulama) yang memakruhkan bernazar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka
nazar tersebut tetap wajib ditunaikan.

Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nazar

Allah Taala berfirman,

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan
hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (QS. Al Hajj: 29)

Allah Taala juga berfirman,

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya. (QS. Al Baqarah: 270)

Allah Taala memuji orang-orang yang menunaikan nazarnya,

() ( )
()

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang
campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba
Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan
nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. (QS. Al Insan: 5-7)

Dari Aisyah radhiyallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.
Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.
(HR. Bukhari no. 6696)

Dari Imron bin Hushoin radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau
bersabda,


Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang


setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -Imron berkata, Aku tidak mengetahui
penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali-. Kemudian datanglah suatu
kaum yang bernazar lalu mereka tidak menunaikannya, . (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini
menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan nazar.

Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafiiyah
seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum nazar adalah sunnah.

Kompromi Pendapat

Jika kita melihat dua pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan yang lainnya sunnah.
Pendapat jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit problema. Padahal kita ketahui bersama ada
kaedah, wasilah (perantara) kepada ketaatan, maka bernilai ketaatan dan wasilah pada maksiat,
maka bernilai maksiat. Lalu kenapa berniat nazar bisa jadi makruh, padahal penunaiannya
wajib?!

Cara kompromi yang lebih baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah kita
katakan bahwa nazar itu ada dua macam:

Pertama, nazar muallaq untuk memperoleh manfaat. Maksud nazar ini adalah dengan
bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan ketaatan. Contohnya,
seseorang yang bernazar, Jika Allah menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka saya akan
bersedekah sebesar Rp.2.000.000.

Kedua, nazar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya, seseorang yang bernazar,
Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk masjid sebesar Rp.2.000.000.

Kita katakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk bernazar dimaksudkan untuk
nazar macam yang pertama. Karena nazar macam pertama sebenarnya dilakukan tidak ikhlas
pada Allah, tujuannya hanyalah agar orang yang bernazar mendapatkan manfaat. Orang yang
bernazar dengan macam yang pertama hanyalah mau bersedekah ketika penyakitnya sembuh.
Jika tidak sembuh, ia tidak bersedekah. Itulah mengapa dalam hadits disebut orang yang pelit
(bakhil).

Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernazar sebagaimana disebut dalam hadits-
hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan nazar itu pasti terwujud ketika
seseorang bernazar atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud nazar karena
nazar taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali tidak
menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu Umar yang lainnya disebutkan,



Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh
nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit. (HR. Muslim no. 1639)

Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nazar adalah larangan irsyad
(alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang lebih afdhol, yaitu sedekah dan
amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti mewajibkan diri dengan bernazar. Atau kita bisa
bernazar dengan nazar yang tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, Aku
ingin bernazar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa. Di sini tidak disebutkan syarat,
namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.

Macam Nazar dan Hukumnya

Nazar dilihat dari hal yang dinazari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:

Pertama, nazar taat.

Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat
sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, itikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan
wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima
waktu di awal waktu).

Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa
Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal
yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.

Hukum penunaian nazar taat

Hukum penunaiannya adalah wajib, baik nazar tersebut nazar muallaq atau nazar muthlaq. Dalil
yang menunjukkan wajibnya adalah,

Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. (HR.
Bukhari no. 6696)

Dalil lainnya, dari Ibnu Umar, beliau berkata,

Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu anhu pernah bernazar untuk beritikaf di
masjidil haram yaitu itikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda padanya, Tunaikanlah nazarmu. (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)

Jika nazar tidak mampu ditunaikan


Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang
diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan.
Seperti mungkin ada yang bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari
negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini tidak ditunaikan
lantas apa gantinya?

Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar tersebut tidak
wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah
adalah:

1. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau

2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

3. Memerdekakan satu orang budak

Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari.
(Lihat Surat Al Maidah ayat 89)

Kedua, nazar yang bukan bentuk taat.

Nazar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) nazar mubah, (2) nazar maksiat.

(1) Nazar mubah

Seperti seseorang bernazar, Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam. Nazar
seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan
jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.

(2) Nazar maksiat

Seperti seseorang bernazar, Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.
Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,

Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.
(HR. Bukhari no. 6696)

Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,

Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika
nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai
gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)

Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat.

Referensi:

Minatul Munim fii Syarh Shahih Muslim, Shofiyurrahman Al Mubarakfuri, terbitan Darul
Salam, cetakan pertama, 1420 H, 3/96-96

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/315-331

Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 3 Jumadats Tsaniyah 1432 H (06/05/2011)

Artikel Kajian Bubur Ayam di Masjid Al Kautsar-Pogung Baru, Jogja

www.rumaysho.com

You might also like