You are on page 1of 40

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN ABORTUS INKOMPLET DI RUANG OPERASI


INSTALASI BEDAH SENTRAL RSD Dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:

ARIS KURNIAWAN, S. Kep


NIM 122311101033

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
ABORTUS INKOMPLET
Oleh
Aris Kurniawan S.Kep
NIM : 12231101033

1. Kasus
Abortus Inkomplet

2. Proses terjadinya masalah

a. Pengertian Abortus dan Abortus Inkomplet

Merujuk pada istilah medis abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui


cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20
minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin
kurang dari 500 gram ( Obstetri Williams, 2006). Istilah abortus dipakai untuk
menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar
kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena
jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup
terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin
mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Sarwono, 2005).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : terjadi keguguran janin,
melakukan abortus (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang
dikandung itu). Keguguran adalah pegeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan (Rustam Muchtar, 1998).
Kesimpulannya adalah Abortus adalah pengeluaran hasil pembuahan
(konsepsi) dengan berat badan janin < 500 gram atau kehamilan kurang dari 20
minggu. Insiden 15% dari semua kehamilan yang diketahui (Naylor, 2005).
Pengertian dari abortus inkomplet sendiri adalah abortus inkompletus adalah
keluarnya sebagian, tetapi tidak seluruh hasil konsepsi, sebelum umur kehamilan
lengkap 20 minggu dan sebelum berat janin 500 gram (SPMPOGI, 2006).
Abortus inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum
uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
(Prawirorahardjo, 2009).

b. Klasifikasi Abortus
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu:
Menurut terjadinya dibedakan atas:
1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja
atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, sematamata
disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa
indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica) yaitu abortus karena tindakan kita
sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu
(berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim
dokter ahli.
2) Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang
tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.

Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut :


1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi
masih baik dalam kandungan.
2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks
telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih
dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum
uteri dan masih ada yang tertinggal.
4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri
pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah
meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturutturut.
7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis (Prawirohardjo, 2009)

c. Etiologi
Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan umumnya
disebabkan oleh faktor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya (11 12 minggu),
abortus yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal (Sayidun, 2001).
Faktor ovofetal :
Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa
pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi
malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang
kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti adanya
kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekuat.
Faktor maternal :
Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit sistemik
maternal (systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik maternal tertentu
lainnya. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus ( kelainan uterus
kongenital, mioma uteri submukosa, inkompetensia servik). Terdapat dugaan bahwa
masalah psikologis memiliki peranan pula dengan kejadian abortus meskipun sulit
untuk dibuktikan atau dilakukan penilaian lanjutan.
Penyebab abortus inkompletus bervariasi, Penyebab terbanyak di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Faktor genetik.
Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkompletus disebabkan
oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester
pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus karena kelainan
sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Insiden trisomi
meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80,
pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan
meningkat setelah usia 35 tahun.
Selain itu abortus berulang biasa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut
tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan
kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko
abortus.
2. Kelainan kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik.
Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan dengan
riwayat abortus, dimana ditemukan anomaly uterus pada 27% pasien. Penyebab
terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 - 80%),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30%). Mioma uteri
juga bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya 10 -
30% pada perempuan usia reproduksi.
Selain itu Sindroma Asherman bias menyebabkan gangguan tempat implantasi serta
pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan.

3. Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak
1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus
berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Berbagai teori diajukan
untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaraya
sebagai berikut.
a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak
langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin
sulit bertahan hidup.
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bias berlanjut kematian
janin.
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah yang bias
mengganggu proses implantasi.

4. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi dan adanya
mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum
terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-
kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering
terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4
6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8 11 minggu.
Hiperhomosisteinemi, bisa congenital ataupun akuisita juga berhubungan dengan
thrombosis dan penyakit vascular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus
berulang.

5. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung
ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek
vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga
menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan
adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan
pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

6. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung
terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon
setelah konsepsi terutama kadar progesterone. Perempuan diabetes dengan kadar
HbA1c tinggi pada trimester pertama , risiko abortus meningkat signifikan. Diabetes
jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2 3
kali lipat mengalami abortus. Pada tahun 1929, allen dan Corner mempublikasikan
tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron
yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Sedangkan pada penelitian
terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali,
didapatkan 17% kejadian defek fase luteal. Dan, 50% perempuan dengan histologi
defek fase luteal punya gambaran progesterone yang normal (Prawirohadjo, 2009)

Selain penyebab-penyebab diatas kategori penyebab abortus inkompletus antara lain:


1. Kelainan dari ovum
Menurut Hertig dkk pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan
abortus spontan, termasuk abortus inkompletus.
Menurut penyelidikan mereka dari 1000 abortus inkompletus:
- 48,9% disebabkan karena ovum yang patologis.
- 3,2% disebabkan kelainan letak embrio.
- 9,6% disebabkan karena plasenta yang abnormal.
Abortus inkompletus yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang
kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda
kehamilan waktu terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh
kelainan ovum (50 80 %).

2. Kelainan genitalia ibu


a. Kongenital anomaly (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain).
b. Kelainan letak dari uterus seperti retrofelsi uteri fiksata.
c. Tidak sempurnanya persiapan uterus untuk menanti nidasi daripada ovum
yang sudah dibuahi seperti kurangnya progesterone/oestrogen, endometritis, mioma
submukus.
d. Uterus terlalu cepat renggang (kehamilan ganda, mola).
e. Distorsio dari uterus : oleh karena didorong oleh tumor pelvis.

3. Gangguan sirkulasi plasenta


Kita jumpai pada penyakit nefritis, hipertensi, toksemia-gravidarum, anomaly
plasenta dan endartritis oleh lues.
4. Penyakit-penyakit ibu
Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi : pneumonia, tifoid,
pielitis, rubeola, demam malta dan sebagainya. Berdasarkan faktor ibu yang paling
sering menyebabkan abortus adalah infeksi. Sesuai dengan keluhan yang biasa ibu
alami kemungkinan penyebab terjadinya abortus adalah infeksi pada alat genital.
Tapi bisa saja juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang lain. Infeksi vagina pada
kehamilan sangat berhubungan dengan terjadinya abortus atau partus sebelum
waktunya (Mochtar, 1998)
Macam-macam infeksi pada vagina, yaitu:
a. Infeksi vagina akibat bakteri disebabkan karena tidak seimbangnya ekosistem
bakteri pada vagina. Biasanya ditandai dengan adanya keputihan yang encer dan
berbau busuk/ amis.
b. Infeksi vagina akibat trikomonas disebabkan oleh parasit yang berflagela yaitu
trikhomonas. Keputihan yang ditimbulkan sangat banyak, purulen, berbau busuk dan
disertai rasa gatal.
c. Infeksi vulva dan vagina akibat jamur penyebabnya candida albicans yang
merupakan 90 % infeksi jamur di vagina. Faktor predisposisinya adalah penggunaan
antibiotik pada kehamilan dan diabetes melitus . Keputihan yang terjadi sangat khas
seperti bubuk keju dan sangat gatal. Bila perjalanan penyakitnya kronik dapat
menyebabkan rasa nyeri dan panas.
d. Infeksi akibat proses peradangan pada vagina penyebab pasti belum diketahui.
Gejala yang ditimbulkan keputihan yang banyak, purulen dan menimbulkan gejala
iritasi/ panas pada vulva dan vagina disertai nyeri panggul (Ayurai, 2009).

5. Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alcohol, dan lain-lain.


a. Ibu yang asfiksia seperti pada dekom.kordis, penyakit paru berat, anemi
gravis.
b. Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, avit
A/C/E, diabetes mellitus.
6. Rhesus antagonism
Pada rhesus antagonism darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus
sehingga terjadinya anemi pada fetus yang menyebabkan-nya mati.

7. Terlalu cepat korpus luteum menjadi atrofis.

8. Perangsangan pada ibu sehingga menyebabkan uterus berkontraksi, umpamanya :


terkejut sangat, obat-obat uterus tonika, ketakutan, laparotomi dan lain-lain.

9. Trauma langsung terhadap fetus : selaput janin rusak langsung karena instrument,
benda dan obat-obatan.

10. Penyakit bapak : umur lanjut, penyakit kronis seperti : TBC, anemi,
dekompensasis kordis, malnutrisis, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb,
dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis.

11. Faktor serviks : inkompetensi serviks, sevisitis (Mochtar, 1998).

d. Manifestasi Klinis
Adapun gejala-gejala dari abortus spontan sebagai berikut:
1. Pendarahan mungkin hanya bercak sedikit, atau bisa cukup parah. Petugas akan
bertanya tentang berapa banyak pendarahan yang terjadi-biasanya jumlah pembalut
yang telah dipakai selama pendarahan. ibu juga akan ditanya tentang gumpalan darah
atau apakah ibu melihat jaringan apapun.
2. Nyeri dan kram terjadi di perut bagian bawah. Mereka hanya satu sisi, kedua sisi,
atau di tengah. Rasa sakit juga dapat masuk ke punggung bawah, bokong, dan alat
kelamin.
3. Ibu mungkin tidak lagi memiliki tanda-tanda kehamilan seperti mual atau
payudara bengkak / nyeri jika ibu telah mengalami keguguran (Vicken Sepilian,
2007).
Adapun gejala-gejala dari abortus inkompletus adalah sebagai berikut:
1. Amenorea
2. Perdarahan yang bias sedikit dan bias banyak, perdarahan biasanya berupa
darah beku
3. Sakit perut dan mulas mulas dan sudah ada keluar fetus atau jaringan
4. Pada pemeriksaan dalam jika abortus baru terjadi didapati serviks terbuka,
kadang kadang dapat diraba sisa sisa jaringan dalam kantung servikalis atau
kavum uteri dan uterus lebih kecil dari seharusnya kehamilan (Mochtar, 1998).

f. Patofisiologi
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi
plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya
kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8
minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua
dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari
hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis.
Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali
dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin
yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin
sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri.
Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan
minggu ke 14 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya
plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam
uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan
pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa
nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan diatas jelas bahwa abortus ditandai dengan
adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo,
2002).
g. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul (Budiyanto dkk, 1997) adalah:
a. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,
diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan,
dapat pula timbul lama setelah tindakan.
b. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah
seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan
adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan
dengan teliti.
c. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus. Hal
ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung udara
masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di endometrium
dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak menyebabkan
kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah dapat memastikan
dengan segera.
d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa
anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat terjadi
akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang terlalu
panas atau terlalu dingin.
e. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal seperti
KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat mengakibatkan cedera
yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan seperti kina atau logam berat.
Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan abortus inkompletus adalah sebagai berikut:
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan
jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi
apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi,
laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus
dan apakah ada perlukan alat-alat lain. 3. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan dan karena infeksi berat.
4. Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan
flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci,
Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum),
Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,
streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides
sp, Listeria dan jamur (Prawirohardjo, 1999).

h. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan USG (Ultrasonografi). Hal ini membantu dokter untuk memeriksa


detak jantung janin dan menentukan apakah embrio berkembang normal.

b) Pemeriksaan darah. Jika mengalami keguguran, pengukuran hormon kehamilan,


HCG beta, kadang-kadang bisa berguna dalam menentukan apakah Anda telah benar-
benar melewati semua jaringan plasenta.

c) Pemeriksaan jaringan. Jika telah melewati jaringan, dapat dikirim ke laboratorium


untuk mengkonfirmasi bahwa keguguran telah terjadi - dan bahwa gejala tidak
berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan kehamilan (Vicken Sepilian,
2007).
i. Penatalaksanaan
Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkompletus terdiri dari:
- PengeIuaran Secara digital
Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara digital
hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat dilalui
oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas, karena manipulasi ini
akan menimbulkan rasa nyeri.
- Kuretase
Kuretase adalah cara menimbulkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok
kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan pemeriksaan
dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus.
- Vacum kuretase adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum
(Setyasworo, 2010).
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok,
tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya
adalah untuk menghentikan sumber perdarahan.
Tahap Pertama :
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat
syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang
lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua
umumnya akan berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :
a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi,
frekuensi pernafasan, dan suhu badan).
b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti adanya
takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen
melalui kateter nasal).
c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi
Trendelenburg.
d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan NaCl
0,9%, Ringer laktat).
e. Pengawasan jantung (Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi dan
dengan pengukuran tekanan vena sentral).
f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, jenis
Rhesus, Tes kesesuaian darah penderita dengan darah donor, pemeriksaan pH darah,
pO2, pCO2 darah arterial. Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia
sedang sampai berat, infus cairan diganti dengan transfusi darah atau infus cairan
bersamaan dengan transfusi darah. Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika
sudah timbul gangguan pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah
timbul tanda-tanda asidosis harus segera dikoreksi.
Tahap kedua :
Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua dilakukan.
Penanganan tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan tindakan
menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa ibu. Tindakan menghentikan
perdarahan ini dilakukan berdasarkan etiologinya. Pada keadaan abortus
inkompletus, apabila bagian hasil konsepsi telah keluar atau perdarahan menjadi
berlebih, maka evakuasi hasil konsepsi segera diindikasikan untuk meminimalkan
perdarahan dan risiko infeksi pelvis. Sebaiknya evakuasi dilakukan dengan aspirasi
vakum, karena tidak memerlukan anestesi (Prawirohardjo, 1992).
3. Clinical Pathway
4. Asuhan Keperawatan
1) Anamnesis
Identitas pasien meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam MRS, no
register, serta identitas yang bertanggung jawab.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta bantuan
kesehatan adalah Pada pasien abortus sering muncul keluhan nyeri abdomen
disertai keluarnya hasil konsepsi berupa darah atau jaringan

3) Riwayat penyakit
a) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan sekarang dalam buku Ummi, dkk (2010 : 87) yaitu untuk
mengetahui penyakit yang di derita ibu sekarang ini atau untuk mengetahui
penyakit lain yang bisa memperberat keadaan ibu.
b) Riwayat kesehatan yang lalu
Menurut Wiknjosastro (2008 : 133) riwayat kesehatan yang lalu perlu dikaji
untuk mengetahui apakah klien pernah mempunyai riwayat penyakit jantung,
asma, ginjal, TB paru, hipertensi dan DM pada kesehatan yang lalu.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Salmah, dkk (2005 : 134) mengemukakan bahwa riwayat kesehatan keluarga
dikaji untuk mengetahui keadaan keluarga yang dapat menjadi faktor penyebab
abortus Inkomplitus yaitu penyakit keturunan seperti DM dan Hipertensi.

4) Riwayat menstruasi
Menurut Wiknjosastro (2008 : 133) riwayat menstruasi dikaji untuk
mengetahui menarche, siklus haid teratur atau tidak, banyaknya darah yang
keluar saat haid, lamanya haid, disertai nyeri atau tidak dan tanyakan tanggal
haid yang masih normal atau hari pertama haid terakhir untuk mengetahui usia
kehamilan.
5) Riwayat pernikahan
Sulistyawati (2012 : 169) mengemukakan bahwa riwayat pernikahan perlu
dikaji untuk mengetahui status perkawinan, jika menikah, apakah ini
pernikahannya yang pertama, apakah pernikahannya bahagia, jika belum
menikah apakah terdapat hubungan yang sifatnya mendukung.
6) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
a) Riwayat kehamilan
Menurut Wiknjosastro (2008 : 133) riwayat kehamilan perlu dikaji untuk
mengetahui sebelumnya pernah hamil atau belum, hasil akhir yang terjadi,
komplikasi muncul atau tidak dan intervensi dilakukan atau tidak.
b) Riwayat persalinan
Dalam buku Wiknjosastro (2008 : 133) riwayat persalinan dikaji untuk
mengetahui persalinan spontan atau buatan, lahir aterm, preterm, atau post
term, ada
perdarahan waktu persalinan atau tidak, ditolong siapa, dan dimana tempat
persalinan.
c) Riwayat nifas
Menurut Wiknjosastro (2005 : 133) mengkaji riwayat nifas untuk mengetahui
apakah pernah mengalami perdarahan dan infeksi, bagaimana proses laktasi
dan apakah ada jahitan pada perineum.
d) Riwayat anak
Dalam buku Wheeler (2004 : 10) perlunya mengkaji riwayat anak yaitu untuk
mengetahui jenis kelamin, jumlah anak, hidup atau mati, berat badan waktu
lahir dan komplikasi yang terjadi pada bayi.
7) Riwayat kehamilan sekarang
Menurut Pantiwati dan Saryono (2010:115) riwayat kehamilan sekarang pada
ibu hamil meliputi :
a) Gravida/Para
b) Hari pertama haid terakhir (HPHT), dapat digunakan untuk mengetahui
umur kehamilan.
c) Hari Perkiraan lahir (HPL), dapat digunakan untuk menentukan hari
perkiraan lahir.
d) Ante Natal Care/ANC, dapat digunakan untuk mengetahui riwayat ANC
teratur/tidak, sejak hamil berapa minggu, tempat ANC dimana dan untuk
mengetahui riwayat kehamilannya, Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
sudah/belum, kapan dan sudah berapa kali.
e) Keluhan, digunakan untuk mengetahui keluhan selama hamil.

8) Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari


a) Pola Nutrisi
Sulistyawati (2012 : 169) mengemukakan pola nutrisi dikaji untuk menanyakan
ibu hamil apakah menjalani diet khusus, bagaimana nafsu makannya, jumlah
makanan dan minuman atau cairan yang masuk.
b) Pola Eliminasi
Menurut Mufdillah (2009 : 13) pola eliminasi dikaji untuk mengetahui berapa
kali ibu BAB dan BAK, adakah kaitannya dengan obstipasi atau tidak.
c) Pola aktifitas dan istirahat
Menurut Mufdillah (2009 : 13) pengkajian pada pola aktifitas dan istirahat
yaitu untuk mengetahui aktifitas ibu berlebihan atau tidak, adakah trauma atau
kecelakaan kerja yang dialami ibu hamil karena hal ini dapat menyebabkan
Abortus. Berapa jam ibu tidur siang dan malam.
d) Personal Hygiene
Personal hygiene menurut Sulistyawati (2012 : 171) perlu dikaji untuk
mengetahui bagaimana klien menjaga kebersihan dirinya terutama daerah
genetalia, karena jika kebersihan genetalia kurang dapat memicu terjadinya
infeksi. Infeksi mikroplasma pada tracture genetalis dapat menyebabkan
Abortus.
e) Pola seksual
Hidayat (2006 : 43) mengemukakan bahwa pola seksual dikaji untuk
mengetahui berapa kali ibu melakukan hubungan suami isteri dalam seminggu.
9) Riwayat keluarga berencana
Menurut Varney (2004 : 75) riwayat keluarga berencana dikaji untuk
mengetahui apakah ibu sebelum hamil pernah menggunakan KB atau belum,
berapa tahun dan jenis apa yang digunakan.
10) Data psikososial
Ambarwati (2008 : 137) mengatakan bahwa data psikososial dikaji untuk
mengetahui respons ibu dan keluarga terhadap bayinya.
11) Kebiasaan sosial budaya
Menurut Ambarwati (2008 : 138) kebiasaan sosial budaya perlu dikaji untuk
mengetahui klien dan keluarga menganut adat istiadat yang akan
menguntungkan atau merugikan klien khususnya pada masa hamil, misalnya
pada kebiasaan pantangan makanan.

Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis.
a) Keadaan umum
Keadaan umum menurut sulistyawati (2012 : 174) untuk mengetahui keadaan
umum pasien apakah baik/cemas atau cukup/jelek.
b) Kesadaran
Menurut Sulistyawati (2012 : 174) kesadaran dikaji untuk mengetahui tingkat
kesadaran ibu mulai dari composmentis, apatis, samnollen, sopor, koma atau
dellirium.
c) Tekanan darah
Dalam buku Ummi, dkk (2010 : 91) tekanan darah dikaji untuk mengetahui faktor
resiko hipertensi/hipotensi dengan satuannya mmHg. Tekanan darah normal
100/80 120/80 mmHg.
d) Suhu
Hidayat dan Uliyah (2011 : 116) mengatakan mengkaji suhu untuk mengetahui
tanda-tanda infeksi, karena adanya sisa hasil konsepsi yang tertinggal di dalam
uterus, maka terjadi nekrosis dan membusuk sehingga menimbulkan infeksi pada
desidua yang dapat menyebabkan suhu tubuh meningkat, batas normal 35,6-37,6
0C.
e) Nadi
Menurut Hidayat dan Uliyah (2011 : 113), nadi dikaji untuk mengetahui denyut
nadi pasien yang dihitung selama 1 menit, batas normalnya 60-80 x/menit.
f) Respirasi
Hidayat dan Uliyah (2011 : 115) mengemukakan bahwa respirasi dikaji untuk
mengetahui frekuensi pernafasan pasien yang dihitung selama 1 menit, batas
normalnya 18-24 x/menit.
g) Tinggi badan
Dalam buku Ummi, dkk (2010 : 91) tinggi badan di ukur untuk mengetahui tinggi
badan ibu kurang dari 145 cm atau tidak, dan termasuk resiko tinggi atau tidak
h) Berat badan
Wiknjosastro (2005 : 134) mengemukakan bahwa Berat badan diukur untuk
mengetahui adanya kenaikan berat badan klien selama hamil, penambahan berat
badan rata-rata 0,3-0,5 kg/minggu, tetapi nilai normal untuk pertambahan berat
badan selama hamil 9-12 Kg.
i) Lingkar lengan atas
Wiknjosastro (2005 : 134) mengatakan, lingkar lengan atas diukur untuk
mengetahui lingkar lengan ibu 23,5 cm atau tidak, dan termasuk resiko tinggi atau
tidak.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dikaji menurut Wiknjosastro (2005 : 125) adalah
sebagai berikut :
a) Kepala
(1) Rambut
untuk mengetahui kebersihan rambut, warna, kelebatan, rontok/ tidak.

(2) Muka
dikaji apakah ada cloasma/tidak, pucat/tidak, adakah oedem
(3) Mata
conjungtiva merah/tidak, pucat/ tidak, sklera ikterik/tidak.

(4) Hidung
untuk mengetahui ada tidaknya polip, ada kelainan atau tidak.

(5) Telinga
apakah ada kelainan, ada serumen atau tidak
(6) Mulut dan gigi
apakah ada caries/tidak, mulut bersih atau kotor, lidah stomatitis atau tidak
b) Leher
untuk mengetahui apakah terdapat penonjolan terutama pada kelenjar tyroid
yang berhubungan dengan kejadian abortus, hipertyroid juga dapat
menyebabkan abortus

c) Dada dan Axilla


(1) Mammae
adakah benjolan pada payudara atau tidak, ada pembesaran atau tidak, ada
tumor atau tidak, simetris atau tidak, areola hiper-pigmentasi atau tidak, puting
susu menonjol atau tidak, kolostrum sudah keluar atau belum.

(2) Axilla
untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar limfe pada ketiak dan
adakah nyeri tekan.

d) Ekstremitas
apakah oedem atau tidak, terdapat varises atau tidak, reflek patella positif atau
negatif.

3) Pemeriksaan Khusus Obstetri


Pemeriksan khusus pada ibu hamil meliputi :
a) Abdomen
(1) Inspeksi
Inspeksi menurut Salmah (2006 : 140), yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan
cara melihat atau observasi langsung. Bidan dapat mengobservasi gerakan janin
dan perubahan kulit pada abdomen, linea dan strie belum terlihat pada kehamilan
muda.
(2) Palpasi
Menurut Saminem (2008 : 11), Cara pemeriksaan yang umum digunakan adalah
cara Leopold yang dibagi dalam 4 tahap. Persiapan pemeriksaan Leopold,
meliputi : klien tidur terlentang, membuka baju seperlunya pada bagian perut yang
akan diperiksa, posisi uterus ditengahkan dengan menggunakan kedua tangan
sehingga tinggi fundus uteri dapat ditentukan. Pada pemeriksaan Leopold I, II,
dan III pemeriksa menghadap ke arah muka ibu dan kaedua lutut klien ditekuk.
Leopold I : untuk menentukan tinggi fundus uteri dan bagian yang
terdapat di fundus.

Leopold II : untuk menentukan punggung janin dan bagian kecil janin


Leopold III : untuk menentukan bagian yang terletak dibagian bawah
Leopold IV uterus
: untuk menentukan bagian yang terletak dibagian bawah
uterus.
untuk menentukan apakah bagian terbawah janin sudah masuk
PAP atau seberapa jauh penurunan bagian terbawah dalam
PAP

(3) Auskultasi :
Menurut Salmah (2006 : 146), pemeriksaan dengan cara auskultasi dilakukan
umumnya dengan stetoskop monoral untuk mendengarkan bunyi denyut jantung
janin, bising tali pusat, gerakan janin, bunyi aorta serta bising usus. Dalam
keadaan sehat, bunyi jantung antara 120-160 kali per menit. Bunyi jantung janin
dihitung dengan mendengarkannya selama 1 menit penuh.

b) Genetalia
Menurut Saifuddin (2002 : 276) pemeriksaan genetalia yaitu untuk mengetahui
keadaan genetalia eksternal yang meliputi kesimetrisan labia mayora dan labia
minora, ada atau tidak varices, dan oedem, adakah pembesaran kelenjar bartholini
dan cairan yang keluar. Pada kasus Abortus Inkomplitus ada pengeluran
perdarahan pervaginam.
4) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut Varney (2004 : 65), dilakukan untuk mendukung


menegakkan diagnosa seperti pemeriksaan laboratorium, rontgen ultrasonografi,
dan lain-lain. Pada kasus ibu hamil dengan abortus Inkomplitus pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan Hb test dan USG.

5. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terlepasnya
hasil konsepsi
2) Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasive
3) Perubahan pola eliminasi:konstipasi berhubungan dengan
tindakan pasca operasi
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan pemenuhan
ADL akibat proses pembedahan
5) Ansietas berhubungan dengan faktor fisiologis
6) 6. Rencana tindakan keperawatan
7) 8) Diagnosa 9) Tujuan & Kriteria Hasil 10) Intervensi
No
.
11) 12) Ganggu 27) NOC : 38) NIC : Pain Management
an rasa 28) Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
1.
nyaman 29) Pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
nyeri 30) Comfort level kualitas dan faktor presipitasi
berhub 31) Setelah dilakukan Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
ungan tindakan keperawatan Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
dengan selama .Pasien menemukan dukungan
proses tidak mengalami
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
inflama nyeri, dengan kriteria
nyeri seperti suhu ruangan,pencahayaan dan
si hasil:
kebisingan
13) DS: 32) Mampu mengontrol
14) - nyeri (tahu penyebab Kurangi faktor presipitasi nyeri.
Laporan nyeri, mampu Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
secara menggunakan tehnik intervensi
verbal nonfarmakologi untuk Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
15) DO: mengurangi nyeri, dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
16) - Posisi mencari bantuan) Kolaborasikan pemberian analgetik untuk
untuk 33) Melaporkan bahwa mengurangi nyeri:
menahan nyeri berkurang Tingkatkan istirahat
nyeri dengan menggunakan Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
17) - manajemen nyeri nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan
Terfokus 34) Mampu mengenali antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
pada diri nyeri (skala, Monitor vital sign sebelum dan sesudah
sendiri intensitas, frekuensi
18) - dan tanda nyeri) pemberian analgesik pertama kali
Tingkah 35) Menyatakan rasa
laku nyaman setelah nyeri
distraksi berkurang
, 36) Tanda vital dalam
19) contoh : rentang normal
jalan- 37) Tidak mengalami
jalan, gangguan tidur
menemu
i orang
lain
dan/atau
aktivitas
,
aktivitas
berulang
-ulang)
20) - Respon
autonom
(seperti
diaphore
sis,
perubah
an
tekanan
darah,
perubah
an nafas,
nadi dan
dilatasi
pupil)
21) -
Perubah
an
autonom
ic dalam
tonus
otot
(mungki
n dalam
rentang
dari
lemah
ke kaku)
22) -
Tingkah
laku
ekspresif
23) (contoh :
gelisah,
merintih
,
menangi
s,
waspada
, iritabel,
nafas
24) panjang/
berkeluh
kesah)
25) -
Perubah
an
dalam
nafsu
26) makan
dan
minum

39) 40) Risiko 62) NOC : 76) NIC :


infeksi 63) Immune Status Pertahankan teknik aseptif
2.
berhub 64) Knowledge : Batasi pengunjung bila perlu
ungan Infection control Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
dengan 65) Risk control keperawatan
tindaka 66) Setelah dilakukan Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
n tindakan
pelindung
invasive 67) keperawatan
41) Faktor- Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
selama
faktor 68) pasien tidak petunjuk umum
risiko : mengalami Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
42) - 69) infeksi dengan kriteria infeksi kandung kencing
Prosedur 70) hasil: Tingkatkan intake nutrisi
Infasif 71) Klien bebas dari Berikan terapi antibiotik:.................................
43) - tanda dan gejala Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
Kerusak infeksi local
an 72) Menunjukkan Pertahankan teknik isolasi k/p
jaringan kemampuan untuk Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
dan mencegah timbulnya kemerahan, panas, drainase
44) peningk infeksi
Monitor adanya luka
atan 73) Jumlah leukosit
paparan dalam batas normal Dorong masukan cairan
45) lingkung 74) Menunjukkan Dorong istirahat
an perilaku hidup sehat Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
46) - 75) Status imun, infeksi
Malnutri gastrointestinal, Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4
si genitourinaria dalam jam
47) - batas normal
Peningk
atan
paparan
48) lingkung
an
patogen
49) -
Imonusu
presi
50) - Tidak
adekuat
pertahan
an
51) sekunder
(penurun
an Hb,
52) Leukope
nia,
penekan
an
53) respon
inflamas
i)
54) -
Penyakit
kronik
55) -
Imunosu
presi
56) -
Malnutri
si
57) -
Pertahan
primer
tidak
58) adekuat
(kerusak
an kulit,
59) trauma
jaringan,
ganggua
n
60) peristalti
k)
61)

77) 78) Peruba 80) NOC: 95) NIC :


han 81) Bowl Elimination 96) Manajemen konstipasi
3
pola 82) Hidration Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
eliminas 83) Setelah dilakukan konstipasi
i:konsti 84) tindakan keperawatan Monitor tanda-tanda rupture bowel/peritonitis
pasi 85) selama . konstipasi Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan pada
berhub 86) pasien teratasi dengan pasien
ungan 87) kriteria hasil:
Konsultasikan dengan dokter tentang peningkatan
dengan 88) Pola BAB dalam
dan penurunan bising usus
tindaka 89) batas normal
n pasca 90) Feses lunak Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi
operasi 91) Cairan dan serat yang menetap
79) 92) adekuat Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan
93) Aktivitas adekuat serat) terhadap eliminasi
94) Hidrasi adekuat Jelaskan pada klien konsekuensi menggunakan
laxative dalam waktu yang lama
Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat dan
cairan
Dorong peningkatan aktivitas yang optimal
Sediakan privacy dan keamanan selama BAB
97)
98)
99) 100) In 102) NOC : 124) NIC :
4 tolerans 103) Self Care : Observasi adanya pembatasan klien dalam
i 104) ADLs melakukan aktivitas
aktivita 105) Toleransi Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
s 106) aktivitas Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
berhub 107) Konservasi
Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
ungan 108) eneergi
emosi secara berlebihan
dengan 109) Setelah
ganggua dilakukan tindakan Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
n 110) keperawatan (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis,
pemenu selama . pucat, perubahan hemodinamik)
han 111) Pasien Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
ADL bertoleransi terhadap pasien
akibat 112) aktivitas dengan Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
proses Kriteria dalam merencanakan progran terapi yang tepat.
pembed 113) Hasil : Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
ahan 114) Berpartisipa mampu dilakukan
101) 115) si dalam Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang
aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan
116) tanpa disertai sosial
117) peningkatan Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
tekanan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
118) darah, nadi dan diinginkan
RR Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
119) Mampu
seperti kursi roda, krek
120) melakukan
Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang
aktivitas
121) sehari hari disukai
(ADLs) secara Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
mandiri diwaktu luang
122) Keseimbang Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
123) an aktivitas dan kekurangan dalam beraktivitas
istirahat Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
125) 126) A 147) NOC : 155) NIC :
nsietas 148) - Kontrol 156) Anxiety Reduction
5
berhub kecemasan Gunakan pendekatan yang menenangkan
ungan 149) - Koping Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
dengan 150) Setelah pasien
faktor dilakukan asuhan Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
fisiologi selama selama prosedur
s klien kecemasan
Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
127) teratasi dengan
mengurangi takut
128) D kriteria hasil:
O/DS: 151) Klien Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,
129) - mampu tindakan prognosis
Insomni mengidentifikasi dan Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
a mengungkapkan Instruksikan pada pasien untuk menggunakan
130) - gejala cemas tehnik relaksasi
Kontak 152) Dengarkan dengan penuh perhatian
mata Mengidentifikasi, Identifikasi tingkat kecemasan
kurang mengungkapkan dan Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
131) - menunjukkan tehnik kecemasan
Kurang untuk mengontol
istirahat cemas Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
132) - 153) Vital sign ketakutan, persepsi
Berfoku dalam batas normal
s pada 154) Postur tubuh,
diri ekspresi wajah,
sendiri bahasa tubuh dan
133) - tingkat aktivitas
Iritabilit menunjukkan
as berkurangnya
134) - kecemasan
Takut
135) -
Nyeri
perut
136) -
Penurun
an TD
dan
denyut
nadi
137) -
Diare,
mual,
kelelaha
n
138) -
Ganggua
n tidur
139) -
Gemetar
140) -
Anoreks
ia, mulut
kering
141) -
Peningk
atan TD,
denyut
nadi, RR
142) -
Kesulita
n
bernafas
143) -
Bingung
144) -
Bloking
dalam
pembica
raan
145) -
Sulit
berkonse
ntrasi
146)
157) 7. Discharge Planning (NIC: 150)
a. Kaji kemampuan klien untuk
meninggalkan RS
b. Kolaborasikan dengan
terapis, dokter, ahli gizi, atau petugas kesehatan lain tentang kebelanjutan
perawatan klien di rumah
c. Identifikasi bahwa pelayanan
kesehatan tingkat pertama (puskesmas atau petugas kesehatan di rumah
klien) mengetahui keadaan klien
d. Identifikasi pendidikan
kesehatan apa yang dibutuhkan oleh klien yaitu pengontrolan infeksi dan
gaya hidup sehat.
e. Komunikasikan dengan klien
tentang perencanaan pulang
f. Dokumentasikan
perencanaan pulang
g. Anjurkan klien untuk
melakukan pengontrolan kesehatan secara rutin
158)
159) DAFTAR PUSTAKA
160)
161) Anonymous. Ludwig's Angina. 2010. available at:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ludwig%27s_angina.
162)
163) Anonymous. Ludwig's Angina. available at:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
164)
165) Arfani A. Dentist: Phlegmon. available at:
http://asnuldentist.blogspot.com/2010/08/phlegmon.
166)
167) B. Jankowska, A. Salami, G. Cordone, S. Ottoboni, R. Mora. 2003. Deep
Neck Space Infections. International Congress Series 1240 (2003) 1497
1500. Genoa, Italy. Diakses tanggal 3 November 2009.
168)
169) Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed.
Pennsylvanya: Elsener Mosby; 2005.
170)
171) Bulecked, G.M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC).
United Sates of America: Elsevier.
172)
173) Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 8. Jakarta: EGC.
174)
175) Cossio PI, Hinojosa EF, Cruz MAM, Perez LMG. 2010. Ludwigs angina
and ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal. 2010 Jul 1;15 (4):e624-7
176)
177) Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara.
178)
179) Emilia Ianes, Serban Rosu, Felicia Streian, Adriana Rosu. 2004. Early
Recognition Of Life-Threatening Cervicofacial Infections Of Dental
Origin. Timisoara, Romania. Diakses tanggal 3 November 2009.
180)
181) Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
182)
183) Grupta AK, Dhulkhed VK, Rudagi BM, Gupta A. 2009. Drainage of
Ludwig Angina under Superficial Cervical Plexus Block in Pediatric
Patient. Anestesia Pediatrica e Neonatale, Vol. 7, N. 3
184)
185) Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family
Physician. July 1999;Vol. 60.
186)
187) Heavey J, Gupta N. 2008. Ludwigs Angina. The New England Journal of
Medicine. 359;14
188) Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mangunkusuma, Vidyapati W,
1988, Penanganan Cidera Mata dan Aspek Sosial Kebutaan, Universitas
Indonesia, Jakarta
189)
190) Kowalak, J. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
191)
192) Kulkarni AH, Pai SD, Bhattarai B, Rao ST, Ambareesha M. 2008.
Ludwigs Angina and Airway Considerations: A Case Report. Cases
Journal 2008, 1:19
193)
194) Lemonick DM. 2002. Ludwigs Angina: Diagnosis and Treatment.
Hospital Physician. p. 31-37
195)
196) M. de la Cmara Gmez, F. Vzquez de la Iglesia, M. M. Otero Palleiro, J.
de la Cmara Gmez, C. Barbagelata Lpez. 2007. Phlegmon In The
Submandibular Region Secondary To Odontogenic Infection. La Corua.
Diakses tanggal 3 November 2009.
197)
198) Marcin Baran, Tomasz Tomaszewski, Izabela Joko. 2006. Facial
Phlegmon A Case Report Lublin. Diakses tanggal 3 November 2009.
199)
200) Menteri kesehatan. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 477/menkes/sk/iv/2004 tentang Tarip Pelayanan
Kesehatan Bagi Peserta PT. Askes (persero) dan Anggota Keluarganya di
Rumah Sakit Vertikal. Jakarta. Diakses tanggal 3 November 2009.
201)
202) Moorhead K, Guiahi M. 2010. Case Report: Pregnancy Complicated by
Ludwigs Angina Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics
and Gynecology Volume 2010, Article ID 158264, 3 pages
203)
204) Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von
Ludwig. Journal of Oral Pathology & Medicine. August 9 1996.
205)
206) NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
207)
208) Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolarylology: A Step by
Step Learning Guide. Georg Thieme Verlag: Stuttgart. p. 84-85.
209)
210) Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-
Maret 2008;Vol.21.
211)
212) Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
213)
214) Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC.
215)
216) Srirompotong S. 2003. Ludwigs angina: a clinical review. Eur Arch
Otorhinolaryngol (2003) 260 : 401403
217)
218) Telian SA, Schmalbach CE. 2003. Chronic Otitis Media. Dalam: Snow JB,
Ballenger JJ. 2003. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 16th edition. BC Decker: Spain. P. 1039
219)
220) Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B.
Saunders; 2002
221)
222) Ugboko V, Ndukwe K, Oginni F. 2005. Ludwigs Angina: An Analysis of
Sixteen Cases in a Suburban Nigerian Tertiary Facility. African Journal of
oral Health. Volume 2 Numbers 1 & 2 2005: 16-23
223)
224) Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal
of the American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol.
15(Issue 12).
225)
226)

227)
228)
229)

You might also like