You are on page 1of 24

BED SIDE TEACHING

AGE RELATED MACULAR DEGENERATION (AMD)

Disusun Oleh:

Ildiani Ramli 0910312123

Nurhayati 1010313096

Farisah Izzati 1110312033

Mila Permata Sari 1210313008

Preseptor :

dr. Getry Sukmawati, Sp.M (K)

dr. Havriza Vitresia, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

1
BAB 1
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
- Nama : Ny. D
- No RM : 970614
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Usia : 78 tahun
- Pekerjaan : IRT
- Agama : Islam
- Alamat : Solok Selatan

Anamnesa
Seorang pasien perempuan berusia 78 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUP Dr
M Djamil Padang pada tanggal 16 Februari 2017.

Keluhan Utama :
Mata kiri terasa kabur sejak 5 tahun sebelum berobat ke RS

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Pandangan mata kabur sejak 5 tahun sebelum berobat ke RS
- Pandangan ganda (-)
- Mata merah (-)
- Mata nyeri (-)
- Mata berair (-)
- Pandangan berkabut (-)
- Terlihat gambaran halo (-)
- Penglihatan silau (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat diabetes mellitus tidak ada
- Riwayat trauma pada mata tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien

Status Oftalmikus (16 Februari 2017) :


STATUS OD OS

2
OFTALMIKUS
Visus tanpa koreksi 6/19 1/60
Silia / supersilia Trikiasis (-), Trikiasis (-),
Madarosis (-) Madarosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
Hematom (-) Hematom (-)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)
Hematom (-) Hematom (-)
Margo Palpebra Entropion (-) Entropion (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-), Papil (-), folikel (-), Hiperemis (-), Papil (-), folikel (-),
sikatrik (-) sikatrik (-)
Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konjungtiva Bulbii Injeksi konjungtiva (-) Injeksi siliar (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi konjungtiva (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Pupil Bulat, RP +/+, diameter 2-3 mm Bulat, RP +/+, diameter 2-3 mm
Lensa Keruh subkapsular posterior Keruh subkapsular posterior
Korpus vitreum Jernih Jernih
Fundus :
- Media Relatif bening Relatif bening
- Papil optikus Bulat, batas tegas, c/d = 0,3-0,4 Bulat, batas tegas, c/d = 0,3-0,4

- Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdarahan (-), eksudat (-), drusen
(+)
- aa/vv retina 2:3 2:3
- Makula Refleks fovea (+), pigmentasi (+) Refleks fovea (-), drusen soft (+)

Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Normal (palpasi)


Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Gambar :
OD OS

3
Diagnosis Kerja :
AMD OS

Rencana :
Injeksi Avastin

BAB 2
DISKUSI

4
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 78 tahun datang ke
poliklinik Mata RS. Dr. M. Djamil Padang tanggal 16 Februari 2017 dengan
keluhan utama mata kiri kabur sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan mata kabur
dapat disebabkan oleh adanya kelainan refraksi dan dapat juga disebabkan oleh
penyakit intraokuler atau kelainan sistemik lainnya. Pasien dengan keluhan mata
kabur, tanpa rasa nyeri dan mengenai usia lanjut maka salah satu kemungkinan
penyakitnya adalah AMD. Berdasarkan AAO, penyebab utama penurunan
penglihatan atau kebutaan permanen di Amerika Serikat pada individu dengan
usia lebih dari 50 tahun adalah AMD.

Age Related Macular Degeneration (AMD) adalah penyakit degenerasi


makula yang biasanya mengenai individu usia lanjut, yang menghasilkan
kehilangan penglihatan di sentral penglihatan (makula) karena kerusakan retina.
Degenerasi makula dapat menyulitkan untuk membaca atau mengenali wajah,
meskipun penglihatan perifer masih memungkinkan untuk melakukan kegiatan
sehari-hari. AMD merupakan penyakit retina yang dipengaruhi faktor genetik
maupun faktor lingkungan. Seiring dengan penuaan sel pigmen retina, bahan-
bahan residual intraseluler yang mengandung lipofusin bertumpuk pada sel ini.
Diperkirakan lipofusin merupakan hasil degradasi yang tidak sempurna dari
bahan-bahan residual yang terperangkap pada lisosom sekunder. Pada sel pigmen
retina normal, bahan-bahan residu akan dibuang melalui pembuluh darah
koriokapiler, keadaan dimana terjadi penurunan fungsi dari sel pigmen ini akan
menyebabkan deposisi bahan-bahan tersebut diantara lapisan pigmen retina
dengan membran bruch, yang tampak sebagai drusen. Pada penyakit AMD,
drusen adalah yang paling khas jika dilihat dengan oftalmoskop.

Pasien mengeluhkan pandangan mata kabur sejak 5 tahun yang lalu.


Pada pemeriksaan oftalmikus ditemukan visus mata kiri 1/60. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya penurunan ketajaman penglihatan yang diakibatkan
oleh penyakit degeneratif yaitu age related macular degeneration. Pada
pemeriksaan funduskopi OS, retina tidak ditemukan perdarahan dan eksudat
namun ditemukan drusen. Pada makula tidak ditemukannya refleks fovea tetapi

5
ditemukan drusent soft. Dari perubahan-perubahan di epitel pigmen retina dan
membran Bruch yang dapat dilihat secara ofthalmoskopis, drusen adalah yang
paling khas. Drusen adalah endapan putih-kuning, bulat, diskret, dengan ukuran
bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub
posterior. Seiring dengan waktu, drusen dapat membesar, menyatu, mengalami
kalsifikasi, dan meningkat jumlahnya.

Penatalaksanaan AMD bertujuan untuk mempertahankan tajam


penglihatan yang ada dan menurunkan risiko penurunan tajam penglihatan yang
lebih berat. Pada pasien ini, tindakan yang akan dilakukan yaitu injeksi
intravitreal Avastin (Bevacizumab), yang dikatakan dapat menstabilkan visus
atau meningkatkan tajam penglihatan secara temporer.

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

6
2.1 Retina
2.1.1 Anatomi Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi-transparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm
di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini
pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrana Bruch, khoroid, dan
sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah
terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada
ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitelium
pigmen retina saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretina
pada ablasio retina.1

Gambar 3.1. Makroskopik dari Mata


Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut1 :
1. Membrana limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju ke nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan-
sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan
sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor

7
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membrana limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitelium pigmen retina

Gambar 3.2. Lapisan dari Retina

Gambar 3.3. Mikroskopik Lapisan Retina


Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula
dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh
pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter 1,5 mm. Makula juga adalah daerah
yang dibatasi oleh arkade-arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah
makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat fovea, yang

8
secara klinis jelas-jelas merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan
khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.1

Gambar 3.4.Funduskopi Normal


Retina menerima darah dari dua sumber : khoriokapiler yang berada tepat
di luar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk
lapisanpleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel
pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri retina sentralis yang memperdarahi
dua per tiga sebelah dalam.1

Gambar 3.5. Makula Normal

2.1.2 Fisiologi Retina


Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata
harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu transducer yang efektif.
Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan
cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina
melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung

9
jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna,
dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat
hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf
yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina
perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan
diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu
adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna
(penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri
dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam
(skotopik).1
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskular
pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk
sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton
cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerasi menjadi
bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuh
terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.
Penyerapan cahaya puncak oleh rodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar
500 nm, yang terletak di daerah biru-hijau pada spektrum cahaya. Penelitian-
penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak
penyerapan panjang gelombang di 430, 540, dan 575 nm masing-masing untuk sel
kerucut peka biru, hijau, dan merah. Fotopigmen sel kerucut terdiri dari 11-sis-
retinal yang terikat ke berbagai protein opsin.1
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang.
Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa
abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi
penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektral retina bergeser dari puncak dominasi
rodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda akan
berwarna apabila benda tersebut mengandung fotopigmen yang menyerap
panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum sinar tampak (400-700
nm). Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut,

10
senjakala oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh
fotoreseptor batang.1

2.2 Age-related Macular Degeneration


2.2.1 Definisi
AMD adalah penyakit degenerasi makula yang biasanya mengenai
individu usia lanjut, yang menghasilkan kehilangan penglihatan di sentral
penglihatan (makula) karena kerusakan retina. Degenerasi makula dapat
menyulitkan untuk membaca atau mengenali wajah, meskipun penglihatan perifer
masih memungkinkan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.2

Gambar 3.6. Degenerasi Makula

2.2.2 Epidemiologi
Degenerasi makula adalah suatu keadaan dimana makula mengalami
kemunduran sehingga terjadi penurunan ketajaman penglihatan dan kemungkinan
akan menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan sentral. Makula adalah pusat dari
retina dan merupakan bagian yang paling vital dari retina yang memungkinkan
mata melihat titik-titik halus pada pusat lapang pandang. Tanda utama dari
degenerasi makula adalah didapatkan adanya bintik-bintik abu-abu atau hitam
pada pusat lapangan pandang (drusen). Kondisi ini biasanya berkembang secara
perlahan-lahan, tetapi kadang berkembang secara progresif, sehingga

11
menyebabkan kehilangan penglihatan yang sangat berat pada satu atau kedua bola
mata.2,3
Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, penyebab utama
penurunan penglihatan atau kebutaan permanen di Amerika Serikat pada individu
dengan usia lebih dari 50 tahun adalah ARMD. Data di Amerika Serikat
menunjukkan 15% penduduk usia 75 tahun ke atas mengalami degenerasi makula.
Bentuk yang paling sering adalah age-related macular degeneration (AMD).2,3

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab pastinya masih belum diketahui. Namun, kejadian AMD dapat
ditingkatkan oleh beberapa faktor risiko, diantaranya :3
1. Umur
Faktor risiko yang paling berperan pada terjadinya degenerasi makula
adalah umur. Meskipun degenerasi makula dapat terjadi pada orang muda,
penelitian menunjukkan bahwa umur di atas 60 tahun berisiko lebih besar
terjadi dibanding dengan orang muda. Pada orang muda hanya terdapat
2% saja yang menderita degenerasi makula, tapi risiko ini meningkat 30%
pada orang yang berusia di atas 75 tahun.
2. Genetik
Gen-gen yang tersusun dalam sistem komplemen protein faktor H, faktor
B, dan faktor 3(C3) ditemukan rusak pada orang-orang yang mengalami
degenerasi makula. CFH ikut berpengaruh dalam menghambat respon
inflamasi diperantarai melalui C3b (dan komplemen jalur alternatif)
keduanya bertindak sebagai kofaktor untuk pembelahan C3b menjadi
bentuk aktifnya (C3bi) dan melalui pelemahan komplek aktif yang
terbentuk antara C3b dan faktor B. Faktor komplemen H (gen yang telah
bermutasi) dapat dibawa oleh para keturunan penderita degenerasi makula.
CFH terkait dengan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang meregulasi
peradangan.
3. Merokok
Tembakau dapat meningkatkan risiko degenerasi makula dua sampai tiga
kali dari orang-orang yang tidak pernah merokok. Didapatkan pada
penelitian bahwa literatur mengkonfirmasi adanya hubungan yang kuat

12
antara merokok dan AMD. Merokok cenderung memiliki efek toksik
pada retina.
4. Ras
Ras kulit putih (kaukasia) sangat rentan sangat rentan dengan terjadinya
degenerasi makula dibanding dengan orang-orang yang berkulit hitam.
5. Riwayat keluarga
Risiko seumur hidup terhadap pertumbuhan degenerasi makula adalah
50% pada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga penderita
dengan degenerasi makula, dan hanya 12% pada mereka yang tidak
memiliki hubungan dengan degenerasi makula.
6. Hipertensi dan Diabetes
Degenerasi makula menyerang para penderita penyakit diabetes, atau
tekanan darah tinggi karena mudah terpecahnya pembuluh-pembuluh
darah kecil (trombosis) sekitar retina. Trombosis mudah terjadi akibat
penggumpalan sel-sel darah merah dan penebalan pembuluh darah halus.
7. Paparan terhadap sinar Ultraviolet
Paparan sinar matahari terutama cahaya biru. Ada bukti yang bertentangan
mengenai apakah paparan sinar matahari memberikan kontribusi bagi
pengembangan degenerasi makula. Sebuah penelitian baru-baru ini dalam
British Journal of Ophthalmology pada 446 subjek menemukan bahwa
kontroversi itu tidak benar. Penelitian lain, bagaimanapun, telah
menunjukkan bahwa sinar ultraviolet dapat menyebabkan AMD.
8. Obesitas dan kadar kolesterol tinggi
Pemasukan lemak yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko
degenerasi makula baik pada perempuan dan laki-laki. Makan lebih
banyak ikan air tawar (setidaknya dua kali seminggu), daripada daging
merah, dan makan semua jenis kacang dapat membantu penderita
degenerasi makula.
9. Stress oksidatif
Telah disetujui bahwa oligomer prooksidan melanin dalam lisosom di
epitel pigmen retina (RPE) ikut bertanggung jawab dalam mengurangi laju
fagositosis fotoreseptor segmen batang luar oleh RPE tersebut.
10. Mutasi Fibulin-5
Penyakit ini disebabkan oleh cacat genetik di fibulin-5, dominan autosom.
Pada tahun 2004 dilakukan screening pada 402 pasien AMD dan
didapatkan adanya hubungan yang secara signifikan antara mutasi fibulin-
5 dan insiden AMD.

13
2.2.4 Klasifikasi
Penyakit ini mencakup spektrum temuan klinis dan patologis yang luas
yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok : non-eksudatif (kering) dan
eksudatif (basah). Walaupun kedua tipe ini bersifat progresif dan biasanya
bilateral, manifestasi, prognosis, dan penatalaksanaannya berbeda. Bentuk
eksudatif yang lebih berat merupakan penyebab hampir 90% dari semua kasus
akibat AMD.1

2.2.4.1 AMD tipe non-eksudatif


AMD ditandai oleh atrofi dan degenerasi retina bagian luar, epitel pigmen
retina, membran Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat bervariasi. Dari
perubahan-perubahan di epitel pigmen retina dan membran Bruch yang dapat
dilihat secara ofthalmoskopis, drusen adalah yang paling khas. Drusen adalah
endapan putih-kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel
pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub posterior. Seiring dengan waktu,
drusen dapat membesar, menyatu, mengalami kalsifikasi, dan meningkat
jumlahnya. Secara histopatologis, sebagian besar drusen terdiri dari kumpulan
lokal bahan eosinofilik yang terletak di antara epitel pigmen dan membran Bruch;
drusen mencerminkan pelepasan fokal epitel pigmen. Selain drusen, dapat muncul
secara progresif gumpalan-gumpalan pigmen yang tersebar tidak merata di
daerah-daerah depigmentasi atrofi di seluruh makula. Derajat gangguan
penglihatan bervariasi dan mungkin minimal. Angiografi fluoresens
memperlihatkan pola hiperplasia dan atrofi epitel pigmen retina yang irreguler.
Pada sebagian besar pasien, pemeriksaan elektrofisiologik memperlihatkan hasil
normal.1,2
Sebagian besar pasien yang memperlihatkan drusen makula tidak pernah
mengalami penurunan penglihatan sentral yang bermakna; perubahan-perubahan
atrofik dapat menjadi stabil atau berkembang secara lambat. Namun, stadium
eksudatif dapat timbul mendadak setiap saat, dan selain pemeriksaan oftalmologik
yang teratur, pasien diberi Amsler grid untuk membantu memantau dan
melaporkan setiap perubahan simtomatik yang terjadi.1,2

14
2.2.4.2 AMD tipe eksudatif
Walaupun pasien dengan AMD biasanya hanya memperlihatkan kelainan
noneksudatif, sebagian besar pasien yang menderita gangguan penglihatan berat
akibat penyakit ini mengalami bentuk eksudat akibat terbentuknya
neovaskularisasi subretina dan makulopati eksudat terkait. Cairan serosa dari
koroid di bawahnya dapat bocor melalui defek-defek kecil di membran Bruch,
sehingga menimbulkan pelepasan-pelepasan lokal epitel pigmen. Peningkatan
cairan tersebut dapat semakin menyebabkan pemisahan retina sensorik di
bawahnya, dan penglihatan biasanya menurun apabila fovea terkena. Pelepasan
epitel pigmen retina dapat secara spontan menjadi datar, dengan bermacam-
macam akibat dari penglihatan, dan meninggalkan daerah geografik depigmentasi
di bagian yang terkena.1,2
Dapat terjadi pertumbuhan pembuluh-pembuluh baru ke arah dalam yang
meluas dari koroid sampai ruang subretina dan merupakan perubahan
histopatologik terpenting yang memudahkan timbulnya pelepasan makula dan
gangguan penglihatan sentral irreversible pada pasien dengan drusen. Pembuluh-
pembuluh baru ini tumbuh dalam konfigurasi roda pedati dasar atau sea-fan
menjauhi tempat mereka masuk ke dalam ruang subretina. Kelainan klinis awal
pada neovaskularisasi subretina bersifat samar dan sering terabaikan; selama
stadium pembentukan pembuluh baru yang samar ini, pasien asimtomatik, dan
pembuluh-pembuluh baru tersebut mungkin tidak tampak baik secara
oftalmoskopis maupun angiografis.1,2
Walaupun sebagian membran neovaskular subretina dapat mengalami
regresi spontan, perjalanan alamiah neovaskularisasi subretina pada AMD
mengarah ke gangguan penglihatan sentral yang irreversible dalam selang waktu
yang bervariasi. Retina sensorik mungkin rusak akibat edema kronik, pelepasan,
atau perdarahan di bawahnya. Selain itu, pelepasan retina hemoragik dapat
mengalami metaplasia fibrosa sehingga terbentuk suatu massa subretina yang
disebut jaringan parut disiformis. Massa fibrovaskular yang meninggi dan
ukurannya yang bervariasi ini mencerminkan stadium akhir AMD eksudatif.
Massa ini menimbulkan gangguan penglihatan sentral yang permanen.1,2

15
Gambar 3.7. Makula Normal, AMD Non Eksudatif & AMD Eksudatif

Gambar 3.8. Drusen pada AMD non Eksudatif

2.2.5 Patofisiologi
AMD merupakan penyakit retina yang diturunkan secara autosomal
dominan dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan.

16
Patofisiologi pasti dari AMD masih relatif sulit untuk dipahami, dimana beberapa
penelitian terbaru meningkatkan pemahaman kita mengenai AMD. Penelitian-
penelitian terbaru memusatkan perhatian pada kompleks epitel pigmen retina,
fotoreseptor dan membran bruch. Epitel pigmen retina merupakan lapisan
metabolisme aktif yang menyokong fungsi dari fotoreseptor retina. Sel pada
pigmen ini memfagositosis lapisan luar dari sel fotoreseptor dan mengganti ulang
secara bertahap serta memproses bahan-bahan metabolisme yang digunakan untuk
fungsi fotoreseptor. 1,3,4,5,6
Seiring dengan penuaan sel pigmen retina, bahan-bahan residual
intraseluler yang mengandung lipofusin bertumpuk pada sel ini. Diperkirakan
lipofusin merupakan hasil degradasi yang tidak sempurna dari bahan-bahan
residual yang terperangkap pada lisosom sekunder.3 Lipofusin mengandung
sedikitnya sepuluh fluorofor yang berbeda (atom flouresen pada molekul). Eldred
dan Lasky (19930 mengidentifikasi A2E (N-retinyledin-N-retylethanolamin)
sebagai flourofor utama yang dihasilkan melalui reaksi Schiff-base dari
etanolamin dan aldehid vitamin A. Kedua substansi ini banyak terdapat di lapisan
luar retina. Telah dilaporkan A2E memiliki efek toksik melalui beberapa
mekanisme molekular. A2E menginduksi inhibisi enzim lisosom dengan
menghambat pompa proton tergantung ATP pada lisosom yang bakhirnya kan
meningkatkan pH melebihi pH lisosomal yang optimal untuk aktivitas enzim
lisosom. Efek lebih lanjut dari A2E adalah efek detergen akibat peningkatan
tajam konsentrasi A2E yang menginduksi disintegrasi membran- membran pada
organel khususnya lisosom dan mitokondria. Akhirnya, A2E menyebabkan efek
fototoksik. 7
Pada sel pigmen retina normal, bahan bahan residu akan dibuang melalui
pembuluh darah koriokapiler, keadaan dimana terjadi penurunan fungsi dari sel
pigmen ini akan menyebabkan deposisi bahan-bahan tersebut di antara lapisan
pigmen retina dengan membran bruch, yang tampak sebagai drusen. Peneliti
menemukan bahwa koriokapiler pada pasien-pasien AMD lebih tipis sehingga
meningkatkan kemungkinan penurunan klirens dari bahan-bahan ekstraseluler
yang berperan dalam pembentukan drusen. Drusen terdiri dari vibronectin (plasma
multifungsional dan matriks ekstraseluler), lemak, protein terkait inflamasi,

17
amiloid terkait protein, dan bahan-bahan lain. Penelitian terbaru menyatakan
bahwa pembentukan drusen dapat menginisiasi terjadinya kaskade inflamasi yang
berperan pada progresi AMD. Penelitian terhadap gen menunjukkan bahwa jalur
komplemen memiliki peranan primer. Hubungan yang kuat anatara AMD dengan
gen single nucleotide polymorfism in the complement factor H (CFH) dan
PLEKHA serta LOC387715. Berlawanan dengan faktor komplemen B yang
memiliki efek protektif.3,6
CFH merupakan inhibitor jalur komplemen, dimana abnormalitas dari
CFH akan mengaktivasi kaskade komplemen dan selanjutnya respon inflamasi
pada jaringan subretinal. Berdasarkan penelitian, drusen mengandung komponen
inflamasi dari kaskade ini. Sebagai tambahan, merokok akan menurunkan kadar
CFH yang secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya AMD dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok. Pembentukan drusen bukan hanya
mengindikasikan adanya disfungsi lapisan pigmen retina tetapi juga dapat
menunjukkan bahwa terdapat tanda hilangnya lapisan tersebut dan lapisan
fotoreseptor retina. Degenerasi lanjut dari lapisan pigmen ini dapat menyebabkan
disfungsi membran bruch yang memisahkan koriokapiler dari lapisan pigmen
retina. Kerusakan pada membran bruch akan menyebabkan peningkatan vascular
endothelial growth factor (VEGF) yang dapat menyebabkan pertumbuhan
pembuluh darah koroid abnormal (neovaskularisasi koroid) di bawah lapisan
pigmen retina. Pembuluh-pembuluh darah ini dapat bocor dan menimbulkan
perdarahan dan lama- kelamaan akan menyebabkan terjadinya skar. Stadium akhir
dari AMD eksudatif adalah terbentuknya skar disciform pada makula yang
menyebabkan kebutaan. 3,4,6

18
Gambar 3.9. Patogenesis AMD eksudatif

2.2.6 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita degenerasi


makula antara lain:3,6

Garis-garis lurus mengalami distorsi (membengkok) terutama dibagian


pusat penglihatan
Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan
Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
Akan terjadi kehilangan fungsi penglihatan tanpa rasa nyeri secara tiba-
tiba ataupun secara perlahan

Gambar 3.10. Skotoma Sentral pada Pasien dengan ARMD

19
Gambar 3.11. Distorsi Penglihatan Penderita AMD pada Amsler Grid

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil
pemeriksaan oftalmoskopi yang mencakup ruang lingkup pemeriksaan sebagai
berikut : 3,4,6
1. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji yang mirip
dengan kertas milimeter grafis untuk memeriksa luar titik yang terganggu
fungsi penglihatannya. Kemudian retina diteropong melalui lampu senter
kecil dengan lensa khusus.
2. Test penglihatan warna, untuk melihat apakah penderita masih dapat
membedakan warna, dan tes-tes lain untuk menemukan keadaan yang
dapat menyebabkan kerusakan makula.
3. Funduskopi indirek
Dapat terlihat adanya drusen dan hiperpigmentasi

20
Gambar 3.12 funduskopi pada nonexudative ARMD
4. Angiografi dengan zat warna fluoresein. Dokter spesialis mata
menyuntikan zat warna kontras ini ke lengan penderita yang kemudian
akan mengalir kemata dan dilakukan pemotretan retina dan makula. Zat
warna ini memungkinkan melihat kelainan pembuluh darah dengan lebih
jelas.
5. Optical Coherence Tomography (OCT)
Untuk melihat ketebalan retina dan melihat apakah ada kista intraretinal,
cairan subretina atau cairan epitel pigmen subretina untuk mengetahui
ARMD eksudatif

2.2.8 Diagnosis Banding


Degenerasi makula khususnya tipe eksudat dapat di diagnosis banding
dengan :4
1. Makroneurisme
2. Vaskulopati koroid polipoid
3. Korioretinopati serous sentral
4. Kasus inflamasi
5. Tumor kecil

2.2.9 Tatalaksana
Tujuan pengobatan AMD neovaskuler adalah untuk mempertahankan
tajam penglihatan yang ada dan menurunkan risiko penurunan tajam penglihatan

21
9,10,11
yang lebih berat. Tindakan laser bertujuan untuk merusak Choroidal
Neovacularization (CNV) tanpa menyebabkan kerusakan jaringan yang berarti.
Fotokoagulasi laser
Laser argon hijau atau kripton merah dapat digunakan; laser kripton merah lebih
sedikit diabsorpsi oleh pigmen xantofi l dibandingkan laser argon hijau, sehingga
memungkinkan dilakukan lebih dekat dengan daerah sentral fovea. Besarnya spot
adalah 100-200 m dengan durasi 0,1-0,5 detik. 9,10,11
Photodynamic therapy ( PDT)
PDT adalah teknik pengobatan mengaktifkan zat verteporfi n menggunakan sinar
laser (fotosensitizer). Terapi ini tidak merusak EPR, fotoreseptor, dan koroid
karena laser yang digunakan tidak menimbulkan panas dan zat aktif hanya bekerja
pada jaringan CNV. Hal ini karena vertoporfi n berikatan dengan low density
lipoprotein (LDL) yang banyak terdapat pada sel endotel pembuluh darah yang
sedang berproliferasi. 12
PDT merupakan pilihan terapi CNV sub-fovea tipe klasik dan predominan klasik.
Terapi ini dapat diulang setiap 3 bulan bila masih terlihat kebocoran. Hindari
pajanan matahari secara langsung selama 24-48 jam setelah injeksi vertoporfi n.12
Terapi anti-angiogenesis
Anti-angiogenesis dapat digunakan untuk terapi CNV karena dapat menghambat
vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga CNV menjadi regresi dan
juga mencegah terbentuknya CNV baru.13 Dapat digunakan secara primer atau
tambahan pada saat terapi laser.12
Saat ini anti VEGF yang sedang berkembang ialah ranibizumab, pegabtanib
sodium, dan bevacizumab intravitreal, yang dikatakan dapat menstabilkan visus
atau meningkatkan tajam penglihatan secara temporer.13,14 Sering pula anti-
angiogenesis dikombinasikan dengan anti-inflamasi (dexamethasone) intravitreal
dan dapat pula dikombinasikan setelah PDT.
Pembedahan
a. Translokasi macula
Merupakan pengobatan yang menjanjikan, karena dapat memperbaiki tajam
penglihatan sampai tingkat dapat membaca dan mengendarai mobil. Meskipun
demikian tindakan ini juga mengandung risiko.15
Translokasi makula merupakan suatu tindakan pembedahan memindahkan
neurosensoris retina fovea dari daerah neovaskularisasi subfovea ke daerah EPR
membran Bruch kompleks koriokapilaris yang masih sehat sehingga CNV dapat

22
diterapi dengan fotokoagulasi laser. Pemindahan ini bertujuan untuk
mempertahankan fungsi sel fotoreseptor.12,15,16,17 Tindakan ini dapat dilakukan
apabila visusnya relatif masih baik, perdarahannya belum terlalu lama, dan
sebelumnya belum pernah dilakukan tindakan laser.15
b. Transplantasi EPR
Beberapa peneliti melakukan eksisi CNV atau pengangkatan jaringan fi
brovaskuler subfovea, yang kemudian dilanjutkan dengan transplantasi EPR12,16,18.

2.2.10 Komplikasi
Bentuk degenerasi makula yang progresif dapat menyebabkan kebutaan
total sehingga aktivitas dapat menurun.

2.2.11 Prognosis
Prognosis dari AMD tipe eksudat lebih buruk daripada AMD tipe
noneksudat. Prognosis dapat didasarkan pada terapi, tetapi belum ada terapi yang
bernilai efektif sehingga kemungkinan untuk sembuh total sangat kecil.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Riodan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta :
EGC, 2013.
2. Jakobiec A. Principles and Practice of Ophthalmology. Section 9.
Philadelphia, America : W.B. Saunders Company. 2004.
3. Maturi, Raj K. 2012. Nonexudative ARMD. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1223154-overview.
4. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
Section 12 : Retina and Vitreous. 2014-2015.
5. Regillo, Carl D. 2011-2012. Retina and Vitreous : Age Related Macular
Degeneration. American Academy of Ophtalmology.
6. Prall, Ryan. 2012. Exudative ARMD. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1226030-clinical.
7. Holz G., Frank, Danielle Pauleikhoff, Richard.F. Spaide, dan
Alan.C.Bird.2004. Age Related Macular Degeneration. Germany: Springer
8. Yanoff M. Ophthalmology. Section 8. Barcelona, Spain : Mosby International
LTD. 1999.

23
9. Boyd, Kierstan. American Academy of Ophthalmology. Age-related macular
degeneration,. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2016.
Tersedia dari: https://www.aao.org/eye-health/diseases/amd-treatment
10. OConnel SR, Bressler NM. Age-related macular degeneration. In: Regillo
CD, Brown GC, Flynn HW, editors. Vitreoretinal disease the essentials. New
York: Thieme Medical Publisher; 1999:213-40.
11. Bressler NM, Bressler SB, Fine SL. Neovascular (exudative) age-related
macular degeneration. In: Ryan SJ, editors. Medical retina. 3rd ed. Vol. 2.
Singapore: Mosby; 2001:1100-31.
12. Deutman A. Age-related macular degeneration. In: Boyd BF, Boyd S. editors.
Retinal and vitreoretinal surgery. Panama: Highlights of ophthalmology;
2002:237-95.
13. The Eyetech Study Group.Anti-vascular endothelial growth factor therapy for
subfoveal choroidal neovascularization secondary to age-related macular
degeneration. Phase II study result. Ophthalmology 2003;110: 979-86.
14. Jonas JB, Kreissig I, Hugger P, Sauder G, Jonas SP, Degenring R. Intravitreal
riamcinolone acetonide for exudative age related macular degeneration.Br J
Ophthalmol. 2003;110: 979-86.
15. Fuji GY, de Juan, Jr Eugene, Hartranft CD, Jensen PS. Limited macular
translocation.In: Ryan SJ, editors. Surgical retina. 3rd ed. Vol. 3. Singapore:
Mosby;2001:2580-95.
16. Ciulia TA, Danis RP, Harris A. Age-related macular degeneration: a review of
experimental treatments. Surv Ophthalmol. 1998;43:136-46.
17. Lewis H, Kaiser PK, Lewis S, Estafanous M. Macular translokasi for
subfoveal choroidal neovascularization in age-related macular degeneration: A
prospective study. Am J Ophthalmol. 1999;128:135-46.
18. Char DH, Irvine AI, Posner MD, Quivey J, Phillips TL, Kroll S. Randomized
trial of radiation for Age-related macular degeneration. Am J Ophthalmol.
1999; 127:574-8.

24

You might also like