You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tingkat kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indikator di suatu Negara.
Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu faktor penting dalam upaya
penurunan angka tersebut dengan memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
yang berkualitas kepada masyarakat yang belum terlaksana (Prawirohardjo, 2005).

Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura 3/1000 per


kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000 per kelahiran hidup, Thailand 17/1000 per kelahiran
hidup, Vietnam 18/1000 per kelahiran hidup, dan Philipina 26/1000 per kelahiran hidup.
Sedangkan angka kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 26,9/2000 per kelahiran
hidup (Depkes, 2007).

Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah satu tolak ukur
adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun
2005 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus).
Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain
memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral
palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas
hidup.

Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab dan penatalaksanaan. Angka kejadian
hiperbilirubin pada bayi sangat bervariasi. Di RSCM tahun 2007, persentase hiperbilirubin
pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,95%.

Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran mulcosa yang warnanya menjadi
kuning akibat peningkatan jumlah pigmen empedu di dalam darah dan jaringan tubuh.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubiin mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi menimbulkan kern ikterus, jika tidak ditanggulangi dengan baik.
Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang patologik.
(Sarwono, 2005).

Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan ada sebagian lagi
mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian. Oleh karena itu setiap bayi dengan ikterus harus dapat perhatian,
terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar
bilirubin meningkat >5 mg/dL dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus
yang berlangsung lebih dari satu minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan
keadaan yang menunnjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis (hiperbilirubinemia).

Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar


akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai
adalah untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pelitian
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Hiperbilirubinemia/ Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada


bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga
kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah, 1997).

B. Penyebab ( Faktor Predisposisi )


1. Penyebab Ikterus fisiologis
a. Kurang protein Y dan Z
b. Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
2. Penyebab ikterus patologis
1) Peningkatan produksi :
a. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
b. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
c. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
d. Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
f. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
g. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dan lain-lain.
3) Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi ,
Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dan lain-lain.

4) Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.


5) Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif,
hirschsprung.

5 . Patofisiologi Ikterus

Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan
diuraikan tentang metabolisme bilirubin

a. Metabolisme Bilirubin

Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang
larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan
hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang
normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim
Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai
tingkat patologis.

C. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar


Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH,
Markum,1991).

D. Komplikasi

Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus,
Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

1. Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar.


2. Letargi, lemas tidak mau menghisap.
3. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus.
4. Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
5. Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.

E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya ikterus, yaitu :

1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.


Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sbb:
a. Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
b. Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
c. Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:

a. Kadar Bilirubin Serum berkala.


b. Darah tepi lengkap (blood smear perifer ) untuk menunjukkan sel darah merah
abnormal atau imatur, eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis pada
inkompatibilitas ABO.
c. Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompeten ABO.
d. Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
e. Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti B dalam
darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh+,
anti A, anti B dari neonatus )
f. Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.

2. Ikterus yang timbul 24 72 jam sesudah lahir.


a. Biasanya Ikterus fisiologis.
b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan
lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi
5mg% per 24 jam.
c. Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
d. Polisetimia.
e. Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan
Hepar, sub kapsula dll).

Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:

a. Pemeriksaan darah tepi.


b. Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
c. Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
d. Pemeriksaan lain bila perlu.

C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.

a. Sepsis.
b. Dehidrasi dan Asidosis.
c. Defisiensi Enzim G6PD.
d. Pengaruh obat-obat.
e. Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:

a. Karena ikterus obstruktif.


b. Hipotiroidisme
c. Breast milk Jaundice.
d. Infeksi.
e. Hepatitis Neonatal.
f. Galaktosemia.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:

a. Pemeriksaan Bilirubin berkala.


b. Pemeriksaan darah tepi.
c. Skrining Enzim G6PD.
d. Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
a. Penatalaksanaan Medis

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan


untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan
mempunyai tujuan :

Menghilangkan Anemia

Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi

Meningkatkan Badan Serum Albumin

Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus


Albumin dan Therapi Obat.

a. Fototherapi

Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi
Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawaan
tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air
sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar
ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic
usus meningkat dan bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin akan
menurun.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah :

1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.

2) Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan cek apakah lampu
semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan yang keberapa pada bayi
itu untuk mengetahui kapan mencapai 500 jam penggunaan.
3) Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi.

Komplikasi fototerapi :

1) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan Insensible
Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-
3kali lebih besar.

2) Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan


empedu dan meningkatnya peristaltik usus.

3) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar ( berupa kulit
kemerahan)tetapi akan hilang setelah terapi selesai.

4) Gangguan retina bila mata tidak ditutup.

5) Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu dimatikan,terapi
diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin
dan diberikan ekstra minum.

6) Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.

b.Tranfusi Pengganti

Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :

Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.

Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.

Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.

Tes Coombs Positif

Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.

Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.

Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.

Bayi dengan Hidrops saat lahir.


Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus

Transfusi Pengganti digunakan untuk :

1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah
merah terhadap Antibodi Maternal.

2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)

3. Menghilangkan Serum Bilirubin

4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh
negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang
pendek. setiap 4 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.

c.Therapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan


konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada
post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).

Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga


menurunkan siklus Enterohepatika.

BAB III

METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analitik dan berdasarkan


waktu penyelenggaraan penelitian, penelitian ini menggunakan disain Cross-Sectional
dimana data yang di ambil melihat ke belakang. Sumber data yang digunakan adalah data
sekunder yaitu data yang di ambil dari rekam medik dan buku register yang ada di Bagian
Perinatologi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung Periode April 2010 sampai Maret
2011. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang lahir di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Bandung periode April 2010 sampai Maret 2011 yang mengalami
neonatus hiperbilirubinemia di Bagian Perinatologi yaitu 357 dari 2897 bayi.

HASIL PENELITIAN

Pada periode April 2010 sampai dengan Maret 2011 terdapat 12,3% atau 357 bayi
yang mengalami neonatus hiperbilirubinemia dari 2897 yang terdapat diruang perinatologi.
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung angka kejadian
Neonatus Hiperbilirubinemia terbanyak kepada kelompok umur kehamilan <37 minggu yaitu
12,5%. Kondisi ini sesuai dengan teori dimana pada usia gestasi < 37 minggu sangat
berpengaruh bagi kelangsungan hidup bayi. Makin rendah usia kehamilan dan makin kecil
bayi yang dilahirkan, makin tinggi mordibitas dan mortalitasnya. Alat tubuh bayi yang
prematur belum berfungsi seperti bayi yang matur, oleh karena itu ia mengalami banyak
kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin pendek usia kehamailannya makin kurang
pertumbuhan dalam alat-alat tubuhnya dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan
makin tingginya angka kematian. Dalam hal ini, sebagian besar kematian perinatal terjadi
pada bayi-bayi prematur. Bersangkutan dengan kurang sempurna nya alat-alat dalam
tubuhnya baik anatomik maupun fisikologik maka mudah timbul beberapa kelainan
diantaranya immatur hati.

Imatur hati memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia, hal ini dapat terjadi karena
belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil tranferase sehingga konjugasi
bilirubin indirect menjadi bilirubin direct belum sempurna dan kadar albmin darah yang
berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang. Kadar bilirubin normal
pada bayi prematur 10 mg/dL. Hiperbilirubinemia pada bayi prematur bila tidak segera
ditangani dapat menjadi kern ikterus yang akan menimbulkan gejala sisa yang permanen.

Berdasarkan hasil penelitian faktor Neonatus Hiperbilirubinemia berdasarkan berat


badan lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung angka kejadian Neonatus
Hiperbilirubinemia terbanyak kepada kelompok berat badan lahir > 4000 gram yaitu 17,5%.
Namun, jika teori ini di sambungkan dengan persalinan dengan tindakan yaitu dengan vakum
karena bayinya cukup mempunyai berat badan lahir yang besar maka persalinan dengan
vakum bisa menyebabkan infeksi dan menyebabkan bayi mengalami cidera.

Berdasarkan hasil penelitian faktor Neonatus Hiperbilirubinemia berdasarkan jenis


persalinan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung angka kejadian Neonatus
Hiperbilirubinemia terbanyak kepada kelompok jenis persalinan vakum yaitu 13,0%.
Menurut penelitian yang pernah di lakukan sebelumnya juga oleh Hardian (2008) bahwa
memang kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus bisa disebabkan oleh persalinan dengan
tindakan salah satunya dengan ekstrasi vakum karena bisa terjadi cidera dan infeksi ke bayi
yang lahir dengan vakum.

Berdasarkan faktor yang paling bepengaruh terhadap Neonatus Hiperbilirubinemia


dapat diketahui bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap neonatus hiperbilirubinemia
dari 3 penelitian yang telah dilakukan adalah berat badan lahir yang mengalami neonatus
hiperbilirubinemia terbanyak yaitu pada berat badan lahir >4000 gram. Nilai p-value sebesar
0,000 (< 0,05) adalah nilai p-value yang signifikan atau bermakna antara berat badan lahir
dengan kejadian neonatus hiperbilirubinemia. Kondisi ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa bayi yang lahir normal tapi dengan menggunakan tindakan dengan
ekstrasi vakum karena salah satunya bisa karena bayi yang besar sehingga dilakukan
persalianan dengan tindakan ekstrasi vakum. Dan risiko yang terjadi pada bayi adalah bisa
terjadi asfiksia dan cidera bayi sehingga dapat menimbulkan infeksi dan dapat menyebabkan
kelainan pada bayi, salah satunya yaitu hal tersebut dapat menyebabkan kematian bayi dan
keterbelakangan mental untuk jangka panjang.

KOMENTAR
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis mencoba menarik simpulan
sebagai berikut: Neonatus Hiperbilirubinemia paling banyak terjadi pada umur kehamilan
<37minggu yaitu 12,5% dan berat badan lahir >4000 gram yaitu 17,5%, berdasarkan jenis
persalinan paling banyak terjadi pada persalinan dengan ekstrasi vakum yaitu 13,0%, faktor
yang paling berpengaruh terhadap kejadian neonatus hiperbilirubinemia di Rumah Sakit
Umum Daerah kota Bandung periode April 2010 Maret 2011 adalah Berat Badan Lahir dan
secara statistik bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
https://muhammadananggadipa.wordpress.com/2012/01/13/hiperbilirubinemia-ikterus-
neonaterum/

http://www.jurnalpendidikanbidan.com/arsip/39-mei-2013/113-faktor-faktor-yang-
berpengaruh-terhadap-kejadian-hiperbilirubinemia-pada-neonatus-di-rumah-sakit-umum-
daerah-kota-bandung-periode-april-2010-maret-2011.html

http://hiperbilirubin-sayfganteng.blogspot.co.id/

You might also like